Minggu, 02 Agustus 2009

TANGGUNG JAWAB HUKUM MALPRAKTIK KEDOKTERAN

TANGGUNG JAWAB HUKUM
DALAM MALPRAKTIK KEDOKTERAN
(disampaikan dalam dialog tematik malpraktik kedokteran di fk ub : 28-11-2004)


Abstrak: Malpraktik (malpraktice) adalah menjalankan suatu profesi secara salah atau keliru, yang baru dapat membentuk pertanggungjawaban hukum bagi pembuatnya apabila membawa akibat suatu kerugian yang ditentukan atau diatur dalam hukum. Malpraktik dapat terjadi dalam menjalankan segala macam profesi, termasuk profesi kedokteran. Kesalahan dalam menjalankan profesi kedokteran akan membentuk pertanggungjawaban hukum pidana atau perdata (bergantung sifat akibat kerugian yang timbul) mengandung 3 (tiga) aspek pokok – sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan, ialah (1) perlakuan yang tidak sesuai norma, (2) dilakukan dengan culpa dan (3) mengandung akibat kerugian dalam hukum. Kerugian dalam hukum adalah kerugian yang dinyatakan hukum dan boleh dipulihkan dengan membebankan tanggung jawab hukum pada si pembuat beserta yang terlibat dengan cara hukum. Perlakuan medis malpraktik kedokteran - terdapat pada: pemeriksaan, alat dan cara yang dipakai dalam pemeriksaan, perolehan fakta medis yang salah, diagnosa yang ditarik dari perolehan fakta, perlakuan terapi, maupun perlakuan menghindari akibat kerugian dari salah diagnosa atau salah terapi. Kelalaian/culpa adalah pengertian hukum – yang pada tataran penerapannya dibidang malpraktik kedokteran belum seragam, ini menimbulkan ketidak pastian hukum. Titik penentu pertanggungjawaban hukum dalam perlakuan medis malpraktik kedokteran ada pada akibat kerugian menurut hukum. Pembebanan tanggung jawab hukum guna penjaminan pemulihan hak pihak/pasien yang dirugikan pula ditentukan hukum. Hak atas jaminan hukum antara pelayan jasa kesehatan (terutama dokter) dan hak masyarakat (pasien) haruslah seimbang. Kedua pihak adalah subjek bukan salah satu adalah objek dalam pelayanan medis. Kedua-duanya mendapat jaminan dan perlindungan hukum.
Kata Kunci: malpraktik kedokteran, perlakuan medis, culpa, akibat kerugian.
A. Pendahuluan.
Malpraktik sebagai pengertian harfiah berupa penyimpangan dalam menjalankan suatu profesi dari sebab kelalaian (kesalahan dalam arti sempit) dapat terjadi dalam lapangan profesi apapun, seperti advokat, akontan dan bisa jadi pada profesi wartawan. Ada standard umum bagi kelakuan malpraktik khususnya malpraktik kedokteran dari sudut hukum yang dapat membentuk pertanggungjawaban hukum, khususnya hukum pidana. Standard umum itu menyangkut tiga aspek sebagai kesatuan yang tak terpisahkan, ialah aspek perlakuan medis, aspek sikap batin pembuat, dan aspek akibat dari perlakuan.
Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah malpraktik kedokteran, tidak terhadap tiga aspek pokok tersebut melainkan terhadap isinya – terhadap syarat-syarat keberadaannya. Keragaman pemahaman juga diakibatkan oleh belum adanya hukum khusus mengenai menjalankan profesi kedokteran yang tentu di dalamnya mengatur tentang malpraktik secara lebih sempurna. Sedangkan ajaran hukum atau teori hukum baik mengenai kesalahan maupun mengenai causalitas juga nampaknya beragam, dan dalam hal segi tertentu terkadang bagi sebagian orang sulit untuk memahaminya. Keadaan itu membawa pada konskwensi ketidak samaan dalam praktik hukum. Belum ada ketentuan (UU) khusus mengenai menjalankan profesi kedokteran, yang menyebabkan keterpaksaan hakim untuk menggunakan haknya dalam menafsirkan hukum dan melakukan temuan hukum dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar menarik amar putusannya. Sebagaimana yang berlaku – semakin luas penggunaan hak menfasirkan hukum dalam praktik hukum oleh para hakim – akan membuka ruang yang semakin luas untuk adanya perbedaan pemahaman mengenai malpraktik kedokteran, akibatnya semakin ketiadaan kepastian hukum.
Untuk memahami malpraktik – pengertian dan isinya serta akibat hukum bagi pembuatnya, haruslah memahami secara utuh perihal tiga aspek pokok malpraktik. Perlakuan medis yang dapat terjadi dalam malpraktik kedokteran - terdapat bisa pada pemeriksaan, cara pemeriksaan, alat yang dipakai pada pemeriksaan, menarik diagnosa atas fakta hasil pemeriksaan, wujud perlakuan terapi, maupun perlakuan menghindari akibat kerugian dari salah diagnosa dan salah terapi (perlakuan setelah terapi). Aspek sikap batin disini, yang menggambarkan hubungan batin pembuat dengan wujud perbuatan maupun pada akibat perbuatan, adalah merupakan kesalalahan dalam arti sempit yang dalam hukum pidana disebut culpa, khususnya dalam arti culpa lata. Sikap batin yang demikianlah sebagai dasar membentuk pertanggungjawaban pidana. Aspek akibat haruslah akibat yang merugikan pasien, baik mengenai kesehatan phisik atau mental maupun nyawa pasien. Akibat ini haruslah berupa akibat yang tidak dikehendaki, inilah ciri akibat dari suatu perlakuan culpa.
