Minggu, 06 September 2009

IMPLIKASI PUTUSAN MK No. 13/PUU-I/2003

IMPLIKASI YURIDIS
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO. 03/PUU-I/2003 TANGGAL 22 JULI 2004
(Drs. Adami Chazawi, S.H)*
(Diajukan dalam diskusi panel yang diadakan oleh Kantor Advokat Haris – Fauzi – Agus
bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang tanggal 4-9-2004)

Dalam mengawal tegaknya konstitusi, MK telah membuktikan jati diri sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang mandiri dan tidak terpengaruh bentuk apapun dari luar melalui putusannya No. 03/PUU-I/2004 (23-7-2004), yang dalam mengabulkan permohonan salah seorang terpidana kasus Bom Bali: Sdr. Masykur Abdul Kadir, pada saat gencarnya negara dan dunia internasional melawan kejahatan teroris. MK mengambil putusan yang berani - dalam dua amar yang bagi sebagian orang dapat dinilai kontroversial, yakni diktum kedua: “menyatakan UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945”, dan diktum ketiga: “menyatakan UU No. 16 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, yang pada saat dan sikon yang demikian - putusan mana terkesan melawan arus pendapat umum yang sangat kuat.
Bagi pihak yang kontra terhadap putusan tersebut, bisa saja menilai bahwa putusan itu tidak bulat, karena diantara 9 (sembilan) hakim, ada 4 hakim yang berpendapat lain. Kenyataan ini bagi mereka dapat dijadikan alasan bahwa kebenaran hukum yang diciptakan melalui putusan pengadilan bukanlah kebenaran hakiki, melainkan kebenaran semu.
Namun apapun argumentasinya, putusan telah jatuh telah dan final. Kebenaran hukum yang ditegakkan melalui putusan MK tidak dapat dianggap sekedar putusan untuk kemenangan pemohon Sdr. Masykur Abdul Kadir belaka, melainkan putusan untuk tegaknya konstitusi negara dan keadilan seluruh anak bangsa tercinta dimuka bumi ini.

A. PENDAHULUAN.
Peristiwa peledakan BOM Bali terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002. Pada tanggal 18 Oktober 2002 pemerintah mengeluarkan/memberlakukan 2 (dua) Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpepu) mengenai dan yang berkaitan dengan kejahatan teroris, ialah:
1. Pertama, Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; dan
2. Kedua, Perpepu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perperpu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Sebagaimana ketentuan pasal 22 ayat (2) UUD Negara, Perpepu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut, maka kedua Perpepu (nomor 1 dan 2) tersebut pada tanggal 4 April 2003 (yang sama) disetujui oleh DPR menjadi sebuah UU difinitif, masing-masing melalui UU No. 15 Tahun 2003 (dapat disebut UU No. 15/Perpepu/2003 atau disingkat UU No. 15/2003) dan UU No. 16 Tahun 2003 (dapat disebut UU No. 16/Perpepu/2003 atau disingkat UU No. 16/2003).
Jadi jelaslah bahwa UU No. 16/Peperpu/2003 yang diundangkan/ diberlakukan pada tanggal 4 April 2003, pada dasarnya telah berlaku sebagai perpepu (kekuatan hukum berlakunya sama dengan UU) bukan saja sejak tanggal 18 Oktober 2002, akan tetapi telah diberlakukan surut pada peristiwa Bom Bali yang terjadinya tanggal 12 Oktober 2002 atau 6 (enam) hari maju kedepan, yang ketentuan seperti ini disebut retro aktif, dan benar-benar dilarang dalam hukum pada negara-negara modern, termasuk Indonesia.
Putusan MK Nomor 013/PUU-I/2003 tanggal 23 Juli 2004 bermula dari permohonan Sdr. Masykur Abdul Kadir melalui para Penasehat Hukumnya dalam perkaranya – perkara pidana (didakwa) terlibat kasus bom Bali. Sebagaimana disyaratkan oleh pasal 51 ayat (1) UU No. 24/2003 tentang MK, untuk dapat diterimanya permohonan bagi uji materiil UU atas UUD, ialah pemohon harus dapat membuktikan bahwa hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu UU in casu UU No. 16 Tahun 2003. Letak hal yang merugikan pemohon ialah, pada pokoknya UU No. 16/2003 yang memberlakukan surut pada peristiwa bom Bali, yang in casu seharusnya tidak diberlakukan surut kepada dirinya yang didakwa terlibat pada peristiwa peledakan bom Bali tersebut, karena ketentuan UU yang demikian adalah bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) UUD Negara 1945. UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada kenyataannya, lebih kuat menyerang hak-hak dan kepentingan hukum tersangka atau terdakwa dari pada ketentuan didalam hukum pidana yang ada sebelumnya yang seharusnya berlaku terhadap kasusnya.
