Sabtu, 14 Juli 2012

KORUPSI MELALUI KEBIJAKAN PUBLIK

Penulis membaca di suatu situs internet dan berita berjalan (running text) di TVOne yang memberitakan bahwa Presiden SBY mengatakan bahwa “kebijakan tidak bisa dikriminalkan”. Penulis terkejut dan heran, karena: 1. Itu ucapan seorang Presiden, tidak main-main. 2. Penulis meyakini ucapan itu tidak seluruhnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 3. Karena itu penulis yakin dapat menimbulkan polemik di masyarakat. Sepatutnya seorang Presiden tidak menciptakan suatu pelemik di masyarakat. Untuk yang terakhir, ternyata benar. Dianggap ucapan SBY terrsebut dirasa sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini didegung-dengungkan, seperti iklan TOLAK KORUPSI. Gayus Lumbuun, wakil ketua Pansus Hak Angket kasus Bank Century DPR RI, mempertanyakan maksud dari pernyataan Presiden tersebut. Beliau menegaskan bahwa kebijakan bisa diproses secara hukum dan dikriminalkan. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sudah siap untuk untuk memproses apabila kebijakan bailout Bank Century mengarah kepada impeachment. Ia menyatakan bahwa kebijakan pemerintah berupa pengeluaran dana bailout Bank Century bisa berujung impeachment apabila kebijakan tersebut mengandung unsur kriminal seperti korupsi.... Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam acara lounching buku yang berjudul “Korupsi Mengorupsi Indonesia” (kumpulan dari bebagai tulisan dari tokoh dan penggiat anti korupsi mengenai korupsi dan cara pemberatasannya) di Universitas Paramadina tanggal 12 Januari 2010 yl., sangat prihatin dengan korupsi di tingkat kebijakan tersebut. Beliau selanjutnya mengatakan bahwa tindakan korupsi pada tahap kebijakan pemerintah lebih berbahaya dibanding korupsi pada tahap pelaksanaan di lapangan. Bahkan, menurutnya, korupsi yang mengatasnamakan kebijakan itu luar biasa berbahaya karena akibatnya merusak satu generasi. Apa yang disampaikan SBY, kiranya sekedar pendapat pribadinya sendiri. Kiranya ditujukan untuk memengaruhi pendapat umum yang tidak berpihak kepada pembenaran pada kebijakan Menteri Keuangan dan Gubernur BI (ketika itu). Patut diduga satu-satunya tujuan akhirnya ingin menolong kedua pembantunya tersebut. Pernyataan SBY tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. Kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan dengan itikad baik atau tanpa dengan melawan hukum subjektif atau melawan hukum objektif, pastilah tidak dapat dikriminalisasikan. Sebaliknya kebijakan yang dibuat dan dijalankan dengan itikad buruk (melawan hukum subjektif maupun objektif) yang disadarinya membawa dampak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sesungguhnya itulah korupsi. Bahkan korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, tidak ada tandingannya. Karena apa? Sebabnya dari luar tidak nampak korupsi, karena dibalut oleh kebijakan, yang acapkali berbentuk peraturan, keputusan, penetapan dan lain-lain. Namun sesunggunya akibatnya sangat luas, merugikan perekonomian di berbagai sektor dan merugikan keuangan negara. Negara bisa bangkrut dibuatnya. Kita bertanya, apakah kebijakan Bank Century yang demikian itu menguntungkan rakyat, menguntungkan perekonomian nasional, menguntungkan keuangan negara, menguntungkan kepentingan umum? Silakan jawaban sendiri. Menurut hemat penulis, ada 4 (empat) syarat atau unsur dapatnya mengangkat suatu kebijakan publik keranah korupsi. Apa 4 (empat) syarat tersebut? 1. Kebijakan itu dikeluarkan dengan itikad buruk atau melwan hukum. Sejak semula si pejabat (tentunya orang-orang lainnya sekitarnya juga yang ikut terlibat, bawahannya: penyertaan) pembuat kebijakan telah berkehendak atau setidak-tidaknya sadar bahwa kebijakan yang akan diambilnya merupakan kebijakan yang tidak tepat. Masih ada bebarapa alternatif kebijakan yang patut diambil, namun tidak diambilnya. Artinya membuat kebijakan publik itu dari awalnya telah mengandung sifat tercela (melawan hukum). Sifat jahat disini, baik subjektif dan objektif. Sifat melawan hukum subjektif diarahkan pada 4 (empat) aspek, ialah: a. bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan disadarinya merupakan kebijakan yang tidak/kurang tepat, karena ada kebijakan lain yang secara objektif lebih baik dan lebih tepat. b. bahwa kebijakan publik itu dikeluarkan dengan maksud/ tujuan atau kehendak utk menguntungkan/memperkaya sektor tertentu/pihak tertentu (misalnya partai politik, pribadi tertentu, pengusaha tertentu dsb.), dengan mengabaikan kepentingan umum yang dapat dirugikan dari kebijakan tersebut. c. Bahwa kebijakan publik tersebut disadari dapat membawa dampak kerugian keuangan atau perekonomian. d. Disadarinya ada kebijakan publik yang lebih baik dan lebih tepat yang tidak membawa dampak kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, atau jika ada kerugian yang tidak dapat dihindari, namun tidak sebesar jika kebijakan alternatif yang lebih baik tadi dikeluarkan. 2. Terdapatnya/adanya alternatif-alternatif kebijakan yang sesungguhnya lebih baik, yang secara objektif tidak akan berdampak merugikan negara, atau apabila kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak dapat dihindari, namun kerugian tersebut tidak sebesar atau sparah kerugian akibat dari kebijakan publik yang dikeluarkan. Secara ilmiah dapat dibuktikan alternatif kebijakan yang tidak diambil tersebut memang lebih baik dan lebih tepat (melalui kajian-kajian ilmiah dari keterangan para ahli). 3. Ternyata dan terbukti benar bahwa dibalik kebijakan yang diambilnya tersebut ketika dilaksanakan ada pihak-pihak yang diuntungkan atau akan diuntungkan (baik secara ekonomi maupun secara politik), dan sebaliknya kepentingan umum/negara dirugikan atau terabaikan. 4. Untuk selesainya tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 atau 3 UUTPK, kerugian keuangan atau perekonomian negara secara objektif tidak merupakan keharusan sudah timbul. Namun cukuplah bahwa kebijakan publik tersebut dapat atau potensial merugikan keuangan atau perekonomian negara. Jika potenssi dari suatu kebiajakan publik ketika dikeluarkan sudah mengandung potensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka tindak pidana korupsi sesungguhnya sudah terjadi secara sempurna (voltooid) pada saat kebijakan publik tersebut dikeluarkan, sebelum kebijakan itu dilaksanakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan atau 3 UUTPK, tindak pidana korupsi melalui kebijakan publik tersebut, sudah terjadi sempurna ketika kebijakan itu sudah diambil secara sah, Misalnya peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan secara sah atau SK sudah ditandatangani oleh si pejabat. Meskipun belum dijalankan dan belum membawa dampak kerugian keuangan negara secara rieel. Kedua pasal tersebut, merumurkan tindak pidana formil bukan materiil, meskipun dalam praktik jaksa selalu ingin menjadikannya sebagai delik materiil. Karena di dalam praktik JPU selalu membuktikan adanya kerugian negara secara rieel. Tentu saja sikap dan perilaku JPU yang seperti ini salah, dan sikap dan perilaku semcam ini dapat berdampak buruk pada pemberantasan korupsi. Terutama pengungkapan kasus korupsi melalui kebijakan publik. Empat unsur itulah yang harus dibuktikan jika suatu kebijakan akan diproses ke ranah hukum pidana khususnya korupsi. Korupsi kebijakan terdapat dalam prores pembuatannya dan dapat juga dalam proses menjalankannya. Korupsi melalui kebijakan publik sangat berbahaya, dapat membangkrutkan negara dalam satu generasi. Karena kebijakan itu berlangsung lama. Selama tidak dicabut/ditarik atau ditiadakan dengan peraturan perundang-undangan maka selama itu pula kebijakan itu dapat digunakan untuk melakukan korupsi. Jadi korupsi berjangka panjang lha gitu. Apalagi jika perpolitikan menggunakan model atau sistem otoriter seperti jaman Orde Baru yang lalu. Jadi kasus Bank Century, untuk diangkat ke dalam kasus korupsi, penulis menyarankan: 1. Harus diusut oleh KPK, bukan oleh Kejaksaan Agung atau POLRI. Kedua instansi tersebut dikhawatrkan dapat diintervensi Presiden/Pemerintah baik secara langsung maupun diam-diam. 2. Apa yang dicari KPK ialah indikator-2 yang penulis sebutkan di atas tadi. Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, penulis yakin indikator-indikator itu bisa ditemukan, dengan syarat KPK kuat komitmennya utk membongkar kasus tsb, tanpa ambil peduli tekanan-tekanan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak lain, yang pasti ada. Penulis yakin rakyat akan lebih banyak yang mendukung KPK dari pada yang tidak. Kiranya demikian pendapat penulis. Kampus FH UB, 13 Juli 2010

Minggu, 03 Juni 2012

RECHTSVERWERKING DALAM PUTUSAN PENGADILAN DAN HUKUM POSITIF

(Dari sisi hukum adat – pelepasan hak/rechtsverwerking) 1. Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. (2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut. Catataan: Ketentuaan ayat (2) berupa perwujudan dari hukum adat mengenai pelepasan hak (rechtsverwerking) dalam hukum positif. 2. Pasal 1963 KUH Perdata. Siapa dengn itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwarsa dengan suatu penguasaan selama 20 tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya. 3. Pasal 1967 KUH Perdata: Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwasa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa tersebut tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tidak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. 4. Putusan Pengadilan yang berhubungan: Hukum adat juga mengenal lewatnya waktu (daluwarsa) yang menghapuskan hak atau memperoleh suatu hak. . KUH Perdata menentukan batas waktu secara tegas, yakni 30 tahun, Dalam hukum adat mengenal “lembaga” yang disebut dengan rechtsverwdrking atau “pelepasan hak” karena dengan lewatnya waktu tertentu seperti juga dalam KUH Perdata. Lembaga daluwarsa maupun rechtsverwerking berpijak pada azas kepastian hukum (rechtszekerheid). Dalam hukum adat lamanya waktu tersebut tidak ditentukan secara umum seperti KUH Perdata – lewatnya waktu 30 tahun. Namun waktu tersebut ditentukan secara kasuistis, berdasarkan keadaan-keadaan tertentu dan sifat penguas`an dengan itikad baik yang berlangsung dalam jangka waktu sekian lama (tertentu) secara terus menerus, maka hukum menganggap orang yang semula berhak – melepaskan haknya. Sebaliknya orang yang menguasainya secara terus menerus memperoleh hak.. Dalam berbagai yurisprodensi ditentukan ialah: 15, 18 tahun, 20 tahun, yang terlama 30 tahun (sama dengan KUH Perdata). Lembaga rechtsverwerking tersebut telah terbukti dalam berbagai yurisprodensi RvJ atau HR maupun MA, antara lain sbb.: a. “Apabila antara perbuatan hukum yang dapat dibatalkan/batal dan saat pengajuan gugatan telah lewat 18 tahun, maka gugatan itu tidak dapat dianggap diajukan dengan itikad baik”. Putusan MA No. 499K/Sip/1970 (4 Pebruari 1970): b. “Menduduki tanah selama 20 tahun tanpa gangguan, sedang pihak lawan selama itu membiarkan keadaan demikian, adalah persangkaan berat bahwa pendudukan (bezit) itu adalah berdasarrkan hukum”. Putusan RvJ Jakarta 13 Januari 1939, T. 241: c. “Menduduki tanah dalam waktu lama tanpa gangguan, sedangkan yang menduduki tanah bertindak sebagai pemilik yang jujur mendapatkan perlindungan hukum”. (Putusan RvJ Jakarta 12 Januari 1940, T 154 hal 269). d. Menurut ketentuan yang berlaku dalam BW suatu gugatan menjadi kadaluwasa dalam waktu 30 tahun (Ps 835 BW). (MA 19 April 1972 No. 26K/Sip/1972). e. Dengan selama 24 tahun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tentang barang warisan dari ibunya, penggugat yang kemudian mengajukan gugatan, dianggap telah melepaskan haknya (PT Surabaya, 24 Nopember 1952). f. Dalam hukum adat tindakan yang menyebabkan pemindahan hak bersifat contant, sedangkan pendaftaran menurut UUPA dan peraturan pelaksanaannya bersifat administratif (MA 29 Agustus 1970 No. 123K/Sip/1970.). g. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan MA. Karena para penggugat terbanding telah selama 30 tahun lebih membiarkan tanah sengketa dikuasi oleh almarhum Ny. Ratiem dan kemudian oleh anak-anaknya, hak mereka sebagai ahli waris yang lain darh almarhum Atma untuk menuntut tanah tersebut telah sangat lewat waktu (rechtsverwerking). h. Bahwa sekalipun penghibahan tanah-tanah sengketa oleh tergugat I adalah tanpa ijin penggugat, namun karena Ia membiarkan tanah tersebut dalam keadaan sekian lama, mulai 23 Oktober 1962 sampai gugatan diajukan yakni 18 Juni 1971 (9 tahun), sikap penggugat harus dianggap membenarkan keadaan tersebut. (MA 21-1-1974 No. 695K/Sip/1973). i. “...,.., mereka telah membiarkannya berlalu sampai tidak kurang dari 20 tahun semasa hidupnya Daeng Patappu tersebut, suatu masa yang cukup lama sehingg mereka dapat dianggap telah meninggalkan haknya yang mungkin ada atas sawah sengketa, sedang tergugat pembanding dapat dianggap telah memperoleh hak milik atas sawah sengketa. (MA 9-12-1975: No. 295K/Sip/1973). j. Keberatan yang diajukan penggugat untuk kasasi bahwa hukum adat tidak mengenal daluwarsa dalam hal warisan tidak dapat dibenarkan, karena gugatan telah ditolak bukan atas alasan daluwarsanya gugatan, tetapi karena dengan berdiam diri selama 30 tahun lebih penggugat asal dianggap telah melepaskan haknya (rechtsverwerking). (MA 11-12-1975 No. 200K/Sip/ 1974). Catatan: Dari yurisprodensi MA ini membuktikan dari sisi akibat, bahwa daluwarsa mempunyai persamaan dengan rechtsverwerking. Daluwarsa mengacu pada lamanya waktu tertentu menyebabkan hapusnya hak disatu pihak atau diperolehnya hak dipihak lain. Demikian juga rechtsverwerking sebagaimana dalam hukum adat mengacu pada pelepasan hak yang didasarkan berlangsungnya jangka waktu yang lama tertentu. Sementara dipihak lain memperoleh/menimbulkan sesuatu hak. Substansi kedua-duanya sama yakni (1) begantung pada lamanya waktu tertentu, dan (2) akibat hukumnya juga sama yakni disatu pihak, hapusnya hak (hukum perdata) atau pelepasan hak (hukum adat), dan dipihak lain memperoleh hak. k. Orang yang membiarkan saja tanah menjadi haknya selama 18 tahun dikuasai oleh orang lain dianggap telah melepaskan haknya atas tanah tersebut (rechtsverwerking). (MA 24-9-1958. No. 329K/Sip/1957). l. Bahwa seandainya memeng penggugat terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa tergugat-tergugat sampai sekian lama (27 tahun) menunggu untuk menuntut pengembalian tanah tersebut menimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka (rechtsverwerking) (MA: 29-1-1976 No. 783K/Sip/1973). m. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan MA. Penggugat terbanding yang telah menduduki tanah tersebut untuk waktu yang lama, tanpa gangguan d`n bertindak sebagai pemilik yang jujur (rechtshebende te goeder trouw) harus dilindungi oleh hukum. (MA 29-1-1976 No. 783K/Sip/1973). Kesimpulan: 1. Dari berbagai yurisprodensi tersebut di atas, substansinya adalah karena telah lewat waktu yang sekian lamanya seseorang yang semula membiarkan tanahnya dikuasai oleh orang lain tanpa menggangu gugatnya, hukum menetapkan bahwa orang itu telah melepaskan haknya. 2. Berdasarkan hukum perdata dan hukum adat khususnya lembaga rechtsverwerking seperti yang diterapkan dalam banyak putusan pengadilan, , maka segala tuntutan hukum oleh siapapun yang merasa berhak atasnya hapus karena daluwarsa atau hapus karena pelepasan hak (rechtsverweking). 3. Syarat rechtsverwerking adalah: • Menduduki tanah yang semula hak orang lain dengan itikad baik; • Berlangsung sekian lama secara terus menerus – tidak terputus, yang dalam waktu tersebut tidak ada komplain/permintaan keluar atau menyerahkan atau teguran dalam bentuk apapun dari pihak yang semula berhak; • Lamanya waktu tersebut tidak ditentukan batasnya – tidak seperti hukum perdata (ditetapkan 30 tahun), namun melkihat beberapa sifat dan keadaan pendudukan dan tanah yang bersangkutan serta hukum kebiasaan setempat.

