Minggu, 26 Juli 2009

PENGHINAAN KHUSUS MENURUT UU ITE


Oleh Drs. H. Adami Chazawi, S.H (Dosen FH UB)

Terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam Pasal 27 sampai 37 UU No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Satu diantaranya merupakan tindak pidana penghinaan khusus, dimuat dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (1).
Pasal 27 Ayat (3)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 45 Ayat (1)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar).
Tindak pidana penghinaan khusus dalam Pasal 27 Ayat (3) jika dirinci terdapat unsur berikut.
Unsur objektif
1. Perbuatan: a. mendistribusikan;
b. mentransmisikan;
c. membuat dapat diaksesnya;
2. Melawan hukum: tanpa hak;
3. Objeknya: a. informasi elektronik dan/atau
b. dokumen elektronik.
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Unsur subjektif
4. Kesalahan: dengan sengaja.
1. Perbuatan Mendistribusikan, Mentransmisikan, Membuat Dapat Diaksesnya
Tidak terdapat penjelasan apa-apa mengenai tiga perbuatan tersebut dalam UU ITE. Oleh karena itu harus dicari di luar UU, khususnya dari sudut harfiah yang disesuaikan dengan teknologi informasi. Diterapkan dengan mempertimbangkan segala keadaan dan sifat dari peristiwa konkret yang disangkakan/diduga memuat tindak pidana bentuk penghinaan menurut UU ITE tersebut.
Mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[1] Dalam konteks tindak pidana penghinaan dengan menggunakan sarana teknologi informasi menurut UU ITE. Kiranya perbuatan mendistribusikan diartikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.
Informasi elektronik yang didistribusikan adalah merupakan data atau sekumpulan data elektronik seperti tulisan, suara, gambar, gambar bergerak bersuara maupun tidak, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronik maill) telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, anda, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang mampu memahaminya.[2]
Perbuatan mendistribusikan data atau sekumpulan data elektronik tersebut dalam rangka melakukan transaksi elektronik. Suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan menggunakan sarana komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.[3]
Tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merupakan tindak pidana formil yang tidak murni, termasuk tindak pidana semi materiil. Mengapa? Karena untuk selesainya perbuatan mendistribusikan harus menggunakan indikator telah terdistribusikannya data atau sekumpulan data elektronik objek tindak pidana. Jaksa harus membuktikan keadaan tersebut.
Perbuatan menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang (benda) kepada orang lain (benda lain).[4] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.
Seperti juga perbuatan mendistribusikan, perbuatan mengandung sifat materiil. Karena perbuatan menstansmisikan dapat menjadi selesai secara sempurna, apabila data atau sekumpulan data elektronik yang ditransmisikan sudah terbukti tersalurkan atau diteruskan dan atau diterima oleh orang atau benda perangkat apapun namanya dalam bidang teknologi informasi. Keadaan ini harus pula dibuktikan oleh jaksa.
Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.
Dihubungkan dengan objek tindak pidana menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Perbuatan membuat dapat diaksesnya adalah melakukan perbuatan dengan cara apapun melalui perangkat elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi terhadap data atau sekumpulan data elektronik dalam melakukan transaksi elektronik yang menyebabkan data elektronik tersebut menjadi dapat diakses oleh orang lain atau benda elektronik lain.
Penghinaan khusus UU ITE dengan perbuatan “membuat dapat diaksesnya” merupakan tindak pidana materiil murni. Untuk terwujudnya secara sempurna tindak pidana ini, diperlukan akibat bahwa data atau sekumpulan data elektronik telah dapat diakses oleh orang lain atau seperangkat alat elektronik. Jaksa harus membuktikan bahwa data elektronik tersebut telah nyata-nyata diakses oleh orang lain. Minimal sudah terdapat/menyebar dalam perangkat elektronik yang lain dari perangkat elektronik semula yang digunakan oleh si pembuat.
2. Melawan Hukum: Tanpa Hak
Sebagaimana diketahui bahwa setiap unsur tindak pidana tidak berdiri sendiri. Selalu mempunyai hubungan dengan unsur-unsur lainnya. Dari sudut normatif, tindak pidana adalah suatu pengertian tentang hubungan antara kompleksitas unsur-unsurnya tersebut. Dari hubungan inilah kita dapat mengetahui alasan tercelanya perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana. Hubungan yang dekat dengan unsur tanpa hak dari perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses informasi elektronik, terdapat pada 2 unsur.
· Pertama secara objektif. Hubungan itu sangat dekat dengan sifat isi informasi elektronik yang didistribusikan, ditransmisikan oleh si pembuat. Sifat isi informasi atau dokumen (objek) elektronik tersebut mengandung muatan bentuk-bentuk penghinaan, utamanya bentuk pencemaran. Pada unsur inilah melekat sifat melawan hukum perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan informasi elektronik tersebut. Sekaligus merupakan alasan mengapa perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan menjadi terlarang. Oleh sebab itu, jika orang yang mengirimkan data elektronik tanpa memenuhi syarat tersebut tidak termasuk melawan hukum, dan tidak boleh dipidana.
· Kedua secara subjektif. Hubungan melawan hukum sangat dekat dengan unsur dengan sengaja (kesalahan). MvT WvS Belanda mengatakan bahwa “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.[5] Secara singkat sengaja artinya menghendaki (willens ) dan mengetahui (wetens). Mengenai keterangan dalam MvT WvS Belanda tersebut, Jan Remmelink menyatakan bahwa mengajarkan pada kita bahwa cara penempatan unsur sengaja dalam kentuan pidana akan menentukan relasi pengertian ini terhadap unsur-unsur delik lainnya: apa yang mengikuti kata ini akan dipengaruhi olehnya.[6]
Melihat letak unsur sengaja mendahului unsur perbuatan dan tanpa hak, maka tidak diragukan lagi. Bahwa si pembuat menghendaki untuk melakukan perbuatan mendistribusikan, menstransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. Kehendak ini termasuk juga pengetahuan yang harus sudah terbentuk sebelum berbuat, karena demikian sifat kesengajaan. Orang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang sudah diketahuinya.
Disamping itu sengaja harus juga ditujukan pada unsur tanpa hak. Apa artinya? Bahwa si pembuat sebelum menstransmisikan, mendistribusikan informasi elektronik atau dokumen elektronik tersebut. Telah mengetahui atau menyadari bahwa Ia tidak berhak melakukannya. Perbuatannya melawan hukum, tercela, tidak dibenarkan dan dilarang. Kesadaran yang demikianlah yang biasanya disebut dengan sifat melawan hukum subjektif. Suatu kesadaran yang tidak perlu mengetahui secara persis tentang UU atau pasal yang melarang. Cukup kesadaran bahwa perbuatan semacam itu tercela, tidak dibenarkan. Suatu kesadaran yang selalu ada bagi setiap orang normal pada umumnya. Orang yang berjiwa normal saja yang dapat menilai terhadap semua perbuatan yang hendak dilakukannya sebagai halal ataukah haram. Oleh karena itu untuk membuktikan kesadaran sifat melawan hukum perbuatan patokannya, ialah terbukti si pembuat berjiwa normal.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Pembentuk WvS Belanda telah mengambil sikap yang rasional mengenai unsur sifat melawan hukum. Bahwa dengan dibentuknya tindak pidana dalam UU sudah dengan sendirinya terdapat unsur sifat melawan hukum. Dalam setiap rumusan tindak pidana telah terdapat unsur melawan hukum. Meskipun di dalam rumusan tidak dicantumkan. Tidak perlu setiap rumusan tindak pidana selalu mencantumkan melawan hukum secara tegas. Hanya apabila dalam hal-hal ada alasan saja maka unsur melawan hukum perlu dicantumkan. Hal-hal yang dimaksud ialah apabila ada orang lain yang berhak untuk melakukan perbuatan yang sama seperti tindak pidana yang dirumuskan UU. Barulah dalam rumusan sifat melawan hukum perbuatan perlu dicantumkan. WvS bermaksud mencegah agar mereka yang menggunakan hak atau kewenangan mereka itu tidak sertamerta dipidana.[7]
Dengan mengingat petunjuk MvT WvS Belanda tersebut, kita harus memahami maksud pembentuk UU ITE mencantumkan unsur tanpa hak dalam rumusan tindak pidan Pasal 27 Ayat (3). Tentu ada maksud pembentuk UU ITE mencantumkan unsur tanpa hak (istilah lain dari melawan hukum) dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut. Kiranya maksud pembentuk UU ITE ditujukan agar orang yang berhak melakukan perbuatan mendistribusi, mentransmisikan, membuat dapat diakses informasi elektronik tidak boleh dipidana. Meskipun informasi yang didistribusikan bersifat menghinakan orang lain.
Persoalannya ialah, dalam hal mana atau dengan syarat apa orang yang mendistribusikan, mentrasmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang isinya bersifat menghina tersebut berhak melakukannya? UU ITE tidak memberikan keterangan apa-apa. Oleh karena itu harus dicari dari sumber hukum penghinaan, ialah Bab XVI Buku II KUHP.
Bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP bersumber pada pencemaran (Pasal 310). Bentuk-bentuk penghinaan tersebut mengandung sifat yang sama, ialah terdapat pada pencemaran. Setiap bentuk penghinaan selalu bersifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang. Oleh sebab itu pencemaran dapat dianggap sebagai bentuk standar penghinaan.
Pada pencemaran terdapat alasan peniadaan sifat melawan hukum perbuatan (ayat 3). Pencemaan tidak dipidana apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Dua keadaan inilah yang menyebabkan si pembuat berhak mendistribusikan, mentransmisikan informasi elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan. Dengan hapusnya sifat melawan hukum sama artinya dengan si pembuat berhak melakukannya.
Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya. Bahwa untuk dapat mengajukan alasan demi kepentingan umum. Disamping memang sangat perlu, dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi si pembuat sendiri. Melainkan untuk kepentingan orang lain (umum). Juga isi yang disampaikan haruslah benar, tidak boleh palsu. Sementara itu, untuk dapat mengemukakan alasan membela diri, diperlukan 2 syarat. Pertama, harus terlebih dulu ada perbuatan - berupa serangan oleh orang lain yang bersifat melawan hukum. Kedua, apa yang dituduhkan isinya harus benar. Si pembuat harus dapat membuktikan syarat-syarat tersebut.
Demikianlah arti dan maksud mencantumkan unsur tanpa hak dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.
3. Objeknya: Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang Memiliki Muatan Penghinaan dan /atau Pencemaran Nama Baik
Seperti halnya unsur perbuatan, objek tindak pidana selalu dicantumkan secara tegas dalam setiap rumusan tindak pidana. Mengetahui unsur objek tidak sulit. Karena hampir pasti diletakkan di depan unsur perbuatan. Kecuali ada tindak pidana tertentu dimana unsur objek tidak persis diletakkan di depan unsur perbuatan. Dicontohkan pada penipuan. Objek yang diletakkan di depan perbuatan menggerakan adalah orang. Orang bukan unsur objek tindak pidana penipuan, tetapi objek perbuatan menggerakkan. Objek penipuan adalah barang, utang dan menghapuskan piutang.
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (elektronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[8]
Sementara dokumen elektronik tidak diberikan keterangan apapun dalam UU ITE. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan. Dokumen adalah 1 surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian); 2 barang cetakan atau naskah karangan yang dikirim melalui pos; 3 rekaman suara, gambar dalam filem, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti keterangan.[9]
Dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan menerapkannya pada objek tindak pidana, maka dapat didefinisikan. Dokumen elektronik adalah surat tertulis atau tercetak yang disimpan secara elektronik yang isinya dapat dipakai sebagai bukti berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Ada 3 hal yang perlu dipahami mengenai anak kalimat “yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.
· Pertama, unsur ini merupakan unsur keadaan yang menyertai yang melekat pada objek informasi dan/atau dokumen elektronik. Meskipun dua unsur ini dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan.
· Kedua, pada unsur inilah melekat/letak sifat melawan hukum dari perbuatan mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksenya informasi elektronik. Sekaligus di dalamnya diletakkan maksud dan tujuan dibentuknya tindak pidana ini. Sebagai memberi perlindungan hukum terhadap harga diri, martabat mengenai nama baik dan kehormatan orang.
· Ketiga, sebagai indikator bahwa tindak pidana ini merupakan lex specialis dari bentuk-bentuk penghinaan umum, utamanya pencemaran dalam KUHP.
Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, terdapat 6 indikator lex specialis. Maka jelas penghinaan dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (1) UU ITE merupakan lex specialis dari bentuk-bentuk penghinaan dalam KUHP, khususnya pencemaran. Unsur lex generalis yang harus ada dalam penghinaan UU ITE, ialah salah satu bentuk-bentuk penghinaan dalam KUHP, khususnya pencemaran. Apa alasannya?
· Dalam frasa yang memiliki muatan penghinaan, khususnya kata/unsur penghinaan dalam kalimat rumusan Pasal 27 Ayat (3) mengandung makna yuridis adalah semua bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI buku II KUHP. Mulai pencemaran, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, menimbulkan persangkaan palsu sampai penghinaan pada orang mati.
· Dalam frasa pencemaran nama baik sudah dapat dipastikan, bahwa maksudnya adalah pencemaran (bentuk standar) dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Hanya saja rumusan Pasal 27 Ayat (3) tersebut kurang lengkap. Tidak menyebutkan objek pencemaran yang lain ialah hehormatan (eer). Harga diri dibidang nama baik (goeden naam) itu merupakan salah satu saja dari objek pencemaran, selain kehormatan (eer).
Menuliskan frasa “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, dirasa janggal. Karena kurang tepat. Sebagaimana diketahui, penghinaan (beleediging) bukan nama/kualifikasi sebuah tindak pidana. Melainkan nama suatu kelompok tindak pidana yang mempunyai kesamaan sifat. Terutama kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kejahatan-kejahatan tersebut.
Demikian juga dengan menggunakan kata “atau pencemaran nama baik” setelah kata penghinaan. Seolah-olah penghinaan itu lain artinya dengan pencemaran. Padahal di dalam penghinaan terdapat pencemaran. Seharusnya cukup menggunakan kata penghinaan saja.
Namun dapat dimengerti, apabila maksud pembentuk UU ITE diantara sekian banyak bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP tersebut, yang diutamakan adalah pencemaran.
Ada persoalan lain pula. Apakah unsur/kata penghinaan dalam tindak pidana penghinaan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dapat diberlakukan pula bagi penghinaan khusus di dalam KUHP? Sebagaimana yang sudah dibicarakan sebelumnya. Dalam KUHP juga terdapat tindak pidana penghinaan khusus. Terdapat dalam Pasal-pasal: 134, 136 bis, 137 (ketiganya sudah tidak berlaku)[10] 142, 142a, 143, 144, 154a, 154 dan 155 (tidak berlaku)[11], 156, 156a, 157, 207, 208 KUHP. Perlu disampaikan bahwa penyebutan penghinaan khusus dalam pasal-pasal KUHP tersebut, tidak menggunakan 6 indikator lex specialis sebagaimana diterangkan sebelumnya. Melainkan berdasarkan sifat umum dari bentuk-bentuk penghinaan. Sifat umum itu ialah, bahwa penghinaan menyerang rasa harga diri mengenai kehormatan dan nama baik individu atau sekelompok orang. Menimbulkan perasaan malu, amarah, jengkel, sakit hati, merendahkan harga diri pribadi atau kelompok orang. Semua perasaan tersebut membuat orang tidak nyaman dan menyakitkan. Berdasarkan sifat umum penghinaan, maka penghinaan dalam pasal-pasal tersebut dengan alasan apapun harus diterima sebagai bagian dari bentuk-bentuk penghinaan.
Oleh karena itu apabila kita mendasarkan pada sifat umum penghinaan, maka tidak ada alasan yang kuat untuk menolak bahwa penghinaan khusus dalam UU ITE ini dapat juga diberlakukan pada bentuk-bentuk penghinaan khusus yang terdapat dalam KUHP. Asalkan dapat terpenuhi semua unsur-unsur khusus dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Baik perbuatannya maupun objeknya sebagaimana yang sudah diterangkan sebelumnya. Perbuatann mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya. Sementara objeknya adalah informasi elektronik atau dokumen elektronik, dimana isinya bersifat menghina orang pribadi maupun kelompok orang.

