Minggu, 12 Februari 2012

MENGAPA JAKSA TIDAK BERHAK MENGAJUKAN PK? *

(H. Adami Chazawi)**


Abstrak: Peninjauan Kembali (PK) perkara pidana dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan penduduk yang telah dirampas negara secara tidak sah melalui vonis hakim, dimana tidak ada lagi upaya hukum (biasa). Negara bertanggungjawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak penduduk yang dirampas. Oleh sebab itu negara memberikan hak pada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK. Pemberian hak PK pada terpidana sebagai bentuk pertanggungjawaban negara. Merupakan wujud penebusan dosa pada terpidana. Dasar filosofi inilah yang mendasari dan menjiwai hukum acara PK dalam Reglement op de Strafvoordering (RSv), yang kemudian diadopsi ke dalam PERMA No. 1 Tahun 1969 maupun PERMA No. 1 Tahun 1980 selanjutnya ke dalam KUHAP.

Sejak usaha coba-coba jaksa mengajukan PK terhadap putusan bebas Muchtar Pakpahan (29-9-1995) pada masa pemerintahan otoriter - diterima MA (No. 55PK/Pid/1996), pembenaran yang berbobot politis, dilakukan MA lagi pada masa orde reformasi - dalam putusan: RAM Gulumal (No. 03PK/Pid/2001), Setyawati (No. 15PK/Pid/2006), dr. Eddy Linus dkk (No. 54PK/Pid/2006), Syahril Sabirin (No. No. 07 PK/Pidsus/2009), Polycarpus (No. 109PK/Pid/2007), Joko S Tjandra (No. 12PK/Pidsus/2009). Suatu bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dasar PK. Akibat pelanggaran yang paling serius ialah rusaknya sistem hukum PK dalam KUHAP, dan hilangnya rasa ketenanganan dan kedamaian hidup bagi terdakwa yang dibebaskan selama hidupnya dari rasa ketakutan, bahwa sewaktu-waktu negara akan menuntut lagi melalui PK. Terbelenggu oleh pembenaran jaksa mengajukan PK tanpa batas waktu. Namun dilain pihak MA konsisten, dengan tegas menolak PK jaksa dalam perkara Sdr. Mulyar bin Samsi (2007) dan Johan Imago al Guan Kabir (2010).
Mau dikemanakan lembaga PK ke depan??

Akankah kita berpangku tangan dan mengikhlaskan MA terus melanggar legislated environment dalam hukum acara pidana?
Kata kunci: peninjauan kembali, terpidana, putusan bebas, kepastian hukum dan keadilan.


A. LANDASAN FILOSOFI dan SEJARAH LEMBAGA PK PIDANA

Lahirnya konsepsi hukum PK dalam KUHAP berpijak pada landasan filosofi dan tidak terlepas dari sejarah lahirnya asas legalitas pada abad ke XVIII di Eropah, yang perwujudannya pertamakali dalam perundang-undangan Hindia Belanda: Reglement op de Strafvordering (RSv) – Stb. nomor 40 jo 57 (1847).

1. Dasar Filosofi Lembaga PK

Dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum (law enforcement) terdapat apa yang dinamakan “area of no enforcement”, dimana kekuasaan negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Semua tindakan negara harus berdasarkan tatanan hukum yang telah ditetapkan lebih dulu. Menegakan kepentingan hukum, dalam rangka menjaga ketertiban umum melalui proses penegakan hukum pidana, negara berbuat dan bertindak. Dalam hal ini, penduduk diposisikan sebagai objek (sekaligus subjek) yang disangka/didakwa atau dipidana. Dalam proses itu tindakan negara dapat menyalahi tatanan hukum. Menimbulkan akibat terampasnya hak-hak dan keadilan penduduk. Ketika kondisi akibat itu tidak dapat lagi dipulihkan dengan upaya hukum biasa, disinilah arti pentingnya upaya PK.

Substansi PK berpijak pada dasar, bahwa negara telah salah mempidana penduduk dan tidak dapat diperbaiki dengan upaya biasa. Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah. Negara telah berbuat dosa pada penduduknya. Negara dituntut bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas. Bentuk pertanggungjawaban itu, ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK, bukan kepada negara . Dengan demikian dapatlah diartikan, bahwa pemberian hak PK pada terpidana adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara tersebut.

Dicontohkan dosa negara dalam beberapa kasus konkret. Pengadilan Negeri Bekasi (1977) menghukum Sengkon dan Karta masing-masing 12 dan 7 tahun penjara yang diyakini hakim karena merampok dan membunuh suami istri Suleman. Kedua-duanya sudah ditahan sejak tahun 1974. Dalam perkara lain terbukti bahwa yang merampok dan membunuh suami istri Suleman adalah Gunel, Siih dan Wasita yang kemudian dipidana masing-masing 10, 8 dan 6 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bekasi.

Contoh lainnya. Pada tahun 2002 Risman Lakoro dan istrinya dipidana karena membunuh Alta Lakoro anak kandungnya sendiri oleh Pengadilan Negeri Limboto. Oleh karena disiksa polisi pada saat penyidikan,*antara lain jari-jarinya dijepitkan di daun pintu - hingga cacat seumur hidup. Tidak tahan siksaan - terpaksa mengaku membunuh. Keterangan terdakwa dan bukti patah tulang akibat disiksa polisi di sidang pengadilan tidak digubris hakim. Risman Lakoro dipidana 3 tahun penjara. Tahun 2007 tiba-tiba Alta Lakoro kembali ke kampung halamannya. Terbukti bahwa Suami istri Risman Lakoro tidak membunuh anak kandungnya, yang memang sejak tahun 2001 pergi tanpa pesan karena cekcok dengan kedua orang tuanya tersebut.

Contoh yang terbaru dan masih segar dalam ingatan kita. Negara telah menghukum dalal peradilan sesat Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali (2008) di Jombang. Seperti fenomena gunung es, yang terlihat di atas sedikit – namun yang tidak - jauh lebih banyak?.

Dari contoh-contoh tersebut, tampak kesalahan dan dosa negara yang telah menghukum penduduk yang sesungguhnya tidak bersalah. Oleh sebab itulah maka lembaga PK semata-mata ditujukan untuk memperbaiki putusan pemidanaan yang salah semacam itu. Dengan demikian, maka negara tidak dibenarkan mengajukan PK untuk sebaliknya menghukum terdakwa yang sudah dibebaskan atau lepas dari tuntutan hukum yang sudah tetap. Negara tidak pernah menjadi korban dari kesalahan proses pengadilan. Tidak dibenarkan negara untuk membongkar putusan pembebasan yang tetap, dengan alasan mencari keadilan.

PK tidak lagi untuk mencari keadilan melalui pasal-pasal yang didakwakan penuntut umum. Pada raat putusan (bebas) mempunyai kekuatan hukum, maka hak negara untuk mencari keadilan terhenti. Tidak dibenarkan mengadakan tuntutan baru atau melanjutkan tuntutan semula yang sudah final.