Minggu, 27 Mei 2012

SYARAT-SYARAT NOVUM

Untuk mengajukan upaya hukum peninjauankembali (PK) baik perkara pidana maupun perdata, salah satu syarat materiilnya adalah ditemukannya bukti baru atau keadaan baru yang disebut NOVUM. Alasan matriil PK – ditemukannya novum dalam perkara pidana – disebut dengan “keadaan baru” terdapat dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf a KUHAP. Sementara ditemukannya novum, disebut dengan “surat-surat bukti yang bersifat menentukan” dalam perkara perdata terdapat dalam Pasal 67 huruf b UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang diubah pertama kali dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang diubah kedua kalinya dengan UU No. 3 Tahun 2009. Meskipun dengan menggunakan istilah yang berlainan tentang novum tersebut, namun arti yang sebenarnya tidaklah berbeda. Perbedaan hanya terdapat bahwa dalam perkara pidana tidak disebutkan secara tegas tentang alat buktinya dimana novum tersebut diperoleh/terdapat atau melekat. Namun novum dalam perkara perdata secarta tegas disebut dengan alat bukti surat. Novum tersebut melekat dalam alat bukti surat. Oleh karena dalam perkara pidana, tempat melekatnya alat bukti novum tidak disebut, maka novum dalam perkara pidana bisa diperoleh dari alat bukti surat maupun saksi. Yang penting isi novum tersebut berupa keadaan baru yang sebelumnya – ketika perkara diperisa di tingkat pertama, keadaan baru itu belum diungkap dalam persidangan. Novum itu sebenarnya suatu fakta, dan fakta mestilah melekat pada suatu alat bukti. Alat bukti tersebut menurut Pasal 67 huruf b UU MA tadi, berupa surat saja, namun dalam perkara pidana juga termasuk alat bukti saksi. Suatu fakta barulah dapat disebut novum apabila memenuhi syarat-syarat: • Pertama, yang dimaksud novum (surat bukti yang bersifat menentukan) menurut Pasal 67 huruf b tersebut adalah bukti surat yang isinya memuat suatu fakta yang sudah terdapat / yang sudah ada pada saat sidang pemeriksaan perkara tersebut di tingkat pertama sebelum perkara itu diputus oleh pengadilan pemeriksa tingkat pertama tersebut. • Kedua, namun fakta yang sudah ada dalam suatu surat itu belum diajukan dan diperiksa atau terungkap di dalam persidangan ketika perkara diperiksa dan sebelum diputus, melainkan baru diketahui/ditemukan setelah perkara diputus; • Ketiga, apabila diajukan dan diperiksa dan dipertimbangkan oleh pengadilan, maka putusan pengadilan akan berlainan dengan putusan pengadilan yang terakhir. Demikian kiranya pengertian tentang novum.

Kamis, 17 Mei 2012

APAKAH PENCEMARAN DAPAT TERJADI DENGAN CARA MENGIRIM E-MAIL?

