Sabtu, 14 Juli 2012

KORUPSI MELALUI KEBIJAKAN PUBLIK

Penulis membaca di suatu situs internet dan berita berjalan (running text) di TVOne yang memberitakan bahwa Presiden SBY mengatakan bahwa “kebijakan tidak bisa dikriminalkan”. Penulis terkejut dan heran, karena: 1. Itu ucapan seorang Presiden, tidak main-main. 2. Penulis meyakini ucapan itu tidak seluruhnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 3. Karena itu penulis yakin dapat menimbulkan polemik di masyarakat. Sepatutnya seorang Presiden tidak menciptakan suatu pelemik di masyarakat. Untuk yang terakhir, ternyata benar. Dianggap ucapan SBY terrsebut dirasa sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini didegung-dengungkan, seperti iklan TOLAK KORUPSI. Gayus Lumbuun, wakil ketua Pansus Hak Angket kasus Bank Century DPR RI, mempertanyakan maksud dari pernyataan Presiden tersebut. Beliau menegaskan bahwa kebijakan bisa diproses secara hukum dan dikriminalkan. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sudah siap untuk untuk memproses apabila kebijakan bailout Bank Century mengarah kepada impeachment. Ia menyatakan bahwa kebijakan pemerintah berupa pengeluaran dana bailout Bank Century bisa berujung impeachment apabila kebijakan tersebut mengandung unsur kriminal seperti korupsi.... Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam acara lounching buku yang berjudul “Korupsi Mengorupsi Indonesia” (kumpulan dari bebagai tulisan dari tokoh dan penggiat anti korupsi mengenai korupsi dan cara pemberatasannya) di Universitas Paramadina tanggal 12 Januari 2010 yl., sangat prihatin dengan korupsi di tingkat kebijakan tersebut. Beliau selanjutnya mengatakan bahwa tindakan korupsi pada tahap kebijakan pemerintah lebih berbahaya dibanding korupsi pada tahap pelaksanaan di lapangan. Bahkan, menurutnya, korupsi yang mengatasnamakan kebijakan itu luar biasa berbahaya karena akibatnya merusak satu generasi. Apa yang disampaikan SBY, kiranya sekedar pendapat pribadinya sendiri. Kiranya ditujukan untuk memengaruhi pendapat umum yang tidak berpihak kepada pembenaran pada kebijakan Menteri Keuangan dan Gubernur BI (ketika itu). Patut diduga satu-satunya tujuan akhirnya ingin menolong kedua pembantunya tersebut. Pernyataan SBY tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. Kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan dengan itikad baik atau tanpa dengan melawan hukum subjektif atau melawan hukum objektif, pastilah tidak dapat dikriminalisasikan. Sebaliknya kebijakan yang dibuat dan dijalankan dengan itikad buruk (melawan hukum subjektif maupun objektif) yang disadarinya membawa dampak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sesungguhnya itulah korupsi. Bahkan korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, tidak ada tandingannya. Karena apa? Sebabnya dari luar tidak nampak korupsi, karena dibalut oleh kebijakan, yang acapkali berbentuk peraturan, keputusan, penetapan dan lain-lain. Namun sesunggunya akibatnya sangat luas, merugikan perekonomian di berbagai sektor dan merugikan keuangan negara. Negara bisa bangkrut dibuatnya. Kita bertanya, apakah kebijakan Bank Century yang demikian itu menguntungkan rakyat, menguntungkan perekonomian nasional, menguntungkan keuangan negara, menguntungkan kepentingan umum? Silakan jawaban sendiri. Menurut hemat penulis, ada 4 (empat) syarat atau unsur dapatnya mengangkat suatu kebijakan publik keranah korupsi. Apa 4 (empat) syarat tersebut? 1. Kebijakan itu dikeluarkan dengan itikad buruk atau melwan hukum. Sejak semula si pejabat (tentunya orang-orang lainnya sekitarnya juga yang ikut terlibat, bawahannya: penyertaan) pembuat kebijakan telah berkehendak atau setidak-tidaknya sadar bahwa kebijakan yang akan diambilnya merupakan kebijakan yang tidak tepat. Masih ada bebarapa alternatif kebijakan yang patut diambil, namun tidak diambilnya. Artinya membuat kebijakan publik itu dari awalnya telah mengandung sifat tercela (melawan hukum). Sifat jahat disini, baik subjektif dan objektif. Sifat melawan hukum subjektif diarahkan pada 4 (empat) aspek, ialah: a. bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan disadarinya merupakan kebijakan yang tidak/kurang tepat, karena ada kebijakan lain yang secara objektif lebih baik dan lebih tepat. b. bahwa kebijakan publik itu dikeluarkan dengan maksud/ tujuan atau kehendak utk menguntungkan/memperkaya sektor tertentu/pihak tertentu (misalnya partai politik, pribadi tertentu, pengusaha tertentu dsb.), dengan mengabaikan kepentingan umum yang dapat dirugikan dari kebijakan tersebut. c. Bahwa kebijakan publik tersebut disadari dapat membawa dampak kerugian keuangan atau perekonomian. d. Disadarinya ada kebijakan publik yang lebih baik dan lebih tepat yang tidak membawa dampak kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, atau jika ada kerugian yang tidak dapat dihindari, namun tidak sebesar jika kebijakan alternatif yang lebih baik tadi dikeluarkan. 2. Terdapatnya/adanya alternatif-alternatif kebijakan yang sesungguhnya lebih baik, yang secara objektif tidak akan berdampak merugikan negara, atau apabila kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak dapat dihindari, namun kerugian tersebut tidak sebesar atau sparah kerugian akibat dari kebijakan publik yang dikeluarkan. Secara ilmiah dapat dibuktikan alternatif kebijakan yang tidak diambil tersebut memang lebih baik dan lebih tepat (melalui kajian-kajian ilmiah dari keterangan para ahli). 3. Ternyata dan terbukti benar bahwa dibalik kebijakan yang diambilnya tersebut ketika dilaksanakan ada pihak-pihak yang diuntungkan atau akan diuntungkan (baik secara ekonomi maupun secara politik), dan sebaliknya kepentingan umum/negara dirugikan atau terