Jumat, 30 Maret 2018

Beberapa Permasalahan HAP dalam KUHAP




BEBERAPA PERMASALAHAN
HUKUM ACARA PIDANA



I.  PENDAHULUAN
           Hukum acara pidana kodifikasi (KUHAP)  yang diundangkan pada tanggal  31 Desember 1981. Setelah Indonesia merdeka, baru KUHAP ini saja bangsa kita dapat menyusun suatu hukum dalam suatu kodifikasi. Ternyata masih menyisakan banyak masalah, misalnya tidak adanya ketentuan mengenai batas berapa kali pra penunutan (Pasal 110) dapat dilakukan Penuntut Umum. Tanpa batas ini menimbulkan masalah yang antara lain, proses pra penuntutan yang berkali-kali tanpa batas acapkali berakhir dengan digantungnya perkara oleh penyidik. Hal ini terjadi karena penyidik tidak mendapat jalan keluar, berhubung misalnya penyidik kesulitan/tidak mampu memenuhi permintaan penuntut umum. Kelemahan seperti ini  mestinya dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan (PP  No, 27 Tahun 1983), namun ketika itu belum muncul permasalahan mengenai hal itu. Maka Pasal 30 Ayat (1) huruf e UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan,  instansi kejaksaan dengan mengambil alih persoalan itu dengan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan dengan tetap berkoordinasi dengan penyidik.  
           Selain itu oleh karena perkembangan hukum pidana materiil bergerak cepat, dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum di Negara kita, hal mana KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda (kini usianya sudah lebih dari 1 abad) isinya banyak yang tidak sesuai lagi dengan perasaan hukum, keadilan dan kebutuhan hukum bangsa yang merdeka.
           Mengisi kebutuhan hukum tersebut, dilakukan dengan membentuk hukum pidana materiil di luar kodifikasi, baik yang berbentuk khusus perundangundangan pidana maupun bukan hukum pidana, namun di dalamnya memuat pula hukum pidana materiil, bahkan tidak jarang terdapat pula hukum formilnya. Yang terakhir misalnya UU Tahun 2008 Tentang ITE. Sementara hukum pidana materiil diluar kodifikasi yang bersumber pada peraturan perundang-undangan hukum pidana, yang disebut sebagai UU Hukum Pidana khusus, lantaran di dalamnya sekaligus terdapat hukum acara pidananya. Misalnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971, sekarang UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah UU No. 20 Tahun 2001). Menyebabkan tidak dapat dibendung terbitnya banyaknya hukum pidana materiil di luar kodifikasi (KUHP).
           Perkembangan hukum pidana materiil diluar kodifikasi tersebut pasti berpengaruh terhadap perkembangan hukum acara pidana, mengingat banyaknya sifat dan keadaan khusus dari hukum pidana materiilnya yang penegakannya tidak cukup dengan menggunakan ketentuan di dalam KUHAP. Nah hukum acara pidana itu juga dimuat pula dalam UU yang di dalamnya memuat hukum pidana materiil.
           Bahkan semula yang disebut sebagai hukum pidana khusus itu adalah jika hukum pidana materiil tersebut berbentuk UU Pidana Khusus, arti khusus tersebut disebabkan sekaligus di dalamnya mengatur hukum acara pidananya. Misalnya selain UUTPK, juga ada  UU No. 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi. Kriteria itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi, mengingat hukum acara pidana khusus di luar KUHAP juga sering  memuat dalam UU yang bukan hukum pidana khusus seperti dalam UU ITE atau UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalulintas & Angkutan Jalan.
           Oleh karena berkembangnya hukum pidana materiil, dalam arti begitu banyak dan cepatnya peraturan perundang-undangan, dimana meskipun bukan khusus peraturan hukum pidana, peranan hukum pidana hampir pasti dimuat di dalamnya, yang semua itu menyebabkan akan semakin banyak hukum acara khusus di luar KUHAP. Keadaan itu tidak menguntungkan penegakan hukum di negara kita. Dapat membuat tersesatnya penegakan hukum. Oleh karena itu Upaya BPHN menyusun kompilasi hukum acara pidana  online ini adalah merupakan jalan keluar untuk mengatasinya. Dan kini upaya itu sedang di sosialisasikan pada insan-insan yang  berprofesi hukum atau berkaitan dengan hukum pidana.