Apakah pencemaran dapat dilakukan dengan mengirim E-mail? PASAL 27 (3) UU ITE SEBAGAI PENCEMARAN LEX SPECIALIS Pasal 27 Ayat (3) UU ITE telah banyak memakan korban di Indonesia, yang terkenal kasus Ibu Prita Mulyasari. Meskipun oleh MA dibebaskan. Namun belum selesai, karena perkara perdatanya oleh MA di hukum membayar ganti rugi, artinya Ibu Prita disalahan. Perkataan “pencemaran” dalam Pasal 27 (3) UU ITE harus diartikan yang sama dengan pengertian pencemaran dalam Pasal 310 (1) KUHP. Pencemaran dalam Pasal 27 (3) merupakan lex specialis dari pencemaran dalam Pasal 310 (1) KUHP. Unsur-unsur pencemaran harus terbukti lebih dulu dalam hal membuktikan pencemaran menurut Pasal 27 (3) UU ITE. Perkataan penghinaan diartikan yang sama dengan pengertian penghinaan (beleediging) dari Bab XVI Buku II KUHP. Penghinaan bukan tindak pidana, melainkan kualifikasi dari bentuk-bentuk tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum mengenai harga diri nama baik atau kehormatan baik bersifat pribadi maupun komunal. Oleh karena itu, apabila yang dimaksud adalah salah satu saja dari bentuk-bentuk penghinaan selain pencemaran, maka dalam surat dakwaan wajib disebut secara tegas bentuk penghinaan mana yang dimaksudkan dalam hubungannnya dengan teknologi ITE sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut. Apabila tidak, maka yang dimaksud adalah hanya pencemaran saja. Karena pencemaran disebutkan secara tegas dalam Pasal 27 (3) UU ITE. Apabila tidak disebutkan pasal KUHP lain (juncto) dari Pasal 310 tentang pencemaran dalam surat dakwaan, maka yang harus dibuktikan ialah unsur-unsur pencemaran Pasal 310 (1) KUHP. Bila disebutkan pasal KUHP lain (juncto) dari pencemaran, maka yang harus dibuktikan bukan pencemaran, malainkan bentuk penghinaan lain yang sesuai dengan bentuk penghinaan yang disebutkan dalam surat dakwaan. Sebenarnya dalam konsepsi hukum pencemaran mengenai objek pencemaran, ialah nama baik dan kehormatan. Nama baik adalah rasa harga diri orang yang disandarkan pada kedudukan sosial dan sifat-sifat pribadi yang dimiliki seseorang. Sementara kehormatan adalah rasa harga diri seseorang yang didasarkan pada nilai-nilai yang baik (adab) dalam pergaulan sesama anggota masyarakat. Namun mengapa dalam pencemaran menurut Pasal 27 (3) UU ITE hanya disebutkan satu objek, ialah “nama baik” saja. Tidak jelas alasanya. SIFAT MELAWAN HUKUMNYA PERBUATAN DALAM PENCEMARAN Sifat melawan hukum perbuatan menyerang nama baik atau kehormatan orang pada pencemaran terletak pada dua hal, ialah: (1) Secara subjektif, terletak pada “maksud terang supaya diketahui umum”. (2) Secara objektif terletak pada “menuduhkan melakukan perbuatan tertentu” yang memalukan orang dan yang diketahui umum. Titik berat sifat melawan hukum objektifnya terletak pada “diketahui umum”. Sifat melawan hukum subjektif dan objektif tersebut juga harus terdapat pula pada rumusan pencemaran menurut Pasal 27 (3) UU ITE, dan harus dibuktikan oleh Jaksa. Secara formal dalam rumusan Pasal 27 (3) UU ITE terdapat unsur melawan hukum dengan menggunakan istilah “tanpa hak”. Istilah tersebut dicantumkan untuk memastikan bahwa si pembuat tidak diperbolehkan mentransmisikan informasi elektronik yang memuat pencemaran. Kiranya mencantumkan frasa “tanpa hak” tersebut hanya penting apabila dihubungkan dengan dasar peniadaan pidana disebabkan hapusnya sifat melawan hukumnya pencemaran yang diletakkan dalam keadaan membela diri.[Pasal 310 Ayat (3)] KUHP saja, Kalau tidak dihubungkan seperti itu, maka pencantuman frasa “tanpa hak” disana – tidaklah mempunyai arti apa-apa. Karena sifat melawan hukum objektifnya perbuatan mentransminsikan informasi elektronik yang sebenarnya adalah terletak pada isinya informasi yang mencemarkan orang lain dan diketahui umum. Tidaklah mungkin dilarang orang mentrtansmisiskan informasi elektronik kalau isinya biasa-biasa saja, tidak mencemarkan nama baik atau kehormatan orang lain. Oleh karena itu sifat melawan hukumnya bisa hapus apabila ada alasan demi untuk membela diri dan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud dari Pasal 310 (3). Bila ada salah satu alasan itu, maka si pembuat berhak untuk melakukannya. Kiranya demikian hubungan antara “tanpa hak” dengan hapusnya sifat melawan hukum karena untuk membela diri dan untuk kepentingan umum. Sifat melawan hukumnya perbuatan mentransmisikan informasi elektronik harus dibuktikan seperti membuktikan sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 310 (1) KUHP, ialah dengan cara membuktikan, (1) terdapat maksudnya terang agar diketahui umum; (2) isinya informasi secara objektif menurut nilai-nilai masyarakat pada saat dan di tempat perbuatan dilakukan mengandung sifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang. (3) isi perbuatan yan dituduhkan telah diketahui umum. SIFAT KEADAAN UMUM PADA PENCEMARAN Pencemaran dalam Pasal 27 (3) UU ITE adalah lex specialis baik pencemaran lisan maupun tertulis. Alasannya pencemaran dengan tulisan Pasal 310 (2) KUHP juga mengandung semua unsur pencemaran lisan dalam ayat (1). Sementara sifat khusus tertulisnya dari pencemaran menurut Pasal 27 (3) UU ITE, ialah terletak pada caranya ialah dengan menggunakan sarana teknologi ITE. Bila dengan memanfaatkan teknologi ITE tanpa tulisan misalnya dengan suara saja, maka termasuk lex specialis dari pencemaran lisan – Pasal 310 (1) KUHP. Jika dengan tulisan, misalnya dengan memuatnya dalam twitter atau facebook atau suatu blog, atau youtube, maka merupakan lex specialis dari pencemaran tertulis – Pasal 310 Ayat (2) KUHP. Pencemaran dengan menyebarkan (verspreiden), mempertunjukan (ten toon gestelden), menempelkan (aanslaan) tulisan – Pasal 310 (2) KUHP tidak sama pengertiannya dengan pencemaran dengan mentransmisikan, mendisitribuskan dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik menurut Pasal 27 (3) UU ITE. Alasannya, adalah: • terletak pada perbedaan; “sifat dan keadaan diketahui umumnya”. Bagi pencemaran Pasal 310 (2) KUHP, pada azasnya keadaan diketahui umum sudah ada/terjadi pada saat 3 perbuatan itu diwujudkan. Sementara keadaan diketahui umum baru terjadi/ada setelah perbuatan mentransmisikan informasi diwujudkan. • Pada dasarnya menyebarkan menurut arti yang sebenarnya dari Pasal 310 (2) KUHP., adalah membagi-bagikan tulisan yang cukup banyak pada umum; mempertunjukkan adalah memperlihatkan tulisan pada umum; dan menempelkan adalah melekatkan tulisan di atas benda tertentu misalnya kertas pada benda yang lain. Jadi berbeda jauh pengertiannya dengan pengertian mentrasmisikan, mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. • Orang mengirimkan e-mail pada seseorang/beberapa orang tidak tepat untuk diartikan/disamakan dengan arti perbuatan menyebarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan di muka umum sebagaimana maksud Pasal 310 (2) KUHP, yang sebenarnya juga menjadi unsur dari Pasal 27 (3) UU ITE. Alasannya, ialah: 1. bahwa umum yang dimaksud frasa “dimuka umum” (openlijk) dalam Pasal 310 (2) KUHP adalah sebagai orang-orang banyak - siapa saja – tidak menunjuk pada orang-orang tertentu, ialah setiap orang bisa mengetahui isinya tulisan tanpa harus melalui perbuatan lain/usaha lain terlebih dulu agar dapat mengetahui isinya tulisan tersebut. Sementara itu, orang yang dimaksud dari pengiriman suatu e-mail, hanyalah orang-orang tertentu, bukan orang pada umumnya atau bukan semua orang, melainkan terbatas hanya bagi orang-orang tertentu saja yang dituju si pembuat. Jadi hal, sifat dan keadaan yang ada pada perbuatan mengirim e-mail yang demikian, tidak terdapat pada perbuatan mentrasmisikan informasi elektronik melalui twiter, facebook, blog atau yoetube. 2. Disamping itu juga, untuk mengetahui isinya suatu e-mail orang yang dituju masih harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu menurut dan cara-cara tertentu dengan melalui sarana/alat elektronik tertentu. 3. Selain itu orang yang dituju oleh suatu e-mail adalah orang yang terbatas, bukan semua orang. Oleh karena itu tidak bersesuaian dengan “sifat umum” dari semua bentuk penghinaan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Simon yang mengatakan mengirimkan tulisan pada orang yang terbatas – tidak termasuk penghinaan (Lamintang,1990. Delik-delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Kepatutan:303). Pendapat ini sejalan dengan arres Hoge Raad tanggal 1-12-1899 yang terjemahan bebasnya: “meskipun menuduhkan suatu perbuatan yang benar , apabila bukan untuk kepentingan umum, melainkan dengan maksud yang sebenarnya adalah untuk menghina orang, maka perbuatan itu adalah juga pencemaran” (lihat Soenarto Soerodibroto, 1994. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprodensi MA dan HR: 186) Mencantumkan perkataan terang (kenlijk) dalam frasa “maksud terang agar diketahui umum” [Pasal 310 (1) KUHP], harus diartikan maksud yang sangat kuat untuk menghinakan orang, maksud yang sangat kuat itu diperlihatkan secara jelas/terang dari caranya menuduh melakukan perbuatan tertentu. Jadi bukan sekedar kesadaran dengan menuduhkan perbuatan teretentu – bahwa orang lain akan menjadi malu. Maksud terang sebagai maksud yang sangat kuat dan merupakan maksud satu-satunya untuk menghinakan orang, tidak ada maksud yang lain yang patut. Kalau ada maksud lain yang patut, akibat terhinanya itu sebagai akibat yang tidak dapat dihindari demi untuk mencapai tujuan lain yang patut tersebut, maka disini tidak ada maksud terang agar diketahui umum. Dan ini bukan pencemaran. Disinilah letaknya filosofi alasan terpaksa untuk membela diri dan untuk kepentingan umum sebagai dasar peniadaan/hapusnya sifat melawan hukum perbuatan menurut Pasal 310 (3) KUHP. Maksud terang agar diketahui umum dalam Pasal 310 Ayat (1) yang artinya seperti tersebut di atas, harus juga terdapat/ada pada pencemaran sebagaimana dalam Pasal 27 (3) UU ITE. Dan maksud yang demikian sukar dan dapat dikatakan tidak mungkin terjadi pada peristiwa orang mengirimkan e-mail pada seseorang/beberapa orang, oleh karena sifat keadaan umum yang dituju oleh kesengajaan dalam hal mengirimkan e-mail tidak bisa sama dengan sifat keadaan umum yang dituju oleh kesengajaan menuduhkan perbuatan tertentu menurut Pasal 310 (1 dan 2) KUHP. Dalam hubungan antara masing-masing unsur tindak pidana, maka unsur “menuduhkan perbuatan tertentu (door telastlegging van een bepald feit”) adalah merupakan cara dalam melakukan perbuatan menyerang kehormatan dan nama baik orang dalam Pasal 310 KUHP. Isi perbuatan tertentu yang dituduhkan itulah yang mengandung sifat memalukan orang yang dituduh. Arti menuduhkan perbuatan tertentu adalah menyebutkan perbuatan dalam bentuknya yang konkret yang telah diperbuat oleh orang yang dituduhkan. Perbuatan yang dituduhkan harus konkret, sebab kalau tidak konkret masuk pada penghinaan ringan menurut Pasal 315 KUHP, bukan pencemaran. Tiadanya/hapusnya sifat melawan hukum perbuatan pada pencemaran – Pasal 310 (3) KUHP berlandaskan filosofi, ialah adanya serangan terhadap suatu kepentingan hukum seseorang yang dilanggar oleh perbuatan orang lain secara melawan hukum.. Orang yang dilanggar kepentingan hukumnya merasa perlu mempertahankan atau mengembalikan kepentingan hukumnya yang telah dilanggr oleh orang lain tersebut. Sebab apabila tidak melakukan pertahanan atau pengembalian kepentingan hukumnya yang telah dilanggar tadi, dia merasakan penderitaan secara batiniah. Untuk menghilangkan atau mengurangi penderitaan batiniah itulah, maka orang itu terpaksa melakukan perbuatan yang dapat memalukan orang yang telah melanggar kepentingan hukumnya tadi. Adanya penyerangan terhadap suatu kepentingan hukum oleh orang lain perlu dibuktikan dalam rangka untuk menghapuskan sifat melawan hukumnya pencemaran dengan alasan atau karena membela diri sebagai maksud Pasal 310 (3) KUHP. Selain itu isi perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela diri tersebut, merupakan perbuatan yang benar dan wajar menurut ukuran nilai-nilai masyarakat pada umumnya. Syarat adanya membela diri menurut Pasal 310 (3) KUHP, ialah terlebih dulu adanya penyerangan terhadap kepentingan hukum orang lain secara melawan hukum. Orang yang diserang kepentingan hukumnya merasa sangat perlu mempertahan atau mengembalikan akibat kepentingan hukumnya yang telah dilanggar tadi, sebab jika tidak ia merasakan penderitaan batin, seperti kesedihan, ketidakpuasan, amarah dan sebagainya yang menyiksa batin orang. Untuk itu maka ia melakukan reaksi balik, yang wujudnya bisa mencemarkan nama baik orang yang menyerang kepentingan hukumnya tadi. Kepentingan hukum yang dilanggar adalah segala kepentingan hukum yang menyangkut rasa ketentraman dan kedamaian hidup seseorang, misalnya dalam bidang harga diri mengenai nama baik dan rasa kesusilaan. Misalnya seorang ibu diperlakukan tidak senonoh – seperti memegang bagian tubuh yang terlarang oleh seorang lelaki. Disini terjadi pelanggaran terhadap kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan terhadap si ibu. Perbuatan lelaki itu membawa akibat terganggunya kedamaian dan ketenangan rasa kesusilaan ibu tersebut, maka dalam batas-batas yang wajar dibenarkan jika ibu bereaksi yang reaksi mana bisa memalukan si lelaki itu sendiri. Dalam hubungan dengan Pasal 310 Ayat (3), reaksi itu adalah menuduhkan perbuatan tertentu pada lelaki tadi. Pada asasnya, perbuatan menyebarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan sebagaimana maksud Pasal 310 (2) KUHP tidak mempunyai makna dan arti yang sama dengan mengirimkan e-mail. Alasannya, adalah: • Perbuatan menyebarkan, mempertunjukan dan menempelkan tulisan dalam hubungannya dengan diketahui umum, ialah pada saat perbuatan diwujudkan orang lain/umum sudah mengetahui isinya tulisan. Sementara sifat dan keadaan ini tidak terdapat pada mengirimkan e-mail. • Perbuatan menyebarkan, mempertunjukan dan menempelkan tulisan ditujukan pada siapapun (umum) tidak menunjuk pada orang tertentu. Sementara mengirimkan e-mail ditujukan pada orang tertentu. • Perbuatan menyebarkan, mempertunjukan dan menempelkan tulisan dapat diketahui umum perihal isinya tulisan tanpa harus melakukan perbuatan/upaya lain dengan alat lain. Sementara pada mengirimkan e-mail hanya dapat diketahui isinya oleh orang yang dituju dengan melakukan perbuatan/upaya lain lebih dulu dengan memakai sarana tertentu dengan cara tertentu. Arti “umum” dalam anak kalimat “maksud terang agar diketahui umum” dalam Pasal 310 (1) tidak sama artinya dengan “umum” dalam anak kalimat “disebarkan, dipertunjukan atau ditempelkan di muka umum tulisan” dalam Pasal 310 (2) KUHP. Umum dalam ayat (1) adalah arah yang dituju oleh kesengajaan - kehendak si pembuat. Sementara umum dalam ayat (2) adalah keadaan banyaknya orang yang melihat, mengetahui ketika perbuatan menyebarkan dsb diwujudkan. Penghinaan dalam arti genus adalah perbuatan yang baru dapat dianggap menyerang kehormatan atau nama baik orang jika berdasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat pada saat dan ditempat perbuatan itu dilakukan secara wajar dapat mempermalukan seseorang. Penghinaan dalam arti genus ini menentukan dan harus menjadi perhatian penegak hukum dalam menangani setiap bentuk-bentuk penghinaan. Perlu dibuktikan di persidangan dengan penganalisisan hukum. KESIMPULAN 1. Sebagai ciri umum dari tindak pidana lex specialis, ialah terdapat unsur-unsur dan sifat yang sama dengan unsur-unsur dan sifat tindak pidana lex generalisnya. 2. Unsur dan sifat umumnya pencemaran dalam Pasal 310 (1 dan 2) terletak pada: • Adanya perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan orang; • Dengan menuduhkan perbuatan tertentu; • Adanya maksud terang uintuk diketehui umum; • Isi tuduhan diketahui umum ; • Wujud objeknya suara/lisan (ayat 2) dan tulisan (ayat (3); • Sifat melawan hukumnya perbuatan, secara subjektif terdapat pada maksud terang agar diketahui umum. Secara objektif terdapat pada isinya tuduhan yang mempermalukan orang yang diketahui umum. 3. Unsur dan sifat khusus dari yang ada dalam pencemaran menurut Pasal 27 (3) adalah:caranya menyerang kehormatan dan nama baik dengan menggunakan sarana dan teknologi ITE. 4. Mengirimkan e-mail tidak merupakan pencemaran, alasannya adalah: • Karena mengirimkan e-mail tidak memenuhi syarat mengenai sifat diketahui umumnya. Pencemaran terjadi jika isi tuduhan ditujukan pada umum. Sementara mengirimkan e-mail hanya ditujukan pada pribadi orang tertentu, bukan pada umum; • Untuk mengetahui isinya perbuatan yang dituduhkan in casu yang memalukan orang lain, pada asasnya hal dan keadaan diketahui umumnya telah timbul pada saat perbuatan dilakukan, dan tidak diperlukan melakukan upaya-upaya khusus agar dapat mengetahui isinya perbuatan yang dituduhkan tersebut. Sementara syarat yang demikian tidak terdapat dalam hal orang mengirimkan e-mail. Karena untuk mengetahui isinya e-mail, orang yang dituju masih perlu melakukan perbuatan tertentu lainnya, dengan cara-cara dan methode tertentu melalui perangkat atau alat tertentu pula. Malang, 17-5-2012. Kampus FH UB, H. Adami Chazawi.

Sabtu, 25 Februari 2012

Putusan Menerima PK Jaksa = Interpretatio est Perversio??

KONSEPSI HUKUM PK PIDANA - KUHAP

Asas hukum PK:

1. PK hanya dpt diajukan pd pts pemidanaan yg tetap;
2. PK hanya dpt diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;
3. Pts PK tdk boleh lb berat dri pts pemidanaan semula;
4. PK Tidak dibatasi jangka waktu;
5. PK diajukan hanya satu kali;

Asas hukum PK berpijak pada 2 landasan:
Filosofis dan historis

LANDASAN FILOSOFIS:

- Negara terlanjur salah menghukum penduduk yg tdk dpt diperbaiki dg upaya h biasa;
- PK: bentuk pertanggungjawaban negara pada terpidana;
- PK: wujud penebusan kesalahan oleh negara pd terpidana
- PK: upaya mengembalikan hak-2 dan keadilan yang telah dirampas negara secara tidak sah
- Utk itulah Negara memberi hak PK pd terpidana
- PK semata-mata utk kepentingan terpidana

DASAR HISTORIS

- Sejak perjuangan HAM (khususnya utk kepastian hkm) abad XVIII di Eropah trhdp kekuasaan absolut raja-2 terutama di Perancis
- Herziening dlm RSv (titel 18) tidak lepas dari sejarah perjuangan HAM abad XVIII yg dlm h pidana melahirkan asas legalitas dlm Code Penal (1789 dan 1810), yg kemudian dioper ke dlm Ps 1 WvS Ned (1881), yg kemudian berlaku di HB (1918).
Ketika berlaku RSv di HB (1847) CP masih berlaku di Bld.

RSv dioper ke:
- Perma No. 1/1969;
- Perma No. 1/1980;
- Selanjutnya ke KUHAP (Ps 263 – 269)

Menafsir pasal-2 PK dlm KUHAP pertama-tama harus atas dasar filosofi dan historis. Krn pd dasar filosifis dan historis itulah azas-2 PK kokoh berdiri

Asas Herziening (Ps 356, 357 RSv):
- hanya dpt diajukan oleh terpidana (kuasanya) atau Jaksa Agung (procureur general) (357);
- terhadap pts penghukuman yg tetap, dgn alasan:
- keadaan yg tdk diketahui waktu pemeriksaan, yg bila diketahui pts akan bebas, lepas dr tuntutan h, tuntutan jpu tdk dpt diterima, diterapkan ketentuan pidana yg lebih ringan; dan perbuatan yg didakwakan dinyatakan terbukti tanpa diikuti pemidanaan (356).

Catatan: meskipun Jagung boleh PK, tetap terhadap putusan pemidanaan (syarat a), dan utk kepentingan terpidana (syarat b).

Asas herziening RSv diadopsi ke Perma No. 1/1969: (1) diajukan terhadap pts pemidanaan yg tetap; (2) oleh terpidana, Jagung, atau pihak yg berkepentingan, dgn alasan: (a) pts memperlihatkan kekhilafan/kekeliruan nyata; (b) terdpt keterangan-2 dianggap terbukti tapi saling bertentangan; (c) keadaan baru; (d) perbuatan terbukti – tdk diikuti oleh pemidanaan.
Jagung boleh PK tetapi utk kepentingan terpidana. Terlihat dari (a) diajukan pd putusan pemidanaan, dan (b) alasan novum, dilekatkan syarat-2 yg bertujuan meringankan/utk kepentingan terpidana.

Maksud dikeluarkannya Perma No. 1/1969:

- Alasan kebutuhan h yg mendesak – bnyk pemohon PK yg beralasan, namun tdk dpt diperiksa, krn tiada hk acaranya;
Utk mengisi kekosongan hk mengenai PK
- Maksud menambah h acara MA (Ps 31 UU No. 13/1965)
- Perma No. 1/1969 dicabut dg Perma No. 1/1971, dgn alasan seharusnya dg UU;
- Kmd Perma No. 1/1971 dicabut oleh Perma No. 1/1976, Dg dmk Perma 1/69 berlaku kembali (Khusus PK pdta), tdk PK pidana, krn dlm Perma No. 1/1971 dikatakan PK pidana tdk dpt dilayani krn blm ada UUnya.

Perma 1/1980: sifatnya sementara, utk mengatasi pts terlanjur menghukum Sengkon & Karta (1977) yg terbukti tdk bersalah. Dibebaskan MA (1981) atas permintaan PK oleh Jagung. Terbukti Jagung PK utk kepentingan terpidana
Asas PK yg semula dri RSv, diadopsi ke Perma No. 1/1969 diadopsi ke Perma No. 1/198, yg kemudian ke Pasal 263 KUHAP.
Asas legalitas Ps 1 (1) KUHP, kemudian dioper ke dalam Ps 3 KUHAP. Nafas Ps 3 adalah kepastian hk, juga meresap ke Ps 263 KUHAP.

Syarat mengajukan PK – KUHAP:

- Syrt formil [Ps 263 (1)]: (1) terhdp pts penghukuman (2) yg tetap; (3) oleh terpidana atau ahli warisnya. Ini mrpkn azas/fondasi PK.
- Syrt materiil (Ps 263):
Ay (2): adanya (1) keadaan baru; (2) pelbagai pts saling bertentangan; (3) kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata;
Ay (3): prbt dinyatakan terbukti tanpa diikuti pemidanaan. Syarat ini tidak tegas, tdk sejalan dg Ps 263 (1) (2), Ps 264 (4), 265 (2) (3), 266 (3), 268 (2).

Dlm hal 2 atrn h yg tdk sejalan, mk yang digunakan adl yg menguntungkan terdakwa yi syarat dlm Ps 263 (1) (2). Asas perkecualian legalitas & in dubio pro reo

Jk Ay (3) dianggap berlaku, mk hrs menggunakan tafsir sistematis - yi menurut Ay (1) (2), mka dlm pts PK yg diperbaiki adalah pertimbangan hkmnya, bukan amarnya. Sesuai pula dg Ps 266 Ay (3).

MA menerima PK jaksa sejak pts M. Pakpahan s/d Pollycarpus dgn interpretatio est perversio?, terlihat:

1. Menafsir “pihak yg berkepentingan” dlm Ps 21 UU 14/1970. Dlm prk pidana, jaksa adlh pihak, maka jaksapun dpt mengajukan PK.
Padahal: (a) dlm penjelasan Ps 21 tegas dinyatakan bhw pihak yg berkepentingan dlm pkr pidana: terhukum atau ahli warisnya (otentik,yg hrs diturut). (b) Ps 263 KUHAP sbg lex specilialis dri Ps 21 (lex generalis), mestinya dg melihat lex specialisnya.

2. MA menafsir “pihak-2 yg bersangkutan” dlm Ps 23 (1) UU No. 4/2004 dlm pkr pidana adl jaksa, mk jaksa juga berhak PK.
Mrpkn pertimbangan setengah jadi – tdk tuntas dg logika terbalik. Krn dgn memotong kalimat dlm Ps 23 (1) tsb.
Logika terbalik, krn menafsir yg berhak PK dlm Ps 263 (lex specialis) berdasarkan Ps 23 UU 4/2004 (lex generalis).

3. Menurut MA, Ps 23 (1) UU No. 4/2004 (24 (1) UU 48/2009) tidak melarang jaksa PK, krn itu jaksa boleh PK.
Tentu saja tdk mungkin pihak-2 in concreto disebut atau dilarang dlm lex generalis. Pihak in concreto pasti disebut dlm lex specialisnya, in casu PK pidana dlm Ps 263 (1) KUHAP.
Kalau cara menafsir seperti itu, bisa juga dibalik, karena tdk disebut dlm Ps 23 (1) UU 4/2004 maka dilarang.
Penafsiran MA setengah jadi – tidak tuntas dgn logika terbalik. Tafsir akal-akalan?

4. Menurut MA:norma Ps 263 (1) tdk jelas, utk memperjelas menggunakan ekstensif, menyimpulkan bhw jaksa dpt PK. Begitukah ekstensif??
Menggali utk menemukan hukum, (a) penafsiran trhdp bunyi UU yg blm jelas atau h yg blm ada. Utk Ps 263 (1) tdk mungkin ditafsir dg ekstensif, krn normanya ada dan sdh jelas. (b) menggali dgn menggunakan hk terhdp kasus konkret, menemukan hukum yg bisa diberlakukan pd kasus konkret yg sama/serupa yg lain.
Ekstensif : memberi arti dari suatu unsur dalam rumusan tindak pidana berdasarkan arti yang msh dpt diterima logika pd saat sekarang (Moeljatno). Tdk jelas unsur/kata yg mana dlm Ps 263 (1) yg ditafsir. Jk kata terpidana diberi arti skrg dg jaksa, itu tdk mungkin.

Tdk benar cara itu ekstensif melainkan interpratatio est perversio?. Kata ekstensif sekedar menghindari penggunaan analogi atau menghindari interpretatio est perversio
Norma Ps 263 (1) sudah jelas. Dari kacamata mana bisa berkesimpulan tdk jelas?
Jk dihubungkan dgn Ps 263 (3), justru tdk jelas. Namun Ps 263 (1) jelas, mk mestinya menggunakan yg jelas dan yg menguntungkan terdakwa (in dubio pro reo)

UU merupakan suatu sistem, suatu kesatuan yg terdiri dr pasal-2. Sbg sistem, norma pasal yg satu berhubungan dgn norma pasal yg lain, tdk terlepas dan berdiri sendiri.
Jk membaca/menafsir hrs diletakkan dlm proporsinya.
Menafsir dg menyimpang dr maksud norma ps ybs, akan bertentangan dgn norma pasal yang lain, merusak hukum UU sbg suatu sistem. Contoh menafsir Ps 263 (1) - jaksa ada tercakup di dlmnya, akan merusak sistem /konsepsi hk PK, bertentangan dg norma Ps 1 angka 12; Ps 3, Ps 263 (2a); Ps 266 (3), Ps 264 (4), Ps 265 (2,3), Ps 268 (2).

5. MA merujuk Article 84 Statute of International Criminal Court, ttg Revision of Conviction or Sentence (PK), bunyinya sbb:
1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused”s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that……”

- Namun MA hanya terpaku pd kt “prosecutor”, tdk membaca lengkap setidaknya dua kt berikutnya (on the person,s behalf, lengkapnya “or the prosecutor on the person’s behalf”...” sehingga menyimpulkan jaksa (prosecutor) berhak PK. Pd hal kalau dibaca lengkap, maka jaksa mengajukan PK adalah utk dan atas kepentingan terpidana, secara a contrario tdk diperbolehkan PK utk memberatkan terpidana.
Lagi-2 MA menafsir dgn memotong kalimat?.

6. Utk meyakinkan hasil tafsirnya, MA merujuk Ps 248 (3) UU No. 31/1997. Se-olah2 UU Peradilan Militer berlaku pada peradilan umum.

MA menafsir lex generalis atas dasar lex specialis. Atau memberlakukan lex specialis (Ps 248 UU 31/1997) terhadap lex generalis (Ps 263 KUHAP).
Lagi-lagi MA menafsir dg menggunakan logika terbalik. Seharusnya hk PK dlm KUHAP berlaku bagi PK perkara militer.
Lihat Ps 269 KUHAP: “Ketentuan Ps 263 s/d 268 berlaku bagi acara permintaan PK terhadap pengadilan di lingkungan peradilan militer”.
Catatan: Oditur boleh PK alasannya jika prbt dinyatakan terbukti tanpa diikuti pidana (Ps 248 ay), sementara pts-2 MA tdk memenuhi syarat tsb.

7. Menurut MA: Ps 263 (1) tdk tegas melarang jaksa PK. MA membangun logika: Krn terdakwa bebas tdk mungkin PK, mk logikanya PK atas pts bebas utk jaksa. Diperkuat dg Ps 263 (3): prbt terbukti tanpa pidana.
Benar Ps 263 (3) tdk jelas, krn: (1) apa arti perbuatan? (2) Tdk sejalan dgn norma Ps 263 (1,2) Ps 263 (1) (2) dan psl2 lain ic: 264 (4), 265 (2), 266 (3), 268 (2);
Penafsiran sistematis (UU sbg suatu sistem), mk Ps 263 (3) tdk bisa dilepaskan dri Ps 263 (1) (2) dan psl2 lain ic: 264 (4), 265 (2), 266 (3), 268 (2);

Benar Ps 263 (3) tdk jelas: (1) apa arti perbuatan? (2) Tdk sejalan dgn norma Ps 263 (1,2) Ps 263 (1) (2) dan psl2 lain ic: 264 (4), 265 (2), 266 (3), 268 (2);
Sementara Ps 263 (1) (2), 264 (3), 265 (2) (3), 266 (3), 268 (2) jelas, mk norma yg jelaslah yg berlaku:
norma yg jelas tdk boleh ditafsir (interpretatio cecat in claris) berdasarkan norma lain yang tidak jelas,  dan
yg in casu norma yg jelaslah yg menguntungkan terdakwa. Mestinya norma yang jelas yang berlaku.

Jika Ps 263 (3) dianggap berlaku mk:
Prbt dlm Ps 263 (3) hrs diartikan prbt sbg unsur tindak pidana, bukan tindak pidana, Mk amar pts PK adlh pelepasan dr tuntutan hk (Ps 191 ay 2).
Atau brdskn tafsir sistematis (UU sbg suatu sistem), hrs ditafsir dg menghubungkan pd Ps 263 (1) (2) jo Ps 266 (3), mk diartikan bhw MA dlm pts PK memperbaiki pertimbangan hk, utk menyesuaikan dgn amar bebas semula.

8. MA merujuk Ps 4 (1) Perma No. 1/1969, dikutif secara salah, yi Permohonan PK pts pidana yg tetap hrs diajukan oleh phk yg berkepentingan atau Jagung”.
MA tdk mengutif lengkap, perkataan terpidana tidak dikutif.
MA meninggalkan Ps 3: “MA dpt meninjau kmbli atau memerintahkan ditinjau kembali suatu pts pidana yg tidak mengandung pembebasan”. Jelasnya pts pemidanaan, yg artinya Jagung mengajukan PK adlh utk kepentingan terpidana.

9. MA merujuk Ps 10 (1) Perma No. 1/1980: “PK dpt diajukan atas pts yg tetap oleh Jagung atau pihak yg berkepentingan.
Perkataan terpidana tdk dikutif
MA tdk memerhatikan Ps 9 (1): “MA meninjau kembali pts pidana yg mengandung pemidanaan yg tetap ..”
Juga MA tdk memerhatikan Ps 11: Jk Jagung yg memasukkan permohonan PK, mk selekas mungkin diberitahukan ke pd TERPIDANA. Dgn disebutnya “terpidana”, artinya PK dpt diajukan Jagung kalau pts mempidana, bkn bebas.

Asas PK: diajukan satu kali

Ps 24 (2) UU No. 48/2009 jo Ps 268 (3) KUHAP jo Perma 10/2009;
Norma tsb hnya berlaku pd PK yg diajukan sesuai Ps 263 (1) KUHAP, yi yg diajukan terpidana kmd ditolak MA, tdk berlaku pd PK terpidana yg semula dibebaskan yg kmd dipidana MA yg mengabulkan PK jaksa.
Krn: (1) Terpidana tdk boleh kehilangan hak PK yg blm digunakannya; (2) bhw PK jaksa adlh pelanggaran hk; (3) pertentangan antara hak yang sah dgn kewajiban yg ditimbulkan oleh pelanggaran hk, mk hrs menggunakan hak yg sah dg melalaikan kewajiban yg timbul oleh prbt melanggar hk.

Akibat pengabulan PK jaksa: al.:

1. Kacaunya sistem Hk PK dlm KUHAP, al:

- Mengacaukan keberlakuan norma yg brsngktn langsung dgn Ps 263 (1), al: Ps 1 angka 12; 3; 263 (2a); 264 (4); 265 (2,3); 266 (3); 268 (2).
- Dgn dikabulkannya PK jaksa, apakah hapus hak PK terpidana (skrg) mengingat PK hanya 1 kali?. Jk - iya, mrp kezaliman, pelanggaran HAM oleh negara, Jika dibenarkan melanggar Ps 268 (3)?
- Apkah Jaksa boleh PK trhdp pts PK yg membebaskan?
- Kapankah pts bebas PK memperoleh kepastian hkm?
- Bgm dgn kasasi demi hukum asli milik jaksa?

2. Tdk ada lagi kepastian hkm PK

- Telah dirampasnya hak penduduk yg dipts bebas utk hidup tenang dan damai – bebas dari rasa takut dan was-was bhw negara tidak akan menuntut lagi. Pelanggaran HAM?
- Sudah masuk praktik negara kekuasaan?
- Pengabaian asas PK utk kepentingan terpidana menyebabkan PK tdk punya arti lagi
- Dlm keadaan penegakan hukum yg msh dipengaruhi KKN., membuka peluang pts bebas utk disalahgunakan menjadi alat pemerasan.

MA disatu pihak konsisten, terbukti:

- Menyatakan tidak dapat diterima PK jaksa kasus Mulyar bin Samsi (84PK/Pid/2006).
- Kedepan  putusan ini dpt menjadi tolak ukur/acuan, dan bisa menjadi yurisprodensi.
- Alasannya: asas perkecualian legalitas yg selalu menguntungkan terdakwa & in dubio pro reo. Mk bila ada dua hukum pada saat yg sama berlaku, dari sumber yang setingkat/sama, maka harus dipilih - hukum yang menguntungkan terdakwa.