Atas dasar/alasan itu, maka pemohon dalam petitum permohonannya meminta agar MK memutuskan untuk:
1. menerima permohonan uji materiil atas UU No. 16/2003 terhadap UUD 1945 untuk seluruhnya;
2. menyatakan UU No. 16 Tahun 2003 adalah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
3. mencabut UU No. 16/2003 dan menyatakan tidak berlaku;
Setelah tertunda kurang lebih 5 (lima) bulan sejak sidang terakhirnya – akhir Pebruari 2004, maka dalam sidangnya pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 2004 MK memutuskan yang amar - singkatnya adalah:
1. Mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Pemohon untuk pengujian UU No. 16/2003 terhadap UUD Negara 1945;
2. Menyatakan bahwa UU No. 16/2003 bertentangan dengan UUD Negara RI 1945;
3. Menyatakan bahwa UU No. 16/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tidak dapat tidak, dari putusan MK yang amarnya demikian, tentu ada ada pengaruhnya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat maupun yang belum, termasuk pekerjaan penyelidikan dan penyidikan bagi pelaku-pelaku lainnya yang belum diadili dan diputus pengadilan.
B. ASAS NON-RETROAKTIF DAN PASAL 28 I AYAT (1) UUD 1945.
Asas non retroaktif adalah suatu asas fondamental dalam hal berlakunya hukum pidana yang umurnya telah sangat tua, diperjuangkan oleh para pendekar hukum dan demokrasi lebih dari 3 abad lalu seperti Motesquieu (1689-1755) dan von Feuerbacht (1755-1833). Dianut dan dimuatnya asas non retroaktif dalam hal berlakunya hukum pidana adalah sebagai puncak keberhasilan atas perlawanan dan reaksi terhadap kekuasaan absolut raja-raja terutama di Perancis sebelum timbulnya revolusi Perancis (1789-1795). Dengan dianutnya ajaran Trias Politica dari Montesquieu, maka untuk mempidana seseorang yang melakukan suatu perbuatan, diharuskan terlebih dulu (syarat mutlak) ialah adanya ketentuan hukum yang melarang perbuatan itu dengan disertai ancaman pidana tertentu. Jadi jelas sekali tujuannya ialah, pertama untuk menjamin hak-hak penduduk dari perlakuan kesewenang-wenangan pemegang kekuasaan negara, dan kedua – untuk menjamin kepastian hukum.
Larangan memberlakukan surutnya hukum pidana, adalah merupakan isi asas legalitas atau juga dikenal asas nulla poena. Ketentuan ini pertama kali dimuat dalam pasal 8 Declartion des droits de L’homme et du Citoyen Tahun 1789 di Perancis pada jaman revolusi Perancis yang bunyinya: “tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam UU dan diundangkan secara sah (Moeljatno,1983:24). Asas ini kemudian dimuat dalam pasal 4 Code Penal Perancis tahun 1810.
Ketika Negara Belanda dibawah jajahan pemerintah Napoleon (1811-1813) maka Code Penal Perancis ini diberlakukan pula di Negara Belanda. Walaupun Belanda lepas dari Perancis dalam tahun 1813, namun Code Penal tetap berlaku di Belanda sampai tahun 1886, yakni ketika diundangkan/ diberlakukannya WvS Belanda yang telah disusun sejak 1881 (oleh sebab itu dapat disebut WvS 1881). Dalam WvS 1881 ini asas legalitas dimuat dalam pasal 1. Berlandaskan asas konkordansi, maka WvS Belanda ini pada tanggal 1 Januari 1918 diberlakukan pula di Hindia Belanda kini Indonesia, dan asas non retroaktif tetap tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP kita hingga sekarang.
