Senin, 30 Januari 2012

BISAKAH PENGEMUDI MABUK DITUNTUT

BISAKAH PENGEMUDI MABUK DITUNTUT
DAN DIPIDANA KARENA PEMBUNUHAN?


Ada orang meminta agar si penabrak 9 orang di Tuga Tani dipidana karena pembunuhan. Ancaman pidana pembunuhan biasa (338 KUHP) maksimum 15 tahun penjara. Mungkinkah Pasal 338 KUHP terhadap si pelaku dituntut dan dijatuhi pidana pembunuhan?
Persoalannya bukan pada akibat kematian orang dari suatu perbuatan (causal verband).. Kalau yang itu - pasti di penuhi. Persoalannya adalah terletak pada kesengajaan. Dalam pembunuhan - Pasal 338 diperlukan adanya kesengajaan yang ditujukan baik pada mewujudkan perbuatan maupun caranya beserta akibatnya.
Dalam doktrin kesengajaan dibedakan antara, kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), sebagai kepastian (opzet bij zakerheidsbewustzeijn) dan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn).
Dalam MvT ada keterangan mengenai kesengajaan, ialah sebagai kehendak dan sebagai keinsyafan atau pengetahuan.
Mencari jalan keluarnya, ialah dengan cara menganalisis dengan menafsir berdasarkan arti dari kesengajaan sebagai kemungkinan.
Dalam pembunuhan berlaku ketiga-tiga bentuk kesengajaan. Berbeda dengan penganiayaan, yang hanya berlaku kesengajaan sebagai kehendak saja.
Pembunuhan bisa terjadi oleh sebab kesengajaan sebagai kemungkinan, ialah manakala si pembuat menyadari - dengan melakukan wujud perbuatan beserta caranya, sebagai seorang yang berjiwa normal, dengan jiwa yang demikian itu, si pembuat sadar/menginsyafi bahwa dengan melakukan wujud tertentu perbuatan beserta caranya, dapat berakibat orang lain mengalami kematian.
Beberapa putusan Hoge Raad membuktikan, bahwa dalam pembunuhan berlaku kesengajaan sebagai kemungkinan. Misalnya pada kasus “kue tart dari Hoornse” dimana seorang mengirim kue diisi racun untuk membunuh suaminya, tapi dimakan istrinya, (19-6-1911), automobilist arrest (6-2-1951) pengemudi menginjak gas kuat-kuat dengan mengarahkan mobil ke polisi yang sedang menghentikannya). Pada kedua kasus tersebut si pelaku dipidana percobaan pembunuhan. Masih banyak lagi arrest-arrest lainnya. .
Dalam kasus mengemudi dalam keadaan pengaruh minuman keras dan atau narkoba dan menabrak mati 9 orang di Tugu Tani, pasti ada kehendak, meskipun kehendak itu tidak ditujukan pada matinya orang. Memang dalam pembunuhan dengan kesengajaan sebagai kemungkinan dan kepastian, kematian korban tidaklah dikehendaki.
Dalam kasus ini, kesengajaan sebagai kehendak pasti ada, ialah kesengajaan pada perbuatan Ada perbuatan yang disengaja ialah perbuatan berpesta minuman keras dan narkoba, dan pasti juga ada kehendak dan kesadaran untuk menyetir/mengemudi mobil. Namun dipastikan tidak ada kehendak yang ditujukan pada matinya (banyak) orang.
Ketika sengaja meminum minuman keras dan atau mengkonsumsi narkoba, pada saat itu sebagai orang yang berjiwa normal atau waras, ybs mestinya menyadari bahwa:
* Minuman keras dan atau narkoba dapat menimbulkan halusinasi, mundurnya kesadaran, bahkan bisa menghilangkan sama sekali kesadaran atau mabuk.
* Padahal ia nanti akan atau dipastikan akan menyetir atau mengemudikan kendaraan.
* Si pembuatpun mestinya sadar apabila minuman keras atau narkoba yang Ia konsumsi nantinya akan berpengaruh kepada kesadaran dirinya sendiri alias mabuk padahal ia akan mengemudi, dan
* Ketika ia hendak mengemudi Ia pun sadar dapat menabrak apa saja yang salah satunya adalah orang pengguna ajalan raya. Namun kesadaran seperti itu tidak diindahkannya.
Dan pada kenyataan kesadaran kemungkinan seperti itu ternyata benar-benar terjadi.
Kiranya demikian analisis hukum agar pengendaraan mobil maut itu dapat dituntut dan dipidana karena pembunuhan. Sebab kalau Pasal 359 KUHP – karena lalai yang menyebabkan orang lain mati, maksimum ancaman pidananya 5 tahun saja. Sementara tindak pidana narkoba, kalau dia pemakai maksimum pidana penjara 4 tahun saja. Jika dua-dua terbukti, dan jika jaksa tidak keliru dalam menyusun surat dakwaan dalam hal perbarengan perbuatan (Pasal 65 KUHP), hanya bisa ditambah sepertiga dari yang terberat. Sementara pembunuhan maksimum ancaman pidananya 15 tahun penjara. Jika terbukti pula pemakai narkoba, maka dapat dipidana 20 tahun.
Demikian, sekedar pendapat. Boleh percaya dan boleh tidak.
Kampus FH UB, 30-1-2012.

PERSALINAN DENGAN DIAGNOSA BAYI TUNGGAL MATI DALAM HAL KEHAMILAN KEMBAR

PERSALINAN DENGAN DIAGNOSA BAYI TUNGGAL MATI DALAM HAL KEHAMILAN KEMBAR


Contoh Legal Opinion.
Untuk Mahasiswa Program Mt Kuliah Praktik Peradilan Pidana FH UB.
Dikutip dari Buku Malpraktik Kedokteran Oleh Drs. H. Adami Chazawi, S.H.

Judul: PERSALINAN DENGAN DIAGNOSA BAYI TUNGGAL MATI DALAM HAL KEHAMILAN KEMBAR
I. PIHAK-PIHAK TERKAIT
1. Ny. Tm.
2. Ibu Bidan Ng.
3. Ibu Bidan TI.
4. Kapt. TNI/AD dr. Z.
5. AKP dr. At.
6. dr. Js.
7. dr. Fa.
8. dr. Ha.
9. dr. I.W.
10. dr. Ks.
11. Ibu Bidan Ha.
12. dr. Wo, SpOG.
II. KRONOLGI PERISTIWANYA.
1. Pasien, nama Ny. Tm, 27 tahun, tinggi 150 cm berat 80 kg (gemuk - pendek), pendidikan SD, alamat ......... Masuk kamar bersalin tanggal 7-3-2004 pukul 04.15, kiriman /rujukan dari Bidan Ng Puskesman Nongkojajar – Kabupaten Pasuruan. Alasan rujukan: Inpartu G3 P2002 dengan tali pusar tumbung. Ibu waktunya melahirkan, hamil ketiga. Melahirkan 2 kali bayi hidup. Tali pusar menjulur keluar jalan lahir.
2. Riwayat penyakit (sumber dari penderita): Tanggal 6-3-2004 pukul 17.00 perut penderita merasa kenceng-kenceng. Pk 24.00 penderita dibawa ke bidan Ng karena ketuban telah pecah dan tali pusar ikut keluar. Pasien menerangkan, bahwa ibu tidak lagi merasakan gerak bayi sejak jam 24.00. Bidan Ng tidak ikut serta mengantar ke RSSA.