Dari sudut hukum pidana, pada saat ini untuk mengukur suatu perlakuan medis dari seorang pelayan kesehatan apakah telah masuk pada malpraktik yang membentuk pertanggungjawaban hukum masih secara kompensional pada dua pasal, yakni 359 dan 360 KUHP. Baik aspek wujudnya perlakuan, sikap batin pembuat maupun akibat haruslah diukur dari unsur kedua pasal tersebut. Dengan berkembangnya teknologi kesehatan harus pula menyesuaikan dengan kedua pasal itu apabila timbul masalah malpraktik kedokteran. Nampaknya kriteria hukum pidana dalam kedua pasal itu tetap sebagai pegangan bagi praktisi hukum dalam menyelesaikan kasus dugaan malpraktik kedokteran dari sudut hukum pidana.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter pada pasien didasari oleh suatu ikatan atau hubungan dalam perjanjian apa yang disebut dengan inspanings verbentenis (Oemar Seno Adji,1991:109). Dalam Inspanings verbentis, kewajiban hukum dokter adalah berupa kewajiban berusaha sekeras-kerasnya dan sungguh-sungguh untuk berbuat (perlakuan) pengobatan atau penyembuhan atau pemulihan kesehatan pasien, yang didalam kewajiban sungguh-sungguh itu mengandung sekaligus kewajiban perlakuan yang benar dari sudut disiplin kedokteran, kebiasaan yang wajar dalam kalangan dokter dan kepatutan. Perlakuan yang tidak benar menjadikan suatu pelanggaran perjanjian (wanprestasi) dan bila menimbulkan kerugian merupakan perbuatan melawan hukum (onrerchtmatige daad). Karena hubungan ini berada dalam suatu kerangka perikatan hukum (perdata) maka perlakuan dokter pada pasien membentuk pertanggungjawaban perdata.
B. Hubungan Hukum Dokter – Pasien Membentuk Pertanggungjawaban Hukum Dalam Malpraktik Kedokteran.
Apa yang dimaksud dengan hubungan hukum (rechtsbetrekking) adalah hubungan antar dua atau lebih subjek hukum atau antar subjek hukum dan objek hukum yang berlaku dibawah kekuasaan hukum (Andi Hamzah,1986:244), atau diatur /ada dalam hukum dan mempunyai akibat hukum. Hubungan hukum antara kedua subjek hukum membentuk hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter inilah terletak beban pertanggunganjawaban hukum dalam malpraktik kedokteran, baik dari sudut perdata maupun pidana.
1. Hubungan Hukum – Membentuk Pertanggungjawaban Perdata Bagi Dokter.
Hubungan hukum dokter dan pasien dari sudut perdata berada dalam suatu perikatan hukum. Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua atau lebih subjek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu (1313 jo 1234 BW). Sesuatu disebut prestasi. Untuk memenuhi prestasi yang pada dasarnya adalah suatu kewajiban hukum bagi para pihak yang membuat perikatan hukum (pada perikatan hukum timbal balik). Bagi pihak dokter, prestasi berbuat sesuatu adalah kewajiban hukum untuk berbuat dengan sebaik dan secara maksimal (perlakuan medis) bagi kepentingan kesehatan pasien, dan kewajiban hukum untuk tidak berbuat salah atau keliru dalam perlakuan medis, dalam arti kata kewajiban untuk pelayanan kesehatan pasien dengan sebaik-baiknya. Malpraktik kedokteran dari sudut perdata terjadi apabila perlakuan salah dokter dalam hubungannya dengan pemberian prestasi menimbulkan kerugian keperdataan (diatur dalam hukum perdata).
Perikatan hukum lahir oleh 2 (dua) sebab atau sumber, yang satu oleh suatu kesepakatan (1313 BW) dan yang lainnya oleh sebab UU ( 1352 BW). Hubungan hukum dokter pasien berada dalam kedua jenis perikatan hukum tersebut. Pelanggaran kewajiban hukum dokter dalam perikatan hukum karena kesepakatan membawa suatu keadaan wanprestasi. Pelanggaran hukum dokter atas kewajiban hukum dokter karena UU membawa suatu keadaan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dokter dimana kedua-duanya membeban pertanggungan jawab penggantian kerugian. Beban tanggungjawab dokter karena wanprestasi lebih luas dari perbuatan melawan hukum, karena dari pasal 1236 jo 1239 BW, selain penggantian kerugian pasien juga dapat menuntut beaya dan bunga.
