Jumat, 23 April 2010

APAKAH HAKIM TERMASUK PEJABAT PEMBUAT

APAKAH HAKIM TERMASUK PEJABAT PEMBUAT
AKTA OTENTIK MENURUT PS 266 KUHP?

Catatan: Mahasiswa FH UB agar membaca tulisan singkat ini, terutama yang memprogramkan mata kuliah “kejahatan terhadap subjek hukum” (KTSH).

Beberapa kali advokat atau dipihak kepolisian datang kepada saya, mengkonsultasikan tentang gugatan atau permohonan yang diajukan ke Pengadilan yang isinya palsu. Bahkan ada kasus yang sudah diberkas. Pertanyaan hukumnya: APAKAH kepada mereka dapat diterapkan Pasal 266 KUHP? Untuk memberikan jawaban atas persoalan itu, saya membuat tulisan ini. Semoga berbagai pihak dapat membaca dan memakluminya.

Dari sudut pembuatnya, ada 2 akta otentik.

- Pertama, akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Umum (Openbaar ambtenaar). . Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Umum inilah yang dimaksud akta otentik dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa akta otentik adalah “akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berkuasa untuk itu di tempat mana akta itu dibuatnya”. Contohnya akta yang dibuat oleh seorang Notaris.

Tentang Notaris ini, diterangkan dalam Pasal 1 Peraturan Pejabat Notaris (PJN, Stb 1860 no. 3) yang merumuskan al: “Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpannya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”. Meskipun PJN, Stb 1860 No. 3 sudah dicabut, dan kini berlaku UU 30/2004 Tentang Jabatan Notaris, tetapi jiwa dari Pasal 266 KUHP adalah senada dengan jiwa dari Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) tersebut. Kini jiwa dari Pasal 1 PJN (Stb 1860 No. 3) tersebut masuk ke dalam Pasal 1 UU No. 30/2004 yang merumuskan “ Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam UU ini”.

- Kedua, akta otentik yang dibuat oleh pejabat lain (ambtenaren of personen). Pejabat ini misalnya: pejabat pencatat nikah di KUA atau pencatat nikah di Kantor Catatan Sipil, Panitera Pengadilan, Jurusita, termasuk penyidik yang membuat BAP Penyidikan.

Perbuatan dalam tindak pidana Pasal 266 KUHP ialah “menyuruh memasukkan”, sementara objek tindak pidananya adalah “keterangan palsu”. Siapa (subjek hukum) yang disuruh untuk memasukkan keterangan itu, tiada lain adalah Pejabat pembuat akta otentik tersebut, dan pejabat umum yang dimaksud Pasal 266 KUHP ini adalah pejabat umum seperti dalam Pasal 1868 BW jo Pasal 1 PJN jo Pasal 1 UU No. 30/2004 dan pejabat lain (meskipun pejabat lain ini tidak disebutkan dalam Pasal 1 UU No. 30/2004, tapi disebutkan dalam Pasal 1 PJN. Untuk Pejabat umum yang dimaksud dalam Pasal 1868 Jo 1 PJN jo Pasal 1 UU No. 30/2004 tidak ada persoalan, karena berdasarkan kedua pasal tersebut, nyatalah bahwa pejabat umum yang dimaksud fungsinya sekedar memasukkan/mencantumkan saja keterangan yang disampaiakan yang in casu diminta untuk dimuatnya dalam akta otentik yang dimaksudkan.

Sementara pejabat umum itu tidak mempunyai kewajiban hukum untuk membuktikan atau meminta buktikan mengenai kebenaran keterangan yang diminta masukkan ke dalam akta otentik yang dimaksudkan. Inilah ciri/sifat umumnya yang merupakan kriteria/syarat dari keterangan yang diminta masukan ke dalam akta otentik. Ciri atau syarat umum ini berlaku juga bagi keterangan yang disampaikan oleh peminta/ pemohon akta otentik pada pejabat lain yang bukan pejabat umum, seperti pejabat pencatat nikah di KUA atau di Kantor Catatan Sipil.

Oleh karena itulah, maka pejabat pembuat akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP, adalah pejabat umum pembuat akta otentik atau pejabat lain yang bertugas membuat akta otentik yang karena tugas jabatannya berdasarkan aturan umum, mereka tidak mempunyai kewajiban hukum untuk meminta buktikan atau membuktikan tentang kebenaran keterangan berdasarkan aturan umum yang disampaikan oleh orang yang meminta masukkan keterangan ke dalam akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP tersebut. Dengan kata lain pejabat pembuat akta otentik tersebut tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memberi pertimbangan hukum tentang benar ataukah tidak benar perihal keterangan yang disampaikan oleh pemohon/peminta untuk dimuat dalam akta otentik yang dimaksud. Hal ini berbeda dengan suatu putusan hakim.

Berdasarkan syarat umum inilah maka “hakim” bukanlah termasuk pejabat umum atau pejabat lain pembuat akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP, meskipun putusan hakim dapat dimasukkan ke dalam akta otentik ketika putusan atau penetapan itu mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itulah maka, surat gugatan atau permohonan kepada pengadilan, meskipun isinya (keterangan) yang dimuat dalam surat gugatan/permohonan tersebut palsu atau tidak benar – bertentangan dengan yang sebenarnya (bertentangan dengan kebenaran materiil), Pasal 266 KUHP tidak dapat diterapkan. Konsepsi tindak pidana pemalsuan surat menurut Pasal 266 KUHP tidak ditujukan bagi orang-orang yang mengajukan permintaan melalui gugatan atau permohonan kepada pengadilan. Jelas tho ??!!

Demikian.
Silakan mahasiswa dan dosen hukum pidana FH UB dan para pembaca lainnya untuk memberikan tanggapan. Dengan tanggapan semecam itu salah satu upaya dan sarana kita untuk mengembangkan lmu hukum.