3. Pasien diterima pertama kali oleh Kapt. dr. Z. Bersama dengan AKP dr. At dan dr. Js - mereka bersama-sama melakukan pemeriksaan pasien (dengan langkah-langkah: (1) mendengar keluhan utama; (2) anamnesa, seperti menanyakan riwayat haid, kebiasaan, riwayat persalinan sebelumnya; (3) pemeriksaan standar umum; kemudian (4) pemeriksaan khusus (kebidanan); karena kehamilan sudah diatas 20 minggu in casu 39-40 minggu maka langkah berikutnya ialah (5) pemeriksaan obstetri al pemeriksaan auskultasi dengan alat doppler, yang kemudian dilakukan (6) pemeriksaan tambahan – dengan pemeriksaan darah lengkap, kemudian baru (7) langkah menyimpulkan / membuat diagnosa. Setelah seluruh langkah-langkah pemeriksaan itu dijalankan, mereka berkonsultasi pada dr. Fa yang kemudian juga melakukan pemeriksaan menurut standar kebidanan dengan cara yang sama pula. Kemudian mereka membuat diagnosa sbb: “Ibu hamil ketiga; melahirkan bayi hidup 2 kali; tidak pernah keguguran; dalam fase akan melahirkan; usia kehamilan 39 – 40 minggu; bayi tunggal mati dalam rahim, disertai tali pusat menjulur (sudah tidak berdenyut dengan memar ); dan ketuban sudah pecah”.
4. Setelah itu dr. Fa berkonsultasi kepada dr Ha yang juga melakukan pemeriksaan dengan cara yang sama dan mendiagnosa yang sama pula. Kemudian diagnosa tersebut dikonsult dan diteruskan pada Chief Jaga (dr IW), yang kemudian juga memeriksa lagi pasien dengan cara yang sama. Diagnosa dr IW ternyata sama pula dengan diagnosa para dokter yang memeriksa sebelumnya. Diagnosa dr IW adalah: “Ibu hamil ke-3; melahirkan bayi hidup 2 kali; tidak pernah keguguran; dalam fase akan melahirkan; usia kehamilan 39 – 40 minggu; bayi tunggal mati dalam rahim; disertai tali pusat menjulur (sudah tidak berdenyut), dan ketuban sudah pecah”.
5. Dengan dasar diagnosa (oleh 5 dokter sebelumnya, oleh dr. Ha dan oleh dr IW) yang isinya sama, maka setelah segenap anggota Tim dan Chief Jaga (sesuai dengan prosedur operasional tindakan medis dalam kasus persalinan dengan kondisi seperti hasil diagnosa) mengambil keputusan sbb:
a. Menunggu persalinan spontan;
b. Pemberian informasi dan edukasi pada ibu dan keluarganya.
c. Observasi kondisi ibu dan kemajuan proses persalinan;
d. Evaluasi setiap 2 (dua) jam;
7. Dua jam kemudian - pukul 0.6.15 diadakan evaluasi pertama, dilakukan oleh dr. Ka, hasilnya dinyatakan bahwa “persalinan berjalan dengan baik, kondisi ibu baik, pembukaan leher rahim mencapai 8 cm (semula hanya 6 cm), diagnosa lain tetap”. Direncanakan untuk evaluasi 2 jam kemudian.
8. Dua jam kemudian – pukul 08.15 diadakan evaluasi kedua oleh dr Ka, yang hasilnya dinyatakan bahwa: “Ibu sudah memasuki kala pengeluaran bayi (pembukaan jalan lahir sudah lengkap atau 10 cm), namun posisi kepala tetap tidak menurun, ibu kelelahan dan dengan konstraksi rahim yang sudah menurun. Diagnosa lain tetap”.
9. Setelah membuat diagnosa hasil evaluasi tahap ke-dua, dr Ka melapor kepada dr IW, yang kemudian juga memeriksa dan membuat diagnosa – ternyata diagnosa dr IW sama dengan diagnosa dr Ka.
10. Oleh karena konstraksi rahim yang sudah menurun, keadaan Ibu sudah kelelahan, sedangkan air ketuban habis (telah pecah 8 jam yang lalu) – berarti persalinan kering, posisi kepala tetap tidak menurun, maka Tim jaga memprediksi bahwa bayi tidak akan dapat lahir spontan. Apabila lama persalinan memanjang lagi – akan mengancam keselamatan nyawa ibu (diagnosa dr Ka maupun dr IW). Berdasarkan pertimbangan itu Tim Medis memutuskan ialah: “untuk segera menolong persalinan dengan bantuan alat cunam muzeaux”.
11. Setelah Tim Medis memutuskan untuk membantu persalinan dengan menggunakan cunam muzeaux, sesuai prosedur RS pendidikan - dr IW berkonsultasi kepada dr Wo, SpOG sebagai supervisor untuk meminta pendapat dan persetujuan. Setelah mengemukakan diagnosa dan alasan-alasannya, dan kemudian dr Wo SpOG memberikan persetujuannya untuk membantu persalinan dengan menggunakan cunam muzeaux.
12. Langkah persiapan alat-alat dilakukan oleh Ibu Bidan Ha. Dengan dibantu oleh dr. Ka agar ibu mengejan sambil kulit kepala bayi dipandu dengan jepitan cunam muzeaux oleh dr IW – dan kurang lebih 1 menit – kepala bayi turun pada jalan lahir, cunam dilepas – dan lahirlah seorang bayi hidup – jenis kelamin laki-laki dengan berat 1800 gram – dan menangis - keadaan sehat. Pada kulit kepala didapatkan 2 luka lebar 1 cm sedalam kulit kepala dan tidak mengeluarkan darah. Luka dirawat oleh dr Ka – dijahit masing-masing 1 jahitan dengan maksud agar tidak infeksi. Dan didapatkan 2 tali pusat, yang satu milik bayi I yang sudah lahir hidup, dan yang satunya lagi sejak awal sudah keluar dan tidak berdenyut, milik bayi II mati dalam rahim.
13. Bayi I yang hidup diterima oleh Ibu Bidan Ha – segera dilakukan perawatan, lukanya dijahit satu jahitan (untuk mencegah infeksi) oleh dr Ka. Oleh karena ada 2 tali pusar, maka dr IW melakukan evaluasi ulang, ternyata ada satu bayi lagi dalam perut ibu dengan posisi sungsang – dan sudah mati dalam kandungan. Dengan dibantu oleh dr. Ha bayi kedua (mati) dapat lahir dengan cara dan prosedur persalinan sungsang.
14. Bayi II lahir (mati) kedua – diterima oleh Ibu bidan TI. Kondisi bayi: berat 2500 gram, maserasi tingkat I ( telah mati lebih dari 8 jam, didapatkan tanda-tanda kematian pada jazad bayi: kulit memutih keabu-abuan, mengelupas di dada, otot teraba lunak, kulit teraba seperti derik). Sesuai dengan tanda-tanda tersebut, diprediksi bayi II telah meninggal dalam rahim ibu lebih dari 8 jam sebelum persalinan.
15. Kemudian diadakan Analisis Retrospektif (setelah persalinan), dan diperoleh fakta-fakta medis, sbb:
a. Ibu datang ke kamar bersalin dalam keadaan inpartu (akan bersalin/otot rahim tegang), kehamilan kembar, satu hidup dan satu mati.
b. Posisi kedua janin dalam rahim intrauterin adalah:
 Bayi I hidup, bagian terendah kepala, posisi di bawah tertindih bayi kedua;
 Bayi II mati, bagian terendah bokong, posisi di atas bayi pertama dengan tali pusat sudah keluar dan tidak berdenyut.
 Kehamilan ini adalah: 1 (satu) ari-ari; 1 (satu) amnion; dan 1 (satu) chorion.
c. Tali pusat yang sudah keluar dan tidak berdenyut adalah milik bayi II yang sudah meninggal, dengan bagian terendah bokong.
d. Tarikan cunam muzeaux dilakukan atas dasar: (a) bayi tidak dapat lahir spontan disebabkan adanya massa menyerupai meningocele yang pada kenyataannya adalah paha dari bayi II yang berada diatas bayi I. Persalinan kering, keadaan ibu kelelahan, konstraksi rahim menurun, tidak dapat ditunggu lebih lama karena akan membahayakan jiwa ibu, dan (b) dengan telah persetujuan dr Wo, Sp.Og sebagai Supervisor/ konsulen tim jaga.