Tidak menjadi sembuhnya pasien – tidak merupakan alasan wanprestasi bagi dokter, karena hubungan dokter pasien bukan hubungan yang memuat kewajiban hukum yang ditujukan pada hasil penyembuhan, melainkan kewajiban untuk perlakuan medis (penyembuhan) dengan sebaik-baiknya (tidak salah langkah atau salah prosedur) dan secara maksimal berdasarkan disiplin kedokteran. Hubungan hukum yang demikian didasarkan pada kepercayaan (saling percaya) antara kedua belah pihak. Karena itulah bentuk perikatan hukum dokter pasien termasuk inspannings verbentenis. Penyembuhan atau pemulihan kesehatan bukanlah suatu kewajiban hukum dokter, melainkan suatu kewajiban moral dan etika belaka, yang akibatnya bukan sanksi hukum, tetapi sanksi moral dan sosial. Jadi, sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan secara benar dan patut menurut disiplin medis, tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan – tidaklah melahirkan malpraktik kedokteran dari sudut hukum. Namun apabila setelah perlakuan medis - terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan (tanpa penyembuhan) atau bisa jadi lebih parah sifat penyakitnya, oleh sebab perlakuan medis dokter, perlakuan medis mana menyalahi displin kedokteran atau menyimpang dari standard, maka dokter dapat berada dalam keadaan malpraktik kedokteran. Tentu dengan syarat, ialah tidak sembuh atau lebih parah penyakit pasien setelah perlakuan medis, dan dari sudut disiplin kedokteran dua keadaan itu benar-benar sebagai akibat (causal verband) dari salah perlakuan medis oleh dokter. Jika syarat ini ada, maka dokter telah berada dalam malpraktik kedokteran, karenanya pula pasien berhak menuntut penggantian kerugian (materiil dan moril) atas kesalahan perlakuan medis dokter tersebut. Dalam hal apabila akibat lebih parah penyakitnya sampai akibat tertentu yang memenuhi kreteria hukum pidana (359 atau 360 KUHP) bisa jadi membentuk pertanggungjawaban pidana, yang wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja, akan tetapi boleh jadi pemidanaan (straf).
Kesepakatan dalam perikatan hukum dokter – pasien timbulnya secara diam-diam dan lebih bersifat kepercayaan, dan adalah tidak wajar kesepakatan itu dibuat bentuk tertulis apalagi otentik. Bukan berarti tidak boleh dibuat secara tertulis bahkan dalam bentuk akta otentik sekalipun. Ketidak wajaran itu barangkali hanya karena hubungan dokter – pasien didasari hubungan kepercayaan belaka, disamping mungkin dengan alasan tidak praktis – terlalu mengada-ada – tidak berguna dan sangat birokratis. Kecuali dalam pelayanan medis tertentu yang sangat berisko disarankan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang dalam praktik kedokteran sekedar dimintakan persetujuan pada pasien atau keluarga yang terdekat. Persetujuan semacam itu tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenaran perlakuan medis yang menyimpang. Persetujuan pasien atau keluarganya hanya sekedar membebaskan resiko hukum bagi timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dalam hal perlakauan medis yang benar dan tidak menyimpang. Walauapun ada persetujuan semacam itu, apabila perlakuan medis dilakukan secara salah yang dari padanya menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki, dokter juga tetap terbebani tanggung jawab terhadap akibatnya.
Hubungan hukum dokter – pasien, terbentuk karena kesepakatan. Kesepakat telah terbentuk pada saat pasien menghadap dokter (baik praktik pribadi maupun rumah sakit). Logika hukumnya, ialah dokter yang berpraktik ialah telah melakukan penawaran umum (openbare aanbod) in casu memberikan jasa pelayanan medis – sebagai syarat pertama dari terbentuknya kesepakatan. Pada dasarnya perbuatan pasien yang datang menghadap untuk dilayani dokter, adalah wujud dari penerimaan penawaran tersebut. Menurut hukum, kesepakatan terjadi ialah bila ada penawaran oleh satu pihak, dan penawaran diterima atau disetujui oleh pihak lain. Menghadapnya pasien pada dokter, itu artinya suatu persetujuan yang in casu di dalamnya terkandung kehendak dan ijin pada dokter agar kepada dirinya diberikan pelayanan medis sesuai dengan keperluan menurut disiplin kedokteran yang berlaku. Bagi dokter yang berpraktik, kehadiran seorang pasien, menurut hukum adalah penawaran pelayanan kesehatan telah di terima oleh pasien. Karena penawaran dokter telah diterima, maka kesepakatan terjadi, dan terjadi pula suatu hubungan hukum (hubungan hukum pelayanan medis) antara dokter dan pasien.
Dalam hubungan hukum memuat hak-hak dan kewajiban hukum para pihak secara umum yang berlaku bagi dokter dan pasien – walaupun tidak dibuat secara formal tertulis apalagi otentik. Pelaksanaan kewajiban hukum dibayangi adanya resiko, berupa sanksi – mulai dari yang ringan sampai yang terberat, yang bersifat moral kemasyarakatan sampai hukum (administrasi, perdata dan pidana). Bagi dokter kewajiban perlakuan medis secara umum artinya harus sesuai standard umum kedokteran, walaupun pasien tidak mengerti isi standard perlakuan menurut standard umum tersebut. Pelanggaran terhadap standard umum inilah salah satu aspek dari malpraktik kedokteran. Dokter dengan berlindung pada kewajiban rahasia dokter, banyak yang merasa tidak perlu untuk memberitahukan tentang sekitar perlakuan medis terhadapnya dalam upaya penyembuhan pasien, walaupun hal itu menjadi hak pasien.