2. Landasan - Sudut Sejarah PK

Jaman Hindia Belanda telah mengenal lembaga PK (herziening), terdapat dalam Reglement op de Strafvordering (RSv) – Stb. nomor 40 jo 57 tahun 1847 khususnya dalam titel 18 (Pasal 356 sampai 360), hukum acara pidana pada Raad van Justitie, peradilan bagi golongan Eropah. Tidak terdapat pada hukum acara pidana peradilan Landraad – peradilan untuk golongan Bumiputra.

Menurut Pasal 356 RSv herziening dapat diajukan terhadap putusan yang mempidana (veroordeling) yang sudah tetap (in kracht van gewijsde) dengan alasan:

1. Atas dasar kenyataan bahwa dalam berbagai putusan terdapat pernyataan yang telah dinyatakan terbukti, ternyata bertentangan satu dengan yang lainnya;

2. Atas dasar keadaan yang pada waktu pemeriksaan di pengadilan tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui, baik berdiri sendiri maupun sehubungan dengan bukti-bukti yang telah diajukan. Dan apabila keadaan itu diketahui, pemeriksaan akan berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Alasan-alasan tersebut dapat diajukan dalam suatu permohonan peninjauankembali apabila dalam suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.

Pasal 357 SRv menyatakan: “PK diajukan ke MA oleh Jaksa Agung (door den procureur general) atau oleh terpidana yang terhadapnya dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan melalui kuasa khusus untuk keperluan tersebut”.

Meskipun menurut SRv PK boleh diajukan oleh Jaksa Agung, namun tetap untuk kepentingan terpidana. PK diajukan terhadap putusan penghukuman merupakan syarat esensial. Jelas dari syarat formil maupun materiil “putusan pemidanaan” merupakan jiwa/nyawa lembaga PK. Jiwa lembaga PK yang demikian ini kemudian dioper ke dalam PERMA No. 1 Tahun 1969. dan PERMA No. 1 Tahun 1980. Kemudian diadopsi ke dalam Bab XVIII Bagian Kedua KUHAP.

Latar belakang dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 1969, dapat diketahui dari dasar pertimbangannya.

• Pertama, lembaga PK menjadi kebutuhan hukum yang mendesak. Banyak pencari keadilan mengajukan permohonan PK kepada PN atau langsung ke MA, yang diantaranya mempunyai dasar-dasar yang kuat. Sementara belum ada hukum acaranya.

• Kedua, untuk mengisi kekosongan hukum dan bersifat sementara sebelum adanya UU yang mengaturnya, agar dapat menampung kebutuhan hukum bagi pencari keadilan.

• Ketiga, maksud untuk menambah hukum acara MA dengan hukum acara pidana PK yang telah terdapat dalam UU No. 13 Tahun 1965 Tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.

Dalam Pasal 31 UU No. 13 Tahun 1965 maupun Pasal 15 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebut perihal kewenangan MA memeriksa PK. Namun tidak dapat dijalankan berhubung belum ada hukum acara - aturan pelaksanaannya. Dengan maksud untuk itu, maka MA mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1969 sebagai tambahan - untuk melengkapi hukum acara Mahkamah Agung.

Syarat formil dan materiil mengajukan PK dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 3 dan 4 PERMA No. 1 Tahun 1969, ialah:

Syarat formil adalah:

a. Putusan yang dapat dilawan dengan upaya PK adalah putusan yang mempidana terdakwa;

b. Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);

c. Pihak yang dapat mengajukan permintaan PK ke MA ialah terpidana, pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung.

Sementara syarat materiil, adalah salah satu dari:

a. Putusan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang mencolok;

b. Terdapat keterangan-keterangan yang terbukti yang saling bertentangan;

c. Adanya keadaan baru;

d. Suatu perbuatan yang dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti dengan pemidanaan.

Ternyata ketentuan Jaksa Agung boleh mengajukan permintaan PK meniru dari SRv., tetap dalam koridor untuk kepentingan terpidana, karena putusan yang dapat dilawan PK adalah putusan pemidanaan, bukan terhadap putusan bebas. Prinsip PK hanya boleh diajukan terhadap putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap, sebagai perwujudan dari prinsip PK: hanya untuk menegakkan kepentingan terpidana tetap dipertahankan oleh PERMA No. 1 Tahun 1969

Semula MA menganggap bahwa mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1969 sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 131 UU No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. Pasal 131 berbunyi: “jika dalam jalan – pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-undang, maka MA “dapat menentukan sendiri” secara bagaimana soal itu harus diselesaikan”. Namun kemudian disadari sebagai suatu kekeliruan – mestinya dengan UU. Oleh sebab itu kemudian PERMA No. 1 Tahun 1969 dicabut melalui PERMA No. 1 Tahun 1971.

PERMA No. 1 Tahun 1971 dicabut dengan PERMA No. 1 Tahun 1976. Alasannya, karena pada saat itu (1971) sudah ada kepastian bahwa pelaksanaan PK akan diatur dalam UU MA yang rancangannya sedang di DPR, sehingga MA berpandangan bahwa tentang hukum acara PK sebaiknya menunggu terbitnya UU tersebut. Namun ternyata hingga tahun 1976 RUU tersebut tak kunjung disahkan DPR, keadaan ini mendorong MA untuk mencabut PERMA No. 1 Tahun 1971 melalui PERMA No. 1 Tahun 1976.

Dengan dicabutnya PERMA No. 1 Tahun 1971, secara formal PERMA No. 1 Tahun 1969 berlaku kembali, namun hanya mengenai PK perkara perdata, sementara PK perkara pidana tidak. Karena dalam PERMA No. 1 Tahun 1971 pada angka 2 dalam hal memutus tegas dikatakan, bahwa “PK perkara pidana tidak dapat dilayani karena belum ada undang-undangnya”. Oleh karenanya sejak tahun 1971 ketentuan PK perkara pidana terjadi kekosongan hukum, sampai dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 1980 tanggal 1 Desember 1980.

. PERMA No. 1 Tahun 1980, juga sifatnya sementara dengan tujuan utama untuk mengatasi kesalahan pengadilan yang telah terlanjur menghukum Sengkon bin Yakin dan Karta bin Salam yang kemudian terbukti tidak bersalah. Mereka ditahan sejak 1974, dipidana tahun1977 dan tahun 1981 dibebaskan melalui putusan PK dengan menggunakan dasar PERMA No. 1 Tahun 1980 tersebut.

Syarat formil mengajukan permintaan PK menurut PERMA No. 1 Tahun 1980 (Pasal 10) sama dengan PERMA No. 1 Tahun 1969, yaitu:

1) PK dapat diajukan oleh Jaksa Agung, terpidana, dan pihak yang berkepentingan.

2) Terhadap putusan yang mempidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

Sementara syarat materiil (Pasal 9) menyebutkan tiga alasan.

1) Adanya putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;

2) Terdapatnya suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penetrapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

3) Putusan yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan terbukti, namun tidak diikuti suatu pemidanaan.
.
Ternyata alasan “adanya putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim yang semula terdapat dalam PERMA No. 1 Tahun 1969 tidak menjadi alasan lagi untuk mengajukan PK dalam PERMA No. 1 Tahun 1980. Syarat materiil mengajukan PK dalam PERMA No. 1 Tahun 1980 ini mengadopsi dari SRv.

Menurut PERMA No. 1 Tahun 1980 pihak yang berhak mengajukan PK, ialah terpidana, pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung terhadap putusan “pemidanaan” yang telah tetap. Sama dengan PERMA No. 1 Tahun 1969. Namun syarat formil “terhadap putusan pemidanaan”, tetaplah dipertahankan, tanpa kecuali, meskipun Jaksa Agung atau pihak yang berkepentingan boleh mengajukan PK.

Sifat sementara PERMA No. 1 Tahun 1980 ini dikarenakan, bahwa hukum acara mengenai PK tidak seharusnya dibuat dalam bentuk PERMA, melainkan harus melalui undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak (mengatasi putusan peradilan sesat Sengkon dan Karta), MA terpaksa mengulangi kembali mengeluarkan PERMA sebagaimana PERMA No. 1 Tahun 1969, dengan mengacu pada Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970

Oemar Seno Adji, Ketua MA waktu itu, mengatakan bahwa PERMA No. 1 Tahun 1980 merupakan ketentuan provisoris, temporer dan transitoir sifatnya dan ditetapkan untuk kebutuhan pada saat itu, untuk kemudian menyediakan tempatnya bagi perundang-undangan kelak sebagai pelaksanaan dari Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970.

Satu bulan setelah diberlakukan, dengan menggunakan dasar PERMA No. 1 Tahun 1980 tersebut, tanggal 31 Januari 1981 Sdr. Sengkon dan Karta di bebaskan MA melalui putusan PK atas permohonan Jaksa Agung.

Kasus Sengkon dan Karta ini pula yang menjiwai lembaga PK dalam Bab XVIII Pasal 263 s/d 269 KUHAP. Sebagaimana nampak dalam pandangan umum fraksi-fraksi di parlemen ketika membahas RUU KUHAP, kasus Sengkon dan Karta ini dijadikan alasan utama untuk memasukkan ketentuan PK dalam KUHAP. Kasus ini pula yang menjadi penyebab tidak ada perdebatan panjang di parlemen mengenai norma-norma Pasal 263 s/d 269 KUHAP tersebut.

Tinjauan filosofi dan sejarah PK sejak jaman Hindia Belanda tersebut, tidak lepas dengan sejarah perjuangan hak azasi manusia pada abad ke XVIII khususnya tentang menegakkan kepastian hukum – yang melahirkan asas legalitas yang bermula di Perancis. Semula azas legalitas dimuat dalam Pasal 8 Declaration des Droit de L’home et du Citoyen (1789) yang dioper ke dalam Code Penal Perancis yang pertama (1791) dan yang kedua (1810). Ketika Belanda di bawah Pemerintahan Napoleon (1811-1813) Code Penal diberlakukan di Belanda, dan sebaliknya Criminal Wetboek voor het Koninkrijk Holand dibekukan. Setelah Belanda memperoleh kemerdekaan kembali (1813) Code Penal tetap berlaku (selama 75 tahun) sampai ditetapkannya WvS Nederland 1881 dimana asas legalitas masuk dalam Pasal 1. Berdasarkan asas konkordansi WvS Belanda diberlakukan pula di Hindia Belanda (1918), yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (KUHP). Semua itu merupakan hasil perjuangan rakyat melawan rezim kekuasan absolut, yang diperlopori oleh para ahli hukum al. yaitu: Beccaria, Bentham, Montesquieu, Anselm von Feuerbach . Feuerbach terkenal dengan ajarannya “psychologische zwaang”.

Bahwa asas legaliltas dalam hukum acara pidana - Pasal 3 KUHAP merupakan perwujudan asas legalitas Pasal 1 KUHP. Sehubungan dengan sejarah asas legalitas tersebut, Komariah E Sapardjaja dalam “Dessenting Opinion” putusan perkara Joko S Tjandra (No. 12PK/Pisus/Pid/2009), singkatnya menyatakan “Bahwa dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia khususnya tentang asas legalitas dalam KUHAP (jo. Pasal 3 KUHAP) yang merupakan hasil perjuangan rakyat terhadap rezim kekuasaan absolut pada zaman ancient regime, sehingga diperlukan jaminan kepastian hukum bagi perlindungan individu dari kesewenang-wenangan penguasa, alasan historis untuk membantah dalil Jaksa Penuntut Umum seperti tersebut di atas”.

Jelaslah, bahwa dari sudut sejarah PK di Hindia Belanda/Indonesia dan sejarah dunia mengenai lahirnya asas legalitas abad ke XVIII dan sudut dasar filosofi PK, khususnya di Indonesia setelah kemerdekaan yakni dari pengalaman kasus SENGKON dan KARTA itulah yang menjadi latar belakang dan menjiwai lahirnya konsepsi lembaga PK yang azas-asasnya dirumuskan dalam Pasal 263 (1) (2) dan 266 Ayat (3) KUHAP.


B. SYARAT MATERIIL PENGAJUAN PK

Syarat materiil pengajuan PK - Pasal 263 (2) KUHAP adanya keadaan baru, ada beberapa putusan yang saling bertentangan dan putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekelirun nyata

1. Keadaan baru, adalah suatu keadaan yang sudah ada sebelum/pada saat sidang - pemeriksaan perkara berlangsung, yang baru diketahui setelah putusan menjadi tetap. Keadaan tersebut bukan baru, sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya. Namun baru diketahui keberadaannya dari alat-alat bukti yang baru diketahui/ditemukan kemudian - setelah perkara diputus dan menjadi tetap. Alat- bukti inipun sesungguhnya juga bukan alat bukti baru, melainkan alat bukti yang sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya, namun belum diajukan dan diperiksa di sidang,

2. Pelbagai putusan yang saling bertentangan, adalah terdapatnya dua atau lebih putusan yang saling berhubungan dan bersifat saling pengaruhi terhadap satu dengan yang lain secara timbal balik, dimana pertimbangan hukumnya atau amar putusannya saling bertentangan.

3. Putusan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, merupakan kesalahan hakim dalam memutus. Disebabkan oleh beberapa keadaan, al.:
- Pertimbangan hukum maupun amar secara nyata bertentangan dengan azas-azas hukum dan norma hukum;
- Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim;
- Amar yang sama sekali tidak didukung oleh pertimbangan hukum;
- Amar menyimpang jauh dari pertimbangan hukum;
- Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur;
- Hakim melakukan tafsir suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk UU mengenai maksud dibentuknya norma tersebut;
- Hakim menafsir secara bebas suatu norma di luar cara-cara yang lazim/dikenal dalam doktrin dan atau diluar logika.. Penafsiran yang akal-akalan atau yang merusak (interpretatio est perversio).
- Penafsiran yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah.


