Selasa, 27 Maret 2018

Aspek Perdata & Pidana Pengelolaan RS




ASPEK PERDATA &  PIDANA
PELAYANAN KESEHATAN
OLEH RUMAH SAKIT[1]
---------
A.    PENDAHULUAN   (2)
B.     HUBUNGAN HUKUM RUMAH SAKIT DENGAN TENAGA MEDIS  (5)
C.    HUBUNGAN HUKUM RUMAH SAKIT & TENAGA MEDIS DENGAN PASIEN (7)
D.    MALPRAKTIK TENAGA MEDIS   (13)
1.      Hubungan Hukum Rumah Sakit dan Tenaga Medis dengan Pasien Membentuk Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik  (13)
2.      Hubungan Hukum Perdata  Rumah Sakit dan Tenaga Medis  dapat Membentuk Pertanggungjawaban Pidana  (20)
3.      Malpraktik Pidana Tenaga Medis  (21)
a.        Kelalaian Malpraktik Tenaga Medis   (23)
b.      Akibat Kerugian oleh Malpraktik Tenaga Medis  (27)
E.     KESIMPULAN (29)


A.    PENDAHULUAN
           Rumah sakit sebagai institusi, korporasi, atau badan baik yang berbentuk badan hukum (RS swasta) maupun tidak  (RS Pemerintah), tugas dan fungsinya memberikan pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya. Mengenai hal ini, dapat dilihat dari kenyataan beroperasinya Rumah Sakit.  Dalam hal ini tidak ada perbedaan. Kiranya perbedaan itu, Rumah Sakit yang berbadan hukum sedikit atau banyak bertujuan profit, mencari keuntungan materiil. Dari tujuan sampingan ini, maka dapat dimengerti jika sebuah Rumah Sakit (Rumah Sakit privat) menentukan pembayaran uang muka terlebih dulu sebelum perawatan (umumnya rawat inap) dilakukan. Kiranya pembayaran uang muka ini, tidak dapat diberlakukan secara umum. Rumah Sakit dilarang memungut uang muka pada pelayanan gawat darurat.[2]
          Sebagai subjek hukum, Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas dan fungsinya  dalam melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat, tunduk pada hukum; mulai hukum administrasi kesehatan, hukum perdata sampai hukum yang bersanksi pidana. Hukum administrasi rumah sakit mengatur hubungan hukum publik antara Rumah Sakit dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Hukum perdata mengatur hubungan hukum (bersifat privat) aktifitas Rumah Sakit dengan masyarakat. Sementara hukum pidana (bersifat publik) mengatur hubungan hukum aktifitas Rumah Sakit dengan kepentingan umum (masyarakat).
            Dalam lalu lintas hubungan hukum, hukum perdata mengatur hubungan hukum aktifitas Rumah Sakit dengan masyarakat tersebut,  khusunya tunduk pada hukum perikatan (Buku ketiga BW). Hukum pidana pada dasarnya merupakan hukum yang mengatur tentang larangan perbuatan dalam melaksanakan hubungan hukum subjek hukum ic Rumah Sakit serta orang-orang yang menjalankan aktifitas subjek hukum tersebut yang bersanksi pidana. Ciri pokok hukum pidana dalam pengertian ini, yakni perbuatan yang bersangksi pidana.
           Dalam hal melaksanakan hubungan hukum perdata (pelayanan kesehatan masyarakat)  Rumah Sakit dengan masyarakat, sebagai suatu badan bertanggungjawab penuh terhadap semua aktifitas Rumah Sakit beserta akibatnya. Sementara dalam melaksanakan hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan yang bersifat publik, khususnya aktifitas pelayanan kesehatan yang melanggar hukum yang bersanksi pidana, pertanggungjawaban diletakkan pada Rumah Sakit mengenai pengggantian kerguian keperdataan; dan diletakkan pada orang-orang yang wujud perbuatannya (konkret) melahirkan bentuk-bentuk tindak pidana tertentu. Bentuk perbuatan yang disebut terakhir ini, sering disebut dengan malpraktik tenaga medis/dokter.
           Dapat dimengerti, jika Rumah Sakit dalam aktifitas pelayanan kesehatan, karena salah langkah menjadi malpraktik tenaga kesehatan/dokter. Karena tugas-tugas pelayanan kesehatan yang berkaitan langsung dengan upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan berada ditangan tenaga medis. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan pertanggungjawaban pribadi, yakni pada orang yang in concreto mewujudkan perbuatan yang dilarang hukum pidana. Orang yang berbuatlah yang bertanggungjawab atas timbulnya tindak pidana, meskipun dalam sebagian kecil hukum pidana khusus mengenal juga pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun konsep yang disebutkan terakhir belum jelas benar, banyak kelemahan dan sukar dijelaskan.
            Malpraktik sebagai pengertian harfiah, penyimpangan dalam menjalankan suatu profesi dari sebab kelalaian, dapat terjadi dalam lapangan profesi apapun, seperti advokat, akontan dan bisa jadi pada profesi wartawan. Terhadap mewujudkan perbuatan bisa terjadi sebab kesengajaan, namun tidak terhadap akibat.   Ada standar umum bagi kelakuan malpraktik khususnya malpraktik dokter dari sudut hukum yang dapat membentuk pertanggungjawaban hukum, khususnya hukum pidana. Standar umum itu menyangkut tiga aspek sebagai kesatuan yang tak terpisahkan, ialah aspek perlakuan medis, aspek sikap batin pembuat, dan aspek akibat dari perlakuan. Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah malpraktik, tidak terhadap tiga aspek pokok tersebut melainkan terhadap isin  dan syarat-syarat keberadaannya              
          Untuk  memahami malpraktik – pengertian dan isinya serta akibat hukum bagi pembuatnya, haruslah memahami secara utuh  perihal tiga aspek pokok malpraktik tersebut.
           Perlakuan medis yang dapat terjadi dalam malpraktik tenaga kesehatan, bisa pada pemeriksaan, cara pemeriksaan, alat yang dipakai pada pemeriksaan, menarik diagnosa atas fakta hasil pemeriksaan, wujud perlakuan terapi, maupun perlakuan menghindari akibat kerugian dari salah diagnosa dan salah terapi (perlakuan setelah terapi).
           Aspek sikap batin pembuat dalam malpraktik, menggambarkan hubungan batin pembuat dengan: wujud perbuatan; pada sifat melawan hukumnya perbuatan;  pada objek perbuatan; maupun pada akibat perbuatan.
         Sikap batin pada perbuatan bisa dengan kesengajaan, yang artinya dalam hal mewujudkan perbuatan dikehendaki dokter. Misalnya memberikan suntikan streftomicyn pada pasien yang menyebabkan pasien meninggal karena tidak tahan terhadap obat tersebut. Terhadap perbuatan memberikan suntikan dilakukan dengan sengaja, namun sikap batin terhadap kewajiban untuk mengetahui keadaan daya tahan pasien (objek perbuatan)  lalai.   Sebaliknya bisa juga sikap lalai terhadap perbuatan. Misalnya tidak mengangkat corpuis allenioum yang tertinggal pada kista ovaria[3] yang seharusnya diangkat sebelum menjahit menutup luka pembedahan. Sikap batin yang demikianlah sebagai dasar  membentuk pertanggungjawaban hukum pidana.
            Aspek akibat haruslah akibat yang merugikan pasien, baik mengenai badan, kesehatan fisik, psikis maupun nyawa pasien. Akibat ini haruslah berupa akibat yang tidak dikehendaki, inilah ciri akibat dari suatu perlakuan culpa.
           Dari sudut hukum pidana, pada saat ini untuk mengukur suatu perlakuan medis dari seorang tenaga medis apakah  telah masuk pada malpraktik yang membentuk pertanggungjawaban hukum masih secara kompensional pada dua pasal, yakni 359 dan 360 KUHP. Baik aspek wujudnya perlakuan, sikap batin pembuat maupun akibat haruslah diukur dari unsur kedua pasal tersebut. Dengan berkembangnya teknologi kesehatan harus pula menyesuaikan dengan kedua pasal itu apabila timbul masalah malpraktik pidana. Nampaknya kriteria hukum pidana dalam kedua pasal itu akan tetap sebagai pegangan bagi praktisi hukum dalam menyelesaikan kasus dugaan malpraktik dokter dari sudut hukum pidana.
           Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter pada pasien didasari oleh suatu ikatan atau hubungan dalam  perjanjian apa yang disebut dengan inspanings verbentenis[4]. Dalam inspanings verbentis, kewajiban hukum dokter adalah berupa kewajiban berusaha sekeras-kerasnya dan sungguh-sungguh untuk berbuat (perlakuan) pengobatan atau penyembuhan atau pemulihan kesehatan pasien, yang  kewajiban sungguh-sungguh itu mengandung sekaligus kewajiban perlakuan yang benar, sesuai standar kedokteran, standar prosedur dan sesuai kebutuhan medis pasien.  
           Perlakuan yang tidak benar menjadikan suatu pelanggaran perjanjian (wanprestasi) dan bila menimbulkan kerugian (materiil dan moril)  merupakan  perbuatan melawan hukum (onrerchtmatige daad).   Karena hubungan ini berada dalam suatu kerangka perikatan hukum (perdata) maka perlakuan dokter pada pasien membentuk pertanggungjawaban perdata.


