Kamis, 09 Juni 2011

Sifat MH Dalam Fungsi yang Negatif

SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM FUNGSINYA YANG NEGATIF

Hukum pidana kita memberlakukan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Merupakan hukum yang tidak tertulis. Namun diterapkan dalam berbagai putusan pengadilan. Meskipun perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana tertentu, apabila perbuatan tersebut menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat tidak lagi mengandung sifat melawan hukum, telah merupakan social adequat, telah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, maka kepada terdakwa tidak dipidana. Di jatuhkan pelepasan dari segala tuntutan hukum. Merupakan alasan peniadaan pidana disebabkan kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Merupakan alasan pembenar.

Berlakunya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, merupakan alasan peniadaan pidana di luar UU, dan termasuk alasan pembenar. Dan sejak arres HR “dokter hewan dari kota Huizen” tanggal 2-2-1933 sampai sekarang sudah dianut dalam praktik baik di Belanda maupun di Indonesia. Telah menjadi suatu azas hukum yang tidak tertulis.

Di Indonesia, banyak sekali putusan MA yang memberlakukan /menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Contohnya, al:
> No.: 42K/Kr/1965: 8-1-1966: Pertimbangan hukum MA sbb: “Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor: yakni: Negara tidak dirugikan; kepentingan umum dilayani; tertuduh tidak dapat untung”
> No.: 72K/Kr/1970: 27-5-1972. . Pertimbangan hukum MA sbb: “Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formil namun Hakim secara materiil harus memperhatikan juga adanya kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas dasar mana mereka tidak dapat dihukum (materiele wederrechtelijkheid)”.
> No. 97K/Kr/1973 :17-10-1974. Pertimbangan hukum MA sbb: “Karena pebuatan-perbuatan sebagaimana dituduhkan pada terdakwa merupakan tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam mengelola uang Perusahaan Negara (PN), yang menguntungkan PN serta sesuai dengan program kerja PN dan dibenarkan pula oleh atasan terdakwa, lagi pula tidak merugikan negara, kepentingan umum terlayani dan terdakwa pribadi tidak mendapatkan untung, maka perbuatan terdakwa kehilangan sifat melawan hukumnya”.
> No. 81K/Kr/1973: 16-12-1976. Pertimbangan hukum MA sbb: “Azas “materiele wederrechtelijkheid” merupakan suatu “buitenwettelijke uitsluittinggrond”, suatu buiten wettelijke rechtsvaardigingsgrond” dan sebagai suatu alasan yang buiten wettelijk sifatnya merupakan suatu “fait d’exuse” yang tidak tertulis, seperti dirumuskan oleh dokrin dan jurisprodensi. Sesuai dengan tujuan dari azas “materiele wederrechtelijkheid” suatu perbuatan yang merupakan perbuatan pidana, tidak dapat dipidana apabila perbuatan tersebut adalah social adequat”.

Dicontohkan Pasal 328 KUHP, terdapat unsur “dengan maksud menempatkan orang itu secara melawan hukum”. Sementara Pasal 333 Ayat (1) KUHP, terdapat unsur dengan sengaja dan melawan hukum. Karena di dahului oleh unsur maksud dan sengaja, maka sifat melawan hukumnya merupakan sifat melawan hukum subjektif. Ada 2 langkah untuk membuktikan adanya sifat melawan hukum subjektif. Pertama terlebih dulu harus dapat dibuktikan secara objektif bahwa di dalam suatu perbuatan yang didakwakan mengandung sifat celaan atau melawan hukum. Berdasarkan keadaan-keadaan tertentu yang terdapat sekitar perbuatan maupun objek perbuatan menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat mengandung sifat celaan. Kedua, harus dapat dibuktikan terdapatnya kesadaran pada diri si pembuatnya, bahwa apa yang dilakukannya adalah mengandung sifat celaan. Sebaliknya apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menurut nilai-nilai keadilan dan kepatutan dalam perbuatan tersebut tidak mengandung sifat celaan, maka tidak mungkin terdapat kesadaran tentang sifat melawan hukum perbuatan yang secara objektif pada perbuatan itu tidak mengandung sifat melawan hukum. Contohnya, terdapatnya suatu keadaan berupa gejala-gejala kelainan jiwa seseorang. Maka menjadi wajar apabila orang yang terdekat hubungan kekeluargaan meminta Rumah Sakit untuk memeriksa dan merawat orang itu. Dalam hal perbuatan meminta RS untuk memeriksa dan merawat seseorang yang terdapat gejala-gejala gangguan kejiwaan/mental seperti itu, maka tidak mungkin adanya kehendak/kesadaran bahwa perbuatan itu sebagai tercela atau bersifat melawan hukum. Justru perbuatan seperti itu merupakan perbuatan melaksanakan suatu kewajiban hukum. Suatu perbuatan dilakukan dengan itikad baik. Demikian juga, misalnya orang tua yang memukul anaknya sebagai bentuk pendidikan, atau seorang guru menjewer telinga muridnya, dan sebagainya. Semua perbuatan seperti itu kehilangan sifat melawan hukum perbuatan. Sehingga pelakunya tidak patut dijatuhi pidana karena perbuatan yang dilakukan telah kehilangan sifat melawan hukumnya, yang telah menjadi social adequat. Kalau dalam rumusan tindak pidana dicantumkan unsur sifat melwan hukum seperti Pasal 328 atau 333 Ayat (1) atau 335 KUHP, sementara unsur tersebut tidak terbukti/tiada, maka kepada terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum..

