Rabu, 27 Januari 2010

MUNGKINKAH KORUPSI DALAM KEBIJAKAN PUBLIK ??

MUNGKINKAH TERJADI KORUPSI DALAM KEBIJAKAN PUBLIK ??

Artikel Online
H. Adami Chazawi (Dosen FH UB)

Saya membaca di situs internet dan berita berjalan (running text) di TVOne yang memberitakan bahwa Presiden SBY mengatakan bahwa “kebijakan tidak bisa dikriminalkan”. Saya terkejut dan heran, karena: 1. Itu ucapan seorang Presiden, tidak main-main. 2. Saya meyakini ucapan itu tidak seluruhnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 3. Karena itu saya yakin dapat menimbulkan polemik di masyarakat. Sepatutnya seorang Presiden tidak menciptakan suatu pelemik di masyarakat.
Untuk yang terakhir, ternyata benar. Dianggap ucapan SBY tersebut dirasa sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini beliau degungkan. Gayus Lumbuun, wakil ketua Pansus Hak Angket kasus Bank Century DPR RI, mempertanyakan maksud dari pernyataan Presiden tersebut. Beliau menegaskan bahwa kebijakan bisa diproses secara hukum dan dikriminalkan. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. ……. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sudah siap untuk untuk memproses apabila kebijakan bailout Bank Century mengarah kepada impeachment. Ia menyatakan bahwa kebijakan pemerintah berupa pengeluaran dana bailout Bank Century bisa berujung impheacment apabila kebijakan tersebut mengandung unsur kriminal seperti korupsi.... (http://kabarnet.wordpress.com/2010/01/26/sby-kebijakan-tak-bisa-dipidanakan/).
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam acara lounching buku yang berjudul “Korupsi Mengorupsi Indonesia” (kumpulan dari bebagai tulisan dari tokoh dan penggiat anti korupsi mengenai korupsi dan cara pemberatasannya) di Universitas Paramadina tanggal 12 Januari 2010 yl., sangat prihatin dengan korupsi di tingkat kebijakan tersebut. Beliau selanjutnya mengatakan bahwa tindakan korupsi pada tahap kebijakan pemerintah lebih berbahaya dibanding korupsi pada tahap pelaksanaan di lapangan. Bahkan, menurutnya, korupsi yang mengatasnamakan kebijakan itu luar biasa berbahaya karena akibatnya merusak satu generasi. (http://portalwongsukses.wordpress.com/2010/01/13/diskusi-dan-launching-buku-korupsi-mengorupsi-indonesia/).
Apa yang disampaikan SBY, kiranya sekedar pendapat pribadinya sendiri. Kiranya ditujukan untuk memengaruhi pendapat umum yang tidak berpihak kepada pembenaran pada kebijakan Menteri Keuangan dan Gubernur BI (ketika itu). Dapat diduga, bahwa satu-satunya tujuan akhirnya adalah ingin menolong kedua pembantunya tersebut.
Pernyataan SBY tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. Kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan dengan itikad baik, pastilah tidak dapat dikriminalisasikan. Sebaliknya kebijakan yang dibuat dan dijalankan dengan itikad buruk (melawan hukum) yang disadarinya membawa dampak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sesungguhnya itulah korupsi. Bahkan korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, tidak ada ada tandingannya. Karena apa? Sebabnya dari luar tidak nampak korupsi, karena dibalut oleh kebijakan, yang acapkali berbentuk peraturan, keputusan dan lain-lain. Namun sesunggunya akibatnya sangat luas, merugikan perekonomian di berbagai sektor dan merugikan keuangan negara kita. Kita bertanya, apakah kebijakan Bank Century yang demikian itu menguntungkan rakyat, menguntungkan perekonomian nasional, menguntungkan keuangan negara, menguntungkan kepentingan umum? Ayaoa jawaben dewe???
Apa artinya itikad buruk? Etikad buruk dalam pengertian ini mengandung setidaknya 7 (tujuah) syarat/unsur, yaitu:
1. Sejak semula si pejabat (tentunya orang-orang lainnya sekitarnya juga yang ikut terlibat, bawahannya: penyertaan) pembuat kebijakan telah berkehendak atau setidak-tidaknya sadar bahwa kebijakan yang akan diambilnya merupakan kebijakan yang tidak tepat.
2. Kebijakan tersebut disadari dapat membawa dampak kerugian keuangan/perekonomian negara.
3. adanya kesadaran bahwa ada alternatif kebijakan yang sesungguhnya lebih baik, lebih tepat yang disadari tidak akan berdampak merugikan negara,
4. dan secara ilmiah memang dibuktikan alternatif kebijakan tersebut memang lebih baik dan lebih tepat (melalui kajian-kajian ilmiah dari keterangan para ahli).
5. ada tujuan/ kehendak bahwa dari kebijakan yang akan diambil ditujukan utk menguntungkan/memperkaya sektor tertentu/pihak tertentu (misalnya partai politik, pribadi tertentu dsb), dengan mengabaikan kepentingan umum yg dapat dirugikan dari kebijakan tersebut.
6. dan ternyata- terbukti benar kebijakan yang diambil ada pihak-pihak yang diuntungkan, dan sebaliknya kepentingan umum/negara dirugikan.
7. ketika kebijakan dijalankan ternyata benar-benar berdampak merugikan keuangan/perekonomian negara/kepentingan umum.
Sebagai catatan, dilihat dari sudut Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001), dimana korupsi sesungguhnya sudah bisa terjadi meskipun syarat yang ke-enam belum timbul. Disebabkan, tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan 3 sudah terjadi secara sempurna (voltooid) apabila perbuatan tertentu (korupsi), misalnya kebijakan publik tersebut dapat (potensial) jika dijalankan merugikan keuangan negara. Berdasarkan ketentuan kedua pasal ini, tindak pidana korupsi melalui kebijakan publik tersebut, sudah terjadi sempurna ketika kebijakan itu sudah diambil secara sah, misalnya SK sudah ditandatangani oleh si pejabat. Meskipun belum dijalankan dan belum membawa dampak kerugian keuangan negara secara rieel. Kedua pasal tersebut, merumuskan tindak pidana formil bukan materiil, meskipun dalam praktik jaksa selalu ingin menjadikannya sebagai delik materiil. Karena di dalam praktik JPU selalu membuktikan adanya kerugian negara secara riel. Tentu saja sikap dan perilaku JPU yang seperti ini salah, dan sikap dan perilaku semcam ini dapat berdampak buruk pada pemberantasan korupsi. Terutama pengungkapan kasus korupsi melalui kebijakan publik.
Tujuh unsur itulah yang harus dibuktikan jika suatu kebijakan akan diproses ke ranah hukum pidana khususnya korupsi. Korupsi kebijakan terdapat dalam proses pembuatannya dan dapat juga dalam proses menjalankannya. Korupsi melalui kebijakan publik sangat berbahaya, dapat membangkrutkan negara dalam satu generasi. Karena kebijakan itu berlangsung lama. Selama tidak dicabut/ditarik atau ditiadakan maka selama itu pula kebijakan itu dapat digunakan untuk melakukan korupsi. Jadi korupsi berjangka panjang lha gitu.

