Sabtu, 19 Maret 2011

PENGHINAAN (PENODAAN) TERHADAP AGAMA

PENGHINAAN (PENODAAN) TERHADAP AGAMA
TERTENTU YANG ADA DI INDONESIA

Persoalan Ahmadiyah tidak bisa diselesaikan dengan tuntas. Sudah pasti menggangu ketentraman dan kedamaian kehidupan masyarakat Indonesia. Mungkinkah Pemerintah bisa menyelesaikannya dengan menggunakan hukum pidana?

Kejahatan yang dimaksudkan di atas ditambahkan ke dalam KUHP melalui UU No. 1/PNPS Tahun 1965 (LN 1965 No. 3), dan di tempatkan dalam Pasal 156a, yang rumusan selengkapnya adalah:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dibentuknya kejahatan di atas, pada dasarnya berlatar belakang pada usaha preventif secara dini agar tidak terjadi pertentangan yang lebih tajam antar umat beragama yang dapat mengakibatkan perpecahan bangsa Indonesia, dan yang dapat membahayakan keutuhan bangsa Indonesia. Kerusuhan di Ambon dan kerusuhan di Poso, sedikit atau banyak berakar pada rasa ketersinggungan spritual dari umat pemeluk agama yang menjadi konflik yang meluas.
Dalam rumusan Pasal 156a tersebut di atas, terdapat 2 (dua) bentuk kejahatan.
Kejahatan yang Pertama, unsur-unsurnya sebagai berikut:
Unsur-unsur objektif
a. Perbuatannya: 1) mengeluarkan perasaan
2) melakukan perbuatan
yang bersifat: - permusuhan terhadap
- penyalahgunaan terhadap
- penodaan terhadap
b. Objeknya: suatu agama yang dianut di Indonesia
c. di muka umum
Unsur subjektif
d. Kesalahan: dengan sengaja
Kejahatan yang Kedua, unsur-unsurnya adalah.
Unsur-unsur objektif
a. Perbuatannya: 1) mengeluarkan perasaan
2) melakukan perbuatan
b. di muka umum
Unsur subjektif
c. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
1. Kejahatan yang Pertama
a. Mengeluarkan Perasaan atau Melakukan Perbuatan yang Bersifat Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan Agama yang Dianut di Indonesia
Perbuatan materiil kejahatan pertama Pasal 156a ada dua, yakni:
1) mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan ( terhadap agama), dan
2) melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan (terhadap agama).
Dua perbuatan tersebut berbeda dalam hal sifat. Pada perbuatan mengeluarkan perasaan adalah dengan ucapan, melalui kata atau kalimat, atau dapat pula dengan tulisan. Sementara itu, melakukan perbuatan adalah bersifat fisik, dengan wujud gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya menginjak kitab suci suatu agama. Di dalam keduanya ada persamaan yakni dalam kedua perbuatan itu isinya mengandung sifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatu agama. Sifat disini artinya, bahwa dari kedua perbuatan tersebut berdasarkan nilai-nilai spritual yang dianut umat pemeluk agama, dapat ditafsirkan atau diartikan oleh penganut agama yang bersangkutan sebagai memusuhi, menyalahgunakan atau menodai agama mereka.
Kejahatan Pasal 156a dapat dimasukkan ke dalam kelompok kejahatan penghinaan, oleh sebab dari sifat penodaan dalam kedua perbuatan itu. Pada penodaan mengandung sifat penghinaan terhadap agamanya bagi umat yang menganut agama yang bersangkutan. Seperti pada contoh di atas, perbuatan menginjak-injak kitab suci suatu agama. Bagi umat pemeluk agama yaang bersangkutan, perbuatan itu bersifat menghina agamanya. Oleh sebab itu perasaan spritual umat agama yang bersangkutan akan merasa tersinggung.
Mengandung sifat permusuhan, artinya isinya pernyataan atau maknanya perbuatan adalah si pembuat dinilai oleh penganut agama yang bersangkutan sebagai memusuhi agamanya. Dari perbuatan yang mengandung sifat yang demikian, dapat berakibat timbulnya perasaan benci atau membenci atau amarah bagi umat agama yang bersangkutan. Artinya disini telah ada pelanggaran terhadap ketenangan dan ketentraman batin dari pemeluk agama penduduk negara.
Bersifat penyalahgunaan, artinya dari isinya pernyataan (melalui perbuatan mengeluarkan perasaan) atau maknanya perbuatan, si pembuat dinilai atau dianggap oleh pemeluk agama yang bersangkutan sebagai menyalahgunakan agamanya. Dari perbuatan yang mengandung sifat yang demikian, juga dapat menimbulkan rasa amarah, sakit hati, tidak puas adalah perasaan-perasaan yang menyakitkan, yang membuat terganggunya ketenangan rasa batin bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan.
Hal seperti di atas itulah yang menjiwai atau melatarbelakangi dari dibentuknya kejahatan Pasal 156a ini.
