Jumat, 28 Januari 2011

MENEMBUS KEBUNTUAN

MENEMBUS KEBUNTUAN
DALAM UPAYA MENCARI KEADILAN
DALAM KASUS OKNUM APARAT
TABRAK MATI RIFKY ANDHIKA
(Dalam Seminar 17 Tahun Memburu Keadilan)
(H. Adami Chazawi)

I. PENDAHULUAN

Nasib Bapak Indra Azwan yang tinggal di Genukwatu Barat G II No. 95 Blimbing Malang, sangat memilukan. Anak kandungnya Rifky Andika (12) tanggal 18 Pebruari 1993 (17 tahun lalu), ketika pulang dari belajar kelompok, pada saat menyebrang di jalan S. Parman tertabrak sehingga tewas oleh sebuah mobil Nopol L 512 BN. Pengemudi tidak segera menghentikan mobilnya, melainkan tancap gas - melarikan diri. Ada seorang melihat kejadian tersebut dan langsung mengejar dengan kendaraannya. Ternyata mobil tersebut masuk ke Kantor POLWIL Malang di Jl. Jaksa Agung Soeprapto.. Dengan demikian mudah diketahui, bahwa pengemudinya adalah seorang oknum aparat.[1]
Bapak Indra Azwan sudah melakukan segala upaya, dengan harapan pelakunya dihukum. Namun upayanya tidak membuahkan hasil apa-apa, selain kekecewannya yang mendalam pada aparat penegak hukum. Terkesan para petinggi hukum melindungi pelaku. Penyelesaia kasus itu seperti digantung dan sangat lambat. Sampai akhirnya (15 tahun kemudian) tanggal 6 Pebruari 2008 disidangkan di DILMILTAMA III Surabaya, dan divonis “hak menuntut pidana atas terdakwa tidak dapat diterima, karena “perkara tersebut telah lewat waktu”.[2] Putusan itupun di kuatkan dalam tingkat banding oleh “DILMILTAMA Surabaya No. Put/08/PMU/BDG/Pol/VI/2009. Dari sudut hukum pidana, terhadap oknum pelaku selesailah perkara ini.
Putusan itu sangat mengecewakan, dan dengan caranya sendiri bapak Indra Azwan menolaknya, dan tetap berusaha untuk mendapat keadilan. Untuk menunjukkan kekecewaannya atas penanganan kasus tersebut, maka beliau melakukan tindakan yang tergolong nekad. Beliau dari Malang ke Jakarta dengan berjalan kaki. Dengan satu tekad ialah bertemu Presiden SBY untuk menyampaikan uneg-unegnya dan sekaligus minta agar keadilan ditegakkan dalam kasus kematian anaknya. Berangkat dari kediamannya tanggal 9 Juli 2010. Dua puluh dua hari sampailah beliau di istana presiden. Upaya yang terakhir ini rupanya mendapat perhatian luas dari segenap lapisan masyarakat. Bahkan Presiden pun bersedia menerima kehadiran beliau.
Seminar yang digagas oleh anak-anak Forum Mahasiswa Peduli Keadilan (FORMAH PK) FH Universitas Brawijaya ini, salah satu bentuk keprihatinan dan kepedulian terhadap tragedi penegakan hukum tersebut. Anak-anak muda - mahasiswa ini ingin menyumbangkan pikiran mencari jalan keluar dari kebuntuan dalam mencari keadilan dari kasus tersebut melalui seminar nasional ini. Insya Allah akan menemukannya.

II. PERMASALAHAN HUKUM
Kami hendak mencoba membicarakan masalah sebagai berikut:
1. Apakah kasus tersebut telah lampau waktu?
2. Apakah masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan?
III. PEMBAHASAN
A. PERMASALAHAN PERTAMA
Belum Tentu Sudah Liwat Waktu
Demi tegaknya keadilan, mestinya DILMILTI III Surabaya tidak perlu buru-buru memutus “penuntutan tidak dapat diterima karena telah daluwarsa”. Toh hakim dapat melakukan penafsiran terhadap Pasal 80 Ayat (1) KUHP secara luas. Dengan cara menafsirkan, keadilan dapat ditegakkan. Belum tentu saat pengadilan menjatuhkan vonis pada tanggal 6 Pebruari 2008, kasus oknum aparat tabrak lari tersebut sudah liwat waktu.
Pasal 80 KUHP merumuskan sbb:
(1) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan umum .
(2) Sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.
Dari ketentuan di atas, setidak-tidaknya dapat diketahui bahwa “berjalannya” daluwarsa dapat dihentikan . Pertanyaan hukumnya ialah.
1. Apa sesungguhnya arti penuntutan? dan
2. Apa arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa?
Mencari arti yang sesungguhnya dengan cara menggali maksud apa yang terkandung di dalam istilah “penuntutan” (Vervolging), dan arti “tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa”. Itulah yang seharusnya dilakukan hakim.
Memang kalau kita melihat arti penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Selesailah masalahnya, karena pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan. Penghitungan daluwarsa penuntutan pidana dihitung sejak terjadinya tindak pidana. Tentu saja kalau berdasarkan KUHAP, kasus ini tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Dalam UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer tidak ada ketentuan seperti Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Meskipun semula hakim berpendapat yang senada dengan Pasal 1 Angka 7 KUHAP[3], namun ternyata tidak konsisten, karena pada konklusi pertimbangan hukumnya tidak menggunakan ketentuan KUHAP tersebut. Terbukti dalam putusannya mempertimbangkan bahwa “tenggang waktu daluwarsa mulai berlaku tanggal 9 Pebruari sampai dibukanya sidang tanggal 4 Pebruari 2008”, . . . Pada 4 Perbuari telah berlangsung 15 tahun. Menurut Pasal 76 KUHP Ayat (1) KUHP, perbuatan terdakwa telah melampaui waktu 12 tahun. [4]
Dipersidangan ini surat dakwaan dibacakan, dan pada saat ini terdakwa mengetahui jika Ia dituntut pidana. Meskipun tidak terbaca dalam pertimbangan hukum putusan, namun kiranya demikian logika hakim. Suatu pengertian vervolging yang sangat sempit. Lebih sempit dari Pasal 1 Angka 7 KUHAP.
Jika pikiran itu yang digunakan, patut disayangkan. Pengadilan tidak berusaha menafsirkan norma Pasal 80 Ayat (1) KUHP berdasarkan maksud dibuatnya ketentuan tersebut, atau filosofi / latar belakang ketentuan daluwarsa, dengan kata lain menafsirkan secara luas. Tentu saja logika tidak boleh ditinggalkan dalam setiap melakukan penafsiran.
Untuk memahami istilah dalam KUHP, haruslah berdasarkan KUHP itu sendiri. Jangan berdasarkan aturan lain, seperti KUHAP. Kecuali apabila secara tegas ditentukan dalam aturan lain seperti UU No. 31 Tahun 1997, yang ternyata tidak ditemukan. Kalau ini yang menjadi titik pangkal berpikir, maka pengertian istilah penuntutan (vervolging) bisa lain, tidak sebagaimana yang dipahami oleh Pengadilan Militer Tinggi III tersebut.
Menurut hemat kami, masih terbuka jalan untuk menggali maksud pembentuk UU yang sebenarnya, khususnya mencantumkan kalimat “asalkan tindakan (penuntutan) itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau diberitahukan kepadanya…” dalam Pasal 80 Ayat (1) KUHP. Tentulah ada maksud pembentuk UU merumuskan kalimat itu. Rumusan Pasal 80 KUHP memang sangat terbuka untuk ditafsirkan. Salah satu tujuan yang sangat penting dari suatu penafsiran adalah pencapaian keadilan.

Cara Menafsirkan Pertama.
Dari kalimat itu dapatlah disimpulkan. Bahwa ada penuntutan yang tidak diketahui oleh orang yang dituntut. Karena itu wajiblah diberitahukan padanya, sebagai syarat terhentinya daluwarsa penuntutan. Disamping itu tentulah ada penuntutan yang dengan secara otomatis (serta merta) tanpa diberitahukan, Ia mengetahuinya.
Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya KUHP memberi arti istilah penuntutan bukan sebagai jaksa menyerahkan berkas ke pengadilan dan meminta untuk memeriksa dan memutusnya. Sebab kalau pembentuk KUHP semula memberi arti penuntutan sama dengan KUHAP (menyerahkan perkara ke pengadilan), maka kalimat “asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut” tidak perlu dicantumkan dalam Pasal 80 Ayat (1) KUHP. Karena tidak mungkin tersangka tidak mengetahui kalau ia dituntut. Penafsiran arti kata/unsur penuntutan menurut Pasal 80 Ayat (1) jo Pasal 78 KUHP tidak tepat jika berdasarkan Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Apalagi pengertian menurut DILMILTI III Surabaya, yang lebih ke belakang (sempit) dalam proses acara pidana dari pada bunyi Pasal 1 Angka 7 KUHAP.
Kalau begitu apa artinya penuntutan dalam Pasal 80 KUHP?. Bahwa penututan itu sudah terjadi pada saat sebelum jaksa menyerahkan perkara ke pengadilan. Pada saat penyidikan dilakukan sudah merupakan tindakan penuntutan, sebab pada fase tersebutlah negara sudah melakukan tindakan pembatasan hak-hak seseorang secara paksa. Pada saat itu pelaku mengetahui kalau ia dituntut. Itulah pendapat luas tentang arti penuntutan dalam Pasal 80 Ayat (1) jo 78 KUHP.
Pendapat luas ini bisa diketahui dari beberapa referensi. Misalnya Jonkers[5] dan R. Tresna[6], Itulah yang dimaksud dengan pengertian luas, yang sesuai dengan pengertian menurut KUHP. Bukan arti sempit menurut KUHAP. Meskipun beberapa pakar mengatakan pengertian luas sudah ditinggalkan. Namun tidak berarti pengertian luas tidak bisa diterapkan. Untuk pencapaian dan menegakan keadilan, tidak ada salahnya bahkan seharusnya hakim menggunakan/menerapkan pengertian penuntutan dalam Pasal 80 Ayat (1) jo 78 KUHP secara luas.
Ada pendapat yang lebih luas dari Pasal 1 angka 7 KUHAP, namun lebih sempit dari Pasal 81 Ayat (1) KUHP. Dalam bukunya Marjoto (ahli hukum pidana militer) menulis bahwa “yang diartikan dengan penunutan ialah hak untuk membawa atau mengajukan tersangka ke muka pengadilan; jadi semua tindakan yang dilakukan oleh kejaksaan pada umumnya adalah penunutan, ....”[7] Karena itu wajar kalau Oditur Tinggi berpedapat bahwa pada saat dibukanya sidang (4 Pebruari 2008) kasus itu belum daluwarsa.[8] Karena menurut Oditur tindakan penunutan dalam kasus ini adalah pada tindakan prapenunutan[9] (1 Nopember 2004). Saat ini belum berlangsung 12 tahun sejak kejadian.
Apabila pengadilan menggunakan pengertian luas tentang pengertian penuntutan, maka bisa jadi saat ini kasus itu belum daluwarsa.
Namun begitu - dalam kasus ini, oleh sebab penanganannya sudah sangat berlaurt-larut. Toh jika penafsiran secara luas digunakan, masih juga terbentur pada ketentuan Pasal 80 Ayat (2) KUHP, yang menyatakan “sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru”.
Dalam hubungannya dengan penanganan kasus ini, suka atau tidak suka, kami berpendapat, bahwa ketentuan ayat (2) ini mengandung persoalan. Kalau tenggang daluwarsa penuntutan dihentikan karena adanya tindakan penunutan. Kemudian dimulai tenggang daluwarsa yang baru, pertanyaannya:
Apakah tenggang daluwarsa yang baru ini dapat dihentikan lagi dengan adanya penuntutan?.
Kalau pengertian tindakan penuntutan adalah sebagai menyerahkan perkara ke pengadilan, maka jawabannya adalah tidak mungkin dihentikan, karena tindakan menyerahkan perkara ke pengadilan sudah liwat dan tidak mungkin diulangi kembali. Kalau demikian, lalu untuk apa dirumuskan ketentuan Pasal 80 Ayat (2) yang berbunyi demikian? Dan ini bertentangan dengan maksud dari lembaga daluwarsa.
Sebaliknya jika jawabannya dapat dihentikan, Dengan demikian, tenggang daluwarsa yang baru ini juga bisa liwat lagi setelah 12 tahun sejak dihentikan karena dilakukan penyidikan. Contohnya dalam kasus ini. Jika tindakan penyidikan (9 Pebruari 1993) menghentikan daluwarsa (pengertian luas), maka tanggal 10 Pebruari 1993 tenggang daluwarsa dihitung lagi. Maka pada tanggal 10 Pebruari 2005 jatuh tempo 12 tahun. Maka sejak tanggal 11 Pebruari 2005, hak negara menunut pidana menjadi hapus.
Jawaban iya atau tidak di atas perlu diuji dengan menggunakan logika yang didasarkan pada maksud sebenarnya dari ketentuan ayat (2) tersebut. Maksudnya adalah untuk mengantisipasi apabila terdakwa yang sedang diadili melarikan diri atau ingkar tidak mau hadir di dalam persidangan, sementara negara tidak melakukan upaya paksa untuk menghadirkannya. Logika seperti ini benar, dalam kerangka pengertian penuntutan adalah suatu proses peradilan pidana yang dimulai saat penyidikan sampai putusan akhir, dan bahkan sampai selesainya menjalankan pidana oleh negara. Inilah jawaban yang paling masuk akal.
Dari apa yang diterangkan di atas, melalui penafsiran sistematis dapat disimpulkan bahwa pengertian penuntutan dalam Pasal 80 Ayat (1) KUHP bukan sekedar jaksa menyerahkan perkara ke pengadilan saja, melainkan suatu proses peradilan pidana. Proses peradilan pidana adalah dimulai sejak penyidikan sampai di putusnya oleh pengadilan. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas sampai terpidana selesai menjalani pidana – pun juga masih termasuk proses peradilan pidana.

Cara Menafsirkan Kedua
Pasal 80 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “tindakan penunutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut”. Jelas bahwa “pengetahuan orang yang dituntut itu adalah merupakan syarat menentukan untuk terhentinya daluwarsa penuntutan.
Jika syarat ini dipergunakan, maka sesungguhnya terhentinya daluwarsa penunutan “pasti” bukan pada saat sidang dengan hadirnya terdakwa, seperti pada pendapat DILMILTI III. Namun sudah diketahui terdakwa bahwa Ia dituntut pada saat dilakukan penyidikan (11-2-1993), dan yang pasti pada saat terdakwa dipanggil kembali oleh DENPOM V/3 untuk melakukan pemeriksaan ulang (2004) selanjutnya tanggal 1 Nopember 2004 berkas dilimpahkan ke Koatmil III-12 Surabaya. Inilah alasan oditur Militer Tinggi bahwa pada saat itu (pra penunutan) berjalannya daluwarsa terhenti. Sampai pada saat ini kejadian tersebut belum berlangsung 12 tahun.

Cara menafsirkan Ketiga
Dalam rangka untuk mencapai kedilan dalam kasus ini, kiranya masih lebih bijak menafsirkan frasa “tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa”, dalam Pasal 80 Ayat (1) jo 78 KUHP, berdasarkan latar belakang dan filosofi lembaga penghentian penuntutan pidana dengan alasan kadaluwarsa. Ini cara penafsiran yang lebih logis, dari pada menafsirkan yang dilakukan DILMILTI III Surabaya tersebut.
Lembaga penghentian penuntutan bertujuan “kepastian hukum”. Dalam konteks ini, kepastian hukum mengandung makna bahwa karena berjalanya waktu yang sekian lama, masyarakat dan terutama korban dan atau keluarganya, telah merlupakan penderitaan yang dirasakan yang diakibatkan oleh kejahatan yang dilakukan pembuat. Rasa penderitaan akibat suatu kejahatan telah tiada lagi dan bahkan sudah dilupakan orang.
Dalam keadaan yang demikian, penjatuhan pidana sebagai upaya pemulihan keadilan yang telah dirampas si penjahat – sudah tidak efektif lagi. Pidana yang dijatuhkan hakim terkandung rasa kepuasan masyarakat. Rasa kepuasan itu adalah merupakan aspek yang sangat penting dari pencapaian keadilan melalui vonis hakim yang menghukum terdakwa yang terbukti bersalah. Itulah sesungguhnya filosofi lembaga penghentian penuntutan pidana oleh sebab kadaluwarsa tersebut.
Namun dalam kasus ini liwat waktu yang bahkan kini sudah 17 tahun pun masyarakat terutama bagi keluarga korban - tidak bisa menerima dan melupakan penderitaan berupa rasa keadilan yang sudah terampas oleh perbuatan seorang oknum. Kepedihan dan penderitaan batin akibat dari kejadian karena kelalain oknum, yang mengakibatkan matinya Rifky Andika tersebut, tidak juga lenyap dan berkurang. Terbukti orang tua korban telah melakukan upaya apapun juga untuk mencari keadilan bagi kematian anaknya tersebut. Seminar nasional yang membicarakan kasus ini sekarang adalah suatu bukti pula bahwa masyarakat tidak bisa melupakan kejadian tragis yang merenggut nyawa seorang anak manusia tersebut. Dalam keadaan demikian, maka azas tenggang waktu tertentu yang berjalan sekian lama tidak tepat digunakan sebagai alasan menghentikan penuntutan pidana.
Artinya, jika berdasarkan latar belakang dan filosofi lembaga penghentian penuntutan pidana atas lamanya waktu, yang bertumpu pada rasa keadilan yang terampas yang diingat dan tidak dilupakan orang/masyarakat, maka dalam kurun waktu 17 tahun memburu keadilan yang sedang kita bicarakan sekarang ini, tidak tepat untuk menghentikan penuntutan terhadap si pembuatnya.

Sebagai catatan.
Catatan Pertama.
Selain pengertian penuntutan sebagaimana dimaksudkan Pasal 80 Ayat (1) KUHP. KUHP juga memberi arti lain seperti Pasal 81 KUHP. Arti penuntutan menurut Pasal 81 KUHP lebih luas lagi, karena termasuk juga selama persidangan sampai diputus. Nah selama persidangan itu, penuntutan dapat dihentikan oleh hakim apabila terbukti ada perselisihan pra yudicial. Artinya selama persidangan berlangsung itu juga masuk pengertian penuntutan.
Terbuktilah bahwa ketentuan Pasal 1 Angka 7 KUHAP tidak sejalan dengan Pasal 81 maupun Pasal 80 KUHP. Demikian juga jika dikaji secara dalam perihal kata penuntutan dalam pasal-pasal KUHP yang lain, seperti pasal 72 maupun 76 KUHP.
Maka dapat disimpulkan bahwa, penunutan berdasarkan KUHP sudah terjadi pada saat penyidikan sampai di putusnya perkara tersebut oleh hakim. Kalau tidak diberi arti yang demikian, maka tidak mungkin pembentuk UU merumuskan Pasal 81 KUHP dengan bunyi yang demikian. Dengan pengertian yang demikian, maka kita dapat memahami bunyi rumusan Pasal 80 Ayat (2) KUHP, yang berbunyi “sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa yang baru. Dengan logika, bahwa tenggang daluwarsa yang kedua ini juga dapat dihentikan lagi dengan ada penuntutan. Karena penunutan itu adalah suatu proses mengadili sampai adanya putusan akhir. Cara penafsiran sistematis (systematische interpretatie) inilah yang lebih logis.
Pengertian penuntutan seperti ini sesuai dengan SEMA No. 4 Tahun 1980 tentang perselisihan pra yudicial yang dapat menghentikan sementara penuntutan. Bahwa perselishan pra yudicial ada dua macam, yaitu: “quistion prejudicielle au jugemet” dan “quistion prejudicialle a laction”. Untuk yang pertama dicontohkan Pasal 81 KUHP, suatu tindakan menghentikan sementara (skorsing) penuntutan pidana yang merupakan kewenangan hakim, bukan kewajiban hakim. Sementara yang kedua merupakan kewajiban hakim. Misalnya Pasal 284 Ayat (5) KUHP. Apabila hakim mengadili perzinaan sementara perkawinan belum putus karena perceraian, maka hakim harus menghentikan sementara penuntutan perkara zina tersebut, sampai adanya putusan perceraian.
