Minggu, 25 Juli 2010

Berciuman Bibir Di Muka Umum, Dipidanakah ?

BERCIUMAN BIBIR DI MUKA UMUM –
DIPIDANAKAH ??
(Tinjauan dari KUHP & UU ITE)
H. Adami Chazawi
(Untuk Mahasiswa FH UB, khususnya
yang memprogramkan KTSH).


PENDAHULUAN

Untuk menyatakan perasaan, orang bisa melakukan dengan cara mencium atau berciuman. Menyatakan sayang pada anak, orang mencium kening atau pipi si anak. Untuk menyatakan keakraban (sesama jenis), dengan berciuman pipi. Untuk menyatakan hormat pada seseorang, bisa dilakukan dengan mencium tangannya. Seperti Anggodo mencium tangan mantan pejabat tinggi Kejaksaan Agung di muka persidangan pengadilan yang lalu. Menyatakan cinta atau melampiaskan birahi, dapat dengan melakukan mencium bibir lawan jenisnya.

Untuk ciuman yang terakhir halal saja dilakukan, asalkan tidak dilihat oleh umum, misalnya di dalam kamar atau di hutan sekalian seperti tarzan. Bebeda halnya apabila mencium atau berciuman bibir di lakukan di muka umum. Orang yang melihat adegan tersebut terganggu rasa kesusilaannya. Contoh K dan pacarnya berciuman di muka para wartawan intertainment. Kemudian ditayangkan oleh station TV. Masyarakat memberi rekasi - mencela pertunjukan adegan baku cium tersebut. Sebagaimana dapat dibaca di koran-koran, siran TV dan jejaring sosial (internet). MUI juga segera memberi reaksi. Ketua MUI KH Hamidan menyatakan “mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan”.[1] Tak tahan menghadapi reaksi dari masyarakat, K pun menyatakan “meminta maaf” atas kelakuan yang membuat banyak orang tergganggu rasa kesusilannya tersebut.[2]

Keadaan tersebut membuktikan bahwa, di dalam kehidupan masyarakat, ada nilai-nilai kesusilaan yang hidup, dihargai, dianut dan dipertahankan. Kenyataan adanya reaksi masyarakat tersebut, adalah suatu bukti bahwa nilai-nilai kesusilaan itu ada dan hidup dan keberlakuannya dipertahankan masyarakat.

Timbulnya reaksi masyarakat seperti itu, membuktikan pula bahwa, setiap individu tidak saja harus menegakkan hukum dalam sikap dan perbuatannya, tetapi juga perlu menegakkan norma-norma lainnya, seperti norma kesusilaan dan norma agama. Meskipun terhadap isi bagian tertentu norma kesusilaan dan norma agama belum diadopsi ke dalam norma hukum. Belum teradopsi ke dalam norma hukum, tidak menjadi alasan bagi setiap individu untuk tidak menjalankan dan mematuhi norma-norma kesusilaan dan norma agama. Banyak norma-norma agama yang tanpa disadari telah diadopsi ke dalam norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu melanggar norma-norma kesusilaan dapat dinilai sekaligus melanggar norma agama. Misalnya perbuatan bersetubuh diluar nikah. Dilarang oleh norma agama, kesusilaan, yang dengan syarat-syarat tertentu dilarang pula oleh hukum.[3] Nilai-nilai moral kesusilaan yang berasal dari norma agama telah diadopsi ke dalam norma hukum.

Norma-norma kesusilaan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal kesopanan setiap orang dalam pergaulan hidup sesamanya dalam masyarakat. Nilai-nilai kesusilaan yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dapat mencerminkan sifat dan karakter dari suatu lingkungan masyarakat, bahkan suatu bangsa . Patokan patut atau tidak patutnya suatu perbuatan, dianggap menyerang atau tidak terhadap kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan tidak semata-mata bersifat individual, tetapi juga bersifat sosial.[4] Seperti lain jenis berciuman bibir di muka umum. Bukan individu tertentu yang merasa terganggu rasa kesusilaannya, melainkan juga orang-orang lainnya. Maka sifat melanggar kesusilaan yang melekat pada kelakuan seperti itu telah bersifat sosial, menjadi kejahatan sosial. Jika ada padanannya di dalam hukum pidana, menjadi kejahatan menurut hukum yang dapat dipidana.

BERCIUMAN BIBIR DI MUKA UMUM, KEJAHATAN HUKUMKAH?


Hal berciuman (bibir) di muka umum menjadi polemik, akibat kelakuan K dan pacarnya berciuman di hadapan para wartawan pada konferensi pers (21-7-2010) yang diadakannya. Polemik tersebut adalah merupakan rekasi dari masyarakat, yang rasa kesusilaannya telah diganggu. Reaksi ini dapat menjadi reaksi hukum (sanksi hukum), manakalah kelakuan seperti itu dapat dipidana karena ada padanannya di dalam hukum pidana.

Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kelakuan K dan pacarnya tersebut merupakan suatu kejahatan hukum. Tidak sama sekali. Andaikata pun terpaksa, paling-paling akan mengatakan kelakuan seperti itu dapat diduga suatu kejahatan hukum. Karena tulisan ini semata-mata membicarakan kelakuan orang lain jenis berciuman di muka umum secara umum. Tidak secara spesifik menunjuk kelakuan K tersebut. Kelakuan mereka itu sekedar “keadaan” yang memotivasi penulis untuk mencoba mengemukakan pendapat tentang masalah “berciuman bibir” di muka umum.