III. PERMASALAHAN HUKUM
Ada kesalahan diagonasa. Diagnoasa bayi tunggal dan mati – kenyataan bayi kembar, bayi I hidup dan bayi II mati. Dengan dingnoasa bayi tunggal dan mati, kelahiran dengan menggunakan cunam muzaeux. Akibat yang dianggap merugikan pasien, ialah timbul luka sedalam kulit kepala masing masing 1 cm. Apakah dengan akibat itu, peristiwa ini dari sudut hukum pidana merupakan malpraktik dokter?
IV. ANALISIS HUKUM.
Untuk menjawab permasalahan pokok itu, dirasa perlu mencari jawaban lebih dulu dari banyak pertanyaan, berikut:
1. Apakah penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati dapat dipandang wajar ataukah tidak? Jawaban pertanyaan hukum ini bergantung pada: (1) wujud langkah-langkah mengobservasi atau memeriksa pasien dan (2) fakta-fakta medis yang diperoleh sebagai dasar pertimbangan menarik diagnosa bayi tunggal mati.
2. Dengan diagnosa bayi tunggal dan mati, apakah dipandang wajar/patut mengambil terapi persalinan Ny. Tm dengan bantuan cunam muzaeux?
3. Apakah ada cukup indikasi medis hasil observasi dan pemeriksaan yang dipandang telah patut untuk menggunakan cara/alat lain in casu USG?
4. Apakah upaya menolong persalinan Ny. Tm dengan bantuan alat cunam muzaeux dapat dipandang sebagai upaya yang luar biasa dalam keadaan daya - paksa (overmacht) demi untuk menyelamatkan jiwa ibu?
5. Apakah kematian bayi II sebagai akibat (causaal verband) dari penanganan medis yang dilakukan tim medis/jaga RSSA?
7. Apakah dua luka sedalam kulit kepala bayi hidup dapat dipandang sebagai luka yang mendatangkan penyakit (ziekte) atau luka yang menghalangi dalam menjalankan pekerjaan atau jabatan untuk sementara waktu menurut ketentuan Pasal 360 ayat 2 KUHP?.
Analisis kasus ini ditujukan untuk menjawab 7 pertanyaan hukum tersebut, dalam rangka menjawab pertanayaan pokok ialah apakah telah terjadi malpraktik pidana?
1. Permasalahan Hukum yang Pertama.
Apakah penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati dapat dipandang patut / wajar? Jawaban permasalahan ini bergantung sepenuhnya pada 2 hal.
a. Pertama, tentang sejauh mana ketentuan atau norma-norma kedokteran dalam hal prosedure penanganan (standar profesi dan standar prosedur operasional) telah diikuti dan dijalankan, khususnya prosedur penanganan untuk mendapatkan fakta-fakta medis pasien sebagai bahan untuk menarik diagnosa bayi tunggal dan mati?
b. Kedua, apakah fakta-fakta medis yang ada telah cukup dipandang patut dan wajar dan dapat digunakan sebagai indikator medis yang dijadikan bahan / dasar pertimbangan dalam hal menarik diagnosa bayi tunggal dan mati?
Baik prosedurnya maupun fakta-fakta medis yang dijadikan dasar analisis/pertimbangan medis saling berhubungan, tidak terpisahkan. Maksudnya, ialah apabila: (1) prosedur penanganan yang in casu mengobservasi atau melakukan pemeriksaan untuk mendapatkan fakta-fakta medis pasien sebelum penarikan diagnosa, telah dijalankan menurut prosedur yang benar, dan (2) fakta-fakta medis yang dijadikan dasar pijakan dalam hal menarik diagnosa telah benar dan wajar, maka tindakan menarik diagnosa bayi tunggal dan mati telah dianggap wajar/patut dan benar pula, walaupun pada kenyataannya kemudian (setelah pertolongan medis) diagnosa bayi tunggal salah, dan bayi mati adalah benar.
Pertimbangannya ialah, dari sudut pandang ilmu kedokteran khususnya kebidanan, bahwa “baik dari sudut sesuatu cara/ prosedur maupun alat yang digunakan tidak dapat menjamin 100 % ketepatan diagnosa terhadap keadaan kandungan bayi kembar seorang ibu”. Banyak faktor yang sangat berpengaruh baik dari sudut prosedurnya, alatnya dan keadaan-keadaan khusus yang ada pada kandungan ibu tersebut maupun situasi dan kodisi saat observasi dilakukan. Jadi dalam pandangan ilmu kedokteran, salah diagnosa dapat dipandang wajar sepanjang prosedur pemeriksaan atau observasi dalam hal mendapatkan fakta-fakta medis telah benar, dan fakta-fakta medis yang dijadikan dasar penilian juga benar. Seperti dikatakan oleh Oemar Seno Aji, “…, bahwa suatu diagnosis dan terapi xang kurang benar tidak demikian saja dipertanggungjawabkan kepada dokter yang bersangkutan, apabila dokter tersebut dengan segala kemampuan yang normal yang ada padanya dan mengikuti “zorgvuldigheid” yang diperlukan.
Pandangan kedokteran ini sesuai dengan padangan hukum pidana ialah, kesalahan diagnosa atau kesalahan terapi atau salah diagnosa yang sekaligus salah terapi tidak membeban pertanggungjawaban pidana sepanjang tidak berakibat kematian atau luka-luka sebagaimana terdapat dalam UU (KUHP). Titik berat sifat melawan hukumnya perbuatan, bukan semata-mata pada perbuatan in casu tingkah laku observasi/ pemeriksaannya atau diagnosanya, akan tetapi bergantung pada akibat, bukan pada kesalahan diagnosa atau salah terapi. Dari sudut hukum pidana, penilaian sifat melawan hukumnya perbuatan dalam culpa lata medis harus dimulai dari akibat kematian atau luka (harus luka yuridis), baru kemudian menilai pada tingkah laku medis dalam mengobservasi (apakah langkah-langkahnya patut disalahkan?) dan diagnosanya.
Akibat tidaklah berdiri sendiri melainkan kumulatif dengan sal`h prosedur / tidak wajarnya prosedur yang menghasilkan fakta-fakta yang salah. Salah fakta dapat menyebabkan salah diagnosa dan salah terapi. Pandangan hukum terhadap malpraktik kedokteran tidaklah cukup semata-mata dari sudut akibat, tetapi menyeluruh dengan mempertimbangkan pula pada langkah-langkah dan sikap batin dokter sebelum menarik diagnosa dan melakukan tindakan medisnya. Pada malpraktik kedokteran selalu harus ada hubungan antara sikap batin yang dipersalahkan dengan tindakan medis yang diambilnya, beserta timbulnya akibat medis yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien.
Oleh karena itulah, maka permasalahan yang pertama ini membahas dan menilai tentang semata-mata prosedur observasi/ pemeriksaan dan fakta-fakta medis yang didapatnya, dan belum masuk pada permasalahan pandangan hukum pidana dalam hal pertanggungjawaban pidana in casu terhadap akibat perbuatan atas suatu culpa lata medis. Walaupun demikian, dalam bahasan terhadap permasalahan yang pertama ini dapat digunakan sebagai landasan dan pijakan, karena ada hubungan yang erat dengan beberapa jawaban dari permasalahan berikutnya, khususnya permasalahan yang kedua., serta ada hubungan pula dengan jawaban atas permasalahan pokok hukumnya.
