BEBERAPA PERMASALAHAN
HUKUM ACARA PIDANA
I.
PENDAHULUAN
Hukum acara pidana kodifikasi (KUHAP) yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981. Setelah Indonesia merdeka,
baru KUHAP ini saja bangsa kita dapat menyusun suatu hukum dalam suatu
kodifikasi. Ternyata masih menyisakan banyak masalah, misalnya tidak adanya
ketentuan mengenai batas berapa kali pra penunutan (Pasal 110) dapat dilakukan Penuntut
Umum. Tanpa batas ini menimbulkan masalah yang antara lain, proses pra
penuntutan yang berkali-kali tanpa batas acapkali berakhir dengan digantungnya
perkara oleh penyidik. Hal ini terjadi karena penyidik tidak mendapat jalan
keluar, berhubung misalnya penyidik kesulitan/tidak mampu memenuhi permintaan
penuntut umum. Kelemahan seperti ini mestinya
dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan (PP
No, 27 Tahun 1983), namun ketika itu belum muncul permasalahan mengenai hal
itu. Maka Pasal 30 Ayat (1) huruf e UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, instansi kejaksaan dengan mengambil alih
persoalan itu dengan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan dengan tetap berkoordinasi dengan penyidik.
Selain itu oleh karena perkembangan
hukum pidana materiil bergerak cepat, dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum di
Negara kita, hal mana KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda (kini
usianya sudah lebih dari 1 abad) isinya banyak yang tidak sesuai lagi dengan
perasaan hukum, keadilan dan kebutuhan hukum bangsa yang merdeka.
Mengisi kebutuhan hukum tersebut,
dilakukan dengan membentuk hukum pidana materiil di luar kodifikasi, baik yang
berbentuk khusus perundangundangan pidana maupun bukan hukum pidana, namun di
dalamnya memuat pula hukum pidana materiil, bahkan tidak jarang terdapat pula
hukum formilnya. Yang terakhir misalnya UU Tahun 2008 Tentang ITE. Sementara
hukum pidana materiil diluar kodifikasi yang bersumber pada peraturan
perundang-undangan hukum pidana, yang disebut sebagai UU Hukum Pidana khusus,
lantaran di dalamnya sekaligus terdapat hukum acara pidananya. Misalnya UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971, sekarang UU No. 31
Tahun 1999 yang diubah UU No. 20 Tahun 2001). Menyebabkan tidak dapat dibendung
terbitnya banyaknya hukum pidana materiil di luar kodifikasi (KUHP).
Perkembangan hukum pidana materiil
diluar kodifikasi tersebut pasti berpengaruh terhadap perkembangan hukum acara
pidana, mengingat banyaknya sifat dan keadaan khusus dari hukum pidana
materiilnya yang penegakannya tidak cukup dengan menggunakan ketentuan di dalam
KUHAP. Nah hukum acara pidana itu juga dimuat pula dalam UU yang di dalamnya memuat
hukum pidana materiil.
Bahkan semula yang disebut sebagai
hukum pidana khusus itu adalah jika hukum pidana materiil tersebut berbentuk UU
Pidana Khusus, arti khusus tersebut disebabkan sekaligus di dalamnya mengatur
hukum acara pidananya. Misalnya selain UUTPK, juga ada UU No. 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Tindak
Pidana Ekonomi. Kriteria itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi, mengingat
hukum acara pidana khusus di luar KUHAP juga sering memuat dalam UU yang bukan hukum pidana khusus
seperti dalam UU ITE atau UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalulintas & Angkutan
Jalan.
Oleh karena berkembangnya hukum
pidana materiil, dalam arti begitu banyak dan cepatnya peraturan
perundang-undangan, dimana meskipun bukan khusus peraturan hukum pidana, peranan
hukum pidana hampir pasti dimuat di dalamnya, yang semua itu menyebabkan akan
semakin banyak hukum acara khusus di luar KUHAP. Keadaan itu tidak
menguntungkan penegakan hukum di negara kita. Dapat membuat tersesatnya
penegakan hukum. Oleh karena itu Upaya BPHN menyusun kompilasi hukum acara
pidana online ini adalah merupakan jalan
keluar untuk mengatasinya. Dan kini upaya itu sedang di sosialisasikan pada
insan-insan yang berprofesi hukum atau
berkaitan dengan hukum pidana.
