Senin, 29 April 2013

MENGAPA PENCEMARAN TIDAK BISA DENGAN MENGIRIM E-MAIL?

PENERAPAN SERAMPANGAN PASAL 27 AYAT (3) UU ITE GAMPANG MEMAKAN KORBAN Sejak di undangkannya UU ITE, Pasal 27 Ayat (3) telah banyak memakan korban di Indonesia, yang pada umumnya karena perbuatan mengirimkan surat elektronik (E-mail). Seperti mengangkat kasus Ibu Prita Mulyasari yang mengirimkan pesan melalui E-mail menjadi sangat menghebohkan di negeri ini. Meskipun dalam putusan perkara perdata Nomor 300K/Pdt.2010 tanggal 29-September-2010, Mahkamah Agung menolak gugatan penggugat RS OMNI keseluruhannya. Namun dalam putusan perkara pidana - dipidana 6 bulan penjara dengan ketentuan pelaksanaan bersyarat selama waktu 1 tahun. Oleh sebab itulah, maka sesungguhnya perkara tersebut belum tuntas – masih menyisakan persoalan. Terdapat/timbulnya suatu keadaan pertentangan dua putusan merupakan suatu indikator adanya kesesatan hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaaimana maksud dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP. Satu-satu cara untuk mengakhirinya adalah dengan melalui putusan peninjauankembali (PK). Untuk adanya putusan PK, maka harus ada pihak yang mengajukan upaya hukum PK. Putusan yang satu digunakan sebagai bahan untuk mengajukan upaya PK terhadap putusan yang lainnya. Alasannya ada dua, ialah pertama, adanya conflict van rechspraak dan kedua, adanya kesesatan putusan hakim atau kekeliruan yang nyata. Tentu harus diiikuti oleh analisis hukum yang logic dan masuk akal. Persoalannya adalah, putusan yang manakah yang seharusnya digunakan sebagai bahan pengajuan upaya hukum PK tersebut? Tidak bisa asal ambil putusan mana yang dikehendaki, namun harus ada dasar pertimbangan hukumnya, ada dasar ratio dan logikanya, tidak boleh asal mau dan sekenanya. Setidak-tidaknya harus diperhatikan dan dipertimbangkan secara tepat perihal dua hal, ialah: (pertama) pada hubungan dan fungsi kedudukan putusan yang satu terhadap putusan yang lainnya. (Kedua) pada putusan mana yang dikeluarkan lebih dahulu atau mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan menggunakan dua ukuran tersebut, maka yang tepat dan benar untuk digunakan sebagai bahan untuk mengajukan upaya hukum PK adalah putusan MA perkara perdata No. 300K/Pdt/2010. Putusan tersebut digunakan melawan putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010 tanggal 30 Juni 2011. Alasan, adalah telah terdapatnya konflict van rechtspraak sekaligus terdapatnya kesesatan hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaimana maksud Pasal 263 Ayat (2) huruf b dan c KUIHAP dalam memutus perkara pidana tersebut. Bukti dari kedua alasan itu adalah putusan No. 300K/Pdt/2010 tersebut. Ukuran yang pertama telah dipenuhi, dengan ratio dan logika bahwa dalam kedua perkara tersebut terdapatnya persamaan tempat/letak sifat melawan hukumnya perbuatan yakni pada perbuatan Ibu Prita mengirimkan E-mail pada teman-temannya. Disanalah letak pertautan hubungan kedua perkara tersebut, yang mestinya mengenai hal dan keadaan pertautan hubungan itu harus memperoleh pertimbangan hukum yang sama dan amar putusan yang searah, namun jutru saling bertentangan. Oleh karena dalam putusan perkara perdatanya telah ditetapkan sebagai hukumnya, bahwa perbuatan tergugat Ibu Prita bukan perbuatan yang melawan hukum, sementara perbuatan melawan hukum Pasal 1365 BW adalah sebagai tempat letak sifat melawan hukumnya pencemaran, maka dengan demikian tidak terdapat sifat melawan hukumnya perbuatan (wederrechtelijkheid) Ibu Prita mengirimkan E-mail pada beberapa temannya itu. Tidaklah mungkin ada suatu tindak pidana yang tanpa ada atau mengandung sifat melawan hukum. Amar putusan yang pasti adalah pelepasan dari tuntutan hukum. Sementara itu, ukuran yang kedua pun juga telah dapat dipergunakan secara tepat, disebabkan putusan perkara pidana MA diputuskan belakangan setelah putusan perkara perdatanya mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan asas similia similibu dan tuntutan kepastian hukum secara bersyarat hakim terikat pada putusan yang sebelumnya. Syarat yang dimaksud yang in casu setidak-tidaknya adalah syarat dan kreteria mengenai sifat hubungan dan fungsi kedudukan putusan yang satu terhadap putusan yang lain seperti yang telah diertangkan sebelumnya. PASAL 27 (3) UU ITE ADALAH SMAAD SPECIALIS Perkataan “pencemaran” merupakan salah satu unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Oleh karena tidak ada keterangan apapun mengenai unsur tersebut di dalam UU ITE, maka untuk mencari pengertiannya harus mencari bandingannya ke dalam KUHP sebagai sumber induknya hukum pidana. Kualifikasi pencemaran terdapat dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP, maka arti pencemaran di dalam Pasal 27 Ayat (3) harus diartikan yang sama dengan pengertian pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP tersebut. Pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merupakan lex specialis dari pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Semua unsur pencemaran harus terbukti lebih dulu dalam hal membuktikan pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Tidak mungkin terjadi pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE sebagai lex specialis, apabila tidak terlebih dulu terbukti semua unsur pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Kalau dihubungkan dengan 6 kriteria yang menjadi ciri umum tindak pidana lex specilialis, ialah: 1. Dalam tindak pidana lex specialis harus mengandung dua bagian unsur. Bagian pertama, semua unsur pokok tindak pidana lex generalis, dan bagian kedua mengandung satu atau beberapa unsur khusus, yang tidak terdapat dalam lex generalisnya. Bagian kedua sebagai unsur khususnya yang menyebabkan tindak pidana tersebut merupakan lex specialis dari suatu lex generalis. Dicontohkan Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (3) UU ITE sebagai lex specialis dari Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Untuk terbukti adanya pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (3) UU ITE, telebih dulu harus terbukti adanya pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP sebagai lex generalisnya. Ditambah satu lagi unsur khususnya, ialah terbukti pula pencemaran tersebut dengan menggunakan sarana teknologi elektronik. 2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum dan bentuk khususnya harus sama. Dalam hal ini lex specialisnya adalah pencemaran, maka lex generalisnsnys juga harus pencemaran, bukan bentuk penghinaan yang lain. 3. Harus terdapat persamaan subjek hukum tindak pidana lex specialis dengan subjek hukum lex generalis. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Tidak boleh subjek hukum yang dianggap lex specialisnya korporasi, sementara lex generalisnya orang. 4. Harus terdapat persamaan objek tindak pidana antara lex specialis dengan objek lex generalis. Kalau objek tindak pidana lex generalis adalah nama baik dan kehormatan orang (pencemaran), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga harus nama baik dan kehormatan orang. 5. Harus ada persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam tindak pidana lex specialis dengan tindak pidana lex generalisnya. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormatan orang, maka lex specialisnya juga demikian. 6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas lex specialis derogat legi generali tidak berlaku. Karena dapat berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber yang lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah. Ciri-ciri lex specialis tersebut di atas berlaku secara kumulatif. Apabila dihubungkan dengan pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP, maka 6 ciri tersebut sudah terdapat pada pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Oleh karena itu tidak diragukan lagi, bahwa perkataan pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE harus diartikan yang sama dengan pengertian pencemaran menurut Pasal 310 Ayat (1) KUHP. ARTI PENGHINAAN DALAM PASAL 27 AYAT (3) Bagaiaman kita memberi arti perkataan “penghinaan” dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE? Memang ada persoalan dalam anak kalimat yang berbunyi ”yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran”. Dapat timbul berbagai pertanyaan, antara lain apakah sama arti penghinaan dengan pencemaran ataukah berbeda?. Secara yuridis formal tentu saja tidak mungkin sama. Karena pencemaran adalah salah satu bentuk dari 6 bentuk penghinaan (beleediging) dalam Bab XVI Buku II KUHP. Bukankah pencemaran sudah in clude dalam kualifikasi penghinaan? Mengapa disejarkan (disebut lagi) dalam anak kalimat “yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran” seolah-lah pencemaran bukan bagian penghinaan? Tidak jelas apa alasannya. Persoalan ini dapat menyangkut pada pembuatan surat dakwaan dan persoalan penerapan hukumnya oleh hakim. Harus diambil sikap. Salah satu sikap adalah, bahwa pencantuman kata pencemaran di dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah untuk menegaskan (stressing) saja. Artinya kalau dalam surat dakwaan tidak disebutkan jenis penghinaan lain, selain pencemaran, maka harus dianggap bahwa yang didakwakan jaksa adalah pencemaran dan bukan bentuk penghinaan yang lain. Dalam hal demikian, hanya pencemaraan saja yang wajib dibuktikan jaksa. Oleh karena itu, apabila yang dimaksud adalah salah satu saja dari bentuk-bentuk penghinaan selain pencemaran, maka dalam surat dakwaan wajib disebut secara tegas bentuk penghinaan mana yang dimaksudkan dalam hubungannnya dengan teknologi ITE sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut. Apabila tidak, maka yang dimaksud adalah hanya pencemaran saja. Karena pencemaran disebutkan secara tegas dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Apabila tidak disebutkan pasal KUHP lain (juncto) dalam surat dakwaan, maka yang harus dibuktikan ialah unsur-unsur pencemaran Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Bila disebutkan pasal KUHP lain dan bukan pencemaran, maka yang harus dibuktikan bukan pencemaran, malainkan bentuk penghinaan lain yang sesuai dengan bentuk penghinaan yang disebutkan dalam surat dakwaan. OBJEK PENCEMARAN DALAM PASAL 27 AYAT (3) Sebenarnya dalam konsepsi hukum pencemaran mengenai objek pencemaran, ada dua ialah nama baik dan kehormatan orang. Nama baik adalah rasa harga diri orang yang disandarkan pada kedudukan sosial dan sifat-sifat pribadi yang dimiliki seseorang. Sementara kehormatan adalah rasa harga diri seseorang yang didasarkan pada nilai-nilai yang baik (adab) dalam pergaulan sesama anggota masyarakat. Namun mengapa dalam pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE hanya disebutkan satu objek, ialah “nama baik” saja. Tidak jelas alasanya. Persoalan itu harus dianggap sebagai kelalain pembentuk UU saja. Jangan lagi dipersoalkan dalam praktik. Karena rasa malu pribadi orang itu hampir pasti selalu dalam hubungannya dengan nama baiknya yang sekaligus juga mernyangkut martabat kehormatannya. SIFAT MELAWAN HUKUMNYA PERBUATAN DALAM PENCEMARAN Sifat melawan hukumnya perbuatan menyerang nama baik atau kehormatan orang pada pencemaran terletak pada dua hal, ialah: (1) Secara subjektif, terletak pada “maksud yang terang (kenlijk doel) supaya diketahui umum”. (2) Secara objektif terletak pada “menuduhkan melakukan perbuatan tertentu” yang memalukan orang dan yang diketahui umum. Di dalam perbuatan menuduhkan perbuatan tertentu terdapat suatu informasi. Titik berat sifat melawan hukum objektifnya terletak pada isinya informasi tersbut “diketahui umum”. Sifat melawan hukum subjektif dan objektif tersebut juga harus terdapat pula pada pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, dan harus dibuktikan oleh Jaksa. Secara formal dalam rumusan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE terdapat unsur melawan hukum dengan menggunakan istilah “tanpa hak”. Istilah tersebut dicantumkan untuk memastikan bahwa si pembuat tidak berhak mentransmisikan informasi elektronik yang memuat pencemaran. Kiranya mencantumkan frasa “tanpa hak” tersebut hanya penting apabila dihubungkan dengan dasar peniadaan pidana disebabkan hapusnya sifat melawan hukumnya pencemaran yang diletakkan dalam keadaan “membela diri” [Pasal 310 Ayat (3) KUHP] saja, Kalau tidak dihubungkan seperti itu, maka pencantuman frasa “tanpa hak” disana – tidaklah mempunyai arti apa-apa. Karena sifat melawan hukumnya pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang sesungguhnya bukan disana letaknya. Namun secara subjektif dan objektif tetap terletak pada sumber induknya Pasal 310 Ayat (1) KUHP sebagaimana yang sudah diterangkan sebelumnya. Sifat melawan hukum objektifnya perbuatan mentransminsikan informasi elektronik yang sebenarnya adalah terletak pada isinya informasi yang mencemarkan orang lain (dan) yang diketahui umum. Tidaklah mungkin dilarang orang mentrtansmisikan informasi elektronik kalau isinya biasa-biasa saja, tidak mencemarkan nama baik atau