Maka jelaslah, bahwa pengertian penuntutan di dalam KUHP tidak sama artinya dengan arti penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP.
Catatan Kedua.
Amar “hak menuntut pidana atas terdakwa tidak dapat diterima” karena daluwarsa”
Mestinya yang tidak dapat diterima adalah “tindakan penuntutan” oleh negara (diwakili oditur militer) bukan “hak menuntut pidana”. Untuk melaksanakan hak menuntut pidana, oditur melakukan tindakan penuntutan. Maka tindakan penuntutan itulah yang dapat dinyatakan tidak dapat diterima.[10]
Amar putusan seperti itu baru bisa diberikan oleh hakim, bila perkara pokoknya tidak diperiksa dan tidak dipertimbangkan. Artinya amar demikian hanya mungkin diberikan dalam putusan sela yang mengabulkan eksepsi. Bila eksepsi diajukan, maka ekespsi harus diperiksa dan diputus terlebih dulu. Dalam memeriksa dan mempertimbangkan keberatan dalam eksepsi, tidak perlu memeriksa dan mempertimbangkan pokok perkaranya. Hanya bila putusan sela menolak keberatan dari terdakwa/penasehat hukum saja, baru hakim perlu memeriksa, mempertimbangkan dan memutus pokok perkaranya.
Putusan hakim DILMILTI III Surabaya tersebut telah memeriksa pokok perkaranya, bahwa telah memberi pertimbangan dan konklusi hukum yang sangat jelas yang bunyinya ialah “Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, merupakan fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan, Majelis Hakim berpendapat cukup bukti yang sah dan meyakinkan bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana . . . .”[11] Pertimbangan hukum seperti ini mestinya diikuti oleh amar pemidanaan. Ternyata amar yang demikian tidak ditarik hakim, tetapi justru menarik amar “penuntutan tidak dapat diterima karena daluwarsa”.
Oleh adanya putusan yang demikian, maka dari sudut hukum pidana berakhirlah perkara ini. Tidak ada lagi upaya hukum apapun yang dapat dilakukan. Masyarakat termasuk keluarga korban in casu bapak Indra Azwan, dipaksa untuk untuk menerimanya. Apa boleh buat. Biarlah hukum Allah yang berlaku. Mengapa demikian?
- Pertama, yang pasti dengan upaya hukum apapun yang dikenal dalam hukum pidana terhadap putusan akhir - sudah liwat waktu, kecuali PK. Namun PK tidak mungkin.
- Kedua, amar putusan yang berbunyi “hak menuntut pidana tidak dapat diterima” adalah bukan amar dalam putusan akhir, namun amar putusan sela. Amar putusan sela hanya mungkin dilawan dengan upaya hukum perlawanan. Perlawanan tidak mungkin dilakukan, karena tidak ada putusan sela. Format putusan Pengadilan Milter Tinggi III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/ II/2008 adalah format putusan akhir dan bukan format putusan sela.
- Ketiga. Sementara kasasi tidak mungkin dilakukan terhadap putusan yang bunyi amarnya demikian. Kasasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan akhir yang mempidana saja.
- Keempat, upaya PK tidak bisa dilakukan. Sebab, disamping PK hanya dapat diajukan terhadap putusan akhir yang amarnya mempidana. Juga PK hanya bisa diajukan dan menjadi hak terpidana saja.

B. PERMASALAHAN KEDUA
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum - Sebuah Solusi
Dari sudut hukum pidana, kasus ini sudah tamat. Sudah tutup buku. Tinggal sejarah saja yang dapat diingat atau diketahui oleh anak cucu kita. Namun dari sudut hukum perdata masih terbuka luas.
Setiap tindak pidana pastilah di dalamnya mengandung sekali gus perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad, Pasal 1365 BW). Kecuali tindak pidana yang korbannya adalah si pembuat sendiri. Namun perbuatan melawan hukum belum tentu merupakan tindak pidana.
Oleh karena itu, meskipun Bapak Indra Azwan telah gagal dalam memperjuangkan hak-haknya dari sudut hukum pidana. Kasus ini masih dapat diselesaikan dengan mengajukan gugat perdata.
Dua gugatan perdata secara terpisah dengan dasar perbuatan melawan hukum. Pertama ditujukan pada oknum yang menyebabkan langsung kematian Rifky Andika. Kedua ditujukan pada oknum-oknum penegak hukum yang terlibat dalam menangani kasus kematian RIFKY ANDIKA tersebut.
Meskipun Bapak Indra Azwan tentu tidak mau nyawa anaknya ditukar atau disamakan dengan beberapa puluh juta rupiah atau ratusan juta rupiah, bahkan miliaran rupiah. Namun yang sangat berharga dari gugatan tersebut, adalah:
o Pertama, berguna sebagai pengetahuan dan pelajaran bagi setiap oknum penegak hukum dan siapa saja di negara hukum Indonesia ini. Bahwa di dalam kejahatan yang dilakukan, sekaligus di dalamnya ada perbuatan melawan hukum perdata, yang juga harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku dengan penggantian kerugian. Pertanggungjawaban perdata tersebut tidak akan menjadi selesai atau hapus, meskipun perkara pidana telah diselesaikan dengan menjatuhkan hukuman pada si pembuat. Setiap kejahatan, pelakunya dapat digugat secara perdata untuk menuntut penggantian kerugian.
o Kedua, dengan pengetahuan dan palajaran yang dapat dipetik dari gugatan perdata tersebut, diharapkan para petinggi hukum sadar akan akibat dari perbuatan yang sewenang-wenang dalam menegakkan aturan. Bahwa ke depan kesewenang-wenangan diharapkan berkurang - sampai tidak terjadi lagi. Amin Ya Robal Alamin.
o Ketiga, untuk mendapatkan kepastian hukum bahwa si penabrak benar-benar telah bersalah. Toh dasar pertimbangan amar putusan perdatanya nanti adalah kelakuan menabrak mati seorang RIFKY ANDIKA yang in casu berupa tindak pidana adalah suatu kesalahan yang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Pertimbangan hukum beserta konklusinya dari putusan DILMILTI III Surabaya telah menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Pasal 359 KUHP dapat digunakan dalam pembuktian. Putusan dengan pertimbangan hukum beserta konklusi putusan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti mutlak dan yang mengikat hakim. Insya Allah Tuhan menunjukkan kebenaran dan keadilan dalam perkara perdata ini.
Hambatan gugatan perdata ialah pada pembiayaan. Gugatan perdata memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mungkin masyarakat dapat menggalang dana seperti “Coin Ibu Prita Mulyasari” yang lalu. Dengan niat melawan kebatilan dan dukungan dari Insan Pers, Insya Allah COIN RIFKY ANDIKA dapat diwujudkan.
Sanksi bagi Oknum yang Merekayasa
Dari sudut hukum pidana tidak ada lagi keadilan yang bisa didapat. Putusan hakim DILMILTI III jo DILMILTAMASurabaya ini sudah final. Hanya tinggal mencari siapa-siapa penegak hukum yang terlibat yang sengaja merekayasa kasus ini sehingga menghasilkan putusan tindakan penuntutan pidana tidak dapat diterima karena daluwarsa tersebut. Dialah yang harus diperiksa. Jika ada terindikasi tindak pidana, misalnya menerima suap atau memalsu surat dalam hal penanganannya, maka harus diusut. Jika terbukti harus dihukum.
Setidak-tidaknya sanksi jabatan boleh dijatuhkan. Namun jika sebagian petinggi hukum yang menangani kasus itu telah pensiun, kiranya mereka masih dapat di gugat perdata melalui perbuatan melawan hukum Pasal 1365 BW untuk penggantian kerugian atas perbuatannya yang memperlambat atau menterlantarkan penanganan perkara ini.
IV. KESIMPULAN
1. Pengertian penuntutan di dalam pasal-pasal KUHP tidak sama dengan pengertian penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP.
2. Dalam menerapkan ketentuan dalam pasal tertentu KUHP, harus dicari pengertian yang sesuai dengan maksud dari ketentua pasal tersebut.
3. Belum ada keseragaman pendapat, dan juga belum ada yurisprodensi tetap yang dapat dianut perihal pengertian penuntutan dalam Pasal 80 KUHP.
4. Dalam doktrin ada 2 pengertian penuntutan. Arti luas dan arti sempit. Kata/unsur “penuntutan” dalam pasal-pasal KUHP harus diberi arti secara luas. Pengertian secara luas ini lebih sesuai dengan pengertian penuntutan dalam Pasal 81 KUHP. Tidak ada salahnya jika mencari arti penuntutan dengan berdasarkan maksud dari penuntutan dalam Pasal 81 KUHP (penafsiran sistematis).
5. Untuk kepastian hukum di dalam praktik, maka dalam hukum acara pidana (KUHAP) dan KUHP yang akan datang hendaklah diberikan batasan yang tegas tentang arti penuntutan yang dapat menampung maksud dari rumusan dalam KUHP yang memuat frasa atau istilah penuntutan.
6. Format putusan DILMILTI III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008 adalah format putusan akhir, namun amarnya putusan sela.
7. Dengan adanya putusan DILMILTI III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008 jo putusan DILMILTAMANo. Put/08/PMU/BDG/Pol/VI/2009 dari sudut hukum pidana - perkara ini selesai.
8. Dari sudut hukum pidana, masih bisa dipersoalkan tentang mengapa, apa motivasinya dan untuk tujuan apa serta dengan cara bagaimana para oknum penegak hukum menangani perkara ini sehingga menghasilkan putusan DILMILTI III Surabaya yang dirasa menusuk rasa keadilan masyarakat? Untuk itu silakan semua pihak yang peduli terutama keluarga korban berjuang terus.
9. Dari sudut hukum perdata, masih terbuka upaya mengajukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW). Baik terhadap oknum pelaku, maupun terhadap oknum-oknum penegak hukum yang menyebabkan terlantar dan berlarut-lartunya penanganan perkara ini sehingga lahir putusan Pengadilan Militer Tingggi III No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008,jo DILMILTAMASurabaya No. Put/08/PMU/BDG/Pol/VI/2009.
10. Putusan DILMILTI III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/ II/2008 ,jo DILMILTAMASurabaya No. Put/08/PMU/BDG/Pol/VI /2009. merupakan alat bukti sempurna. Pertimbangan hukum dan konkulusi putusan tersebut merupakan bukti yang mengikat hakim.
Demikian buah pikiran yang dapat kami sampaikan pada seminar ini. Tidak ada gading yang tak retak. Atas kesalahan dan kekurangan yang ada, kami mohon maaf.
Terima kasih.
Malang, Kampus FH UB, 22 Januari 2011.











[1] Proposal Bedah Kasus 17 Tahun Memburu Keadilan, halaman 1.
[2] Putusan DILMILTI Surabaya No.: PUT/05-K/PMT.III?POLRI/II/2008 tanggal 6 Pebruari 2008.
[3] Lihat putusan No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008, halaman 22.
[4] Ibid, halaman 23.
[5] Prof. Mr. JE Jonkers, 1987. Handboek van het Nederlandsch – Indische Strafrecht, Terjemahan Tim Penerjemah Bina Aksara, Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, hal. 241.
[6] Mr. R. Tresna, 1959. Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit PT Tiara Ltd, Jakrta, hal. 176.
[7] Marjoto, 1958. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara, Penerbit POLITEIA, Bogor, hal. 34.
[8] Putusan No. PUT/05-K/PMT-III/POL/II/2008, hal. 23.
[9] Ibid, hal. 17.
[10] Lihat bunyi Pasal 80 Ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiap-tiap tindakan penuntutan….” .
[11]Lihat Putusan Pengadilann Militer Tinggi III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008, halaman 21.