Minggu, 25 Juli 2010

Berciuman Bibir Di Muka Umum, Dipidanakah ?

BERCIUMAN BIBIR DI MUKA UMUM –
DIPIDANAKAH ??
(Tinjauan dari KUHP & UU ITE)
H. Adami Chazawi
(Untuk Mahasiswa FH UB, khususnya
yang memprogramkan KTSH).


PENDAHULUAN

Untuk menyatakan perasaan, orang bisa melakukan dengan cara mencium atau berciuman. Menyatakan sayang pada anak, orang mencium kening atau pipi si anak. Untuk menyatakan keakraban (sesama jenis), dengan berciuman pipi. Untuk menyatakan hormat pada seseorang, bisa dilakukan dengan mencium tangannya. Seperti Anggodo mencium tangan mantan pejabat tinggi Kejaksaan Agung di muka persidangan pengadilan yang lalu. Menyatakan cinta atau melampiaskan birahi, dapat dengan melakukan mencium bibir lawan jenisnya.

Untuk ciuman yang terakhir halal saja dilakukan, asalkan tidak dilihat oleh umum, misalnya di dalam kamar atau di hutan sekalian seperti tarzan. Bebeda halnya apabila mencium atau berciuman bibir di lakukan di muka umum. Orang yang melihat adegan tersebut terganggu rasa kesusilaannya. Contoh K dan pacarnya berciuman di muka para wartawan intertainment. Kemudian ditayangkan oleh station TV. Masyarakat memberi rekasi - mencela pertunjukan adegan baku cium tersebut. Sebagaimana dapat dibaca di koran-koran, siran TV dan jejaring sosial (internet). MUI juga segera memberi reaksi. Ketua MUI KH Hamidan menyatakan “mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan”.[1] Tak tahan menghadapi reaksi dari masyarakat, K pun menyatakan “meminta maaf” atas kelakuan yang membuat banyak orang tergganggu rasa kesusilannya tersebut.[2]

Keadaan tersebut membuktikan bahwa, di dalam kehidupan masyarakat, ada nilai-nilai kesusilaan yang hidup, dihargai, dianut dan dipertahankan. Kenyataan adanya reaksi masyarakat tersebut, adalah suatu bukti bahwa nilai-nilai kesusilaan itu ada dan hidup dan keberlakuannya dipertahankan masyarakat.

Timbulnya reaksi masyarakat seperti itu, membuktikan pula bahwa, setiap individu tidak saja harus menegakkan hukum dalam sikap dan perbuatannya, tetapi juga perlu menegakkan norma-norma lainnya, seperti norma kesusilaan dan norma agama. Meskipun terhadap isi bagian tertentu norma kesusilaan dan norma agama belum diadopsi ke dalam norma hukum. Belum teradopsi ke dalam norma hukum, tidak menjadi alasan bagi setiap individu untuk tidak menjalankan dan mematuhi norma-norma kesusilaan dan norma agama. Banyak norma-norma agama yang tanpa disadari telah diadopsi ke dalam norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu melanggar norma-norma kesusilaan dapat dinilai sekaligus melanggar norma agama. Misalnya perbuatan bersetubuh diluar nikah. Dilarang oleh norma agama, kesusilaan, yang dengan syarat-syarat tertentu dilarang pula oleh hukum.[3] Nilai-nilai moral kesusilaan yang berasal dari norma agama telah diadopsi ke dalam norma hukum.

Norma-norma kesusilaan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal kesopanan setiap orang dalam pergaulan hidup sesamanya dalam masyarakat. Nilai-nilai kesusilaan yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dapat mencerminkan sifat dan karakter dari suatu lingkungan masyarakat, bahkan suatu bangsa . Patokan patut atau tidak patutnya suatu perbuatan, dianggap menyerang atau tidak terhadap kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan tidak semata-mata bersifat individual, tetapi juga bersifat sosial.[4] Seperti lain jenis berciuman bibir di muka umum. Bukan individu tertentu yang merasa terganggu rasa kesusilaannya, melainkan juga orang-orang lainnya. Maka sifat melanggar kesusilaan yang melekat pada kelakuan seperti itu telah bersifat sosial, menjadi kejahatan sosial. Jika ada padanannya di dalam hukum pidana, menjadi kejahatan menurut hukum yang dapat dipidana.

BERCIUMAN BIBIR DI MUKA UMUM, KEJAHATAN HUKUMKAH?


Hal berciuman (bibir) di muka umum menjadi polemik, akibat kelakuan K dan pacarnya berciuman di hadapan para wartawan pada konferensi pers (21-7-2010) yang diadakannya. Polemik tersebut adalah merupakan rekasi dari masyarakat, yang rasa kesusilaannya telah diganggu. Reaksi ini dapat menjadi reaksi hukum (sanksi hukum), manakalah kelakuan seperti itu dapat dipidana karena ada padanannya di dalam hukum pidana.

Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kelakuan K dan pacarnya tersebut merupakan suatu kejahatan hukum. Tidak sama sekali. Andaikata pun terpaksa, paling-paling akan mengatakan kelakuan seperti itu dapat diduga suatu kejahatan hukum. Karena tulisan ini semata-mata membicarakan kelakuan orang lain jenis berciuman di muka umum secara umum. Tidak secara spesifik menunjuk kelakuan K tersebut. Kelakuan mereka itu sekedar “keadaan” yang memotivasi penulis untuk mencoba mengemukakan pendapat tentang masalah “berciuman bibir” di muka umum.

Pasal 281 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-:
1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Ada dua bentuk kejahatan melanggar kesusilaan umum, yakni yang satu dirumuskan pada angka 1, dan kejahatan yang kedua dirumuskan pada angka 2.

Unsur-unsur kejahatan angka 1, adalah:
a. Perbuatan: melanggar kesusilaan;
b. secara terbuka.
c. Kesalahan: sengaja

Kata “melanggar” dalam frasa “melanggar kesusilaan” tidak ada hubungannya dengan kata “pelanggaran” asal kata dari overtredingen (jenis-jenis delik buku III KUHP), melainkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang.[5] Melanggar kesusilaan (schennis der eerbaarheid), suatu rumusan perbuatan yang bersifat abstrak, tidak konkret. Isi atau wujud konkretnya tidak dapat ditentukan, karena wujud konkretnya ada sekian banyak jumlahnya, bahkan tidak terbatas. Wujud perbuatan baru dapat diketahui manakala perbuatan itu telah terjadi secara sempurna. Misalnya: bertelanjang, berciuman, memegang alat kelaminnya atau alat kelamin orang lain, memegang buah dada seorang perempuan, memperlihatkan penisnya atau vaginanya dan lain sebagaianya. Termasuk berciuman bibir. Tentu saja semua harus dilakukan di muka umum (openbaar).

Unsur dimuka umum inilah yang menjadi penyebab semua perbuatan di atas menjadi perbuatan melanggar kesusilaan, artinya melekat sifat tercela atau melawan hukum pada perbuatan melanggar kesusilaan. Walaupun unsur melawan hukum dalam kejahatan ini tidak dirumuskan sebagai unsur (tertulis), tetapi sudah pasti sifat tercela ini selalu ada, dan keberadaannya itu telah dengan sendirinya melekat pada unsur secara terbuka (openbaar) atau dimuka umum.[6]

Sifat melanggar kesusilaan dari suatu perbuatan melanggar kesusilaan, yang melekat pada unsur “di muka umum”, sebagaimana pada umumnya kejahatan kesusilaan. Keberlakuan difinitifnya bergantung pada waktu dan tempat dilakukannya perbuatan. Dapat dikatakan relatif. Bergantung dari masyarakatnya, tempatnya dan temponya. Pendapat demikian benar, namun perlu diketahui bahwa tidak semua wujud perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum mempunyai sifat relatif, ada wujud perbuatan tertentu yang dinilai menyerang rasa kesusilaan bagi setiap golongan masyarakat dimanapun berada dan untuk setiap masa. Misalnya bersetubuh ditempat umum atau dimuka orang banyak, perbuatan mana serupa dengan perbuatan binatang dalam melampiaskan nafsu birahinya.

Bagaimana dengan berciuman bibir di muka umum? Berciuman bibir antara dua orang yang berlainan jenis, adalah merupakan: (1) wujud pelaksanaan dari cinta birahi, (2) bagian dari persenggamaan. Senggama merupakan puncak dari segala wujud perbuatan dalam hal melampiaskan nafsu birahi manusia. Oleh karena berciuman seperti itu merupakan bagian dari melampiaskan cinta birahi, bila dilakukan di muka umum menjadi tercela. Nilai-nilai susila di masyarakat kita, tetap mencela terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan kelakuan melampiaskan birahi. Sebagai indikatornya adalah reaksi masyarakat terhadap kelakuan tersebut, sebagaimana pada pendahuluan di atas telah dibicarakan. Kelakuan buruk ini dapat masuk pada perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum menurut arti dari Pasal 281 KUHP tersebut.

Pasal 27 Ayat (1) jo 45 UU Ayat (1) No. 11/2008 Tentang ITE jo 56 KUHP.

Pasal 27 (1) jo 45 (1) UU No. 11/2008:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kita coba menggunakan ketentuan hukum pidana di atas untuk menganalisis kasus berciuman bibir di muka umum. Unsur-unsurnya berikut ini.
· Perbuatan: (a) mendistribusikan, (b) mentransmisikan; (c) membuat dapat diaksesnya.
· Objek:: (a) informasi elektronik dan/atau. (b) dokumen Eelektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
· Kesalahan: sengaja
· Melawan hukum: tanpa hak

Perbuatan mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[7] Dalam konteks dengan kejahatan kesusilaan menurut Pasal 27 (1) tersebut, perbuatan mendistribusikan dapat didefinisikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.

Menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang (benda) kepada orang lain (benda lain).[8] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.[9]

Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.[10]

Dihubungkan dengan objek tindak pidana menurut Pasal 27 Ayat (1) UU ITE. Perbuatan membuat dapat diaksesnya adalah melakukan perbuatan dengan cara apapun melalui perangkat elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi terhadap data atau sekumpulan data elektronik dalam melakukan transaksi elektronik yang menyebabkan data elektronik tersebut menjadi dapat diakses oleh orang lain atau benda elektronik lain.[11]

Ada 2 objek tindak pidana.
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (elektronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[12]
Sementara dokumen elektronik tidak diberikan keterangan apapun dalam UU ITE. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan. Dokumen adalah 1 surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian); 2 barang cetakan atau naskah karangan yang dikirim melalui pos; 3 rekaman suara, gambar dalam filem, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti keterangan.[13]
Dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan menerapkannya pada objek tindak pidana, maka dapat didefinisikan. Dokumen elektronik adalah surat tertulis atau tercetak yang disimpan secara elektronik yang isinya dapat dipakai sebagai bukti berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sementara objek “yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah dibicarakan sebelumnya. Unsur ini disebut unsur keadaan yang menyertai yang melekat pada objek dokumen elektronik atau informasi elektronik.

Kini semakin jelas, bahwa tiga perbuatan dalam Pasal 27 (1) dengan objek informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat diterapkan terhadap kasus orang yang di duga berciumam bibir di muka umum. Kepada siapa? Tentulah kepada siapa yang melakukan tiga perbuatan tersebut.

Tentulah bukan wartawan – peliput maupun si pembuat yang berciuman sebagai subjek hukum yang dapat dibebani tanggungg jawab pidana sebagai pembuat (pembuat tunggal/dader atau pembuat pelaksana/pleger). Namun bukan berarti kedua subjek hukum yang disebut terakhir dilepaskan begitu saja dari tanggungjawab pidana (toerekeningsvatbaar). Kedua subjek hukum tersebut terakhir dapat dibebani tanggung jawab pidana sebagai pembuat peserta (medepleger) berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) angka 1 KUHP. Pertimbangan hukumnya, ialah wartawan peliput dan orang yang berciumam bibir telah menyadari bahwa informasi atau dokumen elektronik yang di buat tersebut hendak di distribusikan atau ditransmisikan melalui seperangkat alat elektronik. Sementara Ia sadar bukan mereka yang akan melakukannya. Namun perbuatan mentransmisikan atau mendistribusikan tidak bisa dilakukan tanpa didahului oleh perbuatan mereka tersebut. Syarat seorang medepleger, ialah kesengajaannya sama dengan kesengajaan si pembuat pelaksananya. Sementara perbuatannya tidak penting harus sama.

Sekian dulu.

Mahasiwa FH UB, diijinkan untuk mengkopi. Namun tidak diijinkan untuk merubah tulisan.

Malang, kampuis FH UB, 24-07-2010.
[1] Kompas, com (22-7-2010).
[2] Kompas.com (23-7-2010).
[3] Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit IMM –ITS Press, Surabaya, halaman 5.
[4] Ibid, halaman 6.
[5] Adami Chazawi, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, halaman 16.
[6] Ibid.
[7] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[9] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit ITS Press – PMM, Surabaya, halaman 283.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
[13] Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit., halaman 338.