B.     HUBUNGAN HUKUM RUMAH SAKIT DENGAN TENAGA MEDIS

           Apa yang dimaksud dengan hubungan hukum (rechtsbetrekking) adalah hubungan antar dua atau lebih subjek hukum atau antar subjek hukum dan objek hukum yang berlaku di bawah kekuasaan hukum,[5] atau diatur hukum dan mempunyai akibat hukum. Hubungan hukum antara kedua subjek hukum membentuk hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban dan hak hukum  inilah terletak beban pertanggunganjawaban hukum, baik dari sudut perdata, pidana, maupun administrasi bagi subjek hukum.
            Dalam hukum kesehatan, Rumah Sakit didefinisikan (oleh UU), adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.[6] Batasan ini dirumuskan atas dasar  tugas dan kegiatan Rumah Sakit. [7]
          Rumah Sakit merupakan suatu institusi, badan atau korporasi yang bagi Rumah Sakit swasta berbentuk badan hukum.[8]  Dari sudut kedudukan hukumnya, Rumah Sakit dibedakan antara Rumah Sakit yang berbentuk badan hukum (swasta), dan yang tidak berbadan hukum yakni Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah[9]. Baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak, sebagai institusi, badan atau korporasi  - merupakan subjek hukum – pendukung hak dan kewajiban hukum, melakukan kegiatan dalam usahanya mencapai tujuan sebagai mana subjek hukum orang. Perbedaan korporasi yang berbadan hukum (rechts persoon) dalam pengertian perdata, disebut korporasi atau badan dalam arti sempit. Sementara korporasi dalam pengertian hukum pidana, merupakan korporasi dalam arti luas, yaitu korporasi yang berbadan hukum maupun tidak. Karena itu subjek hukum badan hukum lebih sempit dari pada pengertian subjek hukum korporasi.
            Sebagai suatu korporasi, instutisi atau badan, Rumah Sakit baik yang berbadan hukum (rechtspersoon) maupun tidak pada kenyataannya menjadi  subjek hukum yang kedudukannya dianggap sama dengan subjek hukum orang (naturlijk persoon). Dianggap sama dari sudut - sama sebagai pendukung hak dan kewajiban hukum.  Meskipun sama pendukung hak dan kewajiban, tetapi tidak sama persis.  Korporasi tidak mempunyai rasa, karena itu tidak dikenal penghinaan terhadap badan, seperti penghinaan terhadap Rumah Sakit.
          Meskipun sama sebagai pendukung hak dan kewajiban hukum, namun ada batas-batas tertentu. Seperti subjek hukum dalam perkara pidana, korporasi tidak mungkin dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dengan menjatuhkan pidana (straf) yang sifatnya mengandung penderitan – seperti subjek hukum orang. Setiap pidana yang dijatuhkan pada si pembuat, pasti mengandung rasa penderitaan. Sementara  badan tidak memiliki perasaan apapun. Meskipun dalam beberapa hukum pidana khusus di Indonesia menganut pertanggungjawaban pidana korporasi, seperti hukum korupsi, pencucian uang dan lain-lain. Toh pada akhir dan ujung-ujungnya tetap juga menjadi beban subjek hukum orang yang menjalankan atau mewakili badan hukum tersebut. Oleh sebab itu, sesungguhnya berlebihan memasukkan pertanggunganjawaban  pidana korporasi yang sifatnya “fiksi” belaka  ke dalam hukum pidana.
        Korporasi merupakan benda mati, yang tidak berkemauan, tidak mempunyai jiwa, tidak memiliki perasaan dan tidak dapat bergerak atau beraktifitas sendiri.  Melainkan digerakkan atau diwakili  oleh subjek hukum orang (natuurlijke persoon) atau sekelompok orang. Dalam sebuah Rumah Sakit, orang-orang ini terdiri dari tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga managemen Rumah Sakit, dan tenaga non kesehatan.[10] Orang-orang ini serentak beraktifitas masing-masing dengan sebaik-baiknya sesuai dengan fungsi dan kedudukannya menuju satu titik yaitu penyembuhan/pemulihan kesehatan pasien.   Meskipun keadaan sembuh/pulihynya kesehatan pasien tersebut, bukan menjadi tanggung jawab Rumah Sakit dan dokter.  Tidak pulihnya kesehatan bahkan kematian pasien tidak dapat dituntut, selama perbuatan dalam perlakuan medis tidak mengandung sifat melawan hukum. Karena prestasi dokter dan Rumah Sakit dalam kontrak terapeutik adalah perlakuan medis dengan sebaik-baiknya, bukan kesembuhan/pulihnya kesehatan.
            Orang-orang ini beraktifitas tidak atas nama pribadinya/dirinya sendiri melainkan selalu dalam hubungannya dengan korporasi yang menjadi wadah atau tempat melaksanakan tugas-tugas professional (kewajiban dan haknya) masing-masing sesuai dengan posisi/kedudukannya dalam korporasi tersebut. Namun oleh karena, fungsi dan tugas korporasi Rumah Sakit - memberikan jasa kesehatan, dimana jasa kesehatan tidak mungkin bisa dijalankan tanpa ada orang yang disebut tenaga medis: dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis.[11]  Oleh karena itu, dapat diterima praktik hukum selama ini yang cenderung melirik dan menarik dokter kedalam persoalan konflik hukum antara Rumah Sakit dengan pasien, lebih-lebih jika konflik itu diduga telah  memasuki arena hukum pidana.
           Rumah Sakit sebagai korporasi atau badan mempunyai hubungan hukum dengan orang-orang yang menggerakkannya, hubungan ini baik yang tunduk pada peraturan perundang-undangan maupun internal Rumah Sakit. Dari sudut hukum perdata, khusunya di Rumah Sakit Swasta pada dasarnya hubungan hukum itu di dasarkan pada hukum perjanjian kerja (arbeidsovereenskomst), suatu bentuk perjanjian yang tunduk pada Pasal 1601 BW berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan menerima upah. Syarat-syarat demikian dapat dituangkan dalam deskripsi tugas yang dibuat Rumah Sakit selaku pihak yang memberi pekerjaan yang mengikat para tenaga kesehatan dan non kesehatan, serta tenaga managemen  Rumah Sakit.[12]  

