Rabu, 03 Agustus 2011

Putusan mempidana B Prita Tidak Bisa digunakan Untuk PK Putusan Perdata

Pertanyaan hukumnya, bisakah putusan MA yang mempidana Ibu Prita digunakan sebagai dasar mengajukan PK terhadap putusan perdata yang menolak gugatan RS OMNI dkk?? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikaji lebih dulu kedudukan hubungan antara putusan perkara perdata No. 300/Pdt/2010 dengan putusan pidana MA No. 822K/Pid.Sus/2010. Dalam hal ini perlu dikaji hubungan kedua putusan MA yang saling bertentangan tersebut.
Dua Putusan Mempunyai Hubungan Erat.
Bahwa, antara putusan perkara pidana Pemohon PK MA No. 822K/Pid.Sus/2010 dan No. 300K/Pdt./2010 terdapat hubungan yang sangat erat, yang tidak boleh isi pertimbangan hukum maupun amarnya saling bertentangan.
Dalam masing-masing putusan MA tersebut terdapat pertimbangan hukum mengenai sesuatu in casu penghinaan dan/atau pencemaran yang didakwakan pada Ibu Prita. Namun dalam masing-masing putusan MA tersebut isi pertimbangan hukum mengenai pencemaran telah saling bertentangan, sehingga amar dari masing-masing putusan tersebut juga menjadi saling bertentangan. Kiranya disinilah terdapatnya alasan yang paling kuat bagi Ibu Prita untuk mengajukan PK terhadap putusan perkara pidananya.
Dasar/posita gugatan perdata ialah Pasal 1372 jo 1365 BW yang in casu dimaksud adalah, bahwa Ibu Prita (terdakwa) diduga telah melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap RS OMNI, dr Grace dan dr Hengky Gosal (para penggugat). Artinya untuk mengabulkan petitum gugatan mengenai penggantian kerugian, terlebih dahulu harus dibuktikan telah terjadinya pencemaran tersebut (atau bentuk lain dari penghinaan).
Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1372 jo 1365 BW) Merupakan Sifat Melawan Hukum Bentuk-bentuk Penghinaan.
Ternyata dalam pertimbangan hukum putusan MA No. 300 K/Pdt/2010, gugatan para penggugat ditolak seluruhnya. Artinya perbuatan Ibu Prita bukanlah perbuatan melawan hukum, (yang in casu dari sudut hukum pidana didakwa melakukan pencemaran). Dari sudut perdata, mengandung arti bahwa apa yang dilakukan Ibu Prita bukanlah sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana yang dimaksud Pasal 1372 jo 1365 BW. Dari sudut hukum penghinaan (include di dalamnya pencemaran), kedududkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1372 jo 1365 BW) merupakan tempat atau letak sifat melawan hukum bentuk-bentuk penghinaan. Jika perbuatan melawan hukum tidak terbukti, maka demi hukum tidak mungkin terdapat sifat melawan hukum di dalam suatu peristiwa yang semula didakwakan bentuk-bentuk penghinaan. Oleh karena tidak mengandung sifat melawan hukum, sementara perbuatannya terbukti, maka terhadap terdakwa tidak boleh dipidana, melainkan harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Inilah sesungguhnya yang harus diperjuangan oleh Ibu Prita, melalui pengajuan PK terhadap putusan MA yang mempidananya tersebut.
Oleh sebab perbuatan Ibu Prita tidak mengandung sifat melawan hukum, maka seharusnya dakwaan pencemaran (dan jenis-jenis penghinaan lainnya) dari sudut hukum pidana dinyatakan tidak terbukti pula. Karena dua perkara masing-masing perkara perdata dan perkara pidana pokok objeknya adalah sama, yakni masalah penghinaan dan/atau pencemaran seperti yang didakwakan dalam perkara pidana. Penghinaan (include pencemaran di dalamnya) dari sudut hukum pidana merupakan tindak pidana yang dapat dipidana. Sementara dari sudut hukum perdata adalah merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) – Pasal 1372 jo 1365 BW yang dapat dimintakan ganti kerugian. Disinilah letak hubungan yang sangat erat antara dua perkara tersebut.
Hukum tidak menghendaki terjadinya pertentangan (conflict van rechtspraak) antara dua atau lebih putusan, baik isi pertimbangan hukumnya maupun amar putusannya. Bahwa ratio dan latar belakang dari ketentuan mengenai larangan conflict van rechtspraak sebagaimana dimaksud Pasal 263 Ayat (2) huruf b KUHAP (salah satu dasar mengajukan PK putusan pidana) adalah bertumpu pada kepastian hukum. Dilarang adanya dua atau lebih putusan pengadilan yang saling berhubungan/berkaitan yang sudah mempunyai kekuatan hukum, yang masing-masing pertimbangan hukum maupun amar putusannya saling bertentangan atau berlainan. Disini pula letaknya pentingnya kepastian hukum sebagai tujuan utama dari hukum pidana. Sementara keadilan dan kemanfaatan telah include berada di dalamnya. Bila kepastian hukum ditegakkan pengadilan, dengan demikian keadilan dan kemanfaatan dari putusan tersebut akan tercapai. Contoh konkret kasus Ibu Prita ini sangatlah sesuai.
Putusan Pidana Ibu Prita Tidak Dapat Digunakan Sebagai Dasar Pengajuan PK Terhadap Putusan Perdata
