Kamis, 05 Agustus 2010

Oknum Polisi Tabrak Mati Anak, Gugatan Perdata Sebuah Solusi

GUGATAN PERDATA - SEBUAH SOLUSI
KASUS OKNUM POLISI TABRAK ANAK P. INDRA AZWAN
(H. Adami Chazawi)

PENDAHULUAN

Nasib Bapak Indra Azwan yang tinggal di Genukwatu Barat G II No. 95 Blimbing Malang, sungguh sangat memilukan. Anak kandungnya Rifki Andika (12) tanggal 18 Pebruari 1993 (17 tahun lalu), ditabrak seorang Letnan Polisi di Jalan S. Parman Malang - sehingga tewas. Selama itu kasus itu digantung, tidak menentu. Sampai akhirnya tahun 2008 disidangkan di Pengadilan Negeri Malang, dan divonis bebas, alasan hakim kasus tersebut telah daluwarsa.[1] (Mestinya bukan bebas, melainkan diputus dengan amar ”negara tidak berhak menuntut karena daluwarsa”).

Ini satu bukti bahwa kasus oknum polisi dimana korbannya adalah rakyat kecil atau melarat, hampir pasti tersendat, bahkan berhenti tanpa kepastian. Akhir cerita, sudah dapat ditebak, kalau diajukan ke pengadilan, akan diputus negara tidak bisa menuntut lagi karena daluwarsa. Memang disengaja oleh oknum-oknum yang menangani, berdasarkan solidaritas yang membabi buta, dengan menyalahgunakan kewenangan. Pennanganan kasus semacam ini tentu masih banyak. Hanya tidak terekspos ke publik.

Bapak yang malang ini, sudah melakukan upaya apa saja secara terus menerus sampai detik ini. Namun tidak pernah digubris secara serius. Bahkan untuk yang terakhir kalinya Ia melakukan protes kepada aparat penegak hukum dengan berjalan kaki dari Malang menuju Istana Presiden. Dua puluh dua hari sampailah beliau di istana presiden. Tujuan satu-satunya meminta keadilan pada Pimpinan Tertinggi di Republik ini. Namun sampai detik ini tidak juga bisa bertemu. Bukan main susahnya ketemu Presidennya sendiri.

PERMASALAHAN HUKUM

Sesungguhnya hakim (2008) yang mengadili perkara ini tidak perlu buru-buru memutus Jaksa tidak berhak menuntut karena telah daluwarsa. Toh hakim dapat melakukan penafsiran atas Pasal 80 KUHP secara luas, demi untuk mencapai keadilan. Apa artinya? Belum tentu pada tahun 2008, bahkan sekarang kasus tersebut benar-benar daluwarsa.

Pasal 80 KUHP merumuskan sbb:
(1) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan umum .
(2) Sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.
Dari ketentuan di atas, berjalannya tenggang waktu/daluwarsa dapat dihentikan. Persoalannya adalah pada kalimat ini. Pertanyaan hukumnya ialah.
1. Apa sesungguhnya arti penuntutan? dan
2. Apa arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa?

Mencari arti yang sesungguhnya dengan cara menggali maksud apa yang terkandung di dalam istilah “penuntutan” (Vervolging), dan arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa? Mari kita bahas dua masalah tersebut.

Memang kalau kita melihat arti penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Selesailah masalahnya, karena pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum menlimpahkan perkara ke pengadilan negeri. Penghitungan daluwarsa penuntutan pidana dihitung sejak terjadinya tindak pidana. Tentu saja kalau berdasarkan KUHAP, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Selesailah sudah. PN telah benar.

Hanya tinggal mencari siapa-siapa penegak hukum yang terlibat yang sengaja merekayasa kasus ini sehingga daluwarsa. Dialah yang harus diperiksa. Jika ada terindikasi tindak pidana, misalnya menerima suap atau memalsu surat dalam hal penangananya, maka “bui” adalah tempat penegak hukum yang busuk seperti itu. Setidak-tidaknya sanksi jabatan harus dijatuhkan. Janganlah kita terbiasa menteloransi kesalahan seperti ini secara membabi buta.

Tapi, apakah hakim sudah benar memahami istilah yang ada di dalam KUHP dengan menggunakan KUHAP?. Suatu sumber hukum (KUHP) yang berlaku di Hindia Belanda sejak tanggal 1 Januari 1908. Sementara KUHAP berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981. Ada cara lain untuk memahami semua istilah dalam KUHP, yakni haruslah berdasarkan KUHP itu sendiri. Jangan berdasarkan KUHAP. Kalau ini yang menjadi titik pangkal berpikir, maka pengertian istilah penuntutan (vervolging) bisa lain, sebagaimana yang dipahami oleh Hakim PN Malang tersebut.

Menurut hemat saya, masih terbuka jalan untuk menggali maksud pembentuk UU yang sebenarnya, khususnya mencantumkan kalimat “asalkan tindakan (penuntutan) itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau diberitahukan kepadanya…”. Tentulah ada maksud pembentuk UU mengapa kalimat itu perlu dicantumkan.

Dari kalimat itu dapatlah kita tarik simpulannya. Bahwa ada penuntutan yang tidak diketahui oleh orang yang dituntut. Karena itu wajiblah diberitahukan padanya, sebagai syarat terhentinya daluwarsa penuntutan. Disamping itu tentulah ada penuntutan yang dengan secara otomatis (serta merta) tanpa diberitahukan, Ia mengetahuinya. Dan yang kedua inilah yang dimaksudkan penuntutan dalam arti KUHAP yang sekarang. Tidak perlu diberitahukan, toh si pelaku mengetahui dengan sendirinya, ketika Ia disidangkan untuk pertama kali. Bahkan sebelum diajukan ke pengadilan, Ia mengetahuinya melalui pengisian BA.15. Maksud BA.15 ialah terdakwa sebelum disidangkan, Ia dipanggil Jaksa untuk ditanyai hal kebenaran BAP yang dibuat Polisi Penyidik. BA itulah yang disebut dengan BA. 15.

Persoalan yang belum terjawab, ialah penuntutan yang semula tidak diketahui oleh yang dituntut. Apakah arti dan makna yang sesungguhnya? Menjawab permasalahan ini bisa dengan cara menggalinya menurut KUHP, bukan menurut KUHAP. Oleh karena itu untuk mengatasi kasus polisi yang menabrak mati anak pak Indra Azwan ini, harus dilihat dari KUHP.

Dari kalimat asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, mengandung arti bahwa, ada penuntutan yang tidak diketahui oleh penuntut. Nah dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya KUHP memberi arti istilah penuntutan bukan sebagai Jaksa menyerahkan berkas ke pengadilan dan meminta untuk menyidangkan dan memutus. Sebab kalau pembentuk KUHP semula memberi arti penuntutan sama dengan KUHAP (menyerahkan perkara ke pengadilan), maka kalimat “asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut” tidak diperlukan dicantumkan dalam Pasal 80 KUHP. Karena tidak mungkin tersangka tidak akan mengetahui kalau ia dituntut.

Secara akal tidak benar mencari arti istilah dalam KUHP yang berlaku sejak 1908 berdasarkan KUHAP yang berlakunya tahun 1981?

Kalau begitu apa artinya penuntutan dalam Pasal 80 KUHP. Jawaban singkatnya, ialah bahwa penututan itu sudah terjadi pada saat sebelum jaksa menyerahkan perkara ke pengadilan. Tapi pada saat penyidikan dilakukan, fase itu sudah disebut dengan penuntutan. Pendapat ini bisa dibandingkan dengan merujuk satu referensi - buku Jonkers.[2]. Itulah yang dimaksud dengan pengertian luas, yang sesuai dengan pengertian menurut KUHP. Bukan arti sempit menurut KUHAP.

Apabila hakim menggunakan pengertian luas, pengertian yang sesungguhnya - sebagai konsepsi Pasal 80 tentang pengertian penuntutan, maka bisa jadi saat ini kasus itu belum daluwarsa. Bisa jadi penyidikan sudah dilakukan sebelum masa 12 tahun sejak Polisi tersebut menabrak mati anak kesayangan Pak Indra Azwan tersebut. Pada saat itu berjalannya tenggang daluwarsa terhenti. Kalau terhenti, pastilah tahun 2008 bahkan sekarang mungkin belum 12 tahun sejak terhentinya.

Semoga hakim MA (apabila masih mungkin mengajukan upaya kasasi?) nanti menggunakan pendapat luas sebagaimana yang saya maksudkan. Lebih-lebih lagi kalau desakan meluas di masyarakat. Desakan diperlukan, karena masih ada jalan hukumnya, bukan tidak berdasar sama sekali. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendukung Bapak yang malang dari Malang tersebut.

Sebagai catatan. Selain pengertian penuntutan sebagaimana dimaksudkan Pasal 80 KUHP. KUHP juga memberi arti lain seperti Pasal 81 KUHP, disana arti penuntutan termasuk juga selama persidangan sampai diputus. Nah selama persidangan itu, penuntutan dapat dihentikan oleh hakim apabila terbukti ada perselisihan pra yudicial. Maka berdasarkan KUHP, penuntutan sudah terjadi pada saat penyidikan sampai di putusnya perkara tersebut oleh hakim. Kalau tidak diberi arti yang demikian, maka tidak mungkin pembentuk UU merumuskan Pasal 81 KUHP dengan bunyi yg demikian.

SEMOGA PARA PENEGAK HUKUM MEMILIKI PANDANGAN YANG LUAS DALAM PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENCAPAI KEADILAN.

GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM - SEBUAH SOLUSI.

Setiap tindak pidana pastilah di dalamnya mengandung sekali gus perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad, Pasal 1365 BW). Namun perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 BW belum tentu sekaligus merupakan tindak pidana.

Oleh karena itu, andaikata Bapak Indra Azwan merasa gagal memperjuangkan hak-haknya dari sudut hukum pidana. Mengapa tidak menggunakan melalui jalur gugatan perdata?. Seperti pernah terjadi di Malang. Seorang anak menabrak seorang pegawai suatu Instansi sehingga satu kakinya diamputasi. Kemudian menggugat perdata untuk penggantian kerugian pada orang tuanya, dengan menyita rumah mewahnya. Akhir cerita, rumah mewah tersebut dilelang - hasil lelang untuk membayar ganti rugi sebuah kaki. Apalagi sebuah nyawa. Pastilah bukan sebuah rumah ludes, bisa saja seluruh harta pak Polisi tersebut ludes, asal penegakan hukum dilakukan secara benar, adil, jujur dan tegas. Sesuai apa yang dikatakan artis Pong di atap gedung DPR. Paling tidak hartanya bisa berkurang buat bayar pengacara. Buat pelajaran, bahwa hukum lain masih ada diluar hukum pidana yang tidak bisa dia kuasai dan permainkan.

Saya menganjurkan kasus ini agar diselesaikan dengan mengajukan gugat perdata. Mumpung harta-harta yang ada belum dijual /dialihkan secara pura-pura. Meskipun Bapak Indra Azwan tentu tidak mau nyawa anaknya ditukar atau disamalkan dengan beberapa puluh juta rupiah atau ratusan juta rupiah. Namun yang sangat berharga, adalah, pengetahuan dan pelajaran bagi oknum penegak hukum dan siapa saja di bumi Indonesia Raya ini. Bahwa setiap upaya penyimpangan hukum dan pengelabuan hukum oleh siapaun, selalu mengandung akibat hukum bagi dirinya sendiri. Meskipun penegakan hukum pidana ada dalam genggamannya, namun oknum penegak hukum tidak boleh sak enaknya di negara hukum ini. Masih ada norma hukum lain yang tidak bisa dipermainkannya. Seperti kasus ini, gugatan perdata adalah sebuah solusi, yang sebelumnya mungkin tidak diperhitungkannya.

Demikian pendapat saya.

Semoga perjuangan Bapak Indra Azwan selama ini terkabul. Amin ya Robbal alamin.


Malang, Kampus FH UB, 2 Agustus 2010.
[1] Sinar Indonesia Baru, http://hariansib.com/ (mobil Sib), diakses 1-8-2010).
[2] Jonkers, JE. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda (Handboek van het Nederlandisch Indiche Strtafrecht), Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, halaman 241.