C.    HUBUNGAN HUKUM RUMAH SAKIT DAN TENAGA MEDIS  DENGAN PASIEN 
           Hubungan hukum Rumah Sakit dan tenaga medis/dokter dengan  pasien dari sudut perdata berada dalam suatu kerangka perikatan hukum. Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua atau lebih subjek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau  memberikan sesuatu (1313 jo 1234 BW). Sesuatu disebut prestasi. Untuk memenuhi prestasi yang pada dasarnya adalah suatu  kewajiban hukum bagi para pihak yang membuat perikatan hukum (pada perikatan hukum timbal balik).
          Bagi pihak Rumah Sakit dan dokter, prestasi berbuat sesuatu adalah kewajiban hukum untuk berbuat dengan sebaik-baiknya dan secara maksimal (perlakuan medis) untuk kepentingan kesehatan pasien, dan kewajiban hukum untuk tidak berbuat salah atau keliru dalam perlakuan medis. Singkatnya adalah kewajiban untuk pelayanan kesehatan pasien dengan sebaik-baiknya. Malpraktik tenaga medis ic dokter dari sudut perdata terjadi  apabila perlakuan salah tenaga medis dalam hubungannya dengan pemberian prestasi menimbulkan kerugian keperdataan, diatur atau ditentukan dalam hukum perdata.  Kerugian perdata bisa jadi sekaligus masuk ke dalam kerugian yang diakibatkan oleh malpraktik pidana – merupakan tindak pidana tertentu.  Kerugian yang murni perdata, adalah kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan tenaga medis di Rumah Sakit atau pribadi sekedar masuk wilayah perbuatan melawan hukum perdata[13] (onrechtmatige daad), atau cedera janji[14] (wanprestasi), atau zaakwarneming.[15]
         Meskipun pada dasar dan mulanya hubungan Rumah Sakit dan dokter dengan pasien, berada dalam kerangka hubungan perdata. Namun dari hubungan keperdataan ini terbuka dan sangat mungkin, bilamana dalam usaha pelayanan kesehatan pasien menimbulkan akibat kerugian/derita yang menjadi unsur tindak pidana tertentu akan masuk ke wilayah hukum pidana (dibelakang akan dibicarakan lebih jauh).
          Perikatan hukum lahir oleh 2 (dua) sebab atau sumber, yang satu oleh suatu kesepakatan (Pasal 1313 BW) dan yang lainnya oleh sebab UU (Pasal 1352 BW).  Hubungan hukum Rumah Sakit dan dokter dengan pasien berada dalam kedua jenis perikatan hukum tersebut. Pelanggaran kewajiban hukum Rumah Sakit dan dokter dalam perikatan hukum karena kesepakatan membawa suatu keadaan wanprestasi. Pelanggaran hukum terhadap  kewajiban hukum  karena UU membawa suatu keadaan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan zaakwarneming  (Pasal 1354 BW) dimana kedua-duanya membeban pertanggungan jawab penggantian kerugian.
          Beban pertanggungjawaban  akibat wanprestasi lebih luas dari perbuatan melawan hukum, karena dari Pasal 1236 juncto 1239 BW, selain penggantian kerugian pasien juga dapat menuntut biaya dan bunga..
           Tidak menjadi sembuhnya pasien,  bukan merupakan alasan wanprestasi  oleh Rumah Sakit dan atau dokter, karena hubungan antara keduanya bukan hubungan yang memuat kewajiban hukum yang ditujukan pada hasil penyembuhan, melainkan kewajiban untuk perlakuan medis (penyembuhan) dengan sebaik-baiknya,  (seperti tidak salah langkah atau salah prosedur, sesuai dengan kebutuhan medis) dan secara maksimal berdasarkan disiplin kedokteran. Hubungan hukum yang demikian didasarkan pada kepercayaan (saling percaya) antara kedua belah pihak. Karena itulah bentuk perikatan hukum dokter pasien termasuk perikatan kepercayaan (inspannings verbentenis).
          Tenaga Medis dan Rumah Sakit boleh dituntut cedera janji (wanprestasi), bila prestasi untuk berbuat dalam pelayanan kesehatan dilakukan tidak dengan sebaik-baiknya dilanggar; misalnya tidak sesuai prosedur oprasional atau tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien. Padahal prestasi dokter adalah berbuat dengan sebaik-baiknya. Sementara itu dari sudut perbuatan melawan hukum (Pasal 1356 BW), perlakuan medis yang tidak sesuai prosedur dan diluar kebutuhan medis pasien, dinilai mengandung sifat melwan hukum perdata, dan merugikan pasien. Sehingga dalil tuntutan terhadap tenaga kesehatan yang lalai, yang berakibat merugikan pasien sedikit  berbeda. Sementara yang dituntut – sama, ialah penggantian kerugian. Baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum tenaga kesehatan tersebut, kedua-duanyamasuk pada kualifikasi malpraktik perdata.
          Lain sifatnya dengan malpraktik pidana, meskipun mengandung sama akibat kerugian pasien. Dalam hal malpraktik pidana, akibat dari pelanggaran dokter tadi – masuk dan menejadi unsur tindak pidana tertentu.
         Demikianlah perbedaan dan sekaligus persamaan antara malpraktik perdata dan malpraktik pidana.
           Penyembuhan atau pemulihan kesehatan bukanlah suatu kewajiban hukum Rumah Sakit dan dokter, melainkan suatu kewajiban moral dan etika belaka, yang akibatnya bukan sanksi hukum, tetapi  sanksi moral dan sosial.  Jadi, sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan secara benar dan patut tidak mengandung sifat melawan hukum bentuk apapun, tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan – tidaklah melahirkan malpraktik  dari sudut hukum.
             Namun apabila setelah perlakuan medis - terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan (tanpa penyembuhan) atau bisa jadi lebih parah  sifat penyakitnya,  oleh sebab perlakuan medis yang mengandung sifat melawan hukum (perdata atau pidana), maka dokter dapat berada dalam keadaan malpraktik. Tentu dengan syarat, ialah tidak sembuh atau lebih parah  penyakit pasien setelah perlakuan medis,  dua keadaan itu benar-benar sebagai akibat langsung (causal verband) dari salah perlakuan medis. Jika syarat ini ada, maka dokter telah berada dalam keadaan malpraktik, karenanya pula pasien berhak menuntut penggantian kerugian (materiil dan imateriil) atas kesalahan perlakuan medis tersebut. Dalam hal apabila akibat lebih parah penyakitnya sampai akibat tertentu yang memenuhi kreteria hukum pidana (Pasal 359 atau 360 KUHP) bisa jadi membentuk pertanggungjawaban pidana, yang wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja,  akan tetapi boleh jadi pemidanaan (straf). 
           Kesepakatan dalam perikatan hukum Rumah Sakit dan dokter dengan pasien timbulnya secara diam-diam dan lebih bersifat kepercayaan, dan adalah tidak wajar kesepakatan itu dibuat bentuk tertulis apalagi otentik. Bukan berarti tidak boleh dibuat secara tertulis bahkan dalam bentuk akta otentik sekalipun. Ketidakwajaran itu hanya karena hubungan dokter – pasien didasari hubungan kepercayaan belaka, disamping itu tidak praktis – terlalu mengada-ada – tidak berguna dan sangat birokratis. Padahal penanganan medis terhadap pasien harus segera dilakukan.
           Kecuali dalam pelayanan medis tertentu yang sangat berisko disarankan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang dalam praktik  sekedar dimintakan persetujuan pada pasien atau keluarga yang terdekat. Persetujuan semacam itu tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenaran perlakuan medis yang menyimpang. Menyimpang artinya mengandung sifat melawan hukum di dalamnya. Persetujuan pasien atau keluarganya hanya sekedar membebaskan resiko hukum bagi timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dalam hal perlakauan medis yang benar dan tidak menyimpang.
              Meskipun ada persetujuan semacam itu, bahkah pasien  termasuk keluarga mengikhlaskan sekalipun,  apabila perlakuan medis mengandung sifat melawan hukum,  menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki, misalnya cacat fisik atau cacad psikis atau kematian,  dokter juga tetap terbebani tanggung jawab  terhadap akibatnya, terutama dari sudut hukum pidana. Penegak hukum dibenarkan untuk mengabaikan begitu saja sikap ikhlas dari pasien dan/atau keluarganya.  
            Hubungan hukum dokter – pasien, terbentuk karena kesepakatan. Pada dasarnya kesepakatan terbentuk pada saat pasien menghadap dokter (baik praktik pribadi maupun paraktik di Rumah Sakit). Logika hukumnya, ialah  dokter yang berpraktik ialah telah melakukan penawaran umum (openbare aanbod)  untuk memberikan jasa pelayanan medis – sebagai syarat pertama dari terbentuknya kesepakatan. Lebih luas - dalam kerangka pelayanan kesehatan oleh Rumah Sakit. Setelah berdirinya Rumah Sakit, diresmikan dan beroperasi, dari sudut hukum perdata telah melakukan penawaran umum kepada masyarakat. Pada dasarnya perbuatan pasien yang datang ke Rumah Sakit menghadap untuk dilayani merupakan   wujud dari penerimaan penawaran tersebut.
           Namun demikian dalam kerangka kontrak terapeutik, setelah berlakunya UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran jo UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan;  terdapat kententuan khusus (merupakan lex spesialis) dari hukum kontrak dalam hukum perdata (BW) sebagai lex generalis. Oleh sebab keberadaan UU tersebut, dimana di dalamnya terdapat ketentuan tegas tentang kewajiban dokter/tenaga medis  sebelum melakukan pemeriksaan dan terapi bentuk apapun terhadap pasien, untuk mendapatkan persetujuan lebih dulu tentang tindakan kedokteran  yang akan dilakukan pada pasien.[16] Persetujuan pasien tersebut baru sah dan mempunyai kekuatan hukum (mengikat kedua belah pihak) setelah terlebih dulu dokter memberikan penjelasan yang cukup - setidak-tidaknya tentang: diagnosa dan cara tindakan medisnya; tujuan dari tindakan medis tersebut; alternatif tindakan medis lain dan resikonya; resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan medis yang akan dilakukan.[17]
         Oleh karena terdapatnya ketentun lex spesialis dalam hukum kontrak terapeutik tersebut, maka kedatangan dan menghadapnya pasien ke Rumah Sakit atau dokter yang praktik, belum dapat dianggap sebagai terjadinya kesepakatan sebagai syarat lahirnya sebuah kontrak, melainkan harus dianggap sebagai indikator adanya kehendak yang kuat untuk diberikan pelayanan medis, yang belum mengikat kedua belah pihak. Sementara pemberian penjelasan pada pasien (yang menjadi kewajiban dokter) harus dianggap sebagai  bentuk penegasan dari penawaran umum (openbare  aanbod), baik dokter praktik pribadi maupun dokter praktik di Rumah Sakit.
         Pemberian penjelasan terlebih dulu pada pasien merupakan hak pasien. Bila di langgar dapat dituntut oleh pasien. Persoalan seperti ini bisa jadi dianggap biasa-biasa saja (sepele) bagi dokter dan pasien.  Keadaan seperti ini bisa terjadi dalam hal pasien yang banyak dan sangat banyak dalam waktu yang sama meminta pelayanan kesehatan. Sehingga dokter menjadi lalai menjelaskan segala sesuatu yang dikehendaki oleh UU tersebut. Apabila karena kelalaian itu, pasien tidak mengerti misalnya resiko yang akan terjadi. Ternyata resiko itu benar-benar terjadi yang oleh pasien dianggap membawa kerugian kesehatan bagi dirinya, yang semula tidak diberikan penjelasan oleh dokter; dapat menjadi konfilik. Digunakan oleh pasien sebagai alasan menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 BW. Tititk pelanggaran dokter, terletak pada perbuatan (pasif) tidak memberikan penjelasan mengenai resiko tersebut.
        Setelah penjelasan  tersebut diatas diberikan oleh dokter, pasien kemudian memberikan persetujuan, baik secara tegas maupun secara diam-diam. Tidak mengambil sikap menolak secara tegas, harus dianggap pasien telah menyetujui secara diam-diam. Yang penting kewajiban dokter untuk memberikan penjelasan terlebih dulu telah dilakukan. Sementara persetujuan pasien, cukup dengan diam-diam dan sikap pasrah saja. Kecuali bila pasien dengan tegas menolak, namun dokter tetap melakukannya., tentu dokter tetap bertanggung jawab terhadap akibatnya.  
         Setelah persetujuan diberikan oleh pasien, barulah terbentuk kontrak terapeutik yang mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi kedua belah pihak.
           Dalam hubungan hukum perikatan memuat hak-hak dan kewajiban hukum para pihak secara umum yang berlaku bagi dokter dan pasien – meskipun  tidak dibuat secara formal tertulis apalagi otentik. Pelaksanaan kewajiban hukum dibayangi oleh adanya resiko, berupa sanksi – mulai dari yang ringan sampai yang terberat, yang bersifat moral kemasyarakatan sampai hukum (administrasi, perdata dan pidana). Bagi dokter kewajiban perlakuan medis secara umum artinya harus sesuai standar umum medis (standar profesi dan standar prosedur operasional)  dan sesuai dengan kebutuhan medis pasien, meskipun pasien tidak mengerti isi standar perlakuan dan kebutuhan medisnya. Pelanggaran terhadap standard umum merupakan salah satu aspek dari malpraktik dokter.  Sifat melawan hukumnya malpraktik pidana terletak pada pelanggaran standar tersebut.