C. PASAL 24 (1) UU No. 48 TAHUN 2009 [Ps 23 (1) UU No. 4/2004] TIDAK DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PENGAJUAN PK OLEH JPU

Pihak-pihak yang dapat mengajukan PK yang dimaksud Pasal 24 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dalam perkara pidana bukan jaksa.

• Norma Pasal 24 Ayat (1) UU No. 48/2009 menyebut “pihak-pihak” adalah merupakan norma lex generalis (perkara pada umumnya). Sementara PK perkara pidana diatur khusus (lex specialis) dalam Pasal 263 (1) KUHAP, maka yang khususlah berlaku (lex specialis derogat legi generali). Pasal 24 Ayat (1) UU 48/2009 jangan dibaca dan dimaknai secara sepotong-sepotong dengan maksud semata-mata untuk menghukum terdakwa yang dibebaskan - diluar nalar dan akal sehat, tapi harus lengkap -menyeluruh. Dalam norma Ayat (1) terdapat syarat umum PK yakni bila terdapat hal atau keadaan tertentu dalam UU. Dalam perkara pidana, UU yang dimaksud adalah KUHAP, yang in casu Pasal 263, dimana “hal atau keadaan tertentu” yang dimaksud adalah keadaan putusan “penghukuman” yang telah tetap dan tiga syarat materiil PK dalam Ayat (2).

Sementara subjek hukum yang berhak mengajukan PK pada keadaan dan syarat-syarat yang demikian hanyalah semata-mata terpidana atau ahli warisnya saja sebagaimana disebutkan dalam Ayat (1), bukan negara atau pihak lain.
• Norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas, limitatif dan tuntas, maka bersifat tertutup. . Rumusan norma demikian, tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cessat in claris).
• Syarat materiil pengajuan PK Pasal 263 Ayat (2) KUHAP suatu kesatuan – tidak terpisahkan dengan syarat formil dalam Ayat (1). Syarat materiil - Ayat (2) hanya dapat digunakan oleh subjek hukum yang disebutkan dalam Ayat (1) saja (penafsiran sistematis). Tidak dapat digunakan oleh subjek hukum lain diluar Ayat (1).
• Bahwa dari sudut pemahaman norma UU dengan menggunakan logika terhadap suatu syarat yang ditentukan secara limitatif, maka tidak diperkenankan menambah syarat lain diluar yang telah disebutkan.


D. ARTI PK DIAJUKAN HANYA SATU KALI

Pasal 24 Ayat (2) UU 48/2009 yang menetapkan PK hanya dapat diajukan satu kali, hanya semata-mata ditujukan bagi PK yang diajukan menurut ketentuan dan syarat-2 dalam Pasal 263 Ayat (1 ) dan (2) KUHAP, yakni PK yang diajukan oleh terpidana terhadap putusan pemidanaan yang tetap. Ketentuan tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU terhadap putusan bebas yang in casu melanggar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Hak terpidana tidak/belum digunakan untuk mengajukan PK sebagaimana dihehendaki UU.

Pelanggaran MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, berimbas pada akibat hukum yang sangat merendahkan martabat dan merampas keadilan dan hak-hak terdakwa yang dibebaskan. Pengabulan PK yang demikian ini melanggar hukum, menempatkan terdakwa dalam suatu keadaan serba salah dan serba merugikan. Alasannya:

• Pertama, jika dilihat dari maksud pembentuk UU bahwa PK yang hanya dapat diajukan “satu kali”, adalah permohonan PK yang diajukan terpidana (bukan oleh JPU) berdasarkan syarat-syarat sebagaimana dalam Pasal 263 KUHAP. Sementara PK yang diajukan JPU yang kemudian dikabulkan MA bukan diajukan terpidana terhadap putusan pemidanaan sesuai syarat-syarat Pasal 263 KUHAP tersebut. Dalam hal ini terpidana yang sekarang belum menggunakan haknya. Maka sesungguhnya dibenarkan untuk mengajukan PK. Subjek hukum sah menggunakan suatu hak apabila Ia memiliki hak untuk hal itu. Sebaliknya subjek hukum yang menggunakan suatu hak yang sesungguhnya tidak dimilikinya, maka penggunaan hak tersebut tidak sah dan tidak membawa suatu akibat hukum apapun bagi siapapun. Apabila terpidana sekarang (yang dulu sudah bebas degan putusan tetap), tidak diperkenankan mengajukan PK – dengan alasan karena PK sudah diputus atas pemohonan jaksa, maka disini terdapat kerugian yang luar biasa bagi terpidana yang sekarang.

• Kedua, apabila dilihat dari makna azas ne bis idem (Pasal 76 KUHP), bahwa putusan pertama (pembebasan) tidak boleh diubah lagi dengan cara apapun, maka terdakwa semula yang sekarang terpidana menjadi terhalang untuk mengajukan PK, padahal hak tersebut belum digunakan olehnya. Justru yang menghalangi dan menghilangkan hak terpidana yang sekarang ini, adalah ulah dan perbuatan negara sendiri yang telah melawan putusan bebas yang tetap, padahal hak itu tidak ada pada negara.
Oleh karena itu, “andaikata” terdakwa semula yang sudah dibebaskan atau terpidana sekarang yang mengajukan PK, kemudian tidak diterima MA dengan alasan PK hanya satu kali, dan sudah digunakan (oleh JPU, bukan oleh terpidana), maka MA telah melakukan abuse of power, sudah masuk pada praktik negara kekuasaan.. MA telah melakukan dua perkosaan terhadap hak terdakwa yang dibebaskan dengan putusan yang tetap.

• Pertama hak untuk mengajukan upaya PK, yang menurut azasnya adalah hak asli terpidana yang tidak dapat dikurangi sedikitpun dengan alasan apapun yang sama sekali belum digunakannya.

• Kedua, hak menikmati kebebasan dari rasa ketakutan bahwa negara akan menuntut lagi, hak atas jaminan negara bahwa perkaranya tidak diungkit-ungkit lagi.E.

E. SEMA No. 10 TAHUN 2009 MENGENAI PK SATU KALI DAN TIDAK PERLU DIKIRIM KE MA TIDAK TERMASUK PK YANG DIAJUKAN TERPIDANA YANG DAHULU DI BEBASKAN KEMUDIAN DIPIDANA OLEH MA ATAS PENGAJUAN PK OLEH JPU

MA mengeluarkan SEMA No. 10 Tahun 2009, yang pada pokoknya:
• Permohonan PK perkara yang sama perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu kali bertentangan dengan UU.
• Bila ada permohonan PK yang dimaksudkan, agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.