           Akibat perkembangan yang cepat itu, bisa jadi para penegak hukum kesulitan untuk mengetahui semuanya, Karena tersebar pada banyak sekali UU, yang tidak semua penegak hukum memiliki kemampuan untuk mengikuti perkembangan itu. Oleh karena itulah maka sangat perlu dilakukan pengkajian hukum acara pidana secara menyeluruh dan berada dalam suatu kompilasi, mirip-mirip  kodifikasi KUHAP, atau sebagai tambahan KUHAP di luar KUHAP. Meskipun sifat dan kedududkannya bukan kodifikasi, tetapi fungsi dan kegunaannya sama dengan kodifikasi. Disamping itu akan lebih mudah untuk melihat dan mengetahui adanya kesamaan atau konstensinya antara ketentuan hukum acara tertentu dengan induknya KUHAP. 
II.  CIRI /KRITERIA HUKUM ACARA PIDANA KHUSUS
           Kriteria dari hukum acara pidana khusus, sampai kini belum ada patokannya. Kriteria ini penting ditetapkan, mengingat  dalam setiap UU baik UU Khusus Pidana, maupun bukan UU khusus pidana, hampir selalu terdapat/disertai hukum acaranya. Kalau terdapat kriteria yang dimaksudkan, barangkali tidak begitu banyak diperlukan pasal-pasal yang memuat  hukum acara pidana di dalam UU tersebut.
           Kalau mengikuti ciri/kriteria tindak pidana (bagian hukum pidana materiil) khusus (lex specialis) dari suatu tindak pidana umum (lex generalis),  kita bisa menentukan ciri dari hukum acara pidana khusus.
           Menurut penulis ciri dari tindak pidana khsus itu adalah:
1.     Dalam tindak pidana lex specialis harus mengandung semua unsur pokok tindak pidana lex generalis. Ditambah satu atau beberapa unsur khusus dalam lex specialis yang tidak terdapat dalam lex generalisnya. Keadaan ini dapat dianggap ciri  pokok yang sering diajarkan pada mahasiswa hukum. Misalnya lex generalis pencurian ada di dalam Pasal 362 KUHP, yang memuat usur-unsur pokoknya. Sementara Pasal 363, 364, 365 sebagai lex specialis pencurian, yang pasal-pasal tersebut harus memuat unsur umumnya pencurian pasal 362.
2.     Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum dan bentuk khususnya harus sama.  Misalnya lex generalis penghinaan, lex spesialisnya juga penghinaan. Jika lex generalisnya mengenai pornografi, maka lex specialisnya juga harus mengenai pornografi.
3.     Harus terdapat persamaan subjek hukum tindak pidana lex specialis dengan subjek hukum lex generalis. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Tidak boleh subjek hukumnya yang dianggap lex specialisnya korporasi, sementara lex generalisnya orang. Inilah alasan yang paling masuk akal, bahwa pencemaran tertulis dan delik kesusilaan misalnya pornografi melalui media cetak tidak bisa menerapkan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.[1]
4.     Harus terdapat persamaan objek tindak pidana antara lex specialis  dengan objek lex generalis.  Kalau objek tindak pidana lex generalis adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan orang.
5.     Harus ada persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex specialis dengan lex generalisnya. Misalnya pencemaran sebagai lex generalis terdapat dalam Pasal 310 KUHP. Pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah pencemaran lex specialis. Kedua pencemaran itu sama-sama melindungi kepentingan hukum terhadap tegak dan terjaganya nama baik dan kehormatan orang dari perbuatan yang membuat rasa malu atau tercemarnya orang lain.
6.     Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas lex specialis derogat legi generali tidak berlaku. Karena dapat  berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber yang lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah[2]
           Ciri-ciri tindak pidana lex specialis tentu tidak sama persis dengan hukum acara lex specialis, mengingat sifat dan keadaan isi normanya berbeda. Namun dapat inti atau sari dari pengertian lex specialis tindak pidana digunakan sebagai ciri hukum acara pidana lex specialis.
           Kiranya ciri umum hukum acara pidana lex specialis adalah: harus sama bidang hal yang diaturnya dan setingkat.  Sementara peraturan pelaksanaannya boleh berada di  bawah UU. Misalnya kewenangan penyidikan oleh PNS pejabat pengawas yang dimaksud dalam Pasal 182 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pelaksanaannya diatur dalam bentuk Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Instruksi dan Surat Edaran.  Terdapat dalam hal penyidik PNS tertentu, khususnya mengenai kewenangannya yang dimaksud dalam Pasal 182 (1) UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah pengawas ketenagaan kerjaan yang khusus diberi wewenang khusus sebagai penyidik.