Pasal 281 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-:
1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Ada dua bentuk kejahatan melanggar kesusilaan umum, yakni yang satu dirumuskan pada angka 1, dan kejahatan yang kedua dirumuskan pada angka 2.

Unsur-unsur kejahatan angka 1, adalah:
a. Perbuatan: melanggar kesusilaan;
b. secara terbuka.
c. Kesalahan: sengaja

Kata “melanggar” dalam frasa “melanggar kesusilaan” tidak ada hubungannya dengan kata “pelanggaran” asal kata dari overtredingen (jenis-jenis delik buku III KUHP), melainkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang.[5] Melanggar kesusilaan (schennis der eerbaarheid), suatu rumusan perbuatan yang bersifat abstrak, tidak konkret. Isi atau wujud konkretnya tidak dapat ditentukan, karena wujud konkretnya ada sekian banyak jumlahnya, bahkan tidak terbatas. Wujud perbuatan baru dapat diketahui manakala perbuatan itu telah terjadi secara sempurna. Misalnya: bertelanjang, berciuman, memegang alat kelaminnya atau alat kelamin orang lain, memegang buah dada seorang perempuan, memperlihatkan penisnya atau vaginanya dan lain sebagaianya. Termasuk berciuman bibir. Tentu saja semua harus dilakukan di muka umum (openbaar).

Unsur dimuka umum inilah yang menjadi penyebab semua perbuatan di atas menjadi perbuatan melanggar kesusilaan, artinya melekat sifat tercela atau melawan hukum pada perbuatan melanggar kesusilaan. Walaupun unsur melawan hukum dalam kejahatan ini tidak dirumuskan sebagai unsur (tertulis), tetapi sudah pasti sifat tercela ini selalu ada, dan keberadaannya itu telah dengan sendirinya melekat pada unsur secara terbuka (openbaar) atau dimuka umum.[6]

Sifat melanggar kesusilaan dari suatu perbuatan melanggar kesusilaan, yang melekat pada unsur “di muka umum”, sebagaimana pada umumnya kejahatan kesusilaan. Keberlakuan difinitifnya bergantung pada waktu dan tempat dilakukannya perbuatan. Dapat dikatakan relatif. Bergantung dari masyarakatnya, tempatnya dan temponya. Pendapat demikian benar, namun perlu diketahui bahwa tidak semua wujud perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum mempunyai sifat relatif, ada wujud perbuatan tertentu yang dinilai menyerang rasa kesusilaan bagi setiap golongan masyarakat dimanapun berada dan untuk setiap masa. Misalnya bersetubuh ditempat umum atau dimuka orang banyak, perbuatan mana serupa dengan perbuatan binatang dalam melampiaskan nafsu birahinya.

Bagaimana dengan berciuman bibir di muka umum? Berciuman bibir antara dua orang yang berlainan jenis, adalah merupakan: (1) wujud pelaksanaan dari cinta birahi, (2) bagian dari persenggamaan. Senggama merupakan puncak dari segala wujud perbuatan dalam hal melampiaskan nafsu birahi manusia. Oleh karena berciuman seperti itu merupakan bagian dari melampiaskan cinta birahi, bila dilakukan di muka umum menjadi tercela. Nilai-nilai susila di masyarakat kita, tetap mencela terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan kelakuan melampiaskan birahi. Sebagai indikatornya adalah reaksi masyarakat terhadap kelakuan tersebut, sebagaimana pada pendahuluan di atas telah dibicarakan. Kelakuan buruk ini dapat masuk pada perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum menurut arti dari Pasal 281 KUHP tersebut.

Pasal 27 Ayat (1) jo 45 UU Ayat (1) No. 11/2008 Tentang ITE jo 56 KUHP.

Pasal 27 (1) jo 45 (1) UU No. 11/2008:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kita coba menggunakan ketentuan hukum pidana di atas untuk menganalisis kasus berciuman bibir di muka umum. Unsur-unsurnya berikut ini.
· Perbuatan: (a) mendistribusikan, (b) mentransmisikan; (c) membuat dapat diaksesnya.
· Objek:: (a) informasi elektronik dan/atau. (b) dokumen Eelektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
· Kesalahan: sengaja
· Melawan hukum: tanpa hak

Perbuatan mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[7] Dalam konteks dengan kejahatan kesusilaan menurut Pasal 27 (1) tersebut, perbuatan mendistribusikan dapat didefinisikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.

Menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang (benda) kepada orang lain (benda lain).[8] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.[9]

Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.[10]

Dihubungkan dengan objek tindak pidana menurut Pasal 27 Ayat (1) UU ITE. Perbuatan membuat dapat diaksesnya adalah melakukan perbuatan dengan cara apapun melalui perangkat elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi terhadap data atau sekumpulan data elektronik dalam melakukan transaksi elektronik yang menyebabkan data elektronik tersebut menjadi dapat diakses oleh orang lain atau benda elektronik lain.[11]

Ada 2 objek tindak pidana.
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (elektronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[12]
Sementara dokumen elektronik tidak diberikan keterangan apapun dalam UU ITE. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan. Dokumen adalah 1 surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian); 2 barang cetakan atau naskah karangan yang dikirim melalui pos; 3 rekaman suara, gambar dalam filem, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti keterangan.[13]
Dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan menerapkannya pada objek tindak pidana, maka dapat didefinisikan. Dokumen elektronik adalah surat tertulis atau tercetak yang disimpan secara elektronik yang isinya dapat dipakai sebagai bukti berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sementara objek “yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah dibicarakan sebelumnya. Unsur ini disebut unsur keadaan yang menyertai yang melekat pada objek dokumen elektronik atau informasi elektronik.

Kini semakin jelas, bahwa tiga perbuatan dalam Pasal 27 (1) dengan objek informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat diterapkan terhadap kasus orang yang di duga berciumam bibir di muka umum. Kepada siapa? Tentulah kepada siapa yang melakukan tiga perbuatan tersebut.

Tentulah bukan wartawan – peliput maupun si pembuat yang berciuman sebagai subjek hukum yang dapat dibebani tanggungg jawab pidana sebagai pembuat (pembuat tunggal/dader atau pembuat pelaksana/pleger). Namun bukan berarti kedua subjek hukum yang disebut terakhir dilepaskan begitu saja dari tanggungjawab pidana (toerekeningsvatbaar). Kedua subjek hukum tersebut terakhir dapat dibebani tanggung jawab pidana sebagai pembuat peserta (medepleger) berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) angka 1 KUHP. Pertimbangan hukumnya, ialah wartawan peliput dan orang yang berciumam bibir telah menyadari bahwa informasi atau dokumen elektronik yang di buat tersebut hendak di distribusikan atau ditransmisikan melalui seperangkat alat elektronik. Sementara Ia sadar bukan mereka yang akan melakukannya. Namun perbuatan mentransmisikan atau mendistribusikan tidak bisa dilakukan tanpa didahului oleh perbuatan mereka tersebut. Syarat seorang medepleger, ialah kesengajaannya sama dengan kesengajaan si pembuat pelaksananya. Sementara perbuatannya tidak penting harus sama.

Sekian dulu.

Mahasiwa FH UB, diijinkan untuk mengkopi. Namun tidak diijinkan untuk merubah tulisan.

Malang, kampuis FH UB, 24-07-2010.
[1] Kompas, com (22-7-2010).
[2] Kompas.com (23-7-2010).
[3] Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit IMM –ITS Press, Surabaya, halaman 5.
[4] Ibid, halaman 6.
[5] Adami Chazawi, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, halaman 16.
[6] Ibid.
[7] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[9] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit ITS Press – PMM, Surabaya, halaman 283.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
[13] Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit., halaman 338.

Jumat, 16 Juli 2010

ANALISIS HUKUM KASUS ARIEL

ANALISIS HUKUM KASUS ARIEL
KASUS PORNOGRAFI ORANG MIRIP ARIEL??
(H. Adami Chazawi)
Ditujukan Untuk Mahasiswa FH UB

PENDAHULUAN

Ada ahli hukum kita, baik pengamat maupun praktisi, yang mengemukakan Pasal 281, 282 KUHP dan Pasal 27 Ayat (1) jo 45 Ayat (1) UU ITE, dapat diterapkan pada kasus orang yang mirip Ariel. Sebagian ahli menunjuk Pasal 29 jo 4 Ayat (1), dan 32 jo 6 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Mari kita telaah sumber-sumber hukum tersebut.

Terdapat konsepsi-konsepsi hukum di dalam setiap macam tindak pidana yang dibentuk Pembuat UU. Konsepsi hukum tersebut bahkan terdapat di dalam setiap unsur. Konsepsi-konsepsi hukum yang dimaksud terkadang berupa petunjuk di dalam Memorie van Toelichting (untuk WvS), (misalnya pengertian barang pada pencurian adalah barang bergerak dan berwujud) atau di dalam Penjelasan UU dan atau juga di dalam Pasal 1 tentang pengertian-pengertian (diluar KUHP). Jika tidak ada petunjuk atau penjelasan, konsepsi-konsepsi hukum tersebut dapat dicari dan dipikirkan berdasarkan ilmu hukum dengan menggunakan logika dan akal. Konspesi-konsepsi yang demikian ini ditemukan melalui pemikiran para ahli hukum. Kali ini mari kita coba menganalisis kasus orang mirip Ariel ini berdasarkan konsepsi-konsepsi hukum yang penulis maksudkan. Agar kita, terutama para mahasiswa menjadi kritis dalam hal menerima informasi yang belum tentu kebenaran hukumnya.

1. Pasal 281 KUHP
Pasal 281: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,00
1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.[1]

Ada dua macam kejahatan melanggar kesusilaan dalam Pasal 281 masing-masing pada angka 1 dan angka 2.