Minggu, 25 Juli 2010

Berciuman Bibir Di Muka Umum, Dipidanakah ?

BERCIUMAN BIBIR DI MUKA UMUM –
DIPIDANAKAH ??
(Tinjauan dari KUHP & UU ITE)
H. Adami Chazawi
(Untuk Mahasiswa FH UB, khususnya
yang memprogramkan KTSH).


PENDAHULUAN

Untuk menyatakan perasaan, orang bisa melakukan dengan cara mencium atau berciuman. Menyatakan sayang pada anak, orang mencium kening atau pipi si anak. Untuk menyatakan keakraban (sesama jenis), dengan berciuman pipi. Untuk menyatakan hormat pada seseorang, bisa dilakukan dengan mencium tangannya. Seperti Anggodo mencium tangan mantan pejabat tinggi Kejaksaan Agung di muka persidangan pengadilan yang lalu. Menyatakan cinta atau melampiaskan birahi, dapat dengan melakukan mencium bibir lawan jenisnya.

Untuk ciuman yang terakhir halal saja dilakukan, asalkan tidak dilihat oleh umum, misalnya di dalam kamar atau di hutan sekalian seperti tarzan. Bebeda halnya apabila mencium atau berciuman bibir di lakukan di muka umum. Orang yang melihat adegan tersebut terganggu rasa kesusilaannya. Contoh K dan pacarnya berciuman di muka para wartawan intertainment. Kemudian ditayangkan oleh station TV. Masyarakat memberi rekasi - mencela pertunjukan adegan baku cium tersebut. Sebagaimana dapat dibaca di koran-koran, siran TV dan jejaring sosial (internet). MUI juga segera memberi reaksi. Ketua MUI KH Hamidan menyatakan “mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan”.[1] Tak tahan menghadapi reaksi dari masyarakat, K pun menyatakan “meminta maaf” atas kelakuan yang membuat banyak orang tergganggu rasa kesusilannya tersebut.[2]

Keadaan tersebut membuktikan bahwa, di dalam kehidupan masyarakat, ada nilai-nilai kesusilaan yang hidup, dihargai, dianut dan dipertahankan. Kenyataan adanya reaksi masyarakat tersebut, adalah suatu bukti bahwa nilai-nilai kesusilaan itu ada dan hidup dan keberlakuannya dipertahankan masyarakat.

Timbulnya reaksi masyarakat seperti itu, membuktikan pula bahwa, setiap individu tidak saja harus menegakkan hukum dalam sikap dan perbuatannya, tetapi juga perlu menegakkan norma-norma lainnya, seperti norma kesusilaan dan norma agama. Meskipun terhadap isi bagian tertentu norma kesusilaan dan norma agama belum diadopsi ke dalam norma hukum. Belum teradopsi ke dalam norma hukum, tidak menjadi alasan bagi setiap individu untuk tidak menjalankan dan mematuhi norma-norma kesusilaan dan norma agama. Banyak norma-norma agama yang tanpa disadari telah diadopsi ke dalam norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu melanggar norma-norma kesusilaan dapat dinilai sekaligus melanggar norma agama. Misalnya perbuatan bersetubuh diluar nikah. Dilarang oleh norma agama, kesusilaan, yang dengan syarat-syarat tertentu dilarang pula oleh hukum.[3] Nilai-nilai moral kesusilaan yang berasal dari norma agama telah diadopsi ke dalam norma hukum.

Norma-norma kesusilaan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal kesopanan setiap orang dalam pergaulan hidup sesamanya dalam masyarakat. Nilai-nilai kesusilaan yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dapat mencerminkan sifat dan karakter dari suatu lingkungan masyarakat, bahkan suatu bangsa . Patokan patut atau tidak patutnya suatu perbuatan, dianggap menyerang atau tidak terhadap kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan tidak semata-mata bersifat individual, tetapi juga bersifat sosial.[4] Seperti lain jenis berciuman bibir di muka umum. Bukan individu tertentu yang merasa terganggu rasa kesusilaannya, melainkan juga orang-orang lainnya. Maka sifat melanggar kesusilaan yang melekat pada kelakuan seperti itu telah bersifat sosial, menjadi kejahatan sosial. Jika ada padanannya di dalam hukum pidana, menjadi kejahatan menurut hukum yang dapat dipidana.

BERCIUMAN BIBIR DI MUKA UMUM, KEJAHATAN HUKUMKAH?


Hal berciuman (bibir) di muka umum menjadi polemik, akibat kelakuan K dan pacarnya berciuman di hadapan para wartawan pada konferensi pers (21-7-2010) yang diadakannya. Polemik tersebut adalah merupakan rekasi dari masyarakat, yang rasa kesusilaannya telah diganggu. Reaksi ini dapat menjadi reaksi hukum (sanksi hukum), manakalah kelakuan seperti itu dapat dipidana karena ada padanannya di dalam hukum pidana.

Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kelakuan K dan pacarnya tersebut merupakan suatu kejahatan hukum. Tidak sama sekali. Andaikata pun terpaksa, paling-paling akan mengatakan kelakuan seperti itu dapat diduga suatu kejahatan hukum. Karena tulisan ini semata-mata membicarakan kelakuan orang lain jenis berciuman di muka umum secara umum. Tidak secara spesifik menunjuk kelakuan K tersebut. Kelakuan mereka itu sekedar “keadaan” yang memotivasi penulis untuk mencoba mengemukakan pendapat tentang masalah “berciuman bibir” di muka umum.

Pasal 281 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-:
1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Ada dua bentuk kejahatan melanggar kesusilaan umum, yakni yang satu dirumuskan pada angka 1, dan kejahatan yang kedua dirumuskan pada angka 2.

Unsur-unsur kejahatan angka 1, adalah:
a. Perbuatan: melanggar kesusilaan;
b. secara terbuka.
c. Kesalahan: sengaja

Kata “melanggar” dalam frasa “melanggar kesusilaan” tidak ada hubungannya dengan kata “pelanggaran” asal kata dari overtredingen (jenis-jenis delik buku III KUHP), melainkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang.[5] Melanggar kesusilaan (schennis der eerbaarheid), suatu rumusan perbuatan yang bersifat abstrak, tidak konkret. Isi atau wujud konkretnya tidak dapat ditentukan, karena wujud konkretnya ada sekian banyak jumlahnya, bahkan tidak terbatas. Wujud perbuatan baru dapat diketahui manakala perbuatan itu telah terjadi secara sempurna. Misalnya: bertelanjang, berciuman, memegang alat kelaminnya atau alat kelamin orang lain, memegang buah dada seorang perempuan, memperlihatkan penisnya atau vaginanya dan lain sebagaianya. Termasuk berciuman bibir. Tentu saja semua harus dilakukan di muka umum (openbaar).

Unsur dimuka umum inilah yang menjadi penyebab semua perbuatan di atas menjadi perbuatan melanggar kesusilaan, artinya melekat sifat tercela atau melawan hukum pada perbuatan melanggar kesusilaan. Walaupun unsur melawan hukum dalam kejahatan ini tidak dirumuskan sebagai unsur (tertulis), tetapi sudah pasti sifat tercela ini selalu ada, dan keberadaannya itu telah dengan sendirinya melekat pada unsur secara terbuka (openbaar) atau dimuka umum.[6]

Sifat melanggar kesusilaan dari suatu perbuatan melanggar kesusilaan, yang melekat pada unsur “di muka umum”, sebagaimana pada umumnya kejahatan kesusilaan. Keberlakuan difinitifnya bergantung pada waktu dan tempat dilakukannya perbuatan. Dapat dikatakan relatif. Bergantung dari masyarakatnya, tempatnya dan temponya. Pendapat demikian benar, namun perlu diketahui bahwa tidak semua wujud perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum mempunyai sifat relatif, ada wujud perbuatan tertentu yang dinilai menyerang rasa kesusilaan bagi setiap golongan masyarakat dimanapun berada dan untuk setiap masa. Misalnya bersetubuh ditempat umum atau dimuka orang banyak, perbuatan mana serupa dengan perbuatan binatang dalam melampiaskan nafsu birahinya.

Bagaimana dengan berciuman bibir di muka umum? Berciuman bibir antara dua orang yang berlainan jenis, adalah merupakan: (1) wujud pelaksanaan dari cinta birahi, (2) bagian dari persenggamaan. Senggama merupakan puncak dari segala wujud perbuatan dalam hal melampiaskan nafsu birahi manusia. Oleh karena berciuman seperti itu merupakan bagian dari melampiaskan cinta birahi, bila dilakukan di muka umum menjadi tercela. Nilai-nilai susila di masyarakat kita, tetap mencela terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan kelakuan melampiaskan birahi. Sebagai indikatornya adalah reaksi masyarakat terhadap kelakuan tersebut, sebagaimana pada pendahuluan di atas telah dibicarakan. Kelakuan buruk ini dapat masuk pada perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum menurut arti dari Pasal 281 KUHP tersebut.

Pasal 27 Ayat (1) jo 45 UU Ayat (1) No. 11/2008 Tentang ITE jo 56 KUHP.

Pasal 27 (1) jo 45 (1) UU No. 11/2008:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kita coba menggunakan ketentuan hukum pidana di atas untuk menganalisis kasus berciuman bibir di muka umum. Unsur-unsurnya berikut ini.
· Perbuatan: (a) mendistribusikan, (b) mentransmisikan; (c) membuat dapat diaksesnya.
· Objek:: (a) informasi elektronik dan/atau. (b) dokumen Eelektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
· Kesalahan: sengaja
· Melawan hukum: tanpa hak

Perbuatan mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[7] Dalam konteks dengan kejahatan kesusilaan menurut Pasal 27 (1) tersebut, perbuatan mendistribusikan dapat didefinisikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.

Menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang (benda) kepada orang lain (benda lain).[8] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.[9]

Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.[10]

Dihubungkan dengan objek tindak pidana menurut Pasal 27 Ayat (1) UU ITE. Perbuatan membuat dapat diaksesnya adalah melakukan perbuatan dengan cara apapun melalui perangkat elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi terhadap data atau sekumpulan data elektronik dalam melakukan transaksi elektronik yang menyebabkan data elektronik tersebut menjadi dapat diakses oleh orang lain atau benda elektronik lain.[11]

Ada 2 objek tindak pidana.
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (elektronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[12]
Sementara dokumen elektronik tidak diberikan keterangan apapun dalam UU ITE. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan. Dokumen adalah 1 surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian); 2 barang cetakan atau naskah karangan yang dikirim melalui pos; 3 rekaman suara, gambar dalam filem, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti keterangan.[13]
Dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan menerapkannya pada objek tindak pidana, maka dapat didefinisikan. Dokumen elektronik adalah surat tertulis atau tercetak yang disimpan secara elektronik yang isinya dapat dipakai sebagai bukti berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sementara objek “yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah dibicarakan sebelumnya. Unsur ini disebut unsur keadaan yang menyertai yang melekat pada objek dokumen elektronik atau informasi elektronik.

Kini semakin jelas, bahwa tiga perbuatan dalam Pasal 27 (1) dengan objek informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat diterapkan terhadap kasus orang yang di duga berciumam bibir di muka umum. Kepada siapa? Tentulah kepada siapa yang melakukan tiga perbuatan tersebut.

Tentulah bukan wartawan – peliput maupun si pembuat yang berciuman sebagai subjek hukum yang dapat dibebani tanggungg jawab pidana sebagai pembuat (pembuat tunggal/dader atau pembuat pelaksana/pleger). Namun bukan berarti kedua subjek hukum yang disebut terakhir dilepaskan begitu saja dari tanggungjawab pidana (toerekeningsvatbaar). Kedua subjek hukum tersebut terakhir dapat dibebani tanggung jawab pidana sebagai pembuat peserta (medepleger) berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) angka 1 KUHP. Pertimbangan hukumnya, ialah wartawan peliput dan orang yang berciumam bibir telah menyadari bahwa informasi atau dokumen elektronik yang di buat tersebut hendak di distribusikan atau ditransmisikan melalui seperangkat alat elektronik. Sementara Ia sadar bukan mereka yang akan melakukannya. Namun perbuatan mentransmisikan atau mendistribusikan tidak bisa dilakukan tanpa didahului oleh perbuatan mereka tersebut. Syarat seorang medepleger, ialah kesengajaannya sama dengan kesengajaan si pembuat pelaksananya. Sementara perbuatannya tidak penting harus sama.