kehormatan orang lain. Oleh karena itu sifat melawan hukumnya bisa hapus apabila ada alasan demi untuk membela diri dan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud dari Pasal 310 Ayat (3) KUHP. Bila ada salah satu alasan itu, maka si pembuat berhak untuk melakukannya. Kiranya demikian hubungan antara perkataan/unsur “tanpa hak” dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dengan hapusnya sifat melawan hukum karena untuk membela diri atau untuk kepentingan umum dalam Pasal 310 Ayat (3) KUHP. . Sifat melawan hukumnya perbuatan mentransmisikan informasi elektronik harus dibuktikan seperti membuktikan sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP, ialah dengan cara membuktikan: (1) Terdapat maksudnya yang terang agar diketahui umum. (2) Isinya informasi secara objektif menurut nilai-nilai masyarakat pada saat dan di tempat perbuatan dilakukan mengandung sifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang. Tidak cukup sekedar menurut perasaan orang pribadi saja. (3) Isi perbuatan yang dituduhkan telah diketahui umum. (4) Penyebab diketahui umumnya haruslah merupakan penyebab langsung oleh adanya perbuatan menyerang dengan menuduhkan perbuatan tertentu, baik lisan maupun dengan tulisan. Bila seorang menerima suatu E-mail dari orang lain, kemudian atas kehendaknya sendiri Dia mentransmisikan isi E-mail itu ke dalam facebokmya atau twitternya, maka sesungguhnya orang yang wajib bertanggungjawab adalah Dia sendiri. Karena Dialah sebagai penyebab langsung tersebarnya isi E-mail tersebut di dunia maya. Pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah lex specialis baik pencemaran lisan maupun tertulis. Alasannya pencemaran dengan tulisan Pasal 310 Ayat (2) KUHP juga mengandung semua unsur pencemaran lisan dalam ayat (1). Sementara sifat khusus tertulisnya dari pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, ialah terletak pada caranya ialah dengan menggunakan sarana teknologi ITE. Bila dengan memanfaatkan teknologi ITE tanpa tulisan misalnya dengan suara saja, maka termasuk lex specialis dari pencemaran lisan – Pasal 310 (1) KUHP. Jika dengan tulisan, misalnya dengan memuatnya dalam twitter atau facebook atau suatu blog, atau YouTube, maka merupakan lex specialis dari pencemaran tertulis – Pasal 310 Ayat (2) KUHP. SYARAT UMUM PENCEMARAN TIDAK TERDAPAT DALAM HAL MENGIRIMKAN E-MAIL Pencemaran dengan perbuatan menyebarkan (verspreiden), mempertunjukan (ten toon gestelden), menempelkan (aanslaan) tulisan – Pasal 310 Ayat (2) KUHP tidak dapat diartikan yang sama dengan pencemaran dengan mentransmisikan, mendisitribuskan dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Alasannya, adalah: 1. Terletak pada perbedaan; “sifat dan keadaan unsur diketahui umumnya”. Bagi pencemaran Pasal 310 Ayat (2) KUHP, pada azasnya keadaan diketahui umum sudah ada/terjadi pada saat 3 perbuatan itu diwujudkan. Sementara keadaan diketahui umum menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE baru terjadi/ada setelah perbuatan mentransmisikan informasi diwujudkan. 2. Pada dasarnya menyebarkan menurut arti yang sebenarnya dari Pasal 310 Ayat (2) KUHP., adalah membagi-bagikan tulisan yang cukup banyak pada umum ; mempertunjukkan adalah memperlihatkan tulisan pada umum; dan menempelkan adalah melekatkan tulisan di atas benda tertentu misalnya kertas pada benda yang lain. Jadi berbeda pengertiannya dengan mentrasmisikan, mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. 3. Orang mengirimkan E-mail tidak tepat untuk disamartikan dengan perbuatan menyebarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan di muka umum sebagaimana maksud Pasal 310 Ayat (2) KUHP, yang sebenarnya juga menjadi unsur dari Pasal 27 (3) UU ITE. Alasannya, ialah: a. bahwa umum yang dimaksud frasa “dimuka umum” (openlijk) dalam Pasal 310 Ayat (2) KUHP adalah sebagai orang-orang banyak - siapa saja – tidak menunjuk pada orang-orang tertentu, ialah setiap orang bisa langsung mengetahui isinya tulisan tanpa harus melalui perbuatan lain/usaha lain terlebih dulu agar dapatnya mengetahui isinya tulisan tersebut. Sementara itu, orang yang dimaksud dari pengiriman suatu E-mail, hanyalah orang-orang tertentu, bukan orang pada umumnya atau bukan semua orang, melainkan terbatas hanya bagi orang-orang tertentu saja yang dituju si pembuat. Jadi hal, sifat dan keadaan yang ada pada perbuatan mengirim suatu E-mail yang demikian, tidak terdapat pada perbuatan mentrasmisikan informasi elektronik melalui twitter, facebook, blog, yoetube, kompasiana dll. b. Disamping itu juga, untuk mengetahui isinya suatu E-mail orang yang dituju masih harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu menurut dan dengan cara-cara atau metode tertentu dengan melalui sarana/alat elektronik tertentu. Tidak secara langsung sebagaimana dalam melakukan perbuatan menyebarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum. c. Selain itu orang yang dituju oleh suatu E-mail adalah orang yang terbatas, bukan semua orang. Oleh karena itu tidak bersesuaian dengan “sifat umum” dari semua bentuk penghinaan. Hal ini sesuai dan sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Simons yang mengatakan, bahwa mengirimkan tulisan pada orang yang terbatas – tidak termasuk penghinaan. Pendapat ini sejalan dengan arres Hoge Raad tanggal 1-12-1899 yang terjemahan bebasnya: “meskipun menuduhkan suatu perbuatan yang benar, apabila bukan untuk kepentingan umum, melainkan dengan maksud yang sebenarnya adalah untuk menghina orang, maka perbuatan itu adalah juga pencemaran”. Pertimbangan hukum arrest HR ini harus dimaknai dalam hubungannya dengan maksud yang terang (kenlijk doel) agar isinya perbuatan yang dituduhkan diketahui umum. Maksud atau kehendaknya begitu kuatnya untuk memalukan orang, meskipun isi informasi benar, tuduhan tersebut juga bisa termasuk pencemaran. Sifat semacam ini sulit terdapat dalam hal perbuatan mengirimkan suatu E-mail pada orang lain. 4. Mencantumkan perkataan terang (kenlijk) dalam frasa “maksud terang agar diketahui umum” [Pasal 310 (1) KUHP], harus diartikan maksud yang sangat kuat untuk menghinakan orang, maksud yang sangat kuat itu diperlihatkan secara jelas/terang dari caranya menuduh melakukan perbuatan tertentu. Jadi bukan sekedar kesadaran dengan menuduhkan perbuatan teretentu – bahwa orang lain akan menjadi malu. Maksud terang sebagai maksud yang sangat kuat dan merupakan maksud satu-satunya untuk menghinakan orang, tidak ada maksud yang lain yang patut. Kalau ada maksud lain yang patut, akibat terhinanya itu sebagai akibat yang tidak dapat dihindari demi untuk mencapai tujuan lain yang patut tersebut, maka disini tidak ada maksud terang agar diketahui umum. Dan ini bukan pencemaran. Disinilah letaknya filosofi alasan terpaksa untuk membela diri dan untuk kepentingan umum sebagai dasar peniadaan/hapusnya sifat melawan hukum perbuatan menurut Pasal 310 Ayat (3) KUHP. Maksud terang agar diketahui umum dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP yang artinya seperti tersebut di atas, harus juga terdapat/ada pada pencemaran sebagaimana dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Dan maksud yang demikian sukar pada peristiwa orang mengirimkan E-mail, oleh karena sifat keadaan umum yang dituju oleh kesengajaan dalam hal mengirimkan E-mail tidak bisa sama dengan sifat keadaan umum yang dituju oleh kesengajaan menuduhkan perbuatan tertentu menurut Pasal 310 Ayat (1) (2) KUHP. ARTI MEMBELA DIRI Tiadanya/hapusnya sifat melawan hukum perbuatan pada pencemaran – Pasal 310 Ayat (3) KUHP berlandaskan filosofi, ialah adanya serangan terhadap suatu kepentingan hukum seseorang yang dilanggar oleh perbuatan orang lain secara melawan hukum.. Orang yang dilanggar kepentingan hukumnya merasa perlu mempertahankan atau mengembalikan kepentingan hukumnya yang telah dilanggr oleh orang lain tersebut. Sebab apabila tidak melakukan pertahanan atau pengembalian kepentingan hukumnya yang telah dilanggar tadi, dia merasakan penderitaan secara batiniah. Untuk menghilangkan atau mengurangi penderitaan batiniah itulah, maka orang itu terpaksa melakukan perbuatan yang dapat memalukan orang yang telah melanggar kepentingan hukumnya tadi. Adanya penyerangan terhadap suatu kepentingan hukum oleh orang lain perlu dibuktikan dalam rangka untuk menghapuskan sifat melawan hukumnya pencemaran dengan alasan atau karena membela diri sebagai maksud Pasal 310 Ayat (3) KUHP. Selain itu isi perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela diri tersebut, merupakan perbuatan yang benar dan wajar menurut ukuran nilai-nilai masyarakat pada umumnya. Syarat adanya membela diri menurut Pasal 310 Ayat (3) KUHP, ialah terlebih dulu adanya penyerangan terhadap kepentingan hukum orang lain secara melawan hukum. Orang yang diserang kepentingan hukumnya merasa sangat perlu mempertahan atau mengembalikan akibat kepentingan hukumnya yang telah dilanggar tadi, sebab jika tidak ia merasakan penderitaan batin, seperti kesedihan, ketidakpuasan, amarah dan sebagainya yang menyiksa batin orang. Untuk itu maka ia melakukan reaksi balik, yang wujudnya bisa mencemarkan nama baik orang yang menyerang kepentingan hukumnya tadi. Kepentingan hukum yang dilanggar adalah segala kepentingan hukum yang menyangkut rasa ketentraman dan kedamaian hidup seseorang, misalnya dalam bidang harga diri mengenai nama baik dan rasa kesusilaan. Misalnya seorang ibu diperlakukan tidak senonoh – seperti memegang bagian tubuh yang terlarang oleh seorang lelaki. Disini terjadi pelanggaran terhadap kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan terhadap si ibu. Perbuatan lelaki itu membawa akibat terganggunya kedamaian dan ketenangan rasa kesusilaan ibu tersebut, maka dalam batas-batas yang wajar dibenarkan jika ibu bereaksi yang reaksi mana bisa memalukan si lelaki itu sendiri. Dalam hubungan dengan Pasal 310 ayat (3) KUHP, reaksi itu adalah menuduhkan perbuatan tertentu pada lelaki tadi. Arti membela diri sebagaimana tersebut di atas berlaku juga dalam hal membela diri dalam hal pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. KESIMPULAN 1. Sebagai ciri umum dari tindak pidana lex specialis, ialah terdapat unsur-unsur dan sifat yang sama dengan unsur-unsur dan sifat tindak pidana lex generalisnya. 2. Unsur dan sifat umumnya pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) dan (2) sebagai lex generalis dari pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah terletak pada: • Adanya perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan orang; • Dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu; • Adanya maksud terang uintuk diketehui umum; • Isi tuduhan telah diketahui umum; • Wujud objeknya adalah, suara/lisan (ayat 2) dan atau berupa tulisan (ayat 3); • Sifat melawan hukumnya perbuatan, secara subjektif terdapat pada maksud terang agar diketahui umum. Secara objektif terdapat pada isinya tuduhan yang mempermalukan orang yang diketahui umum. 3. Unsur dan sifat khusus dari yang ada dalam pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah:caranya menyerang kehormatan dan nama baik dengan menggunakan sarana dan teknologi ITE. 4. Mengirimkan e-mail tidak merupakan pencemaran, alasannya adalah: • Karena mengirimkan e-mail tidak memenuhi syarat mengenai sifat unsur diketahui umumnya. Pencemaran terjadi jika isi tuduhan ditujukan pada umum dan kemudian diketahui umum. Sementara mengirimkan e-mail hanya ditujukan pada pribadi orang tertentu, bukan pada umum, dan oleh karenanya tidak diketahui umum. • Untuk mengetahui isinya perbuatan yang dituduhkan in casu yang memalukan orang lain, pada asasnya hal dan keadaan diketahui umumnya telah timbul pada saat perbuatan dilakukan, dan tidak diperlukan melakukan upaya-upaya khusus agar dapat mengetahui isinya perbuatan yang dituduhkan tersebut. Sementara syarat yang demikian tidak terdapat dalam hal orang mengirimkan e-mail. Karena untuk mengetahui isinya e-mail, orang yang dituju masih perlu melakukan perbuatan tertentu lainnya, dengan cara-cara dan methode tertentu melalui perangkat atau alat tertentu pula. Malang, 20-5-2012. KEPUSTAKAAN 1. Adami Chazawi, 2009. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit PMM – ITS Press, Surabaya. 2. ------------, 2011. Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang. 3. Eddy OS Hiariej, 2002. Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Jakarta. 4. Lamintang,1990. Delik-delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Kepatutan, Penerbit Mandar Maju, Bandung.. 5. Satrijo, J., 2005. Gugatgan Perdata Atas dasar Penghinaan Sebagai Tindakan Melawan Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Jakarta 6. Soenarto Soerodibroto, 1994. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprodensi MA dan HR Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. 7. S.R.Sianturi, 1989. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit ALUMNI AHAEM – PETEHAEM, Jakarta

Jumat, 26 April 2013

MUNGKINKAH PUTUSAN SUSNO DIEKSEKUSI?