Akibat perkembangan yang cepat itu,
bisa jadi para penegak hukum kesulitan untuk mengetahui semuanya, Karena
tersebar pada banyak sekali UU, yang tidak semua penegak hukum memiliki
kemampuan untuk mengikuti perkembangan itu. Oleh karena itulah maka sangat
perlu dilakukan pengkajian hukum acara pidana secara menyeluruh dan berada
dalam suatu kompilasi, mirip-mirip
kodifikasi KUHAP, atau sebagai tambahan KUHAP di luar KUHAP. Meskipun
sifat dan kedududkannya bukan kodifikasi, tetapi fungsi dan kegunaannya sama
dengan kodifikasi. Disamping itu akan lebih mudah untuk melihat dan mengetahui
adanya kesamaan atau konstensinya antara ketentuan hukum acara tertentu dengan
induknya KUHAP.
II. CIRI /KRITERIA HUKUM ACARA PIDANA KHUSUS
Kriteria dari hukum acara pidana
khusus, sampai kini belum ada patokannya. Kriteria ini penting ditetapkan,
mengingat dalam setiap UU baik UU Khusus
Pidana, maupun bukan UU khusus pidana, hampir selalu terdapat/disertai hukum
acaranya. Kalau terdapat kriteria yang dimaksudkan, barangkali tidak begitu
banyak diperlukan pasal-pasal yang memuat
hukum acara pidana di dalam UU tersebut.
Kalau mengikuti ciri/kriteria tindak
pidana (bagian hukum pidana materiil) khusus (lex specialis) dari suatu
tindak pidana umum (lex generalis),
kita bisa menentukan ciri dari hukum acara pidana khusus.
Menurut penulis ciri dari tindak
pidana khsus itu adalah:
1.
Dalam tindak pidana lex specialis harus mengandung
semua unsur pokok tindak pidana lex generalis. Ditambah satu atau
beberapa unsur khusus dalam lex specialis yang tidak terdapat dalam lex
generalisnya. Keadaan ini dapat dianggap ciri pokok yang sering diajarkan pada mahasiswa
hukum. Misalnya lex generalis pencurian ada di dalam Pasal 362 KUHP, yang
memuat usur-unsur pokoknya. Sementara Pasal 363, 364, 365 sebagai lex
specialis pencurian, yang pasal-pasal tersebut harus memuat unsur umumnya
pencurian pasal 362.
2.
Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum dan bentuk
khususnya harus sama. Misalnya lex
generalis penghinaan, lex spesialisnya juga penghinaan. Jika lex
generalisnya mengenai pornografi, maka lex specialisnya juga harus
mengenai pornografi.
3.
Harus terdapat persamaan subjek hukum tindak pidana lex
specialis dengan subjek hukum lex generalis. Kalau subjek hukum lex
generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus
orang. Tidak boleh subjek hukumnya yang dianggap lex specialisnya korporasi,
sementara lex generalisnya orang. Inilah alasan yang paling masuk akal,
bahwa pencemaran tertulis dan delik kesusilaan misalnya pornografi melalui
media cetak tidak bisa menerapkan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.[1]
4.
Harus terdapat persamaan objek tindak pidana antara lex
specialis dengan objek lex
generalis. Kalau objek tindak pidana
lex generalis adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka
objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan
orang.
5.
Harus ada persamaan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi dalam lex specialis dengan lex generalisnya. Misalnya
pencemaran sebagai lex generalis terdapat dalam Pasal 310 KUHP. Pencemaran
dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah pencemaran lex specialis. Kedua
pencemaran itu sama-sama melindungi kepentingan hukum terhadap tegak dan
terjaganya nama baik dan kehormatan orang dari perbuatan yang membuat rasa malu
atau tercemarnya orang lain.
6.
Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya
dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis
bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus
undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas lex specialis derogat legi
generali tidak berlaku. Karena dapat
berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi
inferiori”. Hukum yang bersumber yang lebih tinggi meniadakan berlakunya
hukum yang bersumber lebih rendah[2]
Ciri-ciri tindak pidana lex
specialis tentu tidak sama persis dengan hukum acara lex specialis,
mengingat sifat dan keadaan isi normanya berbeda. Namun dapat inti atau sari
dari pengertian lex specialis tindak pidana digunakan sebagai ciri hukum
acara pidana lex specialis.
Kiranya ciri umum hukum acara pidana
lex specialis adalah: harus sama bidang hal yang diaturnya dan
setingkat. Sementara peraturan
pelaksanaannya boleh berada di bawah UU.
Misalnya kewenangan penyidikan oleh PNS pejabat pengawas yang dimaksud dalam
Pasal 182 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pelaksanaannya diatur dalam bentuk
Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Instruksi dan Surat Edaran. Terdapat dalam hal penyidik PNS tertentu,
khususnya mengenai kewenangannya yang dimaksud dalam Pasal 182 (1) UU No. 13
tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah pengawas ketenagaan kerjaan yang
khusus diberi wewenang khusus sebagai penyidik.
Dalam hal ini penyidik kepolisian
tidak serta merta dapat melakukan penyidikan, melainkan harus terlebih dulu
calon tersangka tindak pidana ketenagakerjaan itu diberi nota peringatan I, II
dan III oleh pegawai pengawas tenagakerjaan (sifatnya imperatif), barulah
pegawai pengawas tadi boleh melakukan penyidikan.[3]
Kewenangan seperti ini tidak ada pada penyidik kepolisian. Setelah diberi
peringatan dan tidak diindahkan, barulah dapat melakaukan penyidikan.
Sementara Kewenangan PNS pegawai
pengawas lain dalam Pasal 182 Ayat (2) pada dasarnya sama dengan kewenangan
penyidik dalam Pasal 7 Ayat (1) KUHAP. Mestinya sepanjang yang sama, maka tidak
perlu diulang kembali dirumuskan dalam hukum acara pidana khususnya, terlalu
berlebih-lebihan. Rumuskan saja yang lain dari Pasal 7 Ayat (1) KUHAP.
Alasannya bahwa yang khusus itu harus lain dan berbeda dengan kodifikasinya.
Yang harus sama itu adalah bidang pengaturannya, bukan item-itemnya. Sementara
kewenangan adalah mengenai itemnya.
Hukum acara pidana khusus dalam UU
yang lain yakni kepolisian – tidak seperti hukum acara pidana khusus di bidang
tindak pidana ketenagakerjaan, penyidik kepolisian bisa langasung melakukan
penyidikan, bila ada dugaan kuat tindak pidana, apabila penyidik PNS lain tidak
melakukannya. Misalnya pada UU ITE, seperti juga UU Perlindungan Konsumen dll. Kewenangan
semacam ini memang khusus. Demikian juga dalam peraturan perundang lainnya.
Berdasarkan ciri hukum acara pidana
khusus, kiranya tidak perlu diletakkan pada UU pidana atau bukan, sebagaimana
semula kriteria hukum pidana (tindak pidana) khusus yang diletakkan pada item isi
dan sifat objek pengaturan UUnya, yang hanya berlaku khusus pada UU yang khusus
mengatur hukum pidana. Sementara pada kenyataannya UU yang bukan UU khusus
pidana, juga di dalamnya mengatur pula hukum acaranya. Misalnya dalam UU No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.[4]
III.
PRAKTIK MENYIMPANGI KUHAP
Ada 2 kemungkinan penyebab praktik
menyimpang. Pertama, karena suatu norma tidak dirumuskan secara lengkap, masih
terdapat celah. Kedua, norma nya sudah
sangat jelas, namun sengaja diterobos dengan alasan-alasan tertentu. Terkadang
alasan tersebut melanggar prinsip-prinsip hukum, sehingga menimbulkan konflik.
Contoh yang pertama, al. mengenai Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), lembaga pra penuntutan, Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP), Surat Perintah Penahanan (SPP), Perobahan Jenis Penahanan,
Pembacaan Putusan. Contoh yang kedua, al. PK Jaksa PU atas putusan bebas, dan
kasasi biasa terhadap putusan pembebasan. Penyimpangan-penyimpangan praktik
tersebut akan dicoba bicarakan secara ringkas.
A. SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN
(SPDP)
Pasal 109 Ayat (1) KUHAP menyatakan “Dalam hal
penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana , penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”. Itulah yang
dimaksud dengan SPDP, ang sifatnya imperatif. Maksud ketentuan itu adalah agar
instansi kejaksaan menggerti/mengetahui tentang penyidikan tersebut, guna
melakukan koordinasi dan mengikuti perkembangan perkara.
Pasal 109 Ayat (1) dalam praktik
sudah tidak berjalan. Karena pada kenyataannya, SPDP acapkali disampaikan ke
pihak kejaksaan tidak dilakukan setelah mulai penyidikan. Praktik pada berbagai
modus, ialah mengirim SPDP ditengah pemberkasan, bersamaan dengan menyerahkan
resume (BAP).
Praktik ini dirasakan merugikan
pelaksanaan pekerjaan kejaksaan. Karena kejaksaan kehilangan/dikurangi haknya
untuk mengikuti perkembangan penanganan perkara (koordinasi). Terkadang tanpa
SPDP, perkara itu telah dihentikan penyidikannya.
Kiranya penyimpangan ini terjadi,
pertama karena tidak ada sanksi apabila terjadi keterlambatan mengirimkan SPDP.
