Rabu, 03 Agustus 2011

Putusan mempidana B Prita Tidak Bisa digunakan Untuk PK Putusan Perdata

Pertanyaan hukumnya, bisakah putusan MA yang mempidana Ibu Prita digunakan sebagai dasar mengajukan PK terhadap putusan perdata yang menolak gugatan RS OMNI dkk?? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikaji lebih dulu kedudukan hubungan antara putusan perkara perdata No. 300/Pdt/2010 dengan putusan pidana MA No. 822K/Pid.Sus/2010. Dalam hal ini perlu dikaji hubungan kedua putusan MA yang saling bertentangan tersebut.
Dua Putusan Mempunyai Hubungan Erat.
Bahwa, antara putusan perkara pidana Pemohon PK MA No. 822K/Pid.Sus/2010 dan No. 300K/Pdt./2010 terdapat hubungan yang sangat erat, yang tidak boleh isi pertimbangan hukum maupun amarnya saling bertentangan.
Dalam masing-masing putusan MA tersebut terdapat pertimbangan hukum mengenai sesuatu in casu penghinaan dan/atau pencemaran yang didakwakan pada Ibu Prita. Namun dalam masing-masing putusan MA tersebut isi pertimbangan hukum mengenai pencemaran telah saling bertentangan, sehingga amar dari masing-masing putusan tersebut juga menjadi saling bertentangan. Kiranya disinilah terdapatnya alasan yang paling kuat bagi Ibu Prita untuk mengajukan PK terhadap putusan perkara pidananya.
Dasar/posita gugatan perdata ialah Pasal 1372 jo 1365 BW yang in casu dimaksud adalah, bahwa Ibu Prita (terdakwa) diduga telah melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap RS OMNI, dr Grace dan dr Hengky Gosal (para penggugat). Artinya untuk mengabulkan petitum gugatan mengenai penggantian kerugian, terlebih dahulu harus dibuktikan telah terjadinya pencemaran tersebut (atau bentuk lain dari penghinaan).
Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1372 jo 1365 BW) Merupakan Sifat Melawan Hukum Bentuk-bentuk Penghinaan.
Ternyata dalam pertimbangan hukum putusan MA No. 300 K/Pdt/2010, gugatan para penggugat ditolak seluruhnya. Artinya perbuatan Ibu Prita bukanlah perbuatan melawan hukum, (yang in casu dari sudut hukum pidana didakwa melakukan pencemaran). Dari sudut perdata, mengandung arti bahwa apa yang dilakukan Ibu Prita bukanlah sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana yang dimaksud Pasal 1372 jo 1365 BW. Dari sudut hukum penghinaan (include di dalamnya pencemaran), kedududkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1372 jo 1365 BW) merupakan tempat atau letak sifat melawan hukum bentuk-bentuk penghinaan. Jika perbuatan melawan hukum tidak terbukti, maka demi hukum tidak mungkin terdapat sifat melawan hukum di dalam suatu peristiwa yang semula didakwakan bentuk-bentuk penghinaan. Oleh karena tidak mengandung sifat melawan hukum, sementara perbuatannya terbukti, maka terhadap terdakwa tidak boleh dipidana, melainkan harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Inilah sesungguhnya yang harus diperjuangan oleh Ibu Prita, melalui pengajuan PK terhadap putusan MA yang mempidananya tersebut.
Oleh sebab perbuatan Ibu Prita tidak mengandung sifat melawan hukum, maka seharusnya dakwaan pencemaran (dan jenis-jenis penghinaan lainnya) dari sudut hukum pidana dinyatakan tidak terbukti pula. Karena dua perkara masing-masing perkara perdata dan perkara pidana pokok objeknya adalah sama, yakni masalah penghinaan dan/atau pencemaran seperti yang didakwakan dalam perkara pidana. Penghinaan (include pencemaran di dalamnya) dari sudut hukum pidana merupakan tindak pidana yang dapat dipidana. Sementara dari sudut hukum perdata adalah merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) – Pasal 1372 jo 1365 BW yang dapat dimintakan ganti kerugian. Disinilah letak hubungan yang sangat erat antara dua perkara tersebut.
Hukum tidak menghendaki terjadinya pertentangan (conflict van rechtspraak) antara dua atau lebih putusan, baik isi pertimbangan hukumnya maupun amar putusannya. Bahwa ratio dan latar belakang dari ketentuan mengenai larangan conflict van rechtspraak sebagaimana dimaksud Pasal 263 Ayat (2) huruf b KUHAP (salah satu dasar mengajukan PK putusan pidana) adalah bertumpu pada kepastian hukum. Dilarang adanya dua atau lebih putusan pengadilan yang saling berhubungan/berkaitan yang sudah mempunyai kekuatan hukum, yang masing-masing pertimbangan hukum maupun amar putusannya saling bertentangan atau berlainan. Disini pula letaknya pentingnya kepastian hukum sebagai tujuan utama dari hukum pidana. Sementara keadilan dan kemanfaatan telah include berada di dalamnya. Bila kepastian hukum ditegakkan pengadilan, dengan demikian keadilan dan kemanfaatan dari putusan tersebut akan tercapai. Contoh konkret kasus Ibu Prita ini sangatlah sesuai.
Putusan Pidana Ibu Prita Tidak Dapat Digunakan Sebagai Dasar Pengajuan PK Terhadap Putusan Perdata
RS OMNI dan kedua dokternya tersebut (para penggugat) boleh saja mengajukan PK terhadap putusan MA No. 300K/Pdt/2010 (putusan perdata) dengan menggunakan putusan MA No. 822/Pid.Sus/2010 sebagai dasarnya. Upaya semacam itu merupakan hak setiap penggugat yang dikalahkan. Namun harus diingat, seperti yang telah penulis tegaskan sebelumnya, bahwa dalam hubungnnya dengan Pasal 1372 jo 1365 BW, unsur sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 UU ITE (termasuk semua bentuk penghinaan) adalah terletak pada terbuktinya semua elemen dari perbuatan melawan hukum Pasal 1372 jo 1365 BW tersebut. Bahwa perbuatan melawan hukum menurut arti Pasal 1372 jo 1365 BW dari sudut hubungannya dengan semua bentuk penghinaan, baik penghinaan dalam Bab XVI KUHP (penghinaan umum maupun khusus) maupun yang diluar KUHP adalah merupakan (letaknya) sifat melawan hukumnya bentuk-bentuk penghinaan tersebut.
Jadi apabila MA sudah memberi pertimbangan dalam putusan perdata (No. 300K/Pdt/2010), bahwa perbuatan melawan hukum Pasal 1372 jo 1365 BW sudah tidak terbukti, maka demi hukum tidak ada sifat melawan hukum dalam tindak pidana pencemaran yang didakwakan. Oleh karena itu dalam hal seperti ini tidak bisa dibalik, putusan pidana untuk mengajukan PK terhadap putusan perdata. Dalam kedudukan dan hubungan kedua putusan tersebut, putusan perkara pidana MA tidak bisa digunakan sebagai alasan PK untuk malawan putusan perkara perdatanya. Dengan menggunakan logika sederhana (awam), dapat diberikan contoh. Bahwa sebuah sabit digunakan untuk memotong rumput (merumput). Bukan dibalik, rumput digunakan untuk memotong sabit. Itulah kira-kira hubungan dan kedudukan kedua putusan MA yang saling bertentangan tersebut.
PK Ibu Prita Jangan Sampai Terlambat Diajukan dan Diputus
Di peradilan Indonesia saat ini, semua kemungkinan masih bisa terjadi. Karena sesuatu hal, kemungkinan yang buruk tersebut bisa benar-benar bisa timbul. Untuk mencegah kemungkinan buruk tersebut, dimana putusan perkara pidana digunakan oleh para Penggugat untuk mengajukan PK terhadap putusan perdata, maka Ibu Prita jangan sampai keduluan oleh para penggugat untuk mengajukan PK terhadap putusan perkara perdatanya. Demikian juga jangan sampai permintaan PK oleh para penggugat diputus lebih dulu. Jika benar-benar RS OMNI dkk menggunakan hak untuk mengajukan PK, cara dan jalan satu-satunya untuk membuat tidak berkutiknya hakim MA ditingkat PK yang mengadili perminataan PK oleh RS OMNI dkk adalah Ibu Prita harus gerak cepat. Jangan sampai kedahuluan diputusnya permintaan PK para penggugat oleh MA.
Bukanlah suatu kesalahan dan celaan kalau PH Ibu Prita mendesak agar permintaan PK nya segera diperiksa dan diputus. Hal semacam itu adalah merupakan hak setiap warga negara. Demikian juga desakan masyarakat, boleh saja diajukan pada PN Tangerang agar segera menyidangkan dan segera mengirimkan berkasnya ke MA. Serta mendesak MA segera memeriksa dan memutus.
Kiranya Ibu Prita tidak terlambat. Beberapa hari yang lalu telah terdengar berita, bahwa PH dari Kantor OC Kaligis telah mengajukan upaya PK tersebut. Belum diketahui kalau-kalau pihak RS OMNI dkk mengajukan upaya PK pula. Yang kita khawatirkan kalau-kalau ada main mata antara MA dengan para penggugat? Hal demikian juga harus diwaspadai. Masyarakat dan pers harus terus membuka dan membelalakkan mata mengamati perkembangan kasus ini.
Apabila permintaan PK Ibu Prita dikabulkan, dan putusan MA yang mengadili permintaan PK Ibu Prita menarik amar “membatalkan putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010, dan melepaskan terdakwa dari segala tuntunan hukum. Andaikata para penggugat (RS OMNI, dr Grace dan dr Hengky Gosal) juga mengajukan PK dan belum diputus, kiranya sudah tertutup kemungkinan untuk dapat dikabulkan. Mengingat putusan PK yang melepaskan dari segala tuntutan hukum Ibu Prita tidak mungkin diubah lagi untuk disesuaikan dengan putusan perdata yang bertentangan dengan putusan pidananya. Justru sebaliknya putusan perdata tetap akan dipertahankan, karena tidak boleh bertentangan dengan putusan pidana yang tidak mungkin dilawan dengan upaya hukum apapun. Jangan sampai timbul upaya hukum gregetan, seperti upaya hukum PK oleh Jaksa PU terhadap putusan pembebasan Muchtar Pakpahan yang kemudian menjadi malapetaka besar dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.
Semoga hakim pada Mahkamah Agung yang mengadili upaya hukum PK mengabulkan permintaan PK Ibu Prita tersebut. Amin ya Robbal Allamin. Kita tunggu.
Kampus FH UB, 2-8-2011
H. Adami Chazawi

Senin, 01 Agustus 2011

DASAR IBU PRITA MENGAJUKAN UPAYA PK

Putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010 yang mengabulkan permohonan kasasi Jaksa PU dan menjatuhkan pidana terhadap Ibu Prita Mulyasari memang patut dilawan dengan PK. Meskipun putusn itu bersyarat. Pidana 6 bulan penjara tidak perlu dijalankan selama syarat dalam masa percobaan (1 tahun), terpidana tidak melakukan tindak pidana (apapun). Namun putusan pemidanaan tersebut sudah memberi cap penjahat pada Ibu Prita. Putusan itu sangat menyakitkan. Oleh karena itu harus dilawan dengan upaya peninjauan kembali (PK). Beberapa dasar dan alasan yang dapat digunakan. Setidak-tidaknya ada dua dasar.

I. Dasar Pertama: Putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010 (perkara pidana) bertentangan dengan putusan MA No. 300K/Pdt/2010 (perkara perdata). Dengan mengutip Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP, terdapatnya pernyataan sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah saling bertentangan satu dengan yang lain (Conflict van Rechtspraak).
Bahwa, antara putusan perkara pidana Pemohon PK MA No. 822K/Pid.Sus/2010 dan No. 300K/Pdt./2010 terdapat hubungan yang sangat erat, yang tidak boleh isinya saling bertentangan.
Dalam masing-masing putusan MA tersebut terdapat pertimbangan hukum mengenai sesuatu in casu penghinaan dan/atau pencemaran yang didakwakan pada Pemohon PK. Namun dalam masing-masing putusan MA tersebut isi pertimbangan hukum mengenai pencemran tersebut telah saling bertentangan, sehingga amar dari masing-masing putusan tersebut juga menjadi saling bertentangan.
Dasar/posita gugatan perdata (saya pastikan) Pasal 1365 jo 1372 BW in casu yang dimaksud adalah, bahwa Ibu Prita (terdakwa dalam perkara pidana) diduga telah melakukan penghinaan dan/atau penecamaran nama baik terhadap RS OMNI, dr Grace dan dr Hengky Gosal (para penggugat). Artinya untuk mengabulkan petitum gugatan mengenai penggantian kerugian, terlebih dahulu harus dibuktikan telah terjadinya pencemaran tersebut (atau bentuk lain dari penghinaan). Ternyata dalam pertimbangan hukum putusan MA No. 300 K/Pdt/2010, gugatan para penggugat ditolak seluruhnya. Artinya perbuatan Ibu Prita bukanlah perbuatan melawan hukum, (yang in casu dari sudut hukum pidana didakwa melakukan pencemaran). Dari sudut perdata, mengandung arti bahwa apa yang dilakukan Ibu Prita bukanlah sebagai perbuatan melawan hukum ((onrechtmatige daad) sebagaimana yang dimaksud Pasal 1365 jo 1372 BW. Seharusnya dari sudut hukum pidana apa yang dilakukan Ibu Prita bukanlah merupakan penemaran. .
Bahwa apabila dari sudut hukum perdata in casu perbuatan melawan hukum Pasal 1365 jo 1372 BW dinyatakan tidak terbukti. Maka seharusnya dakwaan pencemaran (dan jenis-jenis penghinaan lainnya) dari sudut hukum pidana seperti pada pertimbangan hukum putusan MA No 822K/Pid.Sus/2010 dinyatakan tidak terbukti pula. Karena dua perkara masing-masing perkara perdata dan perkara pidana pokok objeknya adalah sama, yakni masalah penghinaan dan/atau pencemaran seperti yang didakwakan dalam perkara pidana. Disinilah letak hubungan yang sangat erat antara dua perkara tersebut.
Bahwa ratio dan latar belakang dari ketentuan mengenai larangan adanya conflict van rechtspraak sebagaimana dimaksud Pasal 263 Ayat (2) huruf b KUHAP tersebut adalah bertumpu pada kepastian hukum. Artinya dilarang adanya dua atau lebih putusan pengadilan yang saling berhubungan/berkaitan yang sudah mempunyai kekuatan hukum, yang masing-masing pertimbangan hukum maupun amar putusnnya saling bertentangan atau berlainan.
Bahwa oleh karena itu putusan perkara perdata MA No. 300K/Pdt/2010 adalah mutlak yang digunakan sebagai alasan PK untuk membatalkan putusan MA perkara pidana No. 822 K/Pid. Sus/2010. Insya Allah hakim MA PK nanti akan menggunakan alasan ini untuk membatalkan putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010.
Sehubungan hal ini, ada pertanyaan yang bisa timbul. Apakah putusan MA yang menghukum Ibu Prita tersebut dapat digunakan untuk mengajukan PK perkara perdatanya?
Jawaban singkatnya. RS OMNI dan kedua dokternya tersebut (para penggugat) boleh saja mengajukan PK terhadap putusan MA No. 300K/Pdt/2010 (putusan perdata), karena hal semacam itu merupakan hak setiap penggugat yang dikalahkan. Namun harus diingat bahwa unsur sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 UU ITE (termasuk semua bentuk penghinaan) dalam hubungnnya dengan Pasal 1365 jo 1372 BW, adalah terletak pada terbuktinya semua elemen dari perbuatan melawan hukum Pasal 1365 jo 1372 BW tersebut. Jadi jika perbuatan melawan hukum Pasal 1365 jo 1365 BW sudah tidak terbukti, maka demi hukum tidak ada sifat melawan hukum dalam tindak pidana pencemaran yang didakwakan. Oleh karena itu tidak bisa dibalik. Putusan perkara pidana MA tidak bisa digunakan sebagai alasan PK untuk malawan putusan perkara perdatanya. Dengan menggunakan logika sederhana, dapat diberikan contoh. Bahwa sebuah sabit digunakan untuk memotong rumput (merumput). Bukan dibalik, rumput digunakan untuk memotong sabit.
II. Dasar yang kedua. Putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010 Dengan jelas memperlihatkan Suatu Kekhilafan Hakim atau Suatu Kekeliruan yang Nyata (Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP.
1. Alasan Pertama. MA dalam putusan No. 822K/Pid.Sus/2010 telah salah dalam mengartikan arti juridis dari tindak pidana pencemaran.
Kualifikasi atau istilah pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE mempunyai arti juridis yang sama dengan pencemaran (smaad) dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Dalam UU ITE tidak ada penjelasan mengenai arti juridis istilah pencemaran. Maka itu Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merupakan lex specialis dari Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Pengertian pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE sama dengan arti penemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP.
Kekeliruan putusan No. 822K/Pid.Sus/2010 terletak pada memberi arti dan menerapkan unsur/istilah asli (Belanda) dalam Pasal 310 Ayat (1) WvS voor Nederlandsche Indie yang bunyinya “telastlegging van een bepaald feit” ke dalam kasus pidana, dimana mengirimkan e-mailnya ke temannya yang dipertimbangkan oleh judex juris sebagai pencemaran.
Bahwa terjemahan yang sebenarnya dari unsur/frasa “telastlegging van een bepaald feit” adalah “menuduhkan melakukan suatu perbuatan tertentu”. Meskipun ada pakar menterjemahkan dengan menuduhkan “suatu hal”, namun “hal” yang dimaksud itu tiada lain adalah suatu perbuatan tertentu. Kata asli yang digunakan oleh WvS voor Nederlandsce Indie adalah jelas-jelas “feit” lengkapnya van een bepalld feit, artinya suatu perbuatan tertentu. Kata feit itu artinya perbuatan. Tidak bisa diartikan lain.
Inti pencemaran adalah menyerang (aanranden) nama baik (goeden naam) dan kehormatan (eer) orang lain dengan menuduhkan perbuatan tertentu (een feit). Unsur perbuatan yang dilarang adalah menyerang (aanrenden). Objeknya adalah nama baik dan kehormatan orang. Sementara caranya menyerang adalah dengan menuduhkan perbuatan tertentu (een feit). Oleh sebab itulah dalam setiap pencemaran [Pasal 310 Ayat (1) KUHP], maka yang harus dibuktikan ialah semua unsur itu, tak terkecuali unsur caranya menyerang in casu menuduh melakukan perbuatan tertentu (yang memalukan orang yang diserang tersebut).
Bahwa MA dalam putusannya No. 822K/Pid.Sus/2010 ternyata telah salah dalam hal memahami dan menerapkan terhadap unsur “telastlegging van een bepaald feit”. Salahnya ialah isi e-mail pemohon PK yang berbunyi “Saya informasikan juga dr Hengky praktik di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini, dan tanggapan dr Grace yang katanya adalah penanggungjawab masalah complain saya ini tidak profersional sama sekali dan tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer”, telah dinilai sebagai “telastlegging van een bepaald feit” pada dr Henky dan dr Grace, sehingga kehormatan dan nama baik tercemar. Dalam kalimat tersebut tidak terdapat bentuk konkret perbuatan apa yang dituduhkan Ibu Prita kedapa dua dokter tersebut.
Sebenarnya isi e-mail Ibu Prita tersebut hanya dapat ditpertimbangkan sebagai benntuk perbuatan dalam penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP). Dimana dalam Pasal 315 ada unsur tidak bersifat pencemaran. Sedangkan yang dimaksud tidak bersifat pencemaran itu salah satumnya adalah “tidak bersifat menuduhkan melakukan perbuatan (konkret) tertentu”. Namun Pasal 315 tidak didakwakan. Tidak boleh mempidana terdakwa apabila tidak didakwakan.
Sementara bagi RS OMNI dalam hal dakwaan pencemaran atau bentuk-bentuk penginaan lainnya, tidak merupakan hal yang penting. Karena mengenai penghinaan umum (Bab XVI KUHP) tidak bisa ditujukan (objeknya) pada korporasi seperti RS OMNI, melainkan hanyalah pada orang pribadi.
Pertimbangan hukum putusan tersebut tidak tepat. Alasannya, karena dalam kalimat tersebut tidak terdapat sedikitpun perbuatan konkret yang sifatnya menuduhkan pada para Penggugat dengan melakukan perbuatan tertentu (een beppald feit). Padahal dalam penecamaran harus jelas dan pasti mengenai wujud cara menyerang kehormatan dan nama baik orang lain tersebut, yakni dengan wujud konkret perbuatan tertentu.
Lagi pula apa yang ditulis oleh pemohon PK tersebut adalah berupa keluhan yang dirasakannya selama perawatan - isinya benar. Bukan sesuatu yang mengada-ada. Dalam konteks perjanjian khususnya di bidang kesehatan dan konsumen dari perawatan medis yang dilakukan terhadapnya, mengemukakan keluhan seperti itu adalah menjadi haknya, yang tidak boleh dilarang.
2. Alasan Kedua
Bahwa pertimbangan hukum MA dalam putusan yang menyatakan bahwa apa yang ditulis oleh pemohon PK dalam e-mailnya tersebut tidak dapat dianggap sebagai bukan untuk kepentingan umum, dikarenakan ditujukan pada dr. Hengky dan dr Grace.
Pertimbangan hukum ini kurang tepat. MA telah salah dalam memberi arti tentang “untuk kepentingan umum” sebagai dasar peniadaan sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (3) maupun fitnah (Pasal 311, karena pencemaran salah satu unsur fitnah).
Meskipun alasan untuk kepentingan umum ini baru penting, dan akan dipertimbangkan apabila unsur perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan dengan cara menuduhkan perbuatan tertentu pada orang lain - Pasal 310 Ayat (1) sudah terpenuhi. Yang menurut saya sebagaimana yang diutarakan sebelumnya, pencemaran telah tidak terjadi dalam kasus Ibu Prita ini.
Namun andaikata unsur caranya menyerang (dalam pencemaran) telah terpenuhi, maka barulah penting alasan bahwa perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum. Oleh karenanya Ibu Prita tidak boleh dipidana dan harus dilepaskan dari tuntutan hukum.
Bahwa apa yang dimaksud “demi untuk kepentingan umum” sebagai alasan peniadaan atau hapusnya sifat melawan hukum pencemaran, menurut sifat dan keadaannya ada dua syarat kumultif, yaitu:
• Pertama, sifat dari isinya tuduhan adalah bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dari yang menuduh saja, tetapi juga bagi orang lain atau siapa saja yang akan dan hendak berhubungan dengan orang yang dituduh tersebut. Hal ini terbukti dari bagian kalimat Ibu Prita dalam E-mailnya tersbut yang berbuyni “... hati-hati dengan perawatan medis ...dst...” Sangat jelas sifat isi dari email pemohon PK tersebut adalah untuk kehati-hatian pada temannya yang dituju.
• Kedua, isi apa yang dituduhkan itu wajib mengandung kebenaran. Dalam hal mengamati kasus ini, tidak cukup bukti bahwa apa yang dikatakan Ibu Prita sebagai kebohongan. Peringatan kehati-hatian tersebut beralasan, karena pihak RS telah melakukan suatu kesalahan dalam mendiagnosa. Diantaranya, semula hasil lab trombosit Ibu Prita adalah 27.000. (tidak normal karena yang normal adalah 150.000 s/d 400.000.000). Ternyata hasil ini salah, karena setelah dilakukan pemeriksaan lab kedua adalah 181.000 (normal). Selama dirawat di RS OMNI, pasien merasa penyakitnya tidak sembuh-sembuh, malahan semangkin sakit. Sehingga pasien pindah.
Apa yang saya tulis sekedar pendapat. Bagi mahasiswa yang memprogramkan praktik peradilan pidana, silakan memberi tanggapan. Anda akan mendapatkan nilai tambahan.
Demikian pendapat saya mengenai dasar dan alasan PK yang dapat digunakan oleh Ibu Prita.