Lain sifatnya dalam hal pelanggaran perikatan hukum yang lahir karena UU (1352 BW), bilamana dalam perlakuan medis dokter terdapat kesalahan dengan menimbulkan kerugian, maka pasien berhak menuntut adanya penggantian kerugian itu berdasarkan perbuatan melawan hukum (1365 BW). Pasal 1365 merumuskan “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian tersebut”. Karena salahnya, dalam hal perlakuan medis dokter yang menimbulkan kerugian pasien dapat masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum menurut pasal ini. Salahnya disini boleh dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian dokter baik dalam hal berbuat (aktif) maupun tidak berbuat (fasif) dalam perlakuan medis terhadap pasien. Kerugian haruslah benar-benar diakibatkan oleh perlakuan medis yang salah dokter, dan harus dibuktikan baik dari sudut ilmu kedokteran (terutama dalam hal akibat merugikan kesehatan dan jiwa) dan sudut ilmu hukum atau ilmu lainnya seperti psikhology atau kepatutan (dalam hal kerugian materiil dan moril).
2. Hubungan Hukum Perdata – Salah Langkah Dapat Membentuk Pertanggungjawaban Pidana Bagi Dokter.
Pada dasarnya hubungan hukum dokter – pasien adalah hubungan perdata, yang dalam hal salah perlakuan medis masuk pada lapangan perdata apabila perlakuan salah tersebut berupa wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Masuk pada wanprestasi apabila dokter tidak melaksanakan kewajiban perlakuan medis dengan sebaik-baiknya dan secara maksimal (misalnya karena pasien tidak memiliki cukup uang untuk membeayai pengobatannya) atau melaksanakan kewajiban yang tidak sesuai standard kedokteran. Pelayanan menurut standar kedokteran walaupun tidak diketahui prosedur dan bentuknya oleh pasien, adalah suatu prestasi yang harus dilakukan dokter. Apabila dokter dalam pelayanan medisnya diluar standar kedokteran (prosedur, caranya dan alatnya) itu sama artinya dengan tidak melaksanakan prestasinya (wanprestasi), dan dalam hal berakibat merugikan pasien, maka terjadi malpraktik yang membentuk pertanggungjawaban perdata.
Walaupun pada dasarnya hubungan pasien – dokter adalah hubungan perdata, namun bisa jadi pelayanan medis dokter diluar standard dapat melompat masuk kelapangan hukum pidana, manakala akibat kerugian dari perlakuan medis yang menyimpang dari standard, menjadi unsur kejahatan (hukum pidana), seperti kematian (pasal 359 KUHP) atau luka-luka ( 360 KUHP). Bilamana malpraktik masuk dalam lapangan hukum pidana, pada dasarnya adalah juga perbuatan melawan hukum sebagaimana dalam pasal 1365 BW. Pada dasarnya terwujudnya malpraktik kedokteran (juga malpraktik advokat atau malpraktik wartawan) yang telah masuk dalam lapangan hukum pidana – atau menjadi kejahatan, adalah juga sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum, yang dapat dituntut pertanggungjawaban perdata melalui pasal 1365 jo 1370 dan 1371 BW.
C. Malpraktik Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana.
Malpraktik bisa masuk lapangan hukum pidana, apabila memenuhi syarat-syarat dalam 3 aspek, (1) syarat-syarat dalam perlakuan medis, (2) syarat dalam sikap batin dokter, dan (3) syarat mengenai hal akibat. Syarat dalam perlakuan medis pada dasarnya adalah perlakuan medis yang menyimpang dari standard. Syarat dalam sikap batin adalah syarat culpa dalam malpraktik kedokteran. Syarat akibat adalah syarat timbulnya kerugian.
1. Perlakuan Salah Dalam Malpraktik Kedokteran.
Untuk mempermudah pengertian dalam bahasan mengenai perlakuan medis yang salah, penulis membedakannya dengan perbuatan. Dalam konteks perlakuan medis disini, istilah perbuatan penulis maksudkan adalah wujud-wujud konkrit yang merupakan bagian dari perlakuan atau pelayanan medis. Berdasarkan pengertian yang demikian, maka tercakup di dalam aspek perlakuan medis, ialah: wujud dan prosedur serta alat yang digunakan dalam pemeriksaan untuk memperoleh data-data medis, menggunakan data-data medis dalam mendiagnosa, cara atau prosedur dan wujud serta alat menterapi, bahkan termasuk pula perlakuan pasca terapi. Pula syarat lain dalam aspek ini ialah kepada siapa perlakuan medis itu diberikan dokter.