KESIMPULAN:

1. Jk bangsa ini masih konsisten, ke depan MA hrs tdk menerima lagi PK jaksa. Pts MA prk Mulyar bin Samsi (2006)  sbg tolak ukurnya, dan menjadi yuriprodensi;

2. Jk bangsa ini sdh berniat utk tdk konsisten lagi dgn asas-2 PK yg menjujung tinggi keadilan ; hak terpidana, kepastian hukum & ; HAM, dan berani ambil resiko dikecam – krn kemunduran dua abad ke belakang, dan utk sekedar ingin memberi hak PK jaksa, mk bangunan sistem hkm PK dlm KUHAP harus diruntuhkan dulu.

- Bangunan hkm PK yg diruntuhkan: Ps 1 angka 12, Ps 263 (1)(2a); Ps 264 (3)(4); Ps 265 (2); Ps 266 (2b)(3); Ps 268 (2). Di atas reruntuhan itu, kmd dibangun konsepsi hk PK yg baru & berbeda dgn konspsi hk PK dlm KUHAP yg skrg. Landasan filosofi & sejarah PK semula kita lupakan.

3. Jk bangsa ini tetap konsisten mempertahankan azas PK dlm KUHAP, tetapi juga ingin memberi hak Jaksa PK secara terbatas, mk hrs dianggap sbg perkecualian dgn UU yg sangat ketat, agar tdk dpt disalahartikan & disalahgunakan.
Praktik penegakan hk yg membenarkan PK jaksa yg skrg hrs diakhiri, alasan utamanya krn melanggar hk & HAM & merusak sistem hk yg sdh teratur dan baku.

TERIMA KASH

JIKA TERDAPAT KESALAHAN, SEBAGAI MANUSIA BIASA SAYA MOHON MAAF DAN MAKLUM
JIKA PANDANGAN SAYA ADA YG DINILAI BENAR, KEBENERAN TERSEBUT ADALAH MERUPAKAN PANDANGAN KITA SEMUA
SEMOGA APA YANG DISAMPAIKAN SEDIKIT BERGUNA SEBAGAI BAHAN MENTAH DALAM PENELITIAN INI. A M I I N.

Minggu, 12 Februari 2012

MENGAPA JAKSA TIDAK BERHAK MENGAJUKAN PK? *

(H. Adami Chazawi)**


Abstrak: Peninjauan Kembali (PK) perkara pidana dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan penduduk yang telah dirampas negara secara tidak sah melalui vonis hakim, dimana tidak ada lagi upaya hukum (biasa). Negara bertanggungjawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak penduduk yang dirampas. Oleh sebab itu negara memberikan hak pada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK. Pemberian hak PK pada terpidana sebagai bentuk pertanggungjawaban negara. Merupakan wujud penebusan dosa pada terpidana. Dasar filosofi inilah yang mendasari dan menjiwai hukum acara PK dalam Reglement op de Strafvoordering (RSv), yang kemudian diadopsi ke dalam PERMA No. 1 Tahun 1969 maupun PERMA No. 1 Tahun 1980 selanjutnya ke dalam KUHAP.

Sejak usaha coba-coba jaksa mengajukan PK terhadap putusan bebas Muchtar Pakpahan (29-9-1995) pada masa pemerintahan otoriter - diterima MA (No. 55PK/Pid/1996), pembenaran yang berbobot politis, dilakukan MA lagi pada masa orde reformasi - dalam putusan: RAM Gulumal (No. 03PK/Pid/2001), Setyawati (No. 15PK/Pid/2006), dr. Eddy Linus dkk (No. 54PK/Pid/2006), Syahril Sabirin (No. No. 07 PK/Pidsus/2009), Polycarpus (No. 109PK/Pid/2007), Joko S Tjandra (No. 12PK/Pidsus/2009). Suatu bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dasar PK. Akibat pelanggaran yang paling serius ialah rusaknya sistem hukum PK dalam KUHAP, dan hilangnya rasa ketenanganan dan kedamaian hidup bagi terdakwa yang dibebaskan selama hidupnya dari rasa ketakutan, bahwa sewaktu-waktu negara akan menuntut lagi melalui PK. Terbelenggu oleh pembenaran jaksa mengajukan PK tanpa batas waktu. Namun dilain pihak MA konsisten, dengan tegas menolak PK jaksa dalam perkara Sdr. Mulyar bin Samsi (2007) dan Johan Imago al Guan Kabir (2010).
Mau dikemanakan lembaga PK ke depan??

Akankah kita berpangku tangan dan mengikhlaskan MA terus melanggar legislated environment dalam hukum acara pidana?
Kata kunci: peninjauan kembali, terpidana, putusan bebas, kepastian hukum dan keadilan.


A. LANDASAN FILOSOFI dan SEJARAH LEMBAGA PK PIDANA

Lahirnya konsepsi hukum PK dalam KUHAP berpijak pada landasan filosofi dan tidak terlepas dari sejarah lahirnya asas legalitas pada abad ke XVIII di Eropah, yang perwujudannya pertamakali dalam perundang-undangan Hindia Belanda: Reglement op de Strafvordering (RSv) – Stb. nomor 40 jo 57 (1847).

1. Dasar Filosofi Lembaga PK

Dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum (law enforcement) terdapat apa yang dinamakan “area of no enforcement”, dimana kekuasaan negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Semua tindakan negara harus berdasarkan tatanan hukum yang telah ditetapkan lebih dulu. Menegakan kepentingan hukum, dalam rangka menjaga ketertiban umum melalui proses penegakan hukum pidana, negara berbuat dan bertindak. Dalam hal ini, penduduk diposisikan sebagai objek (sekaligus subjek) yang disangka/didakwa atau dipidana. Dalam proses itu tindakan negara dapat menyalahi tatanan hukum. Menimbulkan akibat terampasnya hak-hak dan keadilan penduduk. Ketika kondisi akibat itu tidak dapat lagi dipulihkan dengan upaya hukum biasa, disinilah arti pentingnya upaya PK.

Substansi PK berpijak pada dasar, bahwa negara telah salah mempidana penduduk dan tidak dapat diperbaiki dengan upaya biasa. Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah. Negara telah berbuat dosa pada penduduknya. Negara dituntut bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas. Bentuk pertanggungjawaban itu, ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK, bukan kepada negara . Dengan demikian dapatlah diartikan, bahwa pemberian hak PK pada terpidana adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara tersebut.

Dicontohkan dosa negara dalam beberapa kasus konkret. Pengadilan Negeri Bekasi (1977) menghukum Sengkon dan Karta masing-masing 12 dan 7 tahun penjara yang diyakini hakim karena merampok dan membunuh suami istri Suleman. Kedua-duanya sudah ditahan sejak tahun 1974. Dalam perkara lain terbukti bahwa yang merampok dan membunuh suami istri Suleman adalah Gunel, Siih dan Wasita yang kemudian dipidana masing-masing 10, 8 dan 6 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bekasi.

Contoh lainnya. Pada tahun 2002 Risman Lakoro dan istrinya dipidana karena membunuh Alta Lakoro anak kandungnya sendiri oleh Pengadilan Negeri Limboto. Oleh karena disiksa polisi pada saat penyidikan,*antara lain jari-jarinya dijepitkan di daun pintu - hingga cacat seumur hidup. Tidak tahan siksaan - terpaksa mengaku membunuh. Keterangan terdakwa dan bukti patah tulang akibat disiksa polisi di sidang pengadilan tidak digubris hakim. Risman Lakoro dipidana 3 tahun penjara. Tahun 2007 tiba-tiba Alta Lakoro kembali ke kampung halamannya. Terbukti bahwa Suami istri Risman Lakoro tidak membunuh anak kandungnya, yang memang sejak tahun 2001 pergi tanpa pesan karena cekcok dengan kedua orang tuanya tersebut.

Contoh yang terbaru dan masih segar dalam ingatan kita. Negara telah menghukum dalal peradilan sesat Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali (2008) di Jombang. Seperti fenomena gunung es, yang terlihat di atas sedikit – namun yang tidak - jauh lebih banyak?.

Dari contoh-contoh tersebut, tampak kesalahan dan dosa negara yang telah menghukum penduduk yang sesungguhnya tidak bersalah. Oleh sebab itulah maka lembaga PK semata-mata ditujukan untuk memperbaiki putusan pemidanaan yang salah semacam itu. Dengan demikian, maka negara tidak dibenarkan mengajukan PK untuk sebaliknya menghukum terdakwa yang sudah dibebaskan atau lepas dari tuntutan hukum yang sudah tetap. Negara tidak pernah menjadi korban dari kesalahan proses pengadilan. Tidak dibenarkan negara untuk membongkar putusan pembebasan yang tetap, dengan alasan mencari keadilan.

PK tidak lagi untuk mencari keadilan melalui pasal-pasal yang didakwakan penuntut umum. Pada raat putusan (bebas) mempunyai kekuatan hukum, maka hak negara untuk mencari keadilan terhenti. Tidak dibenarkan mengadakan tuntutan baru atau melanjutkan tuntutan semula yang sudah final.


2. Landasan - Sudut Sejarah PK

Jaman Hindia Belanda telah mengenal lembaga PK (herziening), terdapat dalam Reglement op de Strafvordering (RSv) – Stb. nomor 40 jo 57 tahun 1847 khususnya dalam titel 18 (Pasal 356 sampai 360), hukum acara pidana pada Raad van Justitie, peradilan bagi golongan Eropah. Tidak terdapat pada hukum acara pidana peradilan Landraad – peradilan untuk golongan Bumiputra.

Menurut Pasal 356 RSv herziening dapat diajukan terhadap putusan yang mempidana (veroordeling) yang sudah tetap (in kracht van gewijsde) dengan alasan:

1. Atas dasar kenyataan bahwa dalam berbagai putusan terdapat pernyataan yang telah dinyatakan terbukti, ternyata bertentangan satu dengan yang lainnya;

2. Atas dasar keadaan yang pada waktu pemeriksaan di pengadilan tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui, baik berdiri sendiri maupun sehubungan dengan bukti-bukti yang telah diajukan. Dan apabila keadaan itu diketahui, pemeriksaan akan berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Alasan-alasan tersebut dapat diajukan dalam suatu permohonan peninjauankembali apabila dalam suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.

Pasal 357 SRv menyatakan: “PK diajukan ke MA oleh Jaksa Agung (door den procureur general) atau oleh terpidana yang terhadapnya dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan melalui kuasa khusus untuk keperluan tersebut”.

Meskipun menurut SRv PK boleh diajukan oleh Jaksa Agung, namun tetap untuk kepentingan terpidana. PK diajukan terhadap putusan penghukuman merupakan syarat esensial. Jelas dari syarat formil maupun materiil “putusan pemidanaan” merupakan jiwa/nyawa lembaga PK. Jiwa lembaga PK yang demikian ini kemudian dioper ke dalam PERMA No. 1 Tahun 1969. dan PERMA No. 1 Tahun 1980. Kemudian diadopsi ke dalam Bab XVIII Bagian Kedua KUHAP.

Latar belakang dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 1969, dapat diketahui dari dasar pertimbangannya.

• Pertama, lembaga PK menjadi kebutuhan hukum yang mendesak. Banyak pencari keadilan mengajukan permohonan PK kepada PN atau langsung ke MA, yang diantaranya mempunyai dasar-dasar yang kuat. Sementara belum ada hukum acaranya.

• Kedua, untuk mengisi kekosongan hukum dan bersifat sementara sebelum adanya UU yang mengaturnya, agar dapat menampung kebutuhan hukum bagi pencari keadilan.

• Ketiga, maksud untuk menambah hukum acara MA dengan hukum acara pidana PK yang telah terdapat dalam UU No. 13 Tahun 1965 Tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.

Dalam Pasal 31 UU No. 13 Tahun 1965 maupun Pasal 15 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebut perihal kewenangan MA memeriksa PK. Namun tidak dapat dijalankan berhubung belum ada hukum acara - aturan pelaksanaannya. Dengan maksud untuk itu, maka MA mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1969 sebagai tambahan - untuk melengkapi hukum acara Mahkamah Agung.

Syarat formil dan materiil mengajukan PK dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 3 dan 4 PERMA No. 1 Tahun 1969, ialah:

Syarat formil adalah:

a. Putusan yang dapat dilawan dengan upaya PK adalah putusan yang mempidana terdakwa;

b. Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);

c. Pihak yang dapat mengajukan permintaan PK ke MA ialah terpidana, pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung.

Sementara syarat materiil, adalah salah satu dari:

a. Putusan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang mencolok;

b. Terdapat keterangan-keterangan yang terbukti yang saling bertentangan;

c. Adanya keadaan baru;

d. Suatu perbuatan yang dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti dengan pemidanaan.

Ternyata ketentuan Jaksa Agung boleh mengajukan permintaan PK meniru dari SRv., tetap dalam koridor untuk kepentingan terpidana, karena putusan yang dapat dilawan PK adalah putusan pemidanaan, bukan terhadap putusan bebas. Prinsip PK hanya boleh diajukan terhadap putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap, sebagai perwujudan dari prinsip PK: hanya untuk menegakkan kepentingan terpidana tetap dipertahankan oleh PERMA No. 1 Tahun 1969

Semula MA menganggap bahwa mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1969 sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 131 UU No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. Pasal 131 berbunyi: “jika dalam jalan – pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-undang, maka MA “dapat menentukan sendiri” secara bagaimana soal itu harus diselesaikan”. Namun kemudian disadari sebagai suatu kekeliruan – mestinya dengan UU. Oleh sebab itu kemudian PERMA No. 1 Tahun 1969 dicabut melalui PERMA No. 1 Tahun 1971.

PERMA No. 1 Tahun 1971 dicabut dengan PERMA No. 1 Tahun 1976. Alasannya, karena pada saat itu (1971) sudah ada kepastian bahwa pelaksanaan PK akan diatur dalam UU MA yang rancangannya sedang di DPR, sehingga MA berpandangan bahwa tentang hukum acara PK sebaiknya menunggu terbitnya UU tersebut. Namun ternyata hingga tahun 1976 RUU tersebut tak kunjung disahkan DPR, keadaan ini mendorong MA untuk mencabut PERMA No. 1 Tahun 1971 melalui PERMA No. 1 Tahun 1976.