[1] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[2] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
[3] Lihat Pasal 1 Angka 3 UU ITE.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[5] Moeljatno, Op.cit., halaman 171.
[6] Jan Remmelink, Op.cit., halaman 152.
[7] Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 187.
[8] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit., halaman 338.
[10] Norma ketiga pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 6 Desember 2006.
[11] Norma tindak pidana pada kedua pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan MK No. 6/PUU-V/2007 tanggal 16 Juli 2007.

PENGHINAAN KHUSUS DALAM UU PENYIARAN

Oleh Drs. Adami Chazawi, S.H (Dosen FH UB)


A. HUBUNGAN ANTARA PENGHINAAN KHUSUS DENGAN PENGHINAAN UMUM
Bentuk-bentuk penghinaan khusus selain dirumuskan dalam KUHP di luar Bab XVI, juga terdapat di luar KUHP. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penghinaan khusus baik yang ada di dalam KUHP (diluar Bab XVI Buku II) maupun diluar KUHP, juga masih ada hubungannya dengan bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI KUHP.[1] Meskipun penerapan pidananya tetap berdasarkan bentuk penghinaan khususnya. Hal ini didasarkan pada azas lex specialis derogat legi generali. Ada 6 ciri sebagai indiktor tindak pidana lex specialis dari suatu lex generalis.
1. Dalam tindak pidana lex specialis harus mengandung semua unsur pokok tindak pidana lex generalis. Ditambah satu atau beberapa unsur khusus dalam lex specialis yang tidak terdapat dalam lex generalisnya. Unsur yang disebutkan terakhir sebagai unsur khususnya yang menyebabkan tindak pidana tersebut merupakan lex specialis dari suatu lex generalis. Dicontohkan Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (3) UU ITE sebagai lex specialis dari Pasal 310 KUHP. Untuk terbukti adanya penghinaan menurut Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (3) UU ITE, telebih dulu harus terbukti adanya pencemaran dalam Pasal 310 KUHP sebagai lex generalis pencemaran. Ditambah satu lagi unsur khususnya, ialah terbukti pula pencemaran tersebut dengan menggunakan sarana elektronik.
2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum dan bentuk khususnya harus sama. Misalnya lex generalis penghinaan, lex spesialisnya juga penghinaan. Jika lex generalisnya mengenai pornografi, maka lex specialisnya juga harus mengenai pornografi.
3. Harus terdapat persamaan subjek hukum tindak pidana lex specialis dengan subjek hukum lex generalis. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Tidak boleh subjek hukumnya yang dianggap lex specialisnya korporasi, sementara lex generalisnya orang. Inilah alasan yang paling masuk akal, bahwa pencemaran tertulis dan delik kesusilaan misalnya pornografi melalui media cetak tidak bisa menerapkan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.[2]
4. Harus terdapat persamaan objek tindak pidana antara lex specialis dengan objek lex generalis. Kalau objek tindak pidana lex generalis adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan orang. Kalau objek lex generalis adalah tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, maka objek lex specialisnya juga merupakan tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan..
5. Harus ada persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex specialis dengan lex generalisnya. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormtan, maka lex specialisnya juga demikian.
6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas lex specialis derogat legi generali tidak berlaku. Karena dapat berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber yang lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah.
Ciri-ciri lex specialis tersebut diatas berlaku secara kumulatif. Bila tidak memenuhi salah satu dari indikator tersebut diatas, suatu norma tindak pidana tidak dapat disebut lex specialis. Keenam ciri itu yang digunakan untuk menentukan apakah suatu norma tindak pidana dalam UU ITE dan UU Penyiaran tersebut sebagai lex specialis dari bentuk-bentuk penghinaan umum.

B. PENGHINAAN KHUSUS DALAM UU No. 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN
Diantara 10 macam tindak pidana penyiaran yang dirumuskan dalam Pasal 57, 58 dan 59 UU Penyiaran terdapat dua bentuk tindak pidana penghinaan khusus.
1. Dalam Pasal 36 Ayat (5) huruf a jo Pasal 57 huruf d.
2. Dalam Pasal 36 Ayat (6) jo Pasal 57 huruf e.
Untuk lebih jelasnya bunyi redaksi rumus Pasal 36 dan 57 dikutip selengkapnya.

Pasal 36.
(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta wajib memuat sekurang-kurangnya 60 % (enam puluh perseratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.
(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarakan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
(5) Isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Pasal 57.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Ayat (3);
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (2);
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Ayat (5);
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Ayat (6).
Norma larangan (tindak pidana) bentuk-bentuk penghinaan dirumuskan dalam Pasal 36 Ayat (5) huruf a dan Ayat (6). Sementara bentuk ancaman pidananya dicantumkan dalam 57 Huruf e dan d.