Studi kasus hukum ini akan mencoba memberikan jawaban hukum sedetail mungkin pada setiap sub permasalahan hukum yang telah ditetapkan, yang maksudnya adalah: (a) dari sudut pandang manapun - baik dari sudut ilmu kedokteran/ kebidanan, maupun dari sudut ilmu hukum dan norma hukum (pidana) dan sekecil apapun, dapat diungkap tentang kejelasan untuk menerangkan tentang apakah patut atau tidaknya kasus bayi Ny. Tm ini diangkat sebagai kasus hukum pidana?. Tinjauan secara detail ini juga dimaksudkan ialah (b) untuk menghidari unsur-unsur non juridis (seperti emosi publik) dan motivasi pribadi yang tidak patut yang akan mempengaruhi proses penegakan hukum secara benar dan transparan. Dalam praktik hukum haruslah dihindari tekanan emosional dalam proses penanganan suatu perkara, agar tidak terkesan memforsir /memaksakan diri. Satu-satunya landasan para praktisi hukum dalam menjalankan norma hukum adalah hukum dan fakta-fakta hukum yang ada.
a. Hal yang Pertama, Tentang Prosedur/Langkah-langkah.
Tentang kronologis peristiwa, telah digambarkan langkah-langkah perlakuan penanganan medis terhadap Ny. Tm baik oleh perorangan maupun bersama, yang untuk singkatnya ialah:
1) Langkah Awal, yang antara lain menanyakan tentang identitas dan tujuan kedatangan Ny. Tm;
2) Langkah anamnesis, al menanyakan tentang riwayat: perkawinan, haid, penyakit ibu dan keluarga, kebiasaan, riwayat persalinan sebelumnya;
3) Langkah pemeriksaan Umum, yang pada intinya melakukan pemeriksaan terhadap penyakit/sakit pada umumnya, al.: tipe badan, tinggi dan berat badan, mulut, tenggorokan, kondisi jantung dan paru, tekanan darah dll;
4) Pemeriksaan Khusus (kebidanan), dengan langkah khususnya terhadap kehamilan diatas 20 minggu (in casu 39-40 minggu), telah dilakukan (a) pemeriksaan inspeksi / pengamatan luar al. memeriksa tinggi rahim (b) pemeriksaan palpasi (melalui perabaan) untuk mendapatkan tinggi fundus/perut, uteri; letak dan keadaan uterus; (c) auskultasi (memeriksa frekuensi denyut jantung janin dengan doppler dan memeriksa panggul);
5) Pemeriksaan tambahan, dengan pemeriksaan darah lengkap, pengukuran panggul dengan jari.
6) Membuat kesimpulan, menarik diagnosa.
Langkah-langkah yang telah dilakukan diatas, telah sesuai standar prosedur operasional (protap) sebagaimana dibenarkan oleh ahli kedokteran /kebidanan Universitas Brawijaya yakni Prof. DR. Soetomo Soewarto, SpOG. Langkah-langkah pelayanan medis tersebut telah sesuai pula dengan literatur yang menjadi pegangan para dokter dan bidan dalam penanganan persalinan.
Jadi dalam hal prosedur penanganan terhadap bayi Ny. Tm dalam hal menarik diagnosa bayi tunggal mati, telah benar sesuai dengan standar prosedur operasional yang pada umumnya berlaku dalam praktik kedokteran/kebidanan, artinya tidak ada sesuatu langkah yang salah atau dilampaui. Oleh karena itu dalam perlakuan pada tahap pemeriksaan untuk mendapatkan fakta-fakta medis telah dijalankan dengan benar. Artinya pada tahap ini tidak terdapat culpa mengenai langkah-langkah. Karena langkah-langkah telah benar. Tidak mungkin ada culpa pada langkah, dalam langkah yang pada kenyataannya benar.
b. Hal yang Kedua, tentang Fakta-fakta Medis.
Fakta-fakta medis yang didapat hasil dari langkah-langkah pemeriksaan dijadikan dasar pertimbangan dalam hal Tim Medis menarik diagnosa bayi tunggal dan mati, ialah:
 inpartu G3 P2002;
 hamil ketiga, dan tidak pernah keguguran;
 tinggi rahim 34 cm.
 merasakan hanya ada 2 bagian besar janin saja.
 usia kehamilan 39-40 minggu;
 dalam fase akan melahirkan
 ketuban telah pecah;
 tali pusat keluar dan sudah tidak berdenyut;
 tidak terdengar detak jantung bayi;
 tidak pernah kelainan kehamilan;
 keterangan Ibu/pasien bahwa sejak pk 24.00 tidak lagi merasakan gerakan janin dalam rahimnya.
Dari sekian fakta-fakta medis tersebut diatas, fakta medis yang paling relevan sebagai dasar penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati, analisisnya berikut ini.
1) Fakta tinggi rahim 34 cm. Dasar pertimbangan medisnya ialah dari sudut ilmu kedokteran/kebidanan, mengenai ukuran CM tinggi rahim bagi ibu yang mengandung janin tunggal normal setelah umur 20 minggu adalah mengikuti umur minggu kandungan, yang artinya jika umur janin 28 minggu - maka tinggi rahim + 28 cm; dan pada umur 36 minggu – tinggi rahim 36 +/- 2 cm. Jadi ukuran cm-nya akan mengikuti jumlah minggu usia kandungan ibu. Sedangkan dalam kasus ini dalam usia janin 39 – 40 minggu dengan tinggi rahim hanya 34 cm, adalah benar untuk janin tunggal normal. Sedangkan jika janin kembar dengan masa kehamilan 39 – 40 minggu seharusnya tinggi rahim diatas tinggi rahim dengan kandungan janin tunggal normal, artinya seharusnya diatas 38 cm. Pada kenyataanya tinggi rahim Ny. Tm hanya 34 cm saja. Oleh sebab itu tinggi rahim 34 cm ini digunakan sebagai dasar penilaian bayi tunggal adalah wajar dan patut.
2) Fakta medis merasakan hanya ada 2 bagian besar janin saja. Apabila dalam rahim terdapat bayi kembar normal seharusnya dalam rabaan, terasa setidaknya ada 3 (tiga) bagian besar janin (misalnya dua kepala satu bokong, atau dua bokong satu kepala). Apabila dalam rabaan terasa hanya ada 2 bagian besar janin saja, keadaan itu sebagai indikator bahwa bayi dalam rahim adalah bayi tunggal. Apabila janin memang kembar dapat diraba setidak-tidaknya ada 3 bagian besar janin. Tetapi dalam kasus ini teraba hanya ada 2 bagian janin saja, hal ini wajar karena poisisi kedua janin intrauterin dengan berat/besar bayi yang berbeda, yang kecil dihimpit oleh janin yang besar.
3) Fakta medis tidak pernah kelainan kehamilan. Fakta medis ini memperkuat diagnosa bahwa kehamilan ibu Tm tidak ada kelainan in casu janin kembar, dan lebih-lebih lagi dengan janin kembar posisi intrauterin yang sangat jarang terjadi (+ 0,6 % dari kehamilan kembar)
4) Fakta tali pusat keluar dan tidak berdenyut. Disini ada 2 fakta medis, ialah (1) tali pusat keluar dan (2) tidak berdenyut. Fakta-fakta medis tersebut diatas ditambah dengan dua fakta medis ini, memperkuat sangkaan atau prediksi sehingga menarik diagnosa bayi tunggal dan mati. Tali pusat keluar adalah wajar diprediksi milik bayi tunggal dan mati, karena tidak terdengar detak jantung bayi, yang diperkuat oleh keterangan ibu bahwa sejak pukul 24.00 sudah tidak lagi merasakan gerakan janin. Hal ini tertulis dalam buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal hal. M-83. Juga buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal hal 324. Sesuai pula dengan Standar Prosedur Operasional RSSA tentang Tali Pusat Tumbung. Apabila ada janin hidup seharusnya dapat didengar detak jantung janin, yang dengan alat doppler akan terdeteksi.