Kedua, dianggap birokratis, terutama jika akan melakukan penghentian penyidikan
(SP3), masih perlu lagi menyampaikan tembusan SP3 pada kejaksaan. Jika
mengirimkan SPDP sesuai ketentuan Pasal 109 Ayat (1). Ketiga, untuk menghidari
dilakukannya pra peradilan oleh kejaksaan jika mengeluarkan SP3. Ada maksud
terslubung untuk menghindari diajukannya pra peradilan oleh kejaksaan. Kalau pada
kejaksaan tidak disampaikan SPDP dari awal penyidikan, maka tidak mungkin
kejaksaan akan dapat melakukan pra peradilan atas dikeluarkannya SP3 tersebut.
B. LEMBAGA PRA PENUNUTAN
Dasar lembaga pra penuntutan ialah
Pasal 110 KUHAP. Maksudnya adalah pengembalian pada penyidik BAP hasil
penyidikan yang diterima kejaksaan dalam waktu 14 hari setelah menerimanya dari
pihak penyidik. Ayat (2) pasal ini menyatakan bahwa “Dalam hal penuntut umum
berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, penuntut umum
segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penydik disertai petunjuk untuk
melengkapinya”.
Oleh karena tidak ditentukan dalam
pasal itu tentang, pertama batas waktu penyidik untuk melengkapinya dan
mengembalikannya kepada kejaksaan, dan kedua tidak adanya saknsi atas
keterlambatan atau sama sekali tidak mengirimkannya kembali, maka penyimpangan praktik
dapat berbagai kemungkinan.
-
Pertama, dalam waktu yang pantas permintaan kejaksaan segera dipenuhi;
-
Kedua, dikembalikan dalam tenggang waktu yang cukup lama,
atau sangat lama, sehingga terkadang kejaksaan perlu melayangkan surat untuk
menanyakan kelanjutan berkas perkara;
-
Ketiga, sama sekali tidak pernah kembali alias perkaranya
digantung, sampai nanti kejaksaan lupa atau dilupakan saja. Hal ini sering
terjadi apabila penyidik mengalami kendala untuk melengkapinya atau tidak bisa
melengkapinya. Dalam hal yang kedua ini, mestinya kejaksaan melalui ketentuan
Pasal 30 Ayat (1) huruf e UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, mengambil alih persoalan itu dengan melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan dengan tetap
berkoordinasi dengan penyidik.
-
Keempat, tidak lagi mengirimkan kembali berkas perkara,
melainkan justru dihentikan penyidikannya dengan mengeluarkan SP3. Dalam hal
ini kejaksaan tidak bisa berbuat banyak, kecuali jika kejaksaan hendak
melakukan gugatan pra peradilan ke Pengadilan Negeri.
C. PENAHANAN (SURAT PERINTAH PENAHANAN / SPP).
Soal penahanan KUHAP mensyaratkan
dua syarat, objektif dan subjektif. Syarat objekif, ialah penahanan dapat
dilakukan terhadap tersangka atau
terdakwa, percobaannya atau pembantuannya yang disangka/diduga melakukan tindak
pidana yang diancm pidana 5 tahun atau lebih atau tindak pidana tertentu yang
menurut UU dapat ditahan [Pasal 21 ayat (4)]. Sementara syarat subjektif adalah
“adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi
tindak pidana” [Pasal 21 ayat (1)].
Mengenai syarat objektif tidak
menimbulkan masalah. Sementara syarat subjektif
sering disimpangi. Dilihat dari perkataan “adanya”keadaan” yang dirumusan Pasal 21 ayat (1) tersebut,
maka syarat itu tidak murni subjektif, melainkan subjektif bersyarat, atau subjektif-objektif,
atau subjektif yang diobjektifkan. Perkataan “keadaan” itu harus diterjemahkan
dengan indikator-indikator tertentu mengapa pejabat penahan merasa khawatir.
Keadaan-keadan itu adalah murni objektif yang dinilai oleh pejabat penahan, yang
harus dikemukakan di dalam pertimbangan hukum sebagai alasan penahanan. Dalam
praktik acap kali soal keadaan itu tidak diperhatikan. Disinilah letak penyebab
seringnya protes masyarakat terhadap tindakan penahanan.
Keadaan yang dimaksud, misalnya
telah dipanggil berkali-kali tidak menghadap, rumah/tempat tinggalnya jauh,
atau tidak mempunyai alamat yang jelas, pengulangan, pembohong – tidak berkata
yang benar sementara alat bukti menunjukkan adanya pembohongan tersebut, atau
telah terbukti ada alat bukti atau barang bukti yang telah dihilangkan, dan
sebagainya. Alasan ini mestinya dimuat dalam SPP.
D. PENGALIHAN JENIS PENAHANAN
Yang dimaksud adalah pengalihan
jenis penahan dari penahan RUTAN ke jenis penahan kota atau rumah. Masalah yang
krusilal adalah soal bagaimana soal pengawasannya. Sementara ini cara
pengawasnnya ialah menetapkan wajib lapor secara periodok ke lembaga penahan
(kepolisian atau kejaksaan). Cara ini tidak bisa efektif, karena tidak memberi
jaminan penuh bahwa ybs tidak melarikan diri.
E. PUTUSAN YANG DIBACAKAN HAKIM
Maksudnya adalah, ketika dibacakan
putusan belum diketik dan ditandatangani
oelh majelis hakim. Kejadian seperti ini acapkali terjadi, tentu
berdmpak negatif baik bagi terdakwa/terpidana atau penuntut umum.
Karena ketika putusan dibacakan
masih berupa konsep, maka akibat buruk bisa terjadi, ialah:
-
Mengurangi hak terdakwa atau penuntut umum ketika pada
setelah putusan dibacakan pihak penuntut umum atau terdakwa mengajukan upaya
banding, khsusnya merugikan dalam hendak
membuat memori banding atau kontra memori banding. Hal ini terjadi apabila
salinan resmi putusan disampaikan pada waktu yang cukup lama, apalagi kalau
disampaikan pada saat habis 14 hari setelah permintaan diucapkan. Meskipun
tenggng waktu penyerahan memori banding tidak dibatasi waktu, selama perkara
banding belum diputus.
-
Terkadang putusan yang dibacakan tidak sama persis dengan
putusan yang setelah dituliskan. Artinya sebelum disampaikan pada pihak-pihak,
isi putusan pada kalimat-kalimat tertentu berubah, atau sengaja ditambah dengan
alasan melengkapi. Namun dengan kelakuan seperti itu mengakibatkan pelanggaran
terhadap hak-hak terdawa atau jaksa penuntut umum, dan pula mengurangi
kepastian hukum.
F. MENERIMA PK JAKSA TERHADAP PUTUSAN BEBAS
Mahkamah Agung yang menerima PK
jaksa atas putusan bebas telah melanggar dasar filosifi dan
prinsip-prinsip/asas PK pidana.
Substansi PK berpijak pada dasar,
bahwa negara telah salah mempidana penduduk dan tidak
dapat diperbaiki dengan upaya hukum
biasa.
Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak
sah. Negara telah berbuat dosa pada
penduduknya. Negara dituntut bertanggung
jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah
dirampas. Bentuk pertanggungjawaban itu,
ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk
mengajukan PK, bukan kepada negara[5].
Dengan demikian dapatlah diartikan, bahwa pemberian hak PK pada terpidana
adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara.[6]
Asas-asas PK perkara pidana dimuat
dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, merupakan rumusan yang sudah jelas dan
limitatif (lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP), bersifat tertutup. Tidak dapat
ditafsirkan lagi (interpretation cesat in claris).
Tidak ada landasan yuridis,
filosofis, maupun historis dari pendapat bahwa jaksa berhak mengajukan PK terhadap
putusan bebas. Jaksa telah menggunakan sesuatu hak (PK) yang sesungguhnya tidak
dimilikinya.
Penafsiran MA, dengan menerima PK
jaksa, sudah berada diluar cara-2 penafsiran yang diperkenankan dan lazim dalam
doktrin. MA sudah merubah dan atau menambah norma hukum baru di luar Pasal 263
Ayat (1) KUHAP. Oleh sebab itu bukan lagi masuk wilayah interprestasi yang
menjadi kewenangan hakim. Melainkan sudah masuk wilayah kewenangan pembentuk
UU.
Tidak dapat dianggap bahwa MA
menggali nilai-nilai hukum & keadilan dalam melanggar prinsip-prinsip dan dasar filosifi PK. Menggali nilai hukum dibatasi pada masalah (1)
hukumnya belum ada atau (2) hukumnya tidak jelas. Norma hukum PK Pasal 263 Ayat
(1) KUHAP telah jelas, pasti, tuntas dan limitatif, merupakan rumusan tertutup.
Tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cesat in claris). Menggali untuk menemukan hukum tidak sama
artinya dengan menciptakan / membuat hukum baru, seperti yang dipraktikan MA
dengan menambah norma baru ke dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
Hakim boleh menggali untuk menemukan
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan tidak
melanggar norma hukum yang sudah berlaku difinitif. Hakim tidak dibenarkan melanggar
norma hukum dengan alasan menggali hukum.