Pasal 1 ayat (1) KUHP merumuskan: “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan” (terjemahan Moeljatno,2003:3). Jadi, sebetulnya dari rumusan diatas, dalam asas legalitas mengandung 3 (tiga) isi dasarnya, ialah:
1. hukum pidana harus ditetapkan lebih dulu secara tertulis;
2. dalam hal untuk menetapkan perbuatan sebagai dilarang oleh hukum tertulis tidak diperkenankan menggunakan penafsiran analogi; dan
3. ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut (non-retroaktif atau terugwerkend).
Jadi jelas sekali bahwa muatan dasar asas legalitas - yang salah satunya berupa larangan berlaku surutnya UU (non-retroaktif) berlatar belakang pada kepastian hukum dalam hubungannya dengan perlindungan hukum atas hak dan kepentingan hukum penduduk negara yang berhadapan dengan kekuasaan negara, yang konkritnya mencegah kesewenang-wenangan negara dalam menggunakan kekuasaannya dalam menerapkan hukum terhadap penduduk negara.
Asas non retroaktif ini juga dimuat dalam UU No. 39 Tahun 1999, pasal 4 yang rumusan selengkapnya ialah: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Khususnya jaminan tegaknya asas non retroaktif ditegaskan kembali dalam pasal 18 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang HAM tersebut. Ini membuktikan bahwa hak untuk tidak dituntut dan diadili atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak yang paling dasar dari HAM dalam sistem berlakunya hukum negara kita.
Walaupun asas legalitas yang salah satu muatan dasarnya ialah asas non-retroaktif pada mulanya tidak termuat secara formal dalam UUD 1945 ketika diundangkan tanggal 18 Agustus 1945 (tapi dimuat dalam pasal 14 ayat 2 Konstitusi RIS maupun UUDS 1950), namun ketika bangkitnya orde reformasi – yang mengedepankan tegaknya hukum dan demokrasi, maka jaminan hukum bagi terlaksananya hak dan perlindungan hukum penduduk negara dari kesewenangan negara (penguasa negara) kemudian dimuat dalam UUD Negara melalui amendemen kedua (disahkan 18-7-2001), yakni dimuat dalam pasal 28 I ayat (1). Bunyi lengkapnya ialah: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Jadi muatan asas non retro-aktif dalam pasal 28 I ayat (1) UUD Negara 1945 sebelumnya telah dimuat baik dalam pasal 1 ayat (1) KUHP maupun pasal 4 dan 18 UU No. 39/1999 tentang HAM. Dengan rumusan yang tegas dalam pasal 28 I ayat (1) UUD Negara, nampaknya tidak akan terjadi pengurangan atau pengekangan atas tegaknya asas non retro aktif tersebut. Namun – ternyata kini, yang semula asas ini dinilai begitu indahnya - kemudian harus berhadapan dengan kenyataan atas suatu kejadian ialah peristiwa peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002, yang menurut penilaian Pemerintah dan DPR – pembentuk UU perlu asas non-retroaktif dikecualikan dengan alasan kesengajaan para pembuat atas peristiwa Bom Bali adalah sudah merupakan bagian kejahatan HAM berat, kejahatan HAM berat mana adalah telah masuk dalam kategori kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime). Hanya dalam hal kejahatan yang luar biasa saja - asas non retro aktif dapat disimpangi dengan merujuk pada peradilan Nereunburg atas penjahat perang Nazi dalam perang dunia II. Kejahatan perang adalah salah satu bentuk kejahatan HAM berat yang merupakan kriteria untuk menyimpangi dari asas non retroaktif.
Dari pasal 28 I ayat (1) UUD Negara 1945, hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, adalah:
1. hak untuk hidup;
2. hak untuk tidak disiksa;
3. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4. hak beragama;
5. hak untuk tidak diperbudak;
6. hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum; dan
7. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Apabila dilihat - begitu tegasnya rumusannya – khususnya dilihat dari anak kalimat (frasa) “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, maka dari segi bahasa 7 (tujuh) HAM tersebut (HAM yang paling dasar dari manusia menurut hukum Indonesia) tidak mungkin lagi dapat disimpangi dengan cara bagaimanapun, termasuk dengan mencari dasar pembenar dengan menghubungkannya pada Pengadilan Nereunburg. Dengan mengambil pendapat ahli DR. Maria Farida Indrati, SH., MH, halaman 42), memang ketegasaan rumusan pasal 28 ayat (1) UUD Negara dimunculkan oleh MK dalam pertimbangan hukum putusan No. 013/PUU-I/2003, dan oleh karena itu - dalam hal ini, putusan MK tersebut dapat dipandang sebagai “wujud nyata dalam hal mempertahankan dan mempertegas” kembali rumusan pasal 28 I ayat (1) UUD Negara.