D.  MALPRAKTIK TENAGA MEDIS

1.      Hubungan Hukum Rumah Sakit dan Tenaga Medis dengan Pasien Membentuk Pertanggungjawaban Hukum dalam Malpraktik.
            Rumah Sakit sebagai suatu subjek hukum - korporasi/badan (berbadan hukum/rechtspersoon)   tidak dapat bergerak sendiri, melainkan digerakkan oleh subjek hukum orang (natuurlijke persoon) atau sekelompok orang. Orang-orang ini terdiri dari tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga managemen Rumah Sakit, dan tenaga non kesehatan.[18]  Orang-orang ini beraktifitas tidak atas nama pribadinya/dirinya sendiri melainkan selalu dalam hubungannya dengan korporasi yang menjadi wadah atau tempat melaksanakan tugas-tugas professional (kewajiban dan haknya) masing-masing sesuai dengan posisi/kedudukannya dalam korporasi tersebut.
           Prinsip pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan pada pribadi si pembuatnya. Hanya orang saja yang dapat melakukan wujud perbuatan, meskipun ada kalanya perbuatan itu dilakukan dalam rangka  melaksanakan profesi (pekerjaan/tugas) atas nama sebuah korporasi.  
             Oleh sebab itu korporasi Rumah Sakit tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Jika tenaga medis, misalnya dokter atau dokter gigi  yang mengikatkan dirinya pada sebuah Rumah Sakit,  melakukan wujud perbuatan tertentu  dalam pemeriksaan, dalam usahanya mencari dan mendapatkan fakta-fakta medis diri pasien (objek perbuatan) untuk menarik simpulan-simpulan, seperti jenis penyakit, tingkatan penyakitnya, cara-cara menyembuhkan penyakit, dan pelaksanaan simpulan berwujud terapi.   Dalam rangkaian perbuatan tadi  bisa jadi terdapat satu atau lebih wujud perbuatan yang dapat disalahkan (dari sudut hukum),  dan karena itu menimbulkan kerugian/derita pasien dapat terjadi “malpraktik”. 
           Rumah Sakit sebagai sebuah korporasi tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana seperti layaknya orang, kecuali ditentukan secara khusus (lex specialis).  Namun terbatas pada jenis pidana mengenai harta kekayaan, misalnya pidana denda.  Tidak mungkin pidana hilang kebebasan/kemerdekaan bergerak atau pidana bersifat penghilangan nyawa orang. Pertangungjawaban pidana pada korporasi hanya mungkin pada jenis-jenis pidana yang tidak bersifat demikian. Namun harus tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan baik mengenai  jenis tindak pidananya maupun jenis sanksi pidananya.   Korporasi hanya dapat dibebani pidana denda jika ditentukan secara khusus, atau boleh dijatuhi pidana tambahan seperti pencabutan hak-hak tertentu, atau pidana yang bersifat administratif, seperti pencabutan ijin usaha atau ijin pendiriannya dan lain-lain.[19]
         Dalam hukum pidana sekarang (modern) pertanggungjawaban pidana bagi sebuah korporasi  juga berlaku pada sebagian tindak pidana (khusus) di Indonesia.  Namun pada ujung-ujungnya tetap dibebankan kepada orangnya, yakni pada pengurusnya, atau orang yang berkualitas/berkedudukan tertentu. Misalnya tindak pidana korupsi,[20] pencucian uang[21],  narkotika[22], psikotropika[23], dan lain-lain.
           Sementara itu dalam hal korporasi  Rumah Sakit,  beban pertanggungjawaban pidana korporasi (vicarious lability) terbatas pada tindak pidana penyelenggaraan Rumah Sakit tanpa ijin dalam Pasal 63 UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Namun tetap terbatas pada pidana denda saja, yang dapat dijatuhkan kepada pengurusnya maupun korporasinya. Diluar tindak pidana Pasal 63 UU No. 44 Tahun 2009, apabila tenaga medis dalam melaksanakan profesinya di sebuah Rumah Sakit dalam hubungannya dengan pekerjaan (diensverband) dimana tempatnya bekerja, melakukan wujud perbuatan tertentu pada pasien yang terbukti memenuhi kriteria malpraktik, selama perbuatannya tidak terdapat alasan pemaaf atau alasan pembenar (dalam UU maupun di luarnya), pertanggungjawaban pidana akan ditimpakan pada tenaga medis tersebut.
            Disamping tenaga medis/dokter  pribadi yang berbuat, Rumah Sakit (dapat) pula dibebani pertanggungjawaban yang bersifat perdata. Keadaan ini dapat terjadi  dalam hal apabila timbul “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata (BW), atau cedera janji (wanprestasi) berdasarkan Pasal 1236 jo 1239  BW. Dalam setiap tindak pidana termasuk malpraktik pidana, di dalamnya sekaligus terdapat perbuatan melawan hukum perdata. Sifat melawan hukumnya perbuatan dalam tindak pidana melekat pada perbuatan (daad)  dalam onrechtmatige daad  pada setiap  terwujudnya tindak pidana.  Timbulnya perbuatan melawan hukum tidak selalu terjadi tindak pidana. Tetapi setiap tindak pidana yang membawa kerugian bagi korban, selalu terdapat perbuatan melawan hukum di dalamnya.
            Dalam tulisan sederhana ini, penulis mencoba memberikan batasan mengenai malpraktik dokter,  “adalah dokter atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau lalai melakukan perbuatan (aktif maupun pasif) dalam pelayanan kesehatan[24] pada pasiennya di segala tingkatan  yang mengandung sifat melawan hukum dan menimbulkan akibat kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik dan jiwa, atau nyawa pasien; dan oleh karena itu membentuk pertanggungjawaban hukum bagi pembuatnya”. 
           Dalam perlakuan medis pada pasien yang membentuk pertanggungjawaban hukum (pidana, perdata atau administrasi) harus mengandung sifat melawan hukum dan terdapatnya  kesalahan dalam perlakuan. Antara kesalahan perlakuan dengan sifat melawan hukum dapat dibedakan, namun antara keduanya merupakan satu-kesatuan yang bulat, tidak terpisahkan sebagai syarat esensial untuk membebankan pertanggungjawaban hukum terhadap tenaga  medis yang menimbulkan akibat kerugian/derita pasien . Sifat melawan hukum melekat pada perbuatannya.  Sementara kesalahan melekat pada batin pelakunya. Oleh kedua keadaan tersebutlah yang dapat menyebabkan timbul beban pertanggungjawaban hukum  pada tenaga medis yang bersangkutan.  
           Seberapa berat serta jenis beban pertangungjawaban hukum yang wajib dipikul oleh tenaga medis  yang salah langkah tadi, bergantung pada sifat dari pelanggaran dan berat ringannya akibat, serta akibat itu ditentukan/diatur dalam hukum perdata atau hukum pidana ataukah cukup hukum administrasi.
           Sifat melawan hukumnya perbuatan dalam perlakuan medis (dokter)  pada pasien, terletak pada bermacam-macam faktor (sebab). Dilanggarnya standar profesi kedokteran, dilanggarnya standar prosedur operasional (prosedur tetap), dilanggarnya kode ethik kedokteran, dilanggarnya hukum (misalnya hukum administrasi: tanpa SIP atau tanpa STR dsb.), dilanggarnya hak-hak pasien; tidak memiliki kompetensi (keahlian maupun hukum), tidak memiliki informed consent; tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien.[25]   
           Sementara kesalahan adalah sikap batin sengaja dan atau kelalaian diarahkan pada bermacam-macam faktor pula. Sikap batin tenaga medis (sengaja maupun lalai) sebelum melakukan perbuatan dalam pelayanan medis,  adalah sikap batin mengenai wujud perbuatannya sendiri (dalam terapi), mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan, mengenai objek perbuatan  (keadaan diri pasien), dan pada akibat dari perbuatan yang (hendak) dilakukannya.[26]
        Sikap batin atau apa yang ada dalam alam batin sebelum seseorang (misalnya dokter)  melakukan suatu wujud perbuatan  in casu dalam melaksanakan keputusan terapi, mengenai 4 (empat) hal/keadaan tersebut, bisa merupakan kehendak, pikiran, pengetahuan (apa yang diketahui), perasaan atau apapun namanya yang melukasikan keadaan batin. Setiap orang yang normal memiliki semua keadaan batin seperti itu, dan dalam keadaan normal memiliki pula – kemampuan yang bebas untuk menggunakan/merefleksikan dan mengarahkan keadaan batinnya itu ke dalam wujud-wujud perbuatan tertentu. Apabila kemampuan dalam hal menggunakan alam batin dalam keadaan demikian (normal) diarahkan atau ditujukan ke dalam wujud perbuatan tertentu yang diketahuinya atau disadarinya sebagai dilarang (melawan hukum), keadaan batin demikian disebut dengan sengaja. Sementara itu, apabila kemampuan berpikir, kemampuan berkehendak, pengetahuan - tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam hal orang itu melakukan suatu wujud perbuatan yang pada kenyataannya dilarang (melawan hukum), sikap batin yang demikian disebut dengan kelalaian (kulpa)[27].
             Perlakuan medis yang mengandung malpraktik  -  dapat berada  pada: fase pemeriksaan baik pada cara maupun alat yang dipakai dalam pemeriksaan;  pada fakta-fakta medis yang diperoleh; pada   diagnosa yang ditarik dari perolehan fakta;  pada perlakuan terapi, maupun pada perlakuan penghindaran akibat (kerugian/derita) pasien dari salah diagnosa atau salah terapi.  Meskipun dari sudut  terotik – demikian itu dapat terjadi malpraktik tenaga medis. Namun dari sudut penerapan hukum bisa jadi berdasarkan alasan-alasan khusus tertentu pada kasus tertentu,  bukan merupakan malpraktik tenaga medis, maupun tidak dapat dipidana karena adanya alasan peniadaan pidana, terutama alasan pembenar. Untuk hal yang disebutkan terakhir, perbuatannya formal dapat disalahkan pada pembuatnya, tetapi tidak dipidana  berhubung perbuatannya dari sudut materiil (kenyataannya) dipandang kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam ajaran hukum disebut berlakunya sifat melawan hukum materiil negatif, yang dianut dalam penegakan hukum pidana baik di Belanda maupun di Hindia Belanda (Indonesia) sejak arrast HR tanggal 20 Februari 1933 dalam kasus Dokter Hewan dari kota Huizen [28] sampai sekarang.