5) Fakta tidak terdengar detak jantung, sesuai dengan tali pusat tumbung tidak berdenyut. Fakta-fakta medis ini adalah indikator kuat yang menandakan / memastikan bahwa bayi dalam kandungan telah mati.
6) Disamping itu postur tubuh ibu gemuk (berat 80 kg dan tinggi 150 cm) dari sudut kedokteran adalah merupakan faktor kesulitan pula dalam mendiaganosa kandungan.
Atas dasar semua fakta medis tersebut diatas, satu pun tiada yang menandakan bahwa bayi/janin dalam kandungan adalah kembar, melainkan sebaliknya adalah tunggal dan mati. Oleh karena itu adalah wajar diagnosa yang ditarik bahwa bayi tunggal dan mati. Apabila dokter lain menilai fakta-fakta medis yang ada seperti diurai diatas dipastikan akan menarik diagnosa bayi tunggal dan mati pula, sama dengan yang dilakukan tim medis RSSA.
Apabila penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta medis hasil dari analisis retrospektif, maka fakta-fakta medis hasil analisis retrospektif ini bersesuaian bahkan menunjang (hubungan positif) terhadap diagnosa bayi tunggal dan mati. Fakta-fakta medis sebagai indikator bayi tunggal dan mati yang didapatkan dari analisis retrospektif adalah sebagai berikut:
1) Posisi kedua janin dalam rahim : intrauterin, ialah bayi I hidup presentasi kepala dengan posisi dibawah dihimpit bayi II mati; dan bayi II mati presentasi bokong menghimpit bayi I hidup – dengan tali pusat tumbung dan tidak berdenyut.
2) Berat (besarnya) bayi I hidup hanya 1800 gram (sangat kecil – abnormal) dengan posisinya terhimpit pula sedangkan bayi II mati 2500 gram (lebih besar).
Dua fakta medis tersebut memperkuat diagnosa bayi tunggal dan mati. Karena walaupun bayi I hidup, dari posisinya dibawah terhimpit bayi II yang mati, maka sangat wajar/patut tidak dapat teraba letak bayi I hidup dan tidak terdeteksi detak jantung bayi I hidup tersebut.
Berbagai literatur ilmu kedokteran/kebidanan menyatakan yang pada intinya, bahwa dalam hal bayi kembar intrauterin dengan selisih berat bayi yang berbeda (kumulatif), yang dapat digunakan sebagai alasan pembenar dan penguat terhadap diagnosa bayi tunggal dalam kasus ini, dapat dirujuk al sebagai berikut:
 Prof. DR. Sarwono, SpOG dalam buku Ilmu Kebidanan, yang menyatakan bahwa: kemungkinan kejadian bayi kembar dengan posisi dalam rahim seperti kehamilan ibu Tm kejadiannya hanya berkisar 0,6 % saja dari seluruh kehamilan kembar”. Jadi kejadian sebagaimana kehamilan Ny. Tm ini sangat langka, oleh karena itu wajar tim medis mendiagnosa sebagai bayi tunggal.
 Prof. DR Sarwono, SpOg, juga menyatakan bahwa untuk dapat mendeteksi secara tepat terhadap kehamilan kembar yang normal dengan salah satu bayi berat kurang dari 2500 gram adalah hanyalah 50 % saja. Sedangkan dalam kasus ini berat bayi yang hidup hanya 1800 gram – jauh dibawah 2500 gram. Artinya tingkat ketepatan diagnosanya akan semakin rendah dari pada tingkat ketepatan rata-rata yang disampaikan Prof Sarwono tersebut. Dengan posisi dihimpit oleh bayi II mati yang lebih besar dan berada diatas, adalah sangat wajar untuk tidak dengan mudah dapat diditeksi keberadaan dan letak bayi I hidup – kembarannya yang lebih kecil, karena terhalang oleh posisi bayi besar yang menghimpit tadi. Bahwa apa yang ditulis oleh Prof. Sarwono ini merupakan bukti bahwa dalam bidang kedokteran kesalahan diagnosa adalah hal yang bukan luar biasa.
 William Obstetrics, Chapter 30 Multifetal Fregnancy, menyatakan “Even late in pregnancy it may be very difficult to identify twins by transabdominal palpation, especially if one twin overlies the other, if the women is obese, or if hydramnios is present”. Dalam literatur ini juga secara jelas dinyatakan tentang adanya kesulitan dalam hal mendiagnosa pada bayi kembar dengan posisi menumpuk dan ditambah lagi tubuh ibu terlampau gemuk seperti Ny. Tm.
Jadi dari dua fakta medis (1) posisi kedua bayi intrauterin dan (2) berat bayi satu dengan posisi tertindih hanya 1800 gram (tidak normal), dan yang satunya 2500 gram, ditambah lagi postur tubuh sangat gemuk, tingkat kesulitan diagnosanya sangat tinggi. Dengan ditambah fakta-fakta medis dari observasi dan pemeriksaan yang telah dilakukan sebagaimana tersebut diatas, maka sangat wajar apabila tim medis RSSA menarik diagnosa bayi tunggal dan mati. Dokter lain yang setingkat dengan para dokter yang menangani kasus ini dipastikan mengalami kesulitan yang sama dengan para dokter ini, dan akan menarik kesimpulan yang sama pula. Doktrin hukum pidana mengenai culpa membenarkan analisis hukum ini.
Kesimpulan bahasan permasalahan hukum pertama, ialah:
Bahwa oleh karena dalam hal pemeriksaan terhadap Ny. Tm telah dilakukan secara benar sesuai prosedur, dan penarikan diagnosa bayi tunggal mati didasarkan pada fakta-fakta medis yang akurat dan benar, maka penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati adalah wajar/patut dan sepenuhnya dapat diteloransi. Oleh karena itu maka tidak ada sesuatu culpa lata dalam hal penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati.
2. Permasalahan Hukum yang Kedua.
Permasalahan hukum yang kedua, ialah dengan diagnosa bayi tunggal dan mati, apakah terapi pertolongan persalinan dengan bantuan cunam muzeaux dapat dipandang wajar/patut?
Setelah menarik diagnosa bayi tunggal dan mati (yang telah dipandang wajar), kemudian memutuskan perlakuan medis/terapi, ialah:
a. menunggu persalinan spontan;
b. observasi kondisi ibu dan kemajuan persalinan;
c. evaluasi setiap 2 jam; dan
d. pemberian keterangan dan edukasi pada ibu dan keluarganya.
Memutuskan perlakuan medis/terapi sebagaimana tersebut huruf (a) s/d (d) adalah telah benar - sesuai dengan prosedur penanganan (Standar Prosedur Operasional RSSA / Buku IMPAC / Buku Acuan Nasional) terhadap kehamilan dengan tali pusat tumbung yang sudah tak berdenyut dalam kondisi seperti Ny. Tm. Pada saat memutuskan perlakuan medis tersebut, tidak ada indikasi harus segera/memaksa untuk segera dilakukan persalinan, karena belum kala pengeluaran bayi (pembukaan rahim baru 6 cm, yang artinya belum lengkap, dan tidak boleh dilakukan pemaksaan kelahiran sebelum pembukaan rahim lengkap 10 cm).
Pada evaluasi pertama, dilakukan dr Ks yang berdasarkan perolehan data medis yang ada, maka dr Ks mendiagnosa bahwa “proses persalinan berjalan dengan baik, kondisi ibu baik, pembukaan leher rahim mencapai 8 cm (semula 6 cm). Diagnosa tetap. Direncanakan menunggu 2 jam lagi” (lihat perkembangan berikutnya - tunggu pembukaan rahim lengkap: 10 cm).