Sekian dulu.

Mahasiwa FH UB, diijinkan untuk mengkopi. Namun tidak diijinkan untuk merubah tulisan.

Malang, kampuis FH UB, 24-07-2010.
[1] Kompas, com (22-7-2010).
[2] Kompas.com (23-7-2010).
[3] Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit IMM –ITS Press, Surabaya, halaman 5.
[4] Ibid, halaman 6.
[5] Adami Chazawi, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, halaman 16.
[6] Ibid.
[7] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[9] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit ITS Press – PMM, Surabaya, halaman 283.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
[13] Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit., halaman 338.

Jumat, 16 Juli 2010

ANALISIS HUKUM KASUS ARIEL

ANALISIS HUKUM KASUS ARIEL
KASUS PORNOGRAFI ORANG MIRIP ARIEL??
(H. Adami Chazawi)
Ditujukan Untuk Mahasiswa FH UB

PENDAHULUAN

Ada ahli hukum kita, baik pengamat maupun praktisi, yang mengemukakan Pasal 281, 282 KUHP dan Pasal 27 Ayat (1) jo 45 Ayat (1) UU ITE, dapat diterapkan pada kasus orang yang mirip Ariel. Sebagian ahli menunjuk Pasal 29 jo 4 Ayat (1), dan 32 jo 6 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Mari kita telaah sumber-sumber hukum tersebut.

Terdapat konsepsi-konsepsi hukum di dalam setiap macam tindak pidana yang dibentuk Pembuat UU. Konsepsi hukum tersebut bahkan terdapat di dalam setiap unsur. Konsepsi-konsepsi hukum yang dimaksud terkadang berupa petunjuk di dalam Memorie van Toelichting (untuk WvS), (misalnya pengertian barang pada pencurian adalah barang bergerak dan berwujud) atau di dalam Penjelasan UU dan atau juga di dalam Pasal 1 tentang pengertian-pengertian (diluar KUHP). Jika tidak ada petunjuk atau penjelasan, konsepsi-konsepsi hukum tersebut dapat dicari dan dipikirkan berdasarkan ilmu hukum dengan menggunakan logika dan akal. Konspesi-konsepsi yang demikian ini ditemukan melalui pemikiran para ahli hukum. Kali ini mari kita coba menganalisis kasus orang mirip Ariel ini berdasarkan konsepsi-konsepsi hukum yang penulis maksudkan. Agar kita, terutama para mahasiswa menjadi kritis dalam hal menerima informasi yang belum tentu kebenaran hukumnya.

1. Pasal 281 KUHP
Pasal 281: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,00
1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.[1]

Ada dua macam kejahatan melanggar kesusilaan dalam Pasal 281 masing-masing pada angka 1 dan angka 2.

KEJAHATAN KESUSILAAN ANGKA 1

Perlu diketahui bahwa konsepsi hukum mengenai kejahatan Pasal 281 Angka 1 ini adalah kejahatan dimana sifat melanggar kesusilaannya sudah melekat dengan sendirinya secara langsung dan seketika itu pada diri si pembuat pada saat melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang ketika itu dilihat orang banyak. Artinya sifat melanggar kesusilaannya melekat pada objek tubuhnya sendiri ketika melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan tersebut. Misalnya orang yang bertelanjang di muka umum atau bersenggama di muka umum. Pasal 281 Angka 1 tidak berlaku bagi kejahatan kesusilaan dimana sifat melanggar kesusilaannya itu melekat atau terdapat di luar tubuh si pelaku ketika ia berbuat tertentu. Tidak berlaku pada kejahatan-kejahatan yang sifat melanggar kesusilaannya melekat selain pada tubuh si pembuat, misalnya memperlihatkan gambar laki-laki sedang beronani atau perempuan sedang bermaturbasi pada beberapa orang. Contoh terakhir masuk pornografi Pasal 282 Ayat (1) KUHP. Pada contoh terakhir ini, sifat melanggar kesusilannya melekat pada isi gambarnya ketika diperlihatkan pada orang banyak/umum, bukan melekat pada perbuatan memperlihatkan.

KEJAHATAN KESUSILAAN ANGKA 2
Kejahatan kesusilaan angka 2 tidak mungkin diterapkan pada kasus orang yang mirip Ariel. Satu-satunya alasan bahwa rumusan Angka 2 perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat harus di hadapan orang-orang lain (umum) yang ada di tempat melakukan perbuatan a susila tersebut, bukan karena orang lain itu sengaja datang untuk melihat atau mengetahui si pembuat melakukan kejahatan a susila tersebut. Ratio dari ketentuan Angka 2 ini ialah pembentuk UU tidak menghendaki untuk melindungi kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan terhadap orang-orang yang sengaja melihat orang yang berbuat yang kalau di muka umum - melanggar kesusilaan. Ratio ini amat sesuai dengan logika umum. Bahwa orang yang sengaja kurang ajar (melihat orang lain yang jiika di muka umum - melanggar kesusilaan, misalnya bersenggama) tidak perlu diberi perlindungan hukum mengenai rasa kesusilaannya. Dengan kata lain orang yang sengaja melihat orang lain sedang bersenggama, harus dianggap tidak memiliki rasa kesusilaan. Karena itu tidak perlu memberi perlindungan hukum mengenai rasa kesesuilaannya.

Pembentuk UU menganggap bahwa “tidak perlu melindungi rasa kesusilaan bagi orang yang tidak memiliki rasa kesusilaan”. Contohnya, tidak mungkin dipidana sepasang “kemanten anyar” ketika sedang bersenggama yang dilihat oleh anak-anak kos di rumahnya, apabila anak-anak kos tersebut sengaja beramai-ramai mengintipnya. Meskipun terang persenggamaan itu dihadapan/ dilihat oleh banyak orang. Lain halnya apabila sepasang penganten baru tersebut sengaja bermain cinta agar dilihat orang banyak dengan sengaja membuka pintu dan jendela kamarnya lebar-lebar, yang disadarinya disekitar itu berkeliaran anak-anak kos. Tentu saja kedua manten anyar yang kurang ajar ini harus dibebani tanggung jawab pidana menurut Pasal 281 Angka 2 atas perbuatannya itu, meskipun bermainnya di kamarnya sendiri.

Kasus Orang Mirip Ariel
Kalau kita terapkan pada kasus kesusilaan orang yang mirip Ariel dalam vedio persenggamaan yang beredar di situs internet yang bikin heboh Menteri dan Presiden ini, tentu Pasal 281 tidak tepat. Satu-satunya alasan, bahwa Pasal 281 angka 1 sifat pelanggaran kesusilaannya itu melekat pada si pembuat sendiri ketika si pembuat berbuat dilihat banyak orang. Misalnya seorang mahasiswa memperlihatkan alat kelaminnya pada teman-temannya. Sementara gambar bergerak persenggamaan ketika orang mirip Ariel, Luna dan Cut Tari bermain cinta tidak ada orang lain yang melihat. Sifat melanggar kesusilaan menurut Pasal 281 bukan melekat pada gambar videonya, tetapi melekat pada tubuh ketiganya ketika berbuat tersebut yang (kalau) “dilihat orang banyak”. Sifat melanggar kesusilaan yang merupakan sifat melawan hukumnya dari wujud-wujud perbuatan si pembuat menurut Pasal 281 terletak/melekat pada unsur “dilihat umum” atau di muka umum. Keadaan orang banyak melihat ketika mereka bersenggama pada kasus orang mirip Ariel ini jelas tidak ada.

Kalau kemudian gambar bergerak orang bersenggama di dalam video (bukan videonya lho) dengan alat-alat tertentu dengan cara-cara (teknologi) tertentu dipertunjukan pada banyak orang/umum, barulah timbul sifat melanggar kesusilaannya. Namun sifat melanggar kesusilaan yang terakhir ini bukan sifat melanggar kesusilaan sebagaimana yang dimaksud Pasal 281 (maupun Pasal 282 yang akan dijelaskan dibawah nanti).

2. Pasal 282 KUHP – Tindak Pidana Pornografi

Pasal 282:
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan atau gambar atau benda tersebut, memasukkannya kedalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkaannya atau menunjukannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
(2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membikin memasukkan kedalam negeri, meneruskan, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencaharian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 75.000,00.[2]

Dari sudut unsur kesalahan, Pasal 282 memuat dua tindak pidana pornografi sengaja (Ayat 1) dan tindak pidana pornografi kulpa/kelalaian (Ayat 2).
Tindak pidana pornografi sengaja Ayat (1) terdiri dari 3 macam, ialah:
a. Tindak pidana pornografi menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan.
b. Tindak pidana pornografi dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan, gambar, benda, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, memiliki persediaan tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan.
c. Tindak pidana secara terang-terangan dengan mengedarkan tulisan/surat, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang diketahuinya isinya melanggar kesusilaan.

Tindak pidana pornografi kulpa juga tiga macam, ialah:
a. Tindak pidana pornografi menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut melanggar kesusilaan.
b. Tindak pidana pornografi dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan, gambar, benda, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, memiliki persediaan tulisan, gambar atau benda yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut melanggar kesusilaan.
c. Tindak pidana secara terang-terangan dengan mengedarkan tulisan/surat, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut isinya melanggar kesusilaan.

Tentang Objek dan Perbuatan Tindak Pidana Pornografi Pasal 282

Jelas objek tindak pidana pornografi ada 3 macam, ialah gambar (afbeeldingen), tulisan (geschriften) dan benda (voorwerp). Cukup lengkap perbuatan yang dilarang dalam Ayat (1) maupun Ayat (2) tersebut, antara lain yang menurut perkiraan orang dilakukan oleh orang mirip Ariel adalah: mempertunjukan (tentoon stellen) dan menyiarkan (verspreiden).
Konsepsi Hukum Mengenai Gambar (Afbeeldingen)

Konsepsi hukum mengenai gambar di dalam Pasal 282 ini berbeda dengan gambar di dalam sebuah video. Pengertian gambar dalam konsepsi pornografi menurut Pasal 282 adalah coretan-coretan yang sengaja dibuat mengenai tiruan dari suatu benda, tepatnya lukisan gitu lho. Bisa diperluas dengan gambar yang dibuat dengan alat, misalnya dengan mesin cetak atau poto tustel dsb. Namun tidak mungkin gambar yang masih ada di dalam video, lebih-lebih di jaringan internet. Alasannya ialah bahwa gambar yang sifanya melanggar kesusilaan atau isinya yang memuat kecabulan (jika diperlihatkan di muka umum) yang dimaksud Pasal 282 adalah pada objek gambarnya yang semata-mata melekat di atas /pada kertas dan semacamnya. Pada gambar yang melekat di atas kertas semacam ini langasung dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain, tanpa harus melakukan perbuatan-perbuatan dengan cara serta metode tertentu seperti halnya gambar bergerak bersuara di jaringan internet. Gambar yang melekat di atas kertas yang langsung dapat dilihat inilah melekat sifat melanggar kesusilaannya.

Sudah barang tentu keadaan dan sifat gambar menurut konsepsi Pasal 282 seperti ini tidak mungkin terdapat pada benda yang masih di dalam sebuah video, sekeping CD/VCD, flash disk atau yang semacamnya. Lebih-lebih lagi dalam sebuah file di situs internet, dimana orang-orang baru dapat melihatnya dengan menggunakan alat dengan cara, metode dan teknologi tertentu. Tanpa alat dan pengetahuan tertentu mengenai cara-cara dan metode serta teknologi tertentu, tidak mungkin orang dapat melihat gambar di dalamnya.

