Jumat, 26 April 2013

MUNGKINKAH PUTUSAN SUSNO DIEKSEKUSI?

(Semula artikel ini dimuat di Kompasiana. Namun kali ini oleh penulis disempurnakan, dengan maksud untuk memperkuat landasan argumentasi penulis. Kesimpulannya tetap sama). Saya tidak memiliki putusan MA kasus P. Susno. Apa yang saya ketahui didapat dari media cetak dan elektronik. Polemik mengenai eksekusi atas P. Susno ini muncul ke permukaan, disebabkan P. Susno membangkang untuk melaksanakan putusan MA terhadap dirinya, dan kelihatan secara terang benderang peristiwa gagalnya Kejaksaan Agung hari kemaren untuk mengeksekusi secara paksa. Secara amat singkat, hal dan keadaan putusan pengadilan itu sebagai berikut. • Putusan PN Jaksel bernomor 1260/pid.B/2010PN.Jkt.Sel pada 24 Maret 2011, amarnya menyatakan “Susno terbukti melakukan tindak pidana korupsi, dan oleh karena itu dijatuhkan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider kurungan penjara 6 bulan. • Susno pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. • Pengadilan Tinggi dalam amar putusannyatanggal 9 Nopember 2011 “menolak permohonan banding dan menguatkan putusan PN Jakarta Selatan. Artinya Susno tetap dijatuhi pidana penjara 3 tahun 6 bulan. • P. Susno kemudian mengajukan permintaan pemeriksaan di tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Jaksa juga tidak mau kalah, juga ikut-ikutan mengajukan permohonan kasasi. Pada putusan kasasi MA, pada pokoknya “Menolak Permohonan Kasasi”. Dengan ditolaknya permohonan kasasi, maka demi hukum putusan itu kembali pada putusan semula yang dilawan dengan kasasi yang in casu putusan Pengadilan Tinggi yang in casu putusan PN Jakarta Selatan, yang in casu amarnya menghukum P. Susno dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan. Persoalan, oleh karena pihak P Susno membangkang untuk dieksekusi, dengan alasan bahwa putusan P. Susno itu batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat formil dari suatu putusan pengadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k jo ayat (2) KUHAP. Pasal 197 ayat (1) huruf k bunyi lengkapnya adalah (Surat putusan pemidanaan memuat) “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Sementara ayat (2) menyatakan “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,h, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Oleh sebab amar putusan kasasi MA tadi tidak memuat perintah sebagaimana termuat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k perihal keharusan menybut/perintah apakah “tetap ditahan, atau perintah segera ditahan, atau dibebaskan”. Memang bunyi huruf k jo ayat (2) bisa menimbulkan multi tafsir, disebabkan tidak cukup ada keterangan lebih lanjut tentang setidaknya: “pada putusan yang bagaimana, dalam tingkat mana dan dengan syarat-syarat amar putusan yang bagaimana yang diharuskan menyebut/memerintahkan salah satu diantara tiga amar dalam Pasal 197 ayat 1 huruf k tersebut”. Oleh karena itu bisa dimaklumi, kalau P. Susno membangkang, dengan alasan dalam putusan kasasi amarnya hanya “menolak” permohonan banding, tanpa disertai amar yang isinya memuat perintah mengenai salah satu diantara tiga perintah tersebut. P Susno menafsirkan “perintah supaya terdakw ditahan” disamakan artinya dengan “perintah supaya terdakwa dieksekusi”. Karena tidak ada perintah eksekusi maka beliau menolak untuk dieksekusi. Menurut pihak P. Susno putusan MA tersebut batal demi hukum karena tidak memuat salah satu perintah dari ayat (1) huruf k tersebut. Karena batal demi hukum [begitu bunyi ayat (2)], maka putusan yang batal demi hukum tentu tidak bisa dieksekusi. Bertul, putusan yang batal demi hukum tidak bisa dieksuksi. Sebaliknya menurut Kejaksaan Agung, pada putusan kasasi MA yang menolak permintaan kasasi terhadap putusan semula yang menghukum, tidak perlu lagi menyebut salah satu perintah dari 3 perintah yang tertulis dalam pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut. Penulis belum mengetahui argumentasi/alasan Kejaksaan Agung menyimpulkan demikian. Pertanyaannya, tafsir mana yang lebih baik diantara P Susno dengan Kejaksaan Agung? Selain menafsir menurut cara P. Susno, atau menurut Kejaksaan Agung, apakah tidak ada tafsir dengan cara lain dengan dasar/alasan yang lain? Misalnya dengan menggunakan cara menafsir gramatikal (bahasa) atau logis (logika)? Menurut hemat penulis, jawabnya adalah tergantung dari dua penjelasan/analisis hukum dari dua pertanyaan: 1. Apakah pengertian sebenarnya (substantif) dari frasa: a. “perintah supaya terdakwa ditahan” (khususnya arti “ditahan”); b. “tetap dalam tahanan (khususnya arti “dalam tahan”); atau c. “dibebaskan” (khususnya arti kata “bebas”). 2. Apakah dalam putusan kasasi MA yang amarnya menolak permohonan kasasi atas putusan yang semula menghukum, masih diperlukan salah satu perintah seperti yang tertulis di Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut? 1. PENGERTTIAN TIGA FRASA a. Perintah supaya terdakwa ditahan. Menurut arti yang sebenarnya (yuridis dan gramatical) perkataan “ditahan” (jika menggunakan kata aktif “ditahan”), adalah pengekangan kebebasan terhadap tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang (KUHAP). Dari ketentuan KUHAP ini. Dapat disimpulkan, adalah: • Jelas amar ini tidak ada hubungannya dengan eksekusi, dan bukan amar yang memerintahkan eksekusi, melainkan sekedar amar perintah untuk ditahan pada saat putusan penghukuman dijatuhkan dimana ketika itu terdakwa tidak berada dalam tahanan. Jadi, merupakan amar dalam ruang lingklup masalah penahanan. • Amar perintah supaya terdakwa ditahan, adalah amar putusan yang pada saat tersangka dan/atau terdakwa selama dalam persidangan tidak berada dalam status ditahan. Amar ini hanya mungkin dijatuhkan hakim bersama dengan amar yang isinya menghukum terdakwa, dan tidak mungkin bersamaan dengan amar pembebasan (vrijspraak) atau pelepasan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Karena kedua amar terakhir ini justru menghalang-halangi untuk ditetapkannya amar perintah “supaya terdakwa ditahan”. b. Perintah Terdakwa Tetap Dalam Tahanan Amar perintah ini dijatuhkan: • Apabila pada saat vonis dijatuhkan terdakwa tidak sedang dalam status ditahan. Tidak ditahan, bisa karena sejak penyidikan dan penuntutan dan persidangan tidak ditahan, atau selama proses sidang ditangguhkan penahananya berdasarkan penetapan hakim, atau lepas demi hukum (bukan bebas demi hukum, karena pengertian bebas dapat mengacaukan arti yang sebenanrnya dari istilah “ vrijspraak”). • Amar perintah ini juga dijatuhkan harus dengan amar menghukum, dan tidak boleh dijatuhkan bersama amar pembebasan atau pelepasan dari tuntutan hukum; • Amar perintah ini juga tidak ada hubungannya dengan perintah eksekusi atas putusan itu. Jika ada amar perintah untuk eksekusi yang dijatuhkan hakim, maka putusan itu batal demi hukum. Karena pengertian “perintah supaya ditahan” atau tetap ditahan” memang bukan perintah eksekutorial. Tapi perintah dalam ruang lingkup penahanan. b. Perintah (Terdakwa) Dibebaskan Amar perintah (terdakwa) dibebaskan hanya dapat dilakukan oleh hakim, • Bila vonis akhir amarnya berisi pembebasan (vrijspraak) atau pelepasan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) dan pada saat vonis dibacakan/dijatuhkan terdakwa berada di dalam tahanan. • Pertintah dibebaskan ini tidak mungkin bisa dilakukan bersama-sama amar penghukuman (veroordeling). Karena kedua amar itu saling bertentangan, yang satu melepaskan dari tahanan (disalah tuliskan oleh KUHAP dengan dibebaskan, mestinya dilepaskan dari tahanan), sedangkan perintah dibebaskan adalah melepaskan terdakwa yang sedang ditahan pada saat putusan dijatuhkan. • Perintah “dibebaskan” tidak sama artinya dengan amar pembebasan (vrijspraak). KUHAP membuat istilah yang tidak tepat, yang istilah “dibebaskan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, bukan maksudnya amar pembebasan (“vrispraak”), atau bukan amar terhadap pokok perkara atau bukan amar terhadap / mengenai perbuatan yang didawkan atau bukan amar yang menyangkut vonis akhir, melainkan sekedar mengenai status penahanan terdakwa selama dalam proses persidangan. • Amar dibebaskan ini juga tidak ada hubungannya dengan eksekusi. Sebab eksekusi adalah menyangkut pelaksanaan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan hal itu tidak wajib disebutkan dalam amar putusan hakim pidana, meskipun putusan itu menghukum. Kesimpulan mengenai tiga amar perintah tadi adalah: • Amar tiga perintah dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut, bukan amar terhadap perbuatan terdakwa yang didakwkan, bukan amar putusan akhir. Sesuatu hal dan keadaan yang berbeda, berbeda lapangannya atau berbeda ruang lingkupnya. Tidak ada ada hubungannya dengan dapat ataukah tidak dapatnya putusan tersebut dieksekusi. Oleh karena itu tidak boleh dikacau dan dicampur adukkan dengan amar putusan menghukum (veroordeling) atau membebaskan (onsalag van alle rechtsvervolging). 2. AMAR PUTUSAN MENOLAK PERMINTAAN KASASI ATAS PUTUSAN YANG SEMULA MENGHUKUM Putusan kasasi MA atas P Susno adalah berisi “menolak” permohonan permohonan kasasi. Apakah artinya putusan semacam itu? Sebelumnya telah dikemukakan, bahwa amar putusan yang dimaksud Pasal 197 ayat (1) huruf k itu: • Karena keadaan dan sifatnya yang demikian itu, maka dipastikan amar-amar perintah terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan tersebut merupakan amar putusan pertama kali yang menghukum, dan amar tetap ditahan bisa pada putusan banding apabila sebelumnya sudah ditahan. Sebaliknya untuk amar membebaskan, pastilah pada saat putusan, terdakwa ditahan. Berarti kalau putusan tingkat pertama amar menghukum, maka dalam amar putusan wajib menentukan salah satu diantara 3 perintah Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut. Pada umumnya putusan yang memuat dua amar ini adalah pada putusan pengadilan tingkat pertama (PN) dan kadang-kadang pada tingkat kedua (PT). • Ketika diajukan permintaan banding (hanya terhadap putusan yang menghkum saja, karena putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum tidak dapat dibanding ), terjadi beberapa kemungkinan, ialah: a. Kemungkinan pertama, kalau ditingkat banding tidak ada amar “ “memeriksa kembali”, maka amar berikutnya hanya tinggal menguatkan (kalau semula sudah menghukum), atau membatalkan, dengan memeriksa dan memutus sendiri. Ketika amar putusan banding itu (tidak membatalkan) melainkan menolak banding dan menguatkan putusan semula, maka demi hukum putusan yang berlaku dan bisa dieksekusi adalah putusan yang menghukum pertama yang dilawan banding tadi. Sama seperti putusan P Susno. Kalau putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka bisa dieksuksi, meskipun putusan yang menolak permohonan banding tadi tidak disertai perintah supaya terdakwa ditahan. Logikanya adalah: • Pertama, putusan yang menolak banding, demi hukum putusan yang berlaku adalah putusan tingkat pertama yang dibanding. • Kedua, apabila putusan banding itu mempunyai kekuatan hukum tetap, maka putusan tingkat pertama yang dieksekusi. • Ketiga, putusan PN (tingkat pertama) pastilah sudah menentukan salah satu diantara 3 amar itu (khususnya amar pertama dan kedua). Tidak mungkin putusan