KEJAHATAN KESUSILAAN ANGKA 1

Perlu diketahui bahwa konsepsi hukum mengenai kejahatan Pasal 281 Angka 1 ini adalah kejahatan dimana sifat melanggar kesusilaannya sudah melekat dengan sendirinya secara langsung dan seketika itu pada diri si pembuat pada saat melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang ketika itu dilihat orang banyak. Artinya sifat melanggar kesusilaannya melekat pada objek tubuhnya sendiri ketika melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan tersebut. Misalnya orang yang bertelanjang di muka umum atau bersenggama di muka umum. Pasal 281 Angka 1 tidak berlaku bagi kejahatan kesusilaan dimana sifat melanggar kesusilaannya itu melekat atau terdapat di luar tubuh si pelaku ketika ia berbuat tertentu. Tidak berlaku pada kejahatan-kejahatan yang sifat melanggar kesusilaannya melekat selain pada tubuh si pembuat, misalnya memperlihatkan gambar laki-laki sedang beronani atau perempuan sedang bermaturbasi pada beberapa orang. Contoh terakhir masuk pornografi Pasal 282 Ayat (1) KUHP. Pada contoh terakhir ini, sifat melanggar kesusilannya melekat pada isi gambarnya ketika diperlihatkan pada orang banyak/umum, bukan melekat pada perbuatan memperlihatkan.

KEJAHATAN KESUSILAAN ANGKA 2
Kejahatan kesusilaan angka 2 tidak mungkin diterapkan pada kasus orang yang mirip Ariel. Satu-satunya alasan bahwa rumusan Angka 2 perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat harus di hadapan orang-orang lain (umum) yang ada di tempat melakukan perbuatan a susila tersebut, bukan karena orang lain itu sengaja datang untuk melihat atau mengetahui si pembuat melakukan kejahatan a susila tersebut. Ratio dari ketentuan Angka 2 ini ialah pembentuk UU tidak menghendaki untuk melindungi kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan terhadap orang-orang yang sengaja melihat orang yang berbuat yang kalau di muka umum - melanggar kesusilaan. Ratio ini amat sesuai dengan logika umum. Bahwa orang yang sengaja kurang ajar (melihat orang lain yang jiika di muka umum - melanggar kesusilaan, misalnya bersenggama) tidak perlu diberi perlindungan hukum mengenai rasa kesusilaannya. Dengan kata lain orang yang sengaja melihat orang lain sedang bersenggama, harus dianggap tidak memiliki rasa kesusilaan. Karena itu tidak perlu memberi perlindungan hukum mengenai rasa kesesuilaannya.

Pembentuk UU menganggap bahwa “tidak perlu melindungi rasa kesusilaan bagi orang yang tidak memiliki rasa kesusilaan”. Contohnya, tidak mungkin dipidana sepasang “kemanten anyar” ketika sedang bersenggama yang dilihat oleh anak-anak kos di rumahnya, apabila anak-anak kos tersebut sengaja beramai-ramai mengintipnya. Meskipun terang persenggamaan itu dihadapan/ dilihat oleh banyak orang. Lain halnya apabila sepasang penganten baru tersebut sengaja bermain cinta agar dilihat orang banyak dengan sengaja membuka pintu dan jendela kamarnya lebar-lebar, yang disadarinya disekitar itu berkeliaran anak-anak kos. Tentu saja kedua manten anyar yang kurang ajar ini harus dibebani tanggung jawab pidana menurut Pasal 281 Angka 2 atas perbuatannya itu, meskipun bermainnya di kamarnya sendiri.

Kasus Orang Mirip Ariel
Kalau kita terapkan pada kasus kesusilaan orang yang mirip Ariel dalam vedio persenggamaan yang beredar di situs internet yang bikin heboh Menteri dan Presiden ini, tentu Pasal 281 tidak tepat. Satu-satunya alasan, bahwa Pasal 281 angka 1 sifat pelanggaran kesusilaannya itu melekat pada si pembuat sendiri ketika si pembuat berbuat dilihat banyak orang. Misalnya seorang mahasiswa memperlihatkan alat kelaminnya pada teman-temannya. Sementara gambar bergerak persenggamaan ketika orang mirip Ariel, Luna dan Cut Tari bermain cinta tidak ada orang lain yang melihat. Sifat melanggar kesusilaan menurut Pasal 281 bukan melekat pada gambar videonya, tetapi melekat pada tubuh ketiganya ketika berbuat tersebut yang (kalau) “dilihat orang banyak”. Sifat melanggar kesusilaan yang merupakan sifat melawan hukumnya dari wujud-wujud perbuatan si pembuat menurut Pasal 281 terletak/melekat pada unsur “dilihat umum” atau di muka umum. Keadaan orang banyak melihat ketika mereka bersenggama pada kasus orang mirip Ariel ini jelas tidak ada.

Kalau kemudian gambar bergerak orang bersenggama di dalam video (bukan videonya lho) dengan alat-alat tertentu dengan cara-cara (teknologi) tertentu dipertunjukan pada banyak orang/umum, barulah timbul sifat melanggar kesusilaannya. Namun sifat melanggar kesusilaan yang terakhir ini bukan sifat melanggar kesusilaan sebagaimana yang dimaksud Pasal 281 (maupun Pasal 282 yang akan dijelaskan dibawah nanti).