Dengan dicabutnya PERMA No. 1 Tahun 1971, secara formal PERMA No. 1 Tahun 1969 berlaku kembali, namun hanya mengenai PK perkara perdata, sementara PK perkara pidana tidak. Karena dalam PERMA No. 1 Tahun 1971 pada angka 2 dalam hal memutus tegas dikatakan, bahwa “PK perkara pidana tidak dapat dilayani karena belum ada undang-undangnya”. Oleh karenanya sejak tahun 1971 ketentuan PK perkara pidana terjadi kekosongan hukum, sampai dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 1980 tanggal 1 Desember 1980.

. PERMA No. 1 Tahun 1980, juga sifatnya sementara dengan tujuan utama untuk mengatasi kesalahan pengadilan yang telah terlanjur menghukum Sengkon bin Yakin dan Karta bin Salam yang kemudian terbukti tidak bersalah. Mereka ditahan sejak 1974, dipidana tahun1977 dan tahun 1981 dibebaskan melalui putusan PK dengan menggunakan dasar PERMA No. 1 Tahun 1980 tersebut.

Syarat formil mengajukan permintaan PK menurut PERMA No. 1 Tahun 1980 (Pasal 10) sama dengan PERMA No. 1 Tahun 1969, yaitu:

1) PK dapat diajukan oleh Jaksa Agung, terpidana, dan pihak yang berkepentingan.

2) Terhadap putusan yang mempidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

Sementara syarat materiil (Pasal 9) menyebutkan tiga alasan.

1) Adanya putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;

2) Terdapatnya suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penetrapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

3) Putusan yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan terbukti, namun tidak diikuti suatu pemidanaan.
.
Ternyata alasan “adanya putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim yang semula terdapat dalam PERMA No. 1 Tahun 1969 tidak menjadi alasan lagi untuk mengajukan PK dalam PERMA No. 1 Tahun 1980. Syarat materiil mengajukan PK dalam PERMA No. 1 Tahun 1980 ini mengadopsi dari SRv.

Menurut PERMA No. 1 Tahun 1980 pihak yang berhak mengajukan PK, ialah terpidana, pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung terhadap putusan “pemidanaan” yang telah tetap. Sama dengan PERMA No. 1 Tahun 1969. Namun syarat formil “terhadap putusan pemidanaan”, tetaplah dipertahankan, tanpa kecuali, meskipun Jaksa Agung atau pihak yang berkepentingan boleh mengajukan PK.

Sifat sementara PERMA No. 1 Tahun 1980 ini dikarenakan, bahwa hukum acara mengenai PK tidak seharusnya dibuat dalam bentuk PERMA, melainkan harus melalui undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak (mengatasi putusan peradilan sesat Sengkon dan Karta), MA terpaksa mengulangi kembali mengeluarkan PERMA sebagaimana PERMA No. 1 Tahun 1969, dengan mengacu pada Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970

Oemar Seno Adji, Ketua MA waktu itu, mengatakan bahwa PERMA No. 1 Tahun 1980 merupakan ketentuan provisoris, temporer dan transitoir sifatnya dan ditetapkan untuk kebutuhan pada saat itu, untuk kemudian menyediakan tempatnya bagi perundang-undangan kelak sebagai pelaksanaan dari Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970.

Satu bulan setelah diberlakukan, dengan menggunakan dasar PERMA No. 1 Tahun 1980 tersebut, tanggal 31 Januari 1981 Sdr. Sengkon dan Karta di bebaskan MA melalui putusan PK atas permohonan Jaksa Agung.

Kasus Sengkon dan Karta ini pula yang menjiwai lembaga PK dalam Bab XVIII Pasal 263 s/d 269 KUHAP. Sebagaimana nampak dalam pandangan umum fraksi-fraksi di parlemen ketika membahas RUU KUHAP, kasus Sengkon dan Karta ini dijadikan alasan utama untuk memasukkan ketentuan PK dalam KUHAP. Kasus ini pula yang menjadi penyebab tidak ada perdebatan panjang di parlemen mengenai norma-norma Pasal 263 s/d 269 KUHAP tersebut.

Tinjauan filosofi dan sejarah PK sejak jaman Hindia Belanda tersebut, tidak lepas dengan sejarah perjuangan hak azasi manusia pada abad ke XVIII khususnya tentang menegakkan kepastian hukum – yang melahirkan asas legalitas yang bermula di Perancis. Semula azas legalitas dimuat dalam Pasal 8 Declaration des Droit de L’home et du Citoyen (1789) yang dioper ke dalam Code Penal Perancis yang pertama (1791) dan yang kedua (1810). Ketika Belanda di bawah Pemerintahan Napoleon (1811-1813) Code Penal diberlakukan di Belanda, dan sebaliknya Criminal Wetboek voor het Koninkrijk Holand dibekukan. Setelah Belanda memperoleh kemerdekaan kembali (1813) Code Penal tetap berlaku (selama 75 tahun) sampai ditetapkannya WvS Nederland 1881 dimana asas legalitas masuk dalam Pasal 1. Berdasarkan asas konkordansi WvS Belanda diberlakukan pula di Hindia Belanda (1918), yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (KUHP). Semua itu merupakan hasil perjuangan rakyat melawan rezim kekuasan absolut, yang diperlopori oleh para ahli hukum al. yaitu: Beccaria, Bentham, Montesquieu, Anselm von Feuerbach . Feuerbach terkenal dengan ajarannya “psychologische zwaang”.

Bahwa asas legaliltas dalam hukum acara pidana - Pasal 3 KUHAP merupakan perwujudan asas legalitas Pasal 1 KUHP. Sehubungan dengan sejarah asas legalitas tersebut, Komariah E Sapardjaja dalam “Dessenting Opinion” putusan perkara Joko S Tjandra (No. 12PK/Pisus/Pid/2009), singkatnya menyatakan “Bahwa dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia khususnya tentang asas legalitas dalam KUHAP (jo. Pasal 3 KUHAP) yang merupakan hasil perjuangan rakyat terhadap rezim kekuasaan absolut pada zaman ancient regime, sehingga diperlukan jaminan kepastian hukum bagi perlindungan individu dari kesewenang-wenangan penguasa, alasan historis untuk membantah dalil Jaksa Penuntut Umum seperti tersebut di atas”.

Jelaslah, bahwa dari sudut sejarah PK di Hindia Belanda/Indonesia dan sejarah dunia mengenai lahirnya asas legalitas abad ke XVIII dan sudut dasar filosofi PK, khususnya di Indonesia setelah kemerdekaan yakni dari pengalaman kasus SENGKON dan KARTA itulah yang menjadi latar belakang dan menjiwai lahirnya konsepsi lembaga PK yang azas-asasnya dirumuskan dalam Pasal 263 (1) (2) dan 266 Ayat (3) KUHAP.


B. SYARAT MATERIIL PENGAJUAN PK

Syarat materiil pengajuan PK - Pasal 263 (2) KUHAP adanya keadaan baru, ada beberapa putusan yang saling bertentangan dan putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekelirun nyata

1. Keadaan baru, adalah suatu keadaan yang sudah ada sebelum/pada saat sidang - pemeriksaan perkara berlangsung, yang baru diketahui setelah putusan menjadi tetap. Keadaan tersebut bukan baru, sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya. Namun baru diketahui keberadaannya dari alat-alat bukti yang baru diketahui/ditemukan kemudian - setelah perkara diputus dan menjadi tetap. Alat- bukti inipun sesungguhnya juga bukan alat bukti baru, melainkan alat bukti yang sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya, namun belum diajukan dan diperiksa di sidang,

2. Pelbagai putusan yang saling bertentangan, adalah terdapatnya dua atau lebih putusan yang saling berhubungan dan bersifat saling pengaruhi terhadap satu dengan yang lain secara timbal balik, dimana pertimbangan hukumnya atau amar putusannya saling bertentangan.

3. Putusan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, merupakan kesalahan hakim dalam memutus. Disebabkan oleh beberapa keadaan, al.:
- Pertimbangan hukum maupun amar secara nyata bertentangan dengan azas-azas hukum dan norma hukum;
- Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim;
- Amar yang sama sekali tidak didukung oleh pertimbangan hukum;
- Amar menyimpang jauh dari pertimbangan hukum;
- Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur;
- Hakim melakukan tafsir suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk UU mengenai maksud dibentuknya norma tersebut;
- Hakim menafsir secara bebas suatu norma di luar cara-cara yang lazim/dikenal dalam doktrin dan atau diluar logika.. Penafsiran yang akal-akalan atau yang merusak (interpretatio est perversio).
- Penafsiran yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah.


C. PASAL 24 (1) UU No. 48 TAHUN 2009 [Ps 23 (1) UU No. 4/2004] TIDAK DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PENGAJUAN PK OLEH JPU

Pihak-pihak yang dapat mengajukan PK yang dimaksud Pasal 24 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dalam perkara pidana bukan jaksa.

• Norma Pasal 24 Ayat (1) UU No. 48/2009 menyebut “pihak-pihak” adalah merupakan norma lex generalis (perkara pada umumnya). Sementara PK perkara pidana diatur khusus (lex specialis) dalam Pasal 263 (1) KUHAP, maka yang khususlah berlaku (lex specialis derogat legi generali). Pasal 24 Ayat (1) UU 48/2009 jangan dibaca dan dimaknai secara sepotong-sepotong dengan maksud semata-mata untuk menghukum terdakwa yang dibebaskan - diluar nalar dan akal sehat, tapi harus lengkap -menyeluruh. Dalam norma Ayat (1) terdapat syarat umum PK yakni bila terdapat hal atau keadaan tertentu dalam UU. Dalam perkara pidana, UU yang dimaksud adalah KUHAP, yang in casu Pasal 263, dimana “hal atau keadaan tertentu” yang dimaksud adalah keadaan putusan “penghukuman” yang telah tetap dan tiga syarat materiil PK dalam Ayat (2).

Sementara subjek hukum yang berhak mengajukan PK pada keadaan dan syarat-syarat yang demikian hanyalah semata-mata terpidana atau ahli warisnya saja sebagaimana disebutkan dalam Ayat (1), bukan negara atau pihak lain.
• Norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas, limitatif dan tuntas, maka bersifat tertutup. . Rumusan norma demikian, tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cessat in claris).
• Syarat materiil pengajuan PK Pasal 263 Ayat (2) KUHAP suatu kesatuan – tidak terpisahkan dengan syarat formil dalam Ayat (1). Syarat materiil - Ayat (2) hanya dapat digunakan oleh subjek hukum yang disebutkan dalam Ayat (1) saja (penafsiran sistematis). Tidak dapat digunakan oleh subjek hukum lain diluar Ayat (1).
• Bahwa dari sudut pemahaman norma UU dengan menggunakan logika terhadap suatu syarat yang ditentukan secara limitatif, maka tidak diperkenankan menambah syarat lain diluar yang telah disebutkan.


D. ARTI PK DIAJUKAN HANYA SATU KALI

Pasal 24 Ayat (2) UU 48/2009 yang menetapkan PK hanya dapat diajukan satu kali, hanya semata-mata ditujukan bagi PK yang diajukan menurut ketentuan dan syarat-2 dalam Pasal 263 Ayat (1 ) dan (2) KUHAP, yakni PK yang diajukan oleh terpidana terhadap putusan pemidanaan yang tetap. Ketentuan tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU terhadap putusan bebas yang in casu melanggar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Hak terpidana tidak/belum digunakan untuk mengajukan PK sebagaimana dihehendaki UU.

Pelanggaran MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, berimbas pada akibat hukum yang sangat merendahkan martabat dan merampas keadilan dan hak-hak terdakwa yang dibebaskan. Pengabulan PK yang demikian ini melanggar hukum, menempatkan terdakwa dalam suatu keadaan serba salah dan serba merugikan. Alasannya:

• Pertama, jika dilihat dari maksud pembentuk UU bahwa PK yang hanya dapat diajukan “satu kali”, adalah permohonan PK yang diajukan terpidana (bukan oleh JPU) berdasarkan syarat-syarat sebagaimana dalam Pasal 263 KUHAP. Sementara PK yang diajukan JPU yang kemudian dikabulkan MA bukan diajukan terpidana terhadap putusan pemidanaan sesuai syarat-syarat Pasal 263 KUHAP tersebut. Dalam hal ini terpidana yang sekarang belum menggunakan haknya. Maka sesungguhnya dibenarkan untuk mengajukan PK. Subjek hukum sah menggunakan suatu hak apabila Ia memiliki hak untuk hal itu. Sebaliknya subjek hukum yang menggunakan suatu hak yang sesungguhnya tidak dimilikinya, maka penggunaan hak tersebut tidak sah dan tidak membawa suatu akibat hukum apapun bagi siapapun. Apabila terpidana sekarang (yang dulu sudah bebas degan putusan tetap), tidak diperkenankan mengajukan PK – dengan alasan karena PK sudah diputus atas pemohonan jaksa, maka disini terdapat kerugian yang luar biasa bagi terpidana yang sekarang.

• Kedua, apabila dilihat dari makna azas ne bis idem (Pasal 76 KUHP), bahwa putusan pertama (pembebasan) tidak boleh diubah lagi dengan cara apapun, maka terdakwa semula yang sekarang terpidana menjadi terhalang untuk mengajukan PK, padahal hak tersebut belum digunakan olehnya. Justru yang menghalangi dan menghilangkan hak terpidana yang sekarang ini, adalah ulah dan perbuatan negara sendiri yang telah melawan putusan bebas yang tetap, padahal hak itu tidak ada pada negara.
Oleh karena itu, “andaikata” terdakwa semula yang sudah dibebaskan atau terpidana sekarang yang mengajukan PK, kemudian tidak diterima MA dengan alasan PK hanya satu kali, dan sudah digunakan (oleh JPU, bukan oleh terpidana), maka MA telah melakukan abuse of power, sudah masuk pada praktik negara kekuasaan.. MA telah melakukan dua perkosaan terhadap hak terdakwa yang dibebaskan dengan putusan yang tetap.