Perbuatan yang disebutkan kedua (setelah perbuatan mengeluarkan perasaan) dalam rumusan, adalah sangat abstrak, tidak jelas bentuknya, tetapi apabila dihubungkan dengan unsur yang terletak dibelakangnya yakni: “… bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama”, maka perbuatan itu sifanya menjadi lebih konkrit. Terbatas pada bentuk-bentuk perbuatan yang mengandung sifat permusuhan dsb. tadi.
Perbuatan yang sifatnya memusuhi suatu agama, adalah setiap perbuatan berwujud fisik (terhadap sarana dan prasarana suatu agama) yang dari perbuatan itu dinilai oleh umum penganut agama yang bersangkutan adalah sebagai memusuhi agama tertentu. Misalnya, merusak gereja, merusak masjid dan tempat agama lainnya.
Perbuatan yang bersifat penyalahgunaan suatu agama, ialah berupa perbuatan fisik mengenai suatu agama yang oleh umum umat pemeluk agama yang bersangkutan dinilai sebagai menyalahgunakan agama tersebut. Misalnya meminta sumbangan pada dermawan dengan alasan membangun tempat ibadah, pada hal untuk kepentingan pribadinya. Bahwa dalam agama apapun mengajarkan, bahwa membangun atau menyumbang tempat ibadah adalah termasuk ibadah atau perbuatan yang baik. Sehingga apabila dengan dalih untuk perbuatan yang baik, tetapi ternyata digunakan untuk tujuan yang tidak patut, uangnya untuk diri sendiri, maka disini telah ada perbuatan menyalahgunakan agama.
Sedangkan perbuatan yang bersifat penodaan agama tertentu, ialah melakukan perbuatan yang oleh umat penganut agama yang bersangkutan dinilai sebagai menodai agama tersebut. Penodaan disini mengadung sifat penghinaan, melecehkan, meremehkan dari suatu agama. Krena itu menyakitkan perasaan bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan. Pada umumnya, orang masuk mesjid yang dengan sengaja tanpa melepas sepatu, dinilai sebagai menodai mesjid, karena mesjid adalah tempat suci untuk beribadah umat Islam, maka oleh umat Islam orang itu dinilai telah menodai agama Islam.
b. Agama yang Dianut di Indonesia
Sebagaimana di atas telah diterangkan bahwa, sebenarnya objek kejahatan Pasal 156a ini bukanlah semata-mata agama, tetapi perasaan umat dari penganut suatu agama yang dianut di Indonesia. Perlindungan hukum terhadap agama di Indonesia, pada dasarnya adalah perlindungan hukum terhadap perasaan spiritual dari pemeluk agama di Indonesia. Menurut penjelasan umum UU No. 1/PNPS/1965, dimaksudkan adalah melindungi ketenteraman orang beragama dari penodaan / penghinaan agama atau ajaran-ajaran tidak memeluk agama, seperti komunisme.
c. Di muka Umum
Unsur di muka umum disini adalah istilah asli dari bahasa Indonesia sendiri, bukan terjemahan dari in het openbaar atau openlijk atau openbaar, karena rumusan Pasal 156a adalah rumusan yang dibentuk oleh Pembentuk Undang-Undang Indonesia sendiri. Telah berulang kali di bagian muka dibicarakan unsur di muka umum. Di muka umum disini adalah di muka orang banyak, orang banyak mana bisa disuatu tempat yang namanya tempat umum, atau tidak berada di tempat umum, tapi si pembuat berbuat tersebut dapat dilihat atau didengar oleh orang-orang yang berada di tempat umum.
d. Unsur: Dengan Sengaja.
Sengaja disini artinya, si pembuat menghendaki melakukan perbuatan mengeluarkan perasaan dan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dan dia – si pembuat juga menyadari bahwa perbuatan apa yang dilakukannya adalah perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap suatu agama yang diketahuinya dianut di Indonesia, sereta disadarinya pula bahwa perbuatan tersebut di lakukan di muka umum.
2. Kejahatan yang Kedua.
Unsur kejahatan pertama dengan kejahatan yang kedua banyak persamaan. Persamaannya adalah unsur perbuatan, unsur di muka umum dan unsur dengan sengaja. Sedangkan perbedaannya ialah pada kejahatan yang pertama terdapat unsur sifat yang terkandung pada dua perbuatan materiilnya, ialah sifat permusuhan, sifat penyalahgunaan atau penodaan suatu agama yang dianut di Indonesia. Pada yang kejahatan kedua unsur mengenai sifat perbuatan yang demikian tidak ada.
Pada kejahatan yang kedua ada dua unsur kesalahan (subjektif), disamping unsur dengan sengaja terdapat pula unsur maksud dari melakukan dua perbuatan materiilnya, yakni agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh sebab unsur-unsur lain telah dibicarakan, dan dirasa tidak perlu lagi pada kejahatan yang kedua ini menerangkan tentang unsur yang sudah dibicarakan pada kejahatan yang pertama. Maka akan dibicarakan unsur yang belum diterangkan.