1. Bentuk penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 36 Ayat (5) jo Pasal 57 Huruf d , apabila dirinci terdapat unsur.
a. Perbuatan: siaran (menyiarkan)
b. Objeknya: isi siaran bersifat fitnah;
2. Sementara bentuk penghinaan dalam dalam Pasal 36 Ayat (6) jo Pasal 57 Huruf e, apabila dirinci terdapat unsur.
a. Perbuatan: siaran (menyiarkan);
b. Objeknya: Isi siaran memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
1. Penghinaan Menyiarkan yang Isinya Bersifat Fitnah (Pasal 36 Ayat (5) jo 57 Huruf d)
a. Perbuatan menyiarkan
Perbuatan menyiarkan dalam Pasal 36 Ayat (5) UU Penyiaran tidak sama artinya dengan menyiarakan (verspreiden) dalam Pasal 310 Ayat (2) atau Pasal 157 Ayat (1) KUHP. Menurut KUHP menyiarakan (verspreiden) melakukan perbuatan dengan menyebarkan sesuatu (objek tindak pidana) kepada umum sehingga sesuatu tersebut diketahui oleh orang banyak (umum). Oleh karena tidak disebutkan caranya menyiarkan, maka cara tersebut harus disesuakan dengan sifat objek dan wadah objek yang disiarkan. Dicontohkan pencemaran tertulis Pasal 31 Ayat (2) KUHP. Wadah objek (kehormatan dan nama baik orang) pencemaran tersebut terdapat dalam bentuk tulisan, yang terdapat pada benda-benda yang mengandung sifat dapat ditulisi, misalnya kertas. Karena sifatnya, maka menyiarkan (verspreiden) dapat dilakukan dengan cara membuat tulisan dalam banyak lembar kertas (misalnya dalam majalah, tabloit dll). Kemudian disebarkan dengan cara bermacam-macam, sehingga tersebar pada umum. Berdasarkan pengertian yang demikian, maka sesungguhnya verpspreiden lebih tepat dibahasaIndonesiakan dengan menyebarkan dari pada menyiarkan.
Berbeda halnya dengan perbuatan menyiarkan dalam Pasal 36 Ayat (5) UU Penyiaran. Objek yang disiarkan menurut UU Penyiaran adalah merupakan pesan atau rangkain pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karater, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.[3] Oleh sebab itu pengertian siaran menurut UU penyiaran tidak sama persis artinya dengan menyiarkan (verspreiden) dalam hal pencemaran terulis [Pasal 310 Ayat (2) KUHP]. Sebagaimana menyiarkan dalam acara televisi oleh stasiun TV atau stasiun radio. Memang maksud dibentuknya tindak pidana penyiaran dalam UU Penyiaran secara khusus ditujukan bagi objek pesan yang disampaikan melalui siaran stasiun televisi atau stasiun radio. Berbeda halnya dengan perbuatan menyiarkan (verspreiden) dalam tindak pidana penyiaran dalam KUHP, seperti Pasal 310 Ayat (2), 144 Ayat (1), 155 Ayat (1), 157 Ayat (1), 282 Ayat (1) dan (2), dll. Objek tindak pidana penyiaran dalam KUHP pada dasarnya adalah berita dalam tulisan yang wadahnya kertas. Bentuknya majalah, koran, tabloit, lembar-lembar lepas seperti pamflet, selebaran.. Sifat perbuatan menyiarakan (verspreiden) yang dilakukan pada objek yang demikian, tidak sama dengan perbuatan menyiarkan terhadap objek pesan atau rangkaian pesan melalui media elektornik sebagaimana dimaksud Pasal 1 Angka 1 UU Penyiaran.[4]
Sebagaimana penjelasan otentik UU Penyiaran, dapatlah disimpulkan bahwa perbuatan menyiarkan adalah kegiatan memancarluaskan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.[5]
Meskipun terdapat perbedaan antara menyiarkan (verspreiden) dengan menyiarkan dalam UU Penyiaran, dilihat dari segi akibat perbuatan secara subtantif terdapat pesamaan. Kedua perbuatan itu menyebabkan objek pencemaran yang dilindungi kepentingan hukumnya tersebut itu diketahui umum.
b. Isinya Bersifat Fitnah
Oleh karena UU Penyiaran tidak memberi keterangan apa-apa mengenai unsur bersifat fitnah, maka harus kembali pada sumber utama hukum pidana ialah KUHP. Fitnah dalam KUHP dirumuskan dalam Pasal 311. Pasal 311 Ayat (1) merumuskan Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Dari rumusan fitnah tersebut dapatlah diketahui bahwa sesungguhnya dalam fitnah terdapat pencemaran, baik pencemaran lisan[6] maupun tertulis[7]. Fitnah merupakan pencemaran khusus. Pencemaran adalah standar bentuk-bentuk penghinaan, termasuk fitnah. Dapat diterima pendapat Wirjono Projodikoro yang mengatakan bahwa untuk mencari arti sesungguhnya tentang penghinaan haruslah dicari pada rumusan Pasal 310 Ayat (1) KUHP mengenai pencemaran, yang merupakan penghinaan bersahaja (eenvoudige beleediging).[8] Karena disanalah sesungguhnya intinya penghinaan, menjadi fondasi penghinaan. Oleh sebab itu dapat dianggap sebagai standar penghinan. Beliau juga menyimpulkan bahwa penghinaan berarti menyerang kehormatan atau nama baik orang, dan hal ini memang agak sama dengan pengertian penghinaan pada umumnya.[9]
Oleh karena fitnah merupakan bentuk khusus pencemaran, maka dalam fitnah harus terdapat unsur-unsur pencemaran. Unsur-unsur pencemaran Pasal 310 Ayat (1) adalah:
Unsur objektif
1. Perbuatannya: menyerang
2. Objeknya: a. kehormatan orang
b. nama baik orang
3. Caranya: dengan menuduhkan perbuatan tertentu
Unsur subjektif
4. Kesalahan: a. sengaja
b. maksudnya terang supaya diketahui umum
Pada unsur-unsur pencemaran tersebutlah letak hubungan atau persamaan antara fitnah menurut KUHP dengan fitnah menurut UU Penyiaran. Unsur-unsur Pasal 310 Ayat (1) KUHP sebagai unsur-unsur pokok lex generalis pencemaan yang juga merupakan unsur fitnah, yang harus juga terdapat dalam fitnah menurut Pasal 36 Ayat (5) Huruf a jo 57 huruf d UU Penyiaran. Sementara unsur lex specialis dalam Pasal 36 Ayat (5) Huruf a jo 57 huruf d UU Penyiaran, terletak pada objek yang disiarkan ialah pesan atau rangkaian pesan yang dilakukan dengan cara memancarluaskannya melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut maupun di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.[10]
Sebagai sifat/unsur khusus fitnah yang tidak harus ada pada pencemaran, ialah apa yang dituduhkan si pembuat harus tidak benar. Sementara dalam pencemaran, bisa terjadi pada tuduhan yang benar namun dengan maksud agar yang dituduh benar-benar menjadi malu. Unsur khusus ini terdapat dalam kalimat “tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui” dalam rumusan Pasal 311 Ayat (1) KUHP. Oleh karena unsur ini merupakan unsur mutlak dalam fitnah. Unsur inipun harus terdapat dalam fitnah menurut Pasal 36 Ayat (5) Huruf a jo 57 Huruf d UU Penyiaran. Oleh karena itu harus dibuktikan oleh jaksa.
Mengenai pencemaran dalam pasal 310 dan fitnah Pasal 311 KUHP dirasa tidak perlu dibicarakan lebih jauh lagi. Sudah cukup dibicarakan dalam Bab 3. Mahasiswa dan pembaca dapat membaca kembali.
Apakah kata “bersifat” dalam frasa “bersifat fitnah” mengandung arti khusus yang lain dari istilah fitnah sebagaimana yang telah diterangkan diatas? Memang dirasa pencantuman kata “bersifat” disana bisa menimbulkan penafsiran yang lebih luas dari sekedar pengertian fitnah. Perhatikan pendapat Wirjono Projodikoro yang menyebut bentuk penghinaan “menimbulkan persangkaan palsu” (lasterlijke aanklacht) dalam Pasal 318 KUHP yang disebut beliau dengan “pengaduan yang bersifat memfitnah”. Apabila kita perhatian pengertian yang sesungguhnya dari bentuk penghinaan Pasal 318 KUHP ini, dapatlah dimengerti pendapat beliau. Kejahatan pasal ini memang dapat menimbulkan fitnah bagi orang lain. Karena orang yang ditimbulkan persangkaan palsu melakukan tindak pidana tersebut sesungguhnya tidak benar. Ketidakbenaran ini merupakan syarat mutlak dari Pasal 318 KUHP tersebut.
Namun kalau Pasal 318 KUHP hendak dimasukkan pula ke dalam pengertian bersifat fitnah dari Pasal 36 Ayat (5) jo 57 Huruf d UU Penyiaran, harus dipikirkan lagi. Karena ada sifat yang tidak sama antara fitnah dalam Pasal 311 Ayat (1) KUHP dengan Pasal 318 KUHP. Bahwa dalam fitnah menurut Pasal 311 Ayat (1) harus secara tegas si pembuat menuduhkan suatu perbuatan tertentu pada seseorang. Perbuatan yang mempermalukan orang yang dituduh. Unsur ini sama dengan pencemaran. Sementara itu, dalam Pasal 318 KUHP tidak mengandung unsur tersebut. Melainkan perbuatan yang semata-mata menimbulkan persangkaan palsu (lasterlijke verdachtmaking) saja. Yang dilakukan, si pembuat tidak secara terang menuduhkan perbuatan tertentu. Jadi dari perbuatnnya sekedar menimbulkan kesan saja. Dicontohkan dengan maksud menimbulkan kesan A seorang pegedar narkotika. Seorang polisi melemparkan sebungkus kecil daun ganja ke dalam mobil A. Kemudian polisi temannya menangkap A bersamaan dengan barang tersebut. Polisi tadi telah melakukan kejahatan Pasal 318 KUHP.
Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa perbuatan menimbulkan persangkaan palsu menurut Pasal 318 KUHP dapat dilakukan dengan cara menggunakan sarana penyiaran. Dengan menyampaikan suatu pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau gambar bergerak beserta suara atau berbentuk grafis yang dapat diterima oleh umum melalui perangkat penerima siaran, yang isinya memberi kesan bahwa seseorang melakukan suatu kejahatan, yang sesungguhnya tidak dilakukannya. Dicontohkan sebuah stasiun TV menyiarakan seorang terdakwa telah dipidana penjara oleh hakim. Padahal orang tersebut masih dalam tahap penyidikan. Apabila sesungguhnya (kebenaran materiil) orang yang disiarkan tidak melakukan kejahatan yang disangkakan. Penanggungjawab penyiaran itu dapat dipidana. Orang yang menyiarkan juga dapat dipidana andaikata Ia mengerti tentang ketidak benaran berita yang disiarkan. Ketidak benaan berita bukan terletak pada keadaan orang yang disiarkan tidak melakukan kejahatan. Tetapi terletak bahwa orang itu tidak dipidana oleh hakim, melainkan sekedar dalam proses penyidikan saja. Orang yang sudah dipidana terkesan bahwa orang itu telah melakukan kejahatan. Padahal tidak.
Dari pembicaraan mengenai arti frasa/unsur “bersifat fitnah” dalam Pasal 36 Ayat (5) UU Penyiaran, dapatlah disimpulkan ada 2 pengertian. Luas dan sempit. Pengertian sempit ialah menunjuk pada Pasal 311 Ayat (1) jo Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Sementara pengertian luas termasuk juga Pasal 318 KUHP.
Oleh karena itu Jaksa yang mendakwakan Pasal 36 Ayat Huruf a (5) jo 57 Huruf d UU Penyiaran, wajib membuktikan pengertian luas ataukah pengertian sempit. Bergantung pada kasus poisisi dari perkara tersebut. Kedua pengertian tersebut dapat diterapkan. Masing-masing punya dasar.
2. Penghinaan Menyiarakan yang Isnya Memperolokkan, Merendahkan, Melecehkan dan/atau Mengabaikan Nilai-nilai Agama, Martabat Manusia Indonesia, atau Merusak Hubungan Internasional (Pasal 36 Ayat (6) jo Pasal 57 Huruf e)
Dari rumusan yang cenderung abstrak tersebut, dapat diketahui bahwa bentuk penghinaan ini tidak ada bandingannya dalam bentuk-bentuk penghinaan umum (Bab XVI Buku II KUHP). Oleh karena itu bukan merupakan lex specialis dari bentuk-bentuk penghinaan umum dalam KUHP. Merupakan penghinaan yang berdiri sendiri. Kecuali penghinaan terhadap objek nilai-nilai agama. Terdapat hubungannya dengan penghinaan/penodaan agama menurut Pasal 156a KUHP. Bentuk penghinaan terhadap nilai agama menurut Pasal 36 Ayat (6) UU Penyiaran bisa dianggap sebagai bentuk lex specialis dari penodaan agama dalam Pasal 156 a KUHP. Letak sifat khususnya ialah pada cara menyampaikan objek / isi penghinaan. Menurut UU penyiaran, objek isi pesan atau rangkaian pesan disampaikan dengan melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi yang dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.[11] Sementara perbuatan yang bersifat penodaan (penghinaan) agama menurut Pasal 156a KUHP dilakukan dengan cara yang lain. Dengan ucapan atau perbuatan fisik. Dicontohkan pada kasus penodaan agama oleh sekelompok orang di Batu Desember 2006. Kelompok itu mengelilingi sebuah kitab suci suatu agama yang diletakkan di lantai. Dengan dipimpin oleh seseorang, Ia menuding dan menunjuk-nunjuk kitab suci yang diletakkan dilantai tadi sambil mengucapkan kalimat-kalimat yang sifatnya menghina kitab suci tersebut. Penganut agama yang memiliki kitab suci tersebut merasa terhina. Mereka (40 orang) itu masing-masing di pidana 5 tahun penjara karena melakukan perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 156 a KUHP.[12]
Oleh karena tindak pidana Pasal 36 Ayat (6) jo 57 Huruf e berdiri sendiri, maka dapat dibuat surat dakwaan bentuk alternatif. Karena terdapat sifat saling mengecualikan antara kedua bentuk penghinaan tersebut. Jika terbukti Pasal 36 Ayat (5) jo 57 tidak mungkin terbukti bentuk penghinaan menurut Pasal 36 Ayat (6) jo 57 Huruf e UU Penyiaran dengan Pasal 156a KUHP.
Apabila dirinci bentuk penghinaan Pasal 36 Ayat (6) jo 57 Huruf e UU Penyiaran terdapat unsur.
a. Perbuatan: siaran (menyiarkan);
b. Objeknya: Isi siaran yang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Mengenai perbuatan menyiarakan telah dibicarakan sebelumnya. Tidak dibicarakan lagi disini. Pembaca dapat meneliti kembali uraian tersebut.
Objek tindak pidana ialah “isi siaran”. Sementara frasa/unsur yang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional, adalah merupakan unsur keadaan yang menyertai objek. Kedua unsur itu dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Pada macam-macam unsur keadaan yang menyertai objek isi siaran inilah terletak sifat melawan hukumnya perbuatan menyiarkan.
Di dalam unsur memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan inilah terdapat sifat penghinaan. Suatu sifat melawan hukumnya perbuatan menyiarkan dalam tindak pidana menurut Pasal 36 Ayat (6) jo 57 Huruf e UU Penyiaran
Orang yang merasa terhina bukan orang pribadi sebagaimana bentuk-bentuk penghinaan umum dalam Bab XVI Buku II KUHP. Melainkan orang dalam arti komunal/kelompok orang. Dicontahkan sebuah stasiun TV menyiarkan tulisan waratawannya. Menyatakan bahwa isi kitab suci agama B bukanlah suatu wahyu Tuhan seperti agama A. Pihak yang merasa terhina dari siaran tersebut bukan pribadi orang tertentu, tetapi semua orang pemeluk agama B tersebut. Perbuatan seperti ini dapat dikualifisir sebagai memperolok, merendahkan, melecehkan agama B tersebut.
Kata/istilah memperolokkan lebih dekat pada istilah penghinaan dalam arti harfiah. Merendahkan disamping mengandung sifat menghina juga mengandung makna sesuatu nilainya rendah. Tiada seorangpun tidak merasa tersinggung perasaannya, bila sesuatu tersebut menjadi miliknya atau yang dicintainya- direndahkan orang. Melecehkan lebih mengarah pada arti tidak ambil peduli, tidak menganggap sesuatu ada dan berarti. Meremehkan sesuatu yang sesungguhnya bagi orang lain amat dihargai. Sesuatu yang ada dan dihargai oleh orang lain tersebut, oleh orang tertentu dianggap tidak ada atau tidak berarti.
Istilah/kata-kata memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan yang menyertai objek (isi siaran) tindak pidana Pasal 36 Ayat (6) ini perlu dimaknai yang sesuai dengan konteks objektif dan maksud yang sebenarnya dari si pembuat. Tidak boleh diterapkan secara sembrono. Karena unsur-unsur tersebut sifatnya abstrak. Jika diterapkan tanpa akal dan logika hukum, apalagi dengan dilatabelakangi kebencian dan KKN, dapat menusuk rasa keadilan masyarakat.
3. Subjek Hukum Tindak Pidana Penyiaran
Sebagaimana dalam tindak pidana penyiaran dapat terlibat banyak pihak. Pada tindak pidana penyiaran dengan menggunakan sarana percetakan penentuan pertanggungjawaban atas isi benda-benda cetakan yang disiarkan telah jelas diatur dalam Pasal 61 dan 62 KUHP. Namun dalam hal tindak pidana penyiaran dalam UU Penyiaran, Pasal 62 dan 63 KUHP tidak berlaku. Disebabkan wadah isi objek tindak pidana yang disiarkan bukan pada benda-benda cetakan seperti buku, majalah, pamflet dan lain-lain. Melainkan isi pesan berbentuk suara, tulisan, gambar, gambar bergerak tanpa atau dengan suara dan lain-lain. Disiarkan melalui sarana pemancaran dan/atau transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyaakat dengan perangkat penerima siaran.[13]
Prinsip beban pertanggugjawaban pidana berpijak pada 2 hal pokok.
· Pertama, hanya subjek hukum orang yang dapat dibebani pertanggungjawaban sebagai pembuat tindak pidana. Apabila dalam tindak pidana tertentu di luar KUHP, korporasi dapat menjadi subjek hukum tindak pidana dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Harus dianggap sebagai perkecualiannya saja. Sebagaimana diketahui dalam hukum pidana, bukan pantangan dengan perkecualian. Asalkan perkecualian itu dirumuskan secara tegas, batas dan ukuran-ukurannya.
· Kedua, orang yang dibebani pertanggungjawaban pidana adalah siapa yang perbuatannya menyebabkan timbulnya tindak pidana. Sesuai bunyi dari masing-masing rumusan tindak pidana. Orang ini disebut sebagai pembuat tunggal (dader). Termasuk siapa-siapa yang mempunyai andil dan peran baik objektif maupun subjektif terhadap timbulnya tindak pidana. Orang-orang yang disebut terakhir ini dibebani tanggungjawab pidana berdasarkan ketentuan penyertaan (Pasal 55 – 57 KUHP).
Tidak ada keterangan atau petunjuk dalam UU Penyiaran tentang subjek hukum korporasi. Oleh karena itu tidak mungkin korporasi, seperti perusahaan TV atau perusahaan radio dapat dibebani tanggungjawab pidana apabila siarannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana penyiaran.[14]
Dalam siaran baik oleh stasiun TV atau oleh stasiun radio, hampir pasti dapat terlaksana disebabkan oleh perbuatan banyak orang. Dengan demikian, untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi subjek hukum tindak pidana penyiaran, perlu memperhatikan ketentuan penyertaan.
Pembuat-pembuat penyertaan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP dapat saja terlibat dalam tindak pidana menurut UU Penyiaran. Pembuat pelaksana (pleger), pembuat penyuruh (doen pleger) pembuat peserta (medepleger), pembuat penganjur (uitlokker) dan pembuat pembantu (medeplichtige) Namun yang pasti adalah pembuat pelaksana. Tidak mungkin tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu pembuat tanpa adanya pembuat pelaksana. Perbuatan pembuat pelaksanalah yang melahirkan tindak pidana. Sementara orang yang dapat terlibat bersama pembuat pelaksana adalah pembuat penganjur, terutama bagi orang-orang perusahaan yang tugasnya menentukan tentang isi siaran. Pembuat peserta terjadi apabila kesengajaannya sama dengan kesengajaan orang yang menyiarkan. Pembuat pembantu terlibat, apabila sifat perbuatannya sekedar mempermudah / memperlancar dalam melakukan penyiaran. Sementara kesengajaannya ditujukan untuk membantu saja terhadap penyiaran.