Pasal 335 Ayat (1) KUHP. Kalau dirinci, unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Perbuatan: memaksa
2. Objeknya : orang
3. dengan melawan hukum
4. Cara melakukan perbuatan (memaksa):
a. - dengan kekerasan; atau
- dengan perbuatan lain; maupun
- dengan perbuatan yang tidak menyenangkan
b. - dengan ancaman kekerasan; atau
- dengan ancaman perbuatan lain; maupun
- dengan ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan
5. Tujuan pembuat melakukan perbuatan:
a. orang itu atau orang lain supaya melakukan sesuatu
b. orang itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu
c. orang itu atau orang lain membiarkan sesuatu.

Unsur sifat melawan hukum dalam perbuatan memaksa dari Pasal 335 KUHP, bersifat objektif. Artinya menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam suatu wujud perbuatan memaksa mengandung sifat celaan. Terdapat keadaan tertentu sebagai indikator adanya sifat celaan dalam suatu perbuatan. Sebaliknya apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menurut sifatnya merupakan suatu kewajaran, maka sifat melawan hukum yang diperlukan oleh Pasal 335 tersebut tidak ada atau menjadi tiada. Misalnya, seorang guru yang memaksa muridnya yang masuk kelas terlambat untuk lari mengelilingi lapangan sekolah, bila tidak dilakukan maka ia tidak boleh masuk sekolah hari itu. Pemaksaan dengan perbuatan tidak menyenangkan oleh guru tersebut tidak mengandung sifat melawan hukum. Karena perbuatan tersebut dalam rangka pendidikan, telah menjadi kewajaran dalam masyarakat, atau sosial adequat . Sama halnya juga, misalnya apabila terdapat gejala-gejala seseorang dalam keadaan adanya gangguan terhadap mental/kejiwaannya. Maka menjadi suatu kewajaran, apabila anggota keluarganya meminta pertolongan pada Rumah Sakit untuk memeriksa dan merawat orang tersebut. Keadaan seperti itu tidak boleh dianggap sebagai memaksanya untuk melakukan atau membiarkan sesuatu perbuatan secara melawan hukum. Ukuran melawan hukum suatu perbuatan harus diukur dari ketidak wajaran berdasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, dalam hal seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu.

Pasal 304 KUHP, terdapat unsur hubungan antara si pembuat (yang menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan sengsara) dengan orang yang ditempatkan dalam keadaan sengsara. Unsur hubungan tersebut adalah berupa suatu kewajiban hukum bagi si pelaku terhadap orang yang dibiarkan dalam keadaan sengsara. Kewajiban hukum tersebut berupa, kewajiban untuk memberi kehidupan, perawatan atau pemiliharaan. Kedudukan hukum seorang istri tidak merupakan kedudukan hukum yang membeban kewajiban hukum untuk memberikan kehidupan, perawatan atau pemiliharaan kepada suaminya. Sebaliknya justru suamilah yang membeban kewajiban hukum tersebut kepada istri dan anak-anaknya. Pasal 304 KUHP tidak dimaksudkan untuk istri yang tidak berbuat apa-apa (membiarkan atau menempatkan) pada suami pada waktu keadaan ekonomi dan kesehatan suami yang sulit.