• Pertama hak untuk mengajukan upaya PK, yang menurut azasnya adalah hak asli terpidana yang tidak dapat dikurangi sedikitpun dengan alasan apapun yang sama sekali belum digunakannya.

• Kedua, hak menikmati kebebasan dari rasa ketakutan bahwa negara akan menuntut lagi, hak atas jaminan negara bahwa perkaranya tidak diungkit-ungkit lagi.E.

E. SEMA No. 10 TAHUN 2009 MENGENAI PK SATU KALI DAN TIDAK PERLU DIKIRIM KE MA TIDAK TERMASUK PK YANG DIAJUKAN TERPIDANA YANG DAHULU DI BEBASKAN KEMUDIAN DIPIDANA OLEH MA ATAS PENGAJUAN PK OLEH JPU

MA mengeluarkan SEMA No. 10 Tahun 2009, yang pada pokoknya:
• Permohonan PK perkara yang sama perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu kali bertentangan dengan UU.
• Bila ada permohonan PK yang dimaksudkan, agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.

Bahwa karena sifatnya, maka isi SEMA tersebut tidak berlaku terhadap permohonan PK yang diajukan terpidana yang dahulu telah dibebaskan dengan putusan telah tetap, yang kemudian dipidana oleh MA atas permohonan PK oleh JPU. SEMA tersebut hanya berlaku terhadap permohonan PK yang sesuai dengan Pasal 263 KUHAP, ialah PK yang dimohonkan oleh terpidana terhadap putusan pemidanaan yang telah tetap. Prinsip PK hanya satu kali, hanya berlaku bagi PK yang dimohonkan terpidana yang sejak awal dipidana dengan putusan yang telah tetap.

Bahwa selain itu, SEMA No 10/2009 hanya peraturan kebijakan dan tidak mengikat serta tidak dapat memberi kekuatan hukum normatif.

Oleh karena itu, “apabila” Ketua PN tidak mengirimkan berkas permohonan PK dan kelengkapannya yang diajukan terpidana karena dipidana oleh MA yang mengabulkan PK jaksa, yang semula sudah dibebaskan dengan putusan tetap, dengan alasan melaksanakan Perma No. 10 Tahun 2009, maka Ketua disamping telah melakukan abuse of power juga telah melakukan suatu kebodohan dan kebohongan publik.


F. JAKSA DAPAT MENGAJUKAN PK BUKAN MERUPAKAN HASIL PENAFSIRAN UNTUK MENEMUKAN HUKUM

Dalam hal/keadaan dan dengan syarat-syarat tertentu hakim dapat melakukan penggalian melalui penafsiran untuk menemukan hukum. Penegak hukum lain, jaksa dan advokat dapat pula menggali untuk menemukan hukum. Juga para ahli hukum. Temuan hukum oleh ahli hukum merupakan doktrin, dan menjadi hukum setelah diadopsi dalam berbagai putusan hakim.

Menggali untuk menemukan hukum dapat dibedakan antara (1) menggali dengan menafsir pada norma yang sudah ada, dan (2) menggali dari kasus peristiwa yang diperiksa dan diadili. Contoh yang pertama, menafsirkan unsur “pingsan atau tidak berdaya” dalam Pasal 286 KUHP menyamakan artinya dengan “idiotnya” seorang perempuan (arrest HR tahun 1934). Menurut Moeljatno, ini contoh ekstensif.*

Contoh yang kedua, menurut hemat penulis - dari putusan pembebasan Prita Mulyasari oleh PN Tangerang (No. 1269/Pid.B/PN.TNG) diperoleh temuan hukum sebagai berikut: “Pengunfkapan suatu perasaan melalui media e-mail yang isinya berupa keluhan dari apa yang dialaminya dari suatu pelayanan kesehatan oleh rumah sakit atau dokter yang tidak memuasakan karena membawa akibat lain dari penyakitnya semula, adalah bukan merupakan tindak pidana pencemaran ataupun perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 BW, meskipun isi keluhan itu dirasakan menyerang kehormatan dan nama baik pengelola rumah sakit atau dokter”.

Dalam hal MA membenarkan PK jaksa, adalah merupakan cara yang pertama, ialah menafsirkan terhadap rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Namun tidak jelas terhadap frasa/kata yang mana yang ditafsir tersebut. Kalau terhadap frasa atau unsur “terpidana atau ahli warisnya”, maka tidak mungkin jaksa disamakan artinya dengan terpidana atau ahli warisnya.

Menggali untuk menemukan hukum harus dilakukan dalam hal dan keadaan khusus serta dengan syarat-2 yang amat ketat, khususnya terhadap norma UU., ialah:

a. bila hukumnya tidak ada, namun sangat mendesak untuk memutus perkara. Maka norma yang paling dekat dengan kasus tersebut, unsurnya dapat ditafsir dengan menggunakan cara-2 yang lazim dalam doktrin dan tidak boleh keluar dari logika. Apabila sama sekali tidak ada norma yang paling dekat, maka tidak mungkin dapat mengadakan penafsiran.

b. hukumnya ada namun tidak/kurang jelas, untuk memperjelas dalam rangka penerapannya dapat dengan menggunakan tafsir yang sesuai dengan cara-2 penafsiran yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum.

Hak hakim menafsirkan dalam hukum pidana sangat ketat, harus memenuhi syarat-syarat dan dengan menggunakan cara-cara yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum, disebabkan karena dibatasi oleh azas legalitas dalam Pasal 1 KUHP.

Putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, bukan masalah penafsiran terhadap norma Pasal 263 (1) KUHAP, karena:

• Rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan rumusan yang sudah jelas dan limitatif (lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP), bersifat tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cesat in claris).

• Tidak ada landasan yuridis, filosofis, maupun historis dari pendapat bahwa jaksa berhak mengajukan PK

• Jaksa telah menggunakan sesuatu hak (PK) yang sesungguhnya tidak dimilikinya.

• Tidak ada norma yang paling dekat dalam KUHAP yang dapat ditafsir bahwa jaksa berhak mengajukan PK disamping terpidana atau ahli warisnya.

• Sudah berada diluar cara-2 penafsiran yang diperkenankan dan lazim dalam doktrin. MA sudah merubah dan atau menambah norma hukum baru di luar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.

Apa yang dilakukan MA sudah melampaui analogi maupun ekstensif. Ekstensif biasanya digunakan untuk menghindari penyebutan analogi yang dilarang dalam hukum pidana. Analogi adalah salah satu cara menafsirkan, meskipun hampir semua ahli hukum menolak karena bertentangan dengan azas legalitas. Namun dengan menggunakan logika analogi maupun ekstensif kadang-kadang masih dapat dicari landasannya. Dicontohkan, dalam arrest HR mengenai pencurian listrik (1921), bahwa aliran listrik sebagai benda yang bernilai ekonomis yang sama dengan benda yang menjadi objek pencurian.

Meskipun pencurian bisa terjadi pada objek yang tidak bernilai ekonomis, misalnya nilai histroris seperti seperti karcis KA yang sudah terpakai (HR 28-4-1930). Mencuri dalam trem yang berjalan dianalogkan pada mencuri dalam bis yang berjalan , dapat dicari dari persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Untuk melindugi kepentingan hukum si pemilik barang dalam sebuah kendaraan umum yang sedang berjalan. Trem adalah kendaraan umum, bis juga adalah kendaraan umum.

Kata/unsur “terpidana atau ahli warisnya” dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP ditafsirkan juga termasuk jaksa, tentulah tidak logis. Pendapat bahwa JPU berhak mengajukan PK, bukan lagi masalah penafsiran, tetapi sudah masuk wilayah kewenangan pembentuk UU. Sudah merubah atau menambah norma baru dari Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.


G. MA BUKAN MENGGALI UNTUK MENEMUKAN HUKUM

Dengan demikian tidak dapat dianggap bahwa MA menggali nilai-nilai hukum & keadilan menurut Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 (dahulu Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004) , karena:

1. Menggali nilai hukum dibatasi pada masalah (1) hukumnya belum ada atau (2) hukumnya tidak jelas. Norma hukum PK Pasal 263 Ayat (1) KUHAP telah jelas, pasti, tuntas dan limitatif, merupakan rumusan tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cesat in claris). Menggali untuk menemukan hukum tidak sama artinya dengan membuat hukum baru, seperti yang dipraktikan MA dengan menambah norma baru ke dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.

2. Hakim boleh menggali untuk menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan tidak melanggar norma hukum yang sudah berlaku difinitif. Hakim tidak dibenarkan melanggar norma hukum dengan alasan menggali hukum.

3. Menggali nilai-nilai hukum harus melalui hukum dengan cara-cara penafsiran yang sudah lazim dalam doktrin dan tidak keluar dari logika. Tidak menggunakan penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversio) atau penafsiran akal-akalan.

4. Pertimbangan putusan MA dapat disebut pertimbangan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Terlihat dalam pertimbangan putusan No. 55PK/Pid/1996 (Muchtar Pakpahan), No. 109PK/Pid/2007 (Pollycarpus), No. 12PK/Pidsus/2009 (Joko S Tjandra), No. 54PK/Pid/2006 (dr. Eddy Linus dkk.), al. sebagai berikut:

a. MA menyatakan bahwa “pihak yang berkepentingan” dalam Pasal 21 UU 14/1970 ditafsirkan adalah kejaksaan, karena itu jaksa juga berhak mengajukan PK. Padahal dalam Penjelasan Pasal 21 UU No. 14/1970 secara tegas dinyatakan bahwa “pihak yang berkepentingan” dalam perkara pidana, ialah “.... terhukum atau ahli warisnya”. MA menafsir tanpa membaca & menggunakan penjelasan pasal yang bersangkutan. Padahal penjelasan pasal mengenai “suatu hal” atau “unsur” adalah merupakan penafsiran otentik, merupakan perwujudan kehendak UU, yang wajib diikuti. MA telah melanggarnya.

b. Demikian juga MA menafsirkan bahwa frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” dalam Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 dalam perkara pidana adalah jaksa, dan dari situ MA menyimpulkan bahwa jaksa juga berhak mengajukan PK. MA membuat “pertimbangan hukum setengah jadi” – tidak tuntas dengan menggunakan “logika terbalik”. Mengapa?
1) Karena frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” dalam Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 adalah pihak-pihak dalam ketentuan lex generalis, yang tidak mungkin dapat diterapkan, tanpa menghubungkannya dengan lex specialisnya, yaitu Pasal 263 KUHAP. Sementara MA menafsirakan Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 hanya sepotong, hanya menafsirkan anak kalimat “pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK kepada MA” (dipotong dan stop disini), tanpa membaca anak kalimat lanjutannya yang berbunyi “apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam UU”. Apa yang dimaksud dengan “hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam UU” adalah semua keadaan yang disebutkan dalam Pasal 263 Ayat (1 dan 2) KUHAP. Subjek hukum yang dapat menggunakan semua keadaan dalam Ayat (2) adalah subjek hukum yang disebutkan dalam Ayat (1), yakni “terpidana” atau “ahli warisnya” terhadap putusan pemidanaan yang tetap. UU yang dimaksud dalam perkara pidana adalah KUHAP.

Apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh MA menafsir dengan cara memotong kalimat rumusan Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 seperti itu? Hanya diketahui oleh para hakim yang memutus saja. Namun dapat ditebak, sebabnya adalah bahwa MA hendak menjatuhkan pidana. Kalau kalimat itu dibaca seluruhnya, maka akan berujung pada norma Pasal 263 Ayat (1) dan (2) KUHAP, yang artinya permintaan PK jaksa dipstikan tidak dapat diterima.

2) Disebut dengan ”menggunakan logika terbalik”, karena MA menafsirkan “terpidana dan ahli warisnya” yang berhak mengajukan PK dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP juga jaksapun berhak.. Untuk membuktikan bahwa jaksa berhak PK menurut Pasal 263 (lex specialis) dengan menunjuk Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 (lex generalis). Jelasnya MA menafsirkan ketentuan dalam lex specialis berdasarkan lex generalis. Padahal seharusnya menafsirkan pihak-pihak dalam lex generalis dengan merujuk pada lex specialis, yakni dalam perkara pidana adalah sebagaimana ayang dimaksud Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.

c. MA menganggap bahwa dalam Pasal 23 (1) UU No. 4 Tahun 2004 tidak ada larangan jaksa mengajukan PK, menyimpulkan pula oleh karena itu jaksa mengajukan PK tidak bertentangan dengan UU, adalah pertimbangan akal-akalan, merupakan interpretatio est perversio. Kalau berpikir dengan cara akal-akal seperti itu, bahwa suatu peristiwa tidak disebut dalam undang-undang, lalu menafsirkannya dibolehkan. Berarti bisa juga ditafsirkan sebaliknya, ialah karena tidak disebut maka “dilarang”. Menurut MA karena tidak jelas lalu untuk memperjelasnya menggunakan penafsiran ekstensif, berkesimpulan bahwa dalam perkara pidana adalah jaksa, maka jaksapun berhak untuk mengajukan PK. Disamping bukan seperti itu yang dimaksud dengan ekstensif, juga seperti yang telah diterangkan tersebut di atas, bahwa penafsiran MA ini menyesatkan, penafsiran setengah jadi dan tidak tuntas dengan menggunakan logika terbalik. . Bahwa Pasal 23 UU No. 4/2004 ini merupakan lex generalis, yang tidak mungkin dapat diterapkan tanpa dengan menunjuk lex specialisnya.

d. MA juga menyatakan bahwa norma Pasal 263 Ayat (1) tidak jelas, maka untuk memperjelasnya menggunakan penafsiran ekstensif. Disamping isi muatan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP sudah sangat jelas, juga ekstensif bukan seperti yang dimaknai MA tersebut. Suatu penafsiran hanya dilakukan terhadap suatu unsur/frasa di dalam rumusan UU, seperti unsur “benda” dalam pencurian yang dianologikan dengan aliran/tenaga listrik (arrest HR, 23-5-1921). Tidak jelas frasa/unsur yang mana diantara sekian frasa/unsur yang terdapat dalam rumusan Pasal 263 (1) KUHAP yang ditafsir. Jika yang ditafsir itu adalah frasa “terpidana atau ahli warisnya”, maka tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya disamakan artinya dengan “jaksa”.