           Salah diagnosa menyebabkan salah terapi, tidak selalu menimbulkan malpraktik.  Contoh konkret mengenai salah diagnosa dan salah terapi dalam kasus (Persalinan dengan Diagnosa Bayi Tunggal Mati dalam hal Kehamilan Kembar) tahun  2004 di Rumah Sakit Pendidikan - Syaiful Anwar Malang.  Penyidik telah menetapkan tersangka seorang dokter chief jaga karena salah mendiagnosa bayi tunggal mati dalam hal (kenyataan) bayi kembar. Atas diagnosa yang salah itu - terapi dijalankan dengan menggunakan alat cunam muzeaux - menjadi salah pula karena menimbulkan dua luka sedalam kulit kepala pada bayi yang kenyataan hidup.  Meskipun  alasan penghentian penyidikan, perkara  bukan malpraktik dokter pidana  karena dua luka sedalam kulit kepala bukan luka yang masuk kategori luka yang dimaksud Pasal 360 ayat (2)  KUHP[29] yang semula disangkakan, tetapi  juga dapat didasarkan pada alasan yang dapat dibenarkan, ialah dari sudut kepatutan, atas fakta-fakta medis yang didapat melalui observasi yang telah benar, kemudian  menarik diagnosa bayi tunggal mati adalah wajar. Karena wajar maka terapi dapat dibenarkan, walaupun diagnosa semula terbukti salah.
            Menurut hemat penulis, dari kasus tersebut dapat ditemukan hukum yang menyatakan sebagai berikut:
·         Diagnosa salah tidak patut disalahkan pada dokter apabila pemeriksaan dan observasi telah dijalankan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur dan pekerjaan analisis telah dilakukan secara benar terhadap fakta-fakta medis yang patut dan benar dalam menghasilkan diagnosa tersebut.
·         Sikap batin dalam menetapkan terapi yang telah sesuai dengan diagnosa yang ditarik melalui pemeriksaan (observasi) yang sesuai standar profesi dan standar prosedur  atas fakta-fakta medis yang benar bukan merupakan kulpa meskipun kemudian ternyata diagnosa salah.
·         Menggunakan suatu alat/cara dalam penanganan medis dipandang benar dan wajar apabila ditemukan indikasi medis yang membenarkan untuk menggunakana alat tersebut. Kesalahan diagnosa bukan merupakan kulpa lata medis dalam hal pilihan pemeriksaan menurut standar profesi dan standar prosedur telah dijalankan – karena tidak ada indikasi untuk penggunaan alat/cara yang lebih baik – tidak menggunakannya, meskipun tingkat ketepatan diagnosanya lebih tinggi.
·         Melakukan pertolongan medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam suatu persalinan harus merupakan pilihan utama dengan pilihan tindakan medis yang mengandung risiko yang paling ringan.
·         Kesalahan diagnosa atau kesalahan terapi tidak membeban pertangungjawaban pidana apabila tidak berakibat kematian atau luka sebagaimana ditentukan dalam hukum pidana. 
·         Luka sedalam kulit kepala bayi bukanlah merupakan luka sebagaimana yang dimaksud Pasal 360 ayat (2) KUHP.[30]
    Titik penentu pertanggungjawaban hukum dalam perlakuan medis malpraktik  ada pada  akibat kerugian menurut hukum. Pertanggungjawaban  hukum guna menjamin pemulihan hak pasien yang dirugikan ditentukan hukum. Hak atas jaminan hukum antara pelayan jasa kesehatan rumah sakit  (terutama dokter) dan hak masyarakat (pasien) haruslah seimbang. Kedua pihak adalah subjek bukan salah satu adalah objek dalam pelayanan kesehatan. Kedua-duanya mendapat jaminan dan perlindungan hukum yang seimbang.
           Kesengajaan dan kelalaian/culpa (faktor sikap batin/kesalahan) adalah pengertian hukum – pada tataran penerapannya di bidang malpraktik tenaga medis (dokter) belum seragam, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
          Terhadap mewujudkan perbuatan bisa terjadi sebab kesengajaan, namun tidak terhadap akibat.  Kecuali pada kasus-kasus terbatas, misalnya aborsi tanpa indikasi medis[31], atau euthanasia[32]. Ada standar umum bagi kelakuan malpraktik khususnya malpraktik dokter dari sudut hukum yang dapat membentuk pertanggungjawaban hukum, khususnya hukum pidana. Standar umum itu menyangkut tiga aspek sebagai kesatuan yang tak terpisahkan, ialah aspek wujud perlakuan medis, aspek sikap batin pembuat, dan aspek akibat dari perlakuan.
           Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah malpraktik tenaga medis in casu profesi kedokteran, tidak terhadap tiga aspek pokok tersebut melainkan terhadap isinya  dan syarat-syarat keberadaannya. Keragaman pemahaman juga diakibatkan oleh belum adanya hukum khusus mengenai malpraktik  profesi kedokteran yang di dalamnya mengatur tentang malpraktik secara lebih sempurna yang berpijak pada doktrin atau ajaran hukum.
           UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tidak cukup mengatur tentang malpraktik dokter.  Pasal 80 – 84 UU ini mengatur tentang tindak pidana,  yang pelanggaran ini sebagai salah satu syarat saja ic sifat melawan hukumnya   perbuatan dalam malpraktik dokter, bila menimbulkan akibat kerugian pasien. Sama halnya dengan Pasal 83 – 86 UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
              Semementara ajaran hukum atau teori hukum baik mengenai kesalahan maupun mengenai causalitas juga beragam, dan dalam hal segi tertentu terkadang bagi sebagian orang sulit untuk memahaminya. Keadaan itu membawa pada konskwensi ketidaksamaan dalam praktik hukum. Pada tataran praktik hukum,  menyebabkan keterpaksaan hakim untuk menggunakan haknya dalam menafsirkan hukum dan melakukan temuan hukum dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar menarik amar putusannya. Sebagaimana yang berlaku – semakin luas penggunaan hak menfasirkan hukum dalam praktik hukum oleh para hakim – akan membuka ruang yang semakin luas untuk adanya perbedaan pemahaman mengenai malpraktik tenaga kesehatan, akibatnya semakin ketiadaan kepastian hukum.
          Untuk  memahami malpraktik – pengertian dan isinya serta akibat hukum bagi pembuatnya, haruslah memahami secara utuh  perihal tiga aspek pokok malpraktik dokter tersebut.
         Sikap batin pada perbuatan bisa dengan kesengajaan. Maksudnya dalam hal mewujudkan perbuatan dikehendaki dokter. Misalnya memberikan suntikan streftomicyn pada pasien yang menyebabkan pasien meninggal karena tidak tahan terhadap obat tersebut. Terhadap perbuatan memberikan suntikan dilakukan dengan sengaja, namun sikap batin terhadap kewajiban untuk mengetahui keadaan daya tahan pasien yang lalai.   Sebaliknya bisa juga sikap batin terhadap perbuatan dilakukan dengan kelalaian. Misalnya tidak mengangkat corpuis allenioum yang tertinggal pada kista ovaria[33] yang seharusnya diangkat sebelum menjahit menutup luka pembedahan. Sikap batin yang demikianlah sebagai dasar  membentuk pertanggungjawaban hukum.
            Aspek akibat haruslah akibat yang merugikan pasien, baik mengenai kesehatan fisik atau fsikis maupun nyawa pasien. Akibat ini haruslah berupa akibat yang tidak dikehendaki, inilah ciri akibat dari suatu perlakuan culpa.
           Dari sudut hukum pidana, pada saat ini untuk mengukur suatu perlakuan medis dari seorang tenaga kesehatan apakah  telah masuk pada malpraktik yang membentuk pertanggungjawaban hukum masih secara kompensional pada dua pasal, yakni 359 dan 360 KUHP. Baik aspek wujudnya perlakuan, sikap batin pembuat maupun akibat haruslah diukur dari unsur kedua pasal tersebut. Dengan berkembangnya teknologi kesehatan harus pula menyesuaikan dengan kedua pasal itu apabila timbul masalah malpraktik tenaga medis. Nampaknya kriteria hukum pidana dalam kedua pasal itu tetap sebagai pegangan bagi praktisi hukum dalam menyelesaikan kasus dugaan malpraktik tenaga medis dari sudut hukum pidana.
2.      Hubungan Hukum Perdata  Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan dapat Membentuk Pertanggungjawaban Pidana
           Pada dasarnya hubungan hukum dokter – pasien adalah hubungan perdata, yang dalam hal salah perlakuan medis masuk pada lapangan perdata apabila perlakuan salah tersebut berupa wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Masuk pada wanprestasi apabila dokter melaksanakan kewajiban perlakuan medis tidak dengan sebaik-baiknya dan tidak secara maksimal (misalnya karena pasien tidak memiliki cukup uang untuk membiayai pengobatannya) atau melaksanakan kewajiban yang tidak sesuai standard kedokteran. Pelayanan menurut standar kedokteran walaupun tidak diketahui prosedur dan bentuknya oleh pasien, adalah suatu prestasi yang harus dilakukan dokter. Apabila dokter dalam pelayanan medisnya di luar standar kedokteran (prosedur, caranya dan alatnya) itu sama artinya dengan tidak melaksanakan prestasinya (wanprestasi), dan dalam hal berakibat merugikan pasien, maka terjadi malpraktik yang membentuk pertanggungjawaban perdata dalam perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
           Meskipun  pada dasarnya hubungan pasien – dokter adalah hubungan perdata, namun bisa jadi pelayanan medis dokter di luar standar dapat melompat masuk kelapangan hukum pidana, manakala akibat kerugian  dari perlakuan medis yang menyimpang dari standar, menjadi unsur kejahatan (hukum pidana), seperti kematian (pasal 359 KUHP) atau luka-luka (Pasal 360 KUHP).
          Bilamana malpraktik masuk dalam lapangan hukum pidana, pada dasarnya adalah juga merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana  dalam Pasal 1365 BW. Pada dasarnya terwujudnya malpraktik dokter (juga malpraktik advokat atau malpraktik jurnalistik) yang telah masuk dalam lapangan hukum pidana – atau menjadi kejahatan, adalah juga sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum, yang dapat dituntut pertanggungjawaban perdata melalui Pasal 1365 jo 1370 dan 1371 BW. 
3.      Malpraktik Pidana Tenaga Medis
           Untuk mempermudah pengertian dalam bahasan mengenai perlakuan medis yang salah, penulis membedakannya dengan perbuatan. Dalam konteks perlakuan medis disini, istilah perbuatan penulis maksudkan adalah wujud konkret yang merupakan bagian dari perlakuan atau pelayanan medis.  Berdasarkan pengertian yang demikian, maka tercakup di dalam aspek perlakuan medis, ialah: wujud dan prosedur serta alat yang digunakan dalam pemeriksaan untuk memperoleh data-data medis; alat yang digunakan atau caranya menggunakan dalam pemeriksaan, menggunakan dan menganalisis serta mempertimbangkan  data-data medis dalam hendak mendiagnosa; cara atau prosedur dan wujud serta alat menterapi; bahkan termasuk pula perlakuan pasca terapi. Syarat lain dalam  aspek ini ialah kepada siapa (objeknya)  perlakuan medis itu diberikan dokter. 