Pasal 45 Ayat (1) jo 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004. Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dalam UU 23 Tahun 2004, adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan dalam lingkup rumah tangga yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan psikologis”. Sifat melawan hukum tidak dicantumkan sebagai unsur dalam Pasal 45 Ayat (1) jo 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004. Unsur sifat melawan hukum dalam delik ini terdapat secara terselubung di dalam unsur perbuatan kekerasan. Tidak perlu dibuktikan secara khusus. Cukup membuktikan adanya unsur perbuatan kekerasan saja. Namun sebaliknya, apabila di dalam perbuatan kekerasan tersebut kehilangan sifat melawan hukum, maka ketiadaan sifat melawan hukum tersebut menjadi alasan peniadaan pidana di luar UU. Keadaan ini terjadi disebabkan dalam hukum pidana Belanda dan berlaku untuk Indonesia, menganut azas berlakunya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Misalnya seorang petinju dalam pertandingan memukul lawannya di atas ring, mengakibatkan lawannya meninggal dunia. Seorang suami menampar muka istrinya yang terbukti berzina. Seorang ayah memukul anaknya yang mencuri uang ibunya. Perbuatan-perbuatan seperti contoh tersebut dapat menjadi kewajaran (sosial adequat) menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Karena itu terhadap pelakunya tidak patut dijatuhi pidana, melainkan dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Terdapat perbedaan antara tidak terbuktinya atau tidak terdapatnya unsur sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam rumusan delik dengan hapusnya /tiadanya sifat melawan hukum. Perbedaan itu adalah:
- Dalam hal sifat melawan hukum dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Kemudian unsur tersebut tidak dapat dibuktikan atau tidak ada/tiada, maka tindak pidana tidak terjadi. Kepada terdakwa harus di bebaskan.
- Sementara apabila unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, namun terbukti suatu perbuatan dlam tindak pidana tersebut telah kehilangan sifat melawan hukum perbuatan, maka kepada terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
6 Juni 2011.
H. Adami Chazawi

Catatan: Tulisan di atas merupakan bagian (inti) pendapat/keterangan ahli yang diberikan di suatu sidang pengadilan.

SIFAT MELAWAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

SIFAT MELAWAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA PASAL 2 UUTPK


Suatu perbuatan masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, perdata atau administrasi negara ditentukan oleh sumber pengaturan dan sanksinya. Jika diatur dalam hukum pidana dan disertai ancaman pidana, maka perbuatan tersebut masuk ruang lingkup hukum pidana, dan itulah tindak pidana. Jika perbuatan itu ditentukan dalam hukum administrasi beserta sanksi administrasi, maka perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum administrasi. Jika sumber pengaturannya dan sanksinya bersifat perdata, maka perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum perdata.

Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 dan UUTPK, pelanggaan administrasi dapat merupakan tempat/letak atau penyebab timbulnya sifat melawan hukum perbuatan, apabila terdapat unsur sengaja (kehendak dan keinsyafan) untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan kekuasaan jabatan, yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian negara. Perbuatan administrsi yang memenuhi syarat-syarat yang demikian itu membentuk pertanggungjawaban pidana. Apabila unsur-unsur tersebut tidak ada, terutama unsur merugikan keuangan / perekonomian negara, maka yang terjadi adalah kesalahan prosedur/administrasi, dan tidak ada sifat melawan hukum korupsi dalam hal semata-mata “salah prosedur”. Perbuaatan itu sekedar membentuk pertanggunganjawaban hukum administrasi saja.

Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 UUTPK, kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi dibedakan dalam 4 macam.
• Pertama, kesalahan administrasi murni. Terjadi apabila melakukan prosedur administrasi karena khilaf (kulpa) baik terhadap ketentuan prosedural/tatalaksana maupun akibatnya. Perbuatan khilaf ini tidak membawa kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah perbuatan adminsitratif semacam ini bukan korupsi. Pertangungajwaban yang timbul adalah pertanggungjawaban administrasi. Misalnya dengan mencabut, membatalkan atau melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya.
• Kedua, si pembuat khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu, yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara, misalnya nilai uang tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum (onrechtsmatige daad) menurut hukum perdata (Pasal 1365 BW), bukan korupsi. Perbuatan ini membentuk pertanggungjawaban perdata, diwajibkan untuk mengganti kerugian.
• Ketiga, si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan adminsitratif tertentu, namun tidak (dapat) membawa dampak kerugian kepentingan hukum negara. Kesalahan semacam ini masih di teloransi sebagai kesalahan adminsitrati. Perbuatan ini membentuk pertanggungjawaban adminisrasi. Sanksi administratitif dapat dijatuhkan pada si pembuat, tidak dapat menjatuhkan pidana.
• Keempat, si pembuat dalam kedudukan administratif tertentu - sadar dan mengerti (sengaja) bahwa pekerjaan administratif tertentu menyalahi aturan/prosedur (melawan hukum) – dilakukannya juga, yang karena itu membawa kerugian negara. Apabila perbuatan itu berupa perbuatan memperkaya maka masuk Pasal 2 UUTPK, dan apabila dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan maka masuk Pasal 3. Dalam hal yang keempat ini saja, kesalahan prosedur merupakan sifat melawan hukum korupsi.