Pada semua perbuatan dalam pelayanan medis tersebut dapat terjadi kesalahan yang pada ujungnya menimbulkan malpraktik kedokteran, apabila dilakukan diluar standard. Dapat artinya pada umumnya – tidak selalu berakibat malpraktik kedokteran menurut hukum. Mengapa demikian? Karena untuk terjadinya malpraktik kedokteran, disamping perbuatan-perbuatan dalam perlakuan medis tersebut harus diluar standard kedokteran, masih ada syarat sikap batin dan akibat, yang tidak dengan mudah difahami dan menerapkannya, bahkan kadangkala dalam kasus konkrit tertentu perbuatan tertentu yang ternyata kemudian salah bisa dibenarkan dengan alasan tertentu pula. Berarti untuk kasus konkrit tertentu kadang diperlukan syarat lain, misalnya kepatutan dan pembenaran dari sudut logika umum. Misalnya salah dalam menarik diagnosa (kesimpulan: diagnosa salah) tetapi perbuatan itu dapat dibenarkan apabila ada alasan pembenar misalnya fakta-fakta medis yang ada (hasil pemeriksaan sesuai standard) dari sudut kepatutan dibenarkan untuk menarik kesimpulan diagnosa.
Pada kasus di RSA Malang yang pernah terjadi (2004), dimana penyidik telah menetapkan tersangka seorang dokter chief jaga karena salah mendiagnosa bayi tunggal mati dalam hal (kenyataan) bayi kembar. Atas diagnosa yang salah itu - terapi dijalankan dengan menggunakan alat cunam muzeaux - menjadi salah pula karena menimbulkan dua luka sedalam kulit kepala pada bayi yang kenyataan hidup. Walaupun alasan penghentian penyidikan oleh penyidik, didasarkan bahwa perkara ini bukan malpraktik kedokteran pidana karena dua luka sedalam kulit kepala bukanlah luka yang masuk kategori luka yang dimaksud pasal 360 ayat (2) KUHP (luka yang menyebabkan timbulnya penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian sementara waktu) yang semula disangkakan, tetapi juga dapat didasarkan pada alasan yang dapat dibenarkan, ialah dari sudut kepatutan, perbuatan menarik diagnosa bayi tunggal mati adalah wajar. Karena wajar maka terapi dapat dibenarkan, walaupun kemudian terbukti salah. Dibenarkan tidak sama artinya dengan benar. Pada dasarnya salah tetapi karena faktor-faktor tertentu, tindakan medis menjadi dapat dimaklumi, dapat dimengerti oleh orang pada umumnya. Fakta-fakta medis yang ada yang didapat dari pemeriksaan yang telah benar, dari sudut disiplin kedokteran dan kebiasaan serta logika – tidak menunjukkan suatu sifat dan keadaan bahwa disamping bayi mati dalam kandungan terdapat satu bayi hidup. Karena itu dapat dimaklumi penarikan kesimpulam bahwa dalam kandungan terdapat satu bayi dan mati.
Perbuatan apa yang dilakukan setelah perlakuan medis bisa juga menjadi objek dan bagian malpraktik kedokteran. Seperti pada kasus dr. Setianingrum tahun 1980, walaupun pada akhirnya oleh MA dibebaskan karena bukan pelanggaran pasal 359 KUHP dengan alasan usaha-usaha perlakuan medis untuk menyelamatkan jiwa pasien yang terancam kematian dapat dibenarkan dengan pertimbangan perlakuan oleh seorang dokter baru praktik 4 tahun di Puskesmas dengan peralatan dan fasilitas medis serba terbatas tidak dapat dituntut berbuat yang lebih dari kemampuannya dengan fasilitas dan peralatan yang ada itu. Namun dari kasus ini, terbukti perbuatan-perbuatan pasca terapi dapat pula menjadi objek persoalan dalam malpraktik kedokteran.
Tidak kalah pentingnya, seperti juga telah dikemukakan didepan, bahwa pada aspek perlakuan medis, syarat kepada siapa perlakuan medis dilakukan menjadi bahan pertimbangan yang juga tidak boleh dikesampingkan dalam menilai persoalan malpraktik kedokteran. Dalam syarat harus adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan syarat perlakuan medis yang diberikan dokter. Hubungan hukum yang pada dasarnya hubungan perdata inilah yang membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter apabila terjadi penyimpangan perlakuan medis yang berakibat merugikan dari sudut hukum pidana.
Perlakuan medis tidak selalu bersifat aktif – berupa wujud perbuatan tertentu, tetapi juga termasuk tidak berbuat sebagaimana seharusnya berbuat – dimana dengan tidak berbuat, dokter melanggar suatu kewajiban hukum. Dokter, karena jabatan dan adanya hubungan hukum dengan pasien dalam keadaan tertentu menurut standard kedokteran harus berbuat tertentu. Tidak berbuat sebagaimana dituntut berbuat seperti ini adalah juga bagian dari perlakuan medis yang dapat menjadi objek lapangan malpraktik kedokteran.
2. Sikap Batin Culpa Dalam Malpraktik Kedokteran.
Doktrin hukum mengenai sikap batin culpa termasuk salah satu objek pelajaran yang sulit. Karena petunjuk dalam perundang-undangan tidak cukup membuat terangnya persoalan mengenai culpa. Maka doktrin mengenai culpa berkembang mengikuti pendapat para ahli. Demikian juga pada tataran penerapannya, dasar pijakan teori dalam memutus kasus kejahatan culpa pun menjadi beragam. Beragam ini bukan saja semata-mata karena beragamnya pendapat dalam ajaran culpa, tetapi juga pada tataran penerapannya – penggunaannya tidak jarang hanya mengacu pada salah satu aspek saja dari culpa. Seperti pada putusan MA yang membebaskan terdakwa dr. Setianingrum.