Bahwa karena sifatnya, maka isi SEMA tersebut tidak berlaku terhadap permohonan PK yang diajukan terpidana yang dahulu telah dibebaskan dengan putusan telah tetap, yang kemudian dipidana oleh MA atas permohonan PK oleh JPU. SEMA tersebut hanya berlaku terhadap permohonan PK yang sesuai dengan Pasal 263 KUHAP, ialah PK yang dimohonkan oleh terpidana terhadap putusan pemidanaan yang telah tetap. Prinsip PK hanya satu kali, hanya berlaku bagi PK yang dimohonkan terpidana yang sejak awal dipidana dengan putusan yang telah tetap.

Bahwa selain itu, SEMA No 10/2009 hanya peraturan kebijakan dan tidak mengikat serta tidak dapat memberi kekuatan hukum normatif.

Oleh karena itu, “apabila” Ketua PN tidak mengirimkan berkas permohonan PK dan kelengkapannya yang diajukan terpidana karena dipidana oleh MA yang mengabulkan PK jaksa, yang semula sudah dibebaskan dengan putusan tetap, dengan alasan melaksanakan Perma No. 10 Tahun 2009, maka Ketua disamping telah melakukan abuse of power juga telah melakukan suatu kebodohan dan kebohongan publik.


F. JAKSA DAPAT MENGAJUKAN PK BUKAN MERUPAKAN HASIL PENAFSIRAN UNTUK MENEMUKAN HUKUM

Dalam hal/keadaan dan dengan syarat-syarat tertentu hakim dapat melakukan penggalian melalui penafsiran untuk menemukan hukum. Penegak hukum lain, jaksa dan advokat dapat pula menggali untuk menemukan hukum. Juga para ahli hukum. Temuan hukum oleh ahli hukum merupakan doktrin, dan menjadi hukum setelah diadopsi dalam berbagai putusan hakim.

Menggali untuk menemukan hukum dapat dibedakan antara (1) menggali dengan menafsir pada norma yang sudah ada, dan (2) menggali dari kasus peristiwa yang diperiksa dan diadili. Contoh yang pertama, menafsirkan unsur “pingsan atau tidak berdaya” dalam Pasal 286 KUHP menyamakan artinya dengan “idiotnya” seorang perempuan (arrest HR tahun 1934). Menurut Moeljatno, ini contoh ekstensif.*

Contoh yang kedua, menurut hemat penulis - dari putusan pembebasan Prita Mulyasari oleh PN Tangerang (No. 1269/Pid.B/PN.TNG) diperoleh temuan hukum sebagai berikut: “Pengunfkapan suatu perasaan melalui media e-mail yang isinya berupa keluhan dari apa yang dialaminya dari suatu pelayanan kesehatan oleh rumah sakit atau dokter yang tidak memuasakan karena membawa akibat lain dari penyakitnya semula, adalah bukan merupakan tindak pidana pencemaran ataupun perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 BW, meskipun isi keluhan itu dirasakan menyerang kehormatan dan nama baik pengelola rumah sakit atau dokter”.

Dalam hal MA membenarkan PK jaksa, adalah merupakan cara yang pertama, ialah menafsirkan terhadap rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Namun tidak jelas terhadap frasa/kata yang mana yang ditafsir tersebut. Kalau terhadap frasa atau unsur “terpidana atau ahli warisnya”, maka tidak mungkin jaksa disamakan artinya dengan terpidana atau ahli warisnya.

Menggali untuk menemukan hukum harus dilakukan dalam hal dan keadaan khusus serta dengan syarat-2 yang amat ketat, khususnya terhadap norma UU., ialah:

a. bila hukumnya tidak ada, namun sangat mendesak untuk memutus perkara. Maka norma yang paling dekat dengan kasus tersebut, unsurnya dapat ditafsir dengan menggunakan cara-2 yang lazim dalam doktrin dan tidak boleh keluar dari logika. Apabila sama sekali tidak ada norma yang paling dekat, maka tidak mungkin dapat mengadakan penafsiran.

b. hukumnya ada namun tidak/kurang jelas, untuk memperjelas dalam rangka penerapannya dapat dengan menggunakan tafsir yang sesuai dengan cara-2 penafsiran yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum.

Hak hakim menafsirkan dalam hukum pidana sangat ketat, harus memenuhi syarat-syarat dan dengan menggunakan cara-cara yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum, disebabkan karena dibatasi oleh azas legalitas dalam Pasal 1 KUHP.

Putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, bukan masalah penafsiran terhadap norma Pasal 263 (1) KUHAP, karena:

• Rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan rumusan yang sudah jelas dan limitatif (lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP), bersifat tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cesat in claris).

• Tidak ada landasan yuridis, filosofis, maupun historis dari pendapat bahwa jaksa berhak mengajukan PK

• Jaksa telah menggunakan sesuatu hak (PK) yang sesungguhnya tidak dimilikinya.

• Tidak ada norma yang paling dekat dalam KUHAP yang dapat ditafsir bahwa jaksa berhak mengajukan PK disamping terpidana atau ahli warisnya.

• Sudah berada diluar cara-2 penafsiran yang diperkenankan dan lazim dalam doktrin. MA sudah merubah dan atau menambah norma hukum baru di luar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.

Apa yang dilakukan MA sudah melampaui analogi maupun ekstensif. Ekstensif biasanya digunakan untuk menghindari penyebutan analogi yang dilarang dalam hukum pidana. Analogi adalah salah satu cara menafsirkan, meskipun hampir semua ahli hukum menolak karena bertentangan dengan azas legalitas. Namun dengan menggunakan logika analogi maupun ekstensif kadang-kadang masih dapat dicari landasannya. Dicontohkan, dalam arrest HR mengenai pencurian listrik (1921), bahwa aliran listrik sebagai benda yang bernilai ekonomis yang sama dengan benda yang menjadi objek pencurian.

Meskipun pencurian bisa terjadi pada objek yang tidak bernilai ekonomis, misalnya nilai histroris seperti seperti karcis KA yang sudah terpakai (HR 28-4-1930). Mencuri dalam trem yang berjalan dianalogkan pada mencuri dalam bis yang berjalan , dapat dicari dari persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Untuk melindugi kepentingan hukum si pemilik barang dalam sebuah kendaraan umum yang sedang berjalan. Trem adalah kendaraan umum, bis juga adalah kendaraan umum.

Kata/unsur “terpidana atau ahli warisnya” dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP ditafsirkan juga termasuk jaksa, tentulah tidak logis. Pendapat bahwa JPU berhak mengajukan PK, bukan lagi masalah penafsiran, tetapi sudah masuk wilayah kewenangan pembentuk UU. Sudah merubah atau menambah norma baru dari Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.