Kamis, 09 Juni 2011

Sifat MH Dalam Fungsi yang Negatif

SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM FUNGSINYA YANG NEGATIF

Hukum pidana kita memberlakukan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Merupakan hukum yang tidak tertulis. Namun diterapkan dalam berbagai putusan pengadilan. Meskipun perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana tertentu, apabila perbuatan tersebut menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat tidak lagi mengandung sifat melawan hukum, telah merupakan social adequat, telah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, maka kepada terdakwa tidak dipidana. Di jatuhkan pelepasan dari segala tuntutan hukum. Merupakan alasan peniadaan pidana disebabkan kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Merupakan alasan pembenar.

Berlakunya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, merupakan alasan peniadaan pidana di luar UU, dan termasuk alasan pembenar. Dan sejak arres HR “dokter hewan dari kota Huizen” tanggal 2-2-1933 sampai sekarang sudah dianut dalam praktik baik di Belanda maupun di Indonesia. Telah menjadi suatu azas hukum yang tidak tertulis.

Di Indonesia, banyak sekali putusan MA yang memberlakukan /menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Contohnya, al:
> No.: 42K/Kr/1965: 8-1-1966: Pertimbangan hukum MA sbb: “Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor: yakni: Negara tidak dirugikan; kepentingan umum dilayani; tertuduh tidak dapat untung”
> No.: 72K/Kr/1970: 27-5-1972. . Pertimbangan hukum MA sbb: “Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formil namun Hakim secara materiil harus memperhatikan juga adanya kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas dasar mana mereka tidak dapat dihukum (materiele wederrechtelijkheid)”.
> No. 97K/Kr/1973 :17-10-1974. Pertimbangan hukum MA sbb: “Karena pebuatan-perbuatan sebagaimana dituduhkan pada terdakwa merupakan tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam mengelola uang Perusahaan Negara (PN), yang menguntungkan PN serta sesuai dengan program kerja PN dan dibenarkan pula oleh atasan terdakwa, lagi pula tidak merugikan negara, kepentingan umum terlayani dan terdakwa pribadi tidak mendapatkan untung, maka perbuatan terdakwa kehilangan sifat melawan hukumnya”.
> No. 81K/Kr/1973: 16-12-1976. Pertimbangan hukum MA sbb: “Azas “materiele wederrechtelijkheid” merupakan suatu “buitenwettelijke uitsluittinggrond”, suatu buiten wettelijke rechtsvaardigingsgrond” dan sebagai suatu alasan yang buiten wettelijk sifatnya merupakan suatu “fait d’exuse” yang tidak tertulis, seperti dirumuskan oleh dokrin dan jurisprodensi. Sesuai dengan tujuan dari azas “materiele wederrechtelijkheid” suatu perbuatan yang merupakan perbuatan pidana, tidak dapat dipidana apabila perbuatan tersebut adalah social adequat”.

Dicontohkan Pasal 328 KUHP, terdapat unsur “dengan maksud menempatkan orang itu secara melawan hukum”. Sementara Pasal 333 Ayat (1) KUHP, terdapat unsur dengan sengaja dan melawan hukum. Karena di dahului oleh unsur maksud dan sengaja, maka sifat melawan hukumnya merupakan sifat melawan hukum subjektif. Ada 2 langkah untuk membuktikan adanya sifat melawan hukum subjektif. Pertama terlebih dulu harus dapat dibuktikan secara objektif bahwa di dalam suatu perbuatan yang didakwakan mengandung sifat celaan atau melawan hukum. Berdasarkan keadaan-keadaan tertentu yang terdapat sekitar perbuatan maupun objek perbuatan menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat mengandung sifat celaan. Kedua, harus dapat dibuktikan terdapatnya kesadaran pada diri si pembuatnya, bahwa apa yang dilakukannya adalah mengandung sifat celaan. Sebaliknya apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menurut nilai-nilai keadilan dan kepatutan dalam perbuatan tersebut tidak mengandung sifat celaan, maka tidak mungkin terdapat kesadaran tentang sifat melawan hukum perbuatan yang secara objektif pada perbuatan itu tidak mengandung sifat melawan hukum. Contohnya, terdapatnya suatu keadaan berupa gejala-gejala kelainan jiwa seseorang. Maka menjadi wajar apabila orang yang terdekat hubungan kekeluargaan meminta Rumah Sakit untuk memeriksa dan merawat orang itu. Dalam hal perbuatan meminta RS untuk memeriksa dan merawat seseorang yang terdapat gejala-gejala gangguan kejiwaan/mental seperti itu, maka tidak mungkin adanya kehendak/kesadaran bahwa perbuatan itu sebagai tercela atau bersifat melawan hukum. Justru perbuatan seperti itu merupakan perbuatan melaksanakan suatu kewajiban hukum. Suatu perbuatan dilakukan dengan itikad baik. Demikian juga, misalnya orang tua yang memukul anaknya sebagai bentuk pendidikan, atau seorang guru menjewer telinga muridnya, dan sebagainya. Semua perbuatan seperti itu kehilangan sifat melawan hukum perbuatan. Sehingga pelakunya tidak patut dijatuhi pidana karena perbuatan yang dilakukan telah kehilangan sifat melawan hukumnya, yang telah menjadi social adequat. Kalau dalam rumusan tindak pidana dicantumkan unsur sifat melwan hukum seperti Pasal 328 atau 333 Ayat (1) atau 335 KUHP, sementara unsur tersebut tidak terbukti/tiada, maka kepada terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum..

Pasal 335 Ayat (1) KUHP. Kalau dirinci, unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Perbuatan: memaksa
2. Objeknya : orang
3. dengan melawan hukum
4. Cara melakukan perbuatan (memaksa):
a. - dengan kekerasan; atau
- dengan perbuatan lain; maupun
- dengan perbuatan yang tidak menyenangkan
b. - dengan ancaman kekerasan; atau
- dengan ancaman perbuatan lain; maupun
- dengan ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan
5. Tujuan pembuat melakukan perbuatan:
a. orang itu atau orang lain supaya melakukan sesuatu
b. orang itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu
c. orang itu atau orang lain membiarkan sesuatu.

Unsur sifat melawan hukum dalam perbuatan memaksa dari Pasal 335 KUHP, bersifat objektif. Artinya menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam suatu wujud perbuatan memaksa mengandung sifat celaan. Terdapat keadaan tertentu sebagai indikator adanya sifat celaan dalam suatu perbuatan. Sebaliknya apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menurut sifatnya merupakan suatu kewajaran, maka sifat melawan hukum yang diperlukan oleh Pasal 335 tersebut tidak ada atau menjadi tiada. Misalnya, seorang guru yang memaksa muridnya yang masuk kelas terlambat untuk lari mengelilingi lapangan sekolah, bila tidak dilakukan maka ia tidak boleh masuk sekolah hari itu. Pemaksaan dengan perbuatan tidak menyenangkan oleh guru tersebut tidak mengandung sifat melawan hukum. Karena perbuatan tersebut dalam rangka pendidikan, telah menjadi kewajaran dalam masyarakat, atau sosial adequat . Sama halnya juga, misalnya apabila terdapat gejala-gejala seseorang dalam keadaan adanya gangguan terhadap mental/kejiwaannya. Maka menjadi suatu kewajaran, apabila anggota keluarganya meminta pertolongan pada Rumah Sakit untuk memeriksa dan merawat orang tersebut. Keadaan seperti itu tidak boleh dianggap sebagai memaksanya untuk melakukan atau membiarkan sesuatu perbuatan secara melawan hukum. Ukuran melawan hukum suatu perbuatan harus diukur dari ketidak wajaran berdasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, dalam hal seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu.

Pasal 304 KUHP, terdapat unsur hubungan antara si pembuat (yang menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan sengsara) dengan orang yang ditempatkan dalam keadaan sengsara. Unsur hubungan tersebut adalah berupa suatu kewajiban hukum bagi si pelaku terhadap orang yang dibiarkan dalam keadaan sengsara. Kewajiban hukum tersebut berupa, kewajiban untuk memberi kehidupan, perawatan atau pemiliharaan. Kedudukan hukum seorang istri tidak merupakan kedudukan hukum yang membeban kewajiban hukum untuk memberikan kehidupan, perawatan atau pemiliharaan kepada suaminya. Sebaliknya justru suamilah yang membeban kewajiban hukum tersebut kepada istri dan anak-anaknya. Pasal 304 KUHP tidak dimaksudkan untuk istri yang tidak berbuat apa-apa (membiarkan atau menempatkan) pada suami pada waktu keadaan ekonomi dan kesehatan suami yang sulit.

Pasal 45 Ayat (1) jo 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004. Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dalam UU 23 Tahun 2004, adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan dalam lingkup rumah tangga yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan psikologis”. Sifat melawan hukum tidak dicantumkan sebagai unsur dalam Pasal 45 Ayat (1) jo 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004. Unsur sifat melawan hukum dalam delik ini terdapat secara terselubung di dalam unsur perbuatan kekerasan. Tidak perlu dibuktikan secara khusus. Cukup membuktikan adanya unsur perbuatan kekerasan saja. Namun sebaliknya, apabila di dalam perbuatan kekerasan tersebut kehilangan sifat melawan hukum, maka ketiadaan sifat melawan hukum tersebut menjadi alasan peniadaan pidana di luar UU. Keadaan ini terjadi disebabkan dalam hukum pidana Belanda dan berlaku untuk Indonesia, menganut azas berlakunya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Misalnya seorang petinju dalam pertandingan memukul lawannya di atas ring, mengakibatkan lawannya meninggal dunia. Seorang suami menampar muka istrinya yang terbukti berzina. Seorang ayah memukul anaknya yang mencuri uang ibunya. Perbuatan-perbuatan seperti contoh tersebut dapat menjadi kewajaran (sosial adequat) menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Karena itu terhadap pelakunya tidak patut dijatuhi pidana, melainkan dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Terdapat perbedaan antara tidak terbuktinya atau tidak terdapatnya unsur sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam rumusan delik dengan hapusnya /tiadanya sifat melawan hukum. Perbedaan itu adalah:
- Dalam hal sifat melawan hukum dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Kemudian unsur tersebut tidak dapat dibuktikan atau tidak ada/tiada, maka tindak pidana tidak terjadi. Kepada terdakwa harus di bebaskan.
- Sementara apabila unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, namun terbukti suatu perbuatan dlam tindak pidana tersebut telah kehilangan sifat melawan hukum perbuatan, maka kepada terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
6 Juni 2011.
H. Adami Chazawi

Catatan: Tulisan di atas merupakan bagian (inti) pendapat/keterangan ahli yang diberikan di suatu sidang pengadilan.

SIFAT MELAWAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

SIFAT MELAWAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA PASAL 2 UUTPK


Suatu perbuatan masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, perdata atau administrasi negara ditentukan oleh sumber pengaturan dan sanksinya. Jika diatur dalam hukum pidana dan disertai ancaman pidana, maka perbuatan tersebut masuk ruang lingkup hukum pidana, dan itulah tindak pidana. Jika perbuatan itu ditentukan dalam hukum administrasi beserta sanksi administrasi, maka perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum administrasi. Jika sumber pengaturannya dan sanksinya bersifat perdata, maka perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum perdata.

Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 dan UUTPK, pelanggaan administrasi dapat merupakan tempat/letak atau penyebab timbulnya sifat melawan hukum perbuatan, apabila terdapat unsur sengaja (kehendak dan keinsyafan) untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan kekuasaan jabatan, yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian negara. Perbuatan administrsi yang memenuhi syarat-syarat yang demikian itu membentuk pertanggungjawaban pidana. Apabila unsur-unsur tersebut tidak ada, terutama unsur merugikan keuangan / perekonomian negara, maka yang terjadi adalah kesalahan prosedur/administrasi, dan tidak ada sifat melawan hukum korupsi dalam hal semata-mata “salah prosedur”. Perbuaatan itu sekedar membentuk pertanggunganjawaban hukum administrasi saja.

Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 UUTPK, kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi dibedakan dalam 4 macam.
• Pertama, kesalahan administrasi murni. Terjadi apabila melakukan prosedur administrasi karena khilaf (kulpa) baik terhadap ketentuan prosedural/tatalaksana maupun akibatnya. Perbuatan khilaf ini tidak membawa kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah perbuatan adminsitratif semacam ini bukan korupsi. Pertangungajwaban yang timbul adalah pertanggungjawaban administrasi. Misalnya dengan mencabut, membatalkan atau melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya.
• Kedua, si pembuat khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu, yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara, misalnya nilai uang tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum (onrechtsmatige daad) menurut hukum perdata (Pasal 1365 BW), bukan korupsi. Perbuatan ini membentuk pertanggungjawaban perdata, diwajibkan untuk mengganti kerugian.
• Ketiga, si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan adminsitratif tertentu, namun tidak (dapat) membawa dampak kerugian kepentingan hukum negara. Kesalahan semacam ini masih di teloransi sebagai kesalahan adminsitrati. Perbuatan ini membentuk pertanggungjawaban adminisrasi. Sanksi administratitif dapat dijatuhkan pada si pembuat, tidak dapat menjatuhkan pidana.
• Keempat, si pembuat dalam kedudukan administratif tertentu - sadar dan mengerti (sengaja) bahwa pekerjaan administratif tertentu menyalahi aturan/prosedur (melawan hukum) – dilakukannya juga, yang karena itu membawa kerugian negara. Apabila perbuatan itu berupa perbuatan memperkaya maka masuk Pasal 2 UUTPK, dan apabila dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan maka masuk Pasal 3. Dalam hal yang keempat ini saja, kesalahan prosedur merupakan sifat melawan hukum korupsi.

Bentuk pertanggungjawaban tindak pidana, administrasi atau perdata ditentukan oleh sifat pelanggaran (melawan hukumnya perbuatan) dan akibat hukumnya. Bentuk pertanggungjawaban pidana selalu bersanksi pidana. Pertangungjawaban administrasi selalu bersanksi administrasi, dan pertanggungjawaban perdata ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataan, akibat dari wanprestasi atau onrechtsmatige daad. Pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Dalam hal sifat melawan hukum tindak pidana, selalu membentuk pertanggunggjawaban pidana sesuai tindak pidana tertentu yang dilanggarnya. Sementara sifat melawan hukum administrasi dan perdata, sekedar membentuk pertanggungjawaban administrasi dan perdata saja sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.

Pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertangungjawabkan secara pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja dan disadari merugikan keuangan negara, dan dilakukan dengan memperkaya diri atau dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan, maka kesalahan administrasi seperti itu merupakan tempat melekatnya/letak atau penyebab sifat melawan hukumnya korupsi, dan karenanya membentuk pertanggungjawaban pidana dan dapat dipidana berdasarkan Pasal 2. Pelanggaran administrasi bukan merupakan letak/tempat tindak pidana korupsinya, melainkan tempat/letak sifat melawan hukumnya korupsi. Karena tidak mungkin terjadi korupsi pada perbuatan yang sifatnya semata-mata pelanggaran administrasi maupun semata-mata bersifat pelanggaran hubungan keperdataan saja.

Pelanggaran hukum perdata, seperti wanprestasi dari suatu kontrak/perjanjian atau perbuatan melawan hukum meskipun akibatnya negara dirugikan, tidak bisa serta merta membentuk pertanggungjawaban pidana. Dalam hal negara dirugikan oleh wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, pemulihan kerugian dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata, bukan melalui penuntutan pidana di peradilan pidana.