KEPUSTAKAAN
Adami Chazawi. 2008. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan & Penyertaan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------, 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Penerbit PT RajaGrafindo Persada , Jakarta.
---------, 2007. Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------, 2002. Kejahatan Terhadap Keamanan & Keselamatan Negara, Penerbit PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------, 2007. Tindak Pidana Hak atas Kekayaan Intelektual, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
---------, 2006. Kejahatan Terhadap Harta Benda, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
---------, 2002. Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Achmad Soema di Pradja, R. 1980. Hukum Pidana Dalam Yurisprodensi, Penerbit Armico, Bandung.
---------, 1977. Himpunan Putusan Mahkamah Agung Disertai Kaedah-kaedahnya, Penerbit Alumni, Bandung.
Andi Hamzah, 1991. Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Engelbrecht, W.A.1960. De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesie, PT Soerongan, Jakarta.
Indriyanto Seno Adji, 2002. Korupsi dan Hukum Pidana. Diterbitkan oleh Kantor Pengacara & Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, S.H & Rekan, Jakarta.
Leden Marpaung, 1997. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan Pengertian dan Penerapannya, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Jonkers, J.E. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Lamintang, PAF. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru, Bandung.
-----------,1987. Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Penerbit CV Sinar Baru, Bandung.
----------- dan Djisman Samosir, 1979. Delik-Delik Khisis Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Penerbit Tarsito, Bandung.
Mahkamah Agung, 1971. Jurisprodensi Indonesia, Diterbitkan oleh Mahkah Agung.
Marjoto, 1958. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia, Bogor.
Moch. Anwar, H.A.K. 1979. Hukum Pidana Bagian Khusus, Penerbit Alumni, Bandung.
Moeljatno (i), 1979. Hukum Pidana Delik-Delik Penyertaan, Tanpa dicantumkan nama penerbit.
----------, 1969. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana, Seksi Kepidanaan FH Universitas Gajamada, Yogjakarta.
----------, 1983. Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
----------, 1984. Kejahatan-kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Open Bare Orde), Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Oemar Seno Adjie, 1973. Mass Media Dan Hukum, Penerbit Erlangga, Jakarta.
---------, 1981. Herziening Ganti Rugi Suap Perkembangan Delik, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Roeslan Saleh, 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta.
-----------, 1962. Sifat Melawan Hukum dari pada Perbuatan Pidana, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta.
Saparadjaja, Ny. Komariah Emong, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.
Satochid Kartanegara (I), Tanpa tahun. Diktat, Hukum Pidana II Delik-delik Tertentu. Balai Lektur Mahasiswa.
----------- (II), Tanpa tahun, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa.
Schaffmeister, D. dkk. Editor Penerjemah J.E Sahetapy, 1995. Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Schravendijk,H.J.van., 1955. Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit J.B Wolters, Jakarta.
Sianturi, S.R. 1983. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit Alumni AHMPTHM, Jakarta.
Simons, D. 1992. Kitab pelajaran Hukum Pidana (Leerboek van Het Nederlandsce Strafrecht), Penerjemah PAF Lamintang, Penerbit Pioner Jaya, Bandung.
Soenarto Soerodibroto, 1994. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprodensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT Rajagrafindo, Jakarta.
Soesilo, R. 1979. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Penerbit Politeia, Bogor.
---------, 1980. Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia, Bogor.
Sugandi, R. 1980. KUHP Dengan Penjelasannya, Penerbit, Usaha Nasional, Surabaya.
Sunardi, dan Fanny Tanuwijaya. 2002. Pidana Perampasan Kemerdekaan Bagi Korporasi. Diterbitkan Lembaga Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, Malang.
Termorshuizen, Marjane.1999. Kamus Hukum Belanda Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Tirtaamidjaja, M.H. 1954. Pokok-Pokok Hukum Pidana.
Tresna, R.1959. Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit PT Tiara Ltd, Jakarta.
Utrech, E. 1986. Hukum Pidana I, Penerbit Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
---------, 1985. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbit Universitas, Bandung.
Wancik Saleh, 1973. Intisari Yurisprodensi Indonesia, Penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 1980. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit PT Eresco, Jakarta – Bandung.
----------, 1981. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit PT Eresco, Jakarta – Bandung.
Wojowasito, S. 1999. Kamus Umum Belanda Indonesia, Penerbit PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Yandianto, 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit M2S, Bandung.
Yahya Harahap, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
Yudha Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
Zainal Abidin Farid, A. 1995. Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Kitab Undang-Undang:
° KUHP, terjemahan Moeljatno (2001).
° KUHP, terjemahan Andi Hamzah (2000).
° KUHP, terjemahan Tim Penerjemah BPHN (1983).
° KUHP, terjemahan M.Budiarto dan Wancik Saleh (1979).
° Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
° KUH Perdata, terjemahan R. Soebekti dan R.Tjitrosudibio (1999).
° KUHPT, terjemahan Marjoto (1958).

[1] Lihat Pasal 53 UU ITE yang menyatakan bahwa semua Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertentangan dengan UU ini dinyatakan tetap berlaku. Ketentuan yang sama terdapat juga dalam Pasal 60 UU Penyiaran.
[2] Lihat Pasal 5 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
[3] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU Penyiaran.
[4] Pasal 1 Angka 1 UU Penyiaran, menerangkan tentang objek tindak pidana penyiaran ialah pesan atau rangkain pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.
[5] Lihat Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran.
[6] Lihat Pasal 310 Ayat (1) KUHP.
[7] Lihat Pasal 310 Ayat (2) KIHP.
[8] Wirjono Projodikoro, 2003. Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit Refika Aditama, Jakarta, halaman 97.
[9] Ibid., halaman 98.
[10] Lihat Pasal 1 Angka 3 UU Penyiaran.
[11] Lihat Pasal 1 Angka 1 2 UU Penyiaran.
[12] http://www.antara.ci.id/. Diakses tanggal 10 Nopember 2008.
[13] Lihat Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran.
[14] Lihat Pasal 59 UU Penyiaran, secara tegas disebutkan subjek hukumnya adalah setiap orang.

Peran Hasil Audit Investigasi Dalam Hal Pembuktian Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Kajian Putusan MA No. 995/Pid/2005)