           Pada semua perbuatan dalam pelayanan medis tersebut dapat terjadi kesalahan yang pada ujungnya menimbulkan malpraktik, terutama apabila dilakukan di luar standar. Dapat artinya pada umumnya – tidak selalu berakibat malpraktik  menurut hukum. Mengapa demikian? Karena untuk terjadinya malpraktik, disamping perbuatan-perbuatan dalam perlakuan medis tersebut harus  di luar standar dan lain-lain, masih ada syarat sikap batin dan akibat, yang tidak dengan mudah difahami dan menerapkannya, bahkan kadangkala dalam kasus konkret tertentu, perbuatan tertentu yang ternyata kemudian salah bisa dibenarkan dengan alasan tertentu pula. Berarti untuk kasus konkret  tertentu kadang diperlukan syarat lain, misalnya kepatutan dan pembenaran dari sudut logika umum. Misalnya salah dalam menarik diagnosa (kesimpulan: diagnosa salah) tetapi perbuatan itu dapat dibenarkan apabila ada alasan pembenar misalnya fakta-fakta medis yang ada (hasil pemeriksaan sesuai standar) dari sudut kepatutan dibenarkan untuk menarik kesimpulan diagnosa.
           Dibenarkan tidak sama artinya dengan benar. Pada dasarnya salah tetapi karena faktor-faktor tertentu, tindakan medis menjadi dapat dimaklumi. Contoh konkret pada kasus “persalinan dengan diagnosa bayi tunggal mati dalam hal kehamilan kembar” yang sebel;umnya telah dikemukakan. Fakta-fakta medis yang ada yang didapat dari pemeriksaan yang telah benar, dari  sudut disiplin kedokteran dan kebiasaan serta logika – tidak menunjukkan suatu sifat dan keadaan bahwa disamping bayi mati dalam kandungan terdapat satu  bayi hidup. Karena itu dapat dimaklumi penarikan kesimpulam bahwa dalam kandungan terdapat satu bayi dan mati.[34] Pembenaran dapat dengan menggunakan teori culpa objektif. Intinya dokter lain dalam menghadapi kasus tersebut, juga akan melakukan tindakan medis yang sama . Keterangan seperti ini harus dilakukan oleh kalangan dokter sendiri, bukan oleh ahli hukum. Ahli hukum misalnya hakim sekedar (dapat) menggunakannya sebagai dasar pertimbangan hukumnya dalam hal hendak menarik kesimpulan untuk menarik amar dalam vonis akhir.
           Perbuatan apa yang dilakukan setelah perlakuan medis bisa juga menjadi objek dan bagian malpraktik dokter. Seperti pada kasus dr. Setianingrum tahun 1980, walaupun pada akhirnya oleh MA dibebaskan karena bukan pelanggaran Pasal 359 KUHP dengan alasan usaha-usaha perlakuan medis untuk menyelamatkan jiwa  pasien yang terancam kematian dapat dibenarkan dengan pertimbangan perlakuan oleh seorang dokter baru praktik 4 (empat) tahun di Puskesmas dengan peralatan dan fasilitas medis serba terbatas  tidak  dapat dituntut berbuat yang lebih dari kemampuannya dengan fasilitas dan peralatan yang ada itu. Meskpipun penulis tidak sependapat terhadap pertimbangan hukum tersebut dalam hubungannya dengan penyebab (langsung) kematian pasien.  Namun dari kasus ini, terbukti bahwa perbuatan-perbuatan pasca terapi dapat pula menjadi objek persoalan dalam malpraktik dokter.
           Tidak kalah pentingnya, seperti juga telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada aspek perlakuan medis, syarat kepada siapa perlakuan medis dilakukan menjadi bahan pertimbangan yang juga tidak boleh dikesampingkan dalam menilai persoalan malpraktik dokter. Dalam syarat harus adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah merupakan bagian yang  tidak terpisahkan dengan syarat perlakuan medis yang diberikan dokter. Hubungan hukum yang pada dasarnya hubungan perdata inilah yang membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter apabila terjadi penyimpangan perlakuan medis  yang berakibat merugikan, yang wujudnya menjadi unsur tindak pidana tertentu. .
         Perlakuan medis tidak selalu bersifat aktif – berupa wujud perbuatan tertentu, tetapi juga termasuk tidak berbuat sebagaimana seharusnya berbuat – dimana dengan tidak berbuat,  dokter melanggar suatu kewajiban hukum. Dokter, karena jabatan dan adanya hubungan hukum dengan pasien dalam  keadaan tertentu menurut standar kedokteran harus berbuat tertentu. Tidak berbuat sebagaimana dituntut oleh profesi untuk berbuat seperti ini adalah juga bagian dari perlakuan medis yang dapat menjadi objek lapangan malpraktik dokter.     
a.      Kelalaian Malpraktik Tenaga Medis
          Doktrin hukum mengenai sikap batin culpa termasuk salah satu objek pelajaran yang sulit. Karena petunjuk dalam perundang-undangan tidak cukup membuat terangnya persoalan mengenai culpa. Maka doktrin mengenai culpa berkembang mengikuti pendapat para ahli. Demikian juga pada tataran penerapannya, dasar pijakan teori dalam memutus kasus kejahatan culpa pun menjadi beragam. Beragam ini bukan saja semata-mata karena beragamnya pendapat dalam ajaran culpa,  tetapi juga pada tataran penerapannya – penggunaannya tidak jarang hanya mengacu pada salah satu aspek saja dari culpa. Seperti pada putusan MA yang membebaskan terdakwa dr. Setianingrum. Pandangan tentang culpa pada kasus itu berbeda antara kedua judex facti dengan judex juris, sehingga menghasilkan putusan yang berbeda pula.
           Walaupun doktrin hukum mengenai kealapaan itu luas dan beragam pandangan, kiranya banyak dan luasnya itu  secara pokok-pokoknya dapat disimpulkan ke dalam dua ajaran, yakni ajaran subjektif dan ajaran objektif. Pandangan dari ajaran subjektif dalam usahanya menerangkan tentang culpa bertitik tolak pada syarat-syarat subjektif pembuat. Untuk mengukur adanya culpa, menilai sikap batin orang sebagai lalai dilihat/dihubungkan pada apa wujud dan cara perbuatan dilakukan dan apa akibat yang timbul dari padanya. Dari wujud dan cara orang berbuatlah – dapat menilai sikap batin apa yang terkandung dalam batin si pembuat sebelum orang itu berbuat. 
          Sedangkan pandangan objektif pada syarat objektif. Untuk menilai sikap batin lalai pada diri seseorang, dengan membandingkan antara  perbuatan pelaku pada perbuatan yang dilakukan orang lain yang berkualitas yang sama dalam keadaan yang sama pula.
           Pada tataran penerapan ajaran culpa acapkali hanya menggunakan satu sisi ajaran saja, seperti pada putusan Pengadilan Negeri Pati  dan Pengadilan Tinggi Semarang pada kasus dr Setianingrum.[35] Kedua-dua pengadilan nampaknya menggunakan pendekatan subjektif. Menilai sikap batin si pembuat dari wujud apa yang diperbuat, dan bukan menilai perbuatan si pembuat dengan membandingkannya pada orang lain dalam kualitas dan keadaan dan syarat-syarat lain yang sama dengan pembuat ketika berbuat.
           Berbeda dengan Mahkamah Agung yang cenderung menggunakan ajaran culpa objektif. Oleh karena sudut pendekatan yang berbeda, maka pada kesimpulan akhir mendapatkan putusan yang berbeda pula. MA menilai sikap batin culpa dari apa yang diperbuat setelah perlakuan terapi. MA melihat pada apa yang dilakukan terdakwa untuk menghindari akibat kematian yang gejala-gejalanya telah timbul, akibat dari kesalahan perlakuan terapi semula – dapat dibenarkan, berdasarkan kondisi Puskesmas dan kondisi dokter yang baru berpraktik.
           Pertimbangan mengenai keadaan yang disebutkan terakhir itu menunjukkan bahwa Judex Juris menggunakan pendekatan objektif.  Tentu saja hasil penilaian akan berbeda. Apalagi objek penyebab kematian yang menjadi bahan pertimbangan berbeda. Judex Fakti mengenai penyebab utama kematian pada wujud terapi memberikan suntukan. Sementara Judex Juris pada upaya menghindari kematian yang gejala-gejalanya sudah timbul akibat dari kelalaian dalam melakukan wujud perbuatan “menyuntik pasien dengan streptomycin.      
           Pada dasarnya, hal ikhwal mengenai kesalahan – baik arti luas  maupun arti sempit (culpa) adalah mengenai keadaan batin orang dalam hubungannya dengan perbuatan; sifat melawan hukumnya perbuatan; objek perbuatan;  dan akibat perbuatan maupun dengan segala fakta yang berada sekitar perbuatan dan akibat perbuatan. Oleh karena itu, sikap batin dokter dalam culpa malpraktik  ditujukan dalam 4 (empat)  hal, ialah:
·         pada wujud  perbuatan;
·         pada sifat melawan hukumnya perbuatan;
·         pada objek perbuatan;  
·         pada akibat perbuatan;
         Pada umumnya sikap batin yang ditujukan pada wujud perbuatan, adalah kesengajaan, tidak pada sifat melawan hukumnya perbuatan dan akibat perbuatan. Perbuatan  dikehendaki dokter, misalnya memberikan suntikan streftomycin. Kecuali pada wujud perbuatan aborsi dan euthanasia.  Culpa mengenai atau pada wujud perbuatan disini diartikan bahwa tiadanya kesadaran atau pengetahuan  bahwa wujud perlakuan medis yang hendak diperbuat menyalahi prosedur atau  standard kedokteran atau tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien.[36] Tiga ukuran tersebut merupakan kewajiban pokok dokter, disamping kewajiban lain-lain.  Jadi dalam mewujudkan perbuatan yang dikehendaki itu, sikap batin  lalainya terdapat pada  sifat melawan hukumnya perbuatan. Artinya ketika hendak melakukan wujud perbuatan (terapi), dokter lalai antara lain terhadap standar profesi; standar prosedur; prinsip-prinsif professional dokter; tanpa wenang misalnya tanpa informed consent atau diluar informed consent; tanpa SIP atau tanpa STR.   
            Sementara pada mewujudkan atau hendak mewujudkan perbuatan , dokter benar-benar menghendaki perbuatan itu. Kesalahan dokter mengenai wujud perbuatan disini, ialah dokter tidak sadar bahwa wujud perbuatan yang dilakukannya - menyimpangi atau salah dari yang seharusnya diperbuat. Untuk semua pelanggaran itu oleh kalangan dokter biasanya dikatakan tidak sesuai protap, meskipun keadaan tidak sesuai protap tersebut hanya sebagian saja dari culpa terhadap sifat melawan hukumnya perbuatan. . Kelalaian dokter adalah dia tidak memahami dan tidak mengerti   tentang protap dll tadi, padahal sebagai seorang dokter, karena kualitas dan kedudukannya itu, kepadanya dituntut untuk mengetahui semua itu. Inilah sikap batin teledor yang disalahkan kalangan medis, yang dioper ke dalam hukum dan doktrin hukum.        