Menggali nilai-nilai hukum harus
melalui hukum dengan cara-cara penafsiran yang sudah lazim dalam doktrin dan
tidak keluar dari logika. Tidak menggunakan penafsiran bebas yang merusak (interpretatio
est perversio) atau penafsiran akal-akalan.
Pertimbangan putusan MA yang menerima permintaan PK
jaksa dapat disebut pertimbangan yang
memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata,
yang dapat diajukan PK oleh terpidana yang semula sudah dibebaskan.
Pembenaran MA terhadap PK jaksa
berdampak buruk dan tidak menguntungkan
penegakan hukum. Tidak ada lagi kepastian hukum mengenai lembaga PK ini.
Negara cenderung bertindak sewenang-wenang. Mengacaukan sistem hukum PK yang
telah teratur
Didasarkan pada pertimbangan hukum
yang nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma hukum [Pasal 263 Ayat
(1) KUHAP].
Putusan tersebut melampaui
kewenangan hakim, karena jaksa menggunakan suatu hak (PK) yang sesungguhnya
tidak dimilikinya. Perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum, dan
karenanya putusan yang mengabulkan penggunaan sesuatu hak yang tidak
dimilikinya, mestinya batal demi hukum.
Putusan dibuat atas pelaksanaan
peradilan yang menyalahi prosedur, karena KUHAP tidak mengatur prosedur pengajuan PK yang diajukan jaksa
terhadap putusan bebas atau pelepasan dari tuntutan hukum. KUHAP hanya mengatur
prosedur pengajuan PK yang oleh terpidana atas putusan pemidanaan yang tetap
saja.
MA telah melakukan penafsiran suatu
norma yang secara jelas melanggar
kehendak pembentuk UU. Hakim tidak dibenarkan membuat tafsir dengan melanggar
kehendak pembentuk UU dan memperkosa maksud dan jiwa undang-undang.[7]
MA telah menafsirkan suatu norma
diluar cara-cara yang lazim dan dikenal
dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu
norma secara bebas, tanpa landasan yuridis, filosofis, historis maupun
sosiologis, dan diluar logika hukum. Dapat digolongan pada penafsiran bebas
yang merusak (interpretatio est perversio).[8]
MA telah memutuskan sesuatu yang mengakibatkan norma hukum yang sudah
jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi
bertambah. MA telah menambahkan norma
baru dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. MA telah masuk ke wilayah kewenangan
pembentuk UU. [9]
Oleh karena itu sejak putusan MA
pertama yang membenarkan PK jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan tahun 1996,
sampai kini masih menjadi masalah besar baik dari sudut praktik hukum maupun
teoritisi/akademisi hukum. Kalangan
akademisi seluruhnya menolak penafsiran yang merusak interpretatio est
perversio seperti itu.
G. PEMBENARAN KASASI BIASA JAKSA ATAS PUTUSAN
BEBAS
Pembenan kasasi jaksa terhadap putusan bebas, melanggar Pasal 244
KUHAP. Ketentuan yang secara tegas dalam Pasal 244 KUHAP diterobos dengan
argumentasi, bahwa terhadap putusan bebas tidak murni dapat diajukan
kasasi. Berrmula dari putusan No. 275K/Pid/1983 perkara Raden Senson
Natalegawa, yang semula dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
33/1981/Pidana Biasa, yang menurut MA berupa pembebasan yang tidak murni.
Dalam dokterin hukum, putusan bebas
tidak murni adalah putusan yang amarnya pembebasan yang didsarkan pada pertimbangan
hukum lepas dari tuntutan hukum. Setelah putusan itu maka jaksa penuntut umum
hampir pasti – selalu melakukan usaha mencoba-coba mengajukan upaya kasasi,
dengan alasan putusan yang dilawan adalah merupakan putusan bebas yang tidak
murni. Akhirnya menimbulkan kekacauan antara putusan bebas yang murni mana yang menurut doktrin dan
putusan bebas mana
yang menurut putusan Mahakaha Agung No. 275K/Pid./1983 tersebut. Karena
seolah-oleh semua putusan bebas selalu dianggap oleh jaksa merupakan putusan
bebas yang tidak murni.
Sementara menurut putusan MA No.