Sikap batin yang diperlukan dalam malpraktik adalah sikap batin kealpaan (kesalahan dalam arti sempit) yang dalam doktrin dilawankan dengan sengaja (dolus atau opzet), yang dalam rumusan kejahatan Undang-undang selalu ditulis dengan kesalahan (schuld). Seperti pada rumusan pasal 351 dan 360 KUHP yang secara kompensional selalu didakwakan JPU atas setiap kasus malpraktik kedokteran. Sehingga selalu dapat dibenarkan JPU menarik kedua pasal tersebut kedalam surat dakwaannya.
Walaupun doktrin hukum mengenai kelapaan itu luas dan beragam, kiranya banyak dan luasnya itu secara pokok-pokoknya dapat disimpulkan kedalam dua ajaran, yakni ajaran subjektif dan ajaran objektif. Pandangan dari ajaran subjektif dalam usahanya menerangkan tentang culpa bertitik tolak pada syarat-syarat subjektif pembuat. Untuk mengukur adanya culpa, menilai sikap batin orang sebagai lalai dilihat pada apa wujud dan cara perbuatan dilakukan dan apa akibat yang timbul dari padanya. Dari wujud dan cara orang berbuatlah – dapat menilai sikap batin apa yang terkandung dalam batin si pembuat sebelum orang itu berbuat. Sedangkan pandangan objektif pada syarat objektif. Untuk menilai sikap batin lalai pada diri seseorang, dengan membandingkan antara perbuatan pelaku pada perbuatan yang dilakukan orang lain yang berkualitas yang sama dalam keadaan yang sama.
Pada tataran penerapan ajaran culpa acapkali hanya menggunakan satu sisi ajaran saja, seperti pada putusan Pengadilan Negeri Pati jo Pengadilan Tinggi Semarang dan MA pada kasus dr Setianingrum. Ketiga-tiga pengadilan nampaknya menggunakan pendekatan subjektif. Menilai sikap batin si pembuat dari wujud apa yang diperbuat, dan bukan menilai perbuatan si pembuat dengan membandingkannya pada orang lain dalam kualitas dan keadaan dan syarat-syarat lain yang sama dengan pembuat ketika berbuat. Walaupun dasar pendekatan adalah sama dari sudut ajaran subjektif, namun pada kesimpulan akhir mendapatkan putusan yang berbeda. Karena stressing dari perbuatan yang menjadi ukuran adanya sikap batin lalai yang berbeda antara PN dan PT dengan MA. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menilai sikap batin culpa dari perbuatan pada perlakuan terapi (yang dinilai salah). Sedangkan MA menilai sikap batin culpa dari apa yang diperbuat setelah perlakuan terapi. MA melihat pada apa yang dilakukan terdakwa untuk menghindari akibat kematian yang gejala-gejala menuju kearah kematian pasien itu telah timbul akibat dari kesalahan perlakuan terapi tadi – dapat dibenarkan (berdasarkan kondisi Puskesmas dan kondisi dokter yang baru berpraktik). Tentu saja hasil penilaian akan berbeda.
Pada dasarnya, hal ikhwal mengenai kesalahan – baik arti luas maupun arti sempit (culpa) adalah mengenai keadaan batin orang dalam hubungannya dengan perbuatan dan akibat perbuatan maupun dengan segala fakta yang berada sekitar perbuatan dan akibat perbuatan. Oleh karena itu, sikap batin dokter dalam culpa malpraktik kedokteran ditujukan dalam dua hal, ialah pada wujud perbuatan dan pada akibat perbuatan beserta unsur-unsur yang menyertainya. Culpa mengenai atau pada wujud perbuatan, bukan ditujukan pada untuk mewujudkannya, tetapi harus diartikan bahwa tiadanya kesadaran atau pengetahuan bahwa wujud perlakuan medis yang hendak diperbuat dokter adalah sebagai menyalahi prosedur atau standard kedokteran. Sedangkan pada mewujudkan atau hendak mewujudkan, dokter benar-benar menghendaki perbuatan itu. Kesalahan dokter mengenai wujud perbuatan disini, ialah dokter tidak sadar bahwa wujud perbuatan yang dilakukannya - menyimpangi atau salah dari yang seharusnya diperbuat. Kalangan dokter mengatakan tidak sesuai protap. Kelalaian dokter adalah dia tidak memahami dan tidak mengerti tentang protap, padahal sebagai seorang dokter, karena kualitas dan kedudukannya itu, kepadanaya dituntut untuk mengetahuinya. Inilah sikap batin teledor yang dipersalahkan kalangan medis, yang dioper kedalam hukum dan doktrin hukum.
Sedangkan sikap batin culpa yang ditujukan pada akibat, harus diterjemahkan dalam tiga arti, ialah:
* Arti pertama, dokter tidak menyadari bahwa dari perbuatan yang hendak dilakukannya dapat menimbulkan akibat yang terlarang dalam hukum. Sejak semula dokter tidak mengetahui, tidak sadar – tidak insyaf bahwa perbuatan yang hendak diperbuatnya akan menimbulkan akibat terlarang oleh Undang-undang. Padahal seorang dokter diharuskan memiliki kesadaran yang demikian. Ini benar-benar sembrono, karena kesadaran akan akibat sama sekali tidak ada.