Dalam hal badan publik melakukan perbuatan perdata, maka prosedur, syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum perdata harus diikuti. Badan publik tersebut harus tunduk pada hukum perdata. Namun apabila terdapat aturan lain (accessoir) bersifat administrasi dalam hal prosedur untuk keabsyahan perbuatan hukum perdata tersebut, mengingat untuk kepentingan publik, maka apabila pengaturan administrasi tersebut dilanggar, dapat merupakan letak sifat melawan hukum korupsi, apabila memenuhi unsur kesengajaan yang disadari merugikan keuangan/perekonomian negara yang dilakukan dengan perbuatan memperkaya atau dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan.

Dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan seseorang yang mewakili badan publik, misalnya suatu Pemerintah Daerah dalam hal melakukan perbuatan perdata/kontrak dengan pihak swasta dengan melalui prosedur administrasi negara. Sepanjang prosedur administrasinya diikuti, maka tidak ada sifat melawan hukum korupsi di dalamnya. Andaikata ada segi-segi prosedur administrasi yang tidak diikuti dalam melakukan perbuatan perdata dari suatu badan publik (misalnya kontrak dengan pihak swasta), asalkan tidak dilakukan dengan memperkaya diri atau menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan dan tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, maka pelanggaran adminstrasi tersebut tidak merupakan letak sifat melawan hukumnya perbuatan korupsi. Pelanggaran administrasi dipertanggungjawabkan secara administrasi saja. Sifat melawan hukum korupsi hanya bisa terjadi pada pelanggaran prosedur adminstrasi yang disengaja dengan kesadaran merugikan keuangan negara yang dilakukan dengan perbuatan memperkaya diri atau dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan. Tiga unsur, ialah: pelanggaran prosedur yang disengaja, merugikan keuangan negara dan dilakukan dengan memperkaya atau menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan, sifatnya kumulatif, sebagai syarat terbentuknya pertanggungjawaban pidana korupsi.

Untuk menentukan kerugian negara dalam perkara korupsi, bisa meminta bantuan audit invistigasi, namun bukan keharusan. Menentukan kerugian negara dalam perkara korupsi, hasil audit BPKP tidak mengikat hakim. Hakim bebas menentukan perhitungannya sendiri berdasarkan alat-alat bukti di dalam sidang dengan menggunakan akal dan logika hukum serta kapatutan.

Audit investigasi harus dimintakan oleh penyidik, dan bukan oleh pihak lain. Jika audit tersebut tidak dimintakan oleh penyidik, maka audit itu tidak bersifat pidana, melainkan bersifat administratif saja. Oleh karenanya tidak mempunyai nilai pembuktian dalam perkara pidana.

Mengenai perselisihan pra yudicial dalam hubungannya dengan penghentian sementara (skorsing) penuntutan, dalam doktrin hukum ada 2 (dua) macam:
Pertama, disebut dengan “quistion prejudicielle a l’action”. Merupakan perselisihan pra judicial dimana hakim mempunyai kewajiban untuk menskorsing penuntutan. Dalam hal ini apabila dalam UU disebutkan secara tegas, bahwa apabila terjadi perselisihnan pra judicial maka hakim wajib mensokrsing penuntutan. Contohnya dalam Pasal 314 Ayat (3) KUHP., yang mewajibkan pada hakim untuk menghentikan sementara penuntutan bagi terdakwa fitnah, apabila orang yang difitnah telah diajukan penunutan ke pengadilan, sampai perbuatan yng dituduhkan pada orang yang difitnah tersebut mendapatkan putusan yng bersifat tetap.
Kedua, disebut “quistion prajudicielle au jugement”. Merupkan perselisihan pra judicial yang dimaksud Pasal 81 KUHP, yang apabila terjadi maka menjadi hak hakim untuk melakukan skorsing penuntutan. Karena merupakan hak, maka sifatnya fakultatif. Hakim boleh tidak menggunakan haknya. Namun akibatnya nanti putusan perkara lain yang berhubungan dan menentukan bisa bertentangan dengan putusan perkara pidana. Dari sudut kepastian hukum dan keseragaman putusan pengadilan, keadaan yang demikian tidak dapat dibenarkan.

Perbuatan memperkaya diri dalam Pasal 2 UUTPK - bentuknya abstrak, yang terdiri dari banyak wujud-wujud konkret. Wujud konkret itulah yang harus dibuktikan. Untuk membuktikan wujud memperkaya selain membuktikan bentuknya, misalnya wujud “mencatumkan kegiatan fiktif” perlu juga membuktikan ciri-cirinya, yaitu: Pertama, dari perbuatan itu ybs memperoleh suatu kekayaan. Kedua, jika hubungkan dengan sumber pendapatannya, kekayaannya tidak seimbang dengan sumber yang menghasilkan kekayaan tersebut. Ketiga, jika dihubungkan dengan wujudnya, perbuatan tersebut bersifat melawan hukum. Keempat, jika dihubungkan dengan akibat, ada pihak lain yang dirugikan dalam hal ini merugikan keuangan negara.

Perbuatan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UUTPK adalah menggunakan wewenang yang melekat pada jabatan / kedudukan secara menyimpang dari tatalaksana yang semestinya, sebagaimana yang diatur dalam peraturan, petunjuk tata kerja, instruksi dinas dll. yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dari kedudukan/ jabatan tesebut.

Apabila dalam surat dakwaan di junto-kan Pasal 55 Ayat (1) angka 1 KUHP tentang bentuk pembuat peserta (medepleger). Maka keterlibatan terdakwa wajib dibuktikan sebagai medepleger. Pertama harus dibuktikan lebih dulu bahwa peristiwa yang didakwakan ini adalah sebagai tindak pidana. Barulah membuktikan tentang terdapatnya syarat medepleger. Dari sudut subjektif – kesengajaan (kehendak) terdakwa sebagai medepleger harus sama dengan kesengajaan pembuat pelaksana (pleger) dalam hal mewujudkan tindak pidana. Dari sudut objektif, meskipun wujud perbuatan medepleger tidak perlu sama dengan wujud pleger, namun harus dibuktikan ada kerjasama yang diinsyafi. Kerjasma yang diinsyafi adalah keinsyafan bahwa meskipun antara mereka melakukan perbuatan sendiri-sendiri yang berbeda, namun disadari kesemuanya ditujukan untuk menyelesaikan tindak pidana yang sama-sama dikehendaki.
19 April 2011.

H. Adami Chazawi

Catatan: Tulisan tersebut di atas merupakan bagian (inti) pendapat/keterangan ahli di suatu sidang pengadilan korupsi.

PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP)

PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP)
(H. Adami Chazawi)


Kejahatan pemalsuan surat dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum publik perihal kepercayaan terhadap kebenaran atas isi 4 macam objek surat, ialah surat yang menimbulkan suatu hak; surat yang menerbitkan suatu perikatan; surat yang menimbulkan pembebasan utang dan surat yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu. Sementara itu perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) dan memalsu (vervalsen).
Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu.
Dua unsur perbuatan dan 4 unsur objek pemalsuan surat tersebut, bersifat alternatif. Harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek suratnya. Membuktikannya ialah melalui dan menggunakan hukum pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 183 jo 184 KUHAP.
Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan dengan cara apapun mengenai sebuah surat misalnya KTP, sehingga menghasilkan sebuah KTP. Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb), dan siapa yang melakukan wujud tersebut, berikut kapan (temposnya) dan dimana (lokusnya) - semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan. Tidak cukup adanya fakta kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti identitas menginap di sebuah hotel. Dalam Hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada anggapan, melainkan harus dibuktikan sekutidak-tidaknya memenuhi syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan, dan untuk menghindari kesewenang-wenangan hakim.
Pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang dilandasi syarat objektif. Harus ada keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang syah. Tiga keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar (objektif) minmal 2 alat bukti yang syah tersebut, ialah hakim yakin tindak pidana terjadi, hakim yakin terdakwa melakukannya dan hakim yakin terdakwa bersalah.
Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari sekedar fakta bahwa, misalnya sebuah KTP yang diduga palsu kedapatan pada seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya ke petugas hotel dalam hal memesan kamar untuk orang lain. Fakta yang seperti ini hanya sekedar dapat dipakai sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk saja. Dan tidak membuktikan sebagai pembuatnya.
Lebih-lebih lagi, untuk terbitnya sebuah KTP selalu melalui prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang. Di dalam sebuah KTP harus dibuktikan dan jelas, tulisan apanya yang palsu? Bisa terjadi tanda tangan Camat asli, tapi namnya yang fiktif. Dalam kasus seperti ini tidak mudah menentukan siapa sesungguhnya si pembuat? Apakah Camat atau orang-orang lain?
Menggunakan sebuah surat adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya.
Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain.
Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2) Pasal 263. Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti, yang jelas dan tertentu. Jika keadaan atau hal-hal tersebut benar-benar ada, maka kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A. Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan pengguna jalan dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah ybs tidak mampu mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah bagi pengguna jalan, bukan semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada, misalnya pekerjaan A yang digelutinya bertahaun-tahun adalah mengemudi, maka perbuatan mengemudikan kendaraan itu tidak dapat merugikan pengguna jalan lainnya, karena kemahiran mengemudi sudah dikuasainya. Maka alasan merugikan pengguna jalan tidak bisa digunakan.
Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat (2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus jelas dan pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan didertia oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada kenyataaannya digunakan. Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari penggunaannnya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu tidak mungkin terjadi. Dalam hal KTP yang namanya fiktif, maka tidak mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi nama yang fiktif. Dalam hal petugas hotel yang menerima KTP palsu untuk dicatat identitasnya, juga tidak mungkin dapat menderita kerugian – termasuk hotelnya, apabila semua persyaratan dan beaya-beaya yang ditentukan telah dipenuhi.
Jadi identitas KTP palsu tidak mungkin berakibat kerugian hotel, selama yang menginap memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang ditetapkan hotel. Sebabnya ialah pembayaran hotel dengan cara apapun tidak dipengaruhi oleh penggunaan KTP tersebut, melainkan didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan seseorang yang menginap dengan harus membayar sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditetapkan hotel. Siapapun yang membayarkannya tidak menjadi masalah. Dalam hal ini tidak ada hubungan antara digunakannya KTP tersebut dengan perhitungan pembayaran jasa hotel?


Catatan: Tulisan di atas, merupakan bagian (inti) dari pendapat/keterangan ahli di suatu sidang pengadilan.

Selasa, 10 Mei 2011

CONTOH BA SIDANG

CONTOH BERITA ACARA SIDANG

UNTUK MAHASISWA PRAKTIK PERADILAN PIDANA FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA



BERITA ACARA SIDANG PERTAMA
No.: 23/Pid.B/2011/PN..............


Persidangan Terbuka Pengadilan Negeri ............ yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa yang dilaksanakan di RUANG ABDUL MUNTALIB gedung PENGADILAN NEGERI ......... di Jl................... yang telah disediakan untuk keperluan itu pada hari ........ tanggal ....... 2011 dalam perkara terdakwa:
BIL SARGI BIN KUDUS AL JUFRY
Terdakwa ditahan di Rutan ................ sejak tanggal ....... s/d sekarang.
SUSUNAN PERSIDANGAN:
......................................................... : Hakim Ketua;
......................................................... : Hakim Anggota;
......................................................... : Hakim Anggota;
......................................................... : Panitera Pengganti;
......................................................... : Jaksa/Penuntut Umum;
Setelah sidang dibuka oleh Hakim Ketua dan dinyatakan terbuka untuk umum, maka atas perintah Hakim Ketua agar terdakwa dihadapkan masuk ke ruang sidang;
Kemudian Terdakwa oleh Petugas dihadapkan di muka persidangan dalam keadaan bebas tanpa diborgol, akan tetapi tetap di jaga dengan baik oleh Petugas, yang atas pertanyaan Hakim Ketua mengaku bernama:
BIL SARGI BIN KUDUS AL JUFRY
Lahir di Kejuron Kepanjen Ngilor Kabupaten Malang, Umur .... tahun, laki-laki, Warga Negara Indonesia, tempat tinggal di Kejoron Kepanjen Ngilor Kabupaten Malang, agama ........ , pekerjaaan khusus tukang cukur Bupati.
Terdakwa didamping Penasehat Hukum bernama Kentut Buyar, SH., MS dan Gedeg Bungkul Gila, SH., MH, keduanya Advokat anggota Peradi masing-masing Nomor ..... dan Nomor ...... dari Kantor Hukum Semut Gatel yang berkantor di Jl. Ronggo Kantong Kosong No. 23 Kota Malang.
Lebih lanjut Terdakwa menyatakan bahwa dirinya dalam keadaan sehat dan siap mengikuti persidangan pada hari ini;
Selanjutnya atas perintah Hakim Ketua, Jaksa/Penuntut Umum lalu membacakan Surat Dakwaan tertanggal ........ dengan Nomor Regester Perkara ....0987/PDM/034/Gonjangganjing/11/2011 sebagaimana surat dakwaan terlampir; Sebelumnya kepada Terdakwa diperingatkan oleh Hakim Ketua agar menyimak dengan baik perihahal dakwakan pada Terdakwa;
Atas pertanyaan Hakim Ketua sehubungan dengan surat dakwaan yang telah dibacakan oleh Jaksa/Penuntut Umum tersebut, Terdakwa/Penasehat Hukumnya menyatakan telah mengerti dan akan mengajukan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa/Penuntut Umum tersebeut. Selanjutnya Terdakwa/Penasehat Hukum mohon kepada Hakim Ketua untuk memberikan waktu 7 hari untuk mempersiapkan dan menyusun eksepsi tersebut.
Setelah majelis hakim berunding, Hakim Ketua memutuskan untuk menunda sidang selama 7 hari guna memberi kesempatan kepada Terdakwa/Penasehat Hukum untuk menyusun eksepsinya.
Berhubung dengan itu untuk memberikan kesempatan pada Terdakwa/Penasehat Hukum untuk menyusun eksepsi, maka sidang ditunda sampai hari ........ tanggal ........ jam ...... dengan perintah kepada Jaksa/Penuntut Umum supaya menghadapkan Terdakwa kembali di sidang pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan tersebut di atas.
Setelah itu kemudian oleh Hakim Ketua sidang dinyatakan di tutup.
Demikianlah Berita Acara ini dibuat yang ditanda tangani oleh Hakim ketua dan Panitera Pengganti.
Panitera Pengganti, Hakim Ketua,


( BOGAWAN FININGIT, S.H) (GILABANGET EKOWONG, SH).















BERITA ACARA SIDANG LANJUTAN
No.: ...........................................

Persidangan terbuka Pengadilan Negeri ........ yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa yang dilangsungkan di Ruang ...... gedung yang disediakan untuk keperluan itu pada hari ........ tanggal ............. dalam perkara Terdakwa :

BIL SARGI BIN KUDUS AL JUFRY

Terdakwa ditahan di Rutan ............... sejak tanggal .... s/d sekarang
Adapun susunan persidangan adalah:
.................................................. : Hakim ketua;
.................................................. : Hakim Anggota;
................................................. : Hakim Anggota;
................................................. : Panitera pengganti;
................................................. : Jaksa/Penuntut Umum;
Setelah sidang dibuka oleh Hakim Ketua dan dinyatakan terbuka untuk umum maka atas perintah Hakim Ketua agar Terdakwa dihadapkan masuk ke ruang sidang;
Terdakwa dihadapkan ke ruang sidang dalam keadaan bebas dan tidak diborgol, akan tetapi tetap dijaga dengan baik oleh Petugas.
Para terdakwa didamping oleh Penasehat Hukum bernama Kentut Buyar, SH., MS dan Gedeg Bungkul Gila, SH., MH, keduanya Advokat anggota Peradi masing-masing Nomor ..... dan Nomor ...... dari Kantor Hukum Semut Gatel yang berkantor di Jl. Ronggo Kantong Kosong No. 23 Kota Malang.
Hakim Ketua menanyakan kepada Penasehat Hukum apakah telah siap untuk membacakan eksepsinya di muka persidangan. Setelah Penasehat Hukum menyatakan telah siap, maka Hakim Ketua mempersilakan Tim Pensehat Hukum untuk membacakan eksepsinya di muka persidangan. Kemudian Penasehat Hukum membacakan nota keberatannya tersebut.
Setelah Pensehat Hukum membacakan nota keberatannya terhadap surat dakwaan, penasehat hukum memberikan/menyampaikan eksepsinya tersebut masing-masing pada Majelis Hakim dan Jaksa/Penuntut Umum.
Kemudian Hakim Ketua menanyakan pada Jaksa/Penunut Umum apakah Ia akan mengajukan tanggapannya terhadap eksepsi Penasehat Hukum tersebut.
Jaksa/penuntut umum menyampaikan pada majelis hakim bahwa Ia akan mengajukan tanggapannya, dan mohon diberikan waktu selama 7 hari untuk menyiapkan tanggapannya tersebut.
Setelah majelis hakim berunding, Hakim Ketua memutuskan untuk menunda sidang selama 7 hari guna memberi kesempatan kepada Jaksa/Penunut Umum untuk menyusun tanggapannya terhadap nota keberatan Tim Penasehat Hukum.

Berhubung dengan itu untuk memberikan kesempatan pada Jaksa/Penuntut Umum untuk menyusun tanggapannya, maka sidang ditunda sampai hari ........ tanggal ........ jam ...... dengan perintah kepada Jaksa/Penuntut Umum supaya menghadapkan Terdakwa kembali di sidang pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan tersebut di atas.
Setelah itu kemudian oleh Hakim Ketua sidang dinyatakan di tutup.
Demikianlah Berita Acara ini dibuat yang ditanda tangani oleh Hakim Ketua dan Panitera Pengganti.
Panitera Pengganti, Hakim Ketua,


( BOGAWAN FININGIT, S.H) (GILABANGET EKOWONG, SH).


Catatan:
Demikian BA Sidang dibuat untuk setiap kali sidang, sampai sidang yang terakhir pembacaan vonis.
Mahasiswa akan lebih baik apabila memiliki Berkas Perkara Lengkap suatu Perkara Pidana.

CONTOH PUTUSAN SELA

CONTOH PUTUSAN SELA TINGKAT
PERTAMA DAN TINGKAT BANDING *)
(Putusan Sela yang Mengabulkan Eksepsi PH)

Putusan Sela Pengadilan Negeri Wonosari
Nomor: 22/Pid.B/2002/PN.WNS
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Negeri Wonosari yang memeriksa dan mengadili perkara pidana secara biasa dalam peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sela tersebut di bawah ini dalam perkara terdakwa-terdakwa:
I. YUSRAN
Tempat lahir Palembang, umur 49 tahun, jenis kelamin laki-laki, kewarganegaraan Indonesia, tempat tingggal Klitren No. 641 RT.06 RW.08, Kotagedhe, Yogyakarta, Agama Islam, Pekerjaaan wiraswasta, pendidikan SLTA;
II. JUNAEDI
Tempat lahir Bekasi, umur 35 tahun, jenis kelamin laki-laki, kewarganegaraan Indonesia, tempat tinggal Jalan Tegalgendu, Kotagedhe, RT. 58 RW. 13, Yogyakarta, agama Islam, Pekerjaaan swasta, pendidikan SLTP;
Para terdakwa ditahan oleh:
1. Penyidik sejak tanggal 20 Nopember 2001 s/d 9 Desember 2001;
2. Perpanjangan Penuntut Umum sejak tanggal 10 Desember s/d tanggal 18 Janauari 2002;
3. Perpanjangan dari Ketua Pengadilan Negeri Wonosari sejak tanggal 19 Januari 2002 s/d 17 Pebruari 2002.
4. Penuntut Umum sejak tanggal 16 Pebruari 2002 s/d tanggal 7 Maret 2002;
5. Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri Wonosari sejak tanggal 8 Maret 2002 s/d tanggal 6 April 2002;
6. Ditahan Hakim Pengadilan Negeri Wonosari sejak tanggal 28 Maret 2002 s/d tanggal 26 April 2002.
Terdakwa-terdakwa di persidangan berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 30 Maret 2002 didampingi oleh Drs. M. SOFYAN LUBIS, SH. Penasihat Hukum yang berkantor di Jalan Wonosari Km 7, Yogyakarta. Telp. (0274) 38317.
Pengadilan Negeri tersebut:
Setelah membaca risalah pemeriksaan pendahuluan dan surat-surat lainnya dalam berkas perkara ini;
Setelah membaca risalah pemeriksaan pendahuluan dan surat-surat lainnya dalam berkas perkara ini;
Menimbang bahwa terdakwa-terdakwa oleh Penuntut Umum telah didakwa sebagai berikut:
Bahwa mereka terdakwa I YUSRAN dan terdakwa II JUNAEDI, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri pada hari Sabtu tanggal 17 Nopember 2001 sekira jam 21 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Nopember 2001bertempat di rumah Sukarminingsih di dusun Ngangruk, Kebondalem, Prambanan, Klaten atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Klaten, namun mengingat saksi-saksi banyak yang bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri Wonosari, serta para terdakwa ditahan di daerah hukum Pengadilan Negeri Wonosari, maka berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP, Pengadilan Negeri Wonosari berwenang memeriksa dan mengadili, dengan sengaja menjalankan serupa mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang asli dan tidak dipalsukan , yakni mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang ditiru atau dipalsukan sendiri atau yang pada waktu diterima atau diketahuinya palsu atau dipalsukan atau menyimpan mata uang dan uang kertas negara atau uang kertas bank yang demikian dengan maksud akan mengedarkannya serupa dengan yang asli dan yang tiada dipalsukan sebanyak 189 (seratus delapan puluh sembilan) lembar uang palsu pecahan Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), perbuatan tersebut mereka lakukan dengan cara sebagai berikut:
- Pada hari Rabu tanggal 14 Nopember 2001 terdakwa I dan terdakwa II bertemu dengan Sukarminingsih di rumah Giono (yang sampai saat ini belum tertangkap) yang mana Sukarminigsih meminta terdakwa I dan II untuk mencarikan uang palsu karena mertuanya yang bernama Adi Suyanto als Gino membutuhkan uang palsu. Atas permintaan tersebut terdakwa I dan terdakwa II berusaha mencarikan, selanjutnya pada hari Kamis tanggal 15 Nopember 2001 terdakwa I dan terdakwa II bertemu lagi dengan Sukarminingsih di rumah Giono yang selanjutnya Sukarminingsih mengajak para terdakwa ke rumahnya untuk dipertemukan dengan Adi Suyanto als Gino yang mana dalam pertemuan tersebut Adi Syanto als Gino memberikan uang sebebear Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada terdakwa I untuk ditukarkan dengan uang palsu dan uang sebesar Rp 100.000,- untuk beaya transportasi para terdakwa yang diberikan oleh Sukarminingsih.
- Pada hari Jum’at tanggal 16 Nopember 2001 terdakwa I dan terdakwa II pergi ke Purwokerto untuk menemui seseorang yang bernama Agung Darmanto yang sebelumnya sudah dihubungi oleh para terdakwa dan berjanji untuk bertemu di terminal Purwokerto. Setelah bertemu pada terdakwa di beri uang 1 amplop berisi uang palsu pecahan Rp 50.000,- senilai Rp 10.000.000,- oleh Agung Darmanto yang mana oleh para terdakwa uang palsu yang diterimanya tidak dihitung dan selanjutnya dengan disaksikan terdakwa II, terdakwa I menyerahkan uang sebesar Rp. 1.000.000,- kepada Agung Darmanto yang mana setelah mendapat uang palsu tersebut para terdakwa kembali lagi ke Yogyakarta.
- Pada hari Sabtu tanggal 17 Nopember 2001 setelah tiba di Yogyakarta sekitar jam 17.00 WIB para terdakwa ditelepon oleh Sukarminingsih yang mengatakan kalau sudah mendapat uang palsu agar segera menyerahkan kepada Sukarminingsih. Kemudian sekitar jam 21.00 WIB terdakwa I dan terdakwa II menyerahkan uang palsu kepada Sumarminingsih pecahan Rp 50.000,- senilai Rp 7.500.000,- yang kemudian diserahkan kepada Adi Suyanto als Gino dan ternyata uang palsu tersebut tidak berjumlah 150 lembar namun berjumlah 146 lembar, sedangkan sisanya uang palsu pecahan Rp 50.000,- senilai Rp 2.5000.000,- dan ternyata berjumlah 43 lembar tetap dibawa dan disimpan oleh terdakwa II yang kemudian setelah menyerahkan uang palsu tersebut para terdakwa pulang.
- Pada hari Senen tanggal 19 Nopember 2001 datang ke rumah Suarminingsih petugas Polres Gunungkidul yang sebelumnya mendapat informasi untuk melakukan penangkapan terhadap Sukarminingsih diminta untuk menghubungi terdakwa I dan terdakwa II agar datang ke rumah Sukarmingsih, yang tidak lama kemudian para terdakwa datang dan saat itu juga dilakukan penangkapan terhadap terdakwa I dan terdakwa II, dan ketika dilakukan penangkapan terhadap terdakwa I dan terdakwa II dan ketika dilakukan pemeriksaan pada diri terdakwa II diketemukan uang palsu pecahan Rp 50.000,- sebanuak 43 lembar yang disimpan dalam tas pinggang kulit warna hitam yang dibawa terdakwa , dan berasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Barang Bukti Uang Palsu Pusat Laboratorium Forensik Polri Laboratorium Forensik Cabang Semarang No. Lab: 788/DUF/2001 tanggal 4 Desember 2002 uang dibuat dan ditandatangani oleh Achmad Riharto, Ssi Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Nrp. 51010156, Kepala Satuan Balisitik Metalurgi Dokumen dan Uang Palsu Forensik bahwa:
 2 (dua ) lembar uang kertas rupiah RI pecahan 50.000 .... dst (tidak disalin oleh penulis)
 1 (satu) lembar uang kertas rupiah pecahan Rp. 50.000,- ...... dst .... (tidak disalin oleh penulis);
 23 (dua puluh tiga) lembar uang kertas rupiah RI pecahan Rp 50.000,- ... dst ...... (tidak disalin)
 43 (empat puluh tiga) lembar uang kertas rupiah ROI pecahan Rp 50.000,- .......... dst .... (tidak disalin)
 120 (seratus dua puluh) lembar uang kertas rupiah RI pecahan Rp 50.000,- ....... dst. ....... (tidak disalin)
Adalah palsu.
Kepalsuan tersebut merupakan hasil cetak printer ink jet berwarna.
Perbuatan terdakwa I dan terdakwa II sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 245 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menimbang bahwa, dalam menanggapi Surat Dakwaan tersebut Penasihat Hukum para terdakwa telah mengajukan eksepsinya tertanggal 6 April 2002 yang pada pokoknya telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
- Bahwa Penasihat Hukum para terdakwa keberatan terhadap hasil Berita Acara Penyidikan (BAP) dari Kepolisian yang dijadikan dasar pembuatan surat dakwaan oleh jaksa/Penuntut Umum terhadap diri para terdakwa, karena selama proses pemeriksaan (BAP) di tingkat penyidikan kepolisian Gunung Kidul para terdakwa tidak didampingi oleh Penasihat Hukum;
- Bahwa khusus untuk sangkaan/dakwaan yang diancam dengan hukuman maksimum 15 tahun penjara sebagaimana sekarang didakwakan kepada para terdakwa, para tersangka bukan hanya diberitahu oleh penyidik akan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum seperti dimaksud di dalam Pasal 54 KUHAP, melainkan lebih dari pada itu, yaitu para tersangka harus menerima haknya untuk mendapatkan bantuan hukum sejak dari proses penyidikan seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP, kewajiban untuk menunjuk Penasihat Hukum seperti dimaksud Pasal 56 ayat (1) KUHAP tersebut adalah bersifat imperatif;
- Menimbang khusus untuk Pasal 56 ayat (1) KUHAP, Penyidik tidak hanya wajib memberitahukan atas hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum, namun penyidik wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi tersangka, namun kemudian jika terjadi setelah penunjukan Penasihat Hukum oleh Penyidik, tersangka menolak untuk didampingi Penasihat Hukum, hal penolakan tersangka itu hendaknya terjadi setelah Penyidik melaksanakan kewajibannya menunjuk Penasihat Hukum, dan jika memang ada penolakan tersangka untuk didampingi Penasihat Hukum, demi terciptanya kejujuran didalam proses penegakan hukum, penolakan oleh tersangka itu hendaknya dilakukan dan/atau diketahui langsung di hadapan Penasihat Hukum yang telah ditunjuk oleh Penyidik;
- Bahwa adapun yang menjadi kebiasaan penyidik selama ini yang membuat dan mendapatkan “Surat Pernyataan tersangka yang tidak bersedia didampingi Penasihat Hukum” sesungguhnya keberadaan Surat Pernyataan tersebut tidak dapat melumpuhkan ketentuan Undang-undang seperti yang dimaksud di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP.
- Bahwa Jaksa/Penuntut Umum yang menjerat para tersangka dengan Pasal 245 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun, mengharuskan penyidik memperhatikan dalam melakukan penyidikan terdahadap diri para terdakwa, dan dalam tahap konsultasi penyidik dengan jaksa / penuntut umum di dalam menangani perkara tersebut jaksa/penunutut umum semestinya dapat mengingatkan penyidik tentang hak para tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP tersebut. Namun hal tersebut diduga kuat tidak dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum oleh karena itu Jaksa/Penuntut Umum tidak bisa melepaskan tanggung jawab terhadap pelanggaran “Miranda Rule” seperti dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP.
- Bahwa dengan tidak ditunjuknya Penasihat Hukum oleh Penyidik terhadap diri para terdakwa, maka penyidik telah melakukan pelanggaran terhadap hak terdakwa, khususnya telah melanggar Pasal 56 ayat (1) KUHAP, dengan demikian penyidik telah melakukan pelanggaran yang prinsipil yaitu pelanggaran terhadap hukum acara pidana yang merupakan rule of the game dalam menegakkan hukum pidana, sehingga hasil BAP Penyidik yang dijadikan dasar penyusunan surat dakwaan oleh jaksa/penuntut umum adalah tidak berdasarkan hukum;
- Bahwa mengingat Miranda Rule yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP bersifat imperatif, maka mengabaikan ketentuan ini mengakibatkan ‘tuntutan jaksa/penuntut umum tidak dapat diterima dan mengakibatkan hasil penyidikan tidak sah atau ilegal, hal mana pendirian penerapan yang demikian telah dikukuhkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI yaitu No. 1565K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993, dalam kasus ini proses pemeriksaan penyidikan melanggar Pasal 56 ayat (1) KUHAP, yakni penyidikan berlanjut terhadap tersangka tanpa didampingi Penasihat Hukum;
- Atas uraian keberatan tersebut di atas dan atas dasar pasal 56 ayat (1) KUHAP dan (2) KUHAP, maka dengan ini Penasihat Hukum para terdakwa mohon kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara ini agar berkenan menetapkan dan memutuskan sebagai berikut:
1. Menerima dalil-dalil serta alasan-alasan yang kami uraikan dalam eksepsi ini atau keberatan kami atas surat dakwaan jaksa / penunut umum;
2. Menyatakan hasil Berita Acara Penyidikan (BAP) oleh penyidik dari Polres Gunung Kidul terhadap terdakwa I dan terdakwa II melanggar Pasal 56 ayat (1) KUHAP dan BAP tersebut batal demi hukum dan/atau dibatalkan;
3. Menyatakan Surat Dakwaan jaksa / penuntut umum terhadap terdakwa I dan terdakwa II dalam perkara pidana No. 22/Pid.B/2002/PN Wns. Batal demi hukum dan/atau dibatalkan;
4. Demi hukum memerintahkan jaksa/penuntut umum untuk segera mengeluarkan terdakwa I dan terdakwa II dari tahanan;
Menimbang bahwa atas eksepsi Penasihat Hukum para terdawa tersebut, penuntut umum telah menanggapi secara tertulis tertanggal 11 April 2002 yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa ketentuan Pasal 56 KUHAP tidak dapat dilepaskan dari Pasal 114 KUHAP beserta penjelasannya, bahwa Pasal 114 KUHAP itu sendiri berbunyi “Dalam hal seseorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh Penasihat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56”. Untuk lebih memperjelas apa maksud ketentuan Pasal 114 KUHAP tersebut, team Penasihat Hukum harus membaca, dan memahami dengan seksama penjelasan Pasal 114 KUHAP yang berbunyi “untuk menjujung tinggi hak asasi manusia, maka sejak dalam taraf penyidikan kepada tersangka sudah dijelaskan bahwa tersangka berhak didampingi penasihat hukum pada pemeriksaan di sidang pengadilan”. Setelah mencermati dan memahami dengan seksama ketentuan Pasal 114 KUHAP beserta penjelasannya, maka jelas sudah maksud ketentuan Pasal 114 ini, yaitu dalam taraf penyidikan, penyidik hanya berkewajiban memberitahukan kepada tersangka tentang hak-haknya mengenai bantuan hukum;
- Bahwa sehubungan dengan perkara ini penyidik Polres Gunungkidul telah memberitahukan hak-hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum dan telah melakukan penunjukan penasihat hukum untuk mendampingi para terdakwa dalam taraf penyidikan, hal ini sesuai dengan surat penunjukan penasihat hukum dari Polres Gunung Kidul Nomor: B/78/XI/2001/serse tanggal 19 Nopember 2001 dan B/79/XI/2001/serse tanggal 19 Nopmeber 2001 kepada penasihat hukum sdr. .......................... di Yogyakarta, namun para terdakwa setelah dilakukan penunjukan tersebut menolak untuk didampingi Penasihat Hukum tersebut, penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, hal ini sebagaimana pernyataan para tersakwa dalam berita acara pemeriksaan tersangka pada pertanyaan penyidik dan jawaban tersangka pada butir 3 dan 4, mengingat para tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHAP dan selanjutnya para terdakwa juga membuat pernyataan tertulis, demikianlah penunjukan penasihat hukum dan prosedur demikian sah menurut KUHAP, mengingat tidak ada satupun ketentuan di dalam KUHAP yang mengatur prosedur penunjukan penasihat hukum oleh penyidik;
- Bahwa surat penunjukan penasihat hukum dari Polres Gunungkidul tidak terlampir di dalam berkas perkara, karena berpendapat para terdawa telah menolak untuk didampingi penasihat hukum sebagaimana tertuang di dalam Berita Acara Pemeriksaan para tersangka dan Surat Pernyataan dari para terdakwa, namun karena dalam eksepsinya Penasihat Hukum para terdakwa mempermasalahkan tidak adanya penunjukan penasihat hukum yang dilakukan penyidik, maka dalam tanggapan eksepsi jaksa penuntut umum ini, Surat Penunjukan penasihat hukum dari Polres Gunungkidul ditunjukan (terlampir surat penasihat hukum dan bukti pengiriman surat penunjukan penasihat hukum dari Polres Gunungkidul telah diterima oleh Penasihat Hukum ..........................) dengan demikian tindakan penyidik di dalam melakukan penyidikan dalam perkara ini telah sesuai dengan ketentuan KUHAP sehinggi BAP Kepolisianm sah menurut hukum;
Mengingat ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP dan Pasal 156 KUHAP maka jaksa penuntut umum mohon kepada Majelis Hakim dalam perkara ini menerima seluruh tanggapan eksepsi dari jaksa penuntut umum dan berkenan pula memutuskan:
1. Menolak secara keseluruhan dalil-dalil yang dikemukakan dalam eksepsi Penasihat Hukum dan menerima secara keseluruhan dalil-dalil yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum dalam tanggapan eksepsi ini.
2. Menyatakan bahwa Surat Dakwaan jaksa Penuntut Umum telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP;
3. Menyatakan eksepsi penasihat hukum tidak dapat diterima dan sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan alat bukti.
Menimbang, bahwa atas tanggapan jaksa penuntut umum tersebut penasihat hukum para terdakwa dalam tanggapannya secara lisan menyatakan tetap pada eksepsinya semula dan juga memperjelas ada tidaknya Penasihat Hukum yang pernah ditawarkan dan bertemu dengan para terdakwa dalam proses penyidikan, penasihat hukum terdakwa mohon kepada Majelis hakim untuk mengkorfirmasikan kepada para terdakwa tentang kebenaran tersebut;
Menimbang, bahwa selanjutnya apakah eksepsi Penasihat Hukum para terdakwa berdasar hukum atau tidak, maka Majelis Hakim akan menilai argumentasi hukum tersebut dengan mendasarkan pertimbangan hukumnya sebagai berikut:
Menimbang, bahwa terdakwa I dan terdakwa II oleh Penuntut Umum telah didakwa melanggar Pasal 245 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun, dengan demikian ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP berlaku mutlak bagi terdakwa I dan II dan kewajiban untuk menunjuk penasihat hukum seperti dimaksud adalah imperatif atau wajib atau dengan kata lain sangat perlu;
Menimbang, bahwa menurut penasihat hukum para terdakwa berasumsi selama proses pemeriksaan (BAP) di tingkat penyidikan Kepolisian Gunungkidul, para terdakwa tidak didampingi oleh penasihat hukum, namun jika kemudian terjadi setelah ada penunjukan penasihat hukum oleh penyidik, tersangka menolak untuk didampingi penasihat hukum, hal penolakan tersangka itu hendaknya terjadi setelah penyidik melaksanakan kewajibannya menunjuk penasihat hukum dan jika memang ada penolakan tersangka untuk didampingi penasihat hukum, demi tercapainya kejujuran di dalam proses penegakan hukum, penolakan oleh tersangka itu hendaknya diketahui dan atau diketahui langsung dihadapan penasihat hukum yang telah ditunjuk oleh penyidik;
Menimbang, bahwa sebaliknya penuntut umum dalam tanggapan atas eksepsi penasihat hukum para terdakwa berasumsi penyidik Polres Gununmgkidul telah memberitahukan hak-hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum dan telah melakukan penunjukan penasihat hukum untuk mendampingi para terdakwa dalam tahap penyidikan, hal ini sesuai dengan Surat Penunjukan penasihat hukum dari Polres Gunungkidul No. B/78/XI/2001/Serse dan B/79/XI2001 Serse keduanya tertanggal sama 19 Nopember 2001 yang ditujukan kepada penasihat hukum saudara ................... di Yogyakarta, namun para terdakwa setelah dilakukan penunjukan tersebut menolak didampingi oleh penasihat hukum yang selanjutnya atas penolakan untuk didampingi penasihat hukum tersebut penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, hal ini sebagaimana pernyataan para tersangka dalam Berita Acara Penydikan pada pernyataan penyidik dan jawaban tersangka pada butir 3 dan 4, mengingat para tersangka berhak mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) KUHAP dan selanjutnya para terdakwa juga membuat pernyataan tertulis;
Menimbang, bahwa dari fakta tersebut menurut hemat majelis timbul permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah dalam taraf proses penyidikan di Polres Gunungkidul, pihak penyidik telah melaksanakan kewajibannya sebagaimana diwajibkan sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) KUHAP telah benar-benar melaksanakan penunjukan penasihat hukum bagi para tersangka?
2. Apakah dalam proses penyidikan di Polres Gunungkidul para tersangka pernah dipertemukan dengan penasihat hukum yang bernama ..................... atau tidak dan apakah benar ataukah tidak para terdakwa telah menandatangani surat pernyataan tertulis tertanggal 21 Nopember 2001 yang berisi menolak untuk didamp-ingi oleh penasihat hukum tersebut?
Menimbang, bahwa untuk memperjelas permasalahan tersebut diatas Majelis Hakim di persidangan menggali konfirmasi / ketegasan dari para terdakwa dan dari para terdawaka telah diperoleh konfirmasi bahwa selama proses penyidikan di Polres Gunungkidul tidak pernah dipertemukan maupun bertemu secara langsung dengan penasihat hukum yang bernama ......................, demikian pula para terdakwa setelah ditujukkan surat pernyataan tertanggal 21 Nopember 2001 (vide terlampir dalam berkas perkara) yang berisi menolak untuk didampingi penasihat hukum dari kedua terdakwa, ternyata kedua terdakwa merasa tidak pernah menandatangani kedua surat pernyataan tersebut;
Menimbang, bahwa dari fakta tersebut di atas Majelis menilai meskipun secara sepihak tentang penunjukan penasihat hukum untuk mendampingi para terdakwa dalam proses penydikan di Polres Gunungkidul, tetapi secara kenyataan tidak pernah ditindaklanjuti dengan kewajiban hukum tersebut;
Menimbang, oleh karena ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP bersifat imperatif, maka dengan tidak didampinginya para terdakwa selama proses penyidikan oleh penasihat hukum mengakibatkan hasil penyidikan (BAP) atas diri para terdakwa tidak sah, sehingga dengan demikian tuntutan jaksa penuntut umum yang didasarkan dan dibuat atas Berita Acara Penyidikan yang tidak sah harus dinyatakan tidak dapat diterima, dan dalam hal ini Majelis sependapat dengan argumentasi penasihat hukum para terdakwa, sehingga dengan demikian eksepsi penasihat hukum para terdakwa tersebut haruslah dinyatakan diterima;
Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi penasihat hukum para terdakwa diterima, maka pemeriksaan perkara pidana atas nama para terdakwa haruslah dihentikan dan oleh karena tidak ada dasar hukum untuk menahan para terdakwa haruslah segera dikeluarkan dari tahanan;
Memperhatikan kententuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan perkara ini;
MENGADIULI
• Menerima eksepsi penasihat hukum para terdakwa;
• Menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima;
• Menetapkan menghentikan pemeriksaan perkra pidana atas nama terdakwa I YUSRAN dan terdakwa II JUNAEDI tersebut;
• Memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk segera mengeluarkan para terdakwa tersebut dari tahanan;
Demikianlah diputuskan dalam permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wonosari pada hari Senen, tanggal 15 April 2002, dengan susunan Majelis: G.A WARDOYO, SH. Sebagai hakim ketua, WILLEM IZAAK PARINUSA dan YULIANTO JOKO PRATOMO, SH masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari itu juga, Senen tanggal 15 April 2002 dengan susunan majelis yang sama, dibantu Hartono, Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut, dihadiri pula oleh jaksa penuntut umum pada kejaksaan negeri Wonosari dan hadirnya para terdakwa dan kuasa hukumnya.
*) Disalin dari buku “Pelanggaran Miranda Rule Dalam Praktik Peradilan”, oleh Drs. M. Sofyan Lubis, S.H., Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2003.