RS OMNI dan kedua dokternya tersebut (para penggugat) boleh saja mengajukan PK terhadap putusan MA No. 300K/Pdt/2010 (putusan perdata) dengan menggunakan putusan MA No. 822/Pid.Sus/2010 sebagai dasarnya. Upaya semacam itu merupakan hak setiap penggugat yang dikalahkan. Namun harus diingat, seperti yang telah penulis tegaskan sebelumnya, bahwa dalam hubungnnya dengan Pasal 1372 jo 1365 BW, unsur sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 UU ITE (termasuk semua bentuk penghinaan) adalah terletak pada terbuktinya semua elemen dari perbuatan melawan hukum Pasal 1372 jo 1365 BW tersebut. Bahwa perbuatan melawan hukum menurut arti Pasal 1372 jo 1365 BW dari sudut hubungannya dengan semua bentuk penghinaan, baik penghinaan dalam Bab XVI KUHP (penghinaan umum maupun khusus) maupun yang diluar KUHP adalah merupakan (letaknya) sifat melawan hukumnya bentuk-bentuk penghinaan tersebut.
Jadi apabila MA sudah memberi pertimbangan dalam putusan perdata (No. 300K/Pdt/2010), bahwa perbuatan melawan hukum Pasal 1372 jo 1365 BW sudah tidak terbukti, maka demi hukum tidak ada sifat melawan hukum dalam tindak pidana pencemaran yang didakwakan. Oleh karena itu dalam hal seperti ini tidak bisa dibalik, putusan pidana untuk mengajukan PK terhadap putusan perdata. Dalam kedudukan dan hubungan kedua putusan tersebut, putusan perkara pidana MA tidak bisa digunakan sebagai alasan PK untuk malawan putusan perkara perdatanya. Dengan menggunakan logika sederhana (awam), dapat diberikan contoh. Bahwa sebuah sabit digunakan untuk memotong rumput (merumput). Bukan dibalik, rumput digunakan untuk memotong sabit. Itulah kira-kira hubungan dan kedudukan kedua putusan MA yang saling bertentangan tersebut.
PK Ibu Prita Jangan Sampai Terlambat Diajukan dan Diputus
Di peradilan Indonesia saat ini, semua kemungkinan masih bisa terjadi. Karena sesuatu hal, kemungkinan yang buruk tersebut bisa benar-benar bisa timbul. Untuk mencegah kemungkinan buruk tersebut, dimana putusan perkara pidana digunakan oleh para Penggugat untuk mengajukan PK terhadap putusan perdata, maka Ibu Prita jangan sampai keduluan oleh para penggugat untuk mengajukan PK terhadap putusan perkara perdatanya. Demikian juga jangan sampai permintaan PK oleh para penggugat diputus lebih dulu. Jika benar-benar RS OMNI dkk menggunakan hak untuk mengajukan PK, cara dan jalan satu-satunya untuk membuat tidak berkutiknya hakim MA ditingkat PK yang mengadili perminataan PK oleh RS OMNI dkk adalah Ibu Prita harus gerak cepat. Jangan sampai kedahuluan diputusnya permintaan PK para penggugat oleh MA.
Bukanlah suatu kesalahan dan celaan kalau PH Ibu Prita mendesak agar permintaan PK nya segera diperiksa dan diputus. Hal semacam itu adalah merupakan hak setiap warga negara. Demikian juga desakan masyarakat, boleh saja diajukan pada PN Tangerang agar segera menyidangkan dan segera mengirimkan berkasnya ke MA. Serta mendesak MA segera memeriksa dan memutus.
Kiranya Ibu Prita tidak terlambat. Beberapa hari yang lalu telah terdengar berita, bahwa PH dari Kantor OC Kaligis telah mengajukan upaya PK tersebut. Belum diketahui kalau-kalau pihak RS OMNI dkk mengajukan upaya PK pula. Yang kita khawatirkan kalau-kalau ada main mata antara MA dengan para penggugat? Hal demikian juga harus diwaspadai. Masyarakat dan pers harus terus membuka dan membelalakkan mata mengamati perkembangan kasus ini.
Apabila permintaan PK Ibu Prita dikabulkan, dan putusan MA yang mengadili permintaan PK Ibu Prita menarik amar “membatalkan putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010, dan melepaskan terdakwa dari segala tuntunan hukum. Andaikata para penggugat (RS OMNI, dr Grace dan dr Hengky Gosal) juga mengajukan PK dan belum diputus, kiranya sudah tertutup kemungkinan untuk dapat dikabulkan. Mengingat putusan PK yang melepaskan dari segala tuntutan hukum Ibu Prita tidak mungkin diubah lagi untuk disesuaikan dengan putusan perdata yang bertentangan dengan putusan pidananya. Justru sebaliknya putusan perdata tetap akan dipertahankan, karena tidak boleh bertentangan dengan putusan pidana yang tidak mungkin dilawan dengan upaya hukum apapun. Jangan sampai timbul upaya hukum gregetan, seperti upaya hukum PK oleh Jaksa PU terhadap putusan pembebasan Muchtar Pakpahan yang kemudian menjadi malapetaka besar dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.
Semoga hakim pada Mahkamah Agung yang mengadili upaya hukum PK mengabulkan permintaan PK Ibu Prita tersebut. Amin ya Robbal Allamin. Kita tunggu.
Kampus FH UB, 2-8-2011
H. Adami Chazawi

1 komentar:

  1. Betul, Pak, saya sepakat dengan analisis Anda yang mencerahkan pemahaman saya tentang hubungan sifat melawan hukum dalam hukum pidana dengan hukum perdata.
    Pak Adami, saya, Wibowo Malik, mahasiswa program pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada klaster Hukum Pidana. Saya tertarik dengan sebuah buku yang beberapa kali menjadi acuan Anda dalam beberapa buku Anda, yaitu buku D. Simons berjudul Kitab Pelajaran Hukum Pidana (1994), terjemahan P.A.F. Lamintang. Mungkin buku tersebut adalah satu-satunya buku hukum pidana yang belum saya miliki. Apakah saya bisa dibantu untuk mendapatkannya?
    e-mail: lex.malique@gmail.com

    BalasHapus