           Dalam hal ini penyidik kepolisian tidak serta merta dapat melakukan penyidikan, melainkan harus terlebih dulu calon tersangka tindak pidana ketenagakerjaan itu diberi nota peringatan I, II dan III oleh pegawai pengawas tenagakerjaan (sifatnya imperatif), barulah pegawai pengawas tadi boleh melakukan penyidikan.[3] Kewenangan seperti ini tidak ada pada penyidik kepolisian. Setelah diberi peringatan dan tidak diindahkan, barulah dapat melakaukan penyidikan.
           Sementara Kewenangan PNS pegawai pengawas lain dalam Pasal 182 Ayat (2) pada dasarnya sama dengan kewenangan penyidik dalam Pasal 7 Ayat (1) KUHAP. Mestinya sepanjang yang sama, maka tidak perlu diulang kembali dirumuskan dalam hukum acara pidana khususnya, terlalu berlebih-lebihan. Rumuskan saja yang lain dari Pasal 7 Ayat (1) KUHAP. Alasannya bahwa yang khusus itu harus lain dan berbeda dengan kodifikasinya. Yang harus sama itu adalah bidang pengaturannya, bukan item-itemnya. Sementara kewenangan adalah mengenai itemnya.
           Hukum acara pidana khusus dalam UU yang lain yakni kepolisian – tidak seperti hukum acara pidana khusus di bidang tindak pidana ketenagakerjaan, penyidik kepolisian bisa langasung melakukan penyidikan, bila ada dugaan kuat tindak pidana, apabila penyidik PNS lain tidak melakukannya. Misalnya pada UU ITE, seperti juga UU Perlindungan Konsumen dll. Kewenangan semacam ini memang khusus. Demikian juga dalam peraturan perundang lainnya.
                      Berdasarkan ciri hukum acara pidana khusus, kiranya tidak perlu diletakkan pada UU pidana atau bukan, sebagaimana semula kriteria hukum pidana (tindak pidana) khusus yang diletakkan pada item isi dan sifat objek pengaturan UUnya, yang hanya berlaku khusus pada UU yang khusus mengatur hukum pidana. Sementara pada kenyataannya UU yang bukan UU khusus pidana, juga di dalamnya mengatur pula hukum acaranya. Misalnya dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.[4]

III.  PRAKTIK MENYIMPANGI KUHAP
           Ada 2 kemungkinan penyebab praktik menyimpang. Pertama, karena suatu norma tidak dirumuskan secara lengkap, masih terdapat celah. Kedua,  norma nya sudah sangat jelas, namun sengaja diterobos dengan alasan-alasan tertentu. Terkadang alasan tersebut melanggar prinsip-prinsip hukum, sehingga menimbulkan konflik.
           Contoh yang pertama, al. mengenai Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), lembaga pra penuntutan, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), Surat Perintah Penahanan (SPP), Perobahan Jenis Penahanan, Pembacaan Putusan. Contoh yang kedua, al. PK Jaksa PU atas putusan bebas, dan kasasi biasa terhadap putusan pembebasan. Penyimpangan-penyimpangan praktik tersebut akan dicoba bicarakan secara ringkas.
A.   SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP)
           Pasal  109 Ayat (1) KUHAP menyatakan “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana , penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”. Itulah yang dimaksud dengan SPDP, ang sifatnya imperatif. Maksud ketentuan itu adalah agar instansi kejaksaan menggerti/mengetahui tentang penyidikan tersebut, guna melakukan koordinasi dan mengikuti perkembangan perkara.
           Pasal 109 Ayat (1) dalam praktik sudah tidak berjalan. Karena pada kenyataannya, SPDP acapkali disampaikan ke pihak kejaksaan tidak dilakukan setelah mulai penyidikan. Praktik pada berbagai modus, ialah mengirim SPDP ditengah pemberkasan, bersamaan dengan menyerahkan resume (BAP).
           Praktik ini dirasakan merugikan pelaksanaan pekerjaan kejaksaan. Karena kejaksaan kehilangan/dikurangi haknya untuk mengikuti perkembangan penanganan perkara (koordinasi). Terkadang tanpa SPDP, perkara itu telah dihentikan penyidikannya.