Akan tetapi apabila kita analisa lebih mendalam, khususnya terhadap hak untuk hidup telah sejak lama menurut hukum pidana kita boleh diserang dengan pidana mati yang pemuatannya dalam pasal 10 KUHP (yang walaupun di Belanda sendiri sejak tahun 1870 telah meniadakan pidana mati – tapi di Hindia Belanda tetap dipertahankan).
Apakah dengan demikian pasal 10 KUHP dapat dianggap sebagai perkecualian dari pasal 28 I ayat (1) UUD Negara? Dengan adanya fakta putusan MK No. 013/PUU-I/2003, barangkali benar, bahwa mengenai hubungan pidana mati dalam pasal 10 KUHP dengan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 – akan timbul pendapat sbb:
1. Pertama, dengan alasan apapun pidana mati dalam pasal 10 KUHP (tentu pidana mati dalam hukum pidana menurut UU lainnya diluar KUHP yang ada sebelum tanggal 17-8-2001) adalah bertentangan dengan isi norma pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Atas dasar ini maka mengenai keberadaan pidana mati dalam UU bisa jadi - kedepan dapat diajukan uji materiil juga seperti UU No. 16/2003, yang - tentu tidak tertutup kemungkinan pula akan dinyatakan tidak berlaku oleh MK seperti pada putusan No. 013/PUU-I/2003.
2. Kedua, walaupun pada dasarnya pidana mati dapat mengalami nasib seperti asas non retro-aktif, namun sebelum adanya pencabutan berdasarkan UU oleh pembentuk UU atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum berlakunya oleh MK, maka pidana mati tetap eksis. Namun jika ada pribadi yang karenanaya merasa dirugikan – tentu tidak tertutup kemungkinan akan mengajukan uji materiil atas keberadaan pidana mati terhadap pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 tersebut – dan dalam putusannya - siapa yang dapat menghalangi jika MK akan menarik amar yang sama dengan amar dalam putusan MK No. 013/PUU-I/2003?. Bukankah putusan ini dapat dijadikan dasar sebagai yurisprodensi tetap dalam peradilan konstitusi di negara kita?
Bahwa kini bagi penentang keberadaan pidana mati, dengan terbitnya putusan MK tersebut - jelas mendapatkan angin segar dalam upayanya untuk menghapuskan pidana mati dalam perbendaharaan hukum positif kita.
C. TIDAK ADANYA HUKUM PIDANA LAIN YANG SEPADAN YANG DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PENUNTUTAN DAN PEMIDANAAN ADALAH SEBAGAI DASAR PEMBENAR UNTUK MENGECUALIKAN PASAL 28 I AYAT (1) UUD NEGARA.
Bahwa dasar / alasan mengenai pertimbangan hukum menolak diberlakukan surutnya UU No. 16/2003 pada peristiwa Bom Bali, sudah final – secara hukum tidak dapat diubah lagi. Tetapi marilah kita mencoba melihatnya dari sudut syarat yang lain, sebagaimana yang tercermin dalam sub judul C tersebut diatas.
Bahwa dari sudut bunyi rumusan pasal 28 I ayat (1) UUD, sesungguhnya persoalannya bukan apakah asas non retroaktif dapat disimpangi atau tidak (sebagaimana penekanan dasar dalam putusan maupun dessenting of opinion), akan tetapi dari sudut logika hukum, “apakah UU No. 16/2003 itu mempunyai dasar pembenar yang cukup dan masuk akal untuk menyimpangi pasal 28 I ayat (1) UUD? Dari bunyi rumusan pasal 28 I ayat (1) UUD., jelas asas non retro aktif dalam keadaan apapun tidak boleh disimpangi. Tetapi jika mencari dasar pembenar untuk dimungkinkan dalam peristiwa tertentu menyimpangi ketentuan HAM yang paling dasar tersebut, mungkin bisa ditemukan. Tetapi atas temuan itu, baik kuat atau tidak, tetap bergantung pada titik akhir sebagai standarnya ialah pada dua syarat yang harus ada, ialah:
1. Pertama, harus tidak adanya hukum pidana positif (terutama hukum materiil) yang dapat digunakan sebagai dasar penanganan represif suatu peristiwa tertentu. Jadi pertanyannya in casu, adalah “apakah dengan tidak disimpanginya ketentuan UUD dapat mengakibatkan kejahatan teroris Bom Bali menjadi tidak dapat dipidana? Jawaban dari pertanyaan ini, ternyata “tidak”. Masih cukup adanya hukum positip pidana materiil yang dapat diterapkan pada peristiwa Bom Bali, dan begitu juga hukum possitif pidana formil dalam KUHAP dapat dan cukup memadai untuk memproses kejahatan dalam peristiwa Bom Bali.
2. Kedua, kalaupun ada, masih juga bergantung pada syarat kedua, ialah beban pertanggungjawaban pidana menurut hukum materiil yang lain – yang dapat menampung atau diterapkan atau ditegakkan pada peristiwa tertentu haruslah tidak sepadan / tidak sebanding dengan beban pertanggungjawaban hukum pidana menurut hukum pidana yang hendak diberlakukan surut tersebut. Pada syarat kedua ini - nilai keadilan tetap ditegakkan dan tidak dicederai.
Jadi kesimpulannya ialah, bahwa kemungkinan penyimpangan dari asas non retroaktif hanya dapat dilakukan apabila hukum pidana yang telah ada tidak dapat digunakan untuk melakukan penegakan hukum terhadap suatu peristiwa yang mengandung kejahatan HAM berat yang termasuk kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), atau adanya hukum pidana yang dapat digunakan - akan tetapi beban pertanggungjawaban pidananya tidak sebanding dengan beban pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana yang hendak diberlakukan surut.
Tidak sebanding dapat mengandung salah satu diantara 2 (dua) arti, ialah:
1. Beban pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana lain yang telah ada jauh lebih ringan dari pada beban pertanggunganjawaban pidana menurut hukum pidana yang hendak diberlakukan surut. Syarat ini diperlukan dalam hal untuk menjamin hak dan kepentingan hukum pembuat agar tidak diberlakukan hukum pidana yang lebih berat dari pada yang seharusnya diberlakukan terhadapnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP.
2. Beban pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana lain yang telah ada lebih dulu adalah jauh lebih berat dari pada beban pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana yang hendak diberlakukan surut. Pemenuhan syarat ini diperlukan untuk menjamin tegak dan berlangsungnya keadilan. Adalah untuk menjamin agar putusan yang dijatuhkan dan dijalankan oleh negara dalam hal mengorbankan jaminan atas hak dan kepentingan hukum dari diberlakukan surutnya hukum tidak mencederai keadilan umum masyarakat.
Demikian syarat yang dapat dipergunakan untuk menyimpangi asas non retro-aktif yang dijunjung tinggi dan sangat dihormati oleh bangsa-bangsa beradab dimuka bumi ini. Apabila syarat-syarat tersebut diatas tidak dipenuhi dan negara melakukannya juga, hal itu dapat dianggap sebagai kemunduran yang luar biasa. Sedangkan kriteria bidang kejahatannya haruslah berupa kejahatan HAM berat, tidak boleh pada sembarang bentuk kejahatan.
Apabila syarat atau kriteria yang dikemukan tersebut diatas diterapkan pada peristiwa Bom Bali, maka UU No. 16/2003 tidak mempunyai landasan pembenar yang cukup kuat dan masuk akal untuk menyimpangi asas non-retroaktif pada pasal 28 I ayat (1) UUD Negara.