Konsepsi hukum mengenai gambar menurut Pasal 282 yang demikian ini dapat dipikirkan bahwa ketika KUHP dibuat tidak ada gambar-gambar lebih-lebih lagi gambar gergerak bersuara yang dapat disimpan di dalam Video atau file-file di Personal Komputer atau jaringan internet dan sebagainya seperti keadaan sekarang ini. Apabila hakim menganggap bahwa gambar yang tersimpan dalam video termasuk juga pengertian gambar yang dimaksud dalam Pasal 282 KUHP, maka hakim sudah keluar dari konsepsi hukum mengenai gambar menurut Pasal 282, melainkan telah menafsirkannya. Masalahnya sudah menjadi lain, sudah masuk masalah apakah cara menafsirkan yang digunakan hakim dapat dibenarkan?

Dalam hukum pidana cara-cara menafsirkan sangat ketat, dibatasi oleh model dan cara penafsiran yang ada dan dikenal dalam doktrin. Acap kali hakim menyalahgunakan kewenangannya dengan menafsirkan terlalu luas, sehingga membunuh norma hukum pidana itu sendiri, hakim telah bertindak sebagai pembuat UU, bukan lagi menemukan hukum sebagimana yang dimaksud pada awal tulisan ini dengan menggali untuk mencari dan menemukan konsepsi-
konsepsi hukum dalam rumusan tindak pidana. Hakim kita acap kali menggunakan analogi yang dilarang dipergunakan dalam hukum pidana karena bertentangan dengan Pasal 1 KUHP. Lalu hakim tersebut mengatakan dia tidak menggunakan analogi tetapi penafsiran ekstensif. Itu akal-akalan hakim saja dengan berlindung di bawah jargon “kebebasan hakim”. Sebenarnya ekstensif itu adalah penghalusan saja dari analogi. Berbeda dari sudut graduil saja.[3] Sifat keduanya sama.[4] Cara-cara bekerjanya tidaklah berbeda. [5]

Kosepsi Hukum Mengenai Perbuatan Menyebarkan (Verspreiden).
Sangat sulit dan mengganjal untuk menerapkan Pasal 282 KUHP pada kasus orang mirip Ariel ini, bukan sekedar karena konsepsi mengenai gambar saja sebagaimana yang diterangkan di atas, tetapi juga konsepsi dari perbuatan menyebarkan (verspreiden) atau mempertunjukkan (ten toon stelen) gambar di muka umum tersebut. Bahwa perbuatan itu harus dilakukan langsung pada benda gambarnya diatas kertas atau semacamnya, bukan pada seperti menunjukan sekeping CD atau VCD (yang di dalamnya ada gambar porno). Lagi pula konsepsi perbuatan menyebarkan (verspreiden) menurut arti yang sebenarnya adalah gambar tersebut berada dalam wadah (banyak) lembar-lembar kertas atau semacamnya (gambarnya banyak), kemudian kertas-kertas yang memuat gambar tersebut disebar, dibagi-bagikan, diserahkan pada banyak orang. Tempos perbuatan menyebarkan dengan tempos diketahuinya gambar adalah bersamaan. Sangat cocok dengan orang yang membagi-bagikan gambar porno dalam famlet atau menempelkan famflet yang memuat gambar-gambar porno. Atau diperluas lagi termasuk orang yang mengirimkan banyak majalah porno kepada agen-agen untuk diperjualbelikan.

Konsepsi gambar dan perbuatan menyebarkan dan atau menunjukkan tidak pas terhadap kasus orang mirip Ariel. Silakan pembaca menganalisisnya sendiri. Bagi penulis yang tetap berpegang teguh pada asas legalitas Pasal 1 KUHP (dasar/fondasi hukum pidana lho), sangat sulit menerima apabila kasus orang mirip Ariel hendak diterapkan Pasal 282 KUHP.

3. Pasal 27 Ayat (1) jo 45 Ayat (1) UU ITE
Pasal 27 Ayat (1): Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya ITE dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal 45 Ayat (1): Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat 91) Ayat (2) Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau dengan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.

Perbuatan Mendistribusikan, Mentransmisikan, Membuat Dapat Diaksesnya
Tiga perbuatan dalam pasal 27 Ayat (1) mempunyai makna yang sama dengan perbuatan menyebarluaskan dan menyiarkan dalam Pasal 29 UU Pornografi, dalam arti akibat dari perbuatan-perbuatan semacam itu, isi objek dokumen elektronik tersebut diketahui umum. Sedikit perbedaan, dimana menurut Pasal 27 UU ITE lebih kearah melalui alat teknologi Elektronik (ITE).

Mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[6] Dalam konteks tindak pidana kesusilaan dengan menggunakan sarana teknologi informasi menurut UU ITE. Kiranya perbuatan mendistribusikan diartikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.[7]

Perbuatan mendistribusikan data atau sekumpulan data elektronik tersebut dalam rangka melakukan transaksi elektronik. Suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan menggunakan sarana komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.[8]

Perbuatan menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan (benda) dari seseorang kepada orang lain (benda lain).[9] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.[10]

Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.[11]

Kejahatan kesusilaan khusus UU ITE dengan perbuatan “membuat dapat diaksesnya” merupakan tindak pidana materiil murni. Untuk terwujudnya secara sempurna tindak pidana ini, diperlukan akibat bahwa data atau sekumpulan data elektronik telah dapat diakses oleh orang lain atau seperangkat alat elektronik. Jaksa harus membuktikan bahwa data elektronik tersebut telah nyata-nyata diakses oleh orang lain. Minimal sudah terdapat/menyebar dalam perangkat elektronik yang lain dari perangkat elektronik semula yang digunakan oleh si pembuat

Kasus Orang Mirip Ariel

Ketentuan pasal ini, lebih dekat pada kasus orang mirip Ariel. Meskipun terdapat kesulitan dalam hal pembuktiannya. Hukum pembuktian yang ada di dalam KUHAP berikut sedikit yang ada di dalam UU ITE tidak cukup mudah untuk membuktikan bahwa Ariel yang mendistribusikan atau yang turut mendistribusikan. Lebih-lebih apabila orang mirip Ariel tidak mengaku dan orang lain yang mendistribusikan atau ikut serta mendistribusikan tidak ditemukan. Beban pembuktian perkara ini ada pada jaksa, bukan pada Ariel. Pasal 65 KUHAP sangat tegas menyatakan bahwa “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

Dalam hal perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya gambar bergerak persenggamaan bersuara - orang mirip Ariel – Luna dan Cut tari tersebut, sehingga diketahui umum seperti keadaan sekarang ini, bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan, ialah:
· Kemungkinan pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau mereka berdua atau bertiga sama-sama mendistribusikan dll (penyertaan) tanpa melibatkan orang lain.
· Kemungkinan kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak mendistribusikan dll dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain tanpa sepengetahuan Ariel, Luna maupun Cut Tari.
· Kemungkinan ketiga, bisa jadi orang lain yang mendistribusikan dll., dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan. Hukum penyertaan harus diterapkan. Tanpa menerapkan hukum penyertaan, orang yang mirip Ariel, Luna maupun Cut Tari tidak mungkin dipidana.

Kemungkinan ketigalah yang bisa diterapkan pada orang mirip Ariel, sementara yang kedua tidak akan menyangkut Ariel, karena ia sebagai korban. Sementara yang pertama, sangat sulit – apo iso polisi menyangkutkan Ariel, meskipun penyidik dapat mengungkap dan menemuka si pembuat yang mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya gambar bergerak bersuara persenggamaan tersebut, bila orang mirip Ariel, Luna, Cut Tari dan siapapun juga termasuk teman-2 Ariel tidak menerangkan tentang keterlibatan Ariel dalam hal orang lain yang mentransmisikan dll tersebut.

4. Pasal 29 jo 4 Ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Banyak perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 29 jo 4 Ayat (1). Namun yang dekat dengan kasus orang mirip Ariel, hanya perbuatan membuat. Apabila dapat dibuktikan bahwa orang yang mirip Ariel yang membuat video tersebut dengan maksud bukan untuk dirinya sendiri, maka ia dapat dipidana berdasarkan Pasal 29 jo 4 Ayat (1).

Namun apabila dapat dibuktikan bahwa maksud membuat video gambar bergerak bersuara persetubuhan itu untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan dirinya sendiri, maka perbuatannya itu tidak dapat dipidana.[12] Disebabkan oleh ketiadaan kesalahan dalam hal membuat video. Perbuatan membuat adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap sesuatu barang yang belum ada menjadi ada.

Mengenai untuk kepentingan diri sendiri sebagai penyebab tidak dapat dipidananya pembuat ini, sesungguhnya bukan karena orang yang mirip Ariel tidak melanggar Pasal 29 jo 4 Ayat (1) khususnya mengenai perbuatan membuat video porno, atau karena bukan tidak melakukan perbuatan membuat seperti bunyi pada Penjelasan Pasal 4. Melainkan dalam hal membuat video porno tersebut kehilangan/ketiadaan kesalahan pada diri si pembuat. Kesalahan sebagai syarat untuk dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat – tiada atau hapus. Jadi masuk pada alasan pemaaf (fait d’exuse). Merupakan alasan peniadaan pidana pada tindak pidana khusus, bukan alasan penghapus pidana umum seperti pada Bab III Buku II KUHP.

Meskipun bunyi penjelasan Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Bunyi penjelasan yang demikian itu bukanlah merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, dan bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Adapun alasannya ialah:
· Bukan merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, karena perbuatan membuat telah benar-benar terjadi, terbukti dengan lahirnya atau adanya video tersebut, dipastikan hasil dari perbuatan membuat.
· Oleh karena itu bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Pasal 29 jo 4 (1) merupakan tindak pidana semi formil. Untuk selesainya perbuatan membuat harus terbukti adanya gambar dalam video hasil dari perbuatan tersebut. Dengan terbukti adanya gambar bergerak porno tersebut, maka terwujudlah perbuatan yang dengan demikian terwujud pula tindak pidana.

Dalam hal ini memang, telah terjadi kesalahan dalam hal penempatan alasan peniadaan pidana. Perkecualian dari perbuatan yang dapat dipidana, atau perkecualian dari tindak pidana seharusnya dimuat di dalam pasal yang merumuskan tindak pidana yang bersangkutan dan bukan dimuat dalam penjelasanya. Namun demikian, tidaklah berarti meniadakan keberlakuan penjelasan Pasal 4 tersebut sebagai alasan peniadaan pidana khusus.

Jika orang mirip Ariel terbukti membuat, dan Ia menerangkan untuk kepentingan dirinya sendiri, maka menurut hukum pembuktian, Jaksa dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan sebaliknya. Bahwa pembuatan video tersebut terkandung maksud bukan sekedar untuk kepentingan si pembuat saja. Bagaimana cara Jaksa membuktikan? Caranya Jaksa harus membuktikan adanya tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa pembuatan video tersebut ditujukan bukan sekedar untuk dirinya sendiri. Misalnya tanda-tanda yang mengindikasikan akan diedarkan, akan dijual, akan dilihat teman-temannya, akan dijadikan persediaan, dan sebagainya.

Jika demikian, bagaimana dengan kenyataan bahwa video tersebut telah beredar secara luas? Mengenai persoalan ini harus dibedakan dengan perbuatan membuat. Hal beredarnya harus dicari diluar dari perbuatan membuat, yang in casu menyebarluaskan atau menyiarkan.

Seperti perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam Pasal 27 UU ITE yang telah dibicarakan, juga dalam hal menyebarluaskan bisa terjadi beberapa kemungkinan, ialah:
· Pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau Ia sendiri (secara pribadi) atau mereka berdua atau bertiga sama-sama mendistribusikan dll. (penyertaan) tanpa melibatkan orang lain.
· Kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak menyebarluaskan dll. dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain tanpa sepengetahuan mereka.
· Ketiga, bisa jadi orang lain yang menyebarluaskan dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan. Hukum penyertaan harus diterapkan. Tanpa menerapkan hukum penyertaan, orang yang mirip Ariel tidak mungkin dipidana.

Jadi apabila orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari tidak dapat dibuktikan “membuat video porno” bukan untuk dirinya sendiri, maka harus dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) disebabkan hapusnya/tiadanya kesalahan pada diri si pembuat.