           Kiranya penyimpangan ini terjadi, pertama karena tidak ada sanksi apabila terjadi keterlambatan mengirimkan SPDP. Kedua, dianggap birokratis, terutama jika akan melakukan penghentian penyidikan (SP3), masih perlu lagi menyampaikan tembusan SP3 pada kejaksaan. Jika mengirimkan SPDP sesuai ketentuan Pasal 109 Ayat (1). Ketiga, untuk menghidari dilakukannya pra peradilan oleh kejaksaan jika mengeluarkan SP3. Ada maksud terslubung untuk menghindari diajukannya pra peradilan oleh kejaksaan. Kalau pada kejaksaan tidak disampaikan SPDP dari awal penyidikan, maka tidak mungkin kejaksaan akan dapat melakukan pra peradilan atas dikeluarkannya SP3 tersebut.
B.   LEMBAGA PRA PENUNUTAN
         Dasar lembaga pra penuntutan ialah Pasal 110 KUHAP. Maksudnya adalah pengembalian pada penyidik BAP hasil penyidikan yang diterima kejaksaan dalam waktu 14 hari setelah menerimanya dari pihak penyidik. Ayat (2) pasal ini menyatakan bahwa “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penydik disertai petunjuk untuk melengkapinya”.
           Oleh karena tidak ditentukan dalam pasal itu tentang, pertama batas waktu penyidik untuk melengkapinya dan mengembalikannya kepada kejaksaan, dan kedua tidak adanya saknsi atas keterlambatan atau sama sekali tidak mengirimkannya kembali, maka penyimpangan praktik dapat berbagai kemungkinan.
-         Pertama, dalam waktu yang pantas  permintaan kejaksaan segera dipenuhi;
-         Kedua, dikembalikan dalam tenggang waktu yang cukup lama, atau sangat lama, sehingga terkadang kejaksaan perlu melayangkan surat untuk menanyakan kelanjutan berkas perkara;
-         Ketiga, sama sekali tidak pernah kembali alias perkaranya digantung, sampai nanti kejaksaan lupa atau dilupakan saja. Hal ini sering terjadi apabila penyidik mengalami kendala untuk melengkapinya atau tidak bisa melengkapinya. Dalam hal yang kedua ini, mestinya kejaksaan melalui ketentuan Pasal 30 Ayat (1) huruf e UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan,  mengambil alih persoalan itu dengan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan dengan tetap berkoordinasi dengan penyidik.
-         Keempat, tidak lagi mengirimkan kembali berkas perkara, melainkan justru dihentikan penyidikannya dengan mengeluarkan SP3. Dalam hal ini kejaksaan tidak bisa berbuat banyak, kecuali jika kejaksaan hendak melakukan gugatan pra peradilan ke Pengadilan Negeri.
C.   PENAHANAN (SURAT PERINTAH PENAHANAN / SPP).
           Soal penahanan KUHAP mensyaratkan dua syarat, objektif dan subjektif. Syarat objekif, ialah penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka  atau terdakwa, percobaannya atau pembantuannya yang disangka/diduga melakukan tindak pidana yang diancm pidana 5 tahun atau lebih atau tindak pidana tertentu yang menurut UU dapat ditahan [Pasal 21 ayat (4)]. Sementara syarat subjektif adalah “adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana” [Pasal 21 ayat (1)].
           Mengenai syarat objektif tidak menimbulkan masalah. Sementara syarat subjektif  sering disimpangi. Dilihat dari perkataan “adanya”keadaan”  yang dirumusan Pasal 21 ayat (1) tersebut, maka syarat itu tidak murni subjektif, melainkan subjektif bersyarat, atau subjektif-objektif, atau subjektif yang diobjektifkan. Perkataan “keadaan” itu harus diterjemahkan dengan indikator-indikator tertentu mengapa pejabat penahan merasa khawatir. Keadaan-keadan itu adalah murni objektif yang dinilai oleh pejabat penahan, yang harus dikemukakan di dalam pertimbangan hukum sebagai alasan penahanan. Dalam praktik acap kali soal keadaan itu tidak diperhatikan. Disinilah letak penyebab seringnya protes masyarakat terhadap tindakan penahanan.