275/Pid/1983 adalah “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang
keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan, dan
bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur perbuatan yang didakwakan,
ataupun apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absosult
dan relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur non yuridis yang
turut dipertimbangkan dalam putusan
pengadilan, ...”[10]
Sejak putusan RS Natalegawa
tersebut, dalam praktik diartikan bahwa
putusan bebas yang tidak dapat dilawan dengan upaya kasasi adalah terhadap
putusan bebas murni saja dan terhadap putusan bebas yang tidak murni masih
dapat dilawan dengan upaya kasasi biasa. Dalam hal JPU mengajukan kasasi biasa terhadap putusan
pembebasan terdakwa, maka ia harus dapat membuktikan melalui uraian dalam
memorie kasasinya. Pertama bahwa putusan
pembebasan yang dilawannya itu seharusnya berisi putusan pembebasan yang tidak
murni. Kedua, barulah jaksa mengurai dalam analisis hukumnya, bahwa putusan
dalam perkara yang dilawan seharusnya penjatuhan hukuman, bukan
pembebasan. Kalau jaksa sekedar hanya
bisa membuktikan alasan yang pertama, maka putusan yang akan dijatuhkan MA di tingkat PK adalah amar
pelepasan dari tuntutan hukum sesuai dengan perkara yang sebenarnya.
Kreteria putusan bebas yang tidak
murni menurut putusan MA No. 275K/Pid/1983 tidak mudah dimengerti. Menurut
hemat penulis bahwa frasa “sebutan tindak pidana” (dalam kalimat “apabila pembebasan itu
didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang
disebut dalam surat dakwaan...”) sebagai
tidak jelas (oscuur). Oleh sebab itu harus dicari pengertiannya
dengan cara menafsirkan/ditafsir lagi.
Untuk itu ada dua cara tafsir yang dapat digunakan terhadap frasa “sebutan
tindak pidana” tersebut, ialah:
•
Pertama, berdasarkan tafsir
gramatikal (bahasa) terhadap frasa “sebutan tindak pidana”, adalah
diartikan sebagai “kualifikasi tindak pidana” atau nama dari suatu
rumusan tindak pidana, misalnya pencurian, pemerasan, pembunuhan, perkosaan dan
lain sebagainya.
Sehingga jika
diterapkan pengertian dari sudut bahasa ini, maka maksud putusan bebas tidak
munri adalah putusan yang mempertimbangkan tindak pidana yang sebutannya lain
dari tindak pidana yang sebutannya dalam surat dakwaan. Misalnya
mempertimbangkan tentang unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang tidak
didakwakan, sementara amarnya membebaskan dari dakwaan pasal pencurian yang
didakwakan. Atau menjatuhkan amar putusan pidana terhadap sebutan kualifikasi
tindak pidana yang tidak sesuai dengan sebutan tindak pidana dalam pertimbangan
hukumnya. Misalnya dakwaan pencurian
yang dibebaskan padahal dasar pertimbanga hukumnya mempertimbangkan tentang
penggelapan.
•
Kedua, berdasarkan penafsiran sistematis (systematische
interpretatie), artinya bahwa untuk
menafsirkan kata/frasa “sebutan tindak pidana” dalam kalimat “apabila pembebasan itu
didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana
yang disebut dalam surat dakwaan...” harus
didasarkan kalimat sesudahnya. Karena kalimat yang disebutkan sesudahnya
menurut ilmu bahasa memberikan keterangan atau penjelasan terhadap
kata/isitilah yang disebutkan sebelumnya dalam rangkaian suatu kalimat
tertentu. Dalam hal ini adalah pada kalimat “bukan didasarkan pada tidak
terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan. Anak kalimat inilah
sesugguhnya focus dari pengertian anak kalimat “penafsiran yang keliru terhadap
sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.
Alasannya ialah pengertian kata
pembebasan yang digantungkan terhadap syarat “sebutan tindak pidana pada penafsiran
yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam surat dakwaan di jelaskan pengertiannya
pada kalimat sesudahnya, ialah bahwa
“bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan. Pengertian ini adalah sama dengan pengertian perkataan bebas dalam
Pasal 183 KUHAP yang memenuhi 4 syarat (didasarkan minimal dua alat bukti yang
syah, hakim meyakini bahwa benar terjadi tindak pidana, dan yakin terdakwalah
yang melakukannya, dan hakim yakin terdakwa dalam hal itu bersalah atau dapat dipersalahkan).
Penafsiran sistematis inilah yang
sesungguhnya yang paling tepat. Dan
inilah yang sesungguhnya harus diterapkan oleh jaksa penuntut umum yang
mengajukan kasasi biasa
atas
putusan pembebasan. Jadi ukurannya lebih jelas, lebih terukur, dari pada
umumnya kita dapat membaca dalam memorie
kasasi jaksa penuntut umum, yang susah ditarik simpulannya, karena kabur
atau obscuur.