Muatan kejahatan dalam peristiwa Bom Bali sudah tertampung dalam hukum pidana diluar UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tindak pidana yang membebankan pertanggungjawaban pidana pada pembuatnya dan yang terlibat – seimbang dengan beban pertanggungjawaban pidana menurut UU No. 15/2003, setidak-tidaknya adalah pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) dan pasal 1 ayat (1) UU No. 12/Drt/1951 (LN 1951 No.78). Kedua tindak pidana yang disebutkan terakhir masing-masing diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara 20 tahun, yang artinya seimbang dengan bentuk tindak pidana teroris yang terberat, seperti yang dimuat dalam pasal 6, 8, 9, 10 (terberat: diancam pidana mati), pasal 7 (diancam penjara seumur hidup).
Untuk perisitiwa Bom Bali, pasal 340 KUHP sangat tepat untuk diterapkan. Unsur kesengajaan ialah setidak-tidaknya kesengajaan sebagai kepastian (walaupun mungkin bukan kesengajaan sebagai maksud membunuh), dengan meledakkan sebuah bom ditengah keramaian atau dekat keramaian jelas disadari oleh pembuat-pembuatnya bahwa dengan meledaknya bom tersebut dipastikan ada orang atau banyak orang akan meninggal dunia karenanya.
Pasal 1 ayat (1) UU No. 12/Drt/1951 juga sangat tepat, banyak unsur perbuatannya yang masuk dalam peristiwa Bom Bali, khususnya yang unsur perbuatannya: membuat, menerima, menguasai, membawa, menyimpan, mempergunakan; dan objeknya: senjata api dan atau amunisi dan atau bahan peledak. Semua orang yang terlibat dalam perisitiwa Bom Bali tidak akan dapat lepas dari jerat UU No. 12/Drt/1951.
Apabila keadilan telah dapat ditegakkan dan dipertahankan melalui penerapan pasal 1 (1) UU No. 12/Drt/1951 dan atau pasal 340 KUHP, maka apakah ada keadilan yang lebih tinggi yang dapat ditegakkan diatas dengan menjatuhkan pidana kepada pembuat perisitwa bom Bali berdasarkan UU No. 15/2003 dimana dengan demikian mencederai berlakunya UUD Negara dan kepastian hukum?
D. IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MK NO. 013/PUU-I/2004.
Putusan MK yang amarnya menyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, itu bukan berarti membatalkan atau menjadikan batalnya atau dicabutnya UU No. 16/2003, akan tetapi daya/kekuatan untuk diterapkan, untuk diberlakukannya UU tersebut telah tiada. Memang akibat hukumnya adalah sama dengan dicabutnya suatu UU, tetapi secara substansial dicabutnya suatu UU dengan amar berisi pernyataan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah tidak sama. Mengandung akibat yang sama - dalam arti norma didalamnya telah tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan lagi. MK hanya berwenang membentuk amar yang sifatnya menyatakan (declaratoir) yang demikian. Sudah barang tentu siapapun termasuk Negara harus tunduk dan menghargai amar pernyataan itu.
Dengan amar yang menyatakan bahwa “UU No. 16 tidak mempunai kekuatan hukum yang mengikat”, menimbulkan beberapa pertanyaan dikalangan masyarakat yang jawabannya juga tidak semuanya dapat dibenarkan dari sudut hukum. Beberapa persoalan tersebut dapat dikemukakan dibawah ini.
1. Masih berlakukah UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terosisme?
Tentu saja UU No. 15/2003 tetap eksis dan berlaku; yang tidak berlaku ialah UU No. 15/2003 tersebut terhadap peristiwa Bom Bali. Artinya sejak tanggal 23 Juli 2004 penanganan hukum pidana (represif) terhadap pembuat (dalam arti pelaku pelaksana) dan orang-orang yang memberi andil atau terlibat (fisik maupun psychis) tidak didasarkan dan menggunakan hukum materiil dan formil dalam UU No. 15/2003 tersebut. Melainkan dengan didasarkan dan menggunakan hukum materiil (KUHP dan UU lainnya) maupun hukum formil (dalam KUHAP).
2. Bagaimana dengan pembuat-pembuat dan atau yang terlibat lainnya yang telah diputus oleh pengadilan?
Mengenai hal ini, bergantung pada salah satu dari 2 (dua) kemungkinan, ialah apakah putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum ataukah belum? Apabila putusan telah mempunyai kekuatan hukum pada saat jatuhnya putusan MK No. 013/PUU-I/2003 yakni tanggal 23 Juli 2004, maka putusan itu tidak terpengaruh lagi dari putusan MK tersebut. Pengaruh hukum atas putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum hanya dimungkinkan ialah apabila terpidana mengajukan grasi pada Kepala Negara atau mengajukan upaya PK ke Mahkamah Agung.