           Keadaan yang dimaksud, misalnya telah dipanggil berkali-kali tidak menghadap, rumah/tempat tinggalnya jauh, atau tidak mempunyai alamat yang jelas, pengulangan, pembohong – tidak berkata yang benar sementara alat bukti menunjukkan adanya pembohongan tersebut, atau telah terbukti ada alat bukti atau barang bukti yang telah dihilangkan, dan sebagainya. Alasan ini mestinya dimuat dalam SPP.
D.   PENGALIHAN JENIS PENAHANAN
           Yang dimaksud adalah pengalihan jenis penahan dari penahan RUTAN ke jenis penahan kota atau rumah. Masalah yang krusilal adalah soal bagaimana soal pengawasannya. Sementara ini cara pengawasnnya ialah menetapkan wajib lapor secara periodok ke lembaga penahan (kepolisian atau kejaksaan). Cara ini tidak bisa efektif, karena tidak memberi jaminan penuh bahwa ybs tidak melarikan diri.
E.  PUTUSAN YANG DIBACAKAN HAKIM
           Maksudnya adalah, ketika dibacakan putusan belum diketik dan ditandatangani  oelh majelis hakim. Kejadian seperti ini acapkali terjadi, tentu berdmpak negatif baik bagi terdakwa/terpidana atau penuntut umum.
           Karena ketika putusan dibacakan masih berupa konsep, maka akibat buruk bisa terjadi, ialah:
-         Mengurangi hak terdakwa atau penuntut umum ketika pada setelah putusan dibacakan pihak penuntut umum atau terdakwa mengajukan upaya banding, khsusnya  merugikan dalam hendak membuat memori banding atau kontra memori banding. Hal ini terjadi apabila salinan resmi putusan disampaikan pada waktu yang cukup lama, apalagi kalau disampaikan pada saat habis 14 hari setelah permintaan diucapkan. Meskipun tenggng waktu penyerahan memori banding tidak dibatasi waktu, selama perkara banding belum diputus.
-         Terkadang putusan yang dibacakan tidak sama persis dengan putusan yang setelah dituliskan. Artinya sebelum disampaikan pada pihak-pihak, isi putusan pada kalimat-kalimat tertentu berubah, atau sengaja ditambah dengan alasan melengkapi. Namun dengan kelakuan seperti itu mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak terdawa atau jaksa penuntut umum, dan pula mengurangi kepastian hukum.
F.  MENERIMA PK JAKSA TERHADAP PUTUSAN BEBAS
           Mahkamah Agung yang menerima PK jaksa atas putusan bebas telah melanggar dasar filosifi dan prinsip-prinsip/asas PK pidana.
           Substansi PK berpijak pada dasar, bahwa  negara  telah salah mempidana penduduk dan tidak dapat diperbaiki dengan upaya hukum biasa. Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah.  Negara telah berbuat dosa pada penduduknya. Negara dituntut  bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas.  Bentuk pertanggungjawaban itu, ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK,  bukan kepada negara[5]. Dengan demikian dapatlah diartikan, bahwa pemberian hak PK pada terpidana adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara.[6]
           Asas-asas PK perkara pidana dimuat dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, merupakan rumusan yang sudah jelas dan limitatif (lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP), bersifat tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cesat in claris).
           Tidak ada landasan yuridis, filosofis, maupun historis dari pendapat bahwa jaksa berhak mengajukan PK terhadap putusan bebas. Jaksa telah menggunakan sesuatu hak (PK) yang sesungguhnya tidak dimilikinya.
           Penafsiran MA, dengan menerima PK jaksa, sudah berada diluar cara-2 penafsiran yang diperkenankan dan lazim dalam doktrin. MA sudah merubah dan atau menambah norma hukum baru di luar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Oleh sebab itu bukan lagi masuk wilayah interprestasi yang menjadi kewenangan hakim. Melainkan sudah masuk wilayah kewenangan pembentuk UU.
           Tidak dapat dianggap bahwa MA menggali nilai-nilai hukum & keadilan  dalam melanggar prinsip-prinsip dan  dasar filosifi PK.  Menggali nilai hukum dibatasi pada masalah (1) hukumnya belum ada atau (2) hukumnya tidak jelas. Norma hukum PK Pasal 263 Ayat (1) KUHAP telah jelas, pasti, tuntas dan limitatif, merupakan rumusan tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cesat in claris).  Menggali untuk menemukan hukum tidak sama artinya dengan menciptakan / membuat hukum baru, seperti yang dipraktikan MA dengan menambah norma baru ke dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
           Hakim boleh menggali untuk menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan tidak melanggar norma hukum yang sudah berlaku difinitif. Hakim tidak dibenarkan melanggar norma hukum dengan alasan menggali hukum.