PUTUSAN PENGADILAN TINGGI YOGYAKARTA
NO. 03/PID/PLW/2002/PTY *)

DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam tingkat banding telah menjatuhkan putusan sebagai tersebut di bawah ini dalam perkara terdakwa:
1. Nama : YUSRAN;
Tempat lahir : Palembang;
Umur/tanggal lahir : 49 tahun/ 19 januari 1953;
Jenis kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat tinggal : Kitren No. 641 RT. 36 Rw. 08 Kotagedhe,
Yogyakarta;
Agama : Islam;
Pekerjaan : Swasta;
Pendidikan : SLTA;
2. Nama : JUNAEDI;
Tempat lahir : Bekasi;
Umur / tanggal lahir : 35 tahun / 25 Pebruari 1967;
Jenis kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat tinggal : Jl. Tegal Gendu, Kotagedhe, Rt. 58 Rw. 13,
Yogyakarta;
Agama : Islam;
Pekerjaan : Swasta;
Pendidikan : SLTP tamat;
Terdakwa ditahan oleh:
1. Penyidik sejak tanggal 20 Nopember 2001 s/d 9 Desember 2001;
2. Perpanjangan penuntut umum sejak tanggal 10 Desember 2001 s/d 18 Januari 2002;
3. Perpanjangan dari Ketua Pengadilan Negeri Wonosari sejak tanggal 19 Januari 2002 s/d tanggal 17 Pebruari 2002;
4. Penuntut umum sejak tanggal 16 Pebruari 2002 s/d tanggal 7 Maret 2002;
5. Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri Wonosari sejak tanggal 8 Maret 2002 s/d tanggal 6 April 2002;
6. Ditahan Hakim Pengadilan Negeri Wonosari sejak tanggal 28 Maret 2002 s/d tanggal 26 April 2002;
7. Bahwa terdakwa diluar tahanan sejak tanggal 15 April 2002, berdasarkan surat penetapan dari ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN Wns.;
Pengadilan Tinggi tersebut ;
Membaca berturut-turut:
I. Berkas perkara ini dan salinan resmi putusan sela Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN Wns. yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
• Menerima Eksepsi penasihat hukum para terdakwa;
• Menyatakan tuntutan jaksa penuntut umu tidak dapat diterima;
• Menetapkan menghentikan pemeriksaan perkara pidana atas nama terdakwa I YUSRAN dan terdakwa II JUNAEDI tersebut;
• Memerintahkan kepada jaksa penunutut umum untuk segera mengeluarkan para terdakwa tersebut dari tahanan;
II. Akta perlawanan yang dibuat oleh B. TUKIDJO Panitera Pengadilan Negeri Wonosari yang menerangkan bahwa jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Wonosari yang menerangkan bahwa jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Wonosari pada tanggal 19 April 2002 mengajukan perlawanan terhadap putusan Pengadilan Negeri Wonosari tersebut;
III. Akta pemberitahuan permintaan perlawanan untuk Kuasa terdakwa pada tanggal 24 April 2002;
IV. Perlawanan jaksa penuntut umum terhadap putusan sela majelis hakim Pengadilan negeri Wonosari tanggal 23 April 2002, dan telah disampaikan kepada Kuasa terdakwa pada tanggal 24 April 2002;
V. Kontra memorie perlawanan yang diajukan oleh Kuasa terdakwa tanggal 27 April 2002, dan diterima oleh Panitera Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 27 April 2002 dan telah diberitahukan kepada jaksa penuntut umum tanggal 29 April 2002;
VI. Surat pemberitahuan mempelajari berkas perkara masing-masing tertanggal 27 April 2002 yang menerangkan bahwa kepada jaksa penuntut umum dan kepada kuasa terdakwa telah diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara;
VII. Dakwaan jaksa penuntut umum tertanggal 18 Maret 2001 No. Reg.Per.PDM-06/Wnsari/02/2002, kepada terdakwa sebagai berikut:
Bahwa ......... dst .............. (seluruh surat dakwaan tidak disalin oleh penulis)
Menimbang, bahwa atas putusan sela Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN Wns., jaksa penuntut umum telah mengajukan perlawanan pada tanggal 19 April 2002 melalui Panitera Pengadilan Negeri Wonosari, selanjutnya diikuti dengan penyerahan alasan-alasan perlawanannya tanggal 23 April 2002;
- Bahwa setelah dibaca dengan cermat isi alasan-alasan perlawanan dari jaksa penuntut umum tersebut tidak ada hal-hal yang baru yang perlu dipertimbangkan secara khusus dalam pemeriksaan perlawanan ini, hanyalah berupa pengulangan kembali / penegasan mengenai hal-hal yang telah dikemukakan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Wonosari, oleh karenanya pemeriksaan perlawanan semata-mata berdasarkan hasil pemeriksaan perkara ini di pengadilan tingkat pertama pada persidangan di Pengadilan Negeri Wonosari;
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta mempelajari dan meneliti dengan seksama berkas perkara yang diajukan perlawanan yang terdiri dari berita acara penyidikan, berita acara pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri Wonosari dan surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara ini serta salinan resmi putusan sela Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN Wns., berkesimpulan sebagai berikut:
- Bahwa walaupun putusan ini merupakan putusan atas keberatan dari Penasihat Hukum terdakwa, sehingga merupakan putusan sela, akan tetapi karena isi putusan tersebut adalah menerima keberatan dari Penasihat Hukum terdakwa, maka putusan tersebut menjadi putusan akhir, bukan putusan sela;
- Bahwa pertimbangan hukum dalam putusan majelis hakim tingkat pertama sepanjang mengenai telah terbuktinya secara sah dan meyakinkan keberatan penasehat hukum terdakwa dan menyatakan tuntutan jaksa penuntu umum tidak dapat diterima, sudah tepat dan benar sehingga majelis hakim Pengadilan Tinggi dapat menyetujuinya selanjutnya diambil alih sebagai salah satu pertimbangan hukum sendiri dalam memeriksa dan memutus perlawanan ini;
- Bahwa pertimbangan hukum lainnya dapatlah dikemukakan sebagai berikut:
Menimbang, bahwa perkara ini telah disidik oleh penyidik Polisi Republik Indonesia berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Pol: Sp.Sidik / 72/XI/XI/2001/Serse tanggal 20 Nopember 2001 dan dilaporkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Wonosari tanggal 20 Nopember 2001 (SPDP) No. B/72/XI/2001/Serse dengan diterangkan bahwa penyidikannya telah mulai pada tanggal 16 Nopember 2001, dengan rujukan selain Surat Perintah Penyidikan tersebut juga laporan polisi No. Pol.: LP/K/26/XI/2001/Sek. Semanu tanggal 19 Nopember 2001.
Menimbang, bahwa pemeriksaan terhadap terdakwa YUSRAN oleh Penyidik Pembantu ...................... pada tanggal 19 Nopember 2001, sedangkan pemeriksaan terhadap terdakwa JUNAEDI oleh Penyidik pembantu ................ pada tanggal 20 Nopember 2001, dimana pada pemeriksaan kedua terdakwa tersebut oleh Penyidik pembantu tidak pernah dijelaskan kepada para terdakwa tersebut bahwa penyidik telah menunjuk seorang Penasihat Hukum dan sekaligus memperkenalkan kepada para terdakwa, yang akan mendampingi para terdakwa selama pemeriksaan perkaranya ditingkat penyidikan, bahwkan surat penunjukan sebagai Penasehat Hukum para terdakwa tanggal 19 Nopember 2001 No. Pol. B/78/XI/2001/Serse dan B/79/XI/2001/Serse tidak pernah dilampirkan dalam berkas penyidikan oleh penyidik;
Menbimbang, bahwa mengenai surat pernyataan yang dibuat oleh para terdakwa tanggal 21 Nopember 2001 yang fotocopynya dilampirkan dalam berkas, hal itu tidak sesuai dengan isi Pasal 56 KUHAP, sebab tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun, sehingga para terdakwa memerlukan atau tidak memerlukan didampingi penasihat hukum, apabila para terdakwa tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, maka penyidik wajib menunjuk penasihat hukum selama proses penyidikan, maka surat pernyataan tersebut tidak menghapuskan kewajiban penyidik tersebut, disamping pembuatanya seharusnya sebelum para terdakwa mulai diperiksa;
Menimbang, bahwa dengan pertimbangan tersebut di atas, maka yang menjadi pertanyaan ialah kapan sebenarnya penyidik mulai melakukan penyidikan dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa kalau mengacu kepada Surat Perintah Penyidikan No. Pol.: Sp. Sidik/72/XI/2001/Serse tanggal 20 Nopember 2001, maka surat penunjukan penasihat hukum tanggal 19 Nopember 2001 No. Pol. B/78/XI/2001/Serse dan B/79/XI/2001/ Serse telah dilakukan oleh penyidik sebelum dimulainya penyidikan, begitu pula pemeriksaan terhadap terdakwa YUSRAN;
- Bahwa akan tetapi kalau mengacu pada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri Wonosari yang menyatakan penyidikan sudah dimulai tanggal 6 Nopmebr 2001 maka penyidikan tersebut telah dimulai sebelum adanya laporan polisi;
- Bahwa dengan demikian terjadi ketidakpastian mengenai dasar hukum penyidik melakukan tindakan-tindakan dalam rangka penyidikan perkara ini;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan sebagaimana telah dikemukakan dalam Putusan majelis Hakim tingkat pertama yang telah diambil alih oleh Majelis Hakim tingkat banding ditambah dengan pertimbangan-pertimbangan diuraikan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan, penyidikan yang dilakukan penyidik sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Penyidikan tidak memenuhi syarat sebagaimana diharuskan dalam KUHAP, terutama Pasal 56, oleh karenanya Berita Acara Penyidikan tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum;
Menimbang, bahwa dengan demikian maka perlawanan Jaksa Penuntut Umum atas putusan sela Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2001/PN Wns haruslah dinyatakan ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena para terdakwa berada dalam tahanan, maka perlu diperintahkan para terdakwa segera dibebaskan dari tahanan;
Menimbang, bahwa mengenai beaya perkara ini sepenuhnya dibebankan kepada negara;
Menimbang, bahwa dari semua pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka putusan Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN.Wns. perlu diperbaiki, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagaimana tersebut dibawah ini;
Mengingat akan pasal-pasal yang telah disebutkan dimuka, juga pasal-pasal yang diatur dalam Bab VI KUHAP dan Bab XVI bagian Ketiga KUHAP;
MENGADILI
 Menolak perlawanan jaksa penuntut umum;
 Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN Wns., sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. Menerima eksepsi dari penasihat hukum para terdakwa;
2. Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Penyidikan batal demi hukum;
3. Menyatakan jaksa penuntut umum terhadap para terdakwa yang berdasarkan berita acara penyidikan yang batal demi hukum tidak dapat diterima;
4. Memerintahkan agar para terdakwa dibebaskan dari tahanan;
5. Membebankan semua beaya perkara ini kepada negara;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Senen tanggal 20 Mei 2002 oleh kami M. BAEDHOWIE HS, SH. Sebagai hakim Ketua majelis dengan H. ASNGAD DAMANHURI, S.H dan H. SOEDARMADJI, S.H. masing-masing sebagai Hakim Anggota majelis, berdasarkan penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta tanggal 4 Mei 2002 No. 03/Pen.Pid/2002/PTY ditunjuk sebagai Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara ini dalam tingkat banding dan putusan tersebut diucapkan pada hari itu juga oleh Hakim ketua majelis di dalam persidangan yang terbuka untuk umum, yang didampingi oleh para Hakim Anggota majelis tersebut dan dihadiri oleh SUBAGIYO Panitera Pengganti akan tetapi tidak dihadiri oleh jaksa penuntut umum maupun para terdakwa;
*) Disalin dari buku “Pelanggaran Miranda Rule Dalam Praktik Peradilan”, oleh Drs. M. Sofyan Lubis, S.H., Peneribit Liberty Yogyakarta, 2003.