Baik menggunakan penafsiran
berdasarkan bahasa atau penafsiran sistematis, maka harus dicari dan
dianalisis, bahwa dalam putusan terakhir yang dikasasi, benar-benar telah salah
dalam menerapkan syarat-syarat putusan bebas yang tidak murni sebagaimana yang
penulis maksudkan tersebut di
atas.
Baik syarat-syarat putusan yang tidak murni menurut doktrin hukum (yurispridensi lama)
maupun syarat-syarat putusan yang tidak murnini menurut putusan MA No.
275K/Pid/1983 kasus RS Natalegawa tersebut.
Contoh-contoh penyimpangan tersebut,
sebaiknya tidak disemunyiakan. Kepada mahasiswa perlu dikemukakan secara
objektif. Demiian juga dalam kegiatan sosialisasi kompilasi hukum acara pidana
online ini.
Demikian yang dapat penulis
sampaikan dalam forum sosialisasi kompilasi hukum acara pidana online. Pastilah
masih banyak kekurangan dan kekhilafan. Tidak ada gading yang tak retak, maka
penulis mohon maklum dan maaf atas kekhilafan dan kekurangan yang ada. Mengngat amat terbatas pengetahuan penulis
mengenai hukum acara pidana.
Kampus FH UB di Malang, 17 Juli 2012.
H. Adami Chazawi
KEPUSTAKAAN
-
Adami Chazawi,2010. Hukum
Pidana Posisitf Penghinaan, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya
-
Adami Chazawi, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali
(PK) Perkara Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
-
Andi Zainal Abidin, 1997. Opini: “Seputar
Peninjauan kembali Perkara Pidana”, Republika Online, Diakses tanggal
23 Nopmber 2009.
-
Martiman Prodjohamidjojo,
1984. Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni (arti dan makana), Penerbit
Simplex, Jakarata
-
M. Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP (Jilid II), Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
-
Otto Cornelis Kaligis,
2008. Miscarriage of Justice dalam Sistem Peradilan Pidana,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Menado
Tanggal 8 Nopember 2008.
-
Rusli Muhamad, 2007. Hukum Acara Pidana Kotemporer,
Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
[2] Adami Chazawi,2010.
Hukum Pidana Posisitf Penghinaan, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya, halaman
267.
[3] Lihat
Instruksi Menteri Tenga Kerja No.: INS.05/M/BW/1987, yang antara lain
dikatakan bahwa: …… “pelangaran-pelanggaran yang telah diberikan Nota
pemeriksaan, tetapi tidak dipenuhi, perlu tindak ljut dengan Beria Acara
Projustitia”. Maknanya dari ketentuan tersebut adalah bahwa si pelanggar UU
Tenagakerjaan yang memenuhi dugaan tindak pidana, tidak serta merta di lakukan
penyidikan, namun diberi Nota peringatan dulu I.II dan III dalam tahap-tahap
yang pantas. Apabila tidak dipenuhi barulah Pegawai Pengawas ketenagakerjaan
meningkatkan kasus itu ke tingkat penyidik. Dan dalam hal ini, setelah
diperingatkan dapat menyerahkan penyidikannya pada penyidik kepolisian sesuai
Pasal 14 huruf g UU No. 2/2002 Tentang Kepolisian RI. Dalam Surat Edaran
menteri Tenaga kerja No. SE.7/M/BW/BP/87 Tentang petunjuk pelaksanaan Instruksi
Mentranker tersebut di atas pada Pasal 1
huruf d berbunyi “Pelanggaran-pelanggaran yang telah diberikan Nota
pemeriksaan, tetapi tidak dipenuhi dalam batas waktu yang ditetapkan, maka
perlu tindak lanjut denan dibuatnya Berita Acara Projustisa”.
[5] Bandingkan dengan M Yahya Harahap, 1988. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Penerbit Pustaka Kartini,
Jakarta, halaman 1200. Bandingkan pula dengan H. Rusli Muhamad, 2007. Hukum
Acara Pidana Kotemporer, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
halaman 287.
[6] Adami
Chazawi, 2010. Lembaga Peninjauan kembali (PK) Perkara Pidana, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, halaman
8.
[7] Logemann dikutip oleh Andi Zainal Abidin, 1997.
Opini: “Seputar Peninjauan kembali Perkara Pidana”, Republika
Online, Diakses tanggal 23 Nopmber 2009.
[8]
Lihat Otto Cornelis Kaligis, 2008. Miscarriage of Justice dalam Sistem
Peradilan Pidana, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Menado Tanggal 8 Nopember 2008.
[9] Adami Chazawi, Op.cit.,
halaman 46.
[10] Dikutif dari Martiman Prodjohamidjojo, 1984.
Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni (arti dan makana), Penerbit Simplex,
Jakarata, halaman 73.