          Menggali nilai-nilai hukum harus melalui hukum dengan cara-cara penafsiran yang sudah lazim dalam doktrin dan tidak keluar dari logika. Tidak menggunakan penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversio) atau penafsiran akal-akalan.
           Pertimbangan putusan MA yang menerima permintaan PK jaksa dapat disebut  pertimbangan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, yang dapat diajukan PK oleh terpidana yang semula sudah dibebaskan.
           Pembenaran MA terhadap PK jaksa berdampak buruk dan tidak menguntungkan  penegakan hukum. Tidak ada lagi kepastian hukum mengenai lembaga PK ini. Negara cenderung bertindak sewenang-wenang. Mengacaukan sistem hukum PK yang telah teratur
           Didasarkan pada pertimbangan hukum yang nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma hukum [Pasal 263 Ayat (1) KUHAP].
           Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim, karena jaksa menggunakan suatu hak (PK) yang sesungguhnya tidak dimilikinya. Perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum, dan karenanya putusan yang mengabulkan penggunaan sesuatu hak yang tidak dimilikinya, mestinya batal demi hukum.
           Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur, karena KUHAP tidak mengatur  prosedur pengajuan PK yang diajukan jaksa terhadap putusan bebas atau pelepasan dari tuntutan hukum. KUHAP hanya mengatur prosedur pengajuan PK yang oleh terpidana atas putusan pemidanaan yang tetap saja.
          MA telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara  jelas melanggar kehendak pembentuk UU. Hakim tidak dibenarkan membuat tafsir dengan melanggar kehendak pembentuk UU dan memperkosa maksud dan jiwa undang-undang.[7]   
          MA telah menafsirkan suatu norma diluar cara-cara yang lazim dan  dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran  suatu norma secara bebas, tanpa landasan yuridis, filosofis, historis maupun sosiologis, dan diluar logika hukum. Dapat digolongan pada penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversio).[8]
          MA telah memutuskan sesuatu  yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah.  MA telah menambahkan norma baru dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. MA telah masuk ke wilayah kewenangan pembentuk UU.  [9]
             Oleh karena itu sejak putusan MA pertama yang membenarkan PK jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan tahun 1996, sampai kini masih menjadi masalah besar baik dari sudut praktik hukum maupun teoritisi/akademisi hukum.  Kalangan akademisi seluruhnya menolak penafsiran yang merusak interpretatio est perversio  seperti itu.
G.  PEMBENARAN KASASI BIASA JAKSA ATAS PUTUSAN BEBAS
           Pembenan kasasi jaksa  terhadap putusan bebas, melanggar Pasal 244 KUHAP. Ketentuan yang secara tegas dalam Pasal 244 KUHAP diterobos dengan argumentasi, bahwa terhadap putusan bebas tidak murni dapat diajukan kasasi. Berrmula dari putusan No. 275K/Pid/1983 perkara Raden Senson Natalegawa, yang semula dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 33/1981/Pidana Biasa, yang menurut MA berupa pembebasan yang tidak murni. 
           Dalam dokterin hukum, putusan bebas tidak murni adalah putusan yang amarnya pembebasan yang didsarkan pada pertimbangan hukum lepas dari tuntutan hukum. Setelah putusan itu maka jaksa penuntut umum hampir pasti – selalu melakukan usaha mencoba-coba mengajukan upaya kasasi, dengan alasan putusan yang dilawan adalah merupakan putusan bebas yang tidak murni. Akhirnya menimbulkan kekacauan antara putusan bebas yang murni mana yang menurut doktrin dan putusan bebas mana yang menurut putusan Mahakaha Agung No. 275K/Pid./1983 tersebut. Karena seolah-oleh semua putusan bebas selalu dianggap oleh jaksa merupakan putusan bebas yang tidak murni.