Apabila putusan pengadilan terhadap pembuat-pembuat dan yang terlibat pada peristiwa Bom Bali belum mempunyai kekuatan hukum tetap (karena banding atau kasasi), maka pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi) atau pengadilan kasasi (MA) tidak dibenarkan untuk menerapkan UU No. 15/2003 dalam pertimbangan hukumnya maupun amar putusannya, hukumnya adalah haram.
Apakah mungkin mereka dibebaskan (vrijspraak)? Tidaklah mungkin amar putusaan terhadap mereka akan membebaskan terhadap dakwaan salah satu bentuk kejahatan dalam UU No. 15/2003. Sebabnya, ialah dakwaan JPU mengenai kejahatan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus dianggap tidak berlaku, gugur demi hukum (karena didasarkan atas UU yang telah dinyatakan tidak berlaku), oleh karena itu tidak bisa menjatuhkan putusan yang amarnya pembebasan terhadap terdakwa yang didakwa tindak pidana yang didasarkan pada UU yang tidak berlaku. Dalam hal seperti ini pengadilan harus memberikan pertimbangan hukum tentang ketidak berlakunya UU No. 15 terhadap kasus Bom Bali tersebut, dan tidak bisa memberikan amar: pembebasan (vrijspraak), pelepasan dari tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) – apalagi pemidanaan (veroordeling).
Ataukah mungkin dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) atas kasus perisitiwa peledakan Bom Bali? Jawabannya – bergantung, apakah JPU mendakwakan pula tindak pidana yang lain - baik dalam susunan jenjang berikutnya, atau sebagai alternatif atau kumulatif dari dakwaan atas pelanggaraan atas UU No. 15/2003 ataukah tidak? Apabila JPU hanya menjaring terdakwa dengan dakwaan atas pelanggaran UU No. 15/2003 saja, maka jawabnya tentu saja – terdakwa akan lepas dari jeratan hukum dan bebas (dalam arti sosial) atas kasus / peristiwa Bom Bali.
Menurut akal – rasanya tidak mungkin para pembuat dapat terbebaskan dari pertanggungjawaban pidana atas peristiwa bom Bali. Atas dasar pengamatan, bahwa biasanya JPU dalam membuat surat dakwaan selalu berusaha memasukkan semua tindak pidana yang mungkin dapat mengena dalam suatu peristiwa tertentu, bahkan kadang-kadang cenderung berlebihan dan mengada-ada, maka sudah dapat dipastikan JPU akan melapisi, mengarternatifkan atau mengkumulatifkan dakwaan mengenai UU No. 15/2003 dengan tindak pidana menurut UU yang lain. Alangkah tidak masuk akalnya, apabila ada JPU dalam penanganan kasus Bom Bali ini hanya membuat dakwaan pelanggaran pasal tertentu UU No. 15/2003 saja. Jika ada JPU yang berbuat konyol seperti itu, maka patut dicurigai atau dipertanyakan perihal keseriusannya dan atau keilmuannya?
3. Bagaimana pula dengan pembuat dan yang terlibat yang belum sempat disidangkan di Pengadilan Negeri?
Untuk mereka harus diperlakukan menurut UU lain dari UU No. 15/2003 yang in casu proses penangannya berdasarkan semata-mata KUHAP, dan hukum materiilnya ialah KUHP atau UU lainnya yang terdekat atau dapat masuk dalam peristiwa Bom Bali. Dan haram hukumnya memberlakukan UU No. 15/2003 terhadap mereka.
4. Bagi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum, apakah putusan MK No. 013/PUU-I/2003 dapat dinilai sebagai novum yang menjadi dasar pengajuan upaya Peninjauan Kembali (PK)?