Hanya mungkin dipidana dalam hal terbukti melakukan perbuatan yang lain, misalnya menyebarluaskan atau terlibat bersama orang lain dalam menyebarluaskan. Artinya haruslah dapat dibuktikan setelah video dibuat, salah satu atau dua atau ketiganya ikut terlibat (penyertaan) dalam hal orang lain mengedarkan video porno tersebut sebagaimana kemungkinan yang ketiga.

Persoalan lainnya, ialah bagaimana jika terbukti pembuatan membuat video porno tersebut dilakukan sebelum diundangkannya UU Pornografi tanggal 28 Nopember 2008. Berdasarkan azas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, perbuatan membuat tersebut tidak dapat dipidana. UU Pornografi tidak berlaku surut.

5. Pasal 32 jo 6 UU Pornografi

Banyak perbuatan dalam Pasal 32 jo 6. Namun yang mungkin dilakukan oleh orang yang mirip Ariel ialah perbuatan memiliki atau menyimpan.

Memiliki ada dua pengertian. Pertama, memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang atas benda yang dikuasainya secara langsung. Kedua memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang atas benda yang tidak dikuasainya secara langsung. Sementara menyimpan, benda bisa menjadi milik si penyimpan ataupun tidak. Namun benda tersebut harus berada dalam kekuasaan seseorang yang mengandung sifat merawatnya, melindunginya dan merahasiakannya bagi orang lain, serta mengandung maksud untuk tujuan-tujuan tertentu.

Sama halnya dengan perbuatan membuat benda pornografi yang jika dilakukan dengan maksud untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Demikian juga halnya dengan perbuatan memiliki dan menyimpan menurut Penjelasan Pasal 6 jika untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Dalam hal melakukan perbuatan menyimpan tersebut kehilangan/tiadanya kesalahan pada diri si pembuatnya. Tentu saja melakukan suatu perbuatan yang tanpa kesalahan pada diri si pembuatnya, tidak boleh dipidana.

Untuk mempidana terdakwa atas dakwaan Pasal 32 jo 6, Jaksa wajib membuktikan bahwa perbuatan menyimpan atau memiliki video tersebut bukan untuk diri sendiri. Dengan kata lain, Jaksa harus dapat membuktikan ada kesengajaan terdakwa dalam hal menyimpan untuk digunakan selain untuk diri sendiri, misalnya untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya.

Sama halnya dengan Pasal 29 jo 4 Ayat (1), meskipun unsur sengaja tidak dicantumkan dalam rumusan, namun dengan menyebutkan unsur-unsur perbuatan yang sedemikian rupa, yang oleh karenanya tidak memungkinkan untuk dapat dipidananya pembuat jika tidak diikuti oleh kehendak selain sekedar untuk menyimpan. Dengan demikian Jaksa dibebani kewajiban untuk membuktikan adanya kesengajaan dalam hal melakukan perbuatan menyimpan tersebut untuk keperluan lain, dan tidak semata-mata menyimpan untuk diri sendiri. Misalnya dalam menyimpan terkandung kehendak untuk disiapkan / disediakan untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan / disediakan bagi keperluan lain-lainnya. Cara Jaksa membuktikan, ialah harus menemukan keadaan-keadaan atau tanda-tanda yang dapat dijadikan indikator bahwa penyimpanan tersebut terkandung kehendak/kesengajaan untuk dipergunakan selain sekedar menyimpan. Misalnya ditemukan keadaan berupa si penyimpan pernah menawarkan untuk dibeli atau memperlihatkan kepada pihak lain. Keadaan seperti ini dapat digunakan Jaksa sebagai indikator bahwa penyimpanan itu bukan untuk diri pribadinya sendiri.
Kampus FH UB: 13-7-2010



DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya.
---------------, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya.
---------------, 2007. 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------------, 2008. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
---------------, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
--------------, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Engelbrecht, W.A.1960. De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesie, PT Soerongan, Jakarta.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
KUHP Terjemahan BPHN.

[1] Terjemahan BPHN.
[2] Terjemahan BPHN.
[3] Moelyatno, mengutip pendapat Prof. Scholten, dalam Azsas-azas Hukum Pidana (1983), Penerbit Bina Aksara, halaman 26.
[4] Ibid, halaman 27.
[5] Adami Chazawi, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana - Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, halaman 42.
[6] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[7] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Posisitf Penghinaan, Penerbit PMM – ITS Pres, Surabaya, halaman 283.
[8] Lihat Pasal 1 Angka 3 UU ITE.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[10] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, halaman 284.
[11] Ibid.
[12] Lihat Penjelasan Pasal 4.

Selasa, 22 Juni 2010

DAPATKAH orang yang mirip ARIEL, LUNA DAN CUT TARI

DAPATKAH orang yang mirip ARIEL, LUNA DAN CUT TARI
DIJERAT DENGAN UU PORNOGRAFI??


Dapatkah orang yang mirip Ariel, Luna Maya dan Cut Tari dijerat dengan UU Pornografi? Oleh karena pertanyaannya “dapatkah”, bisa saja jawabannya ialah DAPAT, tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Tindak pidana pornografi yang dapat diterapkan ialah:
1. Pasal 29 jo Pasal 4 Ayat (1), dan
2. Pasal 32 jo Pasal 6.

Pasal 29: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 4 Ayat (1): Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.
Pasal 32: Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 6: Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 29 jo 4 Ayat (1).

Untuk Pasal 29 jo 4 Ayat (1), perbuatannya ialah memproduksi dan membuat. Apabila terbukti bahwa orang yang mirip Ariel yang membuat atau memproduksi video tersebut, maka ia dapat disangkakan Pasal 29 jo 4 Ayat (1). Namun apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan membuat video persetubuhan itu untuk dirinya sendiri atau kepentingan dirinya sendiri, maka perbuatannya itu tidak dapat dipidana.
Memproduksi adalah perbuatan dengan cara apapun yang ditujukan untuk menghasilkan suatu barang atau menghasilkan barang yang belum ada menjadi ada.
Sementara perbuatan membuat adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap sesuatu barang yang belum ada menjadi ada.

Mengenai penyebab tidak dapat dipidananya ini, sesungguhnya bukan karena orang yang mirip Ariel tidak melanggar Pasal 29 jo 4 Ayat (1) khususnya mengenai perbuatan membuat video porno, atau bukan tidak melakukan perbuatan membuat. Melainkan dalam hal membuat video porno tersebut kehilangan/hapusnya kesalahan pada diri si pembuatnya.

Meskipun bunyi penjelasan Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepetingan sendiri. Bunyi penjelasan yang demikian itu bukanlah merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, dan bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Adapun alasannya ialah:
Ø Bukan merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, kaena perbuatan membuat telah benar-benar terjdi, terbukti dengan lahirnya atau adanya video tersebut, dipastikan hasil dari perbuatan membuat.
Ø Oleh karena itu bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Pasal 29 jo 4 (1) merupakan tindak pidana formil. Dengan terwujudnya perbuatan, maka terwujud pula tindak pidana.
Ø Perkecualian dari perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana, atau perkecualian dari tindak pidana haruslah dimuat di dalam pasal yang merumuskan tindak pidana dan bukan dimuat dalam penjelasanya.

Oleh karena itulah maka penyebab tidak dapat dipidananya orang yang membuat video porno untuk kepentingan diri sendiri, merupakan alasan penghapus pidana khusus, bukan alasan penghapus pidana umum sebagaimana dimuat dalam KUHP.

Apabila orang mirip Ariel dapat membuktikan dirinya membuat video tersebut hanya untuk dirinya sendiri, maka pembuat yang melakukan perbuatan membuat incasu tindak pidana tersebut tidak dapat dipidana. Untuk membuktikan bahwa video porno yang sudah beredar tersebut, tidaklah cukup Dia menyatakan bahwa pembuatannya hanya ditujukan untuk dirinya dan kepentingannya sendiri. Melainkan juga wajib membuktikan atau memberikan alasan berupa tanda-tanda/keadaan-keadaan tertentu sebagai indikator bahwa video tersebut dibuat untuk dirinya sendiri. Karena cara merumuskan dan sifat dari kalimat dalam penjelasan tersebut sedemikian rupa, maka menjadi kewajiban si pembuat sendiri untuk membuktikan tentang maksud pembuatan tersebut sekedar untuk dirinya sendiri.

Tidaklah mungkin Jaksa dibebani kewjiban hukum untuk membuktikan bahwa pembuatan video porno tersebut sekedar untuk diri si pembuat sendiri. Justru sebaliknya Jaksa dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan sebaliknya, bahwa pembuatan video tersebut terkandung maksud bukan sekedar untuk kepentingan si pembuat saja. Bagaimana cara Jaksa membuktikan? Caranya Jaksa harus membuktikan adanya tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa pembuatan video tersebut ditujukan bukan sekedar untuk dirinya sendiri. Misalnya tanda-tanda yang mengindikasikan akan diedarkan, akan dijual, akan dilihat teman-temannya, akan dijadikan persediaan, dan sebagainya.

Menurut hukum pembuktian, bisa saja terdakwa hanya menyatakan bahwa pembuatan video tersebut sekedar untuk kepetingan dirinya sendiri, yang mestinya diikuti pula dengan alasan dan mengemukakan bukti-bukti bahwa benar untuk dirinya sendiri. Namun hasil pembuktian Jaksa lah yang akan menentukan. Pendapat ini didasarkan pada sistem pembuktian yang ada di dalam KUHP, yang selalu dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan dakwaannya. ketentuan ini berlandaskan azas praduga tidak bersalah.

Jika demikian, bagaimana kenyataannya video tersebut telah beredar secara luas? Mengenai persoalan ini harus dibedakan dengan perbuatan membuat. Hal beredarnya harus dicari dari sebab perbuatan mengedarkan atau menurut UUP menyebarluaskan.
Dalam hal menyebarluaskan bisa terjadi beberapa kemungkinan, ialah:
Ø Pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau mereka berdua atau bertiga sama-sama menyebarluaskan tanpa melibatkan orang lain.
Ø Kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak menyebarluaskan dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain.
Ø Ketiga, bisa jadi orang lain yang menyebarluaskan dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan.

Jadi apabila orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terbukti membuat video porno untuk dirinya sendiri dan karenanya tidak dipidana, disebabkan dalam perbuatan itu hapus unsur kesalahan pda diri si pembuatnya.

Namun dengan perbuatan selain membuat, dapat dipidana karena salah satu atau dua dari tiga kemungkinan tersebut diatas. Artinya haruslah dapat dibuktikan setelah video dibuat, salah satu atau dua atau ketiganya ikut terlibat (penyertaan) dalam hal orang lain mengedarkan video porno tersebut.

Persoalan lainnya, ialah bagaimana jika terbukti pembuatan membuat video porno tersebut dilakukan sebelum diundangkannya UU Pornografi tanggal 28 Nopember 2008. Berdasarkan azas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, perbuatan membuat tersebut tidak dapat dipidana. UU Pornografi tidak berlaku surut.

Pasal 32 jo 6
Perbuatan yang mungkin dilakukan orang yang mirip Ariel ialah perbuatan memiliki atau menyimpan. Memiliki ada dua pengertian. Pertama, memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang, meskipun benda tidak dalam penguasaan langsung. Misalnya dipinjam oleh temannya. Kedua, memiliki dalam arti menguasai suatu barang, yakni terdapat hubuingan yang sangat erat/dekat antara barang dengan seseorang. Ukuran dekatnya ialah orang itu dapat melakukan suatu perbuatan terhadap benda itu secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu.

Sama hal dengan perbuatan membuat benda pornografi yang jika dilakukan untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Demikian juga halnya dengan perbuatan memiliki dan menyimpan menuurut Penjelasan Pasal 6 jika untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Perbuatan menyimpan tersebut kehilangan/hapusnya unsur kesalahan pada diri si pembuatnya. Tentu saja melakukan perbuatan yang hapusnya kesalahan pada diri si pembuatnya tidak boleh dipidana.

Untuk mempidana terdakwa atas dakwaan Pasal 32 jo 6, Jaksa wajib membuktikan bahwa perbuatan tersebut dilakukan bukan untuk diri sendiri. Artinya Jaksa harus dapat membuktikan ada kesengajaan terdakwa dalam menyimpan bukan untuk diri sendiri. Artinya ada kesengajaan dalam hal menyimpan ditujukan untuk keperluan selain sekedar menyimpan, misalnya untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya.

Sama halnya dengan Pasal 29 jo 4 (1), meskipun unsur sengaja tidak dicantumkan dalam rumusan, namun karena sifat dan keadaan rumusan tindak pidana sedemikian rupa, yang tidak memungkinkan dipidana jika tidak diikuti oleh kehendak selain semata-mata untuk sekedar menyimpan, perbuatan mana berupa perbuatan negatif, maka dengan demikian Jaksa dibebani kewajiban untuk membuktikan adanya kesengajaan dalam menyimpan tersebut untuk keperluan lain, dan tidak semata-mata menyimpan untuk diri sendiri. Misalnya dalam meyimpan terkandung kehendak untuk disiapkan / disediakan untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya. Cara Jaksa membuktikan, ialah harus menemukan keadaan-keadaan atau tanda-tanda yang dapat dijadikan indikator bahwa penyimpanan tersebut terkandung kehendak/kesengajaan untuk dipergunakan selain sekedar menyimpan. Misalnya ditemukan keadaan berupa si penyimpan pernah menawarkan untuk dibeli kepada pihak lain. Keadaan seperti ini dapat digunakan Jaksa sebagai indikator bahwa penyimpanan itu bukan utk diri pribadinya sendiri.

Kiranya demikian pendapat saya.

Jumat, 23 April 2010

APAKAH HAKIM TERMASUK PEJABAT PEMBUAT

APAKAH HAKIM TERMASUK PEJABAT PEMBUAT
AKTA OTENTIK MENURUT PS 266 KUHP?

Catatan: Mahasiswa FH UB agar membaca tulisan singkat ini, terutama yang memprogramkan mata kuliah “kejahatan terhadap subjek hukum” (KTSH).

Beberapa kali advokat atau dipihak kepolisian datang kepada saya, mengkonsultasikan tentang gugatan atau permohonan yang diajukan ke Pengadilan yang isinya palsu. Bahkan ada kasus yang sudah diberkas. Pertanyaan hukumnya: APAKAH kepada mereka dapat diterapkan Pasal 266 KUHP? Untuk memberikan jawaban atas persoalan itu, saya membuat tulisan ini. Semoga berbagai pihak dapat membaca dan memakluminya.

Dari sudut pembuatnya, ada 2 akta otentik.

- Pertama, akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Umum (Openbaar ambtenaar). . Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Umum inilah yang dimaksud akta otentik dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa akta otentik adalah “akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berkuasa untuk itu di tempat mana akta itu dibuatnya”. Contohnya akta yang dibuat oleh seorang Notaris.

Tentang Notaris ini, diterangkan dalam Pasal 1 Peraturan Pejabat Notaris (PJN, Stb 1860 no. 3) yang merumuskan al: “Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpannya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”. Meskipun PJN, Stb 1860 No. 3 sudah dicabut, dan kini berlaku UU 30/2004 Tentang Jabatan Notaris, tetapi jiwa dari Pasal 266 KUHP adalah senada dengan jiwa dari Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) tersebut. Kini jiwa dari Pasal 1 PJN (Stb 1860 No. 3) tersebut masuk ke dalam Pasal 1 UU No. 30/2004 yang merumuskan “ Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam UU ini”.

- Kedua, akta otentik yang dibuat oleh pejabat lain (ambtenaren of personen). Pejabat ini misalnya: pejabat pencatat nikah di KUA atau pencatat nikah di Kantor Catatan Sipil, Panitera Pengadilan, Jurusita, termasuk penyidik yang membuat BAP Penyidikan.

Perbuatan dalam tindak pidana Pasal 266 KUHP ialah “menyuruh memasukkan”, sementara objek tindak pidananya adalah “keterangan palsu”. Siapa (subjek hukum) yang disuruh untuk memasukkan keterangan itu, tiada lain adalah Pejabat pembuat akta otentik tersebut, dan pejabat umum yang dimaksud Pasal 266 KUHP ini adalah pejabat umum seperti dalam Pasal 1868 BW jo Pasal 1 PJN jo Pasal 1 UU No. 30/2004 dan pejabat lain (meskipun pejabat lain ini tidak disebutkan dalam Pasal 1 UU No. 30/2004, tapi disebutkan dalam Pasal 1 PJN. Untuk Pejabat umum yang dimaksud dalam Pasal 1868 Jo 1 PJN jo Pasal 1 UU No. 30/2004 tidak ada persoalan, karena berdasarkan kedua pasal tersebut, nyatalah bahwa pejabat umum yang dimaksud fungsinya sekedar memasukkan/mencantumkan saja keterangan yang disampaiakan yang in casu diminta untuk dimuatnya dalam akta otentik yang dimaksudkan.

Sementara pejabat umum itu tidak mempunyai kewajiban hukum untuk membuktikan atau meminta buktikan mengenai kebenaran keterangan yang diminta masukkan ke dalam akta otentik yang dimaksudkan. Inilah ciri/sifat umumnya yang merupakan kriteria/syarat dari keterangan yang diminta masukan ke dalam akta otentik. Ciri atau syarat umum ini berlaku juga bagi keterangan yang disampaikan oleh peminta/ pemohon akta otentik pada pejabat lain yang bukan pejabat umum, seperti pejabat pencatat nikah di KUA atau di Kantor Catatan Sipil.

Oleh karena itulah, maka pejabat pembuat akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP, adalah pejabat umum pembuat akta otentik atau pejabat lain yang bertugas membuat akta otentik yang karena tugas jabatannya berdasarkan aturan umum, mereka tidak mempunyai kewajiban hukum untuk meminta buktikan atau membuktikan tentang kebenaran keterangan berdasarkan aturan umum yang disampaikan oleh orang yang meminta masukkan keterangan ke dalam akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP tersebut. Dengan kata lain pejabat pembuat akta otentik tersebut tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memberi pertimbangan hukum tentang benar ataukah tidak benar perihal keterangan yang disampaikan oleh pemohon/peminta untuk dimuat dalam akta otentik yang dimaksud. Hal ini berbeda dengan suatu putusan hakim.

Berdasarkan syarat umum inilah maka “hakim” bukanlah termasuk pejabat umum atau pejabat lain pembuat akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP, meskipun putusan hakim dapat dimasukkan ke dalam akta otentik ketika putusan atau penetapan itu mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itulah maka, surat gugatan atau permohonan kepada pengadilan, meskipun isinya (keterangan) yang dimuat dalam surat gugatan/permohonan tersebut palsu atau tidak benar – bertentangan dengan yang sebenarnya (bertentangan dengan kebenaran materiil), Pasal 266 KUHP tidak dapat diterapkan. Konsepsi tindak pidana pemalsuan surat menurut Pasal 266 KUHP tidak ditujukan bagi orang-orang yang mengajukan permintaan melalui gugatan atau permohonan kepada pengadilan. Jelas tho ??!!

Demikian.
Silakan mahasiswa dan dosen hukum pidana FH UB dan para pembaca lainnya untuk memberikan tanggapan. Dengan tanggapan semecam itu salah satu upaya dan sarana kita untuk mengembangkan lmu hukum.

Jumat, 29 Januari 2010

BISAKAH PRESIDEN dan/atau WAKIL PRESIDEN DIBERHENTIKAN DALAM MASA JABATANNYA?

H. Adami Chazawi (FH UB)

UUD Negara memberikan jalan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan 7B: perubahan ketiga tanggal 10 Nopember 2001).

Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Apakah Pansus Bank Century sekarang berjalan menuju pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden? Para anggota Pansus beramai-ramai menyatakan bahwa Pansus sama sekali tidak ada maksud berjalan kesana. Tapi siapa tahu, pekerjaan politik tersebut berujung pada apa yang dipopulerkan media dengan pemakzulan? Putusan politik tidak bisa ditebak dan diterka-terka? Pagi ngomong A sore sudah berubah B. Makanya bisa dimengerti jika Bapak Presiden SBY mengumpulkan para Pejabat Tinggi Negara di Istana Presiden Bogor belum lama ini. Kiranya ada maksud mengantisipasi kalau-kalau akhirnya Pansus berjalan kearah sana. Bisa jadi tujuan akhirnya Pemberhentian Presiden/dan atau Wakil Presiden jika terbukti dari pekerjaan Pansus kasus Bank Century membuahkan hasil temuan bahwa di dalamnya terdapat tindak pidana korupsi yang melibatkan Presiden dan /atau Wakil Presiden??????.

Diantara sekian alasan / dasar untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dari hasil pekerjaan politik Pansus Bank Century hanya mungkin dengan menggunakan satu alasan saja. Bilamana di dalam kebijakan Bank Century tersebut mengandung muatan tindak pidana korupsi, dan Presiden dan/atau Wakil Presiden terlibat di dalamnya. Tentu saja temuan semacam ini harus ditindak lanjuti oleh KPK. Apabila KPK mengusut dan menetapkan Ibu Sri Mulyani dan Bapak Budiono sebagai tersangka, mengajukannya ke Penuntut Umum untuk diajukan ke Pengadilan sebagai terdakwa dan kemudian diputus bersalah sampai putusan mempunyai kekuatan hukum tetap (mungkin sampai tingkat kasasi). Barulah DPR punya alasan untuk mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana korupsi. Sungguh masih panjang jalannya???

DPR tidak bisa mengajukan permintaan semacam itu tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang mempidana yang bersifat tetap karena melakukan korupsi. Mahkamah Konstitusi tidak mungkin bisa membuat putusan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan korupsi tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang menghukum yang telah bersifat tetap. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memutus dan menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana tertentu (termasuk korupsi), tanpa terlebih dulu ada dan didasarkan pada putusan peradilan pidana yang mempidana karena bersalah melakukan tindak pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Meskipun Pasal 7B Ayat (5) UUD Negara menyatakan bahwa “Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penuapan, timndak pidana berat lainnya ...” Kata memutuskan dalam rumusan tersebut tidak sama nilai dan artinya dengan peradilan pidana yang memutuskan tentang “keyakinan terdakwa (berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah) telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan”. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi hanya bersifat declaratoir/menyatakan saja, bukan bersifat menghukum. Putusan yang menghukum ialah putusan peradilan pidana yang dijadikan landasan/dasar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Jelasnya, bahwa untuk menghentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan menggunakan alasan melakukan tindak pidana berat termasuk korupsi, tidak bisa semata-mata melalui kekuatan politik di DPR dan MPR saja, tetapi harus didahului oleh proses perkara pidana di dalam sidang peradilan pidana.

Penulis tidak menghendaki menggelindingnya pengungkapan/penyelesaian kasus Bank Century menuju ke pemberhentian Presiden. Cukuplah, jika memang di dalam pengambilan kebijakan terhadap Bank Century yang bikin heboh ini sampai pada pernyataan DPR adanya kesalahan saja. Tidak perlu dilakukan pengusutan ke arah pidana, Keputusan DPR mengenai hal yang demikian merupakan pukulan yang sangat berat bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden beserta jajran kabinetnya. Siapa tahu ada menteri yang karena itu mengundurkan diri secara sukarela, meniru negara-negara maju di dunia ini. Jika terbukti benar hasil kerja Pansus berujung pada keputusan bahwa pengambilan kebijakan Bank Century meupakan kesalahan/kekeliruan yang di dalamnya mengandung korupsi. Jaksa Agung dapat menggunakan haknya untuk menghentikan agar keputusan yang demikian tidak menggelinding terus sampai ke penututan pidana dengan cara mendeponir atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum melalui Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004. Kiranya lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya bagi rakyat bila Presiden dan/atau Wakil Presiden ditengah jalan dihentikan.

