Kamis, 05 Agustus 2010

Oknum Polisi Tabrak Mati Anak, Gugatan Perdata Sebuah Solusi

GUGATAN PERDATA - SEBUAH SOLUSI
KASUS OKNUM POLISI TABRAK ANAK P. INDRA AZWAN
(H. Adami Chazawi)

PENDAHULUAN

Nasib Bapak Indra Azwan yang tinggal di Genukwatu Barat G II No. 95 Blimbing Malang, sungguh sangat memilukan. Anak kandungnya Rifki Andika (12) tanggal 18 Pebruari 1993 (17 tahun lalu), ditabrak seorang Letnan Polisi di Jalan S. Parman Malang - sehingga tewas. Selama itu kasus itu digantung, tidak menentu. Sampai akhirnya tahun 2008 disidangkan di Pengadilan Negeri Malang, dan divonis bebas, alasan hakim kasus tersebut telah daluwarsa.[1] (Mestinya bukan bebas, melainkan diputus dengan amar ”negara tidak berhak menuntut karena daluwarsa”).

Ini satu bukti bahwa kasus oknum polisi dimana korbannya adalah rakyat kecil atau melarat, hampir pasti tersendat, bahkan berhenti tanpa kepastian. Akhir cerita, sudah dapat ditebak, kalau diajukan ke pengadilan, akan diputus negara tidak bisa menuntut lagi karena daluwarsa. Memang disengaja oleh oknum-oknum yang menangani, berdasarkan solidaritas yang membabi buta, dengan menyalahgunakan kewenangan. Pennanganan kasus semacam ini tentu masih banyak. Hanya tidak terekspos ke publik.

Bapak yang malang ini, sudah melakukan upaya apa saja secara terus menerus sampai detik ini. Namun tidak pernah digubris secara serius. Bahkan untuk yang terakhir kalinya Ia melakukan protes kepada aparat penegak hukum dengan berjalan kaki dari Malang menuju Istana Presiden. Dua puluh dua hari sampailah beliau di istana presiden. Tujuan satu-satunya meminta keadilan pada Pimpinan Tertinggi di Republik ini. Namun sampai detik ini tidak juga bisa bertemu. Bukan main susahnya ketemu Presidennya sendiri.

PERMASALAHAN HUKUM

Sesungguhnya hakim (2008) yang mengadili perkara ini tidak perlu buru-buru memutus Jaksa tidak berhak menuntut karena telah daluwarsa. Toh hakim dapat melakukan penafsiran atas Pasal 80 KUHP secara luas, demi untuk mencapai keadilan. Apa artinya? Belum tentu pada tahun 2008, bahkan sekarang kasus tersebut benar-benar daluwarsa.

Pasal 80 KUHP merumuskan sbb:
(1) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan umum .
(2) Sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.
Dari ketentuan di atas, berjalannya tenggang waktu/daluwarsa dapat dihentikan. Persoalannya adalah pada kalimat ini. Pertanyaan hukumnya ialah.
1. Apa sesungguhnya arti penuntutan? dan
2. Apa arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa?

Mencari arti yang sesungguhnya dengan cara menggali maksud apa yang terkandung di dalam istilah “penuntutan” (Vervolging), dan arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa? Mari kita bahas dua masalah tersebut.

Memang kalau kita melihat arti penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Selesailah masalahnya, karena pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum menlimpahkan perkara ke pengadilan negeri. Penghitungan daluwarsa penuntutan pidana dihitung sejak terjadinya tindak pidana. Tentu saja kalau berdasarkan KUHAP, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Selesailah sudah. PN telah benar.

Hanya tinggal mencari siapa-siapa penegak hukum yang terlibat yang sengaja merekayasa kasus ini sehingga daluwarsa. Dialah yang harus diperiksa. Jika ada terindikasi tindak pidana, misalnya menerima suap atau memalsu surat dalam hal penangananya, maka “bui” adalah tempat penegak hukum yang busuk seperti itu. Setidak-tidaknya sanksi jabatan harus dijatuhkan. Janganlah kita terbiasa menteloransi kesalahan seperti ini secara membabi buta.