Dua jam kemudian evaluasi ke-2 oleh dr Ks, dan berdasarkan fakta medis yang ada, dr Ks mendiagnosa bahwa: Ibu sudah memasuki kala pengeluaran bayi (pembukaan jalan rahim sudah lengkap 10 cm) dengan konstraksi rahim menurun, ibu dalam keadaan kelelahan, kepala janin tidak turun. Diagnosa lain tetap.
Setelah membuat diagnosa hasil evaluasi tahap kedua, dr Ks melapor pada dr IW, yang kemudian juga memeriksa dan membuat diagnosa yang ternyata sama dengan diagnosa dr Ks.
Fakta-fakta medis yang ada dan hasil evaluasi tahap ke-2, ialah:
a. konstraksi rahim ibu sudah menurun;
b. ibu sudah memasuki kala pengeluaran bayi – pembukaan rahim 10 cm;
c. persalinan kering (karena ketuban sudah pecah 8 jam sebelumnya);
d. keadaan ibu sudah kelelahan (telah 15 jam menderita).
Berdasarkan fakta-fakta medis tersebut diatas, maka wajar tim medis memprediksi bahwa bayi tidak dapat lahir spontan (alami) sebagaimana yang diharapkan pada saat - kala pembukaan rahim 6 cm pada 4 jam sebelumnya.
Apabila lama proses persalinan memanjang lagi – akan mengancam keselamatan jiwa ibu. Berdasarkan pertimbangan itu, maka tim jaga/medis yang diketuai dr IW memutuskan bahwa “persalinan segera dilakukan dengan bantuan “cunam muzaeux”. Sebelum dilakukan tindakan medis pertolongan persalinan sebagaimana yang telah diputuskan, menurut prosedur RS pendidikan - terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari supervisor tim jaga yakni dr. Wo, SpOg. Maka dr. IW segera menghubungi supervisor dengan mengemukakan kondisi si Ibu, hasil diagnosa dan rencana perlakuan medisnya beserta alasan-alasannya yang sekaligus meminta persetujuan. Setelah dr IW mengemukakan diagnosa dan minta persetujuan untuk menolong persalinan dengan cunam muzaeux beserta alasan-alasananya, dr. Wo, SpOG memberikan persetujuannya.
Dalam hal ini patut dicatat fakta hukum yang penting ialah, bahwa memutuskan terapi untuk segera menolong persalinan dengan bantuan cunam muzaeux tersebut adalah pada saat yang rawan /mendesak – setelah fakta-fakta medis mengindikasikan bahwa persalinan tidak dapat spontan dan akan membahayakan jiwa ibu jika proses persalinan memanjang lagi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ada 4 (empat) alasan pokok untuk segera menolong persalinan (setelah evaluasi tahap 2) dengan bantuan alat cunam muzeaux tersebut, ialah:
a. Diagnosa bayi tunggal dan mati (yang dipandang sebagai wajar/patut);
b. Fakta-fakta medis hasil evaluasi tahap 2 menunjukkan bahwa:
(1) ibu sudah memasuki kala melahirkan (karena pembukaan rahim sudah 10 cm);
(2) konstraksi rahim menurun;
(3) persalinan kering (ketuban pecah 8 jam sebelumnya);
(4) keadaan ibu sudah kelelahan.
c. Atas pertimbangan terhadap fakta-fakta medis huruf b tersebut, tim memprediksi bahwa ibu tidak dapat melahirkan spontan, dan bila tidak segera dilakukan pertolongan persalinan – akan membahayakan jiwa ibu.
d. Telah mendapatkan persetujuan dari dr. Wo, SpOG sebagai supervisor tim jaga (sesuai prosedur RS pendidikan).
Jelas bahwa dari sudut padang dua hal tersebut diatas, penggunaan cunam muzaeux dianggap wajar dan patut. Dengan begitu, terhadap akibat 2 luka 1 cm sedalam kulit kepala bayi yang semula dianggap mati harus dianggap sebagai wajar pula. Itu dari sudut objektif.
Bagaimana dari sudut sikap batin? Dalam hal luka, memang patut disadari sebelumnya. Disini ada sikap batin. Namun sikap batin ini tersesat pada anggapan bayi mati. Anggapan bayi mati mana adalah wajar berdasarkan 2 alasan sebagaimana diterangkan diatas. Oleh karena itu sikap batin terhadap luka kepala bayi hidup juga tersesat hukum (rechtsdwaling). Tersesat hukum oleh sebab hal-hal yang menurut logika wajar dapat dibenarkan. Tersesat yang wajar termasuk hal yang sulit dihindari. Menurut hukum pembuat melakukan perbuatan karena tersesat seperti ini, tidak dapat dipertangungjawabkan.
Kesimpulan permasalahan hukum kedua, ialah: Upaya pertolongan persalinan Ny. Tm yang dilakukan Tim Medis RSSA baik dilihat dari prosedurnya sebagai RS pendidikan, maupun alasan-alasannya telah dipandang benar dan patut. Tidak ada sesuatu kurang pemikiran atau kurang penghati-hati sebagaimana yang diharuskan. Oleh karena itu, penggunaan cunam muzaeux dalam pertolongan dipandang benar.
3. Permasalahan Hukum Ketiga.
Apakah ada cukup indikasi medis hasil observasi dan pemeriksaan yang dipandang telah patut untuk menggunakan cara/alat lain in casu USG? Untuk menjawab pertanyaan hukum ini, ada beberapa yang perlu diterangkan, ialah:
a. Pertama. Agar dapat dibenarkan menggunakan suatu cara/alat misalnya USG atau CT scan diharuskan ada indikasi medis yang membenarkan dan perlu untuk dapatnya menggunakan cara/alat untuk tindakan medis tersebut. Bahar Azwar dalam bukunya Sang Dokter mengatakan, bahwa “pemeriksaan canggih antara lain CT scan, MRI dan sebagainya hanya dilakukan atas indikasi yang tepat, artinya hanya dilakukan kalau ada alasan khusus untuk melakukannya”.
Dalam hal pemeriksaan standar kebidanan (telah menggunakan alat doppler) yang dilakukan oleh 7 (tujuh) orang dokter baik sendiri-sendiri maupun secara bersama, tidak menemukan indikasi medis apapun untuk membenarkan menggunakan cara /alat USG dalam hal mengobservasi dan memeriksa untuk mendiagnosa keadaan kandungan Ny. Tm ini. Indikasi medis yang dibenarkan menggunakan USG, misalnya ada denyut jantung bayi (yang mengindikasikan kehidupan janin). Tetapi tali pusat tumbung - tidak berdenyut (yang mengindikasikan bayi mati dalam kandungan).