           Sikap batin dokter pada objek perbuatan adalah pengetahuan mengenai berbagai keadaan diri pasiennya.  Dalam batas-batas kewajaran sebagai dokter perlu mengetahui tentang berbagai hal mengenai diri pasien, mengenai keluhan sebab penyakitnya, riwayat penyakitnya, jenis dan tingkat penyakit yang diderita,  penyebabnya dan sebagainya, yang semuanya merupakan fakta-fakta medis yang didapatkan dari hasil pemeriksaan.  Dengan menggunakan akal dan ilmunya fakta-fakta medis dianalisis untuk menetapkan diagnosis, dan selanjutnya  terapi dijalankan. Dalam menggunakan ukuran kewajaran tersebut acapkali menimbulkan ketidakpuasan pasien yang berujung pada laporan atau gugatan dugaan malpraktik kedokteran.
        Sikap batin mengenai objek perbuatan (pasien) bisa berupa kelalaian maupun kesengajaan. Kelalaian bisa terjadi sejak pemeriksaan (pilihan cara dan alatnya), menganalisis fakta-fakta medis yang didapat, menarik diagnosa (dari beberapa kemungkinan) misalnya jenis dan tingkat penyakit, bentuk terapi termasuk jenis dan dosis obat, alat dan cara terapi sampai pada nasihat. Sementara dalam hal melakukan bentuk terapi yang telah ditetapkan (dari beberapa kemungkinan) selalu dikehendaki (sengaja).
          Lalai disini maksudnya tidak/kurang menggunakan akal, pemikian, pengetahuan, kehati-hatian/kecermatan, pertimbangan, maupun kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip profesional,  yang seharusnya diperlukan sebelum dan pada saat pemeriksaan, menganalisis fakta-fakta medis,  memutuskan diagnosa dan bentuk terapi dari sekian pilihan; serta melaksanakan terapi.      
           Sementara itu sikap batin culpa yang ditujukan pada akibat, harus diterjemahkan dalam tiga arti, ialah:
*        Arti pertama, dokter tidak menyadari bahwa dari perbuatan yang hendak dilakukannya dapat menimbulkan akibat yang terlarang dalam hukum. Sejak semula dokter tidak mengetahui, tidak sadar – tidak insyaf bahwa perbuatan yang hendak diperbuatnya akan menimbulkan akibat terlarang oleh Undang-undang. Padahal seorang dokter karena kedudukan atau profesinya itu diharuskan memiliki kesadaran yang demikian. Ini benar-benar sembrono, karena kesadaran akan akibat sama sekali tidak ada.
*        Arti kedua, ialah akibat  itu disadari bisa timbul, namun karena berdasarkan pemikiran tentang kepintarannya, pengalamannya atau kondisi pasien, peralatan yang digunakan, pengalaman yang berlaku dalam kasus serupa dll., dokter meyakini akibat tidak akan timbul, namun kenyataannya setelah perbuatan diwujudkan benar-benar akibat terlarang itu timbul.
*        Arti ketiga, akibat itu tidak dikehendaki untuk timbul. Telah berbuat yang cukup untuk menghindarinya, namun kenyataannya setelah perbuatan – akibat pun timbul juga.
           Baik arti pertama maupun arti kedua haruslah kumulatif dengan arti ketiga. Arti ketiga tidak boleh berdiri sendiri. Mesti kumulatif dengan arti pertama atau kedua. Sedangkan arti pertama dan kedua, menurut sifatnya berdiri sendiri.
           Dari uraian tersebut di atas tentang sikap batin culpa dalam malpraktik pidana, haruslah berupa culpa lata – suatu bentuk kelalaian berat, yang artinya pembuat ceroboh – teledor – sikap batin tidak mau tahu – bahkan merasa benar sendiri – tidak ambil pusing terhadap akibat apa yang akan terjadi. Sikap batin  yang demikian berbeda dengan sikap batin malpraktik perdata. Sikap batin malpraktik perdata sudah  cukup dengan adanya sikap batin apa yang disebut culpa levis atau  culpa ringan, culpa sekedar lupa atau khilaf. Dua bentuk culpa ini hanya ada dalam doktrin dan tidak ada dalam hukum normatif. Dalam praktik jarang diperhatikan orang.
           Berdasarkan temponya, sikap batin culpa yang demikian sudah harus terbentuk pada sebelum mewujudkan perbuatan, dan tidak berlaku apabila sikap batin lalai yang baru terbentuk setelah diwujudkannya perbuatan – walaupun tidak lama atau beberapa lama setelah  mewujudkan akibat belum timbul.
b.      Akibat Kerugian oleh Malpraktik Tenaga Medis
         Seperti dibagian muka telah disinggung, bahwa akibat yang boleh masuk pada lapangan malpraktik dokter haruslah akibat yang merugikan pihak yang ada hubungan hukum dengan Rumah Sakit dan dokter. Apakah malpraktik masuk dalam lapangan perdata atau pidana, pokok penentunya ada pada akibat. Sifat akibat dan letak hukum pengaturannya – menentukan kategori malpraktik dokter, antara malpraktik pidana atau perdata.
          Dari sudut hukum pidana, akibat yang merugikan masuk dalam lapangan pidana, apabila macam kerugian disebut dalam rumusan kejahatan. Akibat kematian atau  luka merupakan unsur kejahatan Pasal 359  dan 360, maka bila kelalaian/culpa perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau  luka – jenis seperti ditentukan dalam pasal ini, maka perlakuan medis masuk kategori malpraktik pidana.
           Antara perlakuan medis dengan akibat haruslah ada hubungan causal  (causal verband). Akibat terlarang yang tidak dikehendaki haruslah merupakan akibat langsung oleh adanya perbuatan. Apabila ada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya akibat atau mempercepat timbulnya akibat bahkan menentukan terhadap timbulnya akibat, tidak akan memengaruhi kesalahan dokter terhadap akibat terlarang dari suatu perlakuan medis yang salah - dijalankannya terhadap pasiennya. Karena seorang dokter karena kedudukan dan kualitasnya, dia wajib mengetahui seluruh aspek yang dapat berpengaruh oleh perlakuan medis yang hendak dijalankannya yang dapat menimbulkan akibat buruk pada pasiennya. Seorang dokter dituntut untuk mengetahui semua aspek/keadaan-keadaan mengenai diri pasien dari hasil obseravsi, sebelum melakukan wujud terapi, termasuk ada atau tiadanya factor lain pada diri pasien yang dapat/mungkin berpengaruh terhadap kesehatan pasien setelah dilakukan terapi. Kewajiban yang disebutkan terakhir ini, dapat diukur secara objektif. Maksudnya, dokter rekan seprofesi lainnya dalam kedududkan yang sama menghadapi pasien yang sama (seperti ini – hasil, observasi), juga akan menarik diagnosa yang sama dengan terapi yang sama pula. 
          Sikap hati-hati menuntut dokter sebelum berbuat, terlebih dahulu wajib memperoleh data-data medis lengkap dan cukup dengan cara-cara yang benar dan wajar menurut disiplin kedokteran.
           Timbulnya akibat terlarang tidak harus seketika atau tidak lama setelah perbuatan diwujudkan. Boleh jadi akibat itu timbul setelah berbulan atau bertahun-tahun  kemudian, namun akibat itu harus terbukti adalah akibat langsung atau setidak-tidaknya pengaruh yang kuat dari adanya perlakuan medis semula.  Memang diakui, bahwa pengukuran hubungan ini bukanlah persoalan yang mudah dibuktikan, apalagi jika akibat timbulnya bukan pada waktu tidak lama setelah perlakuan medis, melainkan pada waktu yang cukup lama. Bertambah sulit pula, apabila  proses timbulnya akibat dipengaruhi oleh faktor lain yang timbul setelah terapi dijalankan, atau keadaan khusus atau kelainan  pasien yang tidak diketahui sebelumnya. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran disegala bidang beserta cabang-cabangnya pekerjaan ini akan sangat dibantu. Oleh sebab itu keterangan ahli di sidang pengadilan rasa-rasanya mutlak diperlukan dalam hal pembuktian adanya hubungan ini.
E.   KESIMPULAN
1.       Rumah Sakit sebagai suatu badan, institusi atau korporasi baik yang berbadan hukum (RS Swasta) maupun tidak (Rumah Sakit Pemerintah atau Pemerintah Daerah) adalah subjek hukum (rechts persoon) yang mempunyai kedudukan perdata yang sama dengan subjek hukum orang (natuurlijke person).
2.       Hubungan hukum Rumah Sakit dengan tenaga medis/dokter berada dalam hubungan perjanjian kerja (arbeidsovereenskomst), suatu bentuk perjanjian yang tunduk pada Pasal 1601 BW. Hubungan ini diatur baik melalui peraturan perundang-undangan maupun peraturan internal Rumah Sakit. Oleh karena adanya hubungan hukum yang demkian itulah, maka perlakuan medis tenaga kesehatan dalam batas-batas tertentu, menjadi tanggung jawab korporasi Rumah Sakit.
3.       Hubungan hukum Rumah Sakit dan tenga medis dengan pasien berada dalam hubungan hukum perjanjian/kontrak menurut hukum perdata (BW). Dalam hal terbentuknya kontrak terapeutik mengikat Rumah Sakit dan/atau tenaga medis. Dalam hal perlakuan medis oleh tenaga medis yang diduga menimbulkan akibat/derita pasien, dalam batas-batas tertentu, khususnya akibat keperdataan,  dipertanggungjawabkan pada Rumah Sakit. Apabila  akibat itu merupakan akibat yang menjadi unsur tindak pidana tertentu, maka dipertanggungjawabkan pada tenaga medis.
4.       Malpraktik dokter, pada dasarnya masuk dalam dua lapangan hukum perdata dan pidana. Masuk perdata sebagai wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum yang membeban pertanggungjawaban pemulihan kerugian. Masuk lapangan hukum pidana sebagai suatu kejahatan, yang membeban pertanggungjawaban pidana. Malpraktik pidana pada dasarnya juga sekaligus masuk lapangan perdata melalui perbuatan melawan hukum.
5.       Keadaan malpraktik dokter pidana harus memenuhi  syarat-syarat dalam 3 (tiga) hal pokok, yakni syarat-syarat pada perlakuan medis,  syarat sikap batin dalam hubungannya dengan perlakuan, dan akibat perlakuan yang merugikan pasien.
6.       Dalam syarat mengenai perlakuan terdiri dari: wujud, cara  dan alat perlakuan, kepada siapa perlakuan dilakukan; penarikan diagnosa, terapi, sampai pada  perlakuan setelah terapi. Syarat sikap batin pada umumnya culpa (culpa lata), tidak tahu - teledor baik terhadap prosedur maupun terhadap perlakuan dan akibat.  Mengenai akibat haruslah akibat yang merugikan pasien yang diatur dan ditentukan hukum.
7.       Sikap batin (sengaja atau lalai) malpraktik tenaga medis terletak/mengenai: dalam hal melakukan wujud perlakuan medis; dalam hal sifat melawan hukumnya wujud perlakuan medis; dalam hal objek perlakuan medis; dan dalam hal akibat perlakuan medis.
8.       Persoalan malpraktik dokter acapkali menimbulkan polemik – tidak seragam pemecahannya, karena tidak ada standar hukum yang mengatur secara khusus.  Secara kompensional pada tataran praktik malpraktik pidana diselesaikan melalui Pasal 359 dan 360 KUHP.  Secara perdata malpraktik dokter diselesaikan melalui gugatan perdata penggantian kerugian melalui hukum wanpretasi dan perbuatan melawan hukum.  
Malang, 12 Maret 2018
Adami Chazawi   