* Arti kedua, ialah akibat itu disadari bisa timbul, namun karena berdasarkan pemikiran tentang kepintarannya, pengalamannya atau kondisi pasien, peralatan yang digunakan, pengalaman yang berlaku dalam kasus serupa dll., dokter meyakini akibat tidak akan timbul, namun kenyataannya setelah perbuatan diwujudkan benar-benar akibat terlarang itu timbul.
* Arti ketiga, akibat itu tidak dikehendaki untuk timbul. Telah berbuat yang cukup untuk menghindarinya, namun kenyataannya setelah perbuatan – akibat pun timbul.
Baik arti pertama maupun arti kedua haruslah kumulatif dengan arti ketiga. Arti ketiga tidak boleh berdiri sendiri. Mesti kumulatif dengan arti pertama atau kedua. Sedangkan arti kedua dan arti ketiga, menurut sifatnya mestinya berdiri sendiri.
Dari uraian tersebut diatas tentang sikap batin culpa dalam malpraktik pidana, haruslah berupa culpa lata – suatu bentuk kelalaian berat, yang artinya pembuat ceroboh – teledor – sikap batin tidak mau tahu – bahkan mau benar sendiri – tidak ambil pusing terhadap akibat apa yang akan terjadi. Sikap batin yang demikian berbeda dengan sikap batin malpraktik perdata. Sikap batin malpraktik perdata sudah cukup dengan adanya sikap batin apa yang disebut culpa levis atau culpa ringan, culpa sekedar lupa atau khilaf. Dua bentuk culpa ini hanya ada dalam doktrin dan tidak ada dalam hukum. Dalam praktik jarang diperhatikan orang.
Berdasarkan temponya, sikap batin culpa yang demikian sudah harus terbentuk pada sebelum mewujudkan perbuatan, dan tidak berlaku apabila sikap batin lalai yang baru terbentuk setelah diwujudkannya perbuatan – walaupun tidak lama atau beberapa lama setelah mewujudkan akibat belum timbul.
3. Akibat Kerugian.
Seperti dibagian muka telah disinggung, bahwa akibat yang boleh masuk pada lapangan malpraktik kedokteran haruslah akibat yang merugikan pihak yang ada hubungan hukum dengan dokter. Apakah malpraktik masuk dalam lapangan perdata atau pidana, pokok penentunya ada pada akibat. Sifat akibat dan letak hukum pengaturannya – menentukan kategori malpraktik kedokteran, antara malpraktik pidana atau perdata. Dari sudut hukum pidana, akibat yang merugikan masuk dalam lapangan pidana, apabila macam kerugian disebut dalam rumusan kejahatan. Akibat kematian atau luka merupakan unsur kejahatan pasal 359 dan 360, maka bila kelalaian/culpa perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka – jenis seperti ditentukan dalam pasal ini, maka perlakuan medis masuk kategori malpraktik pidana. Seperti juga malpraktik wartawan – dapat masuk ke lapangan hukum pidana, apabila dari pemberitaan yang dibuatnya berisi tuduhan melakukan perbuatan tertentu yang akibatnya mencemarkan nama baik dan kehormatan orang yang diberitakan.
Akibat terserangnya nama baik dan kehormatan adalah merupakan unsur kejahatan (pasal 310 KUHP), walaupun unsur akibat ini berupa unsur diam yang tidak perlu dibuktikan secara khusus dalam persidangan. Pembuktiannya sudah cukup pada adanya pengaduan dari orang yang diberitakan (korban). Dengan adanya pengaduan membuktikan bahwa korban merasa nama baik dan kehormatannya dicemarkan oleh pemberitaan yang diperbuat wartawan. Logikanya ialah, jika orang yang diberitakan tidak merasa dirinya tercemarkan akibat diberitakan di media, maka pengaduan tidak perlu dimajukannya. Baik perlakuan medis yang melanggar pasal 359 atau 360 atau 310 KUHP yang merupakan malpraktik pidana, kedua perlakuan itu menurut pasal 1365 BW adalah juga onrechtmatige daad, sekaligus merupakan malpraktik perdata yang dapat pula dituntut penggantian kerugian.