Dalam contoh kasus yang baru disebutkan diatas, diperlukan pemeriksaan kehamilan dengan alat USG, karena ada dua indikasi medis yang saling bertentangan. Ratio diperlukan penggunaan alat USG ialah untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena indikasi medis untuk menggunakan USG tidak ditemukan pada kehamilan Ny. Tm, maka langkah untuk tidak menggunakan USG telah dipandang benar dan patut. Hal ini sesuai dengan standar prosedur operasional RSSA, Buku IMPAC, Buku Acuan Nasional, dan Buku Panduan Praktis, yang kesemuanya tidak menyebutkan penggunaan USG dalam pemeriksaan dan obsevasi penanganan kehamilan dengan tali pusat tumbung.
b. Kedua, mengenai kebiasaan yang berlaku. Apabila kebiasaan yang berlaku pada umumnya dalam hal pemeriksaan terhadap kandungan ibu di suatu RS dengan fasilitas yang ada pada umumnya RS yang sama (in casu RS Pemerintah) tidak menggunakan USG, maka pemeriksaan dengan cara yang pada umumnya berlaku ini dengan menghasilkan diagnosa bayi tunggal dan mati adalah dianggap wajar dan dibenarkan pula.
c. Ketiga, penggunaan USG disamping pada kasus-kasus tertentu yang ditemukan indikasi yang memang perlu untuk menggunakannya, juga harus dilakukan oleh dokter yang berkompeten dan ahli untuk itu, dan tidak digunakan dalam sembarang kasus. Karena itu, dengan alasan ini juga maka dalam penanganan kasus ini – dibenarkan untuk tidak menggunakan cara lain, karena dengan langkah-langkah yang umumnya dijalankan pada umumnya persalinan sudahlah cukup.
d. Keempat, penggunaan USG pun tidak menjamin ketepatan diagnosa terhadap kandungan ibu bayi kembar apabila dilakukan hanya 1 (satu) kali saja. Hanya 67 persen saja kemungkinan ketepatan diagnosa terhadap bayi kembar dalam kandungan bila hanya dilakukan pemeriksaan satu kali saja. Dan kemungkinan itu akan semakin rendah apabila bayi kembar tersebut (a) posisinya berhimpitan (intrauterin) dengan (b) berat/besar bayi yang berbeda – dimana bayi yang kecil berada dibawah dihimpit oleh bayi yang lebih besar. Lebih-lebih lagi bila postur tubuh ibu gemuk pendek – sebagaimana pada kasus kehamilan Ny. Tm.
Kesimpulan:
Dengan alasan-alasan tersebut diatas, maka pemeriksaan standar medis kedokteran yang dilakukan Tim Medis RSSA dan mendiagnosa bayi tunggal dan mati adalah wajar/patut. Oleh karena itu dari tinjauan sudut pandang ini juga tidak ada culpa lata medis yang membentuk pertanggungjawaban hukum pidana terhadap akibat dua luka 1 cm sedalam kulit kepala bayi.
4. Permasalahan Hukum Keempat.
Apakah upaya menolong persalinan Ny. Tm dengan bantuan cunam muzaeux dapat dipandang sebagai upaya luar biasa dalam keadaan daya-paksa (overmacht) untuk menyelamatkan jiwa ibu?
Dari sudut hasil analisis retrospektif, bahwa fakta medis tentang letak posisi kedua janin (intrauterin) yang ternyata memang tidak memungkinkan ibu dapat melahirkan spontan (alami), karena bayi I hidup tidak dapat lahir karena terhalang oleh paha bayi II mati yang berada/menindih bayi I hidup. Dari analisis retrospektif, telah dapat diprediksi apabila pertolongan persalinan tidak segera dilakukan dengan bantuan cunam muzeaux dan menunggu lahir spontan, maka nyawa ibu tidak terselamatkan. Tindakan medis ini dapat dipandang sebagai tindakan dalam kedaan daya-paksa, khususnya dalam keadaan darurat atau noodtoestand (bagian daya paksa relatif) yang terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan jiwa ibu, yang dibenarkan dalam hukum pidana (pasal 48 KUHP). Pertimbangan hukumnya, ialah
a. Menyelamatkan kepentingan hukum yang lebih besar ialah nyawa ibu dengan mengorbankan kepentingan hukum yang lebih kecil ialah luka sedalam kulit kepala bayi (azas subsidiariteit)
b. Melakukan pilihan pada perbuatan yang mengandung resiko yang paling ringan (azas proposionaliteit). Dalam keadaan demikian upaya lain yang bisa dilakukan adalah tindakan seksio sesarea (operasi sesar). Tetapi tindakan ini jauh lebih besar risikonya dari pada dengan menggunakan bantuan alat cunam muzeaux tersebut.
Jadi satu-satunya upaya untuk menyelamatkan nyawa ibu dalam keadaan yang demikian yang tidak berisiko tinggi, ialah membantu kelahiran dengan tarikan cunam meazeux sebagaimana yang telah dilakukan dalam kasus ini. Disini telah berlaku prinsip daya paksa ialah “terkorbankan kepentingan hukum yang lebih kecil demi untuk mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar”. Dan ternyata memang resikonya jauh lebih kecil dari pada misalnya dilakukan dengan seksio sesarea (risiko kematian ibu). Artinya dalam hal ini juga telah berlaku azas “subsidiariteit” dalam hukum, yang membenarkan setiap pilihan tindakan yang mengandung resiko yang paling ringan. Jadi dari analisis retrospektif, adalah dibenarkan Tim Medis yang diketuai oleh dr. IW menolong persalinan Ny. Tm dengan alat bantu cunam muzeaux tersebut.
5. Permasalahan Hukum Kelima.
Apakah kematian bayi II adalah akibat dari (causaal verband) penanganan Tim medis RSSA? Banyak fakta medis yang membuktikan bahwa sebelum datang dan diterima oleh Tim Jaga/tim medis RSSA tanggal 7-3-2004 jam 0.4.15, telah terjadi kematian bayi dalam kandungan Ibu, yang dibedakan antara (a) fakta-fakta medis sebelum persalinan, dan (b) fakta-fakta medis setelah persalinan.
a. Fakta-fakta Medis Sebelum Ibu Melahirkan. Pada saat dilakukan obsevasi dan pemeriksaan medis terhadap ibu – tanda-tanda / indikator kematian telah terdapat secara nyata, ialah sbb:
1) Tali pusat telah keluar dan tidak lagi berdenyut;
2) Dengan alat doppler – tidak terdengar lagi detak jantung bayi dalam rahim;
3) Keterangan Ibu bahwa sejak pukul 24.00 tidak terasa lagi gerakan bayi dalam kandungan.
b. Fakta-fakta Medis Setelah Bayi II dilahirkan. Setelah bayi II dilahirkan, maka pada jasad bayi terdapat tanda-tanda/ indikator kematian, ialah:
1) Kulit memutih keabu-abuan;
2) Kulit mengelupas – terutama di dada;
3) Otot teraba sudah lunak;
4) Kulit teraba seperti derik;
Kesimpulan: Dari fakta-fakta medis tersebut diatas telah dapat dipastikan bahwa kematian bayi II telah terjadi (lebih dari 8 jam) sebelum pertolongan medis dilakukan. Oleh karena itu kematian ini tidak relevan dengan penanganan medis yang dilakukan oleh tim medis RSSA Malang.
6. Permasalahan Hukum Ke-enam.
Apakah 2 (dua) luka kepala bayi I hidup lebar 1 cm sedalam kulit kepala dapat dikualifisir sebagai luka yuridis , luka yang dimksud dalam Pasal 360 ayat 2 KUHP?.
Sebagaimana pada analisis hukum terhadap sub permasalahan hukum pertama diatas, yang pada dasarnya telah ditarik simpulan bahwa dalam penanganan kasus kelahiran bayi Ny. Tm tidak terjadi culpa lata medis (hukum pidana), baik pada penarikan diagnosa maupun terapinya. Diagnosa dan terapi dipandang benar dan patut, walaupun diagnosa salah. Maka terhadap akibat luka pada kulit kepala bayi hidup tidak membentuk pertanggungjawaban hukum pidana.
Namun andaikata di dalam penanganan persalinan Ny. Tm dari sudut hukum pidana ada kesalahan prosedur atau kesalahan terapi, maka jawaban dari permasalahan hukum yang ke-enam tentang akibat luka kulit kepala bayi I hidup - barulah menjadi penting. Namun demikian, lepas dari ada atau tidak adanya pelanggaran standar profesi dan standar prosedur dalam penanganan kasus persalinan Ny. Tm ini, tetap luka pada kulit kepala bayi I hidup tersebut harus dinilai. Untuk menentukan kasus ini apakah cukup dasarnya diangkat sebagai kasus malpraktik pidana dengan merujuk Pasal 360 KUHP.