Kamis, 31 Maret 2011

TANGGAPAN BUKU LEMBAGA PK

TANGGAPAN BERBAGAI PIHAK TERHADAP BUKU “LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI (PK) PERKARA PIDANA PENEGAKAN HUKUM DALAM PENYIMPANGAN PRAKTIK & PERADILAN SESAT” OLEH ” Drs. H. ADAMI CHAZAWI, S.H ------------------------------------------------------------------------ ----------------------------------------------------------------------- PERTAMA: TANGGAPAN PROF. DR. MULADI, SH PADA ACARA PELUNCURAN BUKU PROF. DR. MULADI, S.H. Buku Sdr. H. Adami Chazawi di atas pada dasarnya memuat dua hal penting, yang oleh penulis dikategorikan sebagai tragedi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Dua hal tersebut adalah sebagai berikut. a. Adanya peradilan sesat (miscarriage of justice) yang menyangkut pemidanaan orang yang tidak bersalah; b. PK oleh Jaksa yang sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legislated envionment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana. Saya sangat setuju substansi buku ini ditulis dan disebarluaskan, karena menurut Penulis merupakan kritik terhadap dilanggarnya prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intelectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran (truth) dan bukan melakukan pembenaran (justification). Secara jujur sebenarnya harus diakui bahwa sekalipun KUHAP diundangkan pada tahun 1981 (UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 – 76) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis (Orde Baru), namun banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang menggambarkan “due processs of law” dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya yang didasarkan atas atmosfir colonial seperti HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement (S.1941-44). Sistem Inkuisitur yang sangat tidak adil banyak dipengaruhi dengan hal-hal yang positif, sehingga sistem KUHAP banyak yang menyebutnya “gematige inquisitoir”, yang mulai memperbaiki hak-hak tersangka, seperti pengaturan tentang pra peradilan, kewajiban pendampingan oleh penasehat hukum dan sebagainya. Namun disana sini masih terjadi praktik-praktik pelanggaran hak-hak tersangka karena ada peluang untuk menafsirkan lain. Di era demokratisasi yang dicanangkan sejak tahun 1998 melalui gerakan reformasi, nantinya tidak boleh lagi ada peluang untuk terjadinya “miscarriage of justice”, “malpractice of law” dalam bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum acara pidana, karena apa yang dinamakan “supremasi hukum”, keberadaan hukum yang aspiratif dan kekuasaan kehakiman yang merdeka serta jaminan terhadap promosi dan perlindungan hak-hak azasi manusia (HAM) merupakan empat dari sekian banyak nilai-nilai dasar (core values) demokrasi. Di dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum (law enforcement) terdapat apa yang dinamakan “area of no enforcement”, dimana kekuasaan Negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Dalam penegakan hukum pidana harus selalu dijaga kesetaraan antara hak-hak Negara untuk memberantas kejahatan (crime control) yang harus efisien dan efektif, dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, hak-hak dasar warganegara yang harus dilindungi (due process of law). Di dalam “area of no enforcement” itulah hukum acara pidana harus ditegakkan secara pasti agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) aparat penegak hukum. Prinsip demokrasi, supremasi hukum dan promosi serta perlindungan HAM merupakan prasyarat untuk bebas hidup bermartabat (freedom to live in dignity), disamping bebas dari kemiskinan (freedom from want) dan bebas dari rasa takut (fredom from fear). Kehidupan hukum baik dalam ranah pembuatan hukum (law making proces), penegakan hukum (law enforcement) dan pembangunan kesadaran hukum (law awareness) tidak boleh merefleksikan hukum sebagai perintah penguasa (the command of the sovereign), tetapi harus peka terhadap masalah-masalah keadilan dan keadilan sendiri mengandung makna berupa sikap tidak memihak (impartiality) kepada siapa saja termasuk kepada penguasa yang memperoleh kekuasaannya dari rakyat. Pernyataan bahwa “law is simply politics” tidak dapat disangkal, tetapi politik dalam arti demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam sistem peradilan pidana terdapat dua nilai yang harus ditegakkan secara simultan yaitu pertama, “professed values” yang diproklamasikan dengan jelas dalam perundng-undangan, dan kedua, “underlying values” yang sekalipun tidak diproklamasikan tetapi turut mengendalikan system peradilan pidana yakni nilai-nilai “good governance” seperti supremasi hukum, effisiensi, transparansi, effektivitas, poprorsionalitas, “fair play” dan sebagainya. Dalam rangka kerangka teoritik dan konseptual di atas buku Sdr. Drs. H. Adami Chazawi, S.H dengan judul “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana” menjadi relevan dan penting untuk dibaca dan saya yakin buku ini akan memiliki signifikansi baik teoritis maupun praktis bagi yang berkepentingan. Jakarta, 8 Maret 2010. ttd PROF. DR. MULADI, S.H. -------------------------- ------------------------- KEDUA: Ketua Komisi III DPR: Tak ada alasan revisi KUHAP Kamis, 25/03/2010 18:24:07 WIBOleh: John A. Oktavery JAKARTA (Bisnis.com): Ketua Komisi III DPR Benny K. Harman menilai tidak ada alasan untuk merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) guna melegalkan peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh aparat hukum.Pendapat Benny K. Harman dikemukakan berkaitan dengan buku karya Adami Chazawi dengan judul “Lembaga Peninjauan Kembali Pidana, yang diluncurkan beberapa waktu lalu.Menurut Benny, hak PK hanya untuk terdakwa ataupun keluarganya sebagaimana yang telah diatur dalam salah satu pasal di KUHAP."Jika aturannya sudah jelas yang tidak perlu ada revisi. Aturan yang sudah benar harus dijalankan tanpa terkecuali. Apalagi, KUHAP sudah menentukan hak untuk mengajukan PK itu ada pada terpidana bukan pada Jaksa penuntut umum," ujarnya hari ini.Benny menilai Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan PK. Bila terjadi, lanjutnya, harus ada ketegasan untuk menolaknya, terutama dari Mahkamah Agung."Mestinya Mahkamah Agung menolak, tapi kan MA tidak bisa hanya menjadi corong UU , dia juga bisa menyampingkan Undang-Undang untuk menegakkan keadilan," katanya.Pakar hukum pidana asal Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mengemukakan PK yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak ada landasan hukumnya."MA harus menjaga tatanan hukum agar tidak ada lagi penyimpangan," katanya.Dia pun mengatakan aturan PK sudah sangat jelas dan itu merupakan upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada terdakwa dan keluarga atas kekeliruan. "Oleh karenanya tidak bisa ini dilakukan oleh aparat hukum,"Jika ini dilakukan, menurutnya, upaya hukum lanjutan bagi aparat akan berjalan empat tingkatan mulai dari tingkat I, banding, kasasi hingga PK dan itu hanya bisa dilakukan oleh terdakwa.Pakar hukum Muladi dalam sambutan tertulis pada saat peluncuran buku tentang PK pada beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dia setuju pendapat penulis buku Adami Chazawi bahwa PK oleh jaksa sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legisted environment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana.Dia mengakui telah terjadi pelanggaran prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intellectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran ( truth) dan bukan merupakan pembenaran (justification)."Jujur saja KUHAP itu diundangkan pada 1981 (UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981-76) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis [orde baru]. Namun banyak sekali pemikiran- pemikiran baru yang menggambarkan due process of law dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya," katanya.(fh) (Sumber: http://web.bisnis.com/) ------------ ------------ KETIGA: [New post] Buku 'Lembaga PK Perkara Pidana' Diluncurkan Mar 13, '10 10:24 PMfor everyone Buku 'Lembaga PK Perkara Pidana' Diluncurkan dekadeku 14 Maret 2010 pada 3:21 am Tag:Buku PK,luncurkan buku Categories:Politik Buku URL:http://wp.me/pGrDA-9i JAKARTA--Buku berjudul 'Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakkan Hukum dan Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat' karangan dosen hukum pidana Universitas Brawijaya (Unibraw), Adami Chazawi, diluncurkan, di Jakarta, akhir pekan lalu. Adami Chazawi menyatakan buku tersebut menyoroti bahwa PK merupakan penebusan dosa yang telah dibuat kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK. "PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kedzaliman negara dengan menghukum warganya yang tidak bersalah," katanya. Namun, kata Adami, dalam perjalanannya terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK yang dimulai semasa era orde baru, yakni, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam kasus Muchtar Pakpahan, padahal pada PK sebelumnya Muchtar Pakpahan dinyatakan bebas. Saat ini, Adami menjelaskan, pengajuan PK semakin banyak kekeliruannya dengan terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dengan melawan putusan bebas. "Akibatnya seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas, harus khawatir jika jaksa mengajukan PK kembali," cetusnya. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang bahwa KUHAP itu tidak dari perspektif hukum. "Melainkan, dari perspektif politik," jelasnya. (www.antaranews.com) Komentari tulisan ini (Sumber:http://wirlilik.multiply.com) ----------------------------------------- ---------------------------------------- KEEMPAT: Lembaga Peninjauan Kembali (PK) 15-03-2010 16:28 Konsepsi hukum PK Pidana, berpijak pada landasan filosofi, bahwa negara telah salah mempidana penduduk yang tidak berdosa yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa. Putusan mempidana yang terlanjur salah, dapat dianggap suatu bentuk kezaliman negara pada penduduknya. Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah. Negara berdosa dan bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah terlanjur dirampas tanpa hak tersebut. Bentuk pertanggungjawaban itu, ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK, bukan kepada negara. Karena itu dapat dianggap, bahwa PK Pidana adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara pada penduduknya. Merupakan upaya pengembalian hak-hak dan keadilan pada terpidana yang telanjur dirampas negara tanpa hak. Bentuk pertanggungjawaban dan wujud nyata penebusan dosa negara pada terpidana atas kesalahan yang telah menjatuhkan pidana pada penduduknya yang terbukti kemudian tidak bersalah. Landasan filosofi tersebut tertuang dalam norma dasar PK – Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Secara tegas merumuskan bahwa, “terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Dari sudut sejarah hukum PK, dapat dilihat dalam Reglement op de Srtrafvordering (Stb No. 40 jo 57 Tahun 1847), setelah kemerdekaan dalam PERMA No. 1 Tahun 1969 maupun PERMA No. 1 Tahun 1980, sangat jelas bahwa sejak semula pembentuk UU menghendaki bahwa PK Pidana hanya diperuntukkan semata-mata bagi kepentingan terpidana, dan bukan bagi kepentingan negara.Jiwa dan semangat hukum PK dalam Bab XVII- Pasal 263 s.d 269 KUHAP. Namun akhir-akhir ini, praktik peradilan MA telah tidak lagi konsisten terhadap hukum PK pidana dalam KUHAP, dimana tindakan coba-coba Jaksa mengajukan PK terhadap pembebasan Muchtar Pakpahan (putusan No. 55K/Pid/2006) yang jelas-jelas tidak memiliki hak untuk itu, mendapat justifikasi dari MA. Ketika itu – dimasa rezim Orde Baru (Otoriter), Masyarakat berpikir – masih dapat memaklumi. Namun kemudian setelah rezim otoriter tumbang, ternyata MA masih juga menggunakan putusan yang salah tersebut sebagi rujukan, seperti ternyata pada putusan RAM Gulumal (No. 03PK/Pid/2001) dan beberapa kasus lain. Meskipun nuansa ketakutan pada rezim orde lama sudah ditinggalkan, namun terkesan berubah sifat ketakutannya ke arah takut dicap tidak anti korupsi. Demikian sedikit resume buku Lembaga PK Perkara Pidana Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat yang ditulis oleh Drs. Adami Chazawi, SH., pengajar hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Launching buku tersebut diselenggarakan oleh Indonesia Against Injustice atau IAI sebuah Lembaga independen non-governmental yang concern pada masalah Penegakan Hukum. Acara yang diselenggarakan di Hotel Nikko, Jakarta, beberapa waktu lalu, bisa dibilang sukses. Hampir semua undangan hadir memenuhi salah satu ruang pertemuan di Hotel Nikko, Jakarta, Rabu (10/3) lalu, yang juga penuh sesak oleh wartawan baik media cetak maupun elektronik nasional. Dalam kesempatan itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Herman Suryokumoro, SH. MS. hadir sebagai undangan khusus, selain itu hadir pula beberapa pakar hukum terkemuka, diantaranya : Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH., Dr. Chaerul Huda, SH. MH., serta praktisi Media Karni Ilyas, serta para akademisi. Masih dalam acara launching tersebut, pengacara senior Prof. Dr. OC Kaligis selaku Presiden IAI, menyampaikan dalam pidatonya, bahwa Indonesia Against Injustice menyambut, menghargai, dan mendukung terbitnya buku Lembaga Peninjauan Kembali ini. Diharapkan buku tersebut memberikan pencerahan dan kesadaran bagi institusi penegak hukum untuk mengembalikan upaya hukum PK kepada kesejatian makna dan maksudnya, sehingga tidak lagi terjadi praktik pengajuan PK oleh Jaksa dan/atau tidak lagi terjadi pengabulan oleh MA atas PK yang diajukan Jaksa dalam perkara pidana. OC Kaligis juga menambahkan bahwa IAI memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Penulis Drs. H. Adami Chazawi, SH. yang lewat bukunya ini telah memberikan perhatian yang dalam dan serius terhadap masalah Lembaga PK dalam perkara pidana. [childa] (Sumber: http://hukum.brawijaya.acid/) ---- ---------------- ---------------- KELIMA: You are here Home OC Kaligis : Negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat. Kamis, 11 Maret 2010 04:44 Lintas Indonesia -Jakarta.-Buku berjudul Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat yang ditulis oleh Drs H Adami Chazawi SH, pakar hukum Universitas Brawijaya diluncurkan Hari Rabu 10/3 di Hotel Nikko Jakarta kemarin.Hadir ditemani beberapa pakar hukum terkemuka, yaitu Prof DR OC Kaligis, Prof DR Indriyanto Seno Adji ,SH, DR Chaerul Huda, SH,MH,Karni Ilyas.Hak Terpidana Menurut Adami, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum luar biasa, PK merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Adami menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Itu dimulai saat di era Orde Baru, jaksa mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK yang sangat bermuatan politis itu dikabulkan. Kejaksaan berhasil menggolkan aturan Peninjauan Kembali (PK) jaksa di Mahkamah Agung. Keberhasilan ini langsung dipertanyakan berbagai kalangan. Sebab menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya."Jaksa mencoba-coba menorobos aturan dasar KUHAP dengan mengajukan PK dan MA mengabulkan. Ini menyalahi. PK sejak awalnya memang sudah sangat jelas untuk terpidana, bukan untuk negara dalam hal ini jaksa," kata pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Adami Chazawi.Setuju dengan pendapat Pak Adami, Presiden Indonesia Against Injustice OC Kaligis menyesalkan sikap kejaksaan itu. Menurutnya, kondisi ini akan melanggengkan penegakan hukum yang menyimpang."Ini menyimpang dari ketentuan KUHAP," timpal OC Kaligis.Putusan itu digunakan sebagai dasar untuk terus mengulang kesalahan yang sama, dengan pengabulan beberapa PK yang diajukan jaksa. OC Kaligis mengatakan, ’’Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh UU, karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat.’’ Wakil Ketua Indonesia Against Justice (IAI) Karni Ilyas menuturkan, sistem peradilan sesat muncul karena ketiadaan konsistensi penegakan hukum, seperti dikabulkannya kasasi atas putusan bebas murni dan sikap Mahkamah Agung (MA) yang menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan jaksa. Padahal secara jelas dan terang, hal-hal seperti itu telah diatur hukum acara pidana. ’’Salah kaprah seperti pengabulan PK perkara Muchtar Pakpahan, malah dilanjutkan,’’ ujar Karni.(DM) (Sumber: http://www.lintasindonesia.com/) ------ ------------ ------------ KEENAM: Peradilan Sesat dalam PK Imam dan David Oleh : Bambang M. Yanto 11-Mar-2010, 23:44:50 WIB _____ KabarIndonesia - Buku "Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktek dan Peradilan Sesat" buah pena Drs. H. Adami Chazawi, SH. pakar hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang.Menurut Prof. DR. OC Kaligis, dari Indonesian Against Injustice, buku ini dibedah dalam talk show hukum & peradilan dengan pembicara Prof. DR. Indriyanto Seno Adji, SH,, MH., DR. Chaerul Huda, SH., MH. serta Karni Ilyas dari TVOne.Adami Chazawi, menuturkan, penulisan buku ini terinsipirasi kejadian menggelitik hati dan perasaannya yang dalam.Pertama, tragedi hukum dialami Imam Chambali dan David Eko Priyanto, dipersalahkan dan divonis oleh peradilan sesat atas tindakan pembunuhan yang tidak dilakukannya. Dosa besar proses peradilan sesat itu, mungkin dapat dimaafkan, apabila negara mengembalikan keadilan dan hak haknya melalui proses dan prosedure upaya hukum PK (peninjauan kembali).Kedua, beberapa kali Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang membenarkan permintaan PK oleh Jaksa. "Dua kejadian tersebut adalah suatu tragedi dalam penegakan hukum di Indonesia," kata Adami dalam buku yang ditulisnya sangat cocok dibaca para mahasiswa hukum, praktisi hukum dan pemerhati hukum.Sementara itu, mantan Menteri Kehakiman Prof. DR. Muladi, SH. yang juga mantan Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang dalam kesempatan terpisah, mengaku sangat setuju dengan substansi buku yang ditulis Adami. Dinyatakan, buku tersebut merupakan kritik terhadap pelanggaran prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual yang hanya mengungkap kebenaran dan bukan melakukan pembenaran.Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.comBerita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:http://kabarindonesia.com/ Sumber: http://www.kabarindonesia.com [Beritahu Teman] [Print Berita] -------------- -------------- KETUJUH Home Dari Diskusi Tentang PK Proses Hukum Peninjauan Kembali Bukan Milik Jaksa 13 Mar 2010 Nasional Rakyat Merdeka Jakarta, RM. Peninjauan Kembali (PK.) merupakan hak warga _okum_ yang menjadi terpidana dan ahli warisnya, bukan hak _okum_ yang direpresentasikan jaksa. “PK adalah penebusan dosa yang telah dibuat _okum_ kepada warganya. Maka, pengajuan PK diberikan kepada warga _okum_ yang menjadi terdakwa,” kata dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Adami Chazawi dalam diskusi tentang PK di Jakarta, kemarin. Dasar filosofisnya, menurut Adami, _okum_ sudah melakukan kezaliman dengan menghukum warganya yang tak bersalah. Kezaliman itu tak _oku diperbaiki dengan upaya _okum biasa. Karenanya, dibutuhkan sebuah upaya _okum luar biasa untuk memperbaiki kezaliman itu, yakni melalui PK. Namun, lanjutnya, kemudian terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK di negeri ini. Adami menyebutnya sebagai _okum__ besar dalam penegakan _okum. Itu dimulai saat Orde Baru, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK itu dikabulkan, bahkan dimenangkan oleh MA,” katanya. Sampai kini, kata Adami, PK yang diajukan jaksa untuk melawan putusan bebas, terus dikabulkan. Akibatnya, seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas pengadilan, tetap tak tenang sepanjang hidup. Pasalnya, jaksa _oku mengajukan PK kapan saja, selagi yang bersangkutan masih hidup. “Saya tak terima itu. Karena akademisi, saya menyampaikan protes dengan menulis buku,” kata penulis buku Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik Peradilan Sesat ini. Di tempat yang sama. Presiden Indonesian Against Injustice yang juga advokat senior, OC Kaligis mengatakan, jaksa sebagai representasi _okum_, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang. KUHAP hanya memberi hak mengajukan PK kepada warga yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. “Kalau _okum_ mau diberi hak untuk mengajukan PK, harus melalui Undang-Undang,” tandasnya. Ahli _okum pidana UI In-drianto Scnoaji dan jumalis senior Kami Ilyas yang juga menjadi pembicara, sependapat dengan Adami dan Kaligis. Kami mengingatkan. Muchtar Pakpahan melawan pemerintahan Soeharto di Medan dan dibebaskan pengadilan. Karena penguasa tak puas, diajukanlah PK. “Itu sejarah awal pengajuan PK oleh jaksa. Tapi, ini berlanjut hingga sekarang,” tandas Kami. Sedangkan ahli _okum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda menilai, pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang KUHAP tidak dari perspektif _okum. Melainkan, dari perspektif politik. Jon Entitas terkaitAdami Ahli Dasar Kezaliman KUHAP Medan Muchtar Orde PK Scnoaji Soeharto UI Adami Chazawi Kami Ilyas Muchtar Pakpahan OC Kaligis Penegakan Hukum Peninjauan Kembali Hukum Pidana Universitas Lembaga PK Perkara Penyimpangan Praktik Peradilan Sesat Presiden Indonesian Against Injustice Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda Dari Diskusi Tentang PK Proses Hukum Peninjauan Kembali Bukan Milik Jaksa Ringkasan Artikel Ini Dari Diskusi Tentang PK Proses Hukum Peninjauan Kembali Bukan Milik Jaksa. Maka, pengajuan PK diberikan kepada warga _okum_ yang menjadi terdakwa,” kata dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Adami Chazawi dalam diskusi tentang PK di Jakarta, kemarin. Presiden Indonesian Against Injustice yang juga advokat senior, OC Kaligis mengatakan, jaksa sebagai representasi _okum_, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang. Sedangkan ahli _okum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda menilai, pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang KUHAP tidak dari perspektif _okum. Jumlah kata di Artikel : 370Jumlah kata di Summary : 85Ratio : 0,230*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net. Pendapat Anda Pendapat anda mengenai ringkasan artikel ini : Baik Buruk (Sumber: http://bataviase.co.id/) ---------------------- --------------------- KEDELAPAN Buku "Lembaga PK Perkara Pidana" Diluncurkan Rabu, 10 Maret 2010 20:25 WIB 0 Komentar 0 0 CETAK KIRIM Error! Hyperlink reference not valid. function fbs_click() {u=location.href;t=document.title;window.open('http://www.facebook.com/sharer.php?u='+encodeURIComponent(u)+'&t='+encodeURIComponent(t),'sharer','toolbar=0,status=0,width=626,height=436');return false;} FACEBOOK http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/03/128562/18/1/Buku-Lembaga-PK-Perkara-Pidana-Diluncurkan Buzz up! JAKARTA--MI: Buku berjudul "Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakkan Hukum dan Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat" karangan dosen hukum pidana Universitas Brawijaya (Unibraw), Adami Chazawi, diluncurkan, di Jakarta, Rabu (10/3). Adami Chazawi menyatakan buku tersebut menyoroti bahwa PK merupakan penebusan dosa yang telah dibuat kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK. "PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kedzaliman negara dengan menghukum warganya yang tidak bersalah," katanya. Namun, kata dia, dalam perjalanannya terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK yang dimulai semasa era orde baru, yakni, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam kasus Muchtar Pakpahan, padahal pada PK sebelumnya Muchtar Pakpahan dinyatakan bebas. Saat ini, ia menjelaskan pengajuan PK semakin banyak kekeliruannya dengan terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dengan melawan putusan bebas. "Akibatnya seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas, harus khawatir jika jaksa mengajukan PK kembali," katanya. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang bahwa KUHAP itu tidak dari perspektif hukum. "Melainkan, dari perspektif politik," katanya. (Ant/Ol-01) Sent from my BlackBerry® powered by (Sumber: http://mediaindonesia. Com) -------------------- -------------------- KESEMBILAN PK Dinilai Bukan Hak Negara Tanggal : 12 Mar 2010 Sumber : Sinar Harapan Prakarsa Rakyat, KESEPULUH Kamis, 11 Maret 2010 15:42Jakarta - Peninjauan Ke­mbali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa yang disediakan bagi warga negara yang menjadi terpidana atas suatu putusan hakim, dan bukan hak negara yang acapkali direpresentasikan oleh jaksa. PK Jaksa dibenarkan sejauh itu bertujuan kepentingan korban terpidana, bukan negara.Hal ini disampaikan Adami Chazawi dalam peluncuran bukunya Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Rabu (10/3). “PK ini adalah penebusan dosa negara kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK,” katanya.Adami Chazawi yang merupakan pengajar hukum pidana Universitas Brawijaya mengatakan, filosofi PK adalah negara telah melakukan kesalahan melalui putusan hakim dengan menghukum warganya yang tidak bersalah sehingga dibutuhkan sebuah upaya hukum luar biasa untuk menebus kesalahannya itu.Hanya saja yang terjadi di Indonesia menurutnya, Mah­kamah Agung (MA) semakin menjadi-jadi de­ngan kekeliruannya dengan menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa. Hal ini tidak lepas dari sejarah PK Jaksa yang di­kabulkan dan bahkan dimenangkan oleh MA dalam kasus Muchtar Pakpahan.Sementara itu, sejumlah pakar hukum turut hadir sebagai pembicara dalam peluncuran buku tersebut. Di antaranya pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Prof Indrianto Senoadji, praktisi hukum OC Kaligis dan pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chaerul Huda.Menurut Indrianto Senoadji prinsip umum yang berlaku adalah bahwa PK tak bisa diajukan atas putus­an bebas. Namun, ia melihat bahwa hukum pidana merupakan sesuatu yang sifatnya dinamis mengikuti ruang dan waktu. Artinya, perspektif hukum pidana saat ini melihat kepentingan tidak hanya pada rasa keadilan seorang terpidana, namun juga elemen-elemen lainnya termasuk hakim dan negara. (rafael sebayang) (Sumber: http://www.prakrsa-rakyat.org/) ----------------- ----------------- KESEBELAS Buku "Lembaga PK Perkara Pidana" Diluncurkan Rabu, 10 Maret 2010 21:11 WIB Hiburan Buku/Novel Dibaca 1049 kali Jakarta (ANTARA News) - Buku berjudul "Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakkan Hukum dan Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat" karangan dosen hukum pidana Universitas Brawijaya (Unibraw), Adami Chazawi, diluncurkan, di Jakarta, Rabu.Adami Chazawi menyatakan buku tersebut menyoroti bahwa PK merupakan penebusan dosa yang telah dibuat kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK."PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kedzaliman negara dengan menghukum warganya yang tidak bersalah," katanya.Namun, kata dia, dalam perjalanannya terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK yang dimulai semasa era orde baru, yakni, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam kasus Muchtar Pakpahan, padahal pada PK sebelumnya Muchtar Pakpahan dinyatakan bebas. Saat ini, ia menjelaskan pengajuan PK semakin banyak kekeliruannya dengan terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dengan melawan putusan bebas."Akibatnya seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas, harus khawatir jika jaksa mengajukan PK kembali," katanya.Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang bahwa KUHAP itu tidak dari perspektif hukum. "Melainkan, dari perspektif politik," katanya. (T.R021/R009) COPYRIGHT © 2010 (Sumber: http://portal.antara.co.id/) KEDUABELAS Rabu, 10/03/2010 18:01 WIBAturan Peninjauan Kembali (PK) Jaksa DisesalkanAri Saputra - detikNews KETIGABELAS Jakarta - Kejaksaan berhasil menggolkan aturan Peninjauan Kembali (PK) jaksa di Mahkamah Agung. Keberhasilan ini langsung dipertanyakan berbagai kalangan. Sebab menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya."Jaksa mencoba-coba menorobos aturan dasar KUHAP dengan mengajukan PK dan MA mengabulkan. Ini menyalahi. PK sejak awalnya memang sudah sangat jelas untuk terpidana, bukan untuk negara dalam hal ini jaksa," kata pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Adami Chazawi.Adami mengatakan itu pada peluncuran bukunya PK Perkara Pidana di Hotel Nikko, Jl Thamrin, Jakarta, Rabu (10/3/2010).Ia menambahkan, secara filosofis PK merupakan bentuk penebusan dosa negara kepada terpidana. Sebab, negara lewat jaksa telah melakukan kesalahan menuntut seseorang di pengadilan.Dengan adanya PK oleh kejaksaan, lanjut Adami, putusan bebas hakim menjadikan terpidana was-was. "Hidupnya tidak tenang karena PK itu diberikan selama-lamanya, sampai ia mati," tegas Adami mewanti-wanti.Sejalan dengan Adami, Presiden Indonesia Against Injustice OC Kaligis menyesalkan sikap kejaksaan itu. Menurutnya, kondisi ini akan melanggengkan penegakan hukum yang menyimpang."Ini menyimpang dari ketentuan KUHAP," timpal OC Kaligis.(Ari/nik) (Sumber: http://www.detiknews.com/) -------------------- -------------------- KEEMPATBELAS Buku "Lembaga PK Perkara Pidana" Diluncurkan document.write(String.fromCharCode(60,112,32,115,116,121,108,101,61,34,116,101,120,116,45,97,108,105,103,110,58,32,106,117,115,116,105,102,121,34,62,10,60,100,105,118,62,10,60,100,105,118,62,74,97,107,97,114,116,97,32,40,65,78,84,65,82,65,32,78,101,119,115,41,32,38,35,56,50,49,49,59,32,66,117,107,117,32,98,101,114,106,117,100,117,108,32,38,35,56,50,50,48,59,76,101,109,98,97,103,97,32,80,101,110,105,110,106,97,117,97,110,32,75,101,109,98,97,108,105,32,40,80,75,41,32,80,101,114,107,97,114,97,32,80,105,100,97,110,97,44,32,80,101,110,101,103,97,107,107,97,110,32,72,117,107,117,109,32,100,97,110,32,80,101,110,121,105,109,112,97,110,103,97,110,32,80,114,97,107,116,105,107,32,38,97,109,112,59,32,80,101,114,97,100,105,108,97,110,32,83,101,115,97,116,38,35,56,50,50,49,59,32,107,97,114,97,110,103,97,110,32,100,111,115,101,110,32,104,117,107,117,109,32,112,105,100,97,110,97,32,85,110,105,118,101,114,115,105,116,97,115,32,66,114,97,119,105,106,97,121,97,32,40,85,110,105,98,114,97,119,41,44,32,65,100,97,109,105,32,67,104,97,122,97,119,105,44,32,100,105,108,117,110,99,117,114,107,97,110,44,32,100,105,32,74,97,107,97,114,116,97,44,32,82,97,98,117,46,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,65,100,97,109,105,32,67,104,97,122,97,119,105,32,109,101,110,121,97,116,97,107,97,110,32,98,117,107,117,32,116,101,114,115,101,98,117,116,32,109,101,110,121,111,114,111,116,105,32,98,97,104,119,97,32,80,75,32,109,101,114,117,112,97,107,97,110,32,112,101,110,101,98,117,115,97,110,32,100,111,115,97,32,121,97,110,103,32,116,101,108,97,104,32,100,105,98,117,97,116,32,107,101,112,97,100,97,32,119,97,114,103,97,110,121,97,44,32,109,97,107,97,32,100,105,98,101,114,105,107,97,110,32,107,101,112,97,100,97,32,119,97,114,103,97,32,110,101,103,97,114,97,32,121,97,110,103,32,109,101,110,106,97,100,105,32,116,101,114,100,97,107,119,97,32,117,110,116,117,107,32,109,101,110,103,97,106,117,107,97,110,32,80,75,46,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,38,35,56,50,50,48,59,80,75,32,109,101,114,117,112,97,107,97,110,32,115,101,98,117,97,104,32,117,112,97,121,97,32,104,117,107,117,109,32,108,117,97,114,32,98,105,97,115,97,32,117,110,116,117,107,32,109,101,109,112,101,114,98,97,105,107,105,32,107,101,100,122,97,108,105,109,97,110,32,110,101,103,97,114,97,32,100,101,110,103,97,110,32,109,101,110,103,104,117,107,117,109,32,119,97,114,103,97,110,121,97,32,121,97,110,103,32,116,105,100,97,107,32,98,101,114,115,97,108,97,104,44,38,35,56,50,50,49,59,32,107,97,116,97,110,121,97,46,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,78,97,109,117,110,44,32,107,97,116,97,32,100,105,97,44,32,100,97,108,97,109,32,112,101,114,106,97,108,97,110,97,110,110,121,97,32,116,101,114,106,97,100,105,32,107,101,107,101,108,105,114,117,97,110,32,100,97,108,97,109,32,112,101,110,103,103,117,110,97,97,110,32,80,75,32,121,97,110,103,32,100,105,109,117,108,97,105,32,115,101,109,97,115,97,32,101,114,97,32,111,114,100,101,32,98,97,114,117,44,32,121,97,107,110,105,44,32,106,97,107,115,97,32,109,101,110,99,111,98,97,45,99,111,98,97,32,109,101,110,103,97,106,117,107,97,110,32,80,75,32,100,97,108,97,109,32,107,97,115,117,115,32,77,117,99,104,116,97,114,32,80,97,107,112,97,104,97,110,44,32,112,97,100,97,104,97,108,32,112,97,100,97,32,80,75,32,115,101,98,101,108,117,109,110,121,97,32,77,117,99,104,116,97,114,32,80,97,107,112,97,104,97,110,32,100,105,110,121,97,116,97,107,97,110,32,98,101,98,97,115,46,32,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,83,97,97,116,32,105,110,105,44,32,105,97,32,109,101,110,106,101,108,97,115,107,97,110,32,112,101,110,103,97,106,117,97,110,32,80,75,32,115,101,109,97,107,105,110,32,98,97,110,121,97,107,32,107,101,107,101,108,105,114,117,97,110,110,121,97,32,100,101,110,103,97,110,32,116,101,114,117,115,32,109,101,110,101,114,105,109,97,32,100,97,110,32,109,101,110,103,97,98,117,108,107,97,110,32,80,75,32,121,97,110,103,32,100,105,97,106,117,107,97,110,32,111,108,101,104,32,106,97,107,115,97,32,100,101,110,103,97,110,32,109,101,108,97,119,97,110,32,112,117,116,117,115,97,110,32,98,101,98,97,115,46,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,38,35,56,50,50,48,59,65,107,105,98,97,116,110,121,97,32,115,101,111,114,97,110,103,32,119,97,114,103,97,32,121,97,110,103,32,116,101,108,97,104,32,109,101,110,103,97,110,116,111,110,103,105,32,112,117,116,117,115,97,110,32,98,101,98,97,115,44,32,104,97,114,117,115,32,107,104,97,119,97,116,105,114,32,106,105,107,97,32,106,97,107,115,97,32,109,101,110,103,97,106,117,107,97,110,32,80,75,32,107,101,109,98,97,108,105,44,38,35,56,50,50,49,59,32,107,97,116,97,110,121,97,46,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,83,101,109,101,110,116,97,114,97,32,105,116,117,44,32,97,104,108,105,32,104,117,107,117,109,32,112,105,100,97,110,97,32,85,110,105,118,101,114,115,105,116,97,115,32,77,117,104,97,109,109,97,100,105,121,97,104,32,74,97,107,97,114,116,97,44,32,67,104,97,101,114,117,108,32,72,117,100,97,44,32,109,101,110,105,108,97,105,44,32,112,114,97,107,116,105,107,32,112,101,110,103,97,106,117,97,110,32,80,75,32,111,108,101,104,32,115,101,108,97,105,110,32,116,101,114,112,105,100,97,110,97,32,100,97,110,32,97,104,108,105,32,119,97,114,105,115,110,121,97,44,32,109,101,109,97,110,100,97,110,103,32,98,97,104,119,97,32,75,85,72,65,80,32,105,116,117,32,116,105,100,97,107,32,100,97,114,105,32,112,101,114,115,112,101,107,116,105,102,32,104,117,107,117,109,46,32,38,35,56,50,50,48,59,77,101,108,97,105,110,107,97,110,44,32,100,97,114,105,32,112,101,114,115,112,101,107,116,105,102,32,112,111,108,105,116,105,107,44,38,35,56,50,50,49,59,32,107,97,116,97,110,121,97,46,32,60,98,114,32,47,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,40,84,46,82,48,50,49,47,82,48,48,57,41,60,47,112,62,10,60,47,100,105,118,62,10,60,47,100,105,118,62,10)); Jakarta (ANTARA News) – Buku berjudul “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakkan Hukum dan Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat” karangan dosen hukum pidana Universitas Brawijaya (Unibraw), Adami Chazawi, diluncurkan, di Jakarta, Rabu. Adami Chazawi menyatakan buku tersebut menyoroti bahwa PK merupakan penebusan dosa yang telah dibuat kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK. “PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kedzaliman negara dengan menghukum warganya yang tidak bersalah,” katanya. Namun, kata dia, dalam perjalanannya terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK yang dimulai semasa era orde baru, yakni, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam kasus Muchtar Pakpahan, padahal pada PK sebelumnya Muchtar Pakpahan dinyatakan bebas. Saat ini, ia menjelaskan pengajuan PK semakin banyak kekeliruannya dengan terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dengan melawan putusan bebas. “Akibatnya seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas, harus khawatir jika jaksa mengajukan PK kembali,” katanya. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang bahwa KUHAP itu tidak dari perspektif hukum. “Melainkan, dari perspektif politik,” katanya. (T.R021/R009) (Sumber: http://gosipterbaru.com/) --------------------------- ---------------------------- KELIMABELAS Hukum 11 Maret 2010 Dinilai Sesat Pengajuan PK Jaksa Perlu Diakhiri JAKARTA - Peradilan sesat yang masih terjadi di Indonesia perlu diakhiri. Para penegak hukum dan pengacara harus mengembalikan sistem peradilan ke jalan yang benar.Wakil Ketua Indonesia Against Justice (IAI) Karni Ilyas menuturkan, sistem peradilan sesat muncul karena ketiadaan konsistensi penegakan hukum, seperti dikabulkannya kasasi atas putusan bebas murni dan sikap Mahkamah Agung (MA) yang menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan jaksa. Padahal secara jelas dan terang, hal-hal seperti itu telah diatur hukum acara pidana. ’’Salah kaprah seperti pengabulan PK perkara Muchtar Pakpahan, malah dilanjutkan,’’ ujar Karni, di Jakarta, Rabu (10/3), dalam peluncuran buku ”Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat”.Penulis buku adalah pengajar hukum Universitas Brawijaya, Adami Chazawi. Sebagai pembicara lain, yakni praktisi hukum OC Kaligis, pakar hukum Universitas Indonesia, Indrianto Seno Adji, dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda.Hak Terpidana Menurut Adami, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum luar biasa, PK merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Adami menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Itu dimulai saat di era Orde Baru, jaksa mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK yang sangat bermuatan politis itu dikabulkan. Putusan itu digunakan sebagai dasar untuk terus mengulang kesalahan yang sama, dengan pengabulan beberapa PK yang diajukan jaksa. OC Kaligis mengatakan, ’’Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh UU, karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat.’’ (J21-76) Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad (Sumber: http://suaramerdeka.com/) --------------------------------- -------------------------------- KEENAMBELAS PELUNCURAN BUKUPK Merupakan Penebusan Dosa dari Negara Kamis, 11 Maret 2010 JAKARTA (Suara Karya): Upaya hukum peninjauan kembali (PK) merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. "PK adalah penebusan dosa yang telah dibuat negara kepada warganya. Maka, diberikan kepada warga negara yang yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK," kata Adami Chazawi, penulis buku "Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat" saat peluncuran perdana bukunya itu di Jakarta, Rabu (10/3). Dasar filosofisnya, menurut dosen hukum pidana Universitas Brawijaya ini, negara sudah melakukan kezaliman dengan menghukum warganya yang tak bersalah. Kezaliman itu tak bisa diperbaiki dengan upaya hukum biasa. Karenanya, dibutuhkan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kezaliman negara tersebut. Namun kemudian, telah terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK di negeri ini. Adami menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Itu dimulai saat di era Orde Baru, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Dan ternyata, PK itu dikabulkan, bahkan dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA). Belakangan, MA semakin menjadi-jadi dengan kekeliruannya itu, terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa, melawan putusan bebas. Akibatnya, seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas pengadilan tetap tak tenang sepanjang hidup. Pasalnya, jaksa bisa mengajukan PK kapan saja, selagi yang bersangkutan masih hidup. "Kami tak terima itu. Karena saya seorang akademisi, dengan cara menulis buku. Isi buku ini protes terhadap apa yang dilakukan MA yang mengabulkan PK yang diajukan jaksa," kata Adami. Di tempat yang sama, Presiden Indonesian Against Injustice Prof OC Kaligis mengatakan, PK merupakan koreksi atas terjadinya peradilan sesat. "Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang (UU), karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat. Dan, UU KUHAP hanya memberi hak mengajukan PK kepada warga yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. Kalau negara mau diberi hak untuk mengajukan PK, harus melalui UU," ujarnya. Ahli hukum pidana UI Prof Indrianto Senoaji dan jurnalis senior Karni Ilyas yang juga menjadi pembicara dalam diskusi peluncuran buku itu sependapat, prinsip umum yang berlaku adalah bahwa PK tak bisa diajukan atas putusan bebas. Karni menjelaskan, Muchtar Pakpahan melawan pemerintah Suharto di Medan dan dibebaskan pengadilan. Karena penguasa tak puas, diajukanlah PK. "Itu sejarah awal pengajuan PK oleh jaksa. Tapi yang salah kaprah ini terus berlanjjut hingga sekarang," kata Karni. Sedangkan ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya memandang KUHAP tidak dari perspektif hukum, melainkan dari perspektif politik. (Lerman S/Jimmy Radjah) (sumber: http://suarakarya-online.com/) Politik Hukum Ekonomi Metropolitan Nusantara Internasional Hiburan Humor Opini About Us Copy Right ©2000 Suara Karya OnlinePowered by Hanoman-i ----------------------------- ------------------------------ KETUJUHBELAS Polhukam 'Peninjauan Kembali' Bukan Hak Jaksa Rabu, 10 Maret 2010 - 23:06 wib TEXT SIZE : addthis_pub = 'okezone'; addthis_logo = 'http://a.okezone.com/news/image/header/o.png'; addthis_logo_background = 'EFEF99'; addthis_logo_color = '666699'; addthis_brand = 'www.okezone.com'; addthis_options = 'facebook, email, delicious, favorites, digg, google, myspace, live, more'; Ilustrasi (Foto: pinkpaper) JAKARTA - Proses hukum Peninjauan Kembali (PK) merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana. Namun PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Hal tersebut diungkapkan Adami Chazawi, penulis buku Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, saat peluncuran perdana bukunya itu di Jakarta hari ini. “PK adalah penebusan dosa yang telah dibuat negara kepada warganya. Maka, warga negara yang menjadi terdakwa mengajukan PK,” kata pria yang juga dosen hukum pidana Universitas Brawijaya, Malang ini. Dasar filosofisnya, menurut Adami, negara sudah melakukan kezaliman dengan menghukum warganya yang tidak bersalah. Kezaliman itu tak bisa diperbaiki dengan upaya hukum biasa. Karenanya, dibutuhkan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kezaliman negara tersebut. Namun, telah terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK di negeri ini. Dia menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Hal ini berawal saat Orde Baru di mana jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. “Dan ternyata, PK itu dikabulkan, bahkan dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA),” tuturnya. Sampai saat ini, justru MA semakin menjadi-jadi dengan kekeliruannya itu dengan menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dalam melawan putusan bebas terdakwa tertentu. Akibatnya, seorang yang telah mengantongi putusan bebas pengadilan tetap dikejar jaksa. Jaksa bisa mengajukan PK kapan saja, selagi yang bersangkutan masih hidup. “Kami tak terima itu. Isi buku ini protes terhadap apa yang dilakukan MA yang mengabulkan PK yang diajukan jaksa,” tandas Adami. Sementara itu di tempat yang sama, Presiden Indonesian Against Injustice Prof OC Kaligis mengatakan, PK merupakan koreksi atas terjadinya peradilan sesat. “Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang (UU), karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat. UU KUHAP, katanya, hanya memberi hak mengajukan PK kepada warga yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. Kalau negara mau diberi hak untuk mengajukan PK, harus melalui UU,” ujarnya. Hal senada juga diungkapkan ahli hukum pidana Universitas Indonesia Indrianto Senoaji. Menurut dia, prinsip umum yang berlaku adalah bahwa PK tidak bisa diajukan atas putusan bebas. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, berarti telah memandang KUHAP tidak dari perspektif hukum. melainkan, dari perspektif politik.(Ahmad Jayadi/Koran SI/ton) (sumber: http://news.okezone.com/) ------------------------- ------------------------- KEDELAPANBELAS 'Peninjauan Kembali' Bukan Hak Jaksa AKARTA - Proses hukum Peninjauan Kembali (PK) merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana. Namun PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Hal tersebut diungkapkan Adami Chazawi, penulis buku Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, saat peluncuran perdana bukunya itu di Jakarta hari ini. “PK adalah penebusan dosa yang telah dibuat negara kepada warganya. Maka, warga negara yang menjadi terdakwa mengajukan PK,” kata pria yang juga dosen hukum pidana Universitas Brawijaya, Malang ini. Dasar filosofisnya, menurut Adami, negara sudah melakukan kezaliman dengan menghukum warganya yang tidak bersalah. Kezaliman itu tak bisa diperbaiki dengan upaya hukum biasa. Karenanya, dibutuhkan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kezaliman negara tersebut. Namun, telah terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK di negeri ini. Dia menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Hal ini berawal saat Orde Baru di mana jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. “Dan ternyata, PK itu dikabulkan, bahkan dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA),” tuturnya. Sampai saat ini, justru MA semakin menjadi-jadi dengan kekeliruannya itu dengan menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dalam melawan putusan bebas terdakwa tertentu. Akibatnya, seorang yang telah mengantongi putusan bebas pengadilan tetap dikejar jaksa. Jaksa bisa mengajukan PK kapan saja, selagi yang bersangkutan masih hidup. “Kami tak terima itu. Isi buku ini protes terhadap apa yang dilakukan MA yang mengabulkan PK yang diajukan jaksa,” tandas Adami. Sementara itu di tempat yang sama, Presiden Indonesian Against Injustice Prof OC Kaligis mengatakan, PK merupakan koreksi atas terjadinya peradilan sesat. “Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang (UU), karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat. UU KUHAP, katanya, hanya memberi hak mengajukan PK kepada warga yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. Kalau negara mau diberi hak untuk mengajukan PK, harus melalui UU,” ujarnya. Hal senada juga diungkapkan ahli hukum pidana Universitas Indonesia Indrianto Senoaji. Menurut dia, prinsip umum yang berlaku adalah bahwa PK tidak bisa diajukan atas putusan bebas. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, berarti telah memandang KUHAP tidak dari perspektif hukum. melainkan, dari perspektif politik.(Ahmad Jayadi/Koran SI/ton) (Sumber: http://www.sasa.net/) --------------------------------- --------------------------------- KESEMBILANBELAS Kamis, 11 Maret 2010 Buku Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Di Luncurkan IAI Reporter By : Redaksi/Lan Klik Berita.COM. Peluncuran Buku berjudul Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat yang ditulis oleh Drs H Adami Chazawi SH, pakar hukum Universitas Brawijaya diluncurkan Hari Rabu 10/3 di Jakarta yang di hadiri oleh Presiden Indonesia Againt Injustice (IAI) Prof DR OC Kaligis, Prof DR Indriyanto Seno Adji ,SH, DR Chaerul Huda, SH,MH,Karni Ilyas.Peluncuran buku ini bekerjasama dengan IAI, dalam tulisannya buku ini tentang Hak Terpidana Menurut Adami, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum luar biasa, PK merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Dalam sambutanya OC Kaligis mengatakanjh selama 65 tahun merdeka, kisah ketidak adilan masih menjadi cerita kehidupan rakyat Indonesia, masih sering kita dengar suara jeritan ketidakadilan,tragisnya suara jeritan ketidakadilan itu jatuhnya korban korban ketidakadilan, contoh kasus Prita, kasus salah tangkap Kemat dkk di Jombang adalah contoh aktual praktek ketidak adilan ,Jelas OC Kaligis yang juga Presiden IAI.Dan OC Kaligis menambahkan , ’’Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh UU, karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat.’’ Sementara itu Adami menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Itu dimulai saat di era Orde Baru, jaksa mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK yang sangat bermuatan politis itu dikabulkan. Kejaksaan berhasil menggolkan aturan Peninjauan Kembali (PK) jaksa di Mahkamah Agung. Keberhasilan ini langsung dipertanyakan berbagai kalangan. Sebab menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya."Jaksa mencoba-coba menorobos aturan dasar KUHAP dengan mengajukan PK dan MA mengabulkan. Ini menyalahi. PK sejak awalnya memang sudah sangat jelas untuk terpidana, bukan untuk negara dalam hal ini jaksa," kata pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Adami Chazawi.(Lan)(Sumber: http://klikberita.com/) ----------------------------- ----------------------------- KEDUAPULUH LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI (PK) PERKARA PIDANA Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradila Rp. 42000 35,700 Buku ini membahas materi PK (Peninjauan Kembali), sebagai upaya hukum istimewa untuk menegakan hukum yang disebabkan penyimpangan praktik dan peradilan sesat dalam perkara pidana. Pembahasannya antara lain landasan filosofis dan sejarah lembaga PK; syarat-syarat mengajukan PK; pengajuan, pemeriksaan dan putusan PK; serta studi kasus.Pengarang : Drs. H. Adami Chazawi, S.H. Penerbit : Sinar Grafika Kategori : - Hukum Pidana http://news.id.finroll.com/home/archive/241453-tiada-alasan-revisi-kuhap-untuk-legalkan-pk.html http://news.id.finroll.com/home/archive/241453-tiada-alasan-revisi-kuhap-untuk-legalkan-pk.html Yurisprudensi Hukum Acara PerdataBuku 1R. Soeroso, S.H.Rp. 85.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=477 LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI (PK)PERKARA PIDANA Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan SesatDrs. H. Adami Chazawi, S.H.Rp. 42.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=476 Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan YurisprudensiDrs. P.A.F. Lamintang, S.H.Theo Lamintang, S.H.Rp. 94.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=475 Wakaf dan Pemberdayaan UmatSuhrawardi K. LubisRp. 35.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=474 Hukum Investasi & Pasar ModalAna Rokhmatussa’dyah, SH., MH. Suratman, SH.,M.Hum. Rp. 50.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=473 Hukum InvestasiHendrik Budi UntungRp. 26.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=472 Hukum Kehutanan & Hukum PerkebunanSupriadi, S.H., M.Hum.Rp. 115.000,-,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=471 DELIK-DELIK KHUSUSKejahatan-Kejahatan terhadap Kepentingan Negara Drs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 120.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=470 Hukum Hak Kekayaan IntelektualDrs. Ermansjah Djaja, S.H., M.Si.Rp. 96.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=469 Hukum Anti Monopoli Suyud MargonoRp. 49.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=467 DELIK-DELIK KHUSUSKejahatan-Kejahatan terhadap Harta Kekayaan Drs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 69.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=465 DELIK-DELIK KHUSUSKejahatan-Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum terhadap Surat-Surat, Alat-Alat Pembayaran, Alat-Alat Bukti dan PeradilanDrs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 55.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=463 DELIK-DELIK KHUSUSTindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan Drs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 69.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=461 DELIK-DELIK KHUSUSKejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi Drs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 68.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=459 Komentar Atas UUD Negara Ri 1945 Prof. Dr. Jimly Ashshiddiqie, S.H. Rp. 32.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=457 Organ Perseroan Terbatas Cornelius Simanjuntak, S.H., M.H. Natalie Mulia, S.H., M.Kn. Rp. 25.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=455 Hukum Perwakafan Di IndonesiaRachmadi Usman, S.H., M.H.Rp. 47.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=453 Metode Penelitian Hukum Prof. Dr. Zainuddin AliRp. 41.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=451 PRAKTIK HUKUM ACARA PERDATA: Tata Cara dan Proses Persidangan (Edisi Kedua) R. Soeroso, S.H.Rp. 53.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=449 HUKUM PERSEROAN TERBATAS (Hard Cover) M. Yahya Harahap, S.H.Rp. 123.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=447 CYBERSPACE:Problematika dan Antisipasi Pengaturannya Niniek Suparni, S.H., M.H. Rp. 44.500,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=445 IMPLIKASI HUKUM ATAS SUMBER PEMBIAYAAN DAERAH DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH Adrian Sutedi, S.H., M.H.Rp. 75.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=443 KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH:Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Prof. Dr. J. KalohRp. 39.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=441 HUKUM KETENAGAKERJAAN PASCA REFORMASIAsri Wijayanti, S.H., M.H.Rp. 39.500,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=439 DELIK-DELIK TERTENTU (SPECIALE DELICTEN) DI DALAM KUHP Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, S.H.Rp. 36.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=437 Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar'iyyahDr. MardaniRp. 52.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=435 Hukum DagangDrs. Hj. Farida Hasyim, M.HumRp. 49.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=433 Hukum PerburuhanAdrian Sutedi, S.H., M.H.Rp. 67.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=431 Penegakkan Hukum Lingkungan IndonesiaSukanda Husin, S.H., LL.M.Rp. 33.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=429 Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara (Edisi Ketiga)Prof. Dr. Jur Andi HamzahRp. 26.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=415 Hukum PerbankanAdrian Sutedi, S.H., M.H.Rp. 47.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=244 UU Penyelenggara PemiluRedaksi (Penghimpun)Rp. 33.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=242 Amandemen UU KepabeananRedaksi (Penghimpun)Rp. 36.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=241 UU Badan Pemeriksa KeuanganRedaksi (Penghimpun)Rp. 20.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=240 Peralihan Hak Atas Tanah dan PendaftarannyaAdrian Sutedi, S.H., M.H.Rp. 47.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=237 Hukum Waris IslamSuhrawardi K. Lubis, S.H.Rp. 46.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=55 Home Profile Katalog Buku Penawaran Hubungi Kami Copyright © bumiaksara ------------------------------- ------------------------------- KEDUAPULUH SATU Kamis 25. of Maret 2010 11:19 TIADA ALASAN REVISI KUHAP UNTUK LEGALKAN PK Jakarta, Sejumlah kalangan menilai bahwa tidak ada alasan untuk merevisi KUHAP untuk melegalkan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh aparat hukum karena hak PK hanya untuk terdakwa ataupun keluarganya. Demikian disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR Benny K Harman dan pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji secara terpisah di Jakarta, Kamis. Menurut Benny, aturan hak mengajukan PK itu sekarang ini sudah ada dalam KUHAP mengenai. "Jika aturannya sudah jelas, maka tidak perlu ada revisi," katanya seraya menambahkan bahwa aturan yang sudah benar itu harus dijalankan tanpa terkecuali. "KUHAP itu sudah menentukan hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana dan bukan pada jaksa penuntut umum," ujarnya. Karenanya jika ada kasus PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, menurut Benny, maka harus ada ketegasan agar hal ini tidak boleh dibiarkan. Hal senada juga dikemukakan ahli hukum pidana UI Indriyanto yang sepakat bahwa PK yang dilakukan aparat penegak hukum tidak ada landasan hukumnya. Meskipun pernah ada kasus bahwa hal ini bisa dilakukan, lanjutnya, seharusnya hal ini tidak lagi dibiarkan. "Mahkamah Agung harus bisa tetap menjaga tatanan hukum agar tidak ada lagi penyimpangan," katanya. Ia pun mengatakan bahwa aturan PK sudah sangat jelas bahwa hal ini merupakan upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada terdakwa dan keluarga atas kekeliruan. "Oleh karenanya tidak bisa ini dilakukan oleh aparat hukum," katanya. Karenanya jika itu dilakukan, menurut dia, upaya hukum lanjutan bagi aparat akan berjalan empat tingkatan mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi hingga PK, padahal ini hanya bisa dilakukan oleh terdakwa. Ditanya apakah perlu adanya revisi KUHAP, Indriyanto menegaskan bahwa hal ini tidak perlu dilakukan, karena revisi diperlukan sebagai terobosan oleh aparat jika memang aturannya tidak jelas. "Sedangkan aturan mengenai PK sudah jelas, jadi buat apa lagi di revisi," katanya. Sementara itu, Gubernur Lemhanas Prof Muladi dalam sambutan tertulisnya pada saat peluncuran buku tentang PK beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dia setuju pendapat penulis buku Adami Chazawi bahwa PK oleh jaksa sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legisted environment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana. Menurutnya telah terjadi pelanggaran prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intellectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran (truth) dan bukan merupakan pembenaran (justification). "Secara jujur sebenarnya harus diakui bahwa sekalipun KUHAP diundangkan pada tahun 1981 (UU No. 8 Tahun 1981) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis (orde baru), namun banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang menggambarkan `due process of law` dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya," katanya. Dikatakannya, saat ini sistem inkuisitur yang sangat tidak adil banyak dipengaruhi dengan hal-hal yang positif, sehingga sistem KUHAP banyak yang menyebutkan "gematige inquisitoir" yang mulai memperbaiki hak-hak tersangka, seperti pengaturan tentang pra-peradilan, kewajiban pendampingan oleh penasehat hukum dan sebagainya. "Namun di sana-sini masih terjadi praktek-praktek pelanggaran hak-hak tersangka karena ada peluang untuk menafsirkan lain," ujarnya. Ditambahkannya, di dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum terdapat apa yang dinamakan "area of no enforcement" dimana kekuasaan negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah dan hak-hak dasar warganegara yang harus dilindungi. "Di dalam `area of no enforcement` itulah hukum acara pidana harus ditegakkan secara pasti agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum," tegasnya (ant) (Sumber: http://sinarharapan.co.id/) Era Baru News Kamis, 25 Maret 2010 ----------------------------------------- ----------------------------------------- KEDUPULUH DUA TIADA ALASAN REVISI KUHAP UNTUK LEGALKAN JAKSA PK Jakarta - Sejumlah kalangan menilai bahwa tidak ada alasan untuk merevisi KUHAP untuk melegalkan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh aparat hukum karena hak PK hanya untuk terdakwa ataupun keluarganya. Demikian disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR Benny K Harman dan pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji secara terpisah di Jakarta, Kamis (25/3). Menurut Benny, aturan hak mengajukan PK itu sekarang ini sudah ada dalam KUHAP mengenai. "Jika aturannya sudah jelas, maka tidak perlu ada revisi," katanya seraya menambahkan bahwa aturan yang sudah benar itu harus dijalankan tanpa terkecuali. "KUHAP itu sudah menentukan hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana dan bukan pada jaksa penuntut umum," ujarnya. Karenanya jika ada kasus PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, menurut Benny, maka harus ada ketegasan agar hal ini tidak boleh dibiarkan. Hal senada juga dikemukakan ahli hukum pidana UI Indriyanto yang sepakat bahwa PK yang dilakukan aparat penegak hukum tidak ada landasan hukumnya. Meskipun pernah ada kasus bahwa hal ini bisa dilakukan, lanjutnya, seharusnya hal ini tidak lagi dibiarkan. "Mahkamah Agung harus bisa tetap menjaga tatanan hukum agar tidak ada lagi penyimpangan," katanya. Ia pun mengatakan bahwa aturan PK sudah sangat jelas bahwa hal ini merupakan upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada terdakwa dan keluarga atas kekeliruan. "Oleh karenanya tidak bisa ini dilakukan oleh aparat hukum," katanya. Karenanya jika itu dilakukan, menurut dia, upaya hukum lanjutan bagi aparat akan berjalan empat tingkatan mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi hingga PK, padahal ini hanya bisa dilakukan oleh terdakwa. Ditanya apakah perlu adanya revisi KUHAP, Indriyanto menegaskan bahwa hal ini tidak perlu dilakukan, karena revisi diperlukan sebagai terobosan oleh aparat jika memang aturannya tidak jelas. "Sedangkan aturan mengenai PK sudah jelas, jadi buat apa lagi di revisi," katanya. Sementara itu, Gubernur Lemhanas Prof Muladi dalam sambutan tertulisnya pada saat peluncuran buku tentang PK beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dia setuju pendapat penulis buku Adami Chazawi bahwa PK oleh jaksa sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legisted environment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana. Menurutnya telah terjadi pelanggaran prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intellectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran (truth) dan bukan merupakan pembenaran (justification). "Secara jujur sebenarnya harus diakui bahwa sekalipun KUHAP diundangkan pada tahun 1981 (UU No. 8 Tahun 1981) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis (orde baru), namun banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang menggambarkan `due process of law` dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya," katanya. Dikatakannya, saat ini sistem inkuisitur yang sangat tidak adil banyak dipengaruhi dengan hal-hal yang positif, sehingga sistem KUHAP banyak yang menyebutkan "gematige inquisitoir" yang mulai memperbaiki hak-hak tersangka, seperti pengaturan tentang pra-peradilan, kewajiban pendampingan oleh penasehat hukum dan sebagainya. "Namun di sana-sini masih terjadi praktek-praktek pelanggaran hak-hak tersangka karena ada peluang untuk menafsirkan lain," ujarnya. Ditambahkannya, di dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum terdapat apa yang dinamakan "area of no enforcement" dimana kekuasaan negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah dan hak-hak dasar warganegara yang harus dilindungi. "Di dalam `area of no enforcement` itulah hukum acara pidana harus ditegakkan secara pasti agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum," tegasnya.(ant/yan) (Sumber: http://erabaru.net/) ------------------------------------ ----------------------------------- KEDUPULUH TIGA Kamis, 11 Maret 2010 Indonesia Against Injustice (IAI) Launching Buku Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Reporter By : M Harun Jakarta, Otonominews,- Satu lagi buku penting tentang hokum di launching. Buku yang berjudul Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan karya Drs H Adami Chazawi SH, pakar hukum Universitas Brawijaya diluncurkan bekerjasama dengan Indonesia Against Injustice, pimpinasn pengacara senior O.C. Kaligis, SH. Peluncuran yang berlangsung meriah di Hotel Nikko Jakarta, Rabo (10/3) siang tersebut dihadiri beberapa pakar hukum terkemuka, antanya: Prof DR Indriyanto Seno Adji ,SH, DR Chaerul Huda, SH,MH, dan prtaktisi Media Karni Ilyas.Presiden Indonesia Against Injustice (IAI), O.C Kaligis mengatakan kami menyesalkan sikap ketidakadilan bagi bangsa ini selama Indonesia merdeka. Begitu juga tentang pnyimpangan dari ketentuan KUHAP itu juga menjadi keprihatinan kita semua. Oleh sebab itu, kata O.C KJaligis dalam sambutannya, ruang-ruang institusi peradilan yang sejatinya merupakan tumpuan harapan terakhir tegaknya keadilan yang didambakan para pencari keadilan. Misalnya kasus Prita, kasus salah tangkap Kemat dkk di Jombang contoh actual keatidak adilan itu,tegas Kaligis.Sementara itu hak pidana, menurut Adami, selaku penulis menyatakan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum luar biasa, PK merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Adami mencontohkan, tragedi besar dalam penegakan hokum itu dimulai di era Orde Baru, jaksa mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK yang sangat bermuatan politis itu dikabulkan. Kejaksaan berhasil menggolkan aturan Peninjauan Kembali (PK) jaksa di Mahkamah Agung. Keberhasilan ini langsung dipertanyakan berbagai kalangan. Tentu sangat controversial sekali.Padahal menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Disini Jaksa mencoba menorobos aturan dasar KUHAP dengan mengajukan PK dan MA mengabulkan. Ini menyalahi. PK sejak awalnya , bukan untuk negara dalam hal ini jaksa," kata pakar hukum pidana Universitas Brawijaya yang kini sudah tampak sepuh ini. (harun). (Sumber: http://otonominews.com/)