(Semula artikel ini dimuat di Kompasiana. Namun kali ini oleh penulis disempurnakan, dengan maksud untuk memperkuat landasan argumentasi penulis. Kesimpulannya tetap sama). Saya tidak memiliki putusan MA kasus P. Susno. Apa yang saya ketahui didapat dari media cetak dan elektronik. Polemik mengenai eksekusi atas P. Susno ini muncul ke permukaan, disebabkan P. Susno membangkang untuk melaksanakan putusan MA terhadap dirinya, dan kelihatan secara terang benderang peristiwa gagalnya Kejaksaan Agung hari kemaren untuk mengeksekusi secara paksa. Secara amat singkat, hal dan keadaan putusan pengadilan itu sebagai berikut. • Putusan PN Jaksel bernomor 1260/pid.B/2010PN.Jkt.Sel pada 24 Maret 2011, amarnya menyatakan “Susno terbukti melakukan tindak pidana korupsi, dan oleh karena itu dijatuhkan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider kurungan penjara 6 bulan. • Susno pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. • Pengadilan Tinggi dalam amar putusannyatanggal 9 Nopember 2011 “menolak permohonan banding dan menguatkan putusan PN Jakarta Selatan. Artinya Susno tetap dijatuhi pidana penjara 3 tahun 6 bulan. • P. Susno kemudian mengajukan permintaan pemeriksaan di tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Jaksa juga tidak mau kalah, juga ikut-ikutan mengajukan permohonan kasasi. Pada putusan kasasi MA, pada pokoknya “Menolak Permohonan Kasasi”. Dengan ditolaknya permohonan kasasi, maka demi hukum putusan itu kembali pada putusan semula yang dilawan dengan kasasi yang in casu putusan Pengadilan Tinggi yang in casu putusan PN Jakarta Selatan, yang in casu amarnya menghukum P. Susno dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan. Persoalan, oleh karena pihak P Susno membangkang untuk dieksekusi, dengan alasan bahwa putusan P. Susno itu batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat formil dari suatu putusan pengadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k jo ayat (2) KUHAP. Pasal 197 ayat (1) huruf k bunyi lengkapnya adalah (Surat putusan pemidanaan memuat) “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Sementara ayat (2) menyatakan “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,h, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Oleh sebab amar putusan kasasi MA tadi tidak memuat perintah sebagaimana termuat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k perihal keharusan menybut/perintah apakah “tetap ditahan, atau perintah segera ditahan, atau dibebaskan”. Memang bunyi huruf k jo ayat (2) bisa menimbulkan multi tafsir, disebabkan tidak cukup ada keterangan lebih lanjut tentang setidaknya: “pada putusan yang bagaimana, dalam tingkat mana dan dengan syarat-syarat amar putusan yang bagaimana yang diharuskan menyebut/memerintahkan salah satu diantara tiga amar dalam Pasal 197 ayat 1 huruf k tersebut”. Oleh karena itu bisa dimaklumi, kalau P. Susno membangkang, dengan alasan dalam putusan kasasi amarnya hanya “menolak” permohonan banding, tanpa disertai amar yang isinya memuat perintah mengenai salah satu diantara tiga perintah tersebut. P Susno menafsirkan “perintah supaya terdakw ditahan” disamakan artinya dengan “perintah supaya terdakwa dieksekusi”. Karena tidak ada perintah eksekusi maka beliau menolak untuk dieksekusi. Menurut pihak P. Susno putusan MA tersebut batal demi hukum karena tidak memuat salah satu perintah dari ayat (1) huruf k tersebut. Karena batal demi hukum [begitu bunyi ayat (2)], maka putusan yang batal demi hukum tentu tidak bisa dieksekusi. Bertul, putusan yang batal demi hukum tidak bisa dieksuksi. Sebaliknya menurut Kejaksaan Agung, pada putusan kasasi MA yang menolak permintaan kasasi terhadap putusan semula yang menghukum, tidak perlu lagi menyebut salah satu perintah dari 3 perintah yang tertulis dalam pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut. Penulis belum mengetahui argumentasi/alasan Kejaksaan Agung menyimpulkan demikian. Pertanyaannya, tafsir mana yang lebih baik diantara P Susno dengan Kejaksaan Agung? Selain menafsir menurut cara P. Susno, atau menurut Kejaksaan Agung, apakah tidak ada tafsir dengan cara lain dengan dasar/alasan yang lain? Misalnya dengan menggunakan cara menafsir gramatikal (bahasa) atau logis (logika)? Menurut hemat penulis, jawabnya adalah tergantung dari dua penjelasan/analisis hukum dari dua pertanyaan: 1. Apakah pengertian sebenarnya (substantif) dari frasa: a. “perintah supaya terdakwa ditahan” (khususnya arti “ditahan”); b. “tetap dalam tahanan (khususnya arti “dalam tahan”); atau c. “dibebaskan” (khususnya arti kata “bebas”). 2. Apakah dalam putusan kasasi MA yang amarnya menolak permohonan kasasi atas putusan yang semula menghukum, masih diperlukan salah satu perintah seperti yang tertulis di Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut? 1. PENGERTTIAN TIGA FRASA a. Perintah supaya terdakwa ditahan. Menurut arti yang sebenarnya (yuridis dan gramatical) perkataan “ditahan” (jika menggunakan kata aktif “ditahan”), adalah pengekangan kebebasan terhadap tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang (KUHAP). Dari ketentuan KUHAP ini. Dapat disimpulkan, adalah: • Jelas amar ini tidak ada hubungannya dengan eksekusi, dan bukan amar yang memerintahkan eksekusi, melainkan sekedar amar perintah untuk ditahan pada saat putusan penghukuman dijatuhkan dimana ketika itu terdakwa tidak berada dalam tahanan. Jadi, merupakan amar dalam ruang lingklup masalah penahanan. • Amar perintah supaya terdakwa ditahan, adalah amar putusan yang pada saat tersangka dan/atau terdakwa selama dalam persidangan tidak berada dalam status ditahan. Amar ini hanya mungkin dijatuhkan hakim bersama dengan amar yang isinya menghukum terdakwa, dan tidak mungkin bersamaan dengan amar pembebasan (vrijspraak) atau pelepasan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Karena kedua amar terakhir ini justru menghalang-halangi untuk ditetapkannya amar perintah “supaya terdakwa ditahan”. b. Perintah Terdakwa Tetap Dalam Tahanan Amar perintah ini dijatuhkan: • Apabila pada saat vonis dijatuhkan terdakwa tidak sedang dalam status ditahan. Tidak ditahan, bisa karena sejak penyidikan dan penuntutan dan persidangan tidak ditahan, atau selama proses sidang ditangguhkan penahananya berdasarkan penetapan hakim, atau lepas demi hukum (bukan bebas demi hukum, karena pengertian bebas dapat mengacaukan arti yang sebenanrnya dari istilah “ vrijspraak”). • Amar perintah ini juga dijatuhkan harus dengan amar menghukum, dan tidak boleh dijatuhkan bersama amar pembebasan atau pelepasan dari tuntutan hukum; • Amar perintah ini juga tidak ada hubungannya dengan perintah eksekusi atas putusan itu. Jika ada amar perintah untuk eksekusi yang dijatuhkan hakim, maka putusan itu batal demi hukum. Karena pengertian “perintah supaya ditahan” atau tetap ditahan” memang bukan perintah eksekutorial. Tapi perintah dalam ruang lingkup penahanan. b. Perintah (Terdakwa) Dibebaskan Amar perintah (terdakwa) dibebaskan hanya dapat dilakukan oleh hakim, • Bila vonis akhir amarnya berisi pembebasan (vrijspraak) atau pelepasan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) dan pada saat vonis dibacakan/dijatuhkan terdakwa berada di dalam tahanan. • Pertintah dibebaskan ini tidak mungkin bisa dilakukan bersama-sama amar penghukuman (veroordeling). Karena kedua amar itu saling bertentangan, yang satu melepaskan dari tahanan (disalah tuliskan oleh KUHAP dengan dibebaskan, mestinya dilepaskan dari tahanan), sedangkan perintah dibebaskan adalah melepaskan terdakwa yang sedang ditahan pada saat putusan dijatuhkan. • Perintah “dibebaskan” tidak sama artinya dengan amar pembebasan (vrijspraak). KUHAP membuat istilah yang tidak tepat, yang istilah “dibebaskan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, bukan maksudnya amar pembebasan (“vrispraak”), atau bukan amar terhadap pokok perkara atau bukan amar terhadap / mengenai perbuatan yang didawkan atau bukan amar yang menyangkut vonis akhir, melainkan sekedar mengenai status penahanan terdakwa selama dalam proses persidangan. • Amar dibebaskan ini juga tidak ada hubungannya dengan eksekusi. Sebab eksekusi adalah menyangkut pelaksanaan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan hal itu tidak wajib disebutkan dalam amar putusan hakim pidana, meskipun putusan itu menghukum. Kesimpulan mengenai tiga amar perintah tadi adalah: • Amar tiga perintah dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut, bukan amar terhadap perbuatan terdakwa yang didakwkan, bukan amar putusan akhir. Sesuatu hal dan keadaan yang berbeda, berbeda lapangannya atau berbeda ruang lingkupnya. Tidak ada ada hubungannya dengan dapat ataukah tidak dapatnya putusan tersebut dieksekusi. Oleh karena itu tidak boleh dikacau dan dicampur adukkan dengan amar putusan menghukum (veroordeling) atau membebaskan (onsalag van alle rechtsvervolging). 2. AMAR PUTUSAN MENOLAK PERMINTAAN KASASI ATAS PUTUSAN YANG SEMULA MENGHUKUM Putusan kasasi MA atas P Susno adalah berisi “menolak” permohonan permohonan kasasi. Apakah artinya putusan semacam itu? Sebelumnya telah dikemukakan, bahwa amar putusan yang dimaksud Pasal 197 ayat (1) huruf k itu: • Karena keadaan dan sifatnya yang demikian itu, maka dipastikan amar-amar perintah terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan tersebut merupakan amar putusan pertama kali yang menghukum, dan amar tetap ditahan bisa pada putusan banding apabila sebelumnya sudah ditahan. Sebaliknya untuk amar membebaskan, pastilah pada saat putusan, terdakwa ditahan. Berarti kalau putusan tingkat pertama amar menghukum, maka dalam amar putusan wajib menentukan salah satu diantara 3 perintah Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut. Pada umumnya putusan yang memuat dua amar ini adalah pada putusan pengadilan tingkat pertama (PN) dan kadang-kadang pada tingkat kedua (PT). • Ketika diajukan permintaan banding (hanya terhadap putusan yang menghkum saja, karena putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum tidak dapat dibanding ), terjadi beberapa kemungkinan, ialah: a. Kemungkinan pertama, kalau ditingkat banding tidak ada amar “ “memeriksa kembali”, maka amar berikutnya hanya tinggal menguatkan (kalau semula sudah menghukum), atau membatalkan, dengan memeriksa dan memutus sendiri. Ketika amar putusan banding itu (tidak membatalkan) melainkan menolak banding dan menguatkan putusan semula, maka demi hukum putusan yang berlaku dan bisa dieksekusi adalah putusan yang menghukum pertama yang dilawan banding tadi. Sama seperti putusan P Susno. Kalau putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka bisa dieksuksi, meskipun putusan yang menolak permohonan banding tadi tidak disertai perintah supaya terdakwa ditahan. Logikanya adalah: • Pertama, putusan yang menolak banding, demi hukum putusan yang berlaku adalah putusan tingkat pertama yang dibanding. • Kedua, apabila putusan banding itu mempunyai kekuatan hukum tetap, maka putusan tingkat pertama yang dieksekusi. • Ketiga, putusan PN (tingkat pertama) pastilah sudah menentukan salah satu diantara 3 amar itu (khususnya amar pertama dan kedua). Tidak mungkin putusan tingkat pertama yang menghukum tanpa disertai amar “perintah terdakwa ditahan” atau amar tetap dalam tahanan. Contoh hipotetis berikut ini. Terdakwa A ditingkat pertama dipidana, karena masa penahanan habis ketika proses persidangan berjalan, - terdakwa dilepaskan dari tahanan, dalam keadaan yang demikian maka tidak mungkin dalam putusan, amarnya menyatakan salah satu diantara 3 tadi. Artinya putusan itu tidak akan mencantumkan salah satu diantara amar itu. Kalau putusan ditingkat banding tidak mencantumkan salah satu dari perintah tersebut, kemudian Terdakwa dan Jaksa tidak menentukan sikap terhadap putusan itu dalam waktu 7 hari setelah menerima salinan extract vonis putusan, putusan itu menjadi berkekeuatan hukum tetap. Pertanyaannya: apakah terhadap putusan banding yang amarnya menolak banding (tanpa menyebutkan terdakwa ditahan atau tetap ditahan) tadi tidak bisa dieksekusi? Jawabannya tentu bisa dieksekusi sesuai dengan bunyi amar putusan yang menghukum tingkat pertama tadi. Bukankah contoh kasus hipotetis itu sama dengan putusan kasasi kasus P Suno? Putusan MA menolak permohonan kasasi, tanpa disertai dengan salah satu diantara (terutama amar memerintahkan supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan seperti yng disebut dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k. Putusan MA perkara P. Susno yang menolak kasasi, memang tidak memungkinkan untuk menyebut amar perintah supaya ditahan. Mengapa? Jawabnya adalah: • Pertama, karena putusan yang menolak permohanan kasasi itu, sebelum putusan dijatuhkan MA, P Susno sudah berada di luar tahanan karena dilepaskan tahananya demi hukum – hak Negara untuk menahan telah habis waktunya. • Untuk menjatuhkan amar dibebaskan (maksudnya dilepaskan dari tahanan) tidak mungkin, karena sebelumnya P Susno sudah dihukum, sementara MA menolak permintaan kasasi, artinya putusan semula yang dikasasi demi hukum berkekuatan hukum tetap. • Maksud dan arti dari 3 (tiga) amar dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k itu tiada lain adalah dalam ruang lingkup penahanan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perintah eksekusi putusan. Berada di luar masalah eksekusi. Perintah supaya “terdakwa ditahan” bukan berupa dan tidak sama artinya dengan perintah eksekusi. • Dalam putusan perkara pidana tidak mengenal dengan perintah eksekusi (eksekutorial) seperti halnya perkara perdata. Adapun putusan MK tanggal 22 Nopember 2012 terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf k apapun bunyinya tidaklah mempunyai pengaruh apapun terhadap putusan MA terhadap P Susno, karena putusan MK tersebut dikeluarkan setelah putusan P Susno. Tidak berlaku terhadap putusan P Susno yang sudah diputus lebih dulu, jadi putusan MK hanya berlaku ke depan dan tidak kebelakang (berlaku surut). KESIMPULAN. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam persoalan putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi perkara P Susno, dapat disimpulkan sebagai berikut: • Tiga amar yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k adalah semata-mata amar yang menyangkut penahanan saja, tidak menyangkut atau dalam ruang lingkup eksekusi. Amar perintah supaya terdakwa ditahan tidak sama artinya dengan perintah eksekusi. • Putusan MA yang amarnya menolak kasasi atas putusan semula menghukum, dibenarkan tidak memuat salah satu perintah :segera ditahan, dibebaskan dari tahanan, atau tetap ditahan. • Putusan kasasi MA yang menolak permohonan kasasi merupakan putusan yang memberlakukan kembali putusan PT DKI jo putusan PN Jakarta Selatan. • Putusan menghukum PT DKI jo putusan PN Jaksel perkara P Susno bisa dieksekusi. Semoga pendapat ini merupakan pendapat yang sebaik-baiknya. Malang, 26 April 2013