           Sementara menurut putusan MA No. 275/Pid/1983 adalah “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan, dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur perbuatan yang didakwakan, ataupun apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absosult dan relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan  dalam putusan pengadilan, ...[10]
           Sejak putusan RS Natalegawa tersebut,  dalam praktik diartikan bahwa putusan bebas yang tidak dapat dilawan dengan upaya kasasi adalah terhadap putusan bebas murni saja dan terhadap putusan bebas yang tidak murni masih dapat dilawan dengan upaya kasasi biasa. Dalam hal JPU mengajukan kasasi biasa terhadap putusan pembebasan terdakwa, maka ia harus dapat membuktikan melalui uraian dalam memorie kasasinya.  Pertama bahwa putusan pembebasan yang dilawannya itu seharusnya berisi putusan pembebasan yang tidak murni. Kedua, barulah jaksa mengurai dalam analisis hukumnya, bahwa putusan dalam perkara yang dilawan seharusnya penjatuhan hukuman, bukan pembebasan.  Kalau jaksa sekedar hanya bisa membuktikan alasan yang pertama, maka putusan yang akan dijatuhkan MA di tingkat PK adalah amar pelepasan dari tuntutan hukum sesuai dengan perkara yang sebenarnya.
          Kreteria putusan bebas yang tidak murni menurut putusan MA No. 275K/Pid/1983 tidak mudah dimengerti. Menurut hemat penulis bahwa frasa “sebutan tindak pidana  (dalam kalimat “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan...”)  sebagai tidak jelas (oscuur). Oleh sebab itu harus dicari pengertiannya dengan  cara menafsirkan/ditafsir lagi. Untuk itu ada dua cara tafsir yang dapat digunakan terhadap frasa “sebutan tindak pidana”  tersebut, ialah:
         Pertama,  berdasarkan tafsir gramatikal (bahasa) terhadap frasa “sebutan tindak pidana”, adalah diartikan sebagai “kualifikasi tindak pidana” atau nama dari suatu rumusan tindak pidana, misalnya pencurian, pemerasan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya.
                    Sehingga jika diterapkan pengertian dari sudut bahasa ini, maka maksud putusan bebas tidak munri adalah putusan yang mempertimbangkan tindak pidana yang sebutannya lain dari tindak pidana yang sebutannya dalam surat dakwaan. Misalnya mempertimbangkan tentang unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang tidak didakwakan, sementara amarnya membebaskan dari dakwaan pasal pencurian yang didakwakan. Atau menjatuhkan amar putusan pidana terhadap sebutan kualifikasi tindak pidana yang tidak sesuai dengan sebutan tindak pidana dalam pertimbangan hukumnya.  Misalnya dakwaan pencurian yang dibebaskan padahal dasar pertimbanga hukumnya mempertimbangkan tentang penggelapan.
         Kedua, berdasarkan penafsiran sistematis (systematische interpretatie),  artinya bahwa untuk menafsirkan kata/frasa “sebutan tindak pidana  dalam kalimat “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan...”  harus didasarkan kalimat sesudahnya. Karena kalimat yang disebutkan sesudahnya menurut ilmu bahasa memberikan keterangan atau penjelasan terhadap kata/isitilah yang disebutkan sebelumnya dalam rangkaian suatu kalimat tertentu. Dalam hal ini adalah pada kalimat “bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan. Anak kalimat inilah sesugguhnya focus dari pengertian anak kalimat “penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.
           Alasannya ialah pengertian kata pembebasan yang digantungkan terhadap syarat “sebutan tindak pidana pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam surat dakwaan di jelaskan pengertiannya  pada kalimat sesudahnya, ialah bahwa “bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Pengertian ini adalah sama dengan pengertian perkataan bebas dalam Pasal 183 KUHAP yang memenuhi 4 syarat (didasarkan minimal dua alat bukti yang syah, hakim meyakini bahwa benar terjadi tindak pidana, dan yakin terdakwalah yang melakukannya, dan hakim yakin terdakwa dalam hal itu bersalah atau dapat dipersalahkan).
           Penafsiran sistematis inilah yang sesungguhnya yang paling tepat.  Dan inilah yang sesungguhnya harus diterapkan oleh jaksa penuntut umum yang mengajukan kasasi biasa atas putusan pembebasan. Jadi ukurannya lebih jelas, lebih terukur, dari pada umumnya kita dapat membaca dalam memorie  kasasi jaksa penuntut umum, yang susah ditarik simpulannya, karena kabur atau obscuur.  
           Baik menggunakan penafsiran berdasarkan bahasa atau penafsiran sistematis, maka harus dicari dan dianalisis, bahwa dalam putusan terakhir yang dikasasi, benar-benar telah salah dalam menerapkan syarat-syarat putusan bebas yang tidak murni sebagaimana yang penulis maksudkan tersebut di atas. Baik syarat-syarat putusan yang tidak murni  menurut doktrin hukum (yurispridensi lama) maupun syarat-syarat putusan yang tidak murnini menurut putusan MA No. 275K/Pid/1983 kasus RS Natalegawa tersebut.