Pembuktian mengenai nilai kerugian nyata bagi negara akibat dari korupsi penting dalam hubungannya dengan penjatuhan pidana (tambahan) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan yang diperoleh / hasil dari korupsi (Pasal 18 ayat (1) huruf b UUTPK). Sesuai dengan tujuan utama penegakan hukum pidana korupsi ialah mengembalikan kerugian negara. Maka hampir pasti pada setiap penyelesaian hukum perkara korupsi (yang dapat merugikan kepentingan hukum mengenai keuangan atau perekonomian negara), jaksa dan hakim selalu membuktikan tentang nilai (angka) kerugian negara secara riel. Pada tahap pembuktian mengenai kerugian riel ini, peran auditor menjadi sangat penting.
Auditor yang sengaja dilibatkan dalam pembuktian perkara korupsi menghasilkan dua alat bukti.
1. Pertama bahan tulisan yang berupa laporan audit investigasi, jadi merupakan alat bukti surat – seperti laporan Visum et Repertum oleh Dokter Forensik atau Rumah Sakit.
2. Kedua, alat bukti keterangan ahli, apabila auditor memberikan keterangan ahli baik dalam penyidikan di hadapan penyididik maupun di dalam sidang pengadilan. Terutama di depan hakim, karena hasil / isi alat bukti akan bernilai dalam pembuktian jika didapat atau diberikan di hadapan hakim di sidang pengadilan.
Kedudukan laporan audit investigasi belum populer di dunia peradilan sebagai alat bukti, berbeda dengan visum et repertum oleh ahli kedokteran forensik yang membuktikan penyebab kematian korban. Namun berdasarkan alasan yang sama dengan visum et repertum, maka sewajarnya kedudukan laporan hasil audit investgiasi mempunyai kedudukan yang sama dengan visum et repertum dalam hal pembuktian. Alasan yang sama itu adalah:
1. Visum et repertum maupun laporan hasil audit investigasi di buat oleh orang yang memiliki keahlian khusus. Keahlian khusus tersebut diperolehnya melalui jenjang pendidikan tinggi khusus, yang setelah itu – kemudian ditekuninya sebagai lapangan pekerjaan atau menjadi tugas jabatannya.
2. Visum et repertum maupun laporan hasil audit investigasi berfungsi yang sama bagi hakim, ialah untuk membantu dalam hal pembutkian, khususnya menemukan sesuatu keadaan yang menentukan terhadap penyelesaian perkara pidana. Khususnya perkara korupsi untuk menentukan keadaan jumlah kerugian neagara akibat dari korupsi yang dilakukan terdakwa.
3. Pada umumnya hakim bukan ahli kedokteran dan bukan pula ahli dibidang audit keuangan. Keadaan ini mengharuskan hakim meminta bantuan dari ahli kedokteran forensik untuk mencari dan menentukan penyebab kematian korban atau meminta bantuan dari ahli dibidang audit keuangan untuk menentukan jumlah angka tertentu dari kegiatan penggunaan uang in casu dalam perkara korupsi – berupa kerugian negara.
4. Bahwa baik ahli kedokteran forensik maupun ahli audit keuangan, mereka telah mengucapkan sumpah sebelum menjalankan pekerjaan jabatannya. Oleh karena itu kepercayaan terhadap kebenaran isi visum et repertum maupun isi laporan hasil audit investigasi selain melekat atau terletak pada keahlian khusus yang dimiliki oleh ahli kedokteran forensik atau auditor yang membuatanya, juga karena menjalankan pekerjaan yang menghasilkan visum et repertum maupun laporan hasil audit investigasi tersebut, dibuat atau diberikan atas dasar sumpah jabatan. Hukum telah meletakkan dasar dan menentukan kepercayaan atas kebenaran sesuatu keterangan pada pelaksanaan sumpah.
Demikian juga, ketika ahli kedokteran forensik maupun ahli audit keuangan memberikan keterangan mengenai keahliannya di hadapan hakim di sidang pengadilan, karena sebelum memangku jabatan dan menjalankan pekerjaannya telah dilakukan penyumpahan terlebih dulu. Juga apabila mereka diminta keterangan keahliannya di dalam sidang pengadilan, sebelum membeli keterangan dimintakan bersumpah terlebih dulu, atau memberikan sumpah untuk memperkuat keterangan yang telah diberikan olehnya. Oleh karena itu sangatlah beralasan bahwa bagi mereka ditetapkan sebagai seorang ahli, bukan saksi. Jika tidak sebagai seorang ahli yang memberikan keterangan ahli, maka keterangannya tidaklah mempunyai nilai apa-apa di depan sidang pengadilan. Sebabnya ialah, mereka bukanlah orang yang melihat, mendengar dan mengalamai suatu kejadian. Oleh sebab itu mereka bukanlah saksi. Mereka memberikan keterangan adalah berdasarkan ilmu pengetahuan atau keahliannya dalam menilai terhadap suatu kejadian tertentu. Hakim juga perlu menilai terhadap kejadian tertentu, dalam hal mana hakim tidak dapat menggunakan keterangan saksi, karena keterangan saksi tidak cukup untuk digunakan dalam hal menilai atas suatu kejadian tertentu. Sedangkan pengetahuan hakim juga tidak cukup untuk digunakan sebagai dasar menilai terhadap kejadian tersebut. Hakim tidak mempunyai keahlian khusus yang dapat digunakannya. Padahal hakim untuk membentuk keyakinannya tentang salah atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang di dakwakan sangat memerlukan keterangan-keterangan yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bahwa benar-benar ada suatu kejadian tertentu, in casu penyebab kematian seseorang atau adanya nilai uang tertentu (riel) yang merupakan kerugian negara.
Untuk mengetahui sejauhmana peran laporan hasil audit investigasi maupun keterangan ahli auditor investigasi di dalam sidang pengadilan, dapat dilihat dan dipelajari dalam berbagai putusan hakim, khususnya ditingkat kasasi. Salah satu adalah putusan Mahkamah Agung RI No. 995K/PID/2006 tanggal 16 Agustus 2006.
Pada halaman 179 putusan tersebut, Mahkamah Agung memberi pertimbangan hukum atas keberatan Pemohon Kasasi Jaksa PU tentang nilai rupiah dari pidana (tambahan) pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan judex factie sejumlah Rp 2.516.000.000,00 (dua milyar lima ratus enam belas ribu rupiah). Alasan pemohon kasasi ialah dalam hal judex factie menentukan angka tersebut hakim telah salah dalam menerapkan hukum, dikarenakan hakim tidak menggunakan keterangan ahli SLAMET TULUS WAHYONO Ak, CFE dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan salah satu Instansi Pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara yang berpendapat bahwa kerugian keuangan Negara Timbul sebagi akibat dari perjanjian asuransi antara KPU dan PT. Asuransi Bumi Putra Muda 1967 adalah sebesar Rp 14.193.000.000,00 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) yang dihitung dari total premi yang dibayar oleh KPU kepada PT Asuransi Bumiputra Muda 1967 sebesar Rp 14.800.000.000,00 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) dikurangi dengan klaim yang telah diterima oleh KPU dari PT Asuransi Bumi Putra Muda sebesar Rp 607.000.000,00 (enam ratus tujuh juta rupiah).
Walaupun Mahkamah Agung dapat membenarkan keberatan Pemohon Kasasi tersebut, namun Mahkamah Agung mempunyai pendapat sendiri yang berbeda baik dengan judex factie maupun dengan Pemohon Kasasi – Jaksa Penuntut Umum.
Pendapat Mahkamah Agung tersebut adalah (dikutif) sebagai berikut:
1. bahwa dari premi sebesar Rp 14.800.000.000,00 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) diperoleh discount sebesar Rp 5.032.000.000,00 (lima milyar tiga puluh dua juta rupiah) yang menurut Pasal 16 ayat (4) Undang Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara “penerimaan berupa komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan / atau pengadaan barang dan / atau jasa oleh Negara / Daerah adalah hak Negara / Daerah.
2. bahwa ternyata discount atau potongan sebesar Rp 5.032.000.000,00 (lima milyar tiga puluh dua juta rupiah) tersebut oleh terdakwa tidak disetorkan ke Kas negara, akan tetapi dinikmatinya sendiri dan beberapa pejabat dilingkungan dan / atau diluar KPU;
3. bahwa berdasarkan putusan Judex Factie sebagian dari discount tersebut telah ditetapkan dirampas untuk Negara dan mengacu kepada kurs uang asing tanggal 2 Desember 2005 untuk US $, Canada $, RM / yang diperoleh Mahkamah Agung dari Bank Indonesia, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa nilai rupiah yang berhasil dirampas untuk Negara sebagai berikut:
US $ 226.099 x Rp 9.985,00 = Rp 2.257.598.515,00
HK $ 670 x Rp 1.287,52 = Rp 862.638,40
RM 774 x Rp 2.641,19 = Rp 2.044.281,06
Canada $ 10 x Rp 556,13 = Rp 85.561,30
Rp 2.260.590.995,00
Jumlah uang rupiah termasuk travel
cheque yang telah disita untuk Negara Rp 635.223.200,00
Jumlah Rp 2.895.814.195,76
Terbilang: Dua milyar delapan ratus sembilan puluh lima juta delapan ratus empat belas ribu seratus sembilan puluh lima 76/100 rupiah.
Bahwa dengan demikian jumlah uang pengganti yang akan dijadikan pidana tambahan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa lainnya (Cq terdakwa Hamdani Amin) masing-masing adalah ½ x (Rp 5.032.000.000,00 - Rp 2.895.814.195,76) = Rp 1.068.092.902,12 dibulatkan menjadi Rp 1.068.092.902,00 (satu milyar enam puluh delapan juta sembilan puluh dua ribu sembilan rtus dua puluh).
KOMENTAR:
2. Sebagaimana Surat Dakwaan, Terdakwa didakwa dengan dakwaan bentuk kumulatif, gabungan antara bentuk primer subsider dan tunggal, yang formatnya berikut:
Kesatu:
Primer: Pasal 2 ayat (1) jo 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001jo 55 (1) ke-1 KUHP.
Subsider: Pasal 3 jo 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001 jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Lebih Subsider: Pasal 8 jo 18 ayat (1) huruf b ayat (1) dan ayat (3) UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001 jo Psl 55 (1) ke-1 KUHP.
Kedua: Pasal 11 jo 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001 jo 55 (1) ke-1 jo 64 ayat (1) KUHP.
Menurut Jaksa dalam surat tuntutannya, yang terbukti adalah dakwaan Kesatu Primer dan dakwaan Kedua. Menurut Pengadilan Tipikor (tingkat pertama) yang terbukti juga sama dengan pendapat JPU, dan kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tingkat banding. Juga Mahkamah Agung tetap sama.
Dasar dalam hal mempertimbangkan nilai riel kerugian negara ada perbedaaan baik antara Pengadilan Tipikor tingkat pertama, dengan tingkat banding, maupun dengan Mahkamah Agung. Ternyata berikut:
a. Pengadilan tingkat Pertama, menetapkan angka riel kerugian negara yang harus diganti dengan menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti ialah sebesar Rp 5.032.000.000,00 (lima milyar tiga puluh dua juta rupiah). Angka riel kerugian negara di ambil dasar dari discount atau potongan sebesar Rp 5.032.000.000,00 (lima milyar tiga puluh dua juta rupiah) yang oleh terdakwa tidak disetorkan ke Kas negara.
b. Pengadilan tingkat banding, menetapkan angka riel kerugian negara yang harus diganti terdakwa dengan menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti adalah sebesar Rp. 2.516.000.000,00 (dua milyar lima ratus enam belas juta rupiah), karena ada 2 terdakwa yang bertanggung jawab selain terdakwa juga terdakwa Hamdani Amin yang diberkas dalam perkara lain. Karena itu tanggunggjawab pengganti kerugian harus dibebankan pada dua terdakwa, dengan menetapkan 50 % setiap terdakwa.
c. Perbedaan ini diselesaikan melalui pertimbangan sendiri oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menetapkan angka kerugian riel dengan cara nilai discount dikurangi dari uang yang telah disita oleh Kejaksaan sebsar Rp 2.895.814.195,76 kemudian dibagi dua, maka terdapat angka yang dibebankan untuk diganti pada terdakwa sebesar Rp Rp 1.068.092.902,00 (satu milyar enam puluh delapan juta sembilan puluh dua ribu sembilan rtus dua puluh).
2. Ternyata bahwa laporan hasil audit investigasi yang menyatakan kerugian negara adalah sebesar Rp 14.193.000.000,00 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) yang diambil alih Jaksa dalam requisitoirnya, tidaklah menjadi bahan pertimbangan keberatan Jaksa Penuntut Umum maupun pertimbangan hukum Mahkamah Agung, melainkan yang dipakai sebagai alasan keberatan adalah keterangan ahli auditor investigasi dari BPKP di dalam sidang pengadilan. Namun demikian (walaupun saya tidak mengetahui laporan audit investigasi) secara logika keterangan ahli auditor dari BPKP tersebut adalah menjelaskan laporan hasil auditnya secara lisan. Artinya isinya sama. Oleh karena isinya sama maka sebenarnya jaksa sebagai pemohon kasasi yang berkeberatan atas penghitungan judex factie seharusnya merujuk pada kedua-duanya dengan analisis pertimbangan bahwa keduanya saling berhubungan. Kecuali jika ada perbedaan, dan perbedaan itu dijelaskan alasannya oleh ahli di muka hakim, maka yang digunakan adalah keterangannya (ahli) disidang pengadilan. Namun hal ini tidak tergambar / terpapar di dalam pertimbngan hukum Mahkamah Agung maupun alasan keberatan pemohon kasasi dalam memorie kasasinya.
3. Apabila konsisten dengan dasar untuk menarik angka riel kerugian negara adalah dari uang discount yang tidak disetorkan pad Negara, maka seharusnya dakwaan yang terbukti adalah bukan Dakwaan Kesatu Primer (Pasal 2 dst.), melainkan hanyalah terhadap Dakwaan Kesatu Lebih Subsider ialah Pasal 8 tentang penggelapan uang negara. Jadi disini baik judex factie maupun Mahkamah Agung telah tidak tepat menerapkan Pasal pemidanaan. Bukankah discount yang tidak disetorkan pada Kas Negara itu sama dengan penggelapan uang negara. Jadi persis dan tepat menerapkan Pasal 8 UUTPK. Baik kedua judex factie maupun judex jurist telah tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Seharusnya Penasehat hukum terdakwa mengajukan keberatan atas putusan judex factie pada saat mengajukan upaya kasasi. Ada perbedaan secara substansial antara perbuatan memperkaya pada pasal 2 dengan perbuatan menggelapkan pada Pasal 8. Perbedaan dilihat dari sudut sebab apa keberadaan benda (in casu uang) berada dalam kekuasaan terdakwa. Pada perbuatan memperkaya, uang tersebut berada dalam kekuasaan terdakwa adalah disebabkan langsung oleh perbuatan memperkaya yang in casu perbuatan melawan hukum. Sedangkan pada perbuatan menggelapkan uang tersebut berada dalam kekuasaan terdakwa bukan karena melawan hukum[1], yang in casu tidak melawan hukum karena menerima discount. Pada tahap ini tidak terjadi kejahatan korupsi. Barulah terjadi korupsi setelah uang tersebut tidak disetorkan ke kas negara melainkan di nikamti sendiri dan dibag0bagikan pada kolega anggota KPU.
3. Bahwa baik penghitungan angka kerugian Negara dalam laporan hasil auditor BPKP maupun keterangan ahli auditor BPKP di muka hakim sidang pengadilan, tidaklah mengikat hakim. Terbukti dalam pertimbngan putusan Mahkamah Agung perkara ini, Mahkamah Agung melakukan penganalisisaan atau penghitungan sendiri yang tidak tunduk pada penghitungan dalam laporan hasil auditor BPKP maupun keterangan ahli auditor investigasi dari BPKP di muka sidang pengadilan. Mahkamah Agung melakukan penilaian atau penghitungan sendiri dan tidak tunduk pada laporan hasil audit investigasi (alat bukti surat) yang dibuat oleh ahli, atau diterangkan oleh ahli dalam sidang pengadilan. Hal ini dapat dibenarkan berdasarkan hukum pembuktian dalam perkara pidana. Menurut hukum pembuktian perkara pidana, bahwa semua alat bukti tidak ada yang merupakan alat bukti sempurna atau alat bukti yang mengikat hakim, melainkan semuanya merupakan alat bukti bebas. Hakim mempunyai kebebasan dalam menilai isi semua alat bukti yang diajukan di dalam sidang pengadilan.[2] Bebas bukan berarti semau gue, melainkan tetap harus memperhatikan pada nilai-nilai bukti yang ada pada setiap alat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan dengan berpedoman pada minimal alat bukti sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 183 KUHAP.
4. Bahwa dengan demikian laporan hasil audit BPKP atau keterangan ahli auditor BPKP di sidang pengadilan berfungsi yang sama dengan isi alat bukti lainnya di sidang pengadilan, ialah tidak bersifat mengikat dan menentukan hakim.
5. bahwa isi laporan audit investigator atau keterngan ahli audit investigator di dalam berkas penyidikan perkara (BAP) berfungsi sebagai alat bantu yang menjadi pedoman hakim dalam menjalankan persidangan untuk mendapatkan fakta-fakta hukum dalam rangka hakim membentuk keyakinan tentang bersalah ataukah tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan.
6. Pendapat Pemohon Kasasi – Jaksa Penuntut Umum dalam keberatan hukumnya dalam memorie kasasi yang menyatakan bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum pembuktian dikarenakan judex facie telah berpendapat sendiri dan tidak menggunakan dasar hasil auditor BPKP, dari sudut hukum pembuktian perkara pidana tidaklah dapat dibenarkan. Karena menurut hukum pembuktian perkara pidana, tidak mengenal alat bukti sempurna yang mengikat hakim. Hakim tidak perlu tunduk pada nilai angka kerugian negara menurut perhitungan auditor BPKP, apabila menurut penilaian hakim nilai kerugian riel tersebut tidak sesuai dengan perhitungan hakim sendiri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu menurut logika hukum dan keadilan.
Demikian hasil kajian saja terhadap putusan Mahkamah Agung No. 995K/PID/2006 khusus tentang laporan hasil audit dan keterangan ahli auditor BPKP dari sudut hukum pembuktian perkara pidana. Semoga bermanfaat.
Malang, 9 April 2007.