Kamis, 11 April 2013

TINDAK PIDANA PERS DALAM KUHP BUKAN LEX SPECIALIS DALAM UU PERS

Arti Tindak Pidana Pers. Undang-undang tidak mengenal istilah tindak pidana pers. Istilah itu dikenal dalam masyarakat, merupakan istilah sosial. Suatu istilah yang menggambarkan sekelompok tindak pidana yang mengandung ciri-ciri: • Dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan. wujudnya bisa bermacam-macam bergantung dan berhubungan dengan unsur perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana tertentu yang bersangkutan. Misalnya menyerang kehormatan atau nama baik dengan tulisan (Pasal 310 KUHP); menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan (Pasal 144, 155, 157 KUHP). • Objek yang dipublikasikan adalah berita/informasi, atau mengenai buah pikiran tertentu. • Caranya atau sarananya dengan menggunakan tulisan/barang cetakan. • Di dalam berita/informasi mengandung sifat melawan hukum. Karena isinya melanggar kepentingan hukum orang pribadi atau masyarakat termasuk Negara yang dilindungi hukum. Agar dapat dipidananya tindak pidana pers, selain perlu memenuhi unsur tersebut juga harus adanya kesengajaan, yang ditujukan baik terhadap perbuatnnya, sifat melawan hukumnya perbuatan maupun sifat melawan hukum mengenai isi beritanya. Kesengajaan harus dibuktikan ataukah tidak, bergantung dicantumkan ataukah tidak di dalam rumusan tindak pidana in concreto. Unsur sengaja selalu harus dianggap ada pada setiap kejahatan, kecuali jika dinyatakan secara expressis verbis kulpa. Jika dicantumkan wajib dibuktikan, sebaliknya jika tidak – tidak perlu dibuktikan. Dengan terbuktinya perbuatan unsur sengaja dianggap terbukti pula. Sebaliknya kalau yang terbukti ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) terhadap unsur tertentu, tidak boleh dipidana. Ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) merupakan alasan penghapus kesalahan. Tindak pidana bentuk apapun, baru dapat dimasukkan ke dalam kelompok tindak pidana pers, apabila memenuhi ciri-ciri tersebut. Tindak pidana yang memenuhi ciri itu, terdapat pada bermacam-macam tindak pidana tertentu. Misalnya dalam bentuk-bentuk penghinaan, penghasutan, pornografi, menyiarkan berita bohong, pembocoran rahasia Negara, dll. Arti Tindak Pidana Lex Specialis Dalam doktrin yang dimaksud tindak pidana lex sepecialis adalah tindak pidana yang disamping mengandung unsur-unsur pokok dalam tindak pidana umum (lex generalis), juga mengandung satu atau lebih unsur khusus. Pembedaan tindak pidana umum dan khusus berhubungan dengan cara pembentuk undang-undang (KUHP) dalam merumuskan dan membedakan berat ringannya tindak pidana yang sejenis. Pembentuk undang-undang membedakan antara tindak pidana bentuk pokok (umum/standar) dan bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan dalam jenis yang sama. Misalnya pada pencurian. Bentuk standarnya dalam Pasal 362, bentuk yang lebih berat dalam Pasal 363 dan 365. Sementara bentuk yang lebih ringan dalam Pasal 364. Tidak semua jenis tindak pidana bisa ditentukan bentuk standarnya, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan. Maksud membedakan bentuk standar, yang lebih berat dan yang lebih ringan adalah dalam rangka menentukan berat ringan beban pertanggungjawaban pidananya. Berat ataukah ringan bergantung sifat dari unsur khususnya. Unsur khusus ini yang menentukan keberlakuan bentuk tindak pidananya, beserta berat ringan pertanggungjawaban pidananya. Seperti ditentukan dalam Pasal 63 Ayat (2) KUHP. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Apa yang dimaksud dengan “perbuatan” (feit) disitu, haruslah diartikan secara luas, bukan arti sempit sebagai perbuatan jasmani. Harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana. Singkatnya perbuatan sebagai tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam tindak pidana in concreto. Dari keterangan singkat tersebut di atas, maka istilah lex specialis haruslah diartikan sebagai tindak pidana specialis, bukan undang-undang specialis. Jelas dari bunyi Pasal 63 Ayat (2) KUHP, sebagai dasar hukum keberlakuan lex specialis. Ayat (2) pasal itu dengan tegas menyebutkan “suatu perbuatan” (een feit) bukan suatu undang-undang (een wet). Suatu perbuatan yang harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana alias tindak pidana. Berbeda halnya dengan UU ITE (No. 11/2008), terdapat beberapa tindak pidana padanan dari tindak pidana tertentu dalam KUHP. Misalnya pencemaran (KUHP), ada padanannya di dalam UU ITE, yaitu jika dilakukan dengan mendistribusikan atau mentransmisikan tulisan yang isinya pencemaran melalui sarana teknologi ITE, maka bukan pencemaran dalam KUHP yang diterapkan, melainkan pencemaran di dalam UU ITE. Sementara UU Pers sama sekali tidak ditemukan keadaan seperti UU ITE. Apa dasar untuk menentukan tindak pidana masuk pada lex specialis dari suatu lex generalis? Dasarnya adalah: 1. Di atas telah disampaikan ciri/indikator umumnya ialah, dalam tindak pidana bentuk khusus (lex specialis) terdapat semua unsur tindak pidana bentuk umumnya (lex generalis) ditambah satu atau lebih unsur-unsur khusus. Unsur khusus itulah yang menyebabkan diterapkannya lex specialis. 2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum (lex generalis) dan bentuk khususnya (lex specialis) harus sama. Misalnya lex generalis penghinaan, lex spesialisnya juga penghinaan. Jika lex generalisnya pornografi, maka lex specialisnya juga harus mengenai hal pornografi. 3. Subjek hukum tindak pidana juga dapat menentukan. Dalam tindak pidana bentuk umum (orang ataukah badan) harus sama dengan subjek hukum tindak pidana dalam bentuk khususnya. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Bukan merupakan lex specialis apabila subjek hukum yang dianggap lex generalis adalah orang sementara subjek hukum yang dianggap lex specialis adalah badan. Misalnya pers yang menyiarkan pornografi tidak bisa melanggar Pasal 18 (2) jo Pasal 5 (1) UU Pers. Pasal 18 (1) bukan lex specialis dari Pasal 282 KUHP. Karena subjek hukum pornografi menurut KUHP adalah orang. Sementara subjek hukum Pasal 18 (1) UU Pers adalah perusahaan pers. 4. Objek tindak pidana lex specialisnya harus sama dengan objek hukum lex generalisnya. Kalau objek lex generalisnya adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan orang. Kalau objek lex generalis adalah tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, maka lex specialisnya juga merupakan tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan.. 5. Kepentingan hukum yang hendak dilindungi juga harus sama. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormtan, maka lex specialisnya juga demikian. 6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas ini tidak berlaku. Karena berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah. Tindak Pers dal UU Pers Bukan Lex Specialis dari KUHP Ada keberatan yang cukup beralasan untuk menolak memberlakukan UU Pers terhadap tindak pidana pers yang kebetulan bersesuaian dengan tindak pidana dalam KUHP, misalnya bentuk-bentuk penghinaan. Dari indikator lex specialis seperti tersebut di atas, bertambah jelas bahwa jenis-jenis tindak pers dalam KUHP, sukar untuk bisa ditempatkan sebagai lex specialis dari kaca mata UU Pers. Dari ciri-ciri lex specialis tersebut di atas, dapatlah ditetapkan alasan-alasan kesukaran menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers (seperti bentuk-bentuk penghinaan dengan menggunakan pers). Sukar mencari padanan tindak pidana pers jenis-jenis tertentu di dalam KUHP di dalam UU Pers. Dari sinilah pula salah satu alasan banyak ahli hukum untuk menolak pemberlakuan UU Pers terhadap kasus-kasus tindak pidana pers, seperti jenis-jenis penghinaan. Karena sulit untuk mencari padanannya. Bagaimana caranya memberlakukan UU Pers terhadap kasus penghinaan misalnya pencemaran. Tidak dapat ditemukan jalannya. Di dalam UU Pers tidak terdapat tindak pidana padanannya. Padahal untuk dinyatakan sebagai tindak pidana lex specialis di luar KUHP, haruslah ada tindak pidana padanannya. Andaikata bentuk-bentuk penghinaan (KUHP), misalnya pencemaran [Pasal 310 Ayat (2)] hendak dipaksakan sebagai lex specialis – masuk dalam Pasal 18 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (1) UU Pers, sehingga UU Perslah diterapkan, kesukarannya adalah: • Pertama, mungkinkah tindak pidana pencemaran, yang unsur-unsurnya tertentu dan sangat jelas pengertiannya disamakan artinya dengan (kalimat) “pers telah melanggar kewajiban hukumnya untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat….”? Misalnmya hendak memaksakan kehendak bahwa semua unsur pencemaran dengan tulisan Pasal 310 (2) semuanya sudah terdapat dalam unsur/frasa “tidak menghormati kesusilaan? Bisakah kita menerimanya? Penafsiran model apa yang dapat diterapkan untuk membenarkan pandangan seperti itu? Mungkinkah para pakar hukum bisa menjawab pertanyaan tersebut? Secara sosiologis mungkin ada pakar yang dapat menemukan jawabannya. Namun secara yuridis kiranya tidak mungkin. • Kedua, indikator lex specialis yang menyangkut subjek hukum sebagai mana disebutkan pada angka 3 juga menjadi halangan untuk menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers. Subjek hukum tindak pidana dalam KUHP yang kebetulan dapat dilakukan melalui pers adalah orang pribadi. Sementara subjek hukum tindak pidana pers menurut UU Pers adalah “perusahaan pers”. Dari apa yang diterangkan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tidak bisa menggunakan UU Pers untuk mengadili jenis-jenis tindak pidana pers dalam KUHP. Meskipun dengan menggunakan alasan harus terlebih dulu menggunakan hak jawab atau hak koreksi. Menurut kalangan pers harus terlebih dulu menggunakan hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers. Tiadanya upaya seperti itu bukan merupakan alasan untuk tidak menuntut pidana. Karena penuntutan pidana tindak pidana pers tidak ada hubungannya dengan hak jawab dan hak koreksi serta upaya Dewan Pers. Perdamaian yang dihasilkan oleh upaya Dewan Pers, hanya bisa memengaruhi terhadap penjatuhan pidana in concreto saja. Tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana si pembuat dalam melakukan tindak pidana pers. Belum/tidak menggunakan hak jawab atau hak dan kewajiban koreksi atau mediasi melalui Dewan Pers tidak bisa digunakan sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana terhadap si pembuat tindak pidana pers. Hak jawab, hak dan kewajiban koreksi sekedar hak korban dan kewajiban pers untuk menempatkan informasi/berita yang semula dianggap salah pada keadaan yang sebenarnya. Ketiadaan upaya-upaya itu sekali-kali bukan alasan untuk meniadakan hak Negara untuk menuntut pidana. Meskipun merupakan delik aduan. Bila pengaduan dicabut masih dalam waktu 3 bulan sejak pengaduan diajukan, hapusnya hak Negara menuntut bukan didasarkan karena tiadanya penggunaana hak jawab atau hak koreksi atau upaya mediasi, tetapi karena pengaduan dicabut. Mediasi sekedar penting dalam penyelesaian konflik keperdataan, mengenai penggantian kerugian akibat dari perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 dan atau 1372 BW. Tidak penting dalam hal penyelesaian menurut hukum pidana melalui penuntutan pidana oleh Negara atas pengaduan atau laporan korban tindak pidana pers. Apabila pemerintah hendak memberi perlindungan hukum yang lebih luas terhadap kebebasan pers dalam usaha pers menjalankan fungsinya, maka dalam UU Pers harus ditambahkan satu norma yang tegas menyatakan, bahwa untuk mengajukan tuntutan pidana tindak pidana pers, harus terlebih dulu dilakukan hak jawab atau hak/kewajiban koreksi dan mediasi melalui Dewan Pers. Apabila upaya mediasi gagal, barulah terhadap si pembuat kasus itu dapat dilakukan penuntutan pidana. Jadi seharusnya ada 3 (tiga) syarat untuk dapatnya melakukan penuntutan pidana tindak pidana pers, ialah: (pertama) harus terlebih dulu korban menggunakan hak jawab; dan (kedua) korban dan pers harus melakukan mediasi melalui perentaraan Dewan Pers; dan (ketiga) upaya mediasi tersebut ternyata gagal. Kegagalan upaya mediasi dapat ditempatkan sebagai alasan utama penuntutan pidana. Tanpa ketentuan seperti itu, maka praktik akan tetap berjalan seperti keadaan sekarang.