Jawabanya tidak bisa. Putusan MK tersebut menurut hukum bukanlah novum. Menurut hukum novum adalah keadaan (sesungguhnya fakta) yang sudah terdapat (ada) pada saat sidang berlangsung, namun melalui alat-alat bukti yang ada dan diajukan (baik oleh JPU maupun Penasehat Hukum) ke persidangan pengadilan (judex factie) - fakta itu belum/tidak terungkap (tidak diketahui), yang apabila fakta itu terungkap dalam persidangan, maka pengadilan akan menarik amar putusan yang lain (in casu: pembebasan, pelepasan dari tuntutan hukum, tuntutan tidak dapat diterima atau perkara itu diterapkan ketentuan hukum yang lain) dari pada putusan yang telah bersifat tetap tersebut (bandingkan dengan pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Sedangkan putusan MK No. 013/PUU-UI/2003 tidaklah memenuhi kriteria dari pengertian novum sebagaimana diatas. Boleh saja PK diajukan atas dasar putusan MK tersebut dengan mendalilkan sebagai novum, namun dapat dipastikan Mahkamah Agung akan menarik amar permohonan PK tidak dapat diterima. Boleh dicoba.
E. KESIMPULAN.
1. Atas permohonan uji materiil UU No. 16/2003 terhadap pasal 28 I ayat (1) UUD yang diajukan oleh sdr. MASYKUR ABDUL KADIR, Mahkamah Kostitusi dalam putusannya tanggal 23 Juli 2004 No. 013/PUU-I/2003 telah menyatakan:
° Mengabulkan permohonan pemohon untuk pengujian UU No. 16/2003 terhadap UUD Negara 1945;
° Bahwa UU No. 16/2003 bertentangan dengan UUD Negara 1945;
° Bahwa UU No. 16/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Bahwa dari putusan MK tersebut dapat ditarik suatu temuan hukum, ialah: “Penyimpangan dari asas non-retroaktif diperkenankan sepanjang untuk keperluan menegakkan keadilan bagi pelaku kejahatan-kejahatan HAM berat yang termasuk kategori kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan tidak cukup dengan melalui hukum pidana biasa. Muatan kejahatan dalam peristiwa Bom Bali bukanlah termasuk kejahatan HAM berat, yang masih dapat ditanggulangi melalui hukum pidana konvensional”.
3. Bahwa kriteria untuk dapat mengecualikan asas non-retroaktif yang digunakan MK adalah berupa kriteria mengenai objek muatan kejahatan dari penyimpangan, yang akan lebih baik dan sempurna apabila ditambah/disempurnakan dengan syarat utility dan keseimbangan, sehingga rumusnya ialah: “penyimpangan dari asas non-retroaktif hanya mungkin dilakukan apabila hukum pidana yang telah ada tidak dapat digunakan untuk melakukan penegakan hukum terhadap pembuat atau pembuat-pembuat suatu peristiwa yang mengandung muatan kejahatan HAM berat, atau dalam hal ada hukum pidana yang dapat digunakan akan tetapi beban pertanggungjawaban pidananya tidak sebanding dengan beban pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana yang hendak diberlakukan surut”.
4. Bahwa dengan terbitnya putusan MK No. 013/PUU-I/2003, maka sejak itu:
§ Perlakuan hukum terhadap para pembuat atau yang terlibat lainnya pada peristiwa Bom Bali yang belum diputus pengadilan dengan putusan yang tetap, tidak dapat diberlakukan UU No. 15/2003.
§ Putusan MK No. 013/PUU-I/2003 tidak mengandung makna hukum dan pengaruh hukum apapun terhadap pembuat atau yang terlibat lainnya pada peristiwa Bom Bali yang telah diputus pengadilan dengan putusan yang tetap.
§ Putusan MK No. 013/PUU-I/2003 hanya mempunyai pengaruh dan berlaku terhadap para pembuat dan atau yang terlibat lainnya dalam peristiwa Bom Bali yang belum ada perlakuan hukum terhadapnya atau telah ada perlakuan hukum akan tetapi belum diputus oleh pengadilan dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
§ Putusan MK No. 13/PUU-I/2003 bukan novum yang dapat digunakan sebagai dasar pengajuan upaya PK bagi terpidana dalam perisitiwa Bom Bali.
Demikian, apa yang dapat saya sampaikan. Semoga ada juga manfaatnya bagi peserta diskusi panel ini.
Malang, 4-9-2004.

* Ketua KHYI & Ketua Dewan Pertimbangan LHKI Pusat & Dosen FH UB Malang.