2. Pasal 282 KUHP – Tindak Pidana Pornografi

Pasal 282:
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan atau gambar atau benda tersebut, memasukkannya kedalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkaannya atau menunjukannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
(2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membikin memasukkan kedalam negeri, meneruskan, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencaharian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 75.000,00.[2]

Dari sudut unsur kesalahan, Pasal 282 memuat dua tindak pidana pornografi sengaja (Ayat 1) dan tindak pidana pornografi kulpa/kelalaian (Ayat 2).
Tindak pidana pornografi sengaja Ayat (1) terdiri dari 3 macam, ialah:
a. Tindak pidana pornografi menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan.
b. Tindak pidana pornografi dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan, gambar, benda, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, memiliki persediaan tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan.
c. Tindak pidana secara terang-terangan dengan mengedarkan tulisan/surat, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang diketahuinya isinya melanggar kesusilaan.

Tindak pidana pornografi kulpa juga tiga macam, ialah:
a. Tindak pidana pornografi menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut melanggar kesusilaan.
b. Tindak pidana pornografi dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan, gambar, benda, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, memiliki persediaan tulisan, gambar atau benda yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut melanggar kesusilaan.
c. Tindak pidana secara terang-terangan dengan mengedarkan tulisan/surat, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut isinya melanggar kesusilaan.

Tentang Objek dan Perbuatan Tindak Pidana Pornografi Pasal 282

Jelas objek tindak pidana pornografi ada 3 macam, ialah gambar (afbeeldingen), tulisan (geschriften) dan benda (voorwerp). Cukup lengkap perbuatan yang dilarang dalam Ayat (1) maupun Ayat (2) tersebut, antara lain yang menurut perkiraan orang dilakukan oleh orang mirip Ariel adalah: mempertunjukan (tentoon stellen) dan menyiarkan (verspreiden).
Konsepsi Hukum Mengenai Gambar (Afbeeldingen)

Konsepsi hukum mengenai gambar di dalam Pasal 282 ini berbeda dengan gambar di dalam sebuah video. Pengertian gambar dalam konsepsi pornografi menurut Pasal 282 adalah coretan-coretan yang sengaja dibuat mengenai tiruan dari suatu benda, tepatnya lukisan gitu lho. Bisa diperluas dengan gambar yang dibuat dengan alat, misalnya dengan mesin cetak atau poto tustel dsb. Namun tidak mungkin gambar yang masih ada di dalam video, lebih-lebih di jaringan internet. Alasannya ialah bahwa gambar yang sifanya melanggar kesusilaan atau isinya yang memuat kecabulan (jika diperlihatkan di muka umum) yang dimaksud Pasal 282 adalah pada objek gambarnya yang semata-mata melekat di atas /pada kertas dan semacamnya. Pada gambar yang melekat di atas kertas semacam ini langasung dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain, tanpa harus melakukan perbuatan-perbuatan dengan cara serta metode tertentu seperti halnya gambar bergerak bersuara di jaringan internet. Gambar yang melekat di atas kertas yang langsung dapat dilihat inilah melekat sifat melanggar kesusilaannya.

Sudah barang tentu keadaan dan sifat gambar menurut konsepsi Pasal 282 seperti ini tidak mungkin terdapat pada benda yang masih di dalam sebuah video, sekeping CD/VCD, flash disk atau yang semacamnya. Lebih-lebih lagi dalam sebuah file di situs internet, dimana orang-orang baru dapat melihatnya dengan menggunakan alat dengan cara, metode dan teknologi tertentu. Tanpa alat dan pengetahuan tertentu mengenai cara-cara dan metode serta teknologi tertentu, tidak mungkin orang dapat melihat gambar di dalamnya.

Konsepsi hukum mengenai gambar menurut Pasal 282 yang demikian ini dapat dipikirkan bahwa ketika KUHP dibuat tidak ada gambar-gambar lebih-lebih lagi gambar gergerak bersuara yang dapat disimpan di dalam Video atau file-file di Personal Komputer atau jaringan internet dan sebagainya seperti keadaan sekarang ini. Apabila hakim menganggap bahwa gambar yang tersimpan dalam video termasuk juga pengertian gambar yang dimaksud dalam Pasal 282 KUHP, maka hakim sudah keluar dari konsepsi hukum mengenai gambar menurut Pasal 282, melainkan telah menafsirkannya. Masalahnya sudah menjadi lain, sudah masuk masalah apakah cara menafsirkan yang digunakan hakim dapat dibenarkan?

Dalam hukum pidana cara-cara menafsirkan sangat ketat, dibatasi oleh model dan cara penafsiran yang ada dan dikenal dalam doktrin. Acap kali hakim menyalahgunakan kewenangannya dengan menafsirkan terlalu luas, sehingga membunuh norma hukum pidana itu sendiri, hakim telah bertindak sebagai pembuat UU, bukan lagi menemukan hukum sebagimana yang dimaksud pada awal tulisan ini dengan menggali untuk mencari dan menemukan konsepsi-
konsepsi hukum dalam rumusan tindak pidana. Hakim kita acap kali menggunakan analogi yang dilarang dipergunakan dalam hukum pidana karena bertentangan dengan Pasal 1 KUHP. Lalu hakim tersebut mengatakan dia tidak menggunakan analogi tetapi penafsiran ekstensif. Itu akal-akalan hakim saja dengan berlindung di bawah jargon “kebebasan hakim”. Sebenarnya ekstensif itu adalah penghalusan saja dari analogi. Berbeda dari sudut graduil saja.[3] Sifat keduanya sama.[4] Cara-cara bekerjanya tidaklah berbeda. [5]

Kosepsi Hukum Mengenai Perbuatan Menyebarkan (Verspreiden).
Sangat sulit dan mengganjal untuk menerapkan Pasal 282 KUHP pada kasus orang mirip Ariel ini, bukan sekedar karena konsepsi mengenai gambar saja sebagaimana yang diterangkan di atas, tetapi juga konsepsi dari perbuatan menyebarkan (verspreiden) atau mempertunjukkan (ten toon stelen) gambar di muka umum tersebut. Bahwa perbuatan itu harus dilakukan langsung pada benda gambarnya diatas kertas atau semacamnya, bukan pada seperti menunjukan sekeping CD atau VCD (yang di dalamnya ada gambar porno). Lagi pula konsepsi perbuatan menyebarkan (verspreiden) menurut arti yang sebenarnya adalah gambar tersebut berada dalam wadah (banyak) lembar-lembar kertas atau semacamnya (gambarnya banyak), kemudian kertas-kertas yang memuat gambar tersebut disebar, dibagi-bagikan, diserahkan pada banyak orang. Tempos perbuatan menyebarkan dengan tempos diketahuinya gambar adalah bersamaan. Sangat cocok dengan orang yang membagi-bagikan gambar porno dalam famlet atau menempelkan famflet yang memuat gambar-gambar porno. Atau diperluas lagi termasuk orang yang mengirimkan banyak majalah porno kepada agen-agen untuk diperjualbelikan.

Konsepsi gambar dan perbuatan menyebarkan dan atau menunjukkan tidak pas terhadap kasus orang mirip Ariel. Silakan pembaca menganalisisnya sendiri. Bagi penulis yang tetap berpegang teguh pada asas legalitas Pasal 1 KUHP (dasar/fondasi hukum pidana lho), sangat sulit menerima apabila kasus orang mirip Ariel hendak diterapkan Pasal 282 KUHP.

3. Pasal 27 Ayat (1) jo 45 Ayat (1) UU ITE
Pasal 27 Ayat (1): Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya ITE dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal 45 Ayat (1): Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat 91) Ayat (2) Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau dengan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.

Perbuatan Mendistribusikan, Mentransmisikan, Membuat Dapat Diaksesnya
Tiga perbuatan dalam pasal 27 Ayat (1) mempunyai makna yang sama dengan perbuatan menyebarluaskan dan menyiarkan dalam Pasal 29 UU Pornografi, dalam arti akibat dari perbuatan-perbuatan semacam itu, isi objek dokumen elektronik tersebut diketahui umum. Sedikit perbedaan, dimana menurut Pasal 27 UU ITE lebih kearah melalui alat teknologi Elektronik (ITE).

Mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[6] Dalam konteks tindak pidana kesusilaan dengan menggunakan sarana teknologi informasi menurut UU ITE. Kiranya perbuatan mendistribusikan diartikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.[7]

Perbuatan mendistribusikan data atau sekumpulan data elektronik tersebut dalam rangka melakukan transaksi elektronik. Suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan menggunakan sarana komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.[8]

Perbuatan menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan (benda) dari seseorang kepada orang lain (benda lain).[9] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.[10]

Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.[11]

Kejahatan kesusilaan khusus UU ITE dengan perbuatan “membuat dapat diaksesnya” merupakan tindak pidana materiil murni. Untuk terwujudnya secara sempurna tindak pidana ini, diperlukan akibat bahwa data atau sekumpulan data elektronik telah dapat diakses oleh orang lain atau seperangkat alat elektronik. Jaksa harus membuktikan bahwa data elektronik tersebut telah nyata-nyata diakses oleh orang lain. Minimal sudah terdapat/menyebar dalam perangkat elektronik yang lain dari perangkat elektronik semula yang digunakan oleh si pembuat

Kasus Orang Mirip Ariel

Ketentuan pasal ini, lebih dekat pada kasus orang mirip Ariel. Meskipun terdapat kesulitan dalam hal pembuktiannya. Hukum pembuktian yang ada di dalam KUHAP berikut sedikit yang ada di dalam UU ITE tidak cukup mudah untuk membuktikan bahwa Ariel yang mendistribusikan atau yang turut mendistribusikan. Lebih-lebih apabila orang mirip Ariel tidak mengaku dan orang lain yang mendistribusikan atau ikut serta mendistribusikan tidak ditemukan. Beban pembuktian perkara ini ada pada jaksa, bukan pada Ariel. Pasal 65 KUHAP sangat tegas menyatakan bahwa “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

Dalam hal perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya gambar bergerak persenggamaan bersuara - orang mirip Ariel – Luna dan Cut tari tersebut, sehingga diketahui umum seperti keadaan sekarang ini, bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan, ialah:
· Kemungkinan pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau mereka berdua atau bertiga sama-sama mendistribusikan dll (penyertaan) tanpa melibatkan orang lain.
· Kemungkinan kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak mendistribusikan dll dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain tanpa sepengetahuan Ariel, Luna maupun Cut Tari.
· Kemungkinan ketiga, bisa jadi orang lain yang mendistribusikan dll., dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan. Hukum penyertaan harus diterapkan. Tanpa menerapkan hukum penyertaan, orang yang mirip Ariel, Luna maupun Cut Tari tidak mungkin dipidana.