TINDAK PIDANA PERS DALAM KUHP BUKAN LEX SPECIALIS DALAM UU PERS

Arti Tindak Pidana Pers. Undang-undang tidak mengenal istilah tindak pidana pers. Istilah itu dikenal dalam masyarakat, merupakan istilah sosial. Suatu istilah yang menggambarkan sekelompok tindak pidana yang mengandung ciri-ciri: • Dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan. wujudnya bisa bermacam-macam bergantung dan berhubungan dengan unsur perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana tertentu yang bersangkutan. Misalnya menyerang kehormatan atau nama baik dengan tulisan (Pasal 310 KUHP); menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan (Pasal 144, 155, 157 KUHP). • Objek yang dipublikasikan adalah berita/informasi, atau mengenai buah pikiran tertentu. • Caranya atau sarananya dengan menggunakan tulisan/barang cetakan. • Di dalam berita/informasi mengandung sifat melawan hukum. Karena isinya melanggar kepentingan hukum orang pribadi atau masyarakat termasuk Negara yang dilindungi hukum. Agar dapat dipidananya tindak pidana pers, selain perlu memenuhi unsur tersebut juga harus adanya kesengajaan, yang ditujukan baik terhadap perbuatnnya, sifat melawan hukumnya perbuatan maupun sifat melawan hukum mengenai isi beritanya. Kesengajaan harus dibuktikan ataukah tidak, bergantung dicantumkan ataukah tidak di dalam rumusan tindak pidana in concreto. Unsur sengaja selalu harus dianggap ada pada setiap kejahatan, kecuali jika dinyatakan secara expressis verbis kulpa. Jika dicantumkan wajib dibuktikan, sebaliknya jika tidak – tidak perlu dibuktikan. Dengan terbuktinya perbuatan unsur sengaja dianggap terbukti pula. Sebaliknya kalau yang terbukti ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) terhadap unsur tertentu, tidak boleh dipidana. Ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) merupakan alasan penghapus kesalahan. Tindak pidana bentuk apapun, baru dapat dimasukkan ke dalam kelompok tindak pidana pers, apabila memenuhi ciri-ciri tersebut. Tindak pidana yang memenuhi ciri itu, terdapat pada bermacam-macam tindak pidana tertentu. Misalnya dalam bentuk-bentuk penghinaan, penghasutan, pornografi, menyiarkan berita bohong, pembocoran rahasia Negara, dll. Arti Tindak Pidana Lex Specialis Dalam doktrin yang dimaksud tindak pidana lex sepecialis adalah tindak pidana yang disamping mengandung unsur-unsur pokok dalam tindak pidana umum (lex generalis), juga mengandung satu atau lebih unsur khusus. Pembedaan tindak pidana umum dan khusus berhubungan dengan cara pembentuk undang-undang (KUHP) dalam merumuskan dan membedakan berat ringannya tindak pidana yang sejenis. Pembentuk undang-undang membedakan antara tindak pidana bentuk pokok (umum/standar) dan bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan dalam jenis yang sama. Misalnya pada pencurian. Bentuk standarnya dalam Pasal 362, bentuk yang lebih berat dalam Pasal 363 dan 365. Sementara bentuk yang lebih ringan dalam Pasal 364. Tidak semua jenis tindak pidana bisa ditentukan bentuk standarnya, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan. Maksud membedakan bentuk standar, yang lebih berat dan yang lebih ringan adalah dalam rangka menentukan berat ringan beban pertanggungjawaban pidananya. Berat ataukah ringan bergantung sifat dari unsur khususnya. Unsur khusus ini yang menentukan keberlakuan bentuk tindak pidananya, beserta berat ringan pertanggungjawaban pidananya. Seperti ditentukan dalam Pasal 63 Ayat (2) KUHP. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Apa yang dimaksud dengan “perbuatan” (feit) disitu, haruslah diartikan secara luas, bukan arti sempit sebagai perbuatan jasmani. Harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana. Singkatnya perbuatan sebagai tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam tindak pidana in concreto. Dari keterangan singkat tersebut di atas, maka istilah lex specialis haruslah diartikan sebagai tindak pidana specialis, bukan undang-undang specialis. Jelas dari bunyi Pasal 63 Ayat (2) KUHP, sebagai dasar hukum keberlakuan lex specialis. Ayat (2) pasal itu dengan tegas menyebutkan “suatu perbuatan” (een feit) bukan suatu undang-undang (een wet). Suatu perbuatan yang harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana alias tindak pidana. Berbeda halnya dengan UU ITE (No. 11/2008), terdapat beberapa tindak pidana padanan dari tindak pidana tertentu dalam KUHP. Misalnya pencemaran (KUHP), ada padanannya di dalam UU ITE, yaitu jika dilakukan dengan mendistribusikan atau mentransmisikan tulisan yang isinya pencemaran melalui sarana teknologi ITE, maka bukan pencemaran dalam KUHP yang diterapkan, melainkan pencemaran di dalam UU ITE. Sementara UU Pers sama sekali tidak ditemukan keadaan seperti UU ITE. Apa dasar untuk menentukan tindak pidana masuk pada lex specialis dari suatu lex generalis? Dasarnya adalah: 1. Di atas telah disampaikan ciri/indikator umumnya ialah, dalam tindak pidana bentuk khusus (lex specialis) terdapat semua unsur tindak pidana bentuk umumnya (lex generalis) ditambah satu atau lebih unsur-unsur khusus. Unsur khusus itulah yang menyebabkan diterapkannya lex specialis. 2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum (lex generalis) dan bentuk khususnya (lex specialis) harus sama. Misalnya lex generalis penghinaan, lex spesialisnya juga penghinaan. Jika lex generalisnya pornografi, maka lex specialisnya juga harus mengenai hal pornografi. 3. Subjek hukum tindak pidana juga dapat menentukan. Dalam tindak pidana bentuk umum (orang ataukah badan) harus sama dengan subjek hukum tindak pidana dalam bentuk khususnya. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Bukan merupakan lex specialis apabila subjek hukum yang dianggap lex generalis adalah orang sementara subjek hukum yang dianggap lex specialis adalah badan. Misalnya pers yang menyiarkan pornografi tidak bisa melanggar Pasal 18 (2) jo Pasal 5 (1) UU Pers. Pasal 18 (1) bukan lex specialis dari Pasal 282 KUHP. Karena subjek hukum pornografi menurut KUHP adalah orang. Sementara subjek hukum Pasal 18 (1) UU Pers adalah perusahaan pers. 4. Objek tindak pidana lex specialisnya harus sama dengan objek hukum lex generalisnya. Kalau objek lex generalisnya adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan orang. Kalau objek lex generalis adalah tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, maka lex specialisnya juga merupakan tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan.. 5. Kepentingan hukum yang hendak dilindungi juga harus sama. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormtan, maka lex specialisnya juga demikian. 6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas ini tidak berlaku. Karena berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah. Tindak Pers dal UU Pers Bukan Lex Specialis dari KUHP Ada keberatan yang cukup beralasan untuk menolak memberlakukan UU Pers terhadap tindak pidana pers yang kebetulan bersesuaian dengan tindak pidana dalam KUHP, misalnya bentuk-bentuk penghinaan. Dari indikator lex specialis seperti tersebut di atas, bertambah jelas bahwa jenis-jenis tindak pers dalam KUHP, sukar untuk bisa ditempatkan sebagai lex specialis dari kaca mata UU Pers. Dari ciri-ciri lex specialis tersebut di atas, dapatlah ditetapkan alasan-alasan kesukaran menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers (seperti bentuk-bentuk penghinaan dengan menggunakan pers). Sukar mencari padanan tindak pidana pers jenis-jenis tertentu di dalam KUHP di dalam UU Pers. Dari sinilah pula salah satu alasan banyak ahli hukum untuk menolak pemberlakuan UU Pers terhadap kasus-kasus tindak pidana pers, seperti jenis-jenis penghinaan. Karena sulit untuk mencari padanannya. Bagaimana caranya memberlakukan UU Pers terhadap kasus penghinaan misalnya pencemaran. Tidak dapat ditemukan jalannya. Di dalam UU Pers tidak terdapat tindak pidana padanannya. Padahal untuk dinyatakan sebagai tindak pidana lex specialis di luar KUHP, haruslah ada tindak pidana padanannya. Andaikata bentuk-bentuk penghinaan (KUHP), misalnya pencemaran [Pasal 310 Ayat (2)] hendak dipaksakan sebagai lex specialis – masuk dalam Pasal 18 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (1) UU Pers, sehingga UU Perslah diterapkan, kesukarannya adalah: • Pertama, mungkinkah tindak pidana pencemaran, yang unsur-unsurnya tertentu dan sangat jelas pengertiannya disamakan artinya dengan (kalimat) “pers telah melanggar kewajiban hukumnya untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat….”? Misalnmya hendak memaksakan kehendak bahwa semua unsur pencemaran dengan tulisan Pasal 310 (2) semuanya sudah terdapat dalam unsur/frasa “tidak menghormati kesusilaan? Bisakah kita menerimanya? Penafsiran model apa yang dapat diterapkan untuk membenarkan pandangan seperti itu? Mungkinkah para pakar hukum bisa menjawab pertanyaan tersebut? Secara sosiologis mungkin ada pakar yang dapat menemukan jawabannya. Namun secara yuridis kiranya tidak mungkin. • Kedua, indikator lex specialis yang menyangkut subjek hukum sebagai mana disebutkan pada angka 3 juga menjadi halangan untuk menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers. Subjek hukum tindak pidana dalam KUHP yang kebetulan dapat dilakukan melalui pers adalah orang pribadi. Sementara subjek hukum tindak pidana pers menurut UU Pers adalah “perusahaan pers”. Dari apa yang diterangkan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tidak bisa menggunakan UU Pers untuk mengadili jenis-jenis tindak pidana pers dalam KUHP. Meskipun dengan menggunakan alasan harus terlebih dulu menggunakan hak jawab atau hak koreksi. Menurut kalangan pers harus terlebih dulu menggunakan hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers. Tiadanya upaya seperti itu bukan merupakan alasan untuk tidak menuntut pidana. Karena penuntutan pidana tindak pidana pers tidak ada hubungannya dengan hak jawab dan hak koreksi serta upaya Dewan Pers. Perdamaian yang dihasilkan oleh upaya Dewan Pers, hanya bisa memengaruhi terhadap penjatuhan pidana in concreto saja. Tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana si pembuat dalam melakukan tindak pidana pers. Belum/tidak menggunakan hak jawab atau hak dan kewajiban koreksi atau mediasi melalui Dewan Pers tidak bisa digunakan sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana terhadap si pembuat tindak pidana pers. Hak jawab, hak dan kewajiban koreksi sekedar hak korban dan kewajiban pers untuk menempatkan informasi/berita yang semula dianggap salah pada keadaan yang sebenarnya. Ketiadaan upaya-upaya itu sekali-kali bukan alasan untuk meniadakan hak Negara untuk menuntut pidana. Meskipun merupakan delik aduan. Bila pengaduan dicabut masih dalam waktu 3 bulan sejak pengaduan diajukan, hapusnya hak Negara menuntut bukan didasarkan karena tiadanya penggunaana hak jawab atau hak koreksi atau upaya mediasi, tetapi karena pengaduan dicabut. Mediasi sekedar penting dalam penyelesaian konflik keperdataan, mengenai penggantian kerugian akibat dari perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 dan atau 1372 BW. Tidak penting dalam hal penyelesaian menurut hukum pidana melalui penuntutan pidana oleh Negara atas pengaduan atau laporan korban tindak pidana pers. Apabila pemerintah hendak memberi perlindungan hukum yang lebih luas terhadap kebebasan pers dalam usaha pers menjalankan fungsinya, maka dalam UU Pers harus ditambahkan satu norma yang tegas menyatakan, bahwa untuk mengajukan tuntutan pidana tindak pidana pers, harus terlebih dulu dilakukan hak jawab atau hak/kewajiban koreksi dan mediasi melalui Dewan Pers. Apabila upaya mediasi gagal, barulah terhadap si pembuat kasus itu dapat dilakukan penuntutan pidana. Jadi seharusnya ada 3 (tiga) syarat untuk dapatnya melakukan penuntutan pidana tindak pidana pers, ialah: (pertama) harus terlebih dulu korban menggunakan hak jawab; dan (kedua) korban dan pers harus melakukan mediasi melalui perentaraan Dewan Pers; dan (ketiga) upaya mediasi tersebut ternyata gagal. Kegagalan upaya mediasi dapat ditempatkan sebagai alasan utama penuntutan pidana. Tanpa ketentuan seperti itu, maka praktik akan tetap berjalan seperti keadaan sekarang.

