Rabu, 23 Maret 2011

TANGGAPAN PROF. DR. MULADI, SH

TANGGAPAN PROF. DR. MULADI, SH PADA ACARA PELUNCURAN BUKU “LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI (PK) PERKARA PIDANA” DI HOTEL NIKKO JAKARTA - 10 MARET 2010



PROF. DR. MULADI, S.H.

Buku Sdr. H. Adami Chazawi di atas pada dasarnya memuat dua hal penting, yang oleh penulis dikategorikan sebagai tragedi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Dua hal tersebut adalah sebagai berikut.

a. Adanya peradilan sesat (miscarriage of justice) yang menyangkut pemidanaan orang yang tidak bersalah;

b. PK oleh Jaksa yang sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legislated envionment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana.

Saya sangat setuju substansi buku ini ditulis dan disebarluaskan, karena menurut Penulis merupakan kritik terhadap dilanggarnya prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intelectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran (truth) dan bukan melakukan pembenaran (justification).

Secara jujur sebenarnya harus diakui bahwa sekalipun KUHAP diundangkan pada tahun 1981 (UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 – 76) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis (Orde Baru), namun banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang menggambarkan “due processs of law” dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya yang didasarkan atas atmosfir colonial seperti HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement (S.1941-44). Sistem Inkuisitur yang sangat tidak adil banyak dipengaruhi dengan hal-hal yang positif, sehingga sistem KUHAP banyak yang menyebutnya “gematige inquisitoir”, yang mulai memperbaiki hak-hak tersangka, seperti pengaturan tentang pra peradilan, kewajiban pendampingan oleh penasehat hukum dan sebagainya. Namun disana sini masih terjadi praktik-praktik pelanggaran hak-hak tersangka karena ada peluang untuk menafsirkan lain.

Di era demokratisasi yang dicanangkan sejak tahun 1998 melalui gerakan reformasi, nantinya tidak boleh lagi ada peluang untuk terjadinya “miscarriage of justice”, “malpractice of law” dalam bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum acara pidana, karena apa yang dinamakan “supremasi hukum”, keberadaan hukum yang aspiratif dan kekuasaan kehakiman yang merdeka serta jaminan terhadap promosi dan perlindungan hak-hak azasi manusia (HAM) merupakan empat dari sekian banyak nilai-nilai dasar (core values) demokrasi.

Di dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum (law enforcement) terdapat apa yang dinamakan “area of no enforcement”, dimana kekuasaan Negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Dalam penegakan hukum pidana harus selalu dijaga kesetaraan antara hak-hak Negara untuk memberantas kejahatan (crime control) yang harus efisien dan efektif, dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, hak-hak dasar warganegara yang harus dilindungi (due process of law). Di dalam “area of no enforcement” itulah hukum acara pidana harus ditegakkan secara pasti agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) aparat penegak hukum.

Prinsip demokrasi, supremasi hukum dan promosi serta perlindungan HAM merupakan prasyarat untuk bebas hidup bermartabat (freedom to live in dignity), disamping bebas dari kemiskinan (freedom from want) dan bebas dari rasa takut (fredom from fear). Kehidupan hukum baik dalam ranah pembuatan hukum (law making proces), penegakan hukum (law enforcement) dan pembangunan kesadaran hukum (law awareness) tidak boleh merefleksikan hukum sebagai perintah penguasa (the command of the sovereign), tetapi harus peka terhadap masalah-masalah keadilan dan keadilan sendiri mengandung makna berupa sikap tidak memihak (impartiality) kepada siapa saja termasuk kepada penguasa yang memperoleh kekuasaannya dari rakyat. Pernyataan bahwa “law is simply politics” tidak dapat disangkal, tetapi politik dalam arti demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat.

Dalam sistem peradilan pidana terdapat dua nilai yang harus ditegakkan secara simultan yaitu pertama, “professed values” yang diproklamasikan dengan jelas dalam perundng-undangan, dan kedua, “underlying values” yang sekalipun tidak diproklamasikan tetapi turut mengendalikan system peradilan pidana yakni nilai-nilai “good governance” seperti supremasi hukum, effisiensi, transparansi, effektivitas, poprorsionalitas, “fair play” dan sebagainya.

Dalam rangka kerangka teoritik dan konseptual di atas buku Sdr. Drs. H. Adami Chazawi, S.H dengan judul “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana” menjadi relevan dan penting untuk dibaca dan saya yakin buku ini akan memiliki signifikansi baik teoritis maupun praktis bagi yang berkepentingan.

Jakarta, 8 Maret 2010.

ttd

PROF. DR. MULADI, S.H.