Bentuk pertanggungjawaban tindak pidana, administrasi atau perdata ditentukan oleh sifat pelanggaran (melawan hukumnya perbuatan) dan akibat hukumnya. Bentuk pertanggungjawaban pidana selalu bersanksi pidana. Pertangungjawaban administrasi selalu bersanksi administrasi, dan pertanggungjawaban perdata ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataan, akibat dari wanprestasi atau onrechtsmatige daad. Pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Dalam hal sifat melawan hukum tindak pidana, selalu membentuk pertanggunggjawaban pidana sesuai tindak pidana tertentu yang dilanggarnya. Sementara sifat melawan hukum administrasi dan perdata, sekedar membentuk pertanggungjawaban administrasi dan perdata saja sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.

Pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertangungjawabkan secara pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja dan disadari merugikan keuangan negara, dan dilakukan dengan memperkaya diri atau dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan, maka kesalahan administrasi seperti itu merupakan tempat melekatnya/letak atau penyebab sifat melawan hukumnya korupsi, dan karenanya membentuk pertanggungjawaban pidana dan dapat dipidana berdasarkan Pasal 2. Pelanggaran administrasi bukan merupakan letak/tempat tindak pidana korupsinya, melainkan tempat/letak sifat melawan hukumnya korupsi. Karena tidak mungkin terjadi korupsi pada perbuatan yang sifatnya semata-mata pelanggaran administrasi maupun semata-mata bersifat pelanggaran hubungan keperdataan saja.

Pelanggaran hukum perdata, seperti wanprestasi dari suatu kontrak/perjanjian atau perbuatan melawan hukum meskipun akibatnya negara dirugikan, tidak bisa serta merta membentuk pertanggungjawaban pidana. Dalam hal negara dirugikan oleh wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, pemulihan kerugian dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata, bukan melalui penuntutan pidana di peradilan pidana.

Dalam hal badan publik melakukan perbuatan perdata, maka prosedur, syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum perdata harus diikuti. Badan publik tersebut harus tunduk pada hukum perdata. Namun apabila terdapat aturan lain (accessoir) bersifat administrasi dalam hal prosedur untuk keabsyahan perbuatan hukum perdata tersebut, mengingat untuk kepentingan publik, maka apabila pengaturan administrasi tersebut dilanggar, dapat merupakan letak sifat melawan hukum korupsi, apabila memenuhi unsur kesengajaan yang disadari merugikan keuangan/perekonomian negara yang dilakukan dengan perbuatan memperkaya atau dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan.

Dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan seseorang yang mewakili badan publik, misalnya suatu Pemerintah Daerah dalam hal melakukan perbuatan perdata/kontrak dengan pihak swasta dengan melalui prosedur administrasi negara. Sepanjang prosedur administrasinya diikuti, maka tidak ada sifat melawan hukum korupsi di dalamnya. Andaikata ada segi-segi prosedur administrasi yang tidak diikuti dalam melakukan perbuatan perdata dari suatu badan publik (misalnya kontrak dengan pihak swasta), asalkan tidak dilakukan dengan memperkaya diri atau menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan dan tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, maka pelanggaran adminstrasi tersebut tidak merupakan letak sifat melawan hukumnya perbuatan korupsi. Pelanggaran administrasi dipertanggungjawabkan secara administrasi saja. Sifat melawan hukum korupsi hanya bisa terjadi pada pelanggaran prosedur adminstrasi yang disengaja dengan kesadaran merugikan keuangan negara yang dilakukan dengan perbuatan memperkaya diri atau dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan. Tiga unsur, ialah: pelanggaran prosedur yang disengaja, merugikan keuangan negara dan dilakukan dengan memperkaya atau menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan, sifatnya kumulatif, sebagai syarat terbentuknya pertanggungjawaban pidana korupsi.