G. MA BUKAN MENGGALI UNTUK MENEMUKAN HUKUM

Dengan demikian tidak dapat dianggap bahwa MA menggali nilai-nilai hukum & keadilan menurut Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 (dahulu Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004) , karena:

1. Menggali nilai hukum dibatasi pada masalah (1) hukumnya belum ada atau (2) hukumnya tidak jelas. Norma hukum PK Pasal 263 Ayat (1) KUHAP telah jelas, pasti, tuntas dan limitatif, merupakan rumusan tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cesat in claris). Menggali untuk menemukan hukum tidak sama artinya dengan membuat hukum baru, seperti yang dipraktikan MA dengan menambah norma baru ke dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.

2. Hakim boleh menggali untuk menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan tidak melanggar norma hukum yang sudah berlaku difinitif. Hakim tidak dibenarkan melanggar norma hukum dengan alasan menggali hukum.

3. Menggali nilai-nilai hukum harus melalui hukum dengan cara-cara penafsiran yang sudah lazim dalam doktrin dan tidak keluar dari logika. Tidak menggunakan penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversio) atau penafsiran akal-akalan.

4. Pertimbangan putusan MA dapat disebut pertimbangan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Terlihat dalam pertimbangan putusan No. 55PK/Pid/1996 (Muchtar Pakpahan), No. 109PK/Pid/2007 (Pollycarpus), No. 12PK/Pidsus/2009 (Joko S Tjandra), No. 54PK/Pid/2006 (dr. Eddy Linus dkk.), al. sebagai berikut:

a. MA menyatakan bahwa “pihak yang berkepentingan” dalam Pasal 21 UU 14/1970 ditafsirkan adalah kejaksaan, karena itu jaksa juga berhak mengajukan PK. Padahal dalam Penjelasan Pasal 21 UU No. 14/1970 secara tegas dinyatakan bahwa “pihak yang berkepentingan” dalam perkara pidana, ialah “.... terhukum atau ahli warisnya”. MA menafsir tanpa membaca & menggunakan penjelasan pasal yang bersangkutan. Padahal penjelasan pasal mengenai “suatu hal” atau “unsur” adalah merupakan penafsiran otentik, merupakan perwujudan kehendak UU, yang wajib diikuti. MA telah melanggarnya.

b. Demikian juga MA menafsirkan bahwa frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” dalam Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 dalam perkara pidana adalah jaksa, dan dari situ MA menyimpulkan bahwa jaksa juga berhak mengajukan PK. MA membuat “pertimbangan hukum setengah jadi” – tidak tuntas dengan menggunakan “logika terbalik”. Mengapa?
1) Karena frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” dalam Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 adalah pihak-pihak dalam ketentuan lex generalis, yang tidak mungkin dapat diterapkan, tanpa menghubungkannya dengan lex specialisnya, yaitu Pasal 263 KUHAP. Sementara MA menafsirakan Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 hanya sepotong, hanya menafsirkan anak kalimat “pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK kepada MA” (dipotong dan stop disini), tanpa membaca anak kalimat lanjutannya yang berbunyi “apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam UU”. Apa yang dimaksud dengan “hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam UU” adalah semua keadaan yang disebutkan dalam Pasal 263 Ayat (1 dan 2) KUHAP. Subjek hukum yang dapat menggunakan semua keadaan dalam Ayat (2) adalah subjek hukum yang disebutkan dalam Ayat (1), yakni “terpidana” atau “ahli warisnya” terhadap putusan pemidanaan yang tetap. UU yang dimaksud dalam perkara pidana adalah KUHAP.

Apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh MA menafsir dengan cara memotong kalimat rumusan Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 seperti itu? Hanya diketahui oleh para hakim yang memutus saja. Namun dapat ditebak, sebabnya adalah bahwa MA hendak menjatuhkan pidana. Kalau kalimat itu dibaca seluruhnya, maka akan berujung pada norma Pasal 263 Ayat (1) dan (2) KUHAP, yang artinya permintaan PK jaksa dipstikan tidak dapat diterima.

2) Disebut dengan ”menggunakan logika terbalik”, karena MA menafsirkan “terpidana dan ahli warisnya” yang berhak mengajukan PK dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP juga jaksapun berhak.. Untuk membuktikan bahwa jaksa berhak PK menurut Pasal 263 (lex specialis) dengan menunjuk Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 (lex generalis). Jelasnya MA menafsirkan ketentuan dalam lex specialis berdasarkan lex generalis. Padahal seharusnya menafsirkan pihak-pihak dalam lex generalis dengan merujuk pada lex specialis, yakni dalam perkara pidana adalah sebagaimana ayang dimaksud Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.

c. MA menganggap bahwa dalam Pasal 23 (1) UU No. 4 Tahun 2004 tidak ada larangan jaksa mengajukan PK, menyimpulkan pula oleh karena itu jaksa mengajukan PK tidak bertentangan dengan UU, adalah pertimbangan akal-akalan, merupakan interpretatio est perversio. Kalau berpikir dengan cara akal-akal seperti itu, bahwa suatu peristiwa tidak disebut dalam undang-undang, lalu menafsirkannya dibolehkan. Berarti bisa juga ditafsirkan sebaliknya, ialah karena tidak disebut maka “dilarang”. Menurut MA karena tidak jelas lalu untuk memperjelasnya menggunakan penafsiran ekstensif, berkesimpulan bahwa dalam perkara pidana adalah jaksa, maka jaksapun berhak untuk mengajukan PK. Disamping bukan seperti itu yang dimaksud dengan ekstensif, juga seperti yang telah diterangkan tersebut di atas, bahwa penafsiran MA ini menyesatkan, penafsiran setengah jadi dan tidak tuntas dengan menggunakan logika terbalik. . Bahwa Pasal 23 UU No. 4/2004 ini merupakan lex generalis, yang tidak mungkin dapat diterapkan tanpa dengan menunjuk lex specialisnya.

d. MA juga menyatakan bahwa norma Pasal 263 Ayat (1) tidak jelas, maka untuk memperjelasnya menggunakan penafsiran ekstensif. Disamping isi muatan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP sudah sangat jelas, juga ekstensif bukan seperti yang dimaknai MA tersebut. Suatu penafsiran hanya dilakukan terhadap suatu unsur/frasa di dalam rumusan UU, seperti unsur “benda” dalam pencurian yang dianologikan dengan aliran/tenaga listrik (arrest HR, 23-5-1921). Tidak jelas frasa/unsur yang mana diantara sekian frasa/unsur yang terdapat dalam rumusan Pasal 263 (1) KUHAP yang ditafsir. Jika yang ditafsir itu adalah frasa “terpidana atau ahli warisnya”, maka tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya disamakan artinya dengan “jaksa”.

Undang-undang itu sebagai suatu sistem, sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari pasal-pasal. Dalam membaca atau menafsirkan suatu pasal, maka pasal tersebut harus diletakkan dalam proporsinya. Pasal yang bersangkutan harus ditempatkan dalam sistem, jangan dikeluarkan dari sistem atau undang-undang yang bersangkutan dan diteropong tersendiri lepas dari pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Dicontohkan, Pasal 263 (1) KUHAP berhubungan dengan Pasal 266 (3), menyatakan bahwa “putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Ketentuan tersebut membuktikan bahwa PK ditujukan untuk kepentingan terpidana, bukan jaksa..

e. Untuk menguatkan pendapatnya, MA merujuk Article 84 Statute of International Criminal Court. Namun MA hanya terpaku pada frasa “prosecutor” saja dalam kalimat “1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused”s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that………….”;. Dengan demikian seolah-olah jaksa memiliki hak mengajukan PK. Padahal kalau kalimat itu dibaca lengkap, dimana kata prosecutor dihubungkan dengan 4 kata setelah kata prosecutor yakni “on the person’s behalf”, lengkapnya “or the prosecutor on the person’s behalf”..., maka jaksa yang mengajukan PK adalah untuk dan atas kepentingan terpidana itu sendiri, yang secara a contrario berarti tidak dimungkinkan peninjauan kembali yang bertujuan untuk memberatkan atau merugikan si tepidana. Untuk memberatkan terpidana berarti jika diajukan oleh jaksa. Jadi menurut Article 84 Statute of International Criminal Court ide dasar PK adalah tetap untuk kepentingan terpidana.

Lagi-lagi MA melakukan tafsir dengan memotong-motong kalimat, suatu penafsiran setengah jadi dan tidak tuntas. Sebab kalau menafsirkan seluruh kalimat secara tuntas, maka MA tidak dapat menghukum, sementara menghukum sudah merupakan tujuan awal.

Dari analisis hukum terhadap pertimbangan putusan-putusan MA tersebut di atas, maka semakin jelas bahwa putusan pembenaran PK jaksa adalah:

• Didasarkan pada pertimbangan hukum yang nyata bertentangan dengan azas-2 hukum dan norma hukum [Pasal 263 Ayat (1) KUHAP].

• Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim, karena jaksa menggunakan suatu hak (PK) yang sesungguhnya tidak dimilikinya. Perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum, dan karenanya putusan yang mengabulkan penggunaan sesuatu hak yang tidak dimilikinya, mestinya batal demi hukum.

• Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur, karena KUHAP tidak mengatur prosedur pengajuan PK yang diajukan jaksa terhadap putusan bebas atau pelepasan dari tuntutan hukum. KUHAP hanya mengatur prosedur pengajuan PK yang oleh terpidana atas putusan pemidanaan yang tetap saja.

• MA telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak UU. Hakim tidak dibenarkan membuat tafsir dengan melanggar kehendak UU dan memperkosa maksud dan jiwa undang-undang.

• MA telah menafsirkan suatu norma diluar cara-cara yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu norma secara bebas, tanpa landasan yuridis, filosofis, historis dan sudah diluar logika hukum. Dapat digolongan pada penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversio).

• MA telah memutuskan sesuatu yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah. MA telah masuk ke wilayah kewenangan pembentuk UU.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka putusan MA yang membenarkan PK jaksa tidak dapat disebut dan atau menjadi yurisprodensi. Termasuk putusan yang tidak konsisten. Putusan dapat menjadi yurisprodensi jika konsisten dan berulang.


H. PK TIDAK LAGI MENCARI KEADILAN MELALUI PASAL-PASAL YANG DIDAKWAKAN

Putusan bebas yang sudah tetap, tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum biasa maupun PK. Tidak dibenarkan negara mempersoalkan lagi tentang keadilan dalam putusan tersebut. Prosesnya sudah berlalu, sudah selesai. Logikanya:

• Dalam setiap norma hukum sudah berbobot keadilan dan kemanfaatan, dan tentu saja sesuai logika. Dibentuknya norma hukum - untuk keadilan dan kemanfaatan. Jika hukum diterapkan - kepastian hukum dicapai, maka keadilan dan kemanfaatan juga include ditegakkan. Tidak mungkin sebaliknya – mencari keadilan dengan menabrak dan mengahancurkan hukum. Mencari keadilan harus melalui hukum, bukan dengan menafsirkan norma secara bebas yang merusak (interpretatio est perversio).

• Kepastian hukum adalah konkret – lebih terukur karena itu menjadi tujuan utama penegakan hukum. Sementara keadilan abstrak - relatif dan tidak bisa diukur, oleh karenanya menjadi bagian - tidak terpisahkan dari kepastian hukum, bukan semata-mata menjadi tujuan satu-satunya yang lepas dari kepastian hukum.

• Negara membawa terdakwa ke sidang pengadilan untuk menegakkan hukum yang sekaligus di dalamnya keadilan. Selama proses peradilan berjalan – pada saat itu saja negara berhak mencari keadilan dengan melalui norma-norma hukum. Pada saatnya proses itu akan berakhir, ialah ketika putusan menjadi tetap. Sementara proses PK tidak lagi mempersoalkan keadilan dengan melalui penerapan norma-norma hukum seperti itu. Proses tersebut sudah berlalu, sudah lewat. Melainkan mengembalikan keadilan dan hak-hak kepada terpidana yang sudah dirampas negara oleh putusan pemidanaan. Tidak dibenarkan negara secara terus menerus atau berulang-ulang melakukan penuntutan.

• Cara-cara penafsiran yang digunakan MA tidak logis, diluar cara-cara yang dikenal dalam doktrin hukum. Terkesan MA sekedar mencari-cari alasan pembenar dari suatu tindakan yang salah, untuk mencapai tujuan menghukum yang semula sudah dimaksudkan.

Pembenaran jaksa mengajukan PK, menimbulkan akibat serius, yaitu:

• Tidak ada lagi kepastian hukum mengenai PK di Indonesia, baik bagi negara maupun penduduk khususnya terdakwa yang telah dibebaskan. Sistem hukum mengenai PK telah dijungkirbalikan, menimbulkan kerusakan hukum dan tiada lagi kepastian hukum. Padahal adanya kepastian hukum merupakan jaminan bagi penduduk untuk mendapat perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan penguasa negara.

• Negara telah bertindak sewenang-wenang pada penduduk. Negara sudah masuk ke praktik negara kekuasaan.

• Azas PK yang semata-mata untuk kepentingan terpidana. Fungsinya membatasi kekuasaan negara (due proces of law). Tujuannya untuk menghindari perlakuan sewenang-wenang negara pada penduduk di bidang peradilan, sebagai suatu ciri dari negara hukum - telah dilanggar.

• Sistem hukum acara lembaga PK yang semula teratur menjadi kacau.. Telah terjungkil-balikan norma Pasal 263, 264, 265, 266, dan 268 KUHAP, yang semula tegas, tuntas dan limitatif, sebagaimana kehendak UU.

• Putusan pembebasan tidak membuat ketentraman bagi yang bersangkutan. Selalu dihantui perasaan ketakutan dan was-was seumur hidupnya, bahwa suatu saat akan dituntut lagi melalui PK.

• Pada era penengakan hukum yang belum baik sekarang, pembolehan JPU mengajukan PK membuka peluang untuk dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum sebagai alat pemerasan terhadap terdakwa diputus bebas yang telah tetap.


I. PUTUSAN PERKARA MULYAR bin SAMSI dan JNHAN IMAGO al GUAN KABIR DAPAT MENJADI RUJUKAN KE DEPAN.

Disamping putusan yang mengabulkan PK jaksa, ada pula putusan MA yang konsisten - menyatakan tidak dapat menerima PK jaksa, ialah dalam perkara Sdr. Mulyar bin Samsi di Muara Teweh (2007) dan Johan Imago al Guan Kabir di Kalabahi - NTT (2010).

• Dua putusan MA tersebut bisa menjadi rujukan dan yurisprodensi ke depan, sebabnya karena putusan tersebut mempertahankan konsistensi, sesuai dan beradasarkan hukum dan berulang.
• Putusan hakim adalah hukum. Dalam hal ini ada dua sumber hukum setingkat mengenai hal yang sama yang saling bertentangan. Maka berdasarkan asas penerobosan legalitas dan asas in dubio pro reo ialah harus menggunakan hukum yang paling menguntungkan terdakwa. Azas ini diwujudkan al. dalam norma Pasal 1 Ayat (2) KUHP.
• Sesuai dengan asas penerobosan legalitas dan in dubio pro reo tersebut maka Putusan MA perkara Mulyar bin Samsi No. 84 PK/Pid/2006 dan Johan Imago al Kabir (2010), dapat dijadikan dasar MA untuk menolak setiap permohonan PK yang dimohonkan JPU selanjutnya.
• Apabila terdakwa telah diputus bebas yang tetap, disadari kemudian terdapat kekeliruan dan dalam hal itu terdapat kerugian negara, maka pengembalian kerugian tidak dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Dapat dilakukan dengan melalui gugatan perdata. Selain negara tidak melanggar hukum, kewibawaan negara (MA) dan kewibawaan hukum akan tetap terjaga, hak-hak terdakwa yang dibebaskan tetap dijujung tinggi dan dihargai. Suatu pencerminan suatu negara hukum, bukan praktik otoriter seperti jaman orde baru dahulu.


J. KESIMPULAN

1. Azas lembaga PK, semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana tidak dapat disimpangi dengan alasan apapun. Karena merupakan fondasi PK yang dibangun dan ditegakan di atas falsafah dan sejarah lembaga PK itu sendiri. Bila fondasi itu dibongkar, maka runtuhlah bangunan rumah PK tersebut.

2. Putusan MA yang membenarkan PK jaksa dibangun di atas pertimbangan hukum yang mengada-ada, memotong-motong kalimat rumusan pasal yang ditafsir dan menyalahartikan terhadap sesuatu yang sudah amat jelas. Tergolong menafsirkan dengan cara merusak (interpretatio est perversio). Putusan semacam ini termasuk putusan dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata.

3. Apabila jaksa mengajukan upaya PK terhadap putusan pembebasan, maka demi kewibawan negara dan kewibawan hukum dalam suatu negara hukum, dengan jiwa besar MA (sesuai dengan arti kata “agung” dibelakang kata mahkamah) harus secara tegas menyatakan tidak menerima permohonan yang melanggar hukum tersebut.

4. Apabila perkara pidana yang sudah diputus bebas yang tetap, disadari kemudian terdapat kekeliruan dan diperkirakan terdapat kerugian negara, maka pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan melalui gugatan perdata – perbuatan melawan hukum atau wanprestasi (bergantung pada keadaan dan sifat perkaranya). Dengan begitu, maka akan tetap terjaga kewibawan MA sebagai pengadilan tertinggi, yang sekaligus dapat dipulihkannya kerugian negara.

5. Apabila putusan bebas yang tetap yang kemudian disadari salah, tidak benar dan tidak masuk akal dipulihkan dengan cara yang melanggar hukum. Membenarkan PK jaksa merupakan kemunduran – dua abad kebelakang.

6. Dengan terdapatnya suatu keadaan dimana disatu pihak MA membenarkan dan menerima PK jaksa, sementara dipihak lain tidak, maka berdaskan azas penerobosan legalitas [Pasal 1 Ayat (2) KUHAP] dan adagium “in dubio pro reo”, seharusnya kedepan MA memilih putusan (hukum) yang menguntungkan terdakwa.
Kampus FH UB., 10 Pebruari 2012.







KEPUSTAKAAN
Adami Chazawi (i), 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana - Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
----------------- (ii), 2008. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang,
---------------- (iii), 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------------- (iv), 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2., Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta.
--------------- dan Ardi Ferdian (v), 2011. Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
Andi Hamzah, 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
--------------------, 1994. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Hadely Hasibuan, tanpa tahun. Andi Andoyo, Penerbit Uga Pro Adi, Jakarta.
Hadari Djenawi Tahir, 1982. Bab Tentang Herziening di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Alumni, Bandung.
Jan Remmelink,*2003. Hukum Pidana, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lamintang, PAF (i)., 1999. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru, Bandung.
-----------, dan Djisman Samosir (ii), 1979. Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Penerbit Tarsito, Bandung.
Mangasa Sidabutar, 2001. Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Otto Cornelis Kaligis, 2008. Miscarriage of Justice dalam Sistem Peradilan Pidana, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Menado Tanggal 8 Nopember 2008.
Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
Yusti Probowati Rahayu, 2005. Dibalik Putusan Hakim Kajian Psikologi Hukum dalam Perkara Pidana, Penerbit CV Citramedia, Sidoarjo.
Ranuhandoko, I.P.M., 2006. Terminologi Hukum Inggris – Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Rusli Muhammad, H., 2007. Hukum Acara Pidana Kotemporer, Penerbit PT Cita Aditya Bakti, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2007. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, RM., dan A Pilto, 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Jakarta.
Utrecht, 1986. Hukum Pidana I, Penerbit Pustaka Tinta Mas, Surabaya
Sumber lain:
Majalah Hukum Varia Peradilan No. 260 - Juli 2007, No. 268 - Maret 2008 dan No. 288 - Nopember 2009.
Sudikno Mertokusumo, RM., 2009. Bolehkan Jaksa Mengajukan PK? (artikel online), http://sudiknoartikel.blogspot.com
Gatra, berita online, 14 Juli 2007, “Risman Cacat Seumur Hidup Dianiaya Polisi”, http://www.gatra.com
Berita Online, “Berkas Perkara Joko S. Tjandra Dinilai Layak Diteruskan ke MA”, www.hukumonline.com.
Andi Zainal Abidin, Seputar Peninjauan Kembali Perkara Pidana (artikel online), http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/01/18/0119.
http://www.leip.or.id/artikel/84-dilema-peninjauan-kembali-oleh-jaksa.
Lacia Marzuki: MA Harus Cabut SEMA Larangan PK atas PK, http://www.pelita.or.id/baca.php?id=74302