KEPUSTAKAAN

1.      Adami Chazawi, 2014. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Cetakan ke-8), Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2.      --------------------, 2010. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Cetakan ke-5), Penerbit PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
3.      --------------------, 2016. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3– Penyertaan dan Percobaan (Cetakan ke-6), Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
4.      -------------------, 2016. Hukum Pidana Positif Penghinaan (Edidis Revisi), Cetakan ke-2, Penerbitan MNC, Malang
5.      ------------------, 2016. Malpraktik Kedokteran, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
6.      Andi Hamzah, 1986. Kamus Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
7.      Hermin Hadiati Koeswadji. 1992: Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
8.      ---------------, 1998. Hukum Kedokteran, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
9.      Chidir Ali, 2005. Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
10.  Moeljatno, 1983. Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
11.  Ninik Mariati, 1988.  Malpraktik dokter dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
12.  Oemar Seno Adjie, 1991. Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Penerbit Erlangga, Jakarta.
13.  Seoparmono, 2002. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung.
14.  Schravendijk, H.J, 1955. Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B Wolters, Jakarta – Gronigen.
15.  Schaffmeister., N. Keijzer; E.PH. Sutorius, (Editor Penerjemah: Sahetapy), 1995. Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
16.  Soerjono Soekanto, 1983: Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia, Penerbit Gratifipers, Jakarta.
17.  Subekti, R. 1985: Hukum Perjanjian, Cetakan X, Penerbit PT Intermasa, Jakarta.
18.  Wirjono Prodjodikoro, R, 1979. Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan  kedelapan, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta.
19.  -----------------, 2000. Perbuatan Melangar Hukum, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung.






MATERI LENGKAPNYA AKAN DIUPLOAD DI GOOGLE DRIVE :
LINK : https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1O1eDO3xEpCpWA3GhsmMWTsGPb3V2Tuqs




    











[1] Disampaikan pada SIANG KLINIK XXXVI Hermina Hospital Group, 25 Maret 2018 di Hermina Tower Lt 25, Jakarta.
[2] Lihat Undang-undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Pasal 29 ayat (1) tentang kewajiban Rumah Sakit antara lain pada huruf f menyatakan: “melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian lur biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
        

[3] Veronika Komaladewi, 1989. Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 116.
[4]  Oemar Seno Adjie, 1991: Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Penerbit Erlangga, Jakarta, h. 109.
[5]  Andi Hamzah,1998. Kamus Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, h. 244
[6]  Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
[7]  Lihat pula Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2009.
[8]  Lihat Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2009.
[9]  Lihat Pasal 7 ayat  (2) UU No. 44 Tahun 2009.
[10]  Pasal 12 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
[11]  Lihat Pasal 12 ayat (2) UU No. 36 Tahun 214 Tentang Kesehatan.
[12]  Bandingkan dengan  Hermien Hadiati Koeswadji, 1998. Hukum Kedokteran, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 107.
[13]  Pasal 1336 BW
[14]  Pasal 1234 BW.
[15]  Pasal  1354 BW.
[16]  Lihat Pasal 45 ayat (1) UU No. 2009 Tahun 204.  Juncto   Pasal  58 ayat (1) huruf b UU No. 36 Tahun 2014.
[17]  Lihat Pasal 45 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004.
[18]  Pasal 12 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
[19]  Pertanggungajwaban pidana  khusus  korporasi – Rumah Sakit, terdapat pada Pasal  63 UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dalam tindak pidana menyelenggarakan  Rumah Sakit tanpa ijin.  Korporasi dijatuhi pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali lipa dari pada denda bagi oknum (pribadi) yang menyelenggarakan Rumah Sakit.
[20] Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999.
[21] Pasal 6, 7 UU No. 8 Tahun 2010.
[22] Pasal 78 ayat (4) UU No. 22 Tahun 1997.
[23]  Pasal 7o UU No. 5 Tahun 1997.
[24]  Dalam tulisan ini, pelayanan kesehatan,  disebut  juga dengan perlakuan medis, dibedakan dengan perbuatan atau tingkah laku. Dalam perlakuan medis terdapat  banyak atau bermacam-macam wujud perbuatan.  Malpraktik tenaga medis terjadi cukup dengan satu wujud perbuatan saja.
[25]  Lihat Adami Chazawi (i), 2016. Malapraktik Kedokteran, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 5.
[26]  Lihat Ibid, h. 72. 
[27]  Lihat Adami Chazaw (ii), 2016. Hukum Pidana Positif Penghinaan (Edisi Revisi), Penerbit Media Nusa Creative (MNC), Malang, h. 50.
[28]  Lihat Adami Chazawi (iii), 2016. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. h.   69.
[29] Akibat kelalain dalam pasal ini: luka yang menyebabkan timbulnya penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian sementara waktu.
[30]  Lihat Adami Chazawi (i), Opcit, h. 198.
[31] Pasal 347, 348 KUHP dokter sebagai pembuat tunggal (dader),  atau Pasal 346 KUHP (dokter sebagai pembuat pelaksana (pleger).  
[32] Pasal 344 KUHP.
[33] Veronika Komaladewi, Op.Cit.,  h. 116.
[34] Lihat selengkapnya di Adami Chazawi (i), Op.Cit., h. 180-188.
[35]  Seoparmono, 2002: Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, halaman 284 dst.

[36] Lihat Pasal  51 huruf a UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran jo Pasal 58 ayat (1) huruf a UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan.