Rabu, 30 Desember 2009

TANGGAPAN TERHADAP JEFFRIE GEOVANI HAL PENGHINAAN DALAM UU ITE

Terima kasih atas tanggapan tulisan saya. Salut pd bapak, krn bapak sudah peka terhadap pendpt /kritikan masyarakat. Saya kira tdk banyak teman bapak di DPR yg punya perhatian seperti bapak, banyak yang acuh saja, sy yakin itu.

Saya pribadi tdk menentang penghinaan melalui media elektronik dibentuk menjadi tindak pidana sebagai lex specialis, krn ada sifat khususnya dari penghinaan umum (khususnya pencemaran) yakni dari media/alat yg digunakan. Meskipun, andaikata tdk dirumuskan sebagai penghinaan lex specialis, toh penghinaan melalui media elektronik (internet) tetp bisa menggunakan pasal-pasal penghinaan di KUHP yg sesuai dg kasusnya, dengan cara menafsirkan misalnya berdasarkan tujuan dri dibentuknya kejahatan-2 penghinaan atau yg lbh ekstrim dengan penafsiran ekstensif (meskipun saya menolak ekstensif krana setali tiga uang dg analogi, hampir sama, sdkit saja perbedaannya).

Memang lbh baik dibentuk penghinaan specialis di luar KUHP. Namun sayang pembentuk UU ITE banyak melakukan kesalahan dalam menyusun rumusan Pasal 27 Ayat (3) tersebut. Baru satu rumusan, bgm yg lain??? Kenapa dulu tdk dilibatkan kami-kami dari kalangan akademisi hukum?? Sayang sdh terlanjur. Keliatannya teman-teman bapak di DPR - tim perumus tdk memahami prinsip-2 dasar tentang penghinaan menurut sistem hukum pidana kita yang berkiblat ke WvS Nederland tsb. Sungguh sayang. Kedua juga tdk memahami dan tdk memerhatikan ttg bgm prinsip2 dan hubungan serta syarat-2 suatu tindak pidana lex speciaalis dari suatu lex generalis. Saya beri contoh dengan beberapa pertanyaan saja, apakah bapak sebagai pembuat UU ITE bisa menjawab pertanyaan saya secara tepat yg dpt diterima menurut logika umum?, kalau bapak bingung untuk menjawabnya berarti tim perumus tidak memahami objek yang dikerjakan, meskipun bnyk SH di dalam Tim.

Antara lain, pertnayannya:
1. Apakah unsur/kata/frasa penghinaan dlm Ps 27 (3) mencakup seluruh bentuk penghinaan dlm KUHP (ada 8 macam) tersebut? Misalnya penghinaan ringan?
2. Jika benar iya, apa alasannya? Apa akibatnya dlm praktik/penerapannya?
3. Kalau tidak apa alasananya? Apa akibatnya dlm penerapannya?
4. Mengapa kata penghinaan disejajarkan (istilah dan/atau) dengan pencemaran nama baik? Apa alasannya?
5. Mengapa hanya disebut pencemaran nama baik, padahal objek pencemaran itu bukan nama baik saja, tapi juga kehormatan? Apa kehormatan menurut UU ITE tdk merupakan objek pencemaran?
6. Apa artinya kata penghinaan yg dicantumkan dalam Ps 27 (3) tsb, apa ada bedanya atau persamaannya dgn pencemaran?
7. Apakah alasan/logikanya penghinaan khususnya bentuk pencemaran diancam dg pidana yg sangat berat, enam setengah kali lbh berat dri pencemaran standarnya dlm KUHP. Apalagi kalau dibandingkan dg penghinaan ringan Ps 315 KUHP.
8. Apakah penghinaan disitu dl Ps 27 (3) mrpkan suatu tindak pidana ataukah suatu kelompok bentuk-2 tindak pidana yg menyerang rasa/perasaan harga diri nama baik dan kehormatan pribadi orang?
9. Apakah arti, fungsi dan kegunaan mencantumkan unsur tanpa hak dlm Ps 27 (3) tsb? Terus kira-2 bgm bayangan bapak bagi bp jaksa utk membuktikan dan hakim mempertimbangkan unsur tsb dalam praktiknya?

Cukup sekian dulu pertanyaan saya, yg mohon bapak dpt memberikan jawabannya dan nanti akan saya tanggapi. Tujuan satu-satunya bagi saya, mungkin begitu juga bagi rakyat Indonesia, agar kita tahu Pasal 27 (3) UU ITE tersebut penuh - syarat dgn kesalahan-2. kalau tdk diperbaiki rumusan itu akan berakibat sangat fatal, al:

1. Tidak ada kepastian hukum dari rumusan bentuk penghinaan hasil kerja DPR tersebut?
2. Kami dari kalangan akademisi terus dapat meragukan UU yg bapak hasilkan terutama yang menyangkut hukum pidana.
3. Setiap rumsn tindak pidana yg tdk berkepastian hukum selalu akan makan korban rakyat yang lemaH, miskin, bodoh. Telah terbukti kasus Bu Prita.
4. dalam era penegakan hukum yg buruk seperti skrg ini, kelemahan hukum selalu dpt digunakan sebagai alat pemerasan, alat KKN, alat penyuapan.
5. hukum yg dihasilkan DPR jika buruk akan merndahkan wibawa lembaga tersebut, dan terang merugikan keuangan negara. Sebab untuk membuat satu UU menghabiskan uang rakyat miliaran rupiah, jika UU yg dihasilkan tidak baik sama artinya kinerja DPR tersebut merugikan rakyat.

Pak, itu satu rumusan saja yg saya analisis, belum tindak pidana yang lain dl UU ITE tsb. Lain kali saya akan mencoba utk membedahnya satu-persatu rumusan tentunya berdasarkan pisau analisa ilmu hukum khususnya hukum pidana.

Sekali lagi mohon jawbannya dari pertanyaan saya tsb, nanti pasti kita semua sadar bahwa OH iya kita semua sudah keliru. Saya tunggu?!

Oh ia ya pak, saya menulis sebuah buku tentang hukum pidana positif penghinaan, bulan depan Insya Allah beredar, kiranya anggota komisi hukum DPR perlu membaca buku tersebut. Penerbit ITS Press Surabaya. Sekaligus promosi, nanti jika sdh terbit saya mintakan pada ITS Press untuk mengirim contoh promosi ke bapak.

SELAMAT BEKERJA DAN BERJUANG UNTUK RAKYAT (BUKAN UTK PARTAi). MOHON MAAF.

Minggu, 27 Desember 2009

SATU LAGI PERMASLAHAN, SIFAT MELAWAN HUKUM PENGHINAAN UU ITE

SIFAT MELAWAN HUKUM PENGHINAAN

DALAM PASAL 27 AYAT (3) UU ITE

(Penulis: Drs. H. Adami Chazawi, S.H. Dosen FH UB)

- Pasal 27 Ayat (3):

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

- Pasal 45 Ayat (1):

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

DARI SUDUT HUBUNGAN UNSUR TANPA HAK DENGAN UNSUR LAIN-LAIN DALAM KOMPLEKSITAS UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Setiap unsur tindak pidana tidak berdiri sendiri. Selalu mempunyai hubungan dengan unsur-unsur lainnya. Dari sudut normatif, tindak pidana adalah suatu pengertian tentang hubungan antara kompleksitas unsur-unsurnya tersebut. Dari hubungan inilah kita dapat mengetahui alasan tercelanya (melawan hukum) perbuatan yang dilarang dalam setiap tindak pidana, termasuk tindak pidana penghinaan dalam UU ITE tersebut diatas. Hubungan yang dekat dengan unsur “tanpa hak” dari perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses informasi elektronik, terdapat pada 2 unsur.

· Pertama secara objektif. Hubungan itu sangat dekat dengan sifat isi informasi elektronik yang didistribusikan, ditransmisikan oleh si pembuat. Sifat isi informasi atau dokumen (objek) elektronik tersebut mengandung muatan bentuk-bentuk penghinaan, utamanya bentuk pencemaran. Pada unsur inilah melekat sifat melawan hukum perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan informasi elektronik tersebut. Sekaligus merupakan alasan mengapa perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan menjadi terlarang. Oleh sebab itu, jika orang yang mengirimkan data elektronik tanpa memenuhi syarat tersebut tidak termasuk melawan hukum, dan tidak boleh dipidana.

· Kedua secara subjektif. Hubungan melawan hukum sangat dekat dengan unsur dengan sengaja (kesalahan). MvT WvS Belanda mengatakan bahwa “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.[1] Secara singkat sengaja artinya menghendaki (willens ) dan mengetahui (wetens). Mengenai keterangan dalam MvT WvS Belanda tersebut, Jan Remmelink menyatakan bahwa mengajarkan pada kita bahwa cara penempatan unsur sengaja dalam kentuan pidana akan menentukan relasi pengertian ini terhadap unsur-unsur delik lainnya: apa yang mengikuti kata ini akan dipengaruhi olehnya.[2]

Melihat letak unsur sengaja mendahului unsur perbuatan dan tanpa hak, maka tidak diragukan lagi. Bahwa si pembuat menghendaki untuk melakukan perbuatan mendistribusikan, menstransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. Kehendak ini termasuk juga pengetahuan yang harus sudah terbentuk sebelum berbuat, karena demikian sifat kesengajaan. Orang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang sudah diketahuinya.

Disamping itu sengaja harus juga ditujukan pada unsur tanpa hak. Apa artinya? Bahwa si pembuat sebelum menstransmisikan, mendistribusikan informasi elektronik atau dokumen elektronik tersebut. Telah mengetahui atau menyadari bahwa Ia tidak berhak melakukannya. Perbuatannya melawan hukum, tercela, tidak dibenarkan dan dilarang. Kesadaran yang demikianlah yang biasanya disebut dengan sifat melawan hukum subjektif. Suatu kesadaran yang tidak perlu mengetahui secara persis tentang UU atau pasal yang melarang. Cukup kesadaran bahwa perbuatan semacam itu tercela, tidak dibenarkan. Suatu kesadaran yang selalu ada bagi setiap orang normal pada umumnya. Orang yang berjiwa normal saja yang dapat menilai terhadap semua perbuatan yang hendak dilakukannya sebagai halal ataukah haram. Oleh karena itu untuk membuktikan kesadaran sifat melawan hukum perbuatan patokannya, ialah terbukti si pembuat berjiwa normal.

Sehubungan dengan dicantumkannya unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, pembentuk WvS Belanda telah mengambil sikap yang sangat rasional. Bahwa dengan dibentuknya tindak pidana dalam UU sudah dengan sendirinya terdapat unsur sifat melawan hukum. Dalam setiap rumusan tindak pidana telah terdapat unsur melawan hukum. Meskipun di dalam rumusan tidak dicantumkan. Tidak perlu setiap rumusan tindak pidana selalu mencantumkan melawan hukum secara tegas. Hanya apabila dalam hal-hal ada alasan saja maka unsur melawan hukum perlu dicantumkan. Hal-hal yang dimaksud ialah apabila ada orang lain yang berhak untuk melakukan perbuatan yang sama seperti tindak pidana yang dirumuskan UU. Barulah dalam rumusan sifat melawan hukum perbuatan perlu dicantumkan. WvS bermaksud untuk mencegah agar mereka yang menggunakan hak atau kewenangan mereka itu tidak sertamerta dipidana.[3]

Dengan mengingat petunjuk MvT WvS Belanda tersebut, kita harus memahami maksud pembentuk UU ITE mencantumkan unsur tanpa hak dalam rumusan tindak pidan Pasal 27 Ayat (3). Tentu ada maksud pembentuk UU ITE mencantumkan unsur tanpa hak (istilah lain dari melawan hukum) dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut. Kiranya maksud pembentuk UU ITE ditujukan agar orang yang berhak melakukan perbuatan mendistribusi, mentransmisikan, membuat dapat diakses informasi elektronik tidak boleh dipidana. Meskipun informasi yang didistribusikan bersifat menghinakan orang lain.

Persoalannya ialah, dalam hal mana atau dengan syarat apa orang yang mendistribusikan, mentrasmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang isinya bersifat menghina tersebut berhak melakukannya? UU ITE tidak memberikan keterangan apa-apa. Oleh karena itu harus dicari dari sumber hukum penghinaan, ialah Bab XVI Buku II KUHP.

Bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP bersumber pada pencemaran (Pasal 310). Bentuk-bentuk penghinaan tersebut mengandung sifat yang sama, ialah terdapat pada pencemaran. Setiap bentuk penghinaan selalu bersifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang. Oleh sebab itu pencemaran dapat dianggap sebagai bentuk standar penghinaan.

Pada pencemaran terdapat alasan peniadaan sifat melawan hukum perbuatan (ayat 3). Pencemaan tidak dipidana apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Dua keadaan inilah yang menyebabkan si pembuat berhak mendistribusikan, mentransmisikan informasi elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan. Dengan hapusnya sifat melawan hukum sama artinya dengan si pembuat berhak melakukannya.

Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya. Bahwa untuk dapat mengajukan alasan demi kepentingan umum. Disamping memang sangat perlu, dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi si pembuat sendiri. Melainkan untuk kepentingan orang lain (umum). Juga isi yang disampaikan haruslah benar, tidak boleh palsu. Sementara itu, untuk dapat mengemukakan alasan membela diri, diperlukan 2 syarat. Pertama, harus terlebih dulu ada perbuatan - berupa serangan oleh orang lain yang bersifat melawan hukum. Serangan itu amat merugikan kepentingan hukumnya. Oleh karena itu ybs terpaksa harus membela diri. Perwujudannya ia menuduhkan perbuatan tertentu yang menghinakan orang lain. Kedua, apa yang dituduhkan isinya harus benar. Si pembuat harus dapat membuktikan syarat-syarat tersebut.

Demikianlah arti dan maksud mencantumkan unsur tanpa hak dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

PANDANGAN LAIN DARI SIFAT MELAWAN HUKUM PENGHINAAN DALAM PASAL 27 AYAT (3) UU ITE

Menurut keterangan Wakil Ketua Tim Perumus UU ITE di TVONE hari minggu sore tanggal 27 Desember 2009, berbeda dengan pandangan penulis tersebut di atas. Letak sifat melawan hukumnya atau tanpa hak si pembuat melakukan perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran tersebut, terletak pada keadaan dan kedudukan si pembuat dalam hubungannya dengan digunakannya sarana elektronik tersebut. Jadi bukan terletak pada isi informasi elektronik yang didistribusikan, yang ditransmisikan, dibuat dapat diaksesnya informasi yang memuat penghinaan dan atau pencemaran tersebut.

Diberikan contoh, kasus Ibu Prita yang berhak mengirimkan e-mailnya pada tema-temannya, disebabkan e-mailnya tersebut adalah miliknya sendiri. Karena miliknya sendiri, maka beliau dapat menggunakannya dan tentu dalam hal itu tidak tanpa hak. Karena itu tidak tanpa hak, maka tindak pidana penghinaan menurut UU ITE tidak ada. Tentu saja tidak boleh menjatuhkan pidana pada seseorang yang tidak melakukan tindak pidana.

Bagi penulis, sifat penghinaan (melawan hukum) khususnya pencemaran tidak ada dalam kasus Ibu Prita, bukan terletak pada karena e-mailnya tersebut adalah miliknya sendiri. Tetapi pada beberapa hal/keadaan, ialah:

1. Isi e-mailnya tersebut tidak merupakan tuduhan pada seseorang (dokter) telah melakukan perbuatan tertentu yang tidak benar dan yang tercela yang memalukan si pemilik nama.

2. Apabila ada perbuatan yang dituduhkan oleh Ibu Prita pada pribadi orang (misalnya dokter) yang tidak benar yang memalukan si pemilik nama, oleh karena mengenai pelayanan kesehatan – maka harus dianggap untuk / demi kepentingan umum, yang merupakan alasan penghapus sifat melawan hukum pencemaran (Pasal 310 Ayat (3) KUHP).

3. Sifat informasi melalui e-mail pada teman Ibu Prita, tidak sama dengan sifat dengan tulisan pada lembar kertas dalam hal pencemaran menurut azasnya Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Padahal penghinaan dalam Pasal 27 Ayat (3) tetap harus berpijak pada sifat yang sama dengan penghinaan dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP tersebut.

4. Dari alasan nomor 3 tersebut, jika dihubungkan dengan unsur maksudnya terang supaya diketahui umum, maka dengan sebuah e-mail tidak mungkin mengandung maksud terang supaya diketahui umum yang sama dengan tulisan dalam lembar-lembar kertas yng disebarkan, ditunjukkan atau ditempelkan seperti pada Pasal 310 Ayat (1 dan 2) KUHP tersebut.

5. Rumah Sakit Omni tidak termasuk suatu objek penghinaan, dan tidak mungkin menjadi korban dari suatu penghinaan. Karena menurut sistem hukum pidana kita, hanya pribadi subjek hukum orang yang dapat menjadi objek penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP. Suatu badan atau lembaga tidak bisa menjadi objek penghinaan. Sebenarnya yang bisa adalah si pemilik suatu badan atau lembaga tersebut, bukan badan/lembaganya. Sebeb badan atau lembaga tidak memiliki rasa/perasaan malu, marah, sedih – berupa penderitaan batiniah yang diakibatkan oleh suatu penghinaan. Namun objek badan tertentu tersebut harus ditegaskan dalam suatu rumusan tindak pidana tertentu, dan terdapat di luar Bab XVI Buku II, tersebar dalam beberapa bab yang tindak pidana pokoknya bukan berisfat penghinaan. Seperti penghinaan pada Pemerintah RI (Pasal 154), agama (Pasal 156a), golongan rakyat (Pasal 157), penguasa dan badan umum (Pasal 207 dan 208), dll. Tidak ada objek penghinaan badan/lembaga pada umumnya. Rumah Sakit khususnya RS OMNI tidak ada dalam rumusan tindak pidana penghinaan baik dalam KUHP maupun di luar KUHP.

Pandangan tentang sifat melawan hukum penghinaan dalam UU ITE dari Wakil TIM Perumus UU ITE tersebut, bila merupakan pandangan pemebentuk UU ITE, bukan pandangan pribadi, maka pada saatnya boleh diturut oleh hakim dalam keadaan dan hal-hal tertentu. Alasannya berdasarkan penafsiran menurut sejarah. Namun tidak boleh berlaku pada sembarang kasus secara hantam kromo, apalagi diperjualbelikan. Karena pandangan tersebut terdapat kelemahan yang mendasar.

Kelemahannya ialah, terletak pada apabila informasi elektronik objek tindak pidana penghinaan tersebut benar-benar memenuhi unsur dan syarat-syarat penghinaan, khususnya pencemaran. Meskipun si pembuat berhak mengirimkan informasi tersebut (menurut pandangan Wk Tim Perumus) berhubung misalnya “facebook” adalah miliknya sendiri, tetap mengandung sifat melawan hukum dan dapat dipidana apabila informasi tersebut mengandung sifat menghina seperti yang dimaksud dalam Pasal 310 KUHP.

KESIMPULAN

Terbukti lagi, bahwa penghinaan dalam UU ITE mengandung masalah dan ketidakpastian. Akan banyak timbul berbagai pandangan-pandangan lainnya dari para ahli hukum pidana. Semua itu akan memakan rakyat kecil – miskin dan lemah, seperti Ibu Prita dan Luna Maya. Masih akan timbul, tunggu sebenar lagi.

Demikian pandangan PENULIS.

Sekian dulu, lain kali ketemu lagi pada artikel online berikutnya.

Malang, 28 Desember 2009.

UNTUK LEBIH LENGKAP DAN SEMPURNA PANDANGAN PENULIS TENTANG PENGHINAAN – BACA BUKU PENULIS YANG BERJUDUL “HUKUM PIDANA POSITIF PENGHINAAN”. PENERBIT ITS PRESS SURABAYA.



[1] Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana,1983. Penerbit Bina Aksara, Jakarta, halaman 171.

[2] Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan padanannya dalam KUHP Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 152.

[3] Ibid., halaman 187.

Senin, 21 Desember 2009

SATU LAGI KEKELIRUAN PENGHINAAN DALAM UU ITE

SATU LAGI KEKELIRUAN PENGHINAAN DALAM UU ITE

DAN

PENERAPANNYA PADA KASUS LUNA MAYA

Penulis: Drs. Adami Chazawi, S.H (Dosen FH UB)

SUBSTANSI PENGHINAAN dan PENCEMARAN

Penulis sudah menuangkan pendapat/buah pikiran mengenai kesalahan dalam membentuk/merumuskan tindak pidana penghinaan dalam UU ITE. Penulis beri judul ” PENGHINAAN DALAM UU PENYIARAN & UU ITE, APANYA YANG SALAH? Tulisan yang sekarang ini kelanjutan dari pandangan Penulis tersebut, terinsfirasi dari kasus Sdri. Luna Maya. Akan meluncur pandangan-pandangan Penulis berikutnya, sampai habis akal Penulis memelototi UU ITE tersebut. Tentu tulisan-tulisan Penulis mengenai penghinaan di media internet adalah sebagai pelengkap dari buku Penulis ”Hukum Pidana Positif Penghinaan” yang diterbitkan oleh ITS Press Surabaya.

Penghinaan dalam UU ITE (Pasal 27 Ayat (3) merumuskan: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusukan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"

Tindak pidana tersebut di atas diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penulis hendak mennganalisis frasa (unsur) pertama muatan penghinaan, dan kedua muatan pencemaran nama baik. Dari kedua frasa tersebut terdapat kesalahan fatal dari rumusan tindak pidana penghinaan menurut UU ITE.

Jelas, bahwa sebagai lex specialis dari lex generalis dalam Bab XVI Buku II KUHP, pengertian yuridis "pencemaran" dan "penghinaan" dalam rumusan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE harus mengacu pada bentuk-bentuk penghinaan dan pengertian yuridis beserta unsur-unsur dari bentuk-bentuk penghinaan khususnya pencemaran dalam lex generalisnya in casu Bab XVI KUHP tersebut. Disebabkan UU ITE tidak memberikan pengertian yuridis dari kedua kualifikasi pencemaran maupun penghinaan.

Adapun bentuk-bentuk penghinaan adalah:

1. pencemaran lisan [Pasal 310 Ayat (1)];

2. pencemaran tertulis [Pasal 310 Ayat (2)];

3. fitnah (Pasal 311 - 314);

4. penghinaan ringan (Pasal 315);

5. pengaduan fitnah (Pasal 317);

6. menimbulkan persangkaan palsu (Pasal 318);

7. penghinaan terhadap orang mati lisan (Pasal 320); dan

8. penghinaan terhadap orang mati tertulis (Pasal 321)

Nah, frasa penghinaan dalam rumusan Pasal 27 Ayat (3) harus dicari dalam KUHP, in casu Bab XVI, yang tiada lain ada 8 macam bentuknya. Tentu saja di dalamnya ada pencemaran. Dengan demikian juga pengertian yuridis pencemaran dalam UU ITE harus dicari dalam KUHP khususnya Pasal 310.

KESALAHAN PEMBENTUK UU ITE

Kesalahan Pertama:

Dari satu kajian yuridis tersebut sudah nampak kesalahan pembentuk UU ITE mencantumkan pencemaran disamping (dengan istilah ”dan/atau”) penghinaan. Menggambarkan seolah-olah pencemaran tersebut berbeda dan berdiri sendiri disamping penghinaan. Padahal pencemaran tersebut adalah salah satu bentuk atau bagian dari penghinaan.

Kesalahan Kedua:

Apabila dihubungkan dengan berat-ringannya pembebanan tanggung jawab pidana, kesalahan Pembentuk UU IE lebih nampak lagi. Dengan mencantumkan frasa penghinaan (disamping pencemaran) menimbulkan masalah besar, ialah:

1. Kedelapan bentuk penghinaan (dalam KUHP) tadi jika dilakukan dengan menggunakan sarana eletronik diancam pidana yang sama yakni maksimum 6 tahun penjara dan/atau denda maksimum Rp 1.000.000.000,00 (satu milar rupiah). Padahal jika kembali pada azas penghinaan yang dibeda-bedakan menjadi 8 macam tadi yang diancam dengan pidana yang berbeda-beda, artinya dibebani tanggungjawab sendiri-sendiri secara berbeda-beda berat ringannya. Lebih fatal lagi jika pertanggungjawaban pidana pada penghinaan ringan disamakan dengan fitnah oleh UU ITE dengan ancaman pidana yang sama, yakni maksimum 6 tahun penjara. Padahal menurut azasnya, pada penghinaan ringan tanggungjawab pidananya jauh lebih ringan dari pada fitnah atau juga pencemaran. Penghinaan ringan diancam pidana dengan 4 bulan 2 minggu penjara, sementara pencemaran lisan dengan pidana penjara maksimum 9 bulan dan pencemaran tertulis – 1 tahun 4 bulan. Menurut UU ITE melesat naik - sama-sama menjadi maksimum 6 tahun. Tidak jelas apa ratio yang dipakai Pembentuk UU ITE sehingga menjadi demikian fantastis?? Barangkali tidak pakai ratio, melainkan selera belaka. Mungkinkah dipesan oleh kekuatan politik tertentu??, tidak jelas. Seolah-olah jenis-jenis penghinaan dengan menggunakan sarana elektronik itu merupakan kejahatan yang sangat berat?? Begitukah ??

2. Seolah-olah pencemaran itu mengandung muatan yang sama dengan penghinaan, padahal tidak. Pencemaran merupakan bagian dari penghinaan.

3. Dengan dicantumkan/disebutkan frasa ”pencemaran dan/atau penghinaan”, bisa terjadi salah menafsirkan - seolah-olah bentuk-bentuk penghinaan selain pencemaran – tidak masuk dalam pengertian/cakupan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Padahal dengan menyebutkan istilah penghinaan di dalamnya sudah pasti orang harus kembali pada sumber pokoknya ialah Buku XVI KUHP.

KASUS Sdri. LUNA MAYA

Singkat kata Luna Maya menulis di Twitter: ”Infotemnt derajatnya lebih hina dari pada pelacuran, pembunuhan, may ur soul burn in hell about 13 hours ago”.

Pertanyaan hukumnya ialah ”apakah kalimat yang demikian sudah cukup alasannya untuk menggunakan/menerapkan UU ITE”??

Salah satu syarat dapatnya dituntut jenis-jenis penghinaan termasuk menurut UU ITE, ialah jika ada orang tertentu yang karena itu terserang nama baiknya atau kehormatannya, dan untuk itu orang itu mengajukan pengaduan.

Dua syarat tersebut sudah terpenuhi. Pertama wartawan-wartawan yang tergabung dalam infotainment telah merasa diserang nama baik atau kehormatannya. Sebagai buktinya mereka telah mengajukan pengaduan pada polisi.

Persoalannya tidak sesederhana itu? Lihatlah azas penghinaan, ialah:

· Pertama, infotainment itu suatu kelompok orang (komunal). Jika objeknya komunal, maka tidak masuk pada penghinaan Bab XVI KUHP, melainkan berada di luarnya dan bukan lagi masuk kelompok/bentuk-bentuk kejahatan yang objeknya nama baik dan kehormatan pribadi orang, melainkan masuk kelompok tindak pidana lain yang tersebar dalam beberapa Bab KUHP. Contoh penghinaan terhadap objek khusus tertentu, misalnya “agama”, penghinaan terhadap golongan penduduk, dan penghinaan bendera dan lambang negara yang masuk pada kelompok Kejahatan Ketertiban Umum (Bab V), dll. Dalam hal ini bukan lagi merupakan delik aduan. Sementara penghinaan khusus pada infotainment sebagai objek penghinaan khusus semacam itu, tidak ada dalam UU, KUHP maupun UU ITE. Lagi pula bentuk-bentuk penghinaan Bab XVI buku II KUHP, termasuk penghinaan menurut UU ITE bentuk lex specialisnya adalah merupakan delik aduan. Persolannya jika masuk delik aduan, untuk objek khusus infotainment siapakah yang berhak mengajukan pengaduan? Tidak jelas, bukan? Padahal dalam delik aduan, orang yang berhak mengajukan pengaduan harus jelas (lihat Pasal 72-75 KUHP).

· Kedua, objek penghinaan dalam Bab XVI (tentu berlaku pula bagi bentuk-bentuk penghinaan dalam UU ITE), yaitu: hanya orang pribadi tertentu. Apa artinya hanya subjek hukum “orang” yang memiliki nama baik dan kehormatan, dan tertentu yang artinya orang yang identitasnya jelas. Identitas subjek hukum orang pribadi tertentu adalah, siapa namanya, apa jenis kelaminnya, dimana dan kapan Ia dilahirkan, berapa umurnya, dimana tempat tinggalnya, dll. Jika orang yang menjadi objek jenis-jenis penghinaan itu lebih dari satu, maka identitas-identitas pribadi juga lebih dari satu dan tertentu. Tidak orang pada umumnya. Dari sudut objek penghinaan (termasuk pencemaran), maka sulit kasus Sdri. Luna Maya ini hendak diterapkan UU ITE, demikian juga KUHP.

Andaikata syarat mengenai objek ini terpenuhi, misalnya orang yang bernama Dul Begog yang dikatakan demikian oleh Sdri. Luna Maya, maka masuk ke tindak pidana penghinaan yang mana?, mengingat bentuk-bentuk penghinaan ada 8 macamnya. Yang jelas, tidak mungkin pencemaran, karena pada pencemaran perbuatannya tersebut harus berupa “menuduhkan melakukan perbuatan tertentu (een feit) pada orang tertentu yang membuat pribadi orang tertentu terserang nama baik atau kehormatannya. Tentulah perbuatan menulis dengan tulisan seperti itu tidak atau bukan termasuk menuduhkan orang melakukan suatu perbuatan tertentu. Perbuatan tersebut sesungguhynya merupakan perbuatan yang dilarang dalam penghinaan ringan saja (Pasal 315 KUHP). Disamping itu akan muncul persoalan yang lain lagi. Dalam hal ini akan timbul dua faham yang berbeda/bertentangan, terhadap pertanyaan hukum yang sangat penting, ialah: apakah penghinaan ringan termasuk dalam Pasal 27 Ayat (3) ITE?. Dua pandangan tersebut ialah:

1. Pendapat yang mengatakan bahwa penghinaan ringan tidak termasuk dalam cakupan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Alasannya disebabkan: Pertama, kualifikasi pencemaran disebutkan dalam Pasal 27 Ayat (3) secara tegas. Apabila Pembentuk UU ITE menghendaki penghinaan ringan termasuk di dalamnya, mestinya kualifikasi penghinaan ringan di masukkan pula disamping pencemaran, padahal kenyataannya tidak. Kedua, kualitas penghinaan ringan tidak sama dengan pencemaran, lebih-lebih lagi fitnah. Tidak adil dan diluar logika hukum kualitas dua tindak pidana yang jauh berbeda diberikan acaman dengan pidana yang sama persis.

2. Pendapat yang mengatakan bahwa penghinaan ringan bisa masuk cakupan Pasal 27 Ayat (1) UU ITE, dengan alasan kualifikasi penghinaan dicantumkan dalam rumusan. Sementara arti penghinaan menurut lex generalisnya di dalamnya ada penghinaan ringan. Pendapat ini juga sudah diluar logika dan akal sehat. Disebabkan kualitas (tinggi-rendah/tingkat sifat jahat) pencemaran (apalagi fitnah) sangat berbeda dengan penghinaan ringan. Tidak dibenarkan memberikan ancaman pidana yang sama terhadap dua atau lebih tindak pidana yang tingkat sifat jahatnya (jauh) berbeda.

Singkat kata, rumusan Pasal 27 Ayat (3) menjadi persoalan, yang persoalan ini membuat tidak ada kepastian hukum. Padahal salah satu pengukur adanya keadilan itu, pertama-tama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum harus ditegakkan untuk mencapai keadilan, karena di dalam norma hukum sudah terdapat keadilan dan kemanfaatan di dalamnya.

Untuk jenis-jenis penghinaan selain pencemaran dan penghinaan ringan tidak mungkin masuk dalam kasus semacam kasus Sdri. Luna Maya ini.

KESIMPULAN

Kasus semacam kasus Sdri. Luna Maya bukan termasuk Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Dan bukan juga penghinaan ringan menurut Pasal 315 KUHP, mengingat objek tindak pidananya tidak jelas.

Untuk sementara, sekian.

Malang, 21 Desember 2009.

Jumat, 04 Desember 2009

PENGHINAAN DALAM UU PENYIARAN & UU ITE, APANYA YANG SALAH??

PENGHINAAN DALAM UU PENYIARAN,

DAN UU ITE, APANYA YANG SALAH??

Artikel Online

Drs. Adami Chazawi, S.H (Dosen FH UB)

A. PENGHINAAN MENURUT SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA

Menurut sistem hukum kita di dalam KUHP (berasal dari WvS Belanda) kualifikasi penghinaan dibedakan antara penghinaan (beleediging) umum yang dimuat dalam bab (titel) XVI buku II. Diluar Bab XVI ada pula penghinaan (termasuk penghinaan khusus) yang tersebar dalam pasal-pasal yang masuk pada delik pokoknya yang lain yang dari beleediging, namun tetap ada sifat menyerang harga diri nama baik, namun tidak bersifat pribadi melainkan bersifat komunal.

Objek jenis-jenis penghinaan dalam Bab XVI hanyalah orang, lengkapnya perasaan /harga diri mengenai nama baik dan kehormatan orang pribadi. Ada banyak jenis penghinaan dalam bab XVI, sebagian ada yang diberi kualifikasi dan sebagian tidak. Bentuk penghinaan yang diberi kualifikasi tertentu adalah:

1. “Pencemaran” (smaad), yang kadang disebut dengan penistaan [Pasal 310 ayat (1)].

2. “Pencemaran tertulis” (smaadschrift), ialah bila penghinaan dalam ayat (1) dilakukan dengan cara “tulisan atau gambar” [Pasal 310 ayat (2)],

3. “Fitnah” (laster) [Pasal 311 ayat (1)]

4. “Penghinaan ringan” (eenvoudige beleediging) (Pasal 315).

5. “Pengaduan fitnah” (lasterlijke aanklacht) [Pasal 317 ayat (1)].

6. “Menimbulkan persangkaan palsu” (lasterlijke verdrachtmaking) [Pasal 318 ayat (1)]

Penghinaan selebihnya[1] tidak diberi kualifikasi tertentu. Penghinaan dalam Pasal 320 dan 321 ini dilakukan terhadap orang yang sudah mati, maka dalam praktik sering disebut dengan “penghinaan orang mati”. Penghinaan orang mati, pada dasarnya melarang orang untuk melakukan perbuatan yang kalau orangnya masih hidup dapat merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis terhadap orang itu.

Penghinaan dalam bab XVI diberi kualifikasi-kualifikasi tertentu. Artinya penghinaan adalah suatu nama dari kelompok kejahatan-kejahatan yang menyerang kehormatan dan nama baik orang. Ternyata kualifikasi penghinaan ini, menjadi unsur dalam beberapa kejahatan yang pada dasarnya juga mengenai rasa kehormatan dan nama baik, baik bagi orang yang memiliki kualifikasi khusus, seperti: Kepala Negara atau Wakilnya,[2] maupun bagi lembaga atau badan.[3]

Diluar KUHP, terdapat pula penghinaan khusus. Penghinaan khusus dalam pengertian yang disebut terakhir ini berbeda dengan penghinaan khusus dalam KUHP. Penghinaan khusus dalam KUHP yang tersebar diluar Bab XVI KUHP, yang sifat penghinaannya ditujukan pada harga diri mengenai nama baik dan kehormatan yang bersifat komunal.

Sementara penghinaan khusus di luar KUHP yang kini terdapat dalam perundang-undangan kita, ialah penghinaan khusus dalam UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Berdasarkan azas lex specialis derogat legi generali. Kedua jenis penghinaan khusus ini masih ada hubungannya dengan bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI KUHP.[4] Penghinaan dalam kedua UU ini sifatnya sama dengan penghinaan dalam bab XVI KUHP, dalam arti objek yang dihina adalah perasaan mengenai nama baik dan kehormatan orang perorangan (pribadi), bukan korporasi. Jadi kita tidak mengenal penghinaan diluar KUHP yang ditujukan pada korporasi, misalnya pada Rumah Sakit OMNI sebagaimana IBU PRITA yang dilaporkan oleh RS OMNI. Mestinya, jika terbukti Ibu PRITA hanya dapat dijatuhi putusan pelepasan dari tuntutan hukum.

B. APANYA YANG SALAH

PERTAMA

Penghinaan dalam UU Penyiaran tersebut hanyalah berlaku bagi bentuk fitnah saja. Hal ini dikarenakan kalimat dalam rumusa tindak pidananya hanya menyebutkan satu unsur (frasa) yakni “bersifat fitnah”. Berdasarkan hal tersebut maka penghinaan dalam UU penyiaan tidak termasuk pencemaran, pengaduan fitnah, penghinaan ringan dll. Namun oleh karena dalam fitnah terdapat pencemaran. Untuk terjadinya fitnah harus terlebih dulu terjadi pencemaran, maka pencemaran juga harus ada dalam penghinaan menurut UU Penyiaran. Akan tetapi tidak dapat dipidana apabila hanya semata-mata terjadi pencemaran saja.

KEDUA:

Berbeda halnya dengan penghinaan dalam UU ITE. Dalam rumusan penghinaan menurut UU ITE disebutkan “… muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Maka dapat ditafsir bahwa selain pencemaran dapat terjadi bentuk-bentuk penghinaan lain, ditafsir dari frasa “muatan penghinaan”. Sementara bentuk-bentuk penghinaan lain ditafsir dari frasa “dan/atau”. Namun demikian, terdapat pula kesalahan pembentuk UU dengan hanya mencantumkan frasa pencemaran nama baik. Mengapa? Karena prinsip dalam pencemaran menurut sistem hukum kita, sesungguhnya ada 2 objek deliknya, bukan saja “nama baik”, tetapi juga “kehormatan”. Ada perbedaan substantif antara nama baik dan kehormatan. Mestinya UU ITE cukup menyebutkan satu kata saja, yakni “pencemaran”, tanpa menambah lagi dengan kata “nama baik”. Lalu bagaimana fungsi dan kedudukan “kehormatan”? Seolah-olah objek “kehormatan” sudah dikeluarkan dari pencemaran menurut UU ITE.

KETIGA

Ancaman pidana pada pencemaran menurut KUHP hanya pidana penjara maksimum 9 bulan. Jika dengan tulisan atau gambar yang disebarkan, ditempelkan atau dipertunjukkan diperberat menjadi 1 tahun 4 bulan penjara. Sementara fitnah dengan pidana penjara maksimum 4 tahun. Tetapi pencemaran menurut UU Penyiaran adalah maksimum 5 tahun penjara. Serta menurut UU ITE dengan pidana penjara maksimum 6 tahun. Demikian juga dengan bentuk-bentuk penghinaan lain menurut UU ITE juga diancam maksimum 6 tahun penjara. Nampak sekali bahwa pembentuk UU menetapkan ancaman pidana pada fitnah dalam UU Penyiaran, ancaman pidana pada pencemaran (yang menyamakan dengan bentuk-bentuk penghinaan lainnya) dalam UU ITE agak ngawur, sekedar menuruti selera saja tanpa logika, karena tidak menggunakan/mempertimbangkan:

- Pertama, bahwa antara fitnah dan pencemaran berbeda kualitas kejahatannya/sifat jahatnya. Bahwa fitnah jauh lebih berat dari pada pencemaran. Menurut KUHP (asalnya delik) sifat jahatnya fitnah tersebut adalah 4 (empat) seperempat kali lebih jahat dari pencemaran. Hal ini dapat dilihat dalam lex generalisnya (KUHP), dimana fitnah diancam pidana 4 tahun. Sementara pencemaran dengan pidana penjara 9 bulan saja.

- Kedua, bahwa sifat jahat pencemaran dengan tulisan dan gambar dalam KUHP tidak berbeda dengan pencemaran dalam UU ITE. Pencemaran menurut UU ITE sekedar berbeda medianya saja. Tidak mengandung sifat yang lebih jahat/lebih berat dari pada pencemaran menurut KUHP. Bahkan justru terbalik, bahwa sifat jahat dari penyebarannya dalam UU ITE lebih terbatas dari pada dengan tulisan diatas kertas, seperti dalam majalah-majalah. Disebabkan orang yang dapat mengetahui dan membuka akses melalui media “iternet” jauh lebih terbatas dari pada mengetahui dari tulisan dalam koran atau majalah. Kemudahan untuk mengetahui isi tulisan dalam koran atau majalah atau bentuk media lainnya lebih besar/tinggi dari pada isi tulisan dalam media internet. Seharusnya pencemaran dalam UU ITE tidak seberat dari bentuk standardnya dalam KUHP sebagai lex generalisnya. Berdasarkan pertimbangan/alasan tersebut, mestinya pencemarn dalam UU ITE lebih ringan. Suatu kekeliruan yang tidak disadari oleh pembentuk UU.

Sekarang, untuk mencapai keadilan dalam hal penerapan pidananya, hanya tinggal – berpulang pada para praktisi. Oleh karena itu penulis mengingatkan pada para praktisi terutama pada hakim-hakim, agar mengingat hal tersebut. Dalam kapasitas menjalankan kewenangan hakim dalam hal menjatuhkan berat ringannya pidana, apa yang penulis kemukakan tersebut diatas, agar diingat benar. Demikian juga dengan Polisi dan Jaksa, agar tidak dengan mudahnya menahan orang dengan hanya berpedoman pada ancaman pidana 5 tahun atau lebih pada penghinaan dalam UU Penyiaran dan UU ITE ini. Anda jangan arogan dan main kekuasaan. Anda harus ingat, bahwa ketika hukum itu diterapkan atau hendak diterapkan tidak/bukan hanya melihat normatifnya saja. Namun banyak hal yang harus anda lihat dan perhatikan, misalnya: latar belakang/ratio dibentuknya delik tersebut baik ketika delik dibentuk maupun sekarang ketika norma delik hendak diterapkan, pendapat umum masyarakat, sifat jahat dari perbuatan tersangka / terdakwa, motivasi dan latar belakang pelaku berbuat, situasi dan pengaruh dari luar ketika tersangka/terdakwa berbuat, dll. Anda tidak boleh sak enaknya dan sak kenanya menerapkan hukum dan hukuman. Apalagi jika anda dipesan dan disuap/menerima suap. Dosa besar yang akan anda bawa sampai mengadap Sang Maha Kuasa. Ingat itu !

Jika anda menampakkan dan mempertahankan sifat mau menang sendiri, mau benar sendiri dan arogan akan membuat masyarakat meremehkan pekerjaan dan profesi anda. Sekaligus menjatuhkan kredibilitas dan ngenyek profesi anda. Anda dan jabatan anda tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan masyarakat. Anda pun mendapat gaji dan bayaran dari uang rakyat, dari pajak yang ditanggung rakyat. Anda hidup di masyarakat, bukan hidup dikayangan yang mempunyai nilai nilai sendiri dan menjalankan norma sendiri. Oleh karena itu jangan cederai perasaan keadilan masyarakat. Mohon maaf.

Penulis.



[1] Pasal 320 dan 321 KUHP.

[2] Lihat Pasal 134, 137, 142, 143 KUHP.

[3] Lihat Pasal 154, 155, 207 dan 208 KUHP.

[4] Lihat Pasal 53 UU ITE yang menyatakan bahwa semua Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertentangan dengan UU ini dinyatakan tetap berlaku. Ketentuan yang sama terdapat juga dalam Pasal 60 UU Penyiaran.