TINDAK PIDANA MEMAKSA MASUK RUMAH TANPA HAK (PS 167 KUHP)

Banyak kejadian dilingkungan kita, ada orang yang menempati rumah sewa atau kontrakan, setelah habis masa sewa atau kontraknya, diperingatkan agar mengosongkan rumah – tidak juga segera pergi, dilaporkan ke polisi. Ada janda menempati rumah dinas mantan suaminya, setelah diperingankan segera pergi, tetap membangkang. Seperti nenek Sularti dan nenek Roesmini. Juga dilaporkan ke polisi? Untuk pengusutan kasus semacam itu kepolisian selalu menggunakan Pasal 167 KUHP. Apakah dibenarkan untuk mengeluarkan keluarga penghuni semacam itu dengan menggunakan aparat kepolisian? Lengkapnya adalah “tindak pidana memaksa masuk rumah atau pekarangan yang tertutup tanpa hak. Dirumuskan dalam Pasal 167 KUHP, bunyinya sbb.: (1) Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada disitu dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,00. (2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, atau barangsiapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk. (3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. (4) Pidana tersebut dalam ayat (1) dan (3) dapat tambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu. Tindak pidana Pasal 167 KUHP merupakan penyerangan terhadap hak kebebasan rumah tangga (huisvredebreuk) , ada tiga macam. Dua diirumuskan dalam ayat (1) dan satu dalam ayat (3). Sementara ayat (2) tidak memuat rumusan tindak pidana, berhubung tidak dicantumkan ancaman pidana. Rumusan ayat (2) tentang perluasan pengertian dari perbuatan memaksa masuk sebagaimana dalam ayat (1). Sementara ayat (4) merumuskan syarat pemberatan pidana dari tindak pidana dalam ayat (1) dan ayat (3). 1. Tindak Pidana Pasal 167 Ayat (1) yang Pertama Tindak pidana pertama [ayat (1)] terdiri dari unsur-unsur berikut ini. a. Perbuatan: memaksa masuk ke dalam: b. Objek: - rumah; - ruangan; - pekarangan yang tertutup; yang dipakai orang lain; c. dengan melawan hukum. Perbuatan memaksa/menerobos masuk dengan melawan hukum (wederrechtelijk binnendringen) terjadi dalam dua hal, ialah: 1) Bila sebelumnya telah diberi suatu tanda larangan bagi orang yang tidak berhak untuk masuk ke dalam sebuah rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup. Misalnya dengan tulisan “dilarang masuk” atau “masuk harus mendapat ijin”, atau pintu pagar atau pintu rumah tertutup rapat dan dikunci. Maka setiap orang yang tanpa hak di larang memasuki rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup meskipun tidak diketahui orang yang berhak. Orang yang masuk itu telah melakukan perbuatan memaksa masuk. Dengan demikian perbuatan itu telah mengandung sifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan memaksa masuk justru terletak pada tidak mengindahkan tanda larangan masuk semacam itu. Artinya orang yang masuk tanpa mengindahkan tanda-tanda larangan tersebut, adalah bertentangan dengan kehendak dari orang yang berhak. 2) Bila tanda-tanda larangan masuk tidak ada, kemudian ada orang hendak masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup, oleh orang yang berhak - melarangnya untuk masuk, baik dengan ucapan atau disertai dengan perbuatan, misalnya dengan menghalangi dengan membentangkan tangannya atau dengan menutup pintu. Orang itu tidak mengindahkannya dan tetap menerobos masuk ke dalam, maka orang itu juga melakukan perbuatan memaksa masuk. Perbuatan memaksa masuk semacam itu telah mengandung sifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan itu terletak pada tidak mengindahkan larangan masuk oleh orang yang berhak tadi. Artinya juga bertentangan dengan kehendak dari orang yang berhak. Objek rumah (woning) haruslah diartikan sebagai suatu tempat yang digunakan oleh orang untuk berdiam/tinggal. Di dalam Memorie van Antwoord (MvT), woning dikatakan “op een slaapgelegenheid aanwezig is” atau “dimana terdapat suatu kesempatan tidur” , dan itu adalah disebut suatu kediaman. Sebutan tempat kediaman lebih tepat, karena gerbong kereta api atau di bawah kolong jembatan, sebuah perahu dapat pula disebut tempat kediaman apabila pada kenyataannya tempat itu digunakan orang untuk berdiam/tempat tinggal. Hoge Raad dalam pertimbangan suatu putusan tanggal 14 Desember 1914, memasukkan tempat kerja sebagai tempat kediaman, asalkan tempat itu merupakan bagian dari tempat kediaman . Objek ruang tertutup adalah suatu tempat yang tidak dipergunakan untuk tempat tinggal atau berdiam, tapi dipergunakan oleh yang berhak untuk tujuan-tujuan tertentu oleh orang-orang tertentu saja dan bukan untuk umum. Misalnya sebuah bangunan yang diperuntukkan sebagai gudang, sebuah bangunan toko pada saat toko tersebut di tutup dan di kunci oleh yang berhak. Namun apabila sebuah toko merupakan bagian dari sebuah tempat tinggal, maka toko tersebut tidak disebut sebagai ruangan yang tertutup, melainkan sebagai rumah atau tempat tinggal. Apa artinya “dipakai orang lain”? Maksudnya adalah rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup itu dipergunakan, ditempati atau dikuasai oleh orang yang berhak. Orang yang berhak ini tidak harus seorang pemilik, bisa juga selain pemilik apabila orang lain itu mendapat hak untuk mempergunakannya, menempatinya atau menguasainya dari si pemilik. Misalnya karena sebab perjanjian, atau sebab “zaakwaarneming” (Pasal 1354 BW). Tanda suatu sebidang tanah dikuasai oleh orang yang berhak, misalnya di atasnya didirkan sebuah bangunan, diberi pagar keliling, digarap atau ditanami, dibersihkan, dipetik hasil tanaman yang tumbuh di atasnya. Pengertian perbuatan memaksa/menerobos masuk sebagaiamana yang diterangkan tersebut di atas, diperluas dalam ayat (3) menjadi/termasuk: • masuk dengan merusak; • masuk dengan memanjat; • masuk dengan menggunakan anak kunci palsu; • masuk dengan menggunakan perintah palsu; • masuk dengan menggunakan pakaian jabatan palsu; atau • masuk dengan tidak setahu yang berhak bukan karena kekhilafan dan kedapatan disitu pada waktu malam. Merusak (braak) adalah perbuatan yang ditujukan pada suatu benda yang menimbulkan akibat benda menjadi rusak, atau singkatnya menjadikan rusaknya suatu benda. Benda yang dirusak adalah benda yang menjadi penghalang untuk memasuki rumah, ruang atau pekarangan yang tertutup. Misalnya pintu rumah atau pintu pagar, jendela, pagar. Untuk dapatnya masuk, diperlukan untuk merusak benda yang menjadi penghalang tersebut. Sifat memaksa masuk ke dalam rumah, ruang atau pekarangan yang tertutup terdapat pada perbuatan merusak tersebut. Untuk selesainya perbuatan memaksa masuk, diperlukan selesainya perbuatan merusak dan perbuatan masuk. Memanjat (inklimming) adalah perbuatan membawa dirinya ke tempat yang lebih tinggi dari semula, baik dengan menggunakan alat misalnya tangga maupun tidak. Pengertian itu diperluas oleh Pasal 99 KUHP, termasuk juga: • masuk melalui lubang yang memang sudah ada, tetapi bukan untuk masuk; • masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali; • begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup. Anak kunci palsu (valsche sleutels) adalah anak kunci yang bukan yang sebenarnya khusus untuk membuka kunci. Misalnya anak kunci yang dibuat dengan meniru anak kunci yang sebenarnya. Namun pengertian semacam itu telah diperluas oleh Pasal 100 KUHP yang menyatakan bahwa “Yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksudkan untuk membuka kunci. Oleh sebab itu maka benda apapun juga yang bukan anak kunci yang sebenarnya (asli) akan tetapi digunakan untuk membuka kunci. Benda-benda yang dimaksudkan, bisa berupa sepotong kawat atau paku atau obeng yang fungsi atau kegunaan yang sebenarnya bukan khusus untuk membuka kunci. Semua benda apapun juga disebut anak kunci palsu dengan syarat bahwa benda itu dapat digunakan membuka sebuah kunci. Perintah dalam unsur perintah palsu (valsche order) adalah sebuah perintah yang bisa digunakan untuk memasuki sebuah rumah atau pekeangan yang tertutup. Misalnya perintah untuk menggeledah rumah. Perintah palsu dapat terjadi dalam beberapa kemungkinan, ialah: • perintah yang diberikan oleh orang yang sesunggunya tidak berhak; atau • perintah yang diberikan oleh orang yang berhak, tapi isinya bertentangan dengan yang sebenarnya; atau • perintah yang diberikan oleh orang yang berhak dan isinya benar tapi dengan menyalahi prosedur. 2. Tindak Pidana Pasal 167 Ayat (1) yang Kedua Tindak pidana yang dimaksud terdapat dalam rumusan (kalimat): “atau berada disitu dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”. Apabila rumusan itu dirinci terdapat unsur-unsur: a. Perbuatan: berada disitu; b. dengan melawan hukum; c. atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera. Tindak pidana yang dimaksudkan tersebut di atas, tidak dilakukan dengan perbuatan memaksa (menerobos) masuk, melainkan berada di dalam rumah, ruang atau pekarangan yang tertutup dengan melawan hukum. Misalnya pada saat pintu (gerbang) pekarangan rumah dalam keadaan terbuka, tiba-tiba seorang pemulung masuk ke dalamnya. Orang yang masuk ini bukanlah orang yang memaksa masuk. Tetapi Dia berada disitu dengan melawan hukum, kecuali oleh yang berhak pemulung itu dibiarkan atau didiamkan saja. Perbuatan membiarkan atau mendiamkan tersebeut dapat dianggap telah memberikan ijin secara diam-diam. Sebaliknya apabila orang yang berhak tadi tidak memberi ijin misalnya menyruhnya pergi maka orang itu berada di dalam pekarangan itu, barulah terbit sifat melawan hukumnya perbuatan pemulung yang berada di dalam pekarangan itu. Meskipun telah dilarang dan disuruh pergi/keluar, tidaklah serta merta dengan demikian telah terpenuhi semua unsur dan dapat dipidananya si pemulung tadi. Melainkan setelah diingatkan untuk segera pergi, orang itu tidak segera pergi. Apa indikatornya dari “tidak segera pergi” tersebut? Harus dilihat dari sifat dan keadaan senyatanya secara kasusitis. Pada umumnya diukur dari tiga kali peringatan untuk segera pergi, orang itu tidak juga pergi . Bisa pula diukur dengan menggunakan paksaan oleh seorang SATPAM dsb. Tindak pidana penyerangan terhadap ketenteraman dan kebebasan rumah tangga yang kedua ini, dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian apabila terdapat kesulitan untuk membuktikan perbuatan memaksa/menerobos masuk secara melawan hukum. Sebagaimana pada contoh tersebut di atas. Pada umumnya, karena pekerjaannya seorang pemulung akan masuk ke pekarangan rumah apabila pintu pagarnya terbuka atau tidak dalam keadaan terkunci. Oleh sebab itu, tidaklah tepat dikatakan memaksa/menerobos masuk dengan melawan hukum pada seorang pemulung yang masuk pekarangan yang secar kebetulan pintu pagarnya tidak tertutup atau tidak terkunci untuk mencari barang buangan dikeranjang sampah di pekarangan itu. Baru timbul sifat melawan hukumnya pada keberadaannya dalam pekarangan itu setelah diperingatkan untuk segera pergi, bukan pada saat masuknya pekarangan. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana yang kedua hanya bisa timbul, apabila sejak awal keberadaan orang itu (pelakunya) di dalam rumah atau pekarangan yang tertutup tersebut sudah mengandung sifat melawan hukum. Oleh sebab itu, tindak pidana Pasal 167 ayat (1) tidak mungkin terjadi kalau sejak awal keberadaan orang dalam rumah atau pekarangan yang tertutup tadi tidak mengandung sifat melawan hukum. Misalnya sejak orang yang menempati rumah yang disewa atau dikontrak, yang habis masa sewa atau kontraknya, dan tidak segera pergi setelah diingatkan oleh si pemilik. Peristiwa terakhir ini, bukan tindak pidana menurut Pasal 167 ayat (1) KUHP, melainkan suatu bentuk wanprestasi saja, yang hanya bisa dilakukan dengan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Sama halnya juga dengan seseorang yang sudah menempati sebuah rumah yang kemudian digugat dan kalah, yang kemudian diperingatkan oleh pihak yang menang agar segera pergi, dan tidak segera pergi. Adami Chazawi