Kemungkinan ketigalah yang bisa diterapkan pada orang mirip Ariel, sementara yang kedua tidak akan menyangkut Ariel, karena ia sebagai korban. Sementara yang pertama, sangat sulit – apo iso polisi menyangkutkan Ariel, meskipun penyidik dapat mengungkap dan menemuka si pembuat yang mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya gambar bergerak bersuara persenggamaan tersebut, bila orang mirip Ariel, Luna, Cut Tari dan siapapun juga termasuk teman-2 Ariel tidak menerangkan tentang keterlibatan Ariel dalam hal orang lain yang mentransmisikan dll tersebut.

4. Pasal 29 jo 4 Ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Banyak perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 29 jo 4 Ayat (1). Namun yang dekat dengan kasus orang mirip Ariel, hanya perbuatan membuat. Apabila dapat dibuktikan bahwa orang yang mirip Ariel yang membuat video tersebut dengan maksud bukan untuk dirinya sendiri, maka ia dapat dipidana berdasarkan Pasal 29 jo 4 Ayat (1).

Namun apabila dapat dibuktikan bahwa maksud membuat video gambar bergerak bersuara persetubuhan itu untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan dirinya sendiri, maka perbuatannya itu tidak dapat dipidana.[12] Disebabkan oleh ketiadaan kesalahan dalam hal membuat video. Perbuatan membuat adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap sesuatu barang yang belum ada menjadi ada.

Mengenai untuk kepentingan diri sendiri sebagai penyebab tidak dapat dipidananya pembuat ini, sesungguhnya bukan karena orang yang mirip Ariel tidak melanggar Pasal 29 jo 4 Ayat (1) khususnya mengenai perbuatan membuat video porno, atau karena bukan tidak melakukan perbuatan membuat seperti bunyi pada Penjelasan Pasal 4. Melainkan dalam hal membuat video porno tersebut kehilangan/ketiadaan kesalahan pada diri si pembuat. Kesalahan sebagai syarat untuk dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat – tiada atau hapus. Jadi masuk pada alasan pemaaf (fait d’exuse). Merupakan alasan peniadaan pidana pada tindak pidana khusus, bukan alasan penghapus pidana umum seperti pada Bab III Buku II KUHP.

Meskipun bunyi penjelasan Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Bunyi penjelasan yang demikian itu bukanlah merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, dan bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Adapun alasannya ialah:
· Bukan merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, karena perbuatan membuat telah benar-benar terjadi, terbukti dengan lahirnya atau adanya video tersebut, dipastikan hasil dari perbuatan membuat.
· Oleh karena itu bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Pasal 29 jo 4 (1) merupakan tindak pidana semi formil. Untuk selesainya perbuatan membuat harus terbukti adanya gambar dalam video hasil dari perbuatan tersebut. Dengan terbukti adanya gambar bergerak porno tersebut, maka terwujudlah perbuatan yang dengan demikian terwujud pula tindak pidana.

Dalam hal ini memang, telah terjadi kesalahan dalam hal penempatan alasan peniadaan pidana. Perkecualian dari perbuatan yang dapat dipidana, atau perkecualian dari tindak pidana seharusnya dimuat di dalam pasal yang merumuskan tindak pidana yang bersangkutan dan bukan dimuat dalam penjelasanya. Namun demikian, tidaklah berarti meniadakan keberlakuan penjelasan Pasal 4 tersebut sebagai alasan peniadaan pidana khusus.

Jika orang mirip Ariel terbukti membuat, dan Ia menerangkan untuk kepentingan dirinya sendiri, maka menurut hukum pembuktian, Jaksa dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan sebaliknya. Bahwa pembuatan video tersebut terkandung maksud bukan sekedar untuk kepentingan si pembuat saja. Bagaimana cara Jaksa membuktikan? Caranya Jaksa harus membuktikan adanya tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa pembuatan video tersebut ditujukan bukan sekedar untuk dirinya sendiri. Misalnya tanda-tanda yang mengindikasikan akan diedarkan, akan dijual, akan dilihat teman-temannya, akan dijadikan persediaan, dan sebagainya.

Jika demikian, bagaimana dengan kenyataan bahwa video tersebut telah beredar secara luas? Mengenai persoalan ini harus dibedakan dengan perbuatan membuat. Hal beredarnya harus dicari diluar dari perbuatan membuat, yang in casu menyebarluaskan atau menyiarkan.

Seperti perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam Pasal 27 UU ITE yang telah dibicarakan, juga dalam hal menyebarluaskan bisa terjadi beberapa kemungkinan, ialah:
· Pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau Ia sendiri (secara pribadi) atau mereka berdua atau bertiga sama-sama mendistribusikan dll. (penyertaan) tanpa melibatkan orang lain.
· Kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak menyebarluaskan dll. dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain tanpa sepengetahuan mereka.
· Ketiga, bisa jadi orang lain yang menyebarluaskan dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan. Hukum penyertaan harus diterapkan. Tanpa menerapkan hukum penyertaan, orang yang mirip Ariel tidak mungkin dipidana.

Jadi apabila orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari tidak dapat dibuktikan “membuat video porno” bukan untuk dirinya sendiri, maka harus dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) disebabkan hapusnya/tiadanya kesalahan pada diri si pembuat.

Hanya mungkin dipidana dalam hal terbukti melakukan perbuatan yang lain, misalnya menyebarluaskan atau terlibat bersama orang lain dalam menyebarluaskan. Artinya haruslah dapat dibuktikan setelah video dibuat, salah satu atau dua atau ketiganya ikut terlibat (penyertaan) dalam hal orang lain mengedarkan video porno tersebut sebagaimana kemungkinan yang ketiga.

Persoalan lainnya, ialah bagaimana jika terbukti pembuatan membuat video porno tersebut dilakukan sebelum diundangkannya UU Pornografi tanggal 28 Nopember 2008. Berdasarkan azas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, perbuatan membuat tersebut tidak dapat dipidana. UU Pornografi tidak berlaku surut.

5. Pasal 32 jo 6 UU Pornografi

Banyak perbuatan dalam Pasal 32 jo 6. Namun yang mungkin dilakukan oleh orang yang mirip Ariel ialah perbuatan memiliki atau menyimpan.

Memiliki ada dua pengertian. Pertama, memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang atas benda yang dikuasainya secara langsung. Kedua memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang atas benda yang tidak dikuasainya secara langsung. Sementara menyimpan, benda bisa menjadi milik si penyimpan ataupun tidak. Namun benda tersebut harus berada dalam kekuasaan seseorang yang mengandung sifat merawatnya, melindunginya dan merahasiakannya bagi orang lain, serta mengandung maksud untuk tujuan-tujuan tertentu.

Sama halnya dengan perbuatan membuat benda pornografi yang jika dilakukan dengan maksud untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Demikian juga halnya dengan perbuatan memiliki dan menyimpan menurut Penjelasan Pasal 6 jika untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Dalam hal melakukan perbuatan menyimpan tersebut kehilangan/tiadanya kesalahan pada diri si pembuatnya. Tentu saja melakukan suatu perbuatan yang tanpa kesalahan pada diri si pembuatnya, tidak boleh dipidana.

Untuk mempidana terdakwa atas dakwaan Pasal 32 jo 6, Jaksa wajib membuktikan bahwa perbuatan menyimpan atau memiliki video tersebut bukan untuk diri sendiri. Dengan kata lain, Jaksa harus dapat membuktikan ada kesengajaan terdakwa dalam hal menyimpan untuk digunakan selain untuk diri sendiri, misalnya untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya.

Sama halnya dengan Pasal 29 jo 4 Ayat (1), meskipun unsur sengaja tidak dicantumkan dalam rumusan, namun dengan menyebutkan unsur-unsur perbuatan yang sedemikian rupa, yang oleh karenanya tidak memungkinkan untuk dapat dipidananya pembuat jika tidak diikuti oleh kehendak selain sekedar untuk menyimpan. Dengan demikian Jaksa dibebani kewajiban untuk membuktikan adanya kesengajaan dalam hal melakukan perbuatan menyimpan tersebut untuk keperluan lain, dan tidak semata-mata menyimpan untuk diri sendiri. Misalnya dalam menyimpan terkandung kehendak untuk disiapkan / disediakan untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan / disediakan bagi keperluan lain-lainnya. Cara Jaksa membuktikan, ialah harus menemukan keadaan-keadaan atau tanda-tanda yang dapat dijadikan indikator bahwa penyimpanan tersebut terkandung kehendak/kesengajaan untuk dipergunakan selain sekedar menyimpan. Misalnya ditemukan keadaan berupa si penyimpan pernah menawarkan untuk dibeli atau memperlihatkan kepada pihak lain. Keadaan seperti ini dapat digunakan Jaksa sebagai indikator bahwa penyimpanan itu bukan untuk diri pribadinya sendiri.
Kampus FH UB: 13-7-2010



DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya.
---------------, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya.
---------------, 2007. 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------------, 2008. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
---------------, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
--------------, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Engelbrecht, W.A.1960. De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesie, PT Soerongan, Jakarta.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
KUHP Terjemahan BPHN.

[1] Terjemahan BPHN.
[2] Terjemahan BPHN.
[3] Moelyatno, mengutip pendapat Prof. Scholten, dalam Azsas-azas Hukum Pidana (1983), Penerbit Bina Aksara, halaman 26.
[4] Ibid, halaman 27.
[5] Adami Chazawi, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana - Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, halaman 42.
[6] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[7] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Posisitf Penghinaan, Penerbit PMM – ITS Pres, Surabaya, halaman 283.
[8] Lihat Pasal 1 Angka 3 UU ITE.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[10] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, halaman 284.
[11] Ibid.
[12] Lihat Penjelasan Pasal 4.