Tapi, apakah hakim sudah benar memahami istilah yang ada di dalam KUHP dengan menggunakan KUHAP?. Suatu sumber hukum (KUHP) yang berlaku di Hindia Belanda sejak tanggal 1 Januari 1908. Sementara KUHAP berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981. Ada cara lain untuk memahami semua istilah dalam KUHP, yakni haruslah berdasarkan KUHP itu sendiri. Jangan berdasarkan KUHAP. Kalau ini yang menjadi titik pangkal berpikir, maka pengertian istilah penuntutan (vervolging) bisa lain, sebagaimana yang dipahami oleh Hakim PN Malang tersebut.

Menurut hemat saya, masih terbuka jalan untuk menggali maksud pembentuk UU yang sebenarnya, khususnya mencantumkan kalimat “asalkan tindakan (penuntutan) itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau diberitahukan kepadanya…”. Tentulah ada maksud pembentuk UU mengapa kalimat itu perlu dicantumkan.

Dari kalimat itu dapatlah kita tarik simpulannya. Bahwa ada penuntutan yang tidak diketahui oleh orang yang dituntut. Karena itu wajiblah diberitahukan padanya, sebagai syarat terhentinya daluwarsa penuntutan. Disamping itu tentulah ada penuntutan yang dengan secara otomatis (serta merta) tanpa diberitahukan, Ia mengetahuinya. Dan yang kedua inilah yang dimaksudkan penuntutan dalam arti KUHAP yang sekarang. Tidak perlu diberitahukan, toh si pelaku mengetahui dengan sendirinya, ketika Ia disidangkan untuk pertama kali. Bahkan sebelum diajukan ke pengadilan, Ia mengetahuinya melalui pengisian BA.15. Maksud BA.15 ialah terdakwa sebelum disidangkan, Ia dipanggil Jaksa untuk ditanyai hal kebenaran BAP yang dibuat Polisi Penyidik. BA itulah yang disebut dengan BA. 15.

Persoalan yang belum terjawab, ialah penuntutan yang semula tidak diketahui oleh yang dituntut. Apakah arti dan makna yang sesungguhnya? Menjawab permasalahan ini bisa dengan cara menggalinya menurut KUHP, bukan menurut KUHAP. Oleh karena itu untuk mengatasi kasus polisi yang menabrak mati anak pak Indra Azwan ini, harus dilihat dari KUHP.

Dari kalimat asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, mengandung arti bahwa, ada penuntutan yang tidak diketahui oleh penuntut. Nah dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya KUHP memberi arti istilah penuntutan bukan sebagai Jaksa menyerahkan berkas ke pengadilan dan meminta untuk menyidangkan dan memutus. Sebab kalau pembentuk KUHP semula memberi arti penuntutan sama dengan KUHAP (menyerahkan perkara ke pengadilan), maka kalimat “asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut” tidak diperlukan dicantumkan dalam Pasal 80 KUHP. Karena tidak mungkin tersangka tidak akan mengetahui kalau ia dituntut.

Secara akal tidak benar mencari arti istilah dalam KUHP yang berlaku sejak 1908 berdasarkan KUHAP yang berlakunya tahun 1981?

Kalau begitu apa artinya penuntutan dalam Pasal 80 KUHP. Jawaban singkatnya, ialah bahwa penututan itu sudah terjadi pada saat sebelum jaksa menyerahkan perkara ke pengadilan. Tapi pada saat penyidikan dilakukan, fase itu sudah disebut dengan penuntutan. Pendapat ini bisa dibandingkan dengan merujuk satu referensi - buku Jonkers.[2]. Itulah yang dimaksud dengan pengertian luas, yang sesuai dengan pengertian menurut KUHP. Bukan arti sempit menurut KUHAP.

Apabila hakim menggunakan pengertian luas, pengertian yang sesungguhnya - sebagai konsepsi Pasal 80 tentang pengertian penuntutan, maka bisa jadi saat ini kasus itu belum daluwarsa. Bisa jadi penyidikan sudah dilakukan sebelum masa 12 tahun sejak Polisi tersebut menabrak mati anak kesayangan Pak Indra Azwan tersebut. Pada saat itu berjalannya tenggang daluwarsa terhenti. Kalau terhenti, pastilah tahun 2008 bahkan sekarang mungkin belum 12 tahun sejak terhentinya.

Semoga hakim MA (apabila masih mungkin mengajukan upaya kasasi?) nanti menggunakan pendapat luas sebagaimana yang saya maksudkan. Lebih-lebih lagi kalau desakan meluas di masyarakat. Desakan diperlukan, karena masih ada jalan hukumnya, bukan tidak berdasar sama sekali. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendukung Bapak yang malang dari Malang tersebut.

Sebagai catatan. Selain pengertian penuntutan sebagaimana dimaksudkan Pasal 80 KUHP. KUHP juga memberi arti lain seperti Pasal 81 KUHP, disana arti penuntutan termasuk juga selama persidangan sampai diputus. Nah selama persidangan itu, penuntutan dapat dihentikan oleh hakim apabila terbukti ada perselisihan pra yudicial. Maka berdasarkan KUHP, penuntutan sudah terjadi pada saat penyidikan sampai di putusnya perkara tersebut oleh hakim. Kalau tidak diberi arti yang demikian, maka tidak mungkin pembentuk UU merumuskan Pasal 81 KUHP dengan bunyi yg demikian.

SEMOGA PARA PENEGAK HUKUM MEMILIKI PANDANGAN YANG LUAS DALAM PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENCAPAI KEADILAN.

GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM - SEBUAH SOLUSI.

Setiap tindak pidana pastilah di dalamnya mengandung sekali gus perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad, Pasal 1365 BW). Namun perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 BW belum tentu sekaligus merupakan tindak pidana.

Oleh karena itu, andaikata Bapak Indra Azwan merasa gagal memperjuangkan hak-haknya dari sudut hukum pidana. Mengapa tidak menggunakan melalui jalur gugatan perdata?. Seperti pernah terjadi di Malang. Seorang anak menabrak seorang pegawai suatu Instansi sehingga satu kakinya diamputasi. Kemudian menggugat perdata untuk penggantian kerugian pada orang tuanya, dengan menyita rumah mewahnya. Akhir cerita, rumah mewah tersebut dilelang - hasil lelang untuk membayar ganti rugi sebuah kaki. Apalagi sebuah nyawa. Pastilah bukan sebuah rumah ludes, bisa saja seluruh harta pak Polisi tersebut ludes, asal penegakan hukum dilakukan secara benar, adil, jujur dan tegas. Sesuai apa yang dikatakan artis Pong di atap gedung DPR. Paling tidak hartanya bisa berkurang buat bayar pengacara. Buat pelajaran, bahwa hukum lain masih ada diluar hukum pidana yang tidak bisa dia kuasai dan permainkan.

Saya menganjurkan kasus ini agar diselesaikan dengan mengajukan gugat perdata. Mumpung harta-harta yang ada belum dijual /dialihkan secara pura-pura. Meskipun Bapak Indra Azwan tentu tidak mau nyawa anaknya ditukar atau disamalkan dengan beberapa puluh juta rupiah atau ratusan juta rupiah. Namun yang sangat berharga, adalah, pengetahuan dan pelajaran bagi oknum penegak hukum dan siapa saja di bumi Indonesia Raya ini. Bahwa setiap upaya penyimpangan hukum dan pengelabuan hukum oleh siapaun, selalu mengandung akibat hukum bagi dirinya sendiri. Meskipun penegakan hukum pidana ada dalam genggamannya, namun oknum penegak hukum tidak boleh sak enaknya di negara hukum ini. Masih ada norma hukum lain yang tidak bisa dipermainkannya. Seperti kasus ini, gugatan perdata adalah sebuah solusi, yang sebelumnya mungkin tidak diperhitungkannya.

Demikian pendapat saya.

Semoga perjuangan Bapak Indra Azwan selama ini terkabul. Amin ya Robbal alamin.


Malang, Kampus FH UB, 2 Agustus 2010.
[1] Sinar Indonesia Baru, http://hariansib.com/ (mobil Sib), diakses 1-8-2010).
[2] Jonkers, JE. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda (Handboek van het Nederlandisch Indiche Strtafrecht), Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, halaman 241.