Rabu, 10 April 2013

TINDAK PIDANA MEMAKSA MASUK RUMAH TANPA HAK

Lengkapnya adalah “tindak pidana memaksa masuk rumah atau pekarangan yang tertutup tanpa hak. Dirumuskan dalam Pasal 167 KUHP, bunyinya sbb.: (1) Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada disitu dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,00. (2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, atau barangsiapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk. (3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. (4) Pidana tersebut dalam ayat (1) dan (3) dapat tambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu. Tindak pidana Pasal 167 KUHP merupakan penyerangan terhadap hak kebebasan rumah tangga (huisvredebreuk) , ada tiga macam. Dua diirumuskan dalam ayat (1) dan satu dalam ayat (3). Sementara ayat (2) tidak memuat rumusan tindak pidana, berhubung tidak dicantumkan ancaman pidana. Rumusan ayat (2) tentang perluasan pengertian dari perbuatan memaksa masuk sebagaimana dalam ayat (1). Sementara ayat (4) merumuskan syarat pemberatan pidana dari tindak pidana dalam ayat (1) dan ayat (3). 1. Tindak Pidana Pasal 167 Ayat (1) yang Pertama Tindak pidana pertama [ayat (1)] terdiri dari unsur-unsur berikut ini. a. Perbuatan: memaksa masuk ke dalam: b. Objek: - rumah; - ruangan; - pekarangan yang tertutup; yang dipakai orang lain; c. dengan melawan hukum. Perbuatan memaksa/menerobos masuk dengan melawan hukum (wederrechtelijk binnendringen) terjadi dalam dua hal, ialah: 1) Bila sebelumnya telah diberi suatu tanda larangan bagi orang yang tidak berhak untuk masuk ke dalam sebuah rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup. Misalnya dengan tulisan “dilarang masuk” atau “masuk harus mendapat ijin”, atau pintu pagar atau pintu rumah tertutup rapat dan dikunci. Maka setiap orang yang tanpa hak di larang memasuki rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup meskipun tidak diketahui orang yang berhak. Orang yang masuk itu telah melakukan perbuatan memaksa masuk. Dengan demikian perbuatan itu telah mengandung sifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan memaksa masuk justru terletak pada tidak mengindahkan tanda larangan masuk semacam itu. Artinya orang yang masuk tanpa mengindahkan tanda-tanda larangan tersebut, adalah bertentangan dengan kehendak dari orang yang berhak. 2) Bila tanda-tanda larangan masuk tidak ada, kemudian ada orang hendak masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup, oleh orang yang berhak - melarangnya untuk masuk, baik dengan ucapan atau disertai dengan perbuatan, misalnya dengan menghalangi dengan membentangkan tangannya atau dengan menutup pintu. Orang itu tidak mengindahkannya dan tetap menerobos masuk ke dalam, maka orang itu juga melakukan perbuatan memaksa masuk. Perbuatan memaksa masuk semacam itu telah mengandung sifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan itu terletak pada tidak mengindahkan larangan masuk oleh orang yang berhak tadi. Artinya juga bertentangan dengan kehendak dari orang yang berhak. Objek rumah (woning) haruslah diartikan sebagai suatu tempat yang digunakan oleh orang untuk berdiam/tinggal. Di dalam Memorie van Antwoord (MvT), woning dikatakan “op een slaapgelegenheid aanwezig is” atau “dimana terdapat suatu kesempatan tidur” , dan itu adalah disebut suatu kediaman. Sebutan tempat kediaman lebih tepat, karena gerbong kereta api atau di bawah kolong jembatan, sebuah perahu dapat pula disebut tempat kediaman apabila pada kenyataannya tempat itu digunakan orang untuk berdiam/tempat tinggal. Hoge Raad dalam pertimbangan suatu putusan tanggal 14 Desember 1914, memasukkan tempat kerja sebagai tempat kediaman, asalkan tempat itu merupakan bagian dari tempat kediaman . Objek ruang tertutup adalah suatu tempat yang tidak dipergunakan untuk tempat tinggal atau berdiam, tapi dipergunakan oleh yang berhak untuk tujuan-tujuan tertentu oleh orang-orang tertentu saja dan bukan untuk umum. Misalnya sebuah bangunan yang diperuntukkan sebagai gudang, sebuah bangunan toko pada saat toko tersebut di tutup dan di kunci oleh yang berhak. Namun apabila sebuah toko merupakan bagian dari sebuah tempat tinggal, maka toko tersebut tidak disebut sebagai ruangan yang tertutup, melainkan sebagai rumah atau tempat tinggal. Apa artinya “dipakai orang lain”? Maksudnya adalah rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup itu dipergunakan, ditempati atau dikuasai oleh orang yang berhak. Orang yang berhak ini tidak harus seorang pemilik, bisa juga selain pemilik apabila orang lain itu mendapat hak untuk mempergunakannya, menempatinya atau menguasainya dari si pemilik. Misalnya karena sebab perjanjian, atau sebab “zaakwaarneming” (Pasal 1354 BW). Tanda suatu sebidang tanah dikuasai oleh orang yang berhak, misalnya di atasnya didirkan sebuah bangunan, diberi pagar keliling, digarap atau ditanami, dibersihkan, dipetik hasil tanaman yang tumbuh di atasnya. Pengertian perbuatan memaksa/menerobos masuk sebagaiamana yang diterangkan tersebut di atas, diperluas dalam ayat (3) menjadi/termasuk: • masuk dengan merusak; • masuk dengan memanjat; • masuk dengan menggunakan anak kunci palsu; • masuk dengan menggunakan perintah palsu; • masuk dengan menggunakan pakaian jabatan palsu; atau • masuk dengan tidak setahu yang berhak bukan karena kekhilafan dan kedapatan disitu pada waktu malam. Merusak (braak) adalah perbuatan yang ditujukan pada suatu benda yang menimbulkan akibat benda menjadi rusak, atau singkatnya menjadikan rusaknya suatu benda. Benda yang dirusak adalah benda yang menjadi penghalang untuk memasuki rumah, ruang atau pekarangan yang tertutup. Misalnya pintu rumah atau pintu pagar, jendela, pagar. Untuk dapatnya masuk, diperlukan untuk merusak benda yang menjadi penghalang tersebut. Sifat memaksa masuk ke dalam rumah, ruang atau pekarangan yang tertutup terdapat pada perbuatan merusak tersebut. Untuk selesainya perbuatan memaksa masuk, diperlukan selesainya perbuatan merusak dan perbuatan masuk. Memanjat (inklimming) adalah perbuatan membawa dirinya ke tempat yang lebih tinggi dari semula, baik dengan menggunakan alat misalnya tangga maupun tidak. Pengertian itu diperluas oleh Pasal 99 KUHP, termasuk juga: • masuk melalui lubang yang memang sudah ada, tetapi bukan untuk masuk; • masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali; • begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup. Anak kunci palsu (valsche sleutels) adalah anak kunci yang bukan yang sebenarnya khusus untuk membuka kunci. Misalnya anak kunci yang dibuat dengan meniru anak kunci yang sebenarnya. Namun pengertian semacam itu telah diperluas oleh Pasal 100 KUHP yang menyatakan bahwa “Yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksudkan untuk membuka kunci. Oleh sebab itu maka benda apapun juga yang bukan anak kunci yang sebenarnya (asli) akan tetapi digunakan untuk membuka kunci. Benda-benda yang dimaksudkan, bisa berupa sepotong kawat atau paku atau obeng yang fungsi atau kegunaan yang sebenarnya bukan khusus untuk membuka kunci. Semua benda apapun juga disebut anak kunci palsu dengan syarat bahwa benda itu dapat digunakan membuka sebuah kunci. Perintah dalam unsur perintah palsu (valsche order) adalah sebuah perintah yang bisa digunakan untuk memasuki sebuah rumah atau pekeangan yang tertutup. Misalnya perintah untuk menggeledah rumah. Perintah palsu dapat terjadi dalam beberapa kemungkinan, ialah: • perintah yang diberikan oleh orang yang sesunggunya tidak berhak; atau • perintah yang diberikan oleh orang yang berhak, tapi isinya bertentangan dengan yang sebenarnya; atau • perintah yang diberikan oleh orang yang berhak dan isinya benar tapi dengan menyalahi prosedur. 2. Tindak Pidana Pasal 167 Ayat (1) yang Kedua Tindak pidana yang dimaksud terdapat dalam rumusan (kalimat): “atau berada disitu dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”. Apabila rumusan itu dirinci terdapat unsur-unsur: a. Perbuatan: berada disitu; b. dengan melawan hukum; c. atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera. Tindak pidana yang dimaksudkan tersebut di atas, tidak dilakukan dengan perbuatan memaksa (menerobos) masuk, melainkan berada di dalam rumah, ruang atau pekarangan yang tertutup dengan melawan hukum. Misalnya pada saat pintu (gerbang) pekarangan rumah dalam keadaan terbuka, tiba-tiba seorang pemulung masuk ke dalamnya. Orang yang masuk ini bukanlah orang yang memaksa masuk. Tetapi Dia berada disitu dengan melawan hukum, kecuali oleh yang berhak pemulung itu dibiarkan atau didiamkan saja. Perbuatan membiarkan atau mendiamkan tersebeut dapat dianggap telah memberikan ijin secara diam-diam. Sebaliknya apabila orang yang berhak tadi tidak memberi ijin misalnya menyruhnya pergi maka orang itu berada di dalam pekarangan itu, barulah terbit sifat melawan hukumnya perbuatan pemulung yang berada di dalam pekarangan itu. Meskipun telah dilarang dan disuruh pergi/keluar, tidaklah serta merta dengan demikian telah terpenuhi semua unsur dan dapat dipidananya si pemulung tadi. Melainkan setelah diingatkan untuk segera pergi, orang itu tidak segera pergi. Apa indikatornya dari “tidak segera pergi” tersebut? Harus dilihat dari sifat dan keadaan senyatanya secara kasusitis. Pada umumnya diukur dari tiga kali peringatan untuk segera pergi, orang itu tidak juga pergi . Bisa pula diukur dengan menggunakan paksaan oleh seorang SATPAM dsb. Tindak pidana penyerangan terhadap ketenteraman dan kebebasan rumah tangga yang kedua ini, dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian apabila terdapat kesulitan untuk membuktikan perbuatan memaksa/menerobos masuk secara melawan hukum. Sebagaimana pada contoh tersebut di atas. Pada umumnya, karena pekerjaannya seorang pemulung akan masuk ke pekarangan rumah apabila pintu pagarnya terbuka atau tidak dalam keadaan terkunci. Oleh sebab itu, tidaklah tepat dikatakan memaksa/menerobos masuk dengan melawan hukum pada seorang pemulung yang masuk pekarangan yang secar kebetulan pintu pagarnya tidak tertutup atau tidak terkunci untuk mencari barang buangan dikeranjang sampah di pekarangan itu. Baru timbul sifat melawan hukumnya pada keberadaannya dalam pekarangan itu setelah diperingatkan untuk segera pergi, bukan pada saat masuknya pekarangan. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana yang kedua hanya bisa timbul, apabila sejak awal keberadaan orang itu (pelakunya) di dalam rumah atau pekarangan yang tertutup tersebut sudah mengandung sifat melawan hukum. Oleh sebab itu, tindak pidana Pasal 167 ayat (1) tidak mungkin terjadi kalau sejak awal keberadaan orang dalam rumah atau pekarangan yang tertutup tadi tidak mengandung sifat melawan hukum. Misalnya sejak orang yang menempati rumah yang disewa atau dikontrak, yang habis masa sewa atau kontraknya, dan tidak segera pergi setelah diingatkan oleh si pemilik. Peristiwa terakhir ini, bukan tindak pidana menurut Pasal 167 ayat (1) KUHP, melainkan suatu bentuk wanprestasi saja, yang hanya bisa dilakukan dengan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Sama halnya juga dengan seseorang yang sudah menempati sebuah rumah yang kemudian digugat dan kalah, yang kemudian diperingatkan oleh pihak yang menang agar segera pergi, dan tidak segera pergi. Adami Chazawi