Antara perlakuan medis dengan akibat haruslah ada hubungan causal (causal verband). Akibat terlarang yang tidak dikehendaki haruslah merupakan akibat langsung oleh adanya perbuatan. Apabila ada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya akibat atau mempercepat timbulnya akibat bahkan menentukan terhadap timbulnya akibat, tidak akan mempengaruhi kesalahan dokter terhadap akibat terlarang dari suatu perlakuan medis yang dijalankannya terhadap pasiennya. Karena seorang dokter dari kedudukan dan kualitasnya, dia wajib mengetahui seluruh aspek yang dapat berpengaruh dari perlakuan medis yang hendak dijalankannya yang dapat menimbulkan akibat buruk pada pasiennya. Sikap hati-hati menuntut dokter sebelum berbuat, terlebih dahulu wajib memperoleh data-data medis lengkap dan cukup dengan cara-cara yang benar dan wajar menurut disiplin kedokteran. Contohnya pada kasus dokter Setianingrum, sebelum tindakan penyuntikan dengan streptomicyn dokter seharusnya sadar bahwa obat ini dapat berpengaruh buruk pada pasien yang tidak tahan terhadap alergi, namun cara mendapatkan data medis dengan hanya menanyakan saja pada pasien tentang ketahanan tubuhnya terhadap alergi tidak cukup menghapuskan kesalahannya. Justru disinilah letak kelalaiannya. Karena pasien adalah orang awam yang seharusnya disadari oleh dokter tidak mengerti tentang masalah obat dan akibat alergi, tetapi keterangan itu dipercayanya dan menjadi dasar keputusannya untuk berbuat pelayanan medisnya. Fakta ini pula menjadi salah satu pertimbangan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk menyalahkan dan menghukum dokter tersebut.
Timbulnya akibat terlarang tidak harus seketika atau tidak lama setelah perbuatan diwujudkan. Boleh jadi akibat itu timbul setelah berbulan atau bertahun-tahun kemudian, namun akibat itu harus terbukti adalah akibat langsung atau setidak-tidaknya pengaruh yang kuat dari adanya perlakuan medis semula. Memang diakui, bahwa pengukuran hubungan ini bukanlah persoalan yang mudah, apalagi jika akibat timbulnya bukan pada waktu tidak lama setelah perlakuan medis, melainkan pada waktu yang cukup lama. Bertambah sulit pula, apabila didalam proses timbulnya akibat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti keadaan khusus atau kelainan pasien yang tidak diketahui. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran disegala bidang beserta cabang-cabangnya pekerjaan ini akan sangat dibantu. Oleh sebab itu keterangan ahli di sidang pengadilan rasa-rasanya mutlak diperlukan dalam hal pembuktian adanya hubungan ini.
D. Kesimpulan.
1. Malpraktik kedokteran, pada dasarnya masuk dalam dua lapangan hukum, yakni perdata dan pidana. Masuk perdata sebagai wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum yang membeban pertanggungjawaban pemulihan kerugian. Masuk lapangan hukum pidana sebagai suatu kejahatan, yang membeban pertanggungjawaban pidana. Malpraktik pidana pada dasarnya juga sekaligus masuk lapangan perdata melalui perbuatan melawan hukum.
2. Kriteria umum malpraktik perdata atau pidana ada pada sifat dan tempat pengaturan atau penyebutan dari akibat kerugian. Bila kerugian itu bersifat perdata dan diatur dalam hukum perdata, maka malpraktik – masuk menjadi malpraktik perdata. Jika sifat kerugian dan pengaturannya ditentukan oleh hukum pidana yang menjadi unsur kejahatan, maka malpraktik masuk dalam lapangan hukum pidana.
3. Keadaan Malpraktik kedokteran pidana harus memenuhi syarat-syarat dalam 3 (tiga) hal pokok, yakni syarat-syarat pada perlakuan medis, syarat sikap batin dalam hubungannya dengan perlakuan serta akibat perlakuan medis, dan akibat perlakuan yang merugikan pasien.
4. Dalam syarat mengenai perlakuan terdiri al dari: wujud, cara dan alat perlakuan, kepada siapa perlakuan dilakukan; penarikan diagnosa, terapi, sampai pada perlakuan setelah terapi. Syarat sikap batin adalah merupakan culpa (culpa lata), tidak tahu - teledor baik terhadap prosedur maupun terhadap perlakuan dan akibat. Mengenai akibat haruslah akibat yang merugikan pasien yang diatur dan ditentukan hukum.
5. Persoalan malpraktik kedokteran acapkali menimbulkan polemik – tidak seragam pemecahannya, karena tidak ada standard hukum yang mengatur secara khusus. Secara kompensional pada tataran praktik malpraktik pidana diselesaikan melalui pasal 359 dan 360 KUHP. Seraca perdata malpraktik diselesaikan melalui gugatan perdata penggantian kerugian melalui hukum wanpretasi dan perbuatan melawan hukum.

Kampus FH UB, 24 – 11 – 2004.
Drs. Adami Chazawi, S.H.




















DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Adji, Oemar Seno, 1991: Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Penerbit Erlangga, Jakarta.
2. Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
3. --------------------, 2004: Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Cetakan ke-3, Penerbit PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
4. Koeswadji, Hermin Hadiati, 1992: Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
5. Moeljatno, 1983: Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
6. Ninik Mariati, 1988: Malpraktik Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
7. Prodjodikoro, R. Wirjono, 1979: Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan kedelapan, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta.
8. Seoparmono, 2002: Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung.
9. Schravendijk, H.J, 1955: Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B Wolters, Jakarta – Gronigen.
10. Schaffmeister., N. Keijzer; E.PH. Sutorius, (Editor Penerjemah: Sahetapy), 1995: Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
11. Soekanto, Soerjono, 1983: Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia, Penerbit Gratifipers, Jakarta. Subekti, 1985: Hukum Perjanjian, Cetakan X, Penerbit PT Intermasa