           Contoh-contoh penyimpangan tersebut, sebaiknya tidak disemunyiakan. Kepada mahasiswa perlu dikemukakan secara objektif. Demiian juga dalam kegiatan sosialisasi kompilasi hukum acara pidana online ini.
           Demikian yang dapat penulis sampaikan dalam forum sosialisasi kompilasi hukum acara pidana online. Pastilah masih banyak kekurangan dan kekhilafan. Tidak ada gading yang tak retak, maka penulis mohon maklum dan maaf atas kekhilafan dan kekurangan yang ada.  Mengngat amat terbatas pengetahuan penulis mengenai hukum acara pidana.
                                                                Kampus FH UB di Malang, 17 Juli 2012.
                                                                 H. Adami Chazawi


KEPUSTAKAAN
-         Adami Chazawi,2010. Hukum Pidana Posisitf Penghinaan, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya
-         Adami Chazawi, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
-         Andi Zainal Abidin, 1997. Opini: “Seputar Peninjauan kembali Perkara Pidana”, Republika Online, Diakses tanggal 23 Nopmber 2009.
-         Martiman Prodjohamidjojo, 1984. Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni (arti dan makana), Penerbit Simplex, Jakarata                                                                    
-         M. Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
-         Otto Cornelis Kaligis, 2008. Miscarriage of Justice dalam Sistem Peradilan Pidana, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Menado Tanggal 8 Nopember 2008.
-         Rusli Muhamad, 2007. Hukum Acara Pidana Kotemporer, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

         
          


                  

          



[1]  Lihat Pasal 5 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
[2]  Adami Chazawi,2010. Hukum Pidana Posisitf Penghinaan, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya, halaman 267.
[3]  Lihat  Instruksi Menteri Tenga Kerja No.: INS.05/M/BW/1987, yang antara lain dikatakan bahwa: …… “pelangaran-pelanggaran yang telah diberikan Nota pemeriksaan, tetapi tidak dipenuhi, perlu tindak ljut dengan Beria Acara Projustitia”. Maknanya dari ketentuan tersebut adalah bahwa si pelanggar UU Tenagakerjaan yang memenuhi dugaan tindak pidana, tidak serta merta di lakukan penyidikan, namun diberi Nota peringatan dulu I.II dan III dalam tahap-tahap yang pantas. Apabila tidak dipenuhi barulah Pegawai Pengawas ketenagakerjaan meningkatkan kasus itu ke tingkat penyidik. Dan dalam hal ini, setelah diperingatkan dapat menyerahkan penyidikannya pada penyidik kepolisian sesuai Pasal 14 huruf g UU No. 2/2002 Tentang Kepolisian RI. Dalam Surat Edaran menteri Tenaga kerja No. SE.7/M/BW/BP/87 Tentang petunjuk pelaksanaan Instruksi Mentranker  tersebut di atas pada Pasal 1 huruf d berbunyi “Pelanggaran-pelanggaran yang telah diberikan Nota pemeriksaan, tetapi tidak dipenuhi dalam batas waktu yang ditetapkan, maka perlu tindak lanjut denan dibuatnya Berita Acara Projustisa”.
[4]  Lihat Pasal  59 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
[5]  Bandingkan dengan  M Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta, halaman 1200. Bandingkan pula dengan H. Rusli Muhamad, 2007. Hukum Acara Pidana Kotemporer, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 287.
[6]  Adami Chazawi, 2010. Lembaga Peninjauan kembali (PK) Perkara Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, halaman 8.
[7]  Logemann dikutip oleh Andi Zainal Abidin, 1997. Opini: “Seputar Peninjauan kembali Perkara Pidana”, Republika Online, Diakses tanggal 23 Nopmber 2009.
[8]  Lihat Otto Cornelis Kaligis, 2008. Miscarriage of Justice dalam Sistem Peradilan Pidana, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Menado Tanggal 8 Nopember 2008.
[9]   Adami Chazawi, Op.cit., halaman 46.
[10]  Dikutif dari Martiman Prodjohamidjojo, 1984. Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni (arti dan makana), Penerbit Simplex, Jakarata, halaman 73.