Untuk menentukan kerugian negara dalam perkara korupsi, bisa meminta bantuan audit invistigasi, namun bukan keharusan. Menentukan kerugian negara dalam perkara korupsi, hasil audit BPKP tidak mengikat hakim. Hakim bebas menentukan perhitungannya sendiri berdasarkan alat-alat bukti di dalam sidang dengan menggunakan akal dan logika hukum serta kapatutan.

Audit investigasi harus dimintakan oleh penyidik, dan bukan oleh pihak lain. Jika audit tersebut tidak dimintakan oleh penyidik, maka audit itu tidak bersifat pidana, melainkan bersifat administratif saja. Oleh karenanya tidak mempunyai nilai pembuktian dalam perkara pidana.

Mengenai perselisihan pra yudicial dalam hubungannya dengan penghentian sementara (skorsing) penuntutan, dalam doktrin hukum ada 2 (dua) macam:
Pertama, disebut dengan “quistion prejudicielle a l’action”. Merupakan perselisihan pra judicial dimana hakim mempunyai kewajiban untuk menskorsing penuntutan. Dalam hal ini apabila dalam UU disebutkan secara tegas, bahwa apabila terjadi perselisihnan pra judicial maka hakim wajib mensokrsing penuntutan. Contohnya dalam Pasal 314 Ayat (3) KUHP., yang mewajibkan pada hakim untuk menghentikan sementara penuntutan bagi terdakwa fitnah, apabila orang yang difitnah telah diajukan penunutan ke pengadilan, sampai perbuatan yng dituduhkan pada orang yang difitnah tersebut mendapatkan putusan yng bersifat tetap.
Kedua, disebut “quistion prajudicielle au jugement”. Merupkan perselisihan pra judicial yang dimaksud Pasal 81 KUHP, yang apabila terjadi maka menjadi hak hakim untuk melakukan skorsing penuntutan. Karena merupakan hak, maka sifatnya fakultatif. Hakim boleh tidak menggunakan haknya. Namun akibatnya nanti putusan perkara lain yang berhubungan dan menentukan bisa bertentangan dengan putusan perkara pidana. Dari sudut kepastian hukum dan keseragaman putusan pengadilan, keadaan yang demikian tidak dapat dibenarkan.

Perbuatan memperkaya diri dalam Pasal 2 UUTPK - bentuknya abstrak, yang terdiri dari banyak wujud-wujud konkret. Wujud konkret itulah yang harus dibuktikan. Untuk membuktikan wujud memperkaya selain membuktikan bentuknya, misalnya wujud “mencatumkan kegiatan fiktif” perlu juga membuktikan ciri-cirinya, yaitu: Pertama, dari perbuatan itu ybs memperoleh suatu kekayaan. Kedua, jika hubungkan dengan sumber pendapatannya, kekayaannya tidak seimbang dengan sumber yang menghasilkan kekayaan tersebut. Ketiga, jika dihubungkan dengan wujudnya, perbuatan tersebut bersifat melawan hukum. Keempat, jika dihubungkan dengan akibat, ada pihak lain yang dirugikan dalam hal ini merugikan keuangan negara.

Perbuatan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UUTPK adalah menggunakan wewenang yang melekat pada jabatan / kedudukan secara menyimpang dari tatalaksana yang semestinya, sebagaimana yang diatur dalam peraturan, petunjuk tata kerja, instruksi dinas dll. yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dari kedudukan/ jabatan tesebut.

Apabila dalam surat dakwaan di junto-kan Pasal 55 Ayat (1) angka 1 KUHP tentang bentuk pembuat peserta (medepleger). Maka keterlibatan terdakwa wajib dibuktikan sebagai medepleger. Pertama harus dibuktikan lebih dulu bahwa peristiwa yang didakwakan ini adalah sebagai tindak pidana. Barulah membuktikan tentang terdapatnya syarat medepleger. Dari sudut subjektif – kesengajaan (kehendak) terdakwa sebagai medepleger harus sama dengan kesengajaan pembuat pelaksana (pleger) dalam hal mewujudkan tindak pidana. Dari sudut objektif, meskipun wujud perbuatan medepleger tidak perlu sama dengan wujud pleger, namun harus dibuktikan ada kerjasama yang diinsyafi. Kerjasma yang diinsyafi adalah keinsyafan bahwa meskipun antara mereka melakukan perbuatan sendiri-sendiri yang berbeda, namun disadari kesemuanya ditujukan untuk menyelesaikan tindak pidana yang sama-sama dikehendaki.
19 April 2011.