[1] Adami Chazawi, 2005. Hukum Pidana materiil dan Formiil Korupsi di Indonesia, Penerbit Bayu Media, Malang, hal. 8-9.
[2] Adami Chazawi, 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT Alumni, Bandung, hal. 98.

Mengapa Negara Tidak Berhak Mengajukan PK

MENGAPA NEGARA TIDAK BERHAK MENGAJUKAN PK?
Oleh: Drs. H. Adami Chazawi, S.H
(Dosen hukum pidana FH Universitas Brawijaya)

PK perkara pidana merupakan:
- upaya pengembalian keadilan pada terpidana
- bentuk pertanggungjawaban negara pada terpidana
- wujud penebusan dosa negara pada terpidana
atas kesalahan negara tanpa hak telah merampas keadilan terpidana

A. LANDASAN FILOSOFIS dan SEJARAH LEMBAGA PK PIDANA
Lembaga Peninjauan Kembali (disingkat PK) semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana dan ahli warisnya, merupakan azas/prinsip PK, diwujudkan dalam norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Dapat dicari pada dua landasan: filosofis dan sejarah lembaga PK.
1. Dasar Filosofi Lembaga PK
Substansi upaya hukum PK berpijak pada dasar, bahwa negara telah salah mempidana penduduk yang tidak berdosa yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa. Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah. Negara merasa berdosa dan hendak bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas secara tidak sah tersebut. Bentuk pertanggungjawaban itu, ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK, bukan kepada negara[1].
Dengan demikian dapatlah diartikan, bahwa PK adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara pada penduduk negara, karena negara telah menghukum penduduk negara yang tidak bersalah.
Dicontohkan beberapa kasus konkret. Pada tahun 1977 negara telah menghukum Sengkon dan Karta karena merampok dan membunuh suami istri Suleman. Keduanya sudah ditahan sejak tahun 1974. Dalam perkara lain terbukti bahwa yang merampok dan membunuh suami istri Suleman adalah Gunel, Siih dan Wasita yang kemudian dipidana masing-masing 10, 8 dan 6 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bekasi.[2] Contoh lain, pada tahun 2002 Risman Lakoro dan istrinya dijatuhi hukuman karena membunuh Alta Lakoro anak kandungnya sendiri oleh Pengadilan Negeri Gorontalo. Oleh karena disiksa polisi pada saat penyidikan hingga cacat seumur hidup, terpaksa mengaku membunuh. Keterangan terdakwa dan bukti patah tulang di sidang pengadilan akibat disiksa polisi tidak digubris hakim. Risman Lakoro dipidana 3 tahun penjara. Tahun 2007 tiba-tiba Alta Lakoro kembali ke kampung halamannya. Terbukti bahwa Suami istri Risman Lakoro tidak membunuh anak kandungnya, yang memang sejak tahun 2001 pergi karena cekcok dengan kedua orang tuanya tersebut.[3] Contoh ketiga dan masih segar dalam ingatan kita. Negara telah menghukum dalam peradilan sesat Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali (2008) di Jombang, dan masih banyak lagi.
Dari ketiga contoh tersebut diatas, nampak benar kesalahan dan dosa negara yang telah menghukum penduduk yang sesungguhnya tidak bersalah. Oleh sebab itulah maka lembaga PK semata-mata ditujukan untuk memperbaiki putusan pemidanaan yang salah tersebut. Negara tidak dibenarkan mengajukan PK untuk sebaliknya mengukum terdakwa yang sudah dibebaskan atau lepas dari tuntutan hukum yang sudah tetap. Tidak dibenarkan negara untuk membongkar putusan pembebasan yang sudah tetap, dengan alasan mencai keadilan. Logika dan alasannya adalah.
1) Apabila negara merasa bahwa putusan pembebasan terdakwa sebelumnya keliru, ketidakmampuan negara membuktikan kesalahan terdakwa, merupakan kesalahan negara sendiri. Apabila karena kesalahan negara yang demikian itu membawa kerugian bagi negara, maka tidak dibenarkan negara membebankan pengembalian akibat dari ketidak mampuan membuktikan kesalahan terdakwa tersebut pada terdakwa yang sudah dibebaskan dengan putusan yang tetap.
2) Lembaga PK berpijak pada keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dilanggar oleh negara dengan mempidana terdakwa, yang seharusnya tidak. PK semata-mata untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang sudah dirampas negara tanpa hak tersebut. Lembaga PK tidak lagi untuk mencari keadilan melalui pasal-pasal yang didakwakan penuntut umum. Melainkan mengembalikan hak-hak dan keadilan yang sudah dirampas dan diperkosa negara tanpa hak.
3) Landasan filosofis PK tersebut diwujudkan dalam norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Hal itu merupakan kehendak pembentuk UU. Hakim tidak dibenarkan membuat tafsir dengan melanggar kehendak pembentuk UU.
4) Berdasarkan azas keseimbangan, negara telah diberi hak yang sama dan cukup untuk memperbaiki putusan pemidanaan salah yang telah tetap dengan alasan untuk kepentingan umum/negara, yakni melalui upaya kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 259 KUHAP).[4]
5) Azas PK yang semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya, merupakan nyawa/jiwa lembaga PK. Apabila jiwa/nyawa ini dicabut, maka lembaga PK pun mati, tanpa arti lagi.
6) Negara telah melanggar azas ne bis in idem – Pasal 76 KUHP. Azas mana bukan sekedar berlatar belakang untuk membatasi hak negara (due proces of law) semata dalam hal menuntut demi kepastian hukum, agar negara tidak sewenang-wenang dan secara terus menerus mengancam dengan menuntut pidana pada penduduk, melainkan juga dilandasi pada dorongan dan kehendak negara untuk menegakkan kewibawan negara itu sendiri serta kebutuhan memenuhi tuntutan perdamaian dan kepastian bagi individu.[5]
2. Landasan - Sudut Sejarah PK
Jaman Hindia Belanda, lembaga PK terdapat dalam Reglement op de Strafvordering (Sv) – Stb. nomor 40 jo 57 tahun 1847 khususnya dalam titel 18, hukum acara pidana bagi golongan Eropah (pada Raad van Justitie), dan tidak terdapat pada hukum acara peradilan untuk golongan Bumiputra (pada Landraad).[6]
Menurut Pasal 357 Sv: upaya PK dapat diajukan dengan suatu permohonan ke Mahkamah Agung oleh Jaksa Agung (door den procureur general) atau seorang terpidana yang dijatuhi pidana dengan putusan yang telah tetap.[7] Nyatalah bahwa meskipun dalam Sv. permohonan PK boleh diajukan oleh Jaksa Agung, namun hanyalah terhadap putusan yang menghukum terdakwa yang tetap saja, bukan terhadap putusan pembebasan yang tetap. Jadi upaya PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan yang tetap saja, dan tidak terhadap putusan pembebasan yang telah tetap, juga merupakan azas lembaga PK.
Setelah kemerdekaan, ketentuan PK pertama kali terdapat dalam PERMA No. 1/1969. Menurut Perma ini PK perkara pidana dapat diajukan oleh: terpidana, atau pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung terhadap putusan yang tidak mengandung pembebasan yang telah tetap (Pasal 3 jo 4).
PERMA 1/1969 dicabut oleh PERMA No. 1/1971. Sejak itu terjadi kekosongan hukum mengenai lembaga PK perkara pidana sampai keluarnya PERMA No. 1/1980 tanggal 1-12-1980.
PERMA No. 1/1980 sifatnya sementara dengan tujuan utama untuk mengatasi kesalahan negara yang telah terlanjur menghukum SENGKON dan KARTA yang kemudian terbukti tidak bersalah[8] (ditahan 1974, dipidana tahun1977). Sifat sementara ini dikarenakan, bahwa hukum acara mengenai PK tidak seharusnya dibuat dalam bentuk PERMA, melainkan harus melalui UU. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak, toh MA memberanikan diri mengulangi kembali mengeluarkan PERMA sebagaimana PERMA No. 1 Tahun 1969 yang sudah dicabut. Menurut PERMA No. 1 Tahun 1980 pihak yang berhak mengajukan PK, ialah terpidana, pihak yang berkepentingan atau JAGUNG terhadap putusan pemidanaan yang telah tetap.
Satu bulan setelah diberlakukan, dengan menggunakan dasar PERMA No. 1/1980 tersebut, tanggal 31 Januari 1981 Sdr. SENGKON dan KARTA di bebaskan MA atas permohonan Jaksa Agung.
Kasus SENGKON dan KARTA ini pula yang menjiwai lembaga PK dalam Bab XVIII Pasal 263 s/d 269 KUHAP. Sebagaimana nampak dalam pandangan umum fraksi-fraksi di parlemen ketika membahas RUU KUHAP, kasus Sengkon dan Karta ini dijadikan alasan utama untuk memasukkan ketentuan PK dalam KUHAP. Kasus ini pula yang menjadi penyebab tidak ada perdebatan panjang mengenai norma-norma Pasal 263 s/d 269 KUHAP tersebut.
Jelaslah, bahwa dari sudut dasar falsafah lembaga PK dan sejarah PK, khususnya dari pengalaman kasus SENGKON dan KARTA itulah yang melahirkan dan merupakan ratio dari rumusan norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang merupakan azas dan fondasi lembaga PK. Bahwa PK disediakan semata-mata untuk memulihkan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas negara secara tidak sah. Bukan digunakan oleh negara untuk membongkar kasus yang sudah diputus pembebasan dan lepas dari tuntutan hukum yang tetap. Sementara norma selebihnya dalam Pasal 263 Ayat (2) s/d 269 KUHAP merupakan penjabaran dari azas dan fondasi PK dalam Ayat (1) tersebut.
B. SYARAT MATERIIL PENGAJUAN PK
Syarat materiil pengajuan PK dalam Pasal 263 (2) KUHAP adanya keadaan baru, ada beberapa putusan yang saling bertentangan dan putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekelirun nyata
a. Keadaan baru, adalah suatu keadaan yang sudah ada sebelum/pada saat sidang - pemeriksaan perkara berlangsung, yang baru diketahui setelah putusan menjadi tetap. Sesungguhnya yang baru bukan keadaannya. Keadaan tersebut sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya. Namun baru diketahui keberadaannya dari alat-alat bukti yang baru diketahui setelah perkara diputus dan menjadi tetap. Alat- bukti ini sesungguhnya juga bukan alat bukti baru, melainkan alat bukti yang sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya, namun belum diajukan dan diperiksa di sidang,[9] oleh sebab berbagai hal.
b. Pelbagai putusan yang saling bertentangan, adalah terdapatnya dua atau lebih putusan yang saling berhubungan dan bersifat saling menentukan terhadap satu dengan yang lain secara timbal balik, dimana pertimbangan hukumnya atau amar putusannya saling bertentangan.
c. Putusan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, merupakan kesalahan hakim dalam memutus perkara. Disebabkan oleh banyak hal dan keadaan yang sangat luas. Dapat dicari dalam beberapa keadaan, antara lain:
1) Pertimbangan hukum putusan maupun amarnya secara nyata bertentangan dengan azas-azas hukum dan norma hukum;
2) Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim;
3) Amar putusan yang sama sekali tidak didukung oleh pertimbangan hukum;
4) Amar putusan menyimpang jauh dari pertimbangan hukum;
5) Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur;
6) Putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta maupun kesesatan hal hukumnya.
7) Pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk UU mengenai maksud dibentuknya norma tersebut;
8) Pengadilan telah menafsirkan suatu norma di luar cara-cara yang lazim & dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu norma secara bebas, tanpa landasan teoritis dan diluar logika hukum. Penafsiran yang merusak (interpretatio est perversito).
9) Putusan yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah, norma yang tertutup menjadi terbuka.
Putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU dapat dikategorikan sebagai putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, dengan alasan:
· Pertimbangan hukum putusan maupun amarnya secara nyata bertentangan dengan azas-2 hukum dan norma hukum, karena bertentangan dengan syarat formil yang merupakan azas/fondasi PK dan syarat materiill PK yang dirumuskan dalam Pasal 263 Ayat (1) dan (2) KUHAP.
· Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim, karena negara (melalui alat-alatnya) telah menggunakan suatu hak (mengajukan dan mengabulkan PK oleh jaksa) yang sesungguhnya tidak dimilikinya. Subjek hukum yang menggunakan suatu hak yang sesungguhnya tidak dimilkinya, maka perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum, melainkan perbuatan yang melawan hukum, dan karenanya batal demi hukum.
· Amar putusan yang sama sekali tidak didukung oleh pertimbangan hukum, karena dengan mengabulkan PK yang dimohonkan JPU tidak mungkin dapat didukung dengan pertimbangan hukum yang sesuai dengan hukum PK dalam KUHAP, dan dengan demikian dapat dipastikan sudah diluar logika hukum. Karena MA yang mengabulkan permohona PK oleh JPU sejak awalnya telah melanggar hukum mengenai PK dalam KUHAP.
· Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur, karena KUHAP tidak mengatur prosedur pengajuan PK yang diajukan JPU terhadap putusan bebas yang tetap. Yang ada dan diatur dalam KUHAP ialah prosedur pengajuan PK yang diajukan oleh terpidana atas putusan pemidanaan yang tetap saja.
· Putusan MA termasuk putusan peradilan yang sesat, dalam hal ini kesesatan hukum, Dengan mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, yang artinya JPU telah melaksanakan suatu hak yang dia sendiri tidak memiliki hak tersebut, dapat dikualifikasikan sebagai putusan yang sesat hukum. Demikian juga MA yang mengabulkan PK yang diajukan oleh Jaksa dengan dasar pertimbangan Pasal 23 Ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, juga termasuk putusan peradilan yang sesat in casu putusan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
· MA telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk UU mengenai maksud dibentuknya Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Kehendak pembentuk UU bahwa pihak yang dapat mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya, bukan negara.
· MA telah menafsirkan suatu norma diluar cara-cara yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu norma secara bebas, tanpa landasan teoritis dan diluar logika hukum. MA telah menggunakan penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversito).
· MA telah memutuskan sesuatu yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah, norma yang tertutup menjadi terbuka. Karena MA telah menambahkan norma baru dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, yakni JPU dapat mengajukan PK disamping terpidana atau ahli warisnya. MA telah masuk ke dalam wilayah kewenangan pembentuk UU.
C. PUTUSAN PENGADILAN BUKAN MERUPAKAN KEADAAN BARU
Dalam hal putusan pertama MA yang membebaskan seorang terdakwa dengan putusan tetap. Kemudian setelah itu ada putusan lain yang mempidana terdakwa lain. Putusan pengadilan yang dikeluarkan belakangan, bukan merupakan keadaan baru. Karena yang dimaksud dengan keadaan baru adalah keadaan yang sesungguhnya sudah ada sebelum/ saat sidang berlangsung, namun belum diketahui keberadaannya. Keadaan tersebut diperoleh dari alat bukti, alat bukti mana sesungguhnya juga sudah ada sebelum/pada saat sidang berlangsung, namun tidak dimunculkan dan diperiksa di muka sidang. Sementara putusan pengadilan lain sebagai alat bukti, diterbitkan pada waktu sesudah putusan pertama dikeluarkan.
D. PASAL 23 AYAT (1) UU NO. 4/2004 TIDAK DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PENGAJUAN PK OLEH JPU
Pihak-pihak yang dapat mengajukan PK yang dimaksud Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 tidak termasuk negara (JPU), alasannya adalah:
· Norma Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 yang menyebut pihak-pihak adalah merupakan norma lex generalis. Sementara PK perkara pidana diatur khusus (lex specialis) dalam Pasal 263 (1) KUHAP, maka yang khususlah berlaku (lex specialis derogat legi generali).
· Norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas, limitatif dan tuntas, maka bersifat tertutup (lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP). Rumusan norma hukum yang demikian, tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cessat in claris). Sementara Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 merupakan norma umum yang masih diperlukan penjabaran (khusus), bersifat terbuka.
· Rumusan Pasal 23 Ayat (1) UU 4/2004 jangan dibaca dan dimaknai secara sepotong-sepotong dengan maksud semata-mata untuk menghukum terdakwa yang sudah dibebaskan dengan putusan yang tetap dan diluar nalar dan akal sehat, tapi harus lengkap -menyeluruh. Dalam rumusan norma Ayat (1) tersebut terdapat syarat umum PK yakni bila terdapat hal atau keadaan tertentu dalam UU. Dalam perkara pidana, UU yang dimaksud adalah KUHAP, khususnya Pasal 263 Ayat (1), dimana hal atau keadaan tertentu yang dimaksud adalah keadaan putusan penghukuman yang telah tetap dan tiga syarat materiil PK dalam Ayat (2). Sementara subjek hukum yang berhak mengajukan PK pada keadaan dan syarat-syarat yang demikian hanyalah semata-mata terpidana atau ahli warisnya saja, bukan negara atau pihak lain.
· Syarat materiil pengajuan PK Pasal 263 Ayat (2) KUHAP tidak terpisahkan dengan syarat formil tentang subjek hukum yang berhak mengajukan PK dalam Ayat (1). Syarat materiil dalam Ayat (2) hanya dapat digunakan oleh subjek hukum yang disebutkan dalam Ayat (1) saja (penafsiran sistematis). Tidak dapat digunakan oleh subjek hukum lain diluar Ayat (1).
· Bahwa dari sudut pemahaman norma UU dengan menggunakan logika umum terhadap suatu syarat yang ditentukan secara limitatif, maka tidak diperkenankan menambah syarat lain diluar yang telah disebutkan. Sebab rumusan norma tersebut bersifat tertutup.
· Bahwa oleh karena itu maka putusan MA yang membenarkan alasan pengajuan PK oleh JPU tersebut merupakan putusan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP.
E. ARTI PK DIAJUKAN HANYA SATU KALI
Pasal 23 Ayat (2) UU 4/2004 yang menyatakan PK hanya dapat diajukan satu kali, hanya semata-mata ditujukan bagi PK yang diajukan menurut ketentuan dan syarat-2 dalam Pasal 263 Ayat (1 ) dan (2) KUHAP, yakni PK yang diajukan oleh terpidana terhadap putusan pemidanaan yang tetap. Ketentuan tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU terhadap putusan bebas yang in casu melanggar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Hak terpidana tidak/belum dipergunakan untuk mengajukan PK sebagaimana dihehendaki UU.