Jumat, 29 Maret 2013

APAKAH PASAL 293 RUU KUHP DELIK SANTET?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyamakan arti “santet” dengan sihir, demikian juga menyamakan (perbuatan) menyantet dengan menyihir. Sihir diberikan dua arti ialah sebagai: 1. perbuatan ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantera dsb); 2. ilmu gaib (teluh, tuju, dsb.). Sementara perbuatan menyihir adalah: 1. Menggunakan sihir; 2. memukau; memesona; membuat sangat terpikat. EM Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia menyamakan arti “santet” dengan teluh, tenung, guna-guna yang bersifat gaib. Sementara (perbuatan) menyantet adalah mencelakakan orang lain melalui cara gaib. Dari kedua Kamus Bahasa Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa “santet” sebagai ilmu (lebih tepatnya kemampuan, kepandaian atau kemahiran) untuk mencelakakan, menderitakan fisik maupun fsikis atau menghilangkan nyawa orang lain dengan cara gaib. Sementara sebagai perbuatan, “santet” adalah melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan mencelakai, menderitakan fisik atau psikis atau menghilangkan nyawa orang lain dengan cara gaib. Pengertian santet sebagaimana demikian, tentulah tidak mungkin bisa dijadikan suatu tindak pidana. Kesulitannya bukan pada membuktikan tentang wujud kelakuan atau perbuatan nyatanya, melainkan pada hubungan sebab dan akibat (causaal verband) antara wujud nyata perbuatan dengan akibat (misalnya matinya orang atau gilanya orang). Norma hukum tidak mungkin dapat masuk ke dalam persoalan gaib, atau penyebab gaib. Ilmu hukum pidanapun tidak dapat menjangkau persoalan gaib. Hukum pidana hanya mengatur dan mengenai hal-hal nyata dan dapat dijangkau akal. Baru bisa dikatakan tindak pidana santet apabila rumusan tindak pidananya menggambarkan tentang pengertian santet tersebut di atas. Misalanya (kalau dipaksakan juga) untuk merumuskan tindak pidana santet, kiranya rumusannya adalah “Barangsiapa yang melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menimbulkan penyakit, kematian atau penderitaan fisik maupun fsikhis orang lain dengan menggunakan kekuatan gaib, dipidana dengan …. (misalnya pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun)”. Dengan menggunakan hukum pembuktian hukum acara pidana (KUHAP) atau hukum acara apapun juga) tidaklah mungkin jaksa dapat membuktikan bunyi rumusan tindak pidana seperti itu. • Pertama, tidak mungkin Jaksa dapat membuktikan hubungan kausal (causaal verband) antara wujud perbuatan tertentu dengan timbulnya akibat seperti matinya atau sakit/timbulnya penyakit seseorang. Misalnya tidak mungkin bisa dibuktikan antara perbuatan (seorang dukun santet) - membakar menyan sambil mulutnya komat kamit mengucapkan mantra, menyemprotkan air/ludahnya ke sebuah poto calon korban yang kemudian ditusuknya dengan jarum berkali-kali dengan sakitnya atau matinya orang yang ada dalam poto itu. • Kedua, tidak mungkin jaksa dapat membuktikan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan dukun tersebut secara akal “mempunyai kemampuan” untuk menimbulkan sakit/penyakit atau kematian orang lain. Padahal dua syarat itu merupakan syarat esensiel (mutlak) untuk dapat timbulnya suatu tindak pidana materiil, seperti pembunuhan, termasuk juga tindak pidana santet (yang diakui memang ada di masyarakat, yang rumusannya seperti tersebut di atas). Tindak pidana materiil adalah suatu tindak pidana yang penentuan selesainya digantung pada timbulnya akibat. Misalnya selesainya tindak pidana pembunuhan, bukan diletakkan pada selesainya perbuatan menombak perut koraban, tetapi pada akibat matinya orang yang ditombak perutnya tersebut. Jika menombak perut korban selesai dilakukan, namun kematian tidak timbul, maka pembunuhan tidak terjadi/selesai. Melainkan telah melakukan percobaan pembunuhan, yang juga dipidana yang setinggi-tingginya pidana maksimum dikurangi sepertiganya. Oleh sebab kesulitan pembuktian itulah, maka Pasal 293 (dulu Pasal 292 RUU tahun 2004), menggunakan rumusan tindak pidana secara formil, yang bukan mempidana perbuatan santetnya, melain mempidana perbuatan-perbuatan tertentu yang sesungguhnya merurpakan perbuatan-perbuatan sebelum perbuatan santet itu benar-benar dilakukan. Pasal 293 RUU KUHP tersebut merumuskan: (1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental dan fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Rumusan tindak pidananya terdapat pada ayat (1), yang jika dirinci terdiri dari unsur-unsur berikut ini. a. Perbuatannya: 1) menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib; 2) memberitahukan harapan; 3) menawarkan jasa; atau 4) memberikan bantuan jasa: b. Objeknya: pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang; Ada 4 macam perbuatan yang dilarang. Jika dihubungkan dengan objek tindak pidana, maka rumusan tindak pidana tersebut dapat dibedakan antara 4 macam tindak pidana: 1. Tindak pidana “menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang”. 2. Tindak pidana memberitahukan harapan pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang”. 3. Tindak pidana “menawarkan jasa pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang”. 4. Tindak pidana “memberikan bantuan jasa pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang. Setelah dirinci demikian, maka rumusan tindak pidana dalam Pasal 293 RUU KUHAP semakin jelas bahwa memang tindak pidana tersebut bukan tindak pidana santet. Pembuktiannya pun smudah. Misalnya A yang sakit hati pada B karena mengambil pacarnya. A bermaksud menjadikan B sakit gila. Untuk maksud itu A datang pada C minta agar bisa menjadidkan B gila. Apabila C menolak, maka tidak mungkin terjadi salah satu tindak pidana Pasal 293. Namun jika C menyanggupi dan mengatakan bahwa dirinya bisa melakukan apa yang diminta, maka tindak pidana yang pertama sudah terjadi. Tidak penting apakah C memang mempunyai kemampuan gaib untuk menimbulkan B menjadi gila. Bagaimana kalau C tidak mengatakan apa-apa, hanya menerima saja permintaan itu? Apakah sudah terjadi tindak pidana pasal ini? Menurut hemat penulis, sudah bisa dipidana. Alasannya ialah, bahwa kesanggupan C tersebut adalah merupakan bentuk dari perbuatan menyatakan dirinya secara pasif mempunyai kekuatan gaib yang dapat membuat B gila. Meskipun pada kenyataannya C tidak memiliki kemampuan gaib tersebut, atau memiliki tetapi dia tidak berbuat apa-apa, atau sudah berbuat apa-apa, namun perbuatan gaib itu tidak mampu membuat B gila. Perbuatan-perbuatan terakhir bukan penipuan (oplichting), meskipun C meminta pembayaran. Karena pada penipuan, pertama iniisiatif menyerahkan barang oleh korban bukan pada korban tapi pada pelaku. Kedua, hal atau keadaan palsu dari 4 cara menggerakkan orang dalam Pasal 378 KUHP sudah terdapat sebelum korban menyerahkan barang. Kejadian sebagaimana contoh tersebut bukan hal yang mustahil untuk dapat dibuktikan. Cukup dengan menggunakan minimal dua alat bukti. Misalnya dua orang saksi. Baru sulit jika tidak memenuhi syarat minimum pembuktian. Latar belakang filosofi tindak pidana Pasal 293 RUU KUHP tersebut adalah: • Bahwa perbuatan santet diakui dan dipercaya keberadaannya di masyarakat, dan menimbulkan keresahan, namun tidak bisa dicegah dan diberantas melalui hukum, karena kesulitan dalam hal pembuktiannya. • Bahwa dalam rangka untuk mencegah agar tidak terjadi perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai santet, maka perlu dibentuk tindak pidana baru yang sifatnya mencegah (pencegahaan secara dini) agar perbuatan tersebut tidak terjadi. Apabila tindak pidana tersebut disetujui, tentu tidak mengancam profesi para dukun, paranormal atau apapun namanya. Karena tindak pidana Pasal 293 RUU KUHP hanya mengancam profesi bantuan gaib yang jahat (ilmu hitam). Dan tidak mengancam profesi bantuan kekuatan gaib yang bertujuan baik, misalnya mengobati orang, mencarikan jodoh orang, pelaris (misalnya artis), termasuk agar terpilih jadi Kepala Daerah, jadi Presiden, jadi anggota DPR. Semoga disetujui DPR meskipun dengan perobahan/perbaikan. Wassalam.