Kita mengharap DPR tidak menciptakan suatu keadaan yang memaksakan Presiden dan Wakil Presiden untuk menghadapi perkara pidana pada saat sedang menjalankan tugas jabatannya. Karena sekali terjadi akan menjadi Preseden buruk. Sabar....??? Meskipun dari sudut hukum sah-sah saja, tetapi akibat akhirnya bagi rakyat sangat tidak menguntungkan. Bilamana pemerintahan diganggu terus, pemerintahan tidak dapat focus dalam upaya menjalankan program-progamnya, yang berimbas pada rakyat seluruhnya. Keadaan yang demikian ini dapat dijadikan alasan pemerintah pada saat program mensejahterkan rakyat tidak tercapai.

Demikian pendapat penulis. Kali yang lain kita ketemu lagi.
Kampus FH UB 30 Januari 2010.

Rabu, 27 Januari 2010

MUNGKINKAH KORUPSI DALAM KEBIJAKAN PUBLIK ??

MUNGKINKAH TERJADI KORUPSI DALAM KEBIJAKAN PUBLIK ??

Artikel Online
H. Adami Chazawi (Dosen FH UB)

Saya membaca di situs internet dan berita berjalan (running text) di TVOne yang memberitakan bahwa Presiden SBY mengatakan bahwa “kebijakan tidak bisa dikriminalkan”. Saya terkejut dan heran, karena: 1. Itu ucapan seorang Presiden, tidak main-main. 2. Saya meyakini ucapan itu tidak seluruhnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 3. Karena itu saya yakin dapat menimbulkan polemik di masyarakat. Sepatutnya seorang Presiden tidak menciptakan suatu pelemik di masyarakat.
Untuk yang terakhir, ternyata benar. Dianggap ucapan SBY tersebut dirasa sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini beliau degungkan. Gayus Lumbuun, wakil ketua Pansus Hak Angket kasus Bank Century DPR RI, mempertanyakan maksud dari pernyataan Presiden tersebut. Beliau menegaskan bahwa kebijakan bisa diproses secara hukum dan dikriminalkan. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. ……. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sudah siap untuk untuk memproses apabila kebijakan bailout Bank Century mengarah kepada impeachment. Ia menyatakan bahwa kebijakan pemerintah berupa pengeluaran dana bailout Bank Century bisa berujung impheacment apabila kebijakan tersebut mengandung unsur kriminal seperti korupsi.... (http://kabarnet.wordpress.com/2010/01/26/sby-kebijakan-tak-bisa-dipidanakan/).
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam acara lounching buku yang berjudul “Korupsi Mengorupsi Indonesia” (kumpulan dari bebagai tulisan dari tokoh dan penggiat anti korupsi mengenai korupsi dan cara pemberatasannya) di Universitas Paramadina tanggal 12 Januari 2010 yl., sangat prihatin dengan korupsi di tingkat kebijakan tersebut. Beliau selanjutnya mengatakan bahwa tindakan korupsi pada tahap kebijakan pemerintah lebih berbahaya dibanding korupsi pada tahap pelaksanaan di lapangan. Bahkan, menurutnya, korupsi yang mengatasnamakan kebijakan itu luar biasa berbahaya karena akibatnya merusak satu generasi. (http://portalwongsukses.wordpress.com/2010/01/13/diskusi-dan-launching-buku-korupsi-mengorupsi-indonesia/).
Apa yang disampaikan SBY, kiranya sekedar pendapat pribadinya sendiri. Kiranya ditujukan untuk memengaruhi pendapat umum yang tidak berpihak kepada pembenaran pada kebijakan Menteri Keuangan dan Gubernur BI (ketika itu). Dapat diduga, bahwa satu-satunya tujuan akhirnya adalah ingin menolong kedua pembantunya tersebut.
Pernyataan SBY tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. Kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan dengan itikad baik, pastilah tidak dapat dikriminalisasikan. Sebaliknya kebijakan yang dibuat dan dijalankan dengan itikad buruk (melawan hukum) yang disadarinya membawa dampak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sesungguhnya itulah korupsi. Bahkan korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, tidak ada ada tandingannya. Karena apa? Sebabnya dari luar tidak nampak korupsi, karena dibalut oleh kebijakan, yang acapkali berbentuk peraturan, keputusan dan lain-lain. Namun sesunggunya akibatnya sangat luas, merugikan perekonomian di berbagai sektor dan merugikan keuangan negara kita. Kita bertanya, apakah kebijakan Bank Century yang demikian itu menguntungkan rakyat, menguntungkan perekonomian nasional, menguntungkan keuangan negara, menguntungkan kepentingan umum? Ayaoa jawaben dewe???
Apa artinya itikad buruk? Etikad buruk dalam pengertian ini mengandung setidaknya 7 (tujuah) syarat/unsur, yaitu:
1. Sejak semula si pejabat (tentunya orang-orang lainnya sekitarnya juga yang ikut terlibat, bawahannya: penyertaan) pembuat kebijakan telah berkehendak atau setidak-tidaknya sadar bahwa kebijakan yang akan diambilnya merupakan kebijakan yang tidak tepat.
2. Kebijakan tersebut disadari dapat membawa dampak kerugian keuangan/perekonomian negara.
3. adanya kesadaran bahwa ada alternatif kebijakan yang sesungguhnya lebih baik, lebih tepat yang disadari tidak akan berdampak merugikan negara,
4. dan secara ilmiah memang dibuktikan alternatif kebijakan tersebut memang lebih baik dan lebih tepat (melalui kajian-kajian ilmiah dari keterangan para ahli).
5. ada tujuan/ kehendak bahwa dari kebijakan yang akan diambil ditujukan utk menguntungkan/memperkaya sektor tertentu/pihak tertentu (misalnya partai politik, pribadi tertentu dsb), dengan mengabaikan kepentingan umum yg dapat dirugikan dari kebijakan tersebut.
6. dan ternyata- terbukti benar kebijakan yang diambil ada pihak-pihak yang diuntungkan, dan sebaliknya kepentingan umum/negara dirugikan.
7. ketika kebijakan dijalankan ternyata benar-benar berdampak merugikan keuangan/perekonomian negara/kepentingan umum.
Sebagai catatan, dilihat dari sudut Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001), dimana korupsi sesungguhnya sudah bisa terjadi meskipun syarat yang ke-enam belum timbul. Disebabkan, tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan 3 sudah terjadi secara sempurna (voltooid) apabila perbuatan tertentu (korupsi), misalnya kebijakan publik tersebut dapat (potensial) jika dijalankan merugikan keuangan negara. Berdasarkan ketentuan kedua pasal ini, tindak pidana korupsi melalui kebijakan publik tersebut, sudah terjadi sempurna ketika kebijakan itu sudah diambil secara sah, misalnya SK sudah ditandatangani oleh si pejabat. Meskipun belum dijalankan dan belum membawa dampak kerugian keuangan negara secara rieel. Kedua pasal tersebut, merumuskan tindak pidana formil bukan materiil, meskipun dalam praktik jaksa selalu ingin menjadikannya sebagai delik materiil. Karena di dalam praktik JPU selalu membuktikan adanya kerugian negara secara riel. Tentu saja sikap dan perilaku JPU yang seperti ini salah, dan sikap dan perilaku semcam ini dapat berdampak buruk pada pemberantasan korupsi. Terutama pengungkapan kasus korupsi melalui kebijakan publik.
Tujuh unsur itulah yang harus dibuktikan jika suatu kebijakan akan diproses ke ranah hukum pidana khususnya korupsi. Korupsi kebijakan terdapat dalam proses pembuatannya dan dapat juga dalam proses menjalankannya. Korupsi melalui kebijakan publik sangat berbahaya, dapat membangkrutkan negara dalam satu generasi. Karena kebijakan itu berlangsung lama. Selama tidak dicabut/ditarik atau ditiadakan maka selama itu pula kebijakan itu dapat digunakan untuk melakukan korupsi. Jadi korupsi berjangka panjang lha gitu.

Pembuatan dan pelaksanaannya - kebijakan Bank Century masuk dalam itikad baik atau itikad buruk (melawan hukum secara subjektif atau objektif) tidak mungkin dapat ditemukan, jika penegak hukum hanya berdiam diri, menunggu hasil kerja Pansus Bank Century. Hasil kerja kegiatan politik (Pansus) bisa saja tidak sejalan dengan hasil penyelidikan atau penyidikan aparat penegak hukum.

Jadi kasus Bank Century, dapat diangkat ke dalam ranah hukum pidana (korupsi). Utk diangkat ke dalam kasus korupsi, saya menyarankan:
1. Harus diusut oleh KPK, bukan oleh Kejaksaan Agung atau POLRI. Kedua instansi tersebut pasti dapat diintervensi Presiden/Pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung, secara terang maupun diam-diam.
2. Apa yang dicari KPK ialah indikator-2 yang saya sebutkan diatas tadi.
Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, saya yakin indikator-indikator itu bisa ditemukan, dengan syarat KPK kuat komitmennya utk membongkar kasus tsb, tanpa ambil peduli tekanan-tekanan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak lain, yang pasti ada. Saya yakin rakyat akan lebih banyak yang mendukung KPK dari pada yang tidak. Meskipun di DPR lebih banyak yang tidak, akibat dari politik pembunuhan/peniadaan penyeimbang di DPR yang dijalankan sekarang.
Kiranya demikian pendapat (sementara) saya.
Kampus UB, 26-1-2010

Minggu, 24 Januari 2010

PEMBOBOLAN REKENING MELALUI ATM,

Artikel Online
Oleh Drs. H. Adami Chazawi, S.H (dosen FH UB)
Saya tujukan pada mahasiswa saya FH UB

Maraknya pembobolan rekening melalui ATM akhir-akhir ini, membuktikan bahwa penjahat-penjahat Indonesia sekarang bukan lagi penjahat kelas jalanan. Bersaing ketat dengan kejahatan korupsi yang hampir pasti dilakukan oleh para intelektual: pejabat, anggota DPR, polisi, jaksa, hakim, pengusaha dll yang pada umumnya berpendidikan. Dari segi orangnya, tentu jelas perbedaannya. Meskipun belum diketahui secara pasti pelaku-pelaku pembobol rekening tersebut, dapat diduga mereka bukan berpendidikan tinggi seperti para koruptor pejabat dan anggota DPR. Mungkin mereka juga tidak mengerti apa yng dimaksud “hak angket” DPR seperti halnya para artis yang kebetulan bernasib baik menjadi anggota lembaga yang terhormat tersebut. Kemungkina mereka sekedar pendidikan Sekolah Menengah saja, tidak bergelar pendidikan apa-apa. Namun kepenitarannya menyalahgunakan teknologi degital begitu mapan, saya tidak mampu untuk membayangkan bagaimana teknik mereka membobol rekening yang katanya sudah terjamin keamanannya tersebut.

Persoalannya bukan sekedar bagaimana cara mengungkap kejahatan tersebut beserta modus operandinya secara tuntuas untuk kemudian digunakan untuk menciptakan sarana dan teknologi untuk menangkalnya. Namun juga bajingan-bajingan pembobol tersebut mau didakwa dan diadili dan dipidana dengan UU (pidana) yang mana? Cukupkah hukum pidana konvensional misalnya pencurian atau yang lebih maju misalnya UU ITE digunakan untuk menangani (refresif) terhadap para bajingan tersebut?

Apabila kita melihat dari sudut, adanya perbuatan mengambil uang dari mesin ATM, kok kayaknya pencurian (Pasal 362 KUHP atau lebih spesipik (lex specialisnya) : Pasal 363 KUHP khusunya ayat (1) angka 5? Namun secara juridis tepatkah? Saya akan mencoba menganalisisnya seperti di bawah ini.

Bentuk standar pencurian Pasal 362, yang harus dipenuhi terlebih dulu untuk menyatakan dan menerapkan Pasal 363 Ayat (1) angka 5 (diberi kualifikasi sebagai pencurian dengan merusak). Menurut Pasal 362 pengertian yuridis pencurrian adalah perbuatan “mengambil suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, ...”

Tidak ada sesuatu masalah norma Pasal 362 jika dicocokkan dengan pembobolan rekening di mesin ATM tersebut. Benar-benar pas bin cocok alias sesuai benar. Persolan kecil yg masih perlu diberikan analisis, ialah tentang perbuatan mengambil. Benarkah pada peristiwa tersebut terdapat perbuatan mengambil? Apa artinya mengambil? Saya memberikan batasan mengambil, yakni “melakukan suatu perbuatan tertentu dengan bentuk dan cara apapun terhadap suatu benda (sebagian atau seluruhnya milik orang lain) yang berakibat beralihnya kekuasaan benda tersebut ke dalam kekuasaan si pelaku”.

Dari batasan perbuatan mengambil seperti itu, maka untuk dapat dibuktikan adanya perbuatan mengambil yang dimaksud Pasal 362 KUHP tersebut, adalah.
1. Sebelum melakukan wujud perbuatan itu, benda objek pencurian belum/tidak berada di dalam kekuasaan orang yang mengambil/pencuri.
2. Dengan wujud dan perbuatan tertentu yang ditujukan pada benda objek pencurian, berakibat benda itu berpindah kekuasaannya ke dalam kekuasaan si pengambil/pencuri.

Dengan batasan perbuatan mengambil seperti itu, kayak-kayaknya pencurian itu merupakan delik materiil ya? Benar tapi tidak murni. Suatu delik yang dirumuskan secara formil, namun untuk terjadinya/selesainya secara sempurna (voltooid) disyaratkan beralihnya kekuasaan benda ke tangan orang yang mengambil atau si pencuri. Unsur akibat tidak dicantumkan secara formal ke dalam rumusan delik, namun harus ada sebagai syarat selesainya pencurian, unsur akibat mana terdapat secara terselubung di dalam perbuatan mengambil. Untuk terdapatnya secara sempurna (voltooid) perbuatan mengambil – harus telah beralihnya kekuasaan benda objek pencurian ke dalam kekuasaan si pelaku. Sama halnya dengan perbuatan merusak, menghancurkan, membunuh (Pasal 406) menghilangkan nyawa (Pasal 338), dan masih buaaanyak lagi.

Dengan demikian, maka bagaimanapun caranya dan wujud nyata perbuatan mengambil tidaklah menjadi persoalan, yang penting dari perbuatan yang entah bagaimana cara dan wujudnya tersebut benda objek yang diambil beralih kekuasaannya ke dalam kekuasaan si pencuri. Dengan penjelasan tersebut, maka perbuatan mengambil tidak ada persoalan lagi. Cocok benar dengan peristiwa pembobolan rekening tersebut. Demikian juga unsur-unsur yang lain tidak ada masalah lagi. Cocok, pas bin genah sdh memenuhi unsur-unsur delik pencurian.

Saya membaca di koran maupun di situs internet, polisi akan membidik dengan pencurian yang diperberat yakni Pasal 363. Meski-pun tidak diterangkan secara spesifik, tapi saya dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud pastilah Ayat (1) angka 5, karena rumusan disanalah yang paling dekat dari pada bentuk-bentuk lainnya dalam Pasal 363 tersebut.

Pasal 363 Ayat (1) angka 5 merumuskan “pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu”.

Waaaduh, kok jauuuh ya - sungguh besar hambatannya untuk menerapkan Ayat (1) angka 5 tersebut. Hambatannya adalah dari isi-pengertian unsur “... untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan” atau “untuk sampai pada barang yang diambil” .... kiranya disinilah masalahnya. Mengapa??.

Unsur “untuk masuk ketempat melakukan kejahatan”, jelaslah menunjukkan bahwa objek barang yang dicuri harus berada di dalam sebuah ruangan, misalnya rumah, kamar atau gudang dsb. Pengertian seperti ini klop benar dengan unsur berikutnya (caranya untuk masuk) terutama dengan memakai anak kunci palsu. Dengan demikian, dapat dipastikan unsur ini tidak mungkin dapat dipenuhi, karena untuk sampai pada objek benda yang dicuri, si pelaku tidak masuk ke dalam suatu ruangan. Kecuali jika mesin ATM tersebut ada di dalam gedung atau ruangan, yang untuk sampai pada ruangan itu si pencuri merusak pintunya atau membuka pintunya dengan anak kunci palsu. Kasusnya tidak demikian, ya kan??? Mesin ATM diletakkan di areal terbuka yang umumnya di tempat umum, bahkan adakalanya dipinggir jalan raya yang mudah dijangkau umum.

Bagaimana dengan unsur alternatifnya yakni untuk sampai pada barang yang diambil (bukan masuk ya) dengan cara merusak, memotong dsb. Inipun sulit, karena untuk sampai pada mesin ATM si pelaku tidak melakukan upaya merusak, memotong, memanjat dan sebagainya.

KESIMPULAN: Pasal 363 KUHP tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu kami – rakyat yang mendambakan tegaknya hukum yang benar (kepastian hukum), kami berteriak keras: Haaaaai Pak polisi-2, pak jaksa-jaksa dan pak hakim-2 yang kami hormati. Tolong terapkan hukum yang benar, jangan ngawur dan untuk mencari popularitas dengan pokoknya di hukum berat. Sikap dan perilaku yang demikianlah yang merusak sistem dan tatanan hukum pidana kita selama ini. PRAKTIK YANG MERUSAK, DENGAN MENAFSIRKAN ASAL MAU GUE. Itulah yang disebut dengan interpretatio est perversio. Mau sampeyan di cap penegak hukum yang paling ngawur, tukang tafsir est perversio???? Kalau begitu, apa bedanya sampeyan dengan dukun ramal yang duduk di pinggir jalan mencari mangsa dengan mulutnya komat-kamit seolah-olah berbicara dengan para jin dan dedemit untuk mendapatkan petunjuk tentang nasib orang-orang yang tanpa iman???. Haaaa -- aah ??

Sekarang, bagaimana dengan UU ITE. Delik yang mana kiranya yang diprediksi dekat dengan kasus pembobolan rekening di mesin ATM tersebut. Terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam Pasal 27 sampai 37 UU ITE. Diantara 19 macam tindak pidana ITE tersebut, kiranya yang dekat dengan peristiwa pembobolan rekening di ATM tersebut yakni:
1. Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat (3):
Pasal 30 Ayat (3) jo 36 merumuskan: “...dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui atau menjebol sistem pengamanan, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.
Saya kira perbuatan apa wujud dan caranya yang belum diketahui yang dilakukan pembobol tersebut dapat dikualifikasikan (disamakan) dengan perbuatan mengakses ..... dengan “menjebol” sistem pengaman. Untuk memperkuat pendapat saya ini diperlukan ahli telematika untuk menerangkannya di muka penyidik dan di muka hakim. Perbuatan seperti itu berakibat kerugian bagi orang lain. Mengenai kerugian orang lain merupakan unsur yang harus ditambahkan pada delik ITE yang dirumuskan dalam Pasal 30 Ayat (3). Unsur kerugian ini terdapat dalam Pasal 36. Semua delik yang dirumuskan dalam Pasal 27 sampai 34 tersebut, baru dapat menjadi tindak pidana ITE bila terdapat unsur kerugian orang lain dalam Pasal 36 ini. Tindak pidana ITE dalam Pasal 27 s/d Pasal 34 jelas adalah merupakan tindak pidana materiil. Timbulnya akibat merupakan syarat satu-satunya penyelesaian delik.
Membuat rumusan tindak pidana dalam UU ITE memang cara yang tidak lazim. Suatu tindak pidana tertentu harus memuat unsur-unsur yang dicantumkan dan menjadi kumulatif dalam tiga pasal. Membuat rumusan yang mbulet? Tidak mudah orang memahaminya, harus merangkai sendiri unsur-unsur dari dan dimuat dalam tiga pasal. Saya tidak suka dengan cara perumusan yang demikian. Tentu masih banyak cara dalam hendak merumuskan suatu tindak pidana agar tidak mbulet, kan.

2. Pasal 33 jo 36 jo 49:
Pasal 33 jo 36 merumuskan “... dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.
Semata-mata terpenuhinya unsur Pasal 33 belum cukup menjadi tindak pidana ITE harus ditambah pula unsur kerugian bagi orang lain yang dirumuskan dalam Pasal 36.
Persepsi saya, dengan perbuatan yang belum kita ketahui secara pasti bagaimana bentuk dan caranya yang dilakukan pembobol yang berakibat uang dalam mesin ATM dikeluarkan/dikuras (dengan melawan hukum) sehingga sampai dikuasai pembobol, dapat disamakan/ dikualifikasikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sebab jika sistem elektronik tidak dijadikan pembobol menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka tidak mungkin uang dapat dikeluarkan dari mesin ATM.

Diantara 2 macam tindak pidana ITE tersebut, yang manakah yang paling dekat dengan peristiwa pembobolan rekening melalui ATM tersebut? Menurut saya dua-duanya dapat diterapkan, fifty-fifty lah sama-sama kuat.

Hambatan umum dalam pekerjaan menganalisis delik-2 dalam UU ITE adalah rumusannya tidak jelas, mbulet bin mlinter-mlinter dan karenanya dapat menimbulkan multi tafsir, disamping tidak semua ahli hukum, polisi, jaksa dan hakim memahami benar tentang unsur-unsur atau kata atau istilah teknologi informasi degital yang digunakan UU tersebut, meskipun sebagian istilah diberikan pengertian otentiknya/yuridisnya, misalnya sistem elektornik, dokumen elektronik, dll. Toh keterangan mengenai pengertian tersebut mencantukan pula istilah-istilah yang tidak mudah dipahami oleh semua orang. Oleh karena itu rasanya ahli telematika mutlak diperlukan dalam setiap mengungkap kasus-kasus cyber crimes semacam ini. Namun menurut analisis saya (sementara) cukup alasannya untuk menyangkakan/ mendakwakan dua bentuk kejahatan ITE tersebut sekaligus.

Persoalannya, dari 3 (tiga) macam tindak pidana, ialah Pasal 362 KUHP, Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat (3) dan Pasal 33 jo 36 jo 49, yang menurut saya dapat diterapkan, bagaimana cara menerapkannya??.

Untuk hal penerapan pidananya harus melihat penerapan pidana pada perbarengan. Diantara 3 bentuk perbarengan, mengenai tiga macam tindak pidana ITE pada kasus pembobolan tersebut dapat dikategorikan masuk ke dalam bentuk perbarengan peraturan (concursus idialis) menurut Pasal 63 KUHP. Pemidanaan dalam hal perbarengan peraturan yang sesuai dengan kasus ini ialah menerapkan Pasal 63 Ayat (1) yakni mengunakan sistem hisapan (absorbsi stelsel). Dalam Pasal 63 Ayat (1) ada dua macam sistem absorbsi. Petama, jika beberapa tindak pidana yang timbul dari satu perbuatan itu, diancam dengan pidana yang sama berat, maka dijatuhkan salah satu pidana diantara beberapa aturan (rumusan delik) pidana tersebut. Hakim bebas memilihnya berdasakan pertimbangannya sendiri mana yang terdekat. Kedua, jika beberapa tindak pidana yang timbul dari satu perbuatan itu diancam dengan pidana yang berat ringannya tidak sama, maka dijatuhkan pidana menurut aturan pidana (rumusan delik) yang diancam pidana yang paling berat.

Nah, diantara 3 macam tindak pidana tadi yang terberat ancaman pidananya adalah Pasal 33 jo 36 jo 49, yaitu 10 tahun penjara. Maka hakim harus menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 33 jo 36 jo 49.

Kini bentuk surat dakwaan apa/bagaimana yang harus dibuat jaksa? Dalam setiap beberapa tindak pidana bentuk perbarengan baik perbeangan peraturan (Pasal 63 KUHP) maupun perbarengan perbuatan (Pasal 65 maupun 66 juga 70), maka JPU harus membuat surat dakwaan bentuk kumulatif. Pembuktiannya memang lebih ruwet dan sulit, karena wajib membuktikan kesemua tindak pidana yang didakwakan. Namun tuntutan pidana haruslah menggunakan sistem hisapan yang ditentukan dalam Pasal 63 tersebut.

Demikian pandangan saya. Sampai ketemu lagi pada artikel online berikutnya.

Malang Kampus UB, 25 Januari 2010.