Pelanggaran MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, berimbas pada akibat hukum yang sangat merendahkan martabat dan merampas keadilan dan hak-hak terdakwa yang paling mendasar yang telah dibebaskan dengan putusan tetap. Pengabulan PK yang demikian ini melanggar hukum, menempatkan terdakwa yang semula dibebaskan tadi dalam suatu keadaan serba salah, serba merugikan hak-hak dan kepentingan hukumnya. Mengapa demikian?
· Pertama, jika dilihat dari sudut maksud pembentuk UU bahwa PK yang hanya dapat diajukan “satu kali”, adalah permohonan PK yang diajukan terpidana (bukan oleh JPU) terhadap putusan pemidanaan yang tetap berdasarkan syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 KUHAP. Sementara PK yang diajukan JPU yang kemudian dikabulkan MA bukan diajukan terpidana terhadap putusan pemidanaan sesuai syarat-syarat dalam Pasal 263 KUHAP tersebut. Dalam hal ini terpidana yang sekarang belum menggunakan haknya. Maka sesungguhnya dibenarkan untuk mengajukan PK. Subjek hukum sah menggunakan suatu hak apabila Ia memiliki hak yang digunakannya tersebut. Sebaliknya subjek hukum yang menggunakan suatu hak yang sesungguhnya tidak dimilikinya, maka penggunaan hak tersebut tidak sah dan tidak membawa suatu akibat hukum apapun bagi siapapun.
· Kedua, namun apabila dilihat dari sudut azas ne bis idem (diwujudkan dalam norma Pasal 76 KUHP), bahwa putusan pertama (pembebasan yang tetap) tersebut tidak boleh diubah lagi dengan cara apapun, maka terdakwa semula yang sekarang terpidana menjadi terhalang untuk mengajukan PK, padahal hak tersebut belum digunakan olehnya. Justru yang menghalangi dan menghilangkan hak terpidana yang sekarang ini, adalah ulah dan perbuatan negara sendiri yang telah melawan putusan bebas yang tetap, padahal hak itu tidak ada pada negara. Negara telah menggunakan sesuatu hak, yang sesungguhnya tidak dimilikinya. Karena itu putusan MA yang demikian harus dinyatakan batal demi hukum oleh upaya PK yang diajukan oleh terpidana yang sekarang, yang dahulu telah dibebaskan dengan putusan tetap.
Oleh karena itu, “andaikata” terdakwa semula yang sudah dibebaskan dengan putusan tetap atau terpidana sekarang yang mengajukan PK, kemudian tidak diterima/ditolak MA dengan alasan PK hanya satu kali, dan sudah dipergunakan (sesungguhnya oleh JPU, bukan oleh terpidana), maka benar-benar MA telah melakukan penyalahgunaan kekuasaannya secara terang dan terbuka kepada segenap bangsa Indonesia dan masyarakat dunia, tanpa memerhatikan hukum yang seharusnya ditegakkan oleh MA sendiri. MA telah melakukan dua perkosaan yang amat serius terhadap keadilan dan hak penduduk negara sekaligus, ialah:
· Pertama hak ketenangan hidup setiap penduduk negara yang telah dibebaskan dengan putusan tetap, hak agar perkaranya tidak diungkit-ungkit lagi.
· Kedua, hak untuk mengajukan upaya PK, yang menurut azasnya adalah hak asli terpidana yang tidak dapat dikurangi sedikitpun dengan alasan apapun yang sama sekali belum dipergunakannya.
F. SEMA NO. 10 TAHUN 2009 MENGENAI PK SATU KALI DAN TIDAK PERLU DIKIRIM KE MA TIDAK TERMASUK PK YANG DIAJUKAN TERPIDANA YANG DAHULU DI BEBASKAN KEMUDIAN DIPIDANA OLEH MA ATAS PENGAJUAN PK OLEH JPU
MA mengeluarkan SEMA No. 10 Tahun 2009, yang pada pokoknya:
· Permohonan PK perkara yang sama perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu kali bertentangan dengan UU.
· Bila ada permohonan PK yang dimaksudkan, agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.
Bahwa karena sifatnya, maka isi SEMA tersebut tidak berlaku terhadap permohonan PK yang diajukan terpidana yang dahulu telah dibebaskan dengan putusan telah tetap, yang kemudian dipidana oleh MA atas permohonan PK oleh JPU. SEMA tersebut hanya berlaku terhadap permohonan PK yang sesuai dengan Pasal 263 KUHAP, ialah PK yang dimohonkan oleh terpidana terhadap putusan pemidanaan yang telah tetap. Prinsip PK hanya satu kali, hanya berlaku bagi PK yang dimohonkan terpidana yang sejak awal dipidana dengan putusan yang telah tetap.
Oleh karena itu, “apabila” Ketua Pengadilan Negeri tidak mengirimkan berkas permohonan PK dan kelengkapannya yang diajukan terpidana karena dipidana oleh MA yang mengabulkan permohonan JPU, yang semula sudah dibebaskan dengan putusan tetap, dengan alasan melaksanakan Perma No. 10 Tahun 2009, maka Ketua Pengadilan Negeri telah melakukan suatu kebodohan dan kebohongan publik yang amat besar. Sewajarnya sang ketua ini dilaporkan saja ke Komisi Yudisial untuk diusulkan ke MA agar diberi sanksi sesuai dengan kebodohannya tersebut.
G. NEGARA (JPU) DAPAT MENGAJUKAN PK BUKAN MERUPAKAN HASIL PENAFSIRAN UNTUK MENEMUKAN HUKUM
Dalam hal/keadaan dan dengan syarat-syarat tertentu hakim dapat melakukan penggalian melalui penafsiran untuk menemukan hukum. Penegak hukum lain, jaksa dan advokat dapat pula menggali untuk menemukan hukum. Juga para ahli hukum. Temuan hukum oleh ahli hukum merupakan doktrin, dan menjadi hukum setelah diadopsi dalam putusan hakim.
Menggali untuk menemukan hukum harus dilakukan dalam hal dan keadaan khusus serta dengan syarat-2 yang amat ketat, ialah:
a. bila hukumnya tidak ada, namun sangat mendesak untuk memutus perkara. Maka norma yang paling dekat dengan kasus dapat ditafsirkan dengan menggunakan cara-2 yang lazim dalam doktrin dan tidak boleh keluar dari logika. Apabila sama sekali tidak ada norma yang paling dekat, maka tidak mungkin dapat mengadakan penafsiran.
b. hukumnya ada namun tidak/kurang jelas, untuk memperjelas dalam rangka penerapannya dapat dengan menggunakan tafsir yang sesuai dengan cara-2 penafsiran yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum.
c. hukumnya ada dan jelas namun tidak persis ketepatan penerapannya dalam suatu kasus. Dengan menggunakan logika berdasarkan cara-cara menafsirkan yang lazim dan dikenal dalam doktrin masih mungkin ditafsirkan.
Hak hakim menafsirkan dalam hukum pidana sangat ketat, harus memenuhi syarat-syarat dan dengan menggunakan cara-cara yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum, disebabkan karena:
· dibatasi oleh azas legalitas dalam Pasal 1 KUHP.
· Indonesia tidak menganut hukum preseden, hakim menjalankan hukum UU, bukan menjalankan hukum putusan hakim (preseden).
Putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, tidak masuk pada masalah penafsiran terhadap norma Pasal 263 (1) KUHAP, karena:
· Rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan rumusan yang sudah jelas dan limitatif (lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP), bersifat tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (adagium interpreation cesat in claris).
· Tidak ada landasan yuridis, filosofis maupun sosiologis dari pendapat bahwa JPU berhak mengajukan PK
· Negara (JPU) telah menggunakan sesuatu hak (mengajukan PK) yang sesungguhnya tidak dimilikinya.
· Tidak ada norma yang paling dekat dalam KUHAP yang dapat ditafsirkan bahwa Negara (JPU) adalah juga berhak mengajukan PK disamping terpidana atau ahli warisnya.
· Sudah berada diluar cara-2 penafsiran yang diperkenankan dan lazim dalam doktrin. MA sudah merubah dan atau menambah norma hukum baru diluar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
· Putusan MA sudah merubah atau menambah norma baru. Oleh sebab itu bukan lagi masuk wilayah interprestasi yang menjadi kewenangan hakim. Melainkan sudah masuk wilayah kewenangan pembentuk UU.
H. MAHKAMAH AGUNG TELAH MELAMPAUI PENAFSIRAN ANALOGI
Apa yang dilakukan MA sudah melampaui analogi. Analogi adalah salah satu cara menafsirkan, meskipun hampir semua ahli hukum menolak karena bertentangan dengan azas legalitas. Namun dengan menggunakan logika analogi masih dapat dicari landasannya. Dicontohkan, dalam arrest HR mengenai pencurian listrik (1921), bahwa aliran listrik sebagai benda yang bernilai ekonomi yang sama dengan benda yang menjadi objek pencurian.[10] Mencuri dalam trem yang berjalan dianalogkan pada mencuri dalam bis yang sedang berjalan[11], dapat dicari dari persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi, untuk melindugi kepentingan hukum si pemilik barang dalam sebuah kendaraan umum yang sedang berjalan. Trem adalah kendaraan umum, bis juga adalah kendaraan umum. Namun pendapat bahwa JPU berhak mengajukan PK, bukan lagi masalah penafsiran, tetapi sudah masuk wilayah kewenangan pembentuk UU. Sudah merubah atau menambah norma baru dari Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
I. MA BUKAN MENGGALI UNTUK MENEMUKAN HUKUM
Juga tidak dapat dianggap bahwa MA menggali nilai-nilai hukum & keadilan masyarakat menurut Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, karena:
· Pertama, menggali nilai hukum dibatasi pada masalah (1) hukumnya belum ada atau (2) hukumnya tidak jelas, (3) hukumnya ada dan jelas – namun tidak tepat benar diterapkan pada suatu kasus, diperlukan untuk menyelesaikan suatu kasus. Norma hukum PK Pasal 263 Ayat (1) KUHAP telah jelas, pasti, tuntas dan limitatif, merupakan rumusan tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (adagium interpreation cesat in claris). Menggali untuk menemukan hukum tidak sama artinya dengan menciptakan / membuat hukum baru, seperti yang dipraktikan MA dengan menambah norma baru ke dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
· Kedua, hakim boleh menggali untuk menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan tidak melanggar norma hukum yang sudah berlaku difinitif. Hakim tidak dibenarkan melanggar norma hukum dengan alasan menciptakan hukum. Indonesia tidak menganut hukum preseden.
· Ketiga, menggali nilai-nilai hukum harus melalui hukum dengan cara-cara penafsiran yang sudah lazim dalam doktrin dan tidak keluar dari logika. Tidak menggunakan penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversito).
J. PUTUSAN MA TERSEBUT BUKAN YURISPRODENSI
Putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU tidak dapat disebut yurisprodensi, alasannya adalah:
· Putusan tersebut bertentangan dengan hukum dan melanggar kehendak pembentuk UU.
· MA telah menggunakan suatu hak yang menurut hukum tidak dimilikinya. Karena itu putusan MA tersebut batal demi hukum.
· Tingkat keberlakuan hukum dari putusan hakim berada di bawah hukum UU. Sementara hukum UU mengenai PK tidak dilaksanakan.
· Putusan hakim tidak wajib diikuti oleh putusan hakim lain, tapi norma UU wajib ditegakan oleh semua hakim.
· Dengan terdapatnya suatu keadaan dimana disatu pihak MA mengabulkan PK JPU sementara dipihak lain menolak, menimbulkan kekacauan praktik penegakan hukum PK. Berdaskan azas penerobosan legalitas, seharusnya MA memilih putusan (hukum) yang menguntungkan terdakwa.
K. SOLUSI, PUTUSAN MA PERKARA MULYAR bin SAMSI DAPAT MENJADI YURISPRODENSI
Disamping ada putusan MA yang mengabulkan PK dimohonkan JPU, ada pula putusan MA yang menyatakan tidak dapat menerima PK dimohonkan JPU, ialah dalam perkara Sdr. Mulyar bin Samsi.
· Putusan hakim adalah hukum. Dalam hal ini ada dua sumber hukum setingkat mengenai hal yang sama yang saling bertentangan. Maka berdasarkan azas penerobosan legalitas, ialah harus menggunakan hukum yang paling menguntungkan terdakwa. Azas ini diwujudkan dalam norma Pasal 1 Ayat (2) KUHP.
· Sesuai dengan azas penerobosan legalitas tersebut maka Putusan MA perkara Mulyar bin Samsi No. 84 PK/Pid/2006 tanggal 18 Juli 2007, dapat dijadikan dasar MA untuk menolak setiap permohonan PK yang dimohonkan JPU.
· Apabila dalam perkara pidana yang telah diputus pembebasan yang tetap, disadari kemudian terdapat kekeliruan hakim dan karena itu menimbulkan kerugian negara, maka pengembalian kerugian negara tidak harus dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti selama ini negara (JPU) mengajukan permohonan PK terhadap putusan pembebasan yang tetap. Kerugian negara tersebut dapat dikembalikan dengan melalui gugatan perdata. Selain negara tidak melanggar hukum, kewibawaan negara dan kewibawaan hukum negara akan tetap terjaga, hak-hak terdakwa yang telah dibebaskan dengan putusan yang tetap dijujung tinggi dan dihargai. Suatu penceriman dari suatu negara hukum, bukan negara kekuasaan seperti jaman orde baru terdahulu.
L. PK TIDAK LAGI MENCARI KEADILAN MELALUI PASAL YANG DIDAKWAKAN JAKSA, MELAINKAN MENGEMBALIKAN KEADILAN PADA TERPIDANA YANG TELAH DIRAMPAS NEGARA TANPA HAK
Putusan pembebasan dan pelepasan dari tuntutan hukum yang sudah tetap. Tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum biasa maupun luar biasa oleh pihak manapun juga. Tidak dapat dibenarkan negara mempersoalkan lagi tentang keadilan dalam putusan tersebut. Prosesnya sudah berlalu, sudah kasep. Logikanya:
· Bahwa dalam setiap norma hukum sudah berbobot keadilan, disamping kemanfaatan dan tentu saja sesuai logika. Dibentuknya norma hukum adalah untuk keadilan dan kemanfaatan. Jika hukum diterapkan - kepastian hukum dicapai, maka keadilan dan kemanfaatan juga dengan sendirinya ikut serta ditegakkan. Tidak mungkin sebaliknya. Mencari keadilan harus melalui hukum, bukan dengan menafsirkan norma secara bebas yang merusak (interpretatio est perversito).
· Kepastian hukum adalah konkret – lebih terukur karena itu menjadi tujuan utama penegakan hukum. Sementara keadilan abstrak - relatif dan tidak bisa diukur, oleh karenanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kepastian hukum, bukan semata-mata menjadi tujuan satu-satunya yang lepas terlempar jauh dari kepastian hukum.
· Negara membawa terdakwa ke sidang pengadilan untuk menegakkan hukum yang sekaligus di dalamnya keadilan. Selama proses peradilan berjalan – pada saat itu saja negara berhak mencari keadilan dengan melalui norma-norma hukum. Pada saatnya proses itu akan berakhir, ialah ketika putusan menjadi tetap. Sementara proses PK tidak lagi mempersoalkan keadilan dengan melalui penerapan norma-norma hukum seperti itu. Proses tersebut sudah berlalu, sudah liwat, sudah kasep. Melainkan mengembalikan keadilan dan hak-hak kepada terpidana yang sudah dirampas negara oleh putusan pemidanaan. Tidak dibenarkan negara secara terus menerus melakukan penuntutan.
Dengan mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, MA telah melakukan sesuatu kesalahan yang amat serius, karena:
· melanggar azas fondamental bahwa PK semata-mata ditujukan untuk kepentingan terpidana.
· Melanggar syarat formil dan materiil PK dalam Pasal 263 KUHAP.
· melanggar kehendak pembentuk UU sebagaimana maksud yang sesungguhnya dibentuknya lembaga PK.
· MA telah mempraktikkan negara kekuasaan seperti zaman Orde Baru, yang semula tidak rela Sdr. Muchtar Pakpahan dibebaskan (1995). Negara telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk melanggar hukum UU. Latar belakang dan jiwa penegakan hukum yang demikian kini sudah ketinggalan jaman. MA sudah mundur jauh ke belakang.
· Putusan MA bertentangan dengan dasar filosofi, sosiologis dan yuridis dari keberadaan lembaga PK.
Akibatnya adalah:
· Tidak ada lagi kepastian hukum mengenai PK di Indonesia, baik bagi negara maupun penduduk negara khususnya bagi terdakwa yang telah dibebaskan.
· Negara telah bertindak sewenang-wenang pada penduduk negara. Negara sudah masuk ke praktik negara kekuasaan.
· Azas PK yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana, yang fungsinya membatasi kekuasaan negara (due proces of law), dengan tujuan untuk menghindari perlakuan sewenang-wenang negara pada penduduk negara di bidang peradilan, sebagai suatu ciri dari negara hukum, telah dilanggar secara terbuka dan terang-terangan.
· Putusan MA telah mengacaukan sistem hukum acara lembaga PK itu sendiri. Telah menjungkirbalikan norma Pasal 263, 264, 265, 266, dan 268 KUHAP, yang tegas, tuntas dan limitatif, sebagaimana kehendak pembentuk UU.
· Putusan pembebasan tidak membuat ketentraman bagi yang bersangkutan. Selalu dihantui perasaan ketakutan dan was-was seumur hidupnya, bahwa suatu saat akan dituntut lagi melalui PK.
· Dengan pembolehan JPU mengajukan PK membuka peluang untuk dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum sebagai alat pemerasan terhadap terdakwa diputus bebas yang telah tetap.
M. KESIMPULAN
1. Azas lembaga PK, semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana tidak dapat disimpangi dengan alasan apapun. Karena merupakan fondasi dari lembaga PK. Fondasi mana dibangun dan tegak diatas falsafah dan sejarah lembaga PK itu sendiri.
2. Apabila JPU mengajukan upaya PK terhadap putusan pembebasan terdakwa yang sudah tetap, maka demi kewibawan negara dan kewibawan hukum dalam suatu negara hukum, MA dengan jiwa besar (sesuai dengan konotasi “agung” dibelakang frasa mahkamah) harus secara tegas menyatakan tidak menerima permohonan yang melanggar hukum tersebut.
3. Apabila dalam perkara pidana yang sudah diputus pembebasan yang tetap, disadari kemudian terdapat kekeliruan hakim yang dapat menimbulkan kerugian negara, maka pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan melalui gugatan perdata – perbuatan melawan hukum atau wanprestasi (bergantung pada keadaan dan sifat perkaranya), dan tidak dibenarkan dengan cara JPU mengajukan permohoan PK terhadap putusan pembebasan yang tetap tersebut. Dengan demikian akan tetap terjaga kewibawan negara atau MA sebagai pengadilan tertinggi di republik ini. Sekaligus dapat dipulihkannya kerugian negara, apabila dapat dibuktikan akibat dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) atau wanprestasi.
Kampus FH UB, 10 Juli 2009.