Sebagaimana dalam hukum pidana, luka (letsel) yang diakibatkan oleh suatu tindakan culpa lata, ada 3 (tiga) macam, ialah:
a. luka berat (zwaar lichamelijk letsel);
b. luka yang mendatangkan penyakit (ziekte); dan
c. luka yang dapat menghalangi menjalankan pekerjaan/ jabatan untuk sementara waktu (in de uitoefening zijner ambts beroepsbezigheden).
Dua luka pada kulit kepala bayi hidup jelas bukan luka berat. Karena tidak termasuk luka sebagaimana yang secara limitatif telah ditentukan dalam pasal 90 KUHP. Apakah luka yang mendatangkan penyakit? Dalam doktrin hukum, disebut tidak mendatangkan penyakit diartikan sebagai tidak mendatangkan penyakit fisik. Atau luka tersebut tidak membawa akibat terganggunya fungsi dalam organ tubuh orang itu . Oleh sebab itu unsur mendatangkan penyakit harus diartikan sebagai timbulnya gangguan pada fungsi dalam organ tubuh penderita.
Bertitik tolak pada pengertian ini, apakah dari sudut ilmu kedokteran dua luka pada kulit kepala bayi hidup dapat dinilai telah menimbulkan gangguan pada fungsi organ tubuh bayi tersebut? Dari logika medis luka pada kulit kepala bayi I hidup, bukanlah luka yang menggangu fungsi suatu organ tubuh bayi. Begitu juga dari sudut logika hukum, luka yang demikian belumlah cukup syaratnya untuk dapat dianggap sebagai luka yang mendatangkan penyakit sebagaimana dikehendaki oleh pasal 360 ayat (2) KUHP. Pandangan hukum tersebut diatas bersesuaian dengan pandangan kedokteran, yakni kesimpulan VER yang dikeluarkan oleh RSSA atas permintaan penyidik, bahwa 2 luka sedalam kulit kepala lebar 1 cm bukanlah luka yang mendatangkan penyakit sebagaimana maksu Pasal 360 KUHP.
Sedangkan luka jenis ketiga, yakni luka yang dapat membawa akibat terganggunya dalam menjalankan pekerjaan atau jabatan untuk semenatara waktu, dipastikan tidak relevan dengan kasus luka pada kulit kepala bayi Ny. Tm ini. Luka jenis ketiga ini sebagai alternatif, apabila luka pada jenis kedua tidak terpenuhi syaratnya in casu menggangu fungsi organ tubuh manusia yang terluka. Maksudnya ialah, jika luka sedemikian rupa tidak menggangu fungsi organ tubuh manusia yang terluka, maka disyaratkan sebagai alternatifnya ialah harus dapat menggangu dalam menjalankan pekerjaan atau jabatannya untuk sementara waktu. Berarti alternatif ketiga ini ditentukan oleh Pembuat UU adalah dikhususkan pada luka pada tubuh orang dewasa in casu khususnya orang yang mempunyai pekerjaan /jabatan, bukan pada bayi. Sebabnya, ialah ukuran yang diberikan oleh UU hanya ada pada diri orang dewasa dan tidak ada pada bayi.
Kesimpulan, bahwa luka pada kulit kepala bayi I hidup Ny. Tm bukan luka yang mendatangkan penyakit (ziekte) maupun luka yang dapat menghalangi menjalankan pekerjaan/jabatan sementara waktu sebagaimana yang dimaksud Undang-undang.
V. KESIMPULAN.
Dari studi kasus ini dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa langkah-langkah observasi dan pemeriksaan terhadap Ny. Tm guna mendapatkan fakta-fakta medis yang dijadikan dasar penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati sesuai dengan standar profesi dan standar porosedur operasional penanganan medis, dan karena itu dipandang patut dan benar. Demikian juga fakta-fakta- medis yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pemeriksaan medis yang dijadikan dasar diagnosa dari sudut ilmu kedokteran telah dipandang patut dan benar. Oleh karena itu kesimpulan bayi tunggal dan mati, walaupun salah masih dapat ditoleransi untuk dipandang patut.
2. Bahwa oleh karena menarik kesimpulan bayi tunggal dan mati dipandang patut dan benar, maka menetapkan terapi dengan membantu kelahiran dengan bantuan cunam muzaeux dipandang patut dan benar pula.
3. Bahwa dalam observasi / pemeriksaan yang mendapatkan data-data medis sebagai dasar menrik simpulan bayi tunggal dan mati dengan cara / prosedur standar umum & kebidanan, dengan tidak menggunakan USG, berdasarkan tidak ditemukannya indikasi medis untuk menggunakan USG, juga telah dipandang patut dan dibenarkan.
4. Bahwa langkah-langkah perlakuan medis persalinan Ny. Tm sejak awal pemeriksaan sampai menetapkan terapi untuk segera membantu persalinan dengan cunam muzaeux beserta alasan-alasannya (al tidak mungkin dapat melahirkan spontan karena ibu kelelahan, persalinan kering, posisi kepala tetap tidak menurun) dan yang telah mendapat persetujuan supervisor - kemudian melaksanakannya telah dipandang patut dan benar.
5. Bahwa berdasarkan alasan-alasan diatas yang ternyata diperkuat juga dari hasil analisis retrospektif, yang mendapatkan data-data medis yang akurat (misalnya letak bayi dan selisih berat bayi I dan bayi II) yang membuktikan bahwa perlakuan pelayanan medis persalinan Ny. Tm dengan dibantu alat cunam muzeaux dapat dipandang sebagai upaya medis luar biasa dalam keadaan overmacht, demi untuk menyelamatkan jiwa ibu.
6. Bahwa 2 luka lebar 1cm sedalam kulit kepala bayi I tidak termasuk luka yuridis sebagaimana dimaksud pasal 360 ayat (2) KUHP.
7. Bahwa tim medis RSSA yang dalam hal melakukan pelayanan persalinan bayi kembar Ny. Tm, tidak terdapat culpa lata medis yang membentuk pertanggungjawaban hukum pidana.
8. Menurut kajian hukum pidana kasus ini bukan malpraktik pidana. Belum patut diangkat sebagai kasus pidana.
9. Dalam studi kasus ini kiranya diperoleh temuan hukum, berikut:
a. Diagnosa salah tidak patut dipersalahkan pada dokter apabila pemeriksaan dan observasi telah dijalankan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional dan pekerjaan analisis telah dilakukan secara benar terhadap fakta-fakta medis yang patut dan benar dalam menghasilkan diagnosa tersebut.
b. Sikap batin dalam menetapkan terapi yang telah sesuai dengan diagnosa yang ditarik melalui pemeriksaan yang sesuai standar profesi dan standar prosedur atas fakta-fakta medis yang benar bukan merupakan culpa meskipun kemudian ternyata diagnosa salah.
c. Menggunakan suatu alat/cara dalam penanganan medis dipandang benar dan wajar apabila ditemukan indikasi medis yang membenarkan untuk menggunakana alat tersebut. Kesalahan diagnosa bukan merupakan culpa lata medis dalam hal pilihan pemeriksaan menurut standar profesi dan standar prosedur telah dijalankan – karena tidak ada indikasi untuk penggunaan alat/cara yang lebih baik – tidak menggunakannya, meskipun tingkat ketepatan diagnosanya lebih tinggi.
d. Melakukan pertolongan medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam suatu persalinan harus merupakan pilihan utama dengan pilihan tindakan medis yang mengandung risiko yang paling ringan.
e. Kesalahan diagnosa atau kesalahan terapi tidak membeban pertangungjawaban pidana apabila tidak berakibat kematian atau luka sebagaimana ditentukan dalam hukum pidana.
f. Luka sedalam kulit kepala bayi bukanlah merupakan luka sebagaimana yang dimaksud pasal 360 ayat (2) KUHP.