Pembuatan dan pelaksanaannya - kebijakan Bank Century masuk dalam itikad baik atau itikad buruk (melawan hukum secara subjektif atau objektif) tidak mungkin dapat ditemukan, jika penegak hukum hanya berdiam diri, menunggu hasil kerja Pansus Bank Century. Hasil kerja kegiatan politik (Pansus) bisa saja tidak sejalan dengan hasil penyelidikan atau penyidikan aparat penegak hukum.

Jadi kasus Bank Century, dapat diangkat ke dalam ranah hukum pidana (korupsi). Utk diangkat ke dalam kasus korupsi, saya menyarankan:
1. Harus diusut oleh KPK, bukan oleh Kejaksaan Agung atau POLRI. Kedua instansi tersebut pasti dapat diintervensi Presiden/Pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung, secara terang maupun diam-diam.
2. Apa yang dicari KPK ialah indikator-2 yang saya sebutkan diatas tadi.
Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, saya yakin indikator-indikator itu bisa ditemukan, dengan syarat KPK kuat komitmennya utk membongkar kasus tsb, tanpa ambil peduli tekanan-tekanan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak lain, yang pasti ada. Saya yakin rakyat akan lebih banyak yang mendukung KPK dari pada yang tidak. Meskipun di DPR lebih banyak yang tidak, akibat dari politik pembunuhan/peniadaan penyeimbang di DPR yang dijalankan sekarang.
Kiranya demikian pendapat (sementara) saya.
Kampus UB, 26-1-2010