tingkat pertama yang menghukum tanpa disertai amar “perintah terdakwa ditahan” atau amar tetap dalam tahanan. Contoh hipotetis berikut ini. Terdakwa A ditingkat pertama dipidana, karena masa penahanan habis ketika proses persidangan berjalan, - terdakwa dilepaskan dari tahanan, dalam keadaan yang demikian maka tidak mungkin dalam putusan, amarnya menyatakan salah satu diantara 3 tadi. Artinya putusan itu tidak akan mencantumkan salah satu diantara amar itu. Kalau putusan ditingkat banding tidak mencantumkan salah satu dari perintah tersebut, kemudian Terdakwa dan Jaksa tidak menentukan sikap terhadap putusan itu dalam waktu 7 hari setelah menerima salinan extract vonis putusan, putusan itu menjadi berkekeuatan hukum tetap. Pertanyaannya: apakah terhadap putusan banding yang amarnya menolak banding (tanpa menyebutkan terdakwa ditahan atau tetap ditahan) tadi tidak bisa dieksekusi? Jawabannya tentu bisa dieksekusi sesuai dengan bunyi amar putusan yang menghukum tingkat pertama tadi. Bukankah contoh kasus hipotetis itu sama dengan putusan kasasi kasus P Suno? Putusan MA menolak permohonan kasasi, tanpa disertai dengan salah satu diantara (terutama amar memerintahkan supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan seperti yng disebut dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k. Putusan MA perkara P. Susno yang menolak kasasi, memang tidak memungkinkan untuk menyebut amar perintah supaya ditahan. Mengapa? Jawabnya adalah: • Pertama, karena putusan yang menolak permohanan kasasi itu, sebelum putusan dijatuhkan MA, P Susno sudah berada di luar tahanan karena dilepaskan tahananya demi hukum – hak Negara untuk menahan telah habis waktunya. • Untuk menjatuhkan amar dibebaskan (maksudnya dilepaskan dari tahanan) tidak mungkin, karena sebelumnya P Susno sudah dihukum, sementara MA menolak permintaan kasasi, artinya putusan semula yang dikasasi demi hukum berkekuatan hukum tetap. • Maksud dan arti dari 3 (tiga) amar dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k itu tiada lain adalah dalam ruang lingkup penahanan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perintah eksekusi putusan. Berada di luar masalah eksekusi. Perintah supaya “terdakwa ditahan” bukan berupa dan tidak sama artinya dengan perintah eksekusi. • Dalam putusan perkara pidana tidak mengenal dengan perintah eksekusi (eksekutorial) seperti halnya perkara perdata. Adapun putusan MK tanggal 22 Nopember 2012 terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf k apapun bunyinya tidaklah mempunyai pengaruh apapun terhadap putusan MA terhadap P Susno, karena putusan MK tersebut dikeluarkan setelah putusan P Susno. Tidak berlaku terhadap putusan P Susno yang sudah diputus lebih dulu, jadi putusan MK hanya berlaku ke depan dan tidak kebelakang (berlaku surut). KESIMPULAN. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam persoalan putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi perkara P Susno, dapat disimpulkan sebagai berikut: • Tiga amar yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k adalah semata-mata amar yang menyangkut penahanan saja, tidak menyangkut atau dalam ruang lingkup eksekusi. Amar perintah supaya terdakwa ditahan tidak sama artinya dengan perintah eksekusi. • Putusan MA yang amarnya menolak kasasi atas putusan semula menghukum, dibenarkan tidak memuat salah satu perintah :segera ditahan, dibebaskan dari tahanan, atau tetap ditahan. • Putusan kasasi MA yang menolak permohonan kasasi merupakan putusan yang memberlakukan kembali putusan PT DKI jo putusan PN Jakarta Selatan. • Putusan menghukum PT DKI jo putusan PN Jaksel perkara P Susno bisa dieksekusi. Semoga pendapat ini merupakan pendapat yang sebaik-baiknya. Malang, 26 April 2013