Undang-undang itu sebagai suatu sistem, sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari pasal-pasal. Dalam membaca atau menafsirkan suatu pasal, maka pasal tersebut harus diletakkan dalam proporsinya. Pasal yang bersangkutan harus ditempatkan dalam sistem, jangan dikeluarkan dari sistem atau undang-undang yang bersangkutan dan diteropong tersendiri lepas dari pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Dicontohkan, Pasal 263 (1) KUHAP berhubungan dengan Pasal 266 (3), menyatakan bahwa “putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Ketentuan tersebut membuktikan bahwa PK ditujukan untuk kepentingan terpidana, bukan jaksa..

e. Untuk menguatkan pendapatnya, MA merujuk Article 84 Statute of International Criminal Court. Namun MA hanya terpaku pada frasa “prosecutor” saja dalam kalimat “1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused”s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that………….”;. Dengan demikian seolah-olah jaksa memiliki hak mengajukan PK. Padahal kalau kalimat itu dibaca lengkap, dimana kata prosecutor dihubungkan dengan 4 kata setelah kata prosecutor yakni “on the person’s behalf”, lengkapnya “or the prosecutor on the person’s behalf”..., maka jaksa yang mengajukan PK adalah untuk dan atas kepentingan terpidana itu sendiri, yang secara a contrario berarti tidak dimungkinkan peninjauan kembali yang bertujuan untuk memberatkan atau merugikan si tepidana. Untuk memberatkan terpidana berarti jika diajukan oleh jaksa. Jadi menurut Article 84 Statute of International Criminal Court ide dasar PK adalah tetap untuk kepentingan terpidana.

Lagi-lagi MA melakukan tafsir dengan memotong-motong kalimat, suatu penafsiran setengah jadi dan tidak tuntas. Sebab kalau menafsirkan seluruh kalimat secara tuntas, maka MA tidak dapat menghukum, sementara menghukum sudah merupakan tujuan awal.

Dari analisis hukum terhadap pertimbangan putusan-putusan MA tersebut di atas, maka semakin jelas bahwa putusan pembenaran PK jaksa adalah:

• Didasarkan pada pertimbangan hukum yang nyata bertentangan dengan azas-2 hukum dan norma hukum [Pasal 263 Ayat (1) KUHAP].

• Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim, karena jaksa menggunakan suatu hak (PK) yang sesungguhnya tidak dimilikinya. Perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum, dan karenanya putusan yang mengabulkan penggunaan sesuatu hak yang tidak dimilikinya, mestinya batal demi hukum.

• Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur, karena KUHAP tidak mengatur prosedur pengajuan PK yang diajukan jaksa terhadap putusan bebas atau pelepasan dari tuntutan hukum. KUHAP hanya mengatur prosedur pengajuan PK yang oleh terpidana atas putusan pemidanaan yang tetap saja.

• MA telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak UU. Hakim tidak dibenarkan membuat tafsir dengan melanggar kehendak UU dan memperkosa maksud dan jiwa undang-undang.

• MA telah menafsirkan suatu norma diluar cara-cara yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu norma secara bebas, tanpa landasan yuridis, filosofis, historis dan sudah diluar logika hukum. Dapat digolongan pada penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversio).

• MA telah memutuskan sesuatu yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah. MA telah masuk ke wilayah kewenangan pembentuk UU.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka putusan MA yang membenarkan PK jaksa tidak dapat disebut dan atau menjadi yurisprodensi. Termasuk putusan yang tidak konsisten. Putusan dapat menjadi yurisprodensi jika konsisten dan berulang.


H. PK TIDAK LAGI MENCARI KEADILAN MELALUI PASAL-PASAL YANG DIDAKWAKAN

Putusan bebas yang sudah tetap, tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum biasa maupun PK. Tidak dibenarkan negara mempersoalkan lagi tentang keadilan dalam putusan tersebut. Prosesnya sudah berlalu, sudah selesai. Logikanya:

• Dalam setiap norma hukum sudah berbobot keadilan dan kemanfaatan, dan tentu saja sesuai logika. Dibentuknya norma hukum - untuk keadilan dan kemanfaatan. Jika hukum diterapkan - kepastian hukum dicapai, maka keadilan dan kemanfaatan juga include ditegakkan. Tidak mungkin sebaliknya – mencari keadilan dengan menabrak dan mengahancurkan hukum. Mencari keadilan harus melalui hukum, bukan dengan menafsirkan norma secara bebas yang merusak (interpretatio est perversio).

• Kepastian hukum adalah konkret – lebih terukur karena itu menjadi tujuan utama penegakan hukum. Sementara keadilan abstrak - relatif dan tidak bisa diukur, oleh karenanya menjadi bagian - tidak terpisahkan dari kepastian hukum, bukan semata-mata menjadi tujuan satu-satunya yang lepas dari kepastian hukum.

• Negara membawa terdakwa ke sidang pengadilan untuk menegakkan hukum yang sekaligus di dalamnya keadilan. Selama proses peradilan berjalan – pada saat itu saja negara berhak mencari keadilan dengan melalui norma-norma hukum. Pada saatnya proses itu akan berakhir, ialah ketika putusan menjadi tetap. Sementara proses PK tidak lagi mempersoalkan keadilan dengan melalui penerapan norma-norma hukum seperti itu. Proses tersebut sudah berlalu, sudah lewat. Melainkan mengembalikan keadilan dan hak-hak kepada terpidana yang sudah dirampas negara oleh putusan pemidanaan. Tidak dibenarkan negara secara terus menerus atau berulang-ulang melakukan penuntutan.

• Cara-cara penafsiran yang digunakan MA tidak logis, diluar cara-cara yang dikenal dalam doktrin hukum. Terkesan MA sekedar mencari-cari alasan pembenar dari suatu tindakan yang salah, untuk mencapai tujuan menghukum yang semula sudah dimaksudkan.

Pembenaran jaksa mengajukan PK, menimbulkan akibat serius, yaitu:

• Tidak ada lagi kepastian hukum mengenai PK di Indonesia, baik bagi negara maupun penduduk khususnya terdakwa yang telah dibebaskan. Sistem hukum mengenai PK telah dijungkirbalikan, menimbulkan kerusakan hukum dan tiada lagi kepastian hukum. Padahal adanya kepastian hukum merupakan jaminan bagi penduduk untuk mendapat perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan penguasa negara.

• Negara telah bertindak sewenang-wenang pada penduduk. Negara sudah masuk ke praktik negara kekuasaan.

• Azas PK yang semata-mata untuk kepentingan terpidana. Fungsinya membatasi kekuasaan negara (due proces of law). Tujuannya untuk menghindari perlakuan sewenang-wenang negara pada penduduk di bidang peradilan, sebagai suatu ciri dari negara hukum - telah dilanggar.

• Sistem hukum acara lembaga PK yang semula teratur menjadi kacau.. Telah terjungkil-balikan norma Pasal 263, 264, 265, 266, dan 268 KUHAP, yang semula tegas, tuntas dan limitatif, sebagaimana kehendak UU.

• Putusan pembebasan tidak membuat ketentraman bagi yang bersangkutan. Selalu dihantui perasaan ketakutan dan was-was seumur hidupnya, bahwa suatu saat akan dituntut lagi melalui PK.

• Pada era penengakan hukum yang belum baik sekarang, pembolehan JPU mengajukan PK membuka peluang untuk dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum sebagai alat pemerasan terhadap terdakwa diputus bebas yang telah tetap.


I. PUTUSAN PERKARA MULYAR bin SAMSI dan JNHAN IMAGO al GUAN KABIR DAPAT MENJADI RUJUKAN KE DEPAN.

Disamping putusan yang mengabulkan PK jaksa, ada pula putusan MA yang konsisten - menyatakan tidak dapat menerima PK jaksa, ialah dalam perkara Sdr. Mulyar bin Samsi di Muara Teweh (2007) dan Johan Imago al Guan Kabir di Kalabahi - NTT (2010).

• Dua putusan MA tersebut bisa menjadi rujukan dan yurisprodensi ke depan, sebabnya karena putusan tersebut mempertahankan konsistensi, sesuai dan beradasarkan hukum dan berulang.
• Putusan hakim adalah hukum. Dalam hal ini ada dua sumber hukum setingkat mengenai hal yang sama yang saling bertentangan. Maka berdasarkan asas penerobosan legalitas dan asas in dubio pro reo ialah harus menggunakan hukum yang paling menguntungkan terdakwa. Azas ini diwujudkan al. dalam norma Pasal 1 Ayat (2) KUHP.
• Sesuai dengan asas penerobosan legalitas dan in dubio pro reo tersebut maka Putusan MA perkara Mulyar bin Samsi No. 84 PK/Pid/2006 dan Johan Imago al Kabir (2010), dapat dijadikan dasar MA untuk menolak setiap permohonan PK yang dimohonkan JPU selanjutnya.
• Apabila terdakwa telah diputus bebas yang tetap, disadari kemudian terdapat kekeliruan dan dalam hal itu terdapat kerugian negara, maka pengembalian kerugian tidak dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Dapat dilakukan dengan melalui gugatan perdata. Selain negara tidak melanggar hukum, kewibawaan negara (MA) dan kewibawaan hukum akan tetap terjaga, hak-hak terdakwa yang dibebaskan tetap dijujung tinggi dan dihargai. Suatu pencerminan suatu negara hukum, bukan praktik otoriter seperti jaman orde baru dahulu.


J. KESIMPULAN

1. Azas lembaga PK, semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana tidak dapat disimpangi dengan alasan apapun. Karena merupakan fondasi PK yang dibangun dan ditegakan di atas falsafah dan sejarah lembaga PK itu sendiri. Bila fondasi itu dibongkar, maka runtuhlah bangunan rumah PK tersebut.

2. Putusan MA yang membenarkan PK jaksa dibangun di atas pertimbangan hukum yang mengada-ada, memotong-motong kalimat rumusan pasal yang ditafsir dan menyalahartikan terhadap sesuatu yang sudah amat jelas. Tergolong menafsirkan dengan cara merusak (interpretatio est perversio). Putusan semacam ini termasuk putusan dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata.

3. Apabila jaksa mengajukan upaya PK terhadap putusan pembebasan, maka demi kewibawan negara dan kewibawan hukum dalam suatu negara hukum, dengan jiwa besar MA (sesuai dengan arti kata “agung” dibelakang kata mahkamah) harus secara tegas menyatakan tidak menerima permohonan yang melanggar hukum tersebut.

4. Apabila perkara pidana yang sudah diputus bebas yang tetap, disadari kemudian terdapat kekeliruan dan diperkirakan terdapat kerugian negara, maka pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan melalui gugatan perdata – perbuatan melawan hukum atau wanprestasi (bergantung pada keadaan dan sifat perkaranya). Dengan begitu, maka akan tetap terjaga kewibawan MA sebagai pengadilan tertinggi, yang sekaligus dapat dipulihkannya kerugian negara.

5. Apabila putusan bebas yang tetap yang kemudian disadari salah, tidak benar dan tidak masuk akal dipulihkan dengan cara yang melanggar hukum. Membenarkan PK jaksa merupakan kemunduran – dua abad kebelakang.

6. Dengan terdapatnya suatu keadaan dimana disatu pihak MA membenarkan dan menerima PK jaksa, sementara dipihak lain tidak, maka berdaskan azas penerobosan legalitas [Pasal 1 Ayat (2) KUHAP] dan adagium “in dubio pro reo”, seharusnya kedepan MA memilih putusan (hukum) yang menguntungkan terdakwa.
Kampus FH UB., 10 Pebruari 2012.







KEPUSTAKAAN
Adami Chazawi (i), 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana - Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
----------------- (ii), 2008. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang,
---------------- (iii), 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------------- (iv), 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2., Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta.
--------------- dan Ardi Ferdian (v), 2011. Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
Andi Hamzah, 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
--------------------, 1994. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Hadely Hasibuan, tanpa tahun. Andi Andoyo, Penerbit Uga Pro Adi, Jakarta.
Hadari Djenawi Tahir, 1982. Bab Tentang Herziening di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Alumni, Bandung.
Jan Remmelink,*2003. Hukum Pidana, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lamintang, PAF (i)., 1999. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru, Bandung.
-----------, dan Djisman Samosir (ii), 1979. Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Penerbit Tarsito, Bandung.
Mangasa Sidabutar, 2001. Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Otto Cornelis Kaligis, 2008. Miscarriage of Justice dalam Sistem Peradilan Pidana, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Menado Tanggal 8 Nopember 2008.
Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
Yusti Probowati Rahayu, 2005. Dibalik Putusan Hakim Kajian Psikologi Hukum dalam Perkara Pidana, Penerbit CV Citramedia, Sidoarjo.
Ranuhandoko, I.P.M., 2006. Terminologi Hukum Inggris – Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Rusli Muhammad, H., 2007. Hukum Acara Pidana Kotemporer, Penerbit PT Cita Aditya Bakti, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2007. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, RM., dan A Pilto, 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Jakarta.
Utrecht, 1986. Hukum Pidana I, Penerbit Pustaka Tinta Mas, Surabaya
Sumber lain:
Majalah Hukum Varia Peradilan No. 260 - Juli 2007, No. 268 - Maret 2008 dan No. 288 - Nopember 2009.
Sudikno Mertokusumo, RM., 2009. Bolehkan Jaksa Mengajukan PK? (artikel online), http://sudiknoartikel.blogspot.com
Gatra, berita online, 14 Juli 2007, “Risman Cacat Seumur Hidup Dianiaya Polisi”, http://www.gatra.com
Berita Online, “Berkas Perkara Joko S. Tjandra Dinilai Layak Diteruskan ke MA”, www.hukumonline.com.
Andi Zainal Abidin, Seputar Peninjauan Kembali Perkara Pidana (artikel online), http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/01/18/0119.
http://www.leip.or.id/artikel/84-dilema-peninjauan-kembali-oleh-jaksa.
Lacia Marzuki: MA Harus Cabut SEMA Larangan PK atas PK, http://www.pelita.or.id/baca.php?id=74302