Unsur dengan sengaja dan dengan maksud.
Dalam rumusan kejahatan kedua Pasal 156a ada 2 (dua) unsur kesalahan si pembuat, yakni: (1) dengan sengaja dan (2) dengan maksud. Jika ada dua unsur kesalahan yang dirumuskan dalam satu bentuk tindak pidana, biasanya yang satu kesalahan bentuk kesengajaan dan yang satu lagi kesalahan bentuk kesengajaan sebagai maksud, seperti halnya Pasal 156a. Dalam hal demikian, maka ada stressing arah yang dituju oleh masing-masing unsur kesalahan: sengaja dan maksud.
Stressing arah yang dituju oleh kesengajaan dalam rumusan kejahatan yang kedua Pasal 156a di atas, adalah pada (1) melakukan perbuatan mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan, dan (2) di muka umum.
Kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan, artinya si pembuat menghendaki untuk mewujudkan perbuatan, dan menyadari akan nilai serta akibat dari perbuatan yang hendak dilakukannya, yang in casu perbuatan mengeluarkan perasaan (dengan ucapan atau tulisan) dan melakukan perbuatan (fisik). Sementara itu, stressing arah yang dituju oleh unsur maksud, telah jelas ialah agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedua stressing arah yang dituju oleh masing-masing unsur kesalahan si pembuat di atas itulah yang wajib dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pengadilan. Diakui memang tidak mudah membuktikan unsur-unsur yang bersifat subjektif, karena membuktikan sesuatu mengenai alam pikiran orang lain, yang tidak dengan mudah memperoleh keterangan dari yang bersangkutan apabila keterangan itu akan membuat kesusahan bagi yang bersangkutan. Bahwa sifat setiap orang yang selalu menghindari suatu kesusahan bagi dirinya sendiri.
Oleh karena itu membuktikan tentang alam batin orang seperti itu, harus dilakukan dengan jalan menggali hal-hal atau keadaan-keadaan objektif yang ada sekitar orang itu maupun sekitar perbuatan ketika dilakukan. Faktor sekitar si pembuat misalnya: pendidikannya, agama yang dianutnya atau tidak beragama apapun, kesehariannya, sikap dan pernyataan-pernyataan terhadap agama, arah politik yang dianutnya, pekerjaannya, riwayat hidupnya, dan lain sebagainya. Faktor sekitar perbuatan, misalnya: saat atau waktu mana perbuatan dilakukan, di hadapan umum siapa perbuatan dilakukan, cara apa perbuatan dilakukan, dan lain sebagainya.
Dari faktor-faktor dan keadaan-keadaan itu setidak-tidaknya dapat dijadikan salah satu bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk, bahwa benar ada kesengajaan atau maksud yang demikian.
Sementara itu, apa yang dimaksud dengan agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah agama yang mengajarkan bahwa satu-satunya yang harus disembah hanyalah Tuhan Yang Satu, hanya ada Satu Tuhan yakni Tuhan Yang Maha Esa. Agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya agama: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, agama ini nyata-nyata dianut di Indonesia.
Selain tindak pidana penodaan terhadap agama Pasal 156a KUHP, yang ditambahkan melalui UU No. 1/PNPS/1965, terdapat tindak pidana lain yang dimuat dalam Pasal 1 jo 2 dan 3 UU No. 1/PNPS/1965. Namun tindak pidana yang terakhir ini tidak ditambahkan ke dalam KUHP.
Pasal 1 merumuskan sebagai berikut.
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan agama yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Larangan perbuatan dalam Pasal 1 pada dasarnya bukanlah merupakan tindak pidana, karena tidak diberi ancaman pidana. Baru menjadi tindak pidana apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 2 dan 3. Setelah si pembuat diberikan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, dan peringatan semacam itu tetap tidak diindahkan, maka si pembut dapat dipidana penjara selama-lamanya 5 tahun. Jadi disini ada dua unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.
~ Pertama, adanya peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya melalui keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
~ Kedua, peringatan semacam itu tidak diindahkan.
Sedangkan jika si pembuat adalah merupakan sebuah organisasi atau aliran kepercayaan, maka sebelum di tindak berdasarkan hukum pidana sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 3, organisasi dan atau aliran kepercayaan itu dapat dibubarkan oleh Presiden.

Adami Chazawi
FH UB Malang