H. Adami Chazawi

Catatan: Tulisan tersebut di atas merupakan bagian (inti) pendapat/keterangan ahli di suatu sidang pengadilan korupsi.

PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP)

PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP)
(H. Adami Chazawi)


Kejahatan pemalsuan surat dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum publik perihal kepercayaan terhadap kebenaran atas isi 4 macam objek surat, ialah surat yang menimbulkan suatu hak; surat yang menerbitkan suatu perikatan; surat yang menimbulkan pembebasan utang dan surat yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu. Sementara itu perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) dan memalsu (vervalsen).
Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu.
Dua unsur perbuatan dan 4 unsur objek pemalsuan surat tersebut, bersifat alternatif. Harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek suratnya. Membuktikannya ialah melalui dan menggunakan hukum pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 183 jo 184 KUHAP.
Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan dengan cara apapun mengenai sebuah surat misalnya KTP, sehingga menghasilkan sebuah KTP. Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb), dan siapa yang melakukan wujud tersebut, berikut kapan (temposnya) dan dimana (lokusnya) - semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan. Tidak cukup adanya fakta kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti identitas menginap di sebuah hotel. Dalam Hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada anggapan, melainkan harus dibuktikan sekutidak-tidaknya memenuhi syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan, dan untuk menghindari kesewenang-wenangan hakim.
Pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang dilandasi syarat objektif. Harus ada keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang syah. Tiga keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar (objektif) minmal 2 alat bukti yang syah tersebut, ialah hakim yakin tindak pidana terjadi, hakim yakin terdakwa melakukannya dan hakim yakin terdakwa bersalah.
Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari sekedar fakta bahwa, misalnya sebuah KTP yang diduga palsu kedapatan pada seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya ke petugas hotel dalam hal memesan kamar untuk orang lain. Fakta yang seperti ini hanya sekedar dapat dipakai sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk saja. Dan tidak membuktikan sebagai pembuatnya.
Lebih-lebih lagi, untuk terbitnya sebuah KTP selalu melalui prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang. Di dalam sebuah KTP harus dibuktikan dan jelas, tulisan apanya yang palsu? Bisa terjadi tanda tangan Camat asli, tapi namnya yang fiktif. Dalam kasus seperti ini tidak mudah menentukan siapa sesungguhnya si pembuat? Apakah Camat atau orang-orang lain?
Menggunakan sebuah surat adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya.
Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain.
Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2) Pasal 263. Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti, yang jelas dan tertentu. Jika keadaan atau hal-hal tersebut benar-benar ada, maka kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A. Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan pengguna jalan dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah ybs tidak mampu mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah bagi pengguna jalan, bukan semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada, misalnya pekerjaan A yang digelutinya bertahaun-tahun adalah mengemudi, maka perbuatan mengemudikan kendaraan itu tidak dapat merugikan pengguna jalan lainnya, karena kemahiran mengemudi sudah dikuasainya. Maka alasan merugikan pengguna jalan tidak bisa digunakan.
Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat (2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus jelas dan pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan didertia oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada kenyataaannya digunakan. Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari penggunaannnya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu tidak mungkin terjadi. Dalam hal KTP yang namanya fiktif, maka tidak mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi nama yang fiktif. Dalam hal petugas hotel yang menerima KTP palsu untuk dicatat identitasnya, juga tidak mungkin dapat menderita kerugian – termasuk hotelnya, apabila semua persyaratan dan beaya-beaya yang ditentukan telah dipenuhi.
Jadi identitas KTP palsu tidak mungkin berakibat kerugian hotel, selama yang menginap memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang ditetapkan hotel. Sebabnya ialah pembayaran hotel dengan cara apapun tidak dipengaruhi oleh penggunaan KTP tersebut, melainkan didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan seseorang yang menginap dengan harus membayar sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditetapkan hotel. Siapapun yang membayarkannya tidak menjadi masalah. Dalam hal ini tidak ada hubungan antara digunakannya KTP tersebut dengan perhitungan pembayaran jasa hotel?


Catatan: Tulisan di atas, merupakan bagian (inti) dari pendapat/keterangan ahli di suatu sidang pengadilan.