KEPUSTAKAAN
Adami Chazawi, 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------------------, 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2., Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------------------, 2008. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang,
Andi Hamzah, 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
--------------------, 1994. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Antonius Sujata, 2000. Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Hadely Hasibuan, tanpa tahun. Andi Andoyo, Penerbit Uga Pro Adi, Jakarta.
Hadari Djenawi Tahir, 1982. Bab Tentang Herziening di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Alumni, Bandung.
Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kuffal, HMA., 2003. Apakah Putusan PK Dapat Dilawan dengan Pengajuan PK & Hukum Pidana dan Orang Sakit Jiwa, Penerbit UMM Press, Malang.
Lamintang, PAF., dan Djisman Samosir, 1979. Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Penerbit Tarsito, Bandung.
Mangasa Sidabutar, 2001. Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Mulyana W. Kusuma, 2001. Tegaknya Supremasi Hukum Terjebak antara Memilih Hukum dan Demokrasi, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
Yusti Probowati Rahayu, 2005. Dibalik Putusan Hakim Kajian Psikologi Hukum dalam Perkara Pidana, Penerbit CV Citramedia, Sidoarjo.
Ranuhandoko, I.P.M., 2006. Terminologi Hukum Inggris – Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Rusli Muhammad, H., 2007. Hukum Acara Pidana Kotemporer, Penerbit PT Cita Aditya Bakti, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2007. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit PT Rajagraindo Persada, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo dan A Pilto, 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Jakarta.
Tresna, R. 1978. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

[1] Lihat M Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta, halaman 1200. Bandingkan pula dengan H. Rusli Muhamad, 2007. Hukum Acara Pidana Kotemporer, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 287.
[2] Hendari Djenawi Tahir, 1982. Bab Tentang Herziening Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Alumni, Bandung., halaman 7.
[3] www.gatra.com, diakses tanggal 10 Juli 2009.
[4] Lihat M Yahya Harahap, Op.cit., halaman 1201.
[5] Bandingkan dengan Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 425.
[6] Hendari Djenawi, Op.cit. halaman 9.
[7] H. Rusli Muhammad, Op.cit, halaman 289.
[8] Hadari Djenawi, Op.cit., halaman 20..
[9] Adami Chazawi, 2008. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, halaman 265.
[10] Lihat FAP Lamintang dan Djisman Samosir, 1979. Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Penerbit Tarsito, Bandung, halaman 89.
[11] Lihat Wirjono Prodjodikoro, 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Penerbit Reflika Aditama, Bandung, halaman 25.