Minggu, 20 Maret 2011

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 003/PUU-IV/2006
DALAM PRAKTIK TIDAK DIINDAHKAN??
(Adami Chazawi)


A. Pembuktian Unsur-unsur dalam Rumusan Tindak Pidana.
Kewajiban jaksa di sidang pengadilan ialah membuktikan tindak pidana yang didakwakan. Tindak pidana yang dirumuskan oleh UU selalu mengandung banyak unsur. Satu persatu unsur-unsur tersebut dibuktikan. Sebagaimana pada pembicaraan pada bab II telah diterangkan bahwa ada 2 bagian kegiatan pembuktian. Bagian pertama: menggali untuk mengungkap fakta-fakta mengenai terbuktinya setiap unsur tindak pidana. Bagian kedua: membahas unsur-unsur tindak pidana (analisis hukum) dalam surat tuntutan (requisitoir).
Tindak pidana merupakan bagian terbesar dari hukum pidana materiel. Tindak pidana merupakan dasar dan pusat dari hukum pidana positif. Dalam hubungannya dengan hukum pembuktian, pandangan terhadap tindak pidana harus dilihat dari sudut kenyataan bagaimana perumusannya dalam UU. Baik di dalam maupun di luar KUHP. Untuk keperluan praktik penegakan hukum pidana, pandangan dari sudut rumusannya dalam UU inilah yang sangat penting. Dari sudut pandang ini, maka tindak pidana didefinisikan, adalah larangan melakukan perbuatan yang menyerang terhadap kepentingan hukum (yang hendak dilindungi) tertentu beserta unsur-unsur lainnya yang ada sekitar atau melekat pada perbuatan atau objek tindak pidana maupun akibat perbuatan yang dirumuskan UU, yang kompleksitas larangan perbuatan semacam itu disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggarnya. Ciri umum larangan perbuatan yang menjadi suatu tindak pidana oleh UU adalah bersanksi pidana.
Jelaslah bahwa kompleksitas dari unsur-unsur yang dirumuskan UU dengan ancaman pidana itulah yang disebut dengan tindak pidana. Apabila kita simak secara teliti terhadap semua tindak pidana yang dirumuskan UU, pada Buku II dan III KUHP, demikian juga yang bersumber diluar kodifikasi, dapat ditemukan adanya 11 (sebelas) unsur tindak pidana[1]). Unsur-unsur tersebut adalah: tingkah laku, objek tindak pidana, kualitas subjek hukum tindak pidana, sifat melawan hukum, kesalahan, akibat konstitutif, keadaan yang menyertai, syarat-syarat tambahan: baik untuk menuntut pidana, dapatnya dipidana maupun memperberat dan memperingan pidana.
Unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam rumusan tindak pidana. Kadang di cantumkan juga cara melakukannya, seperti pada perbuatan memaksa bersetubuh yang dilakukan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 285 KUHP). Demikian juga kekerasan dan ancaman kekerasan adalah cara melakukan perbuatan memaksa dalam pemerasan (Pasal 368 KUHP).
Unsur mengenai objek tindak pidana. Unsur ini menyatu pada unsur objek perbuatan. Adakalnya terpisah, seperti pada penipuan Pasal 378 KUHP. Objek perbuatan menggerakkan adalah ditujukan pada “orang”. Sedangkan objek tindak pidana penipuan adalah “barang” (menyerahkan barang), “hutang” (membuat hutang) dan “piutang” (menghapuskan piutang). Unsur objek tindak pidana menyangkut langsung mengenai kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh dibentuknya tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap dibentuknya tindak pidana oleh pembentuk UU selalu ada kepentingan hukum yang hendak dilindungi, baik tersirat saja atau tersurat di dalam rumusannya. Seperti tindak pidana korupsi Pasal 2 dan 3 UUTPK tersurat adanya kepentingan hukum yang hendak dilindungi, ialah berupa kepentingan hukum tentang keselamatan keuangan dan perekonomian negara.
Unsur mengenai kualitas tertentu subjek hukum tindak pidana. Pada umumnya tindak pidana tidak disebut kualitas tertentu subjek hukumnya, melainkan disebut saja secara umum yang terkandung dalam frasa “barangsiapa” atau “setiap orang”. Namun adakalnya kualitas subjek hukum ini disebutkan secara tegas, dan karena itu menjadi unsur tindak pidana dan harus dibuktikan. Seperti unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara pada Pasal 5 UUTPK atau kualitas pemborong, ahli bangunan atau orang yang bertugas mengawasi pembangunan menurut Pasal 7 UUTPK.
Unsur sifat melawan hukumnya perbuatan, berupa unsur sifat tercelanya perbuatan dari suatu tindak pidana. Dari sudut pengertian tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh UU yang disertai ancaman pidana pada barang siapa yang melanggar larangan tersebut, maka sifat tercelanya sudah terkandung pada setiap perbuatan semacam itu. Walaupun tidak selalu unsur melawan hukum tersebut secara tegas dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Persoalan timbul antara lain dalam hal menjawab pertanyaan “apakah sifat tercelanya perbuatan itu semata-mata dari sudut UU saja ataukah juga harus tercela menurut rasa keadilan masyarakat?” Lalu bagaimana cara dan apa yang harus dibuktikan?
Unsur kesalahan. Sesuai doktrin hukum pidana bahwa kesalahan terdiri dari dua bagian besar, ialah kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpoos atau culpa). Di dalam rumusan tindak pidana kadang dicantumkan secara tegas unsur kesalahan diri si pembuat, misalnya dengan sengaja pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), dengan maksud memiliki (Pasal 362 KUHP), karena kesalahannya (kealpaannya) dalam Pasal 359 atau 360 KUHP. Tidak semua rumusan tindak pidana mencantumkan secara tegas unsur kesalahan. Berdasarkan sifatnya perbuatan dalam tindak pidana, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa sepanjang unsur kelalaian (culpoos) tidak dicantumkan secara tegas adanya dalam rumusan tindak pidana, maka tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja. Namun tidaklah perlu membuktikan unsur sengaja secara khusus, apabila tidak dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana. Cukup membuktikan adanya wujut perbuatan saja, dengan terbuktinya wujut perbuatan maka dianggap terbukti pula kesengajaan di dalam mewujutkan perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana tersebut.
Unsur akibat konstitutif (constitutief gevolg). Unsur ini terdapat pada tindak pidana yang mensyaratkan penyelesaiannya pada timbulnya akibat tertentu (tindak pidana materiel), dan tindak pidana yang mensyaratkan timbulnya akibat untuk memperberat pidana. Unsur akibat konstitutif ada yang dicantumkan secara tegas seperti orang menyerahkan barang, membuaat utang atau menghapuskan piutang dari penipuan Pasal 378 KUHP. Sebaliknya ada yang tersirat saja dan melekat pada unsur perbuatan, namun akibat tetap menjadi syarat untuk penyelesaian tindak pidana yang harus dibuktikan, seperti pada perbuatan menghilangkan nyawa (Pasal 338 KUHP) atau perbuatan menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai barang, akta, dst. (Pasal 10 UUTPK).
Unsur keadaan yang menyertai. Keberadaan unsur ini terdapat dan melakat pada beberapa unsur tertentu. Misalnya unsur tipu muslihat dan rangkaian kebohongan adalah cara dalam melakukan perbuatan menggerakkan pada penipuan (oplichting) Pasal 378 KUHP. Unsur sebagian atau seluruh milik orang lain melekat pada barang objek pencurian Pasal 362 KUHP. Bisa juga melekat pada subjek tindak pidana dan menjadi unsur kualitas tertentu, seperti seorang ibu pada Pasal 342 KUHP, atau dengan rencana lebih dulu pada Pasal 340 KUHP. Terkadang unsur ini menunjuk pada waktu dan tempat tertentu, misalnya waktu kebakaran, banjir atau gempa bumi dsb dalam pasal 363 KUHP, atau di muka umum atau berada di jalan umum pada pasal 160 dan 536 KUHP.
Unsur syarat-syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana. Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan, dan bukan menjadi syarat untuk terbuktinya tindak pidana. Namun keberadaannya harus dibuktikan, agar pembuat yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana aduan dapat dipidana.
Unsur syarat-syarat tambahan untuk dapatnya dipidana. Merupakan unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan yang menentukan dapat dipidananya si pembuat. Misalnya unsur “jika pecah perang” dalam Pasal 123 KUHP, atau unsur “jika kejahatan itu terjadi dilakukan” dalam pasal 164 KUHP. Unsur ini berbeda dengan unsur akibat konstitutif, karena dalam unsur keadaan yang menyertai tidak ada hubungan kausal antara perbuatan dengan keadaan yang timbul setelah dilakukan perbuatan.[2] )
Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana. Bukan merupakan unsur yang membentuk tindak pidana, melainkan jika timbul dapat memperberat penjatuhan pidana. Ada banyak unsur memperberat tindak pidana. Pada timbulnya akibat setelah perbuatan dilakukan, seperti kematian pada Pasal 351 ayat (3) KUHP. Pada objek tindak pidana, seperti pada ibunya, anaknya, istrinya pada Pasal 356 angka 1 KUHP. Pada cara melakukan perbuatan, seperti memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan dalam pasal 356 angka 3 KUHP. Bisa juga pada subjek hukum tindak pidana, misalnya unsur dokter, juru obat pada Pasal 349 jo 346, 347, 348 KUHP.
Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. Unsur ini juga bukan merupakan unsur pokok yang membentuk tindak pidana. Tetapi adanya unsur ini, maka menjadi alasan peringanan penjatuhan pidana in concreto. Misalnya nilai kurang Rp 250 merupakan pencurian ringan menurut Pasal 364 KUHP, atau penggelapan ringan menurut Pasal 373 KUHP.
Diantara unsur-unsur tersebut, yang selalu disebut dalam rumusan tindak pidana adalah unsur perbuatan dan unsur mengenai objek tindak pidana. Unsur lain selebihnya, seperti kesalahan dan sifat melawan hukum tidaklah selalu dicantumkan di dalam rumusan tindak pidana.
Dari segi penegakan hukum pidana, pandangan yang penting tentang tindak pidana adalah tindak pidana sebagai kompleksitas unsur-unsur yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Pekerjaan pembuktian ditujukan untuk menentukan terbukti ataukah tidak setiap unsur. Alat bukti-alat bukti digunakan untuk mengungkap dan menilai tentang setiap unsur. Walaupun dasar hukum pembuktian yang sama, mempergunakan alat-alat bukti yang sama, namun hasil penilaian bagi pihak-pihak yang terlibat (jaksa, penasehat hukum dan hakim) dalam proses pembuktian tidak selalu sama. Penyebab perbedaan, bisa jadi karena fakta yang dinilai tidak sama, atau ukuran untuk menilai alat bukti dan atau cara menganalisis dalam pembuktian yang tidak sama. Kedudukan atau fungsi dalam proses pembuktian yang berbeda dapat memengaruhi sikap dan penganalisisan dalam pembuktian. Perbedaan stressing penilaian terutama antara jaksa dan PH seringkali menyebabkan perbedaan hasil pembuktian. Perbedaan hasil pembuktian antara jaksa dan PH akan diselesaikan melalui pembuktian yang dilakukan oleh majelis hakim.
Dari keadaan dan sifat unsur tindak pidana, maka dapat dibedakan antara unsur yang bersifat objektif dan subyektif. Sifat objektif dan subyektif setiap unsur dapat berpengaruh dan menentukan tentang fakta atau hal apa yang akan dibuktikan, dan bagaimana cara membuktikan, serta pada saat mana stressing pembuktian dilakukan. Pada dasarnya unsur-unsur yang bersifat objektif, lebih mudah membuktikan dan menganilisis pembuktiannya.
Ambil contoh sederhana, ialah pencurian Pasal 362 KUHP. Jaksa mudah membuktikan perbuatan mengambil, objek benda tertentu yang diambil dan benda tersebut bukan milik si pembuat yang mengambil. Alat-alat bukti keterangan saksi dan keterangan terdakwa, pada umumnya cukup digunakan dalam pekerjaan analisis hukum untuk membuktikan ketiga unsur objektif tersebut.
Sebaliknya ketika jaksa hendak membuktikan adanya maksud si pembuat untuk memiliki benda (milik orang lain) dengan melawan hukum, mendapati persoalan. Setidaknya persoalan itu ialah, harus menetapkan lebih dulu tentang apa yang dimaksud dengan “maksud memiliki (barang milik orang lain) dengan melawan hukum”. Persoalan bisa berkembang, ialah apakah melawan hukum dimaksud adalah melawan hukum objektif ataukah subyektif? Bagi penganut sifat melawan hukum objektif, sifat melawan hukum pencurian adalah karena pencuri yang bermaksud memiliki dengan mengambil barang orang lain, adalah tanpa kehendak atau ijin dari si pemilik. Jadi yang harus dibuktikan jaksa ialah tidak ada ijin atau kehendak dari pemiliknya. Jika kenyataannya tidak ada ijin atau kehendak dari si pemilik barang, maka maksud untuk memiliki barang orang lain yang diambilnya itu tentulah bersifat melawan hukum. Cara pembuktian seperti ini tidak memerlukan pencarian fakta. Karena fakta selalu berhubungan dengan keberadaan sesuatu, bukan ketiadaan sesuatu. Pembuktiannya ialah dengan memberikan analisis dan argumentasi mengenai pengertian unsur yang dibuktikan secara logis dan emperis dalam requisitoir.
Sebaliknya jika melihat bahwa sebelum kata melawan hukum didahului oleh kata maksud, yang artinya maksud memiliki barang milik orang lain tersebut haruslah disadarinya sebagai bertentangan dengan hukum, maka merupakan unsur melawan hukum subyektif (subjektief onrechtselement).[3]) Maka yang perlu dibuktikan ialah, adanya kesadaran pada diri si pembuat bahwa memiliki barang milik orang lain tanpa kehendak pemilik, adalah bertentngan dengan hukum. Pendapat ini beralasan dengan dasar sistem WvS Belanda yang oleh Moeljatno dikatakan bahwa “dalam hal elemen sengaja disebut (atau istilah lain yang sama nilai) . . . tempatnya sesudah kata sengaja atau sesamanya dikuasai olehnya”.[4]) Karena itu yang harus dibuktikan jaksa ialah tentang adanya kesadaran pada diri si pembuat bahwa memiliki dengan mengambil barang milik orang lain bertentangan dengan hukum.
Persoalan bisa jadi tidak berhenti disini. Bisa ke masalah lain ialah apakah kesadaran bertentangan dengan hukum tersebut harus hukum yang tertulis (melawan hukum formiel) ataukah cukup kesadaran hukum masyarakat (melawan hukum materiel), ataukah harus kedua-duanya? Mengingat tidak semua orang memiliki kesadaran tentang tercelanya perbuatan dari sudut hukum UU, maka harus dicarikan alasan lain yakni kesadaran orang itu terhadap sifat tercelanya perbuatan yang dilakukannya menurut kesadaran hukum masyarakatnya sendiri. Jadi merupakan kesadaran terhadap melawan hukum materiel. Inilah yang lebih mudah dan lebih logis. Jaksa tentu akan mencari yang lebih mudah.
Dari contoh yang sederhana tadi, ternyata pembuktian suatu unsur tindak pidana, dapat berkembang kearah yang lebih rumit. Dalam praktik hukum tentang kasus-kasus pencurian, belum diketahui ada perdebatan sebagaimana yang dikemukakan tersebut diatas. Namun dari contoh tersebut, dapatlah diketahui bahwa:
~ Pertama, cara membuktikan unsur yang bersifat objektif dan subyektif tidaklah sama.
~ Kedua, sebelum membuktikan terkadang diperlukan menarik pengertian terlebih dulu terhadap unsur apa yang akan dibuktikan. Bisa jadi pekerjaan ini tidak mudah. Pendapat ahli baik yang diadopsi dari literatur hukum maupun melalui alat bukti keterangan ahli dapat digunakan untuk memperkuat pekerjaan pembuktian jaksa. Begitu juga pendapat Mahkamah Agung yang bagus dan logic dalam pertimbangan-pertimbangan hukum putusannya.
~ Ketiga, penekanan pembuktian antara unsur yang bersifat objektif dan subyektif tidak selalu sama. Pada umumnya titik berat pembuktian unsur subyektif adalah pada analisis dalam requisitoir.
B. Pembuktian Sifat Melawan Hukum Perbuatan dalam Tindak Pidana.
Beragam pandangan tentang sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Membawa pengaruh terhadap pembuktian dalam sidang pengadilan. Banyak hal yang menyebabkan timbulnya beragam pandangan mengenai sifat melawan hukum. Diantaranya, ialah tidak ada keterangan yang jelas dan konkrit dalam UU. Kenyataan dalam rumusan tindak pidana, dimana sebagian kecil unsur melawan hukum dicantumkan dan sebagian besar tidak. Alasan yang dikemukakan tentang hal ini, seperti yang dikatakan oleh J.E. Jonkers, bahwa “menurut Risalah Penjelasan (Smidt I, halaman 409) perkataan ini (penulis: unsur melawan hukum) selalu disebut dalam susunan perkataan (penulis: rumusan tindak pidana), apabila dikuatirkan barang siapa yang bertindak dengan sah juga dikenakan UU pidana.[5]).
Dari keterangan Risalah Penjelasan (MvT) dapatlah disimpulkan, bahwa sifat melawan hukum selalu ada pada setiap tindak pidana, merupakan unsur mutlak.[6]) Tidaklah mungkin dalam setiap kompleksitas perbuatan yang dilarang oleh UU yang diancam dengan pidana, tidak mengandung sifat celaan. Sifat terlarang tidak perlu dicantumkan berulang-ulang pada setiap rumusan tindak pidana. Hanya apabila ada kekhawatiran bahwa akan ada orang yang dapat melakukan perbuatan yang sama seperti yang dirumuskan dalam tindak pidana, namun sesungguhnya dia berhak untuk itu. Jika unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan pada keadaan yang demikian, maka orang itu akan dipidana pula. Tentu hal seperti ini tidak dikehendaki oleh pembentuk UU.
1. Pembuktian Sifat Melawan Hukum Materiel Negatif.
Kajian unsur melawan hukum dari sudut rumusan tindak pidana dalam UU, dapat dilihat dari 2 (dua) keadaan.
~ Pertama, dari keadaan bahwa unsur melawan hukum pada sedikit (kurang dari 10 %) rumusan tindak pidana dicantumkan secara tegas dan sebagian besar (lebih dari 90 %) tidak[7]), memunculkan pandangan sifat melawan hukum yang formiel dan yang materiel.
~ Kedua, dari keadaan unsur melawan hukum yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, dimana pada sebagian sifat melawan hukum dituju oleh unsur maksud (opzet als oogmerk) dan sebagian tidak, memunculkan pandangan sifat melawan hukum yang subyektif dan yang objektif.
Jadi setidak-tidaknya ada 4 pandangan besar mengenai sifat melawan hukum dalam tindak pidana. Pandangan sifat melawan hukum materiel, sifat melawan hukum formiel, sifat melawan hukum objektif dan sifat melawan hukum yang subyektif.
Mengenai keadaan yang disebut pertama, telah diberikan keterangan oleh pembentuk UU dalam Risalah Penjelasan. Adanya kekhawatiran bahwa si pembuat yang melakukan perbuatan yang sama dengan rumusan tindak pidana, namun ia berwenang untuk itu, maka unsur melawan hukum perlu dicantumkan. Jadi setiap tindak pidana mengandung sifat melawan hukum. Namun tidak perlu dibuktikan apabila tidak dicantumkan secara tegas sebagai unsur formiel tindak pidana. Karena mengenai apa yang dibuktikan, berpegang pada prinsip “hanya unsur yang disebut dalam rumusan” tindak pidana saja yang perlu dibuktikan.
Dilihat dari asalnya sifat celaan, maka ada dua sumber. Dicela oleh Undang-undang, yang disebut dengan melawan hukum formil (formelle wederrechtelijk), dan ada yang tercela menurut kesadaran hukum masyarakat yang disebut dengan melawan hukum materiil (materiƫle wederrechtelijk). Jika dihubungkan dengan pencantuman atau tidak unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, dari sudut materiel menjadi tidak penting. Karena semua tindak pidana tentulah di dalamnya telah mengandung sifat terlarang. Dari sudut Undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan diberi label terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Karena dimuatnya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan itulah yang menyebabkan suatu perbuatan menjadi terlarang.
Dengan berpegang pada pandangan bahwa setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dalam Undang-undang adalah bersifat melawan hukum, maka dengan demikian dalam tindak pidana selalu ada sifat melawan hukum. Artinya sifat melawan hukum adalah unsur mutlak tindak pidana. Jika unsur ini tidak ada, maka terdakwa tidak boleh dipidana. Pandangan materiel negatif ini telah dianut dalam praktik hukum sejak arrest HR tanggal 20 Pebruari 1933 yang dikenal dengan Vee-arts arrest.[8]) Hanya saja diterapkan secara negatif, dengan tujuan untuk tidak mempidana pembuat berbuat sesuatu yang nyata-nyata menurut kesadaran hukum masyarakat tidak merupakan celaan.
Juga di Indonesia, seperti yang tercerimin dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung No. 30 K/Kr./1969 tanggal 6 Juni 1970, yang menyatakan bahwa: “dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum dari perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan. Tanpa adanya unsur sifat melawan hukum tidak mungkin perbuatan-perbuatan yang dituduhkan merupakan suatu tindak pidana.”.[9]) Pertimbangan hukum ini bukan pertimbangan mengenai pembuktian adanya unsur sifat melawan hukum sebagai unsur yang dicantumkan (formiel) dari suatu tindak pidana in casu penadahan. Tetapi secara materiel negatif, untuk meniadakan pidana bagi terdakwa yang perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana, tetapi perbuatan itu tidak tercela menurut masyarakat. Banyak pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung semacam ini. Beberapa diantaranya, ialah putusan tanggal 8 Januari 1966 No. 42K/Kr/1965; tanggal 27 Mei 1972 No. 72K/Kr/1970; tanggal 23 Juli 1973 No. 43K/Kr/1973, tanggal 17 Oktober 1973 No. 97K/Kr/1973.[10])
Pekerjaan membuktikan sifat melawan hukum materiel dalam fungsinya yang negatif, bukan kewajiban jaksa. Dalam hukum pembuktian tidak ada ketentuan mengenai pembebanan pembuktian adanya sifat melawan hukum materiel yang negatif semacam itu. Berdasarkan sifat dan fungsi penasehat hukum (PH) dan hakim, maka beban itu berada pada PH dan hakim. Sebaliknya jaksa tetap dibebani kewajiban membuktikan terhadap semua unsur-unsur yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Termasuk jika ada unsur sifat melawan hukum. Seperti pada perkara Machrus Effendi yang didakwa jaksa melakukan penggelapan secara perbuatan berlanjut (Pasal 372 jo 64 ayat (1) KUHP). Dalam Pasal 372 KUHP terdapat unsur melawan hukum, konkritnya “memiliki barang milik orang lain dengan melawan hukum”. Jaksa wajib membuktikan adanya sifat melawan hukum dalam melakukan perbuatan memiliki barang milik orang lain. Walaupun jaksa berhasil membuktikan secara formiel adanya sifat tercela, namun jika PH berhasil membuktikan yang diikuti oleh hakim bahwa perbuatan memiliki barang tadi tidak bersifat melawan hukum secara materiiel, maka terdakwa tidak dijatuhi pidana. Keadilan lebih diutamakan dari pada kepastian hukum. Kepastian hukum ditegakkan adalah untuk mencapai keadilan. Jika keadilan sudah dicapai tanpa menegakkan kepastian hukum, maka kepastian hukum tidak diperlukan. Inilah filosifi dari penerapan pandangan sifat melawan hukum materiel secara negatif.
Tujuan utama pembuktian sifat melawan hukum materiel negatif ialah untuk mencapai keadilan dari suatu putusan hakim. Pekerjaan membuktikan adanya sifat melawan hukum materiel negatif, difokuskan pada pekerjaan analisis PH dalam pembelaan, atau oleh hakim dalam pertimbangan putusan. Temuan-temuan hukum mengenai adanya sifat melawan hukum materiel negatif seharusnya bermula dari penasehat hukum atau terdakwa. Terutama pada tingkat kasasi. Karena pada tingkat kasasi hakim hanya memeriksa keberatan-keberatan hukum oleh terdakwa atau penasehat hukum. Namun demikian hakim kasasi berwenang mempertimbangkan hal lain diluar keberatan hukum terdakwa.
Pembuktian sifat melawan hukum materiel negatif adalah pada pekerjaan penganalisisan hukum. Dengan menggunakan akal budi dan kecerdasan serta hati nurani penasehat hukum, terutama hakim dalam menilai dan mempertimbangkan setiap fakta dengan mengukurnya dari nilai-nilai dan keadilan masyarakatnya sendiri. Kiranya dengan itu semua dapat ditemukan adanya sifat melawan hukum materiel negatif dalam kasus yang ditangani.
2. Pembuktian Sifat Melawan Hukum Formiel dalam Tindak Pidana.
Frasa sifat melawan hukum formiel disini, diartikan ialah unsur melawan hukum yang dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana. Dalam praktik penegakan hukum pidana, dimana bagian terbesar pada pekerjaan pembuktian, maka pengertian inilah yang amat penting. Pembuktian unsur sifat melawan hukum formiel dalam praktik penegakan hukum pidana, ditentukan dari 2 hal.
~ Pertama, bagaimana kedudukan unsur melawan hukum tersebut diletakkan dalam kalimat rumusan tindak pidana. Bagaimana hubungan antara unsur melawan hukum dengan unsur-unsur lainnya dalam kompleksitas unsur-unsur tindak pidana.
~ Kedua, bergantung pada darimana atau sumber keberadaan sifat terlarangnya perbuatan pada masing-masing kasus. Oleh karena itu pembuktian sifat melawan hukum formiel tidak selalu sama pada setiap tindak pidana.
Mengenai hal yang pertama, ada 2 (dua) kedudukan unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana. Pertama unsur melawan hukum yang bersifat objektif dan yang bersifat subyektif. Tidak sama hal pembuktian unsur melawan hukum yang objektif dan yang bersifat subyektif. Baik cara membuktikan maupun objek apa yang harus dibuktikan. Terkadang dipengaruhi pula oleh pandangan pihak-pihak. Sudut pandang pihak-pihak apakah dari sudut melawan hukum subyektif ataukah objektif dalam usaha membuktikan.
Tidak banyak kesulitan untuk mencari dan menentukan frasa melawan hukum dalam rumusan suatu tindak pidana, apakah melawan hukum objektif ataukah subyektif. Seperti frasa wederrechtelijk yang pada umumnya diterjemahkan oleh ahli hukum dengan “melawan hukum”. Cara inilah yang paling banyak digunakan, misalnya: 328, 362, 372, 369, 406, 408, 479a. Dengan istilah “zonder daartoe gerichtigd te zijn”, yang diterjemahkan dengan “tanpa hak” atau “tidak berhak” atau “tanpa wenang” atau “tanpa mendapat ijin”, seperti pada Pasal: 303, 548, 549c. Dengan istilah “zonder verlof”, yang diterjemahkan dengan “tanpa ijin”, misalnya pada Pasal: 495, 510. Dengan istilah melampaui kekuasaannya (met overschrijding van zijn bevoegdheid), misalnya pada Pasal 430. Dengan merumuskan “tanpa memperhatikan cara yang ditentukan dalam peraturan umum” (zonder inachtneming van de bij algemeene verordening bepaalde vormen) pada Pasal 429.
Mungkin bisa menjadi sulit ketika hendak menerapkan unsur itu pada kasus. Sebagimana pada contoh unsur melawan hukum pada pencurian, yang diatas telah dibicarakan.
Untuk mengetahui unsur melawan hukum subyektif, ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa perlunya sikap batin si pembuat yang ditujukan pada sifat melawan hukum perbuatan yang hendak dilakukan untuk mewujudkan kompleksitas unsur-unsur tindak pidana. Jika ada, maka melawan hukum pada rumusan tindak pidana tersebut adalah bersifat subyektif. Contoh pada pencurian (pasal 362 KUHP) “dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum”. Juga pada Pasal-pasal: 368, 369, 378, 382, 385, 389, 390 KUHP dirumuskan “maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”.
Jika dilihat dari letak kedudukan unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana pada pasal-pasal tersebut diatas, maka pembentuk UU menghendaki agar si pembuat dalam hal maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melakukan perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana tersebut, memiliki kesadaran bahwa maksud yang demikian itu adalah melawan hukum. Maksud yang demikian inilah yang harus dibuktikan jaksa. Mengenai cara membuktikan adanya maksud memiliki dengan melawan hukum, bisa saja ada perbedaan. Karena juga dipengaruhi oleh pandangan para pihak yang membuktikan, apakah berpandangan murni subyektif dengan mengemukakan tidak adanya alasan tentang ketidak normalan jiwa si pembuat. Atau mungkin mengemukakan alasan ke arah objektif, misalnya dalam pemerasan (Pasal 368) atau pengancaman (Pasal 369) maksud yang tercela tersebut dibuktikan melalui fakta adanya keterpaksaan dalam hal penyerahan barang oleh si pemilik pada si pembuat, bukan karena kesukarelaan. Cara pembuktian yang terakhir tidak murni objektif, tapi subyektif – objektif, membuktikan sikap batin dari adanya fakta objektif.
Mengeni hal yang kedua, hal sumber atau keberadaan sifat melawan hukum / terlarangnya perbuatan pada masing-masing kasus. Pembicaraan mengenai hal sumber sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, dapat menunjuk pada dua sumber: formiel dan materiel. Seperti unsur melawan hukum pada Pasal 2 UUTPK, Jaksa selalu mencari sumber tertulis, peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh terdakwa dalam melakukan aktifitas perbuatan memperkaya. Baik dalam UUTPK sendiri maupun peraturan diluar UUTPK. Lebih-lebih lagi setelah penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK mengenai sifat melawan hukum khususnya arti melawan hukum materiel positif dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 003/PUU-III/2006 tanggal 25 Juli 2006 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga hampir pasti jaksa selalu akan mencari sifat melawan hukum perbuatan memperkaya pada peraturan perundang-undangan. Jika pada saat penyidikan, tidak ditemukan landasan dilanggarnya suatu ketentuan tertulis, cenderung untuk tidak meneruskan perkara pada tingkat penuntutan. Banyak kalangan menganggap suatu hambatan pembuktian yang sangat serius.
C. Pembuktian Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi.
Sedikit sekali tindak pidana korupsi yang mencantumkan unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, ialah Pasal: 2, 12e, 23 jo 429 KUHP dan 23 jo 430 KUHP. Jadi hanya ada 4 pasal tindak pidana korupsi yang tegas mencantumkan unsur melawan hukum.
Perbuatan yang dilarang pada Pasal 3 dirumuskan dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana”. Pada perbuatan menyalahgunakan kewenangan secara terselubung di dalamnya terdapat sifat melawan hukum. Setiap menyalahgunakan kewenangan dengan demikian sekaligus mengandung sifat melawan hukum. Menyalahgunakan kewenangan artinya si pembuat tidak punya hak untuk berbuat yang menyalahi kewenangannya. Maka sesungguhnya frasa menyalahgunakan kewenangan adalah juga melawan hukum. Membuktikan adanya wujut tertentu perbuatan menyalahgunakan kewenangan, pada dasarnya adalah membuktikan bahwa si pembuat tidak memiliki hak (melawan hukum) untuk menyalahgunakan kewenangannya.
Demikian juga Pasal 23 jo 421 KUHP. Dalam rumusan tindak pidana menururt Pasal ini mengandung sifat melawan hukum secara tersirat dalam unsur perbuatan menyalahgunakan kekuasaan. Dalam setiap perbuatan menyalahgunakan kekuasaan selalu mengandung sifat melawan hukum. Membuktikan telah terjadinya perbuatan menyalahgunakan kekuasaan sama artinya membuktikan adanya sifat melawan hukum dalam mewujudkan bentuk konkrit dari perbuatan tersebut. Si pembuat tidaklah mempunyai hak (melawan hukum) untuk menyalahgunakan kekuasaannya.
Pasal 23 jo 429 KUHP, menggunakan frasa “melampaui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam aturan umum”. Pasal 23 jo 430 KUHP menggunakan frasa “melampaui kekuasaannya”. Hanya Pasal 2 dan Pasal 12e yang secara tegas menggunakan frasa “melawan hukum”. Semua istilah tersebut menggambarkan sifat tercela atau melawan hukum perbuatan. Dengan menggunakan frasa yang berbeda, yang semuanya menggambarkan sifat tercelanya perbuatan, tetap mempunyai sisi yang berbeda dalam hal pembuktian. Uraian pembuktian dalam surat tuntutan mengenai unsur melawan hukum yang tercantum dalam rumusan tadi tidak harus dicari landasannya pada hukum tertulis saja. Tetapi dengan akal budi dan ketajaman logika analisis seorang jaksa, dapat mencari diluar ketentuan tertulis. Dapat dikatakan lebih mendekati pengertian sifat melawan hukum dalam perbuatan melawan hukum perdata (Pasal 1365 BW). Pengertian perbuatan melawan hukum perdata, telah terbukti dipergunakan pula dalam praktik hukum pidana.
Persoalan pembuktian unsur sifat melawan hukum yang lebih rumit ialah mengenai melawan hukum menurut Pasal 2 UUTPK. Berhubung karena rumusan tindak pidana pasal ini terlalu umum dan abstrak. Sehingga cakupannya, terutama perbuatan memperkaya sangatlah luas. Batasan cakupan itu terletak hanya karena dicantumkannya unsur melawan hukum di dalam rumusan. Juga kata “dapat” dalam frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara, membuat kesulitan tersendiri dalam pembuktian. Dimana jaksa harus menganalisis tentang adanya kemungkinan atau potensial perbuatan memperkaya si pembuat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Karena kesulitan itu, menjadi penyebab dalam praktik hukum, jaksa selalu mencari kerugian nyata. Demikian juga hakim, seperti tercermin dalam putusan pembebasan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (20-2-2006) dalam perkara Neloe dari Bank Mandiri. Karena kerugian riel bagi negara belum ada, terdakwa di bebaskan.[11])
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-III/2006 tanggal 25 Juli 2006. Banyak jaksa merasa kehilangan pegangan dalam hendak membuktikan unsur sifat melawan hukum perbuatan memperkaya. Padahal Pasal 2 merupakan norma tindak pidana yang luas cakupannya. Hampir pasti pada setiap perkara korupsi jaksa memasukkan pasal ini dalam surat dakwaan.
Prinsip umum pembuktian, ialah hanya membuktikan unsur-unsur yang tersurat saja dalam rumusan tindak pidana. Berpegang pada prinsip ini, maka jaksa wajib membuktikan unsur melawan hukum dari perbuatan memperkaya yang dimaksud Pasal 2. Pada Pasal 3, jaksa wajib membuktikan adanya wujut perbuatan menyalahgunakan kewenangan. Jika dapat membuktikan, maka dengan demikian dianggap terbukti pula sifat melawan hukumnya perbuatan menyalahgunakan kewenangan tersebut. Keberadaan unsur melawan hukum terselubung dalam unsur tingkah laku dalam tindak pidana korupsi Pasal 3.
Sebagaimana pandangan yang selama ini dianut, bahwa walaupun di dalam rumusan tindak pidana tidak dicantumkan – namun unsur melawan hukum selalu ada. Keberadaan unsur itu terselubung atau tersirat, baik tersirat pada unsur perbuatan, unsur objek perbuatan atau unsur-unsur lain dalam rumusan. Sebagaimana dikatakan oleh Komariah Emong Sapardjaja, bahwa “Penetapan bahwa dalam isi rumusan tindak pidana mengharuskan adanya sifat melawan hukum atau dapat dicelanya perbuatan itu, tidak selalu dipenuhi dan karenanya juga tidak selalu dicantumkan, tetapi sebagai tanda tetap ada. Keberadaannya terlihat dari kelakuan-kelakuan tertentu, keadan-keadaan tertentu, atau akibat-akibat tertentu yang dilarang atau yang diharuskan.[12]). Sudah barang tentu apa yang dimasud dengan tanda tersebut, tidaklah perlu dibuktikan secara khusus dalam requisitoir.
Membuktikan unsur sifat melawan hukum pada Pasal 2 UUTPK, dimulai dengan mengungkap fakta-fakta oleh jaksa mengenai berbagai ketentuan tertulis yang telah dilanggar terdakwa, kemudian dibahas / dianalisis dalam requisitoir. Pekerjaan menganalisis pembuktian dimulai dengan memberi isi dan arti apa yang di maksud dengan unsur melawan hukum. Pada umumnya jaksa selalu memberi arti sebagai melawan hukum UU. Hampir pasti jaksa mencari sumber tertulis yang menyatakan atau membuktikan bahwa wujut perbuatan memperkaya terdakwa sebagai melawan hukum tertulis. Sumber tertulis tersebut dicari di dalam atau di luar UUTPK.
Terlalu fokus dalam mencari sumber tertulis, jika tidak berhati-hati dapat terjebak pada persoalan kesalahan administrasi atau kesalahan prosedur semata. Walaupun tidak berarti kesalahan prosedur atau kesalahan adminsirtrasi adalah bukan korupsi. Hakim dapat menjatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum, jika pertimbangannya semata-mata merupakan kesalahan administrasi. Kesalahan administrasi sesungguhnya adalah tempat - letak sifat melawan hukumnya perbuatan dari sudut formiel. Namun jika dari kesalahan administrasi tersebut dapat dianalisis sebagai potensial menimbulkan kerugian negara, melawan hukum memperkaya sudah terbukti, dan korupsi sudah dapat dinyatakan terbukti pula. Karena pasal 2 UUTPK tidak mensyaratkan secara mutlak harus nyata telah timbul bentuk kerugian.
Dalam hendak menganalisis hukum tentang perbuatan salah administrasi dalam hubungannya dengan korupsi, kiranya dapat dipedomani berikut ini:
~ Pertama, kesalahan administrasi murni. Maksudnya si pembuat khilaf (culpoos) – tidak menyadari apa yang diperbuatnya bertentangan dengan ketentuan yang ada mengenai prosedur atau tatalaksana suatu pekerjaan tertentu. Perbuatan khilaf ini tidak membawa dampak kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah perbuatan adminsitratif semacam ini bukan korupsi. Pengembalian atau pembetulan kesalahan dapat dilakukan secara administratif pula. Misalnya dengan mencabut, membatalkan atau melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya.
~ Kedua, si pembuat khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu, yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara, misalnya nilai uang tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum menurut hukum perdata (Pasal 1365 BW), bukan korupsi. Pada si pembuat diwajibkan untuk mengganti kerugian. Korupsi Pasal 2 bukan bentuk tindak pidana culpoos, melainkan tindak pidana dolus. Setiap rumusan tindak pidana yang tidak secara tegas mencantumkan unsur culpoos adalah tindak pidana dolus. Kesengajaan itu tersirat di dalam unsur perbuatannya. Seperti pasal 2, kesengajaan si pembuat tersirat di dalam perbuatan memperkaya. Tidaklah mungkin melakukan wujut memperkaya, misalnya mendipositokan uang negara atas nama pribadi tidak disadari dan tidak dikehendaki. Namun kesengajaan ini tidak perlu dibuktikan dengan cara menganalisisnya, karena tidak dicantumkan dalam rumusan.
~ Ketiga, si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan adminsitratif tertentu, namun tidak (dapat) membawa dampak kerugian kepentingan hukum negara. Kesalahan semacam ini masih di teloransi sebagai kesalahan adminsitratif. Sanksi administratitif dapat dijatuhkan pada si pembuat. Tetapi bukan sanksi pidana. Kejadian ini bukan tindak pidana korupsi.
~ Keempat, si pembuat sadar dan mengerti bahwa pekerjaan administratif tertentu menyalahi aturan – dilakukannya juga, yang karena itu (dapat) membawa kerugian negara. Dalam hal ini masuk pada persoalan korupsi. Tinggal jaksa dalam pembuktian mempertajam analisis hukum mengenai perbuatan maupun akibatnya, termasuk sifat melawan hukum perbuatan mengenai sumber tertulisnya. Jika tidak ditemukan sumber tertulis, akal budi dan kecerdasan jaksa diperlukan untuk melakukan analisis pembuktian dengan mencari diluar hukum tertulis.
Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibuktikan, tidaklah sama bagi setiap tindak pidana, bergantung dari redaksi rumusan tindak pidana yang bersangkutan dan paham yang dianut. Sebagaimana diatas tadi telah dicontohkan pada unsur maksud memiliki dengan melawan hukum pada pencurian. Dimana ada perbedaan pandangan antara yang objektif dan yang subyektif. Dari sisi rumusannya sifat melawan hukum Pasal 2 adalah objektif.
Persoalan pembuktian sifat melawan hukum Pasal 2 dari sudut objektif, ialah bagaimana jika jaksa tidak menemukan sumber tertulis?. Akankah jaksa menuntut pembebasan atau lepas dari tututan hukum dalam requisitoir? Untuk masa penegakan hukum sekarang, hampir tidak mungkin jaksa melakukan hal yang dianggap konyol dengan menuntut bebas. Atau akankah memberikan analisis hukum bahwa sifat tercelanya perbuatan memperkaya terdakwa bertentangan dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat sebagaimana penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK, yang sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK? Jawabnya, bergantung pada bagaimana cara kita memandang dan menafsirkan sifat tercela dari sisi materiel positif tersebut. Sebagian ahli berpendapat, bahwa hal itu tidak diperkenankan, karena bertentangan dengan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 adalah perwujudan dan penegasan dari pendapat tersebut.
Kiranya dapat diterima, bahwa ada 2 (dua) cara dalam melihat sifat melawan hukum materiel positif. Pertama cara umum, dan kedua cara khusus. Maksud secara umum, ialah tidak mengait-ngaitkannya dengan pekerjaan pembuktian unsur melawan hukum yang dicantumkan pada rumusan tindak pidana tertentu pada kasus tertentu. Cara memandang sifat melawan hukum materiel positif inilah sering dihubungkan dengan asas legalitas. Seolah-olah setiap sifat melawan hukum matereil positif yang terkandung dalam perbuatan sama artinya dengan tindak pidana (berdasarkan ukuran) materiel positif. Pandangan yang pada dasarnya menolak sifat melawan hukum materiel positif dalam hukum pidana, termasuk disini. Juga Mahkamah Konstitusi. Kiranya perlu dibedakan antara pengertian tindak pidana dengan sifat tercelanya perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Tindak pidana harus ditentukan melalui UU, tetapi sifat tercelanya perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana tidak mutlak harus bersumber pada hukum UU.
Sebaliknya secara khusus, adalah membicarakan unsur tersebut dalam rangka pembuktian unsur melawan hukum yang dirumuskan dalam tindak pidana tertentu dalam perkara tertentu. Membicarakan sifat melawan hukum dari sudut pembuktian, tidak bisa di pisahkan dengan bagaimana kenyataan unsur melawan hukum dirumuskan sebagai bagian dari kompleksitas unsur-unsur tindak pidana. Begitu pula harus diberi arti apa, tidak bisa dipisahkan dengan kompleksitas unsur-unsur tindak pidananya. Pandangan mengenai unsur melawan hukum materiel positif harus tetap dilihat dalam kerangka rumusan tindak pidananya. Oleh sebab itu dalam hubungannya dengan pembuktian, unsur melawan hukum bukan unsur mutlak. Pandangan dari sisi yang demikian ini tidak perlu dihubung-hubungkan dengan asas legalitas. Kiranya dapat diterima pendapat bahwa sifat melawan hukum materiel positif yang terkandung dalam rumusan tindak pidana tertentu tidak sama artinya dengan tindak pidana (sudut) materiel positif, ialah kejahatan dari sudut sosial yang perlu dicegah dengan mempidana pembuatnya.
Kembali pada contoh melawan hukum pada pencurian yang sudah dibicarakan diatas. Kita mendapat kesukaran, apabila hendak mencari ketentuan tertulis sebagai sumber sifat melawan hukum yang terkandung dalam maksud si pencuri memiliki barang orang lain yang hendak diambilnya, yang sifat itu melekat karena tidak ada ijin dari pemilik (objektif), atau tidak ternyata ada kelainan keadaan jiwa ketika mengambil barang (subyektif). Jika tidak ditemukan ketentuan tertulis, tentu harus melihat pada rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakatlah yang akan mengatakan bahwa maksud memiliki barang orang lain yang diambilnya tersebut sebagai tercela. Berarti disini kita melihatnya dari sudut materiel positif. Tidak lagi formiel positif.
Untuk memperkuat pentingnya pandangan semacam ini. Kiranya dapat dikemukakan beberapa argumentasi. Pengertian sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam suatu unsur tindak pidana pada dasarnya tidaklah berbeda jauh dengan isi sifat melawan hukum dalam perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad Pasal 1365 BW) setelah arrest HR Cohen lawan Lindenboum tanggal 31 Januari 1919. Vos menurut Moeljatno menganut pendirian melawan hukum materiel, memformulir perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak diperbolehkan. Formulering ini dipengaruhi oleh pendapat HR dalam Lindenbaum Cohen Arrest tersebut.[13]) Moeljatno juga berpendirian yang sama, dan mengatakan, bahwa kiranya tidaklah mungkin selain dari pada mengikuti ajaran yang materiel. Sebab bagi orang Indonesia belum pernah ada saat bahwa hukum dan Undang-Undang dipandang sama.[14]) Komariah Emong Sapardjaja menyatakan bahwa “pada awalnya masalah kepatutan tidak boleh diterapkan di pidana. Namun ketika hukum perdata memasukkan perbuatan tidak patut sebagai unsur melawan hukum, pakar hukum pidana Belanda mengatakan bahwa melawan hukum bidang pidana tidak berbeda lagi dengan bidang hukum perdata seperti termuat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Berarti perbuatan tidak patut itu juga diadopsi di bidang hukum pidana”[15]).
Jadi sifat melawan hukum sebagai unsur tindak pidana tidak semata-mata harus diartikan bertentangan dengan hukum tertulis saja, tapi juga bisa bertentangan dengan haknya sendiri atau hak orang lain. Terbukti benar apa yang dikatakan Vos, dengan mengemukan contoh putusan HR (28 Juli 1911) dalam hal penipuan yang pertimbangan hukumnya, ialah “sifat menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum dalam penipuan karena si pembuat tidak mempunyai hak atas keuntungan tersebut”.[16]) Pandangan demikian adalah pandangan dalam hubungannya dengan pembuktian unsur melawan hukum pada penipuan. Pandangan ini sejalan dengan pengertian perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata. Mencari sifat tercelanya perbuatan tersebut di luar ketentuan UU, ialah rasa keadilan dan kepatutan masyarakat.
Mahkamah Agung sendiri melihat sifat melawan hukum materiel positif tidak sama dengan pandangan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Mengenai sifat melawan hukum materiel positif ini Mahkamah Agung menilai amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan tersebut “menyebabkan unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) menjadi tidak jelas rumusannya”. Oleh karena itu berdasarkan doktrin “Sens-Clair” (la doctrine du senclair) dan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 Mahkamah Agung harus melakukan penemuan hukum.[17]).
Sudah barang tentu apa yang menjadi temuan hukum yang dimaksudkan tidak hanya dilihat dari sudut hukum tertulis (UU) akan tetapi juga bersumber pada rasa keadilan dan nilai-nilai kepatutan yang hidup di dalam masyarakat. Artinya memandang sifat melawan hukum materiiel positif tersebut dari nilai-nilai keadilan dan kepatutan di dalam masyarakat. Ternyata benar, pada pertimbangan hukum selanjutnya dengan memperhatikan doktrin dan jurisprodensi Mahkamah Agung berpendirian kokoh bahwa “unsur sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiel dan perbuatan melawan hukum matereil maupun dalam fungsi positif dan negatif”[18]) Artinya Mahkamah Agung tidak mengikuti dan menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Pendirian Mahkamah Agung ini harus dilihat sebagai pendirian bahwa pengertian sifat melawan hukum materiel positif tidaklah sama artinya dengan tindak pidana / kejahatan dalam pandangan sosial yang tidak dirumuskan dalam UU yang hendak dicegah dengan menjatuhkan pidana, sebagaimana diatas telah dikemukakan. Sedangkan Mahkamah Konstitusi melihat sifat melawan hukum materiel positif sebagai kejahatan dalam pengertian sosial yang tidak dirumuskan dalam UU yang hendak dicegah dengan menjatuhkan pidana. Pandangan Mahkamah Konstitusi yang demikian tentu saja dianggap bertentangan dengan asas legalitas.
Dengan demikian, dalam membuktikan sifat melawan hukum dari perbuatan memperkaya Pasal 2 UUTPK, tidak boleh diartikan hendak mempidana perbuatan lain yang menurut masyarakat patut dipidana yang tidak dirumuskan dalam UU. Melainkan harus diartikan bahwa dalam wujut tertentu perbuatan memperkaya mengandung sifat celaan menurut masyarakat. Seperti perbuatan pegawai negeri yang karena uang negara sejumlah tertentu belum saatnya dipergunakan, mendepositokan uang itu atas nama pribadinya. Dalam perbuatan ini mengandung sifat celaan masyarakat, yang terletak pada atas nama pribadinya.
Sebagaimana diketahui bahwa penyebutan unsur perbuatan yang dilarang dalam pasal 2 ialah memperkaya. Memperkaya sifatnya abstrak, tidak jelas wujutnya. Setiap perbuatan abstrak akan terdiri dari banyak wujut-wujut konkrit. Pada wujut-wujut konkrit itulah yang harus mengandung sifat tercela baik secara formiel positif maupun matereil positif. Kalau kita menyimak pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung No. 275K/Pid/1982 tanggal 15 Desember 1983, yang menyatakan “....... apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum, ...”[19]), harus dianggap pertimbangan mengenai melawan hukum materiel positif tersebut dalam rangka membuktikan unsur sifat melawan hukum dari Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3/1971 khusus pada kasus tertentu. Bahwa sifat tercela dari perbuatan memperkaya terdapat pada keadaan pegawai negeri yang menerima fasilitas yang berlebihan dengan menyalahgunakan kekuasaannya, yang memang benar menurut masyarakat adalah tercela. Siapa saja yang normal jiwanya, akan memberikan penilaian semacam itu. Jadi tidak terpisah dengan masalah pembuktian dari sifat tercelanya perbuatan memperkaya yang menjadi unsur tindak pidana. Pertimbangan seperti itu juga dapat digunakan dalam upaya membuktikan adanya sifat melawan hukum dari perbuatan memperkaya dalam UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001. Sedangkan jika tindak pidana korupsi tertentu dirumuskan tanpa mencantumkan unsur melawan hukum, tidaklah perlu jaksa melakukan analisis hukum secara khusus mengenai sifat melawan hukum dalam pembuktian.
Demikian juga misalnya membuktikan unsur sifat melawan hukum dalam hal pegawai negeri melakukan “perbuatan memaksa” dengan cara menyalahgunakan kekuasaan. Dalam membuktikan sifat tercela perbuatan semacam itu tidak lepas dari kasus konkrit yang dibuktikan. Dan untuk itu apa salahnya mendasarkan pada sifat tercela dari sudut masyarakat. Tidak harus mencari dasar sifat tercela semata-mata pada peraturan perundang-undangan. Sifat tercela itu bisa saja pada keadaan tidak adanya kewajiban seorang supir yang dipaksa pegawai negeri atasannya untuk mengantarkan barang dagangan menantunya. Juga dapat diartikan pegawai negeri tersebut bertentangan dengan haknya, karena dia tidak memiliki hak untuk memaksa si sopir mengantarkan barang dagangan menantu si pegawai negeri atasannya.
Akhirnya pada bab ini dapat dikemukakan beberapa catatan kecil berikut.
~ Dalam hubungannya dengan pembuktian, unsur sifat melawan hukum hanya perlu dibuktikan jika dicantumkan sebagai unsur tindak pidana, dengan cara membuat analisis hukum mengenai pengertiannya yang tidak dapat dipisahkan dengan tindak pidana yang hendak dibuktikan.
~ Membuktikan adanya sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana dapat di cari pada ketentuan tertulis maupun berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan masyarakat.
~ Pandangan sifat melawan hukum materiel positif dalam kerangka pembuktian tidak perlu dibayang-bayangi ketakutan terhadap pelanggaran asas legalitas. Karena dalam hal pembuktian sifat melawan hukum sebagai unsur tindak pidana tidak perlu dihubungkan dengan kehendak untuk mempidana perbuatan yang patut dipidana menurut masyarakat yang tidak ada dalam UU.
~ Sifat melawan hukum materiel positif yang terkandung dalam unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana tertentu tidak sama artinya dengan tindak pidana dari sudut materiel positif.
---------------------oooo-----------------------


[1]) Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 1), Cetakan 2, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 82.

[2] ) Ibid, hal. 111.
[3] ) Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan-jawab dalam Hukum Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, 1969, hal. 24.
[4] ) Moeljatno, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (open bare orde), Penerbit Bina Aksara, 1984, hal. 14.
[5] ) J.E Jonkers, Handboek van Het Nederlands Indisch Strafrecht, Terjemahan Pandan Guritno dkk, Penerbit Badan Penerbit Gadjah Mada, Jogjakarta, tanpa tahun, hal. 105.
[6] ) Roeslan Saleh, Sifat melawan Hukum Dari Pada Perbuatan Pidana, Penerbit Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Jogjakarta, 1962, Hal 6.
[7] ) H.J van Schravendijk, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B Wolters, Jakarta – Gronigen, 1955, hal. 127.
[8] ) Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit P.T Alumni, 2002, Bandung, hal. 95.
[9] ) A. Soema di Pradja, Himpunan Putusan-Putusan Mahkamah Agung Disertai Kaedah-Kaedahnya, Penerrbit Penerbit Alumni, 1977, hal. 336.
[10] ) Komariah Emong Sapardjaja, Op.cit., hal. 137 – 149.
[11] ) Harian Jawa Pos tanggal 22-02-2006.
[12] ) Komariah Emong Sapardjaja, Op.cit., hal. 23.
[13] ) Moeljatno, Azas-azaas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 131.
[14] ) Ibid.
[15]) Guse Prayudi, 2007. Sifat Melwan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Dalam Varia Peradilan No. 254, Januari 2007, hal. 36.
[16] ) Roeslan Saleh, Op.cit., hal. 24.
[17] ) Putusan Nomor 995K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 dalam Perkara Terdakwa Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, hal. 176.
[18] ) Ibid., hal. 177.
[19] ) Komariah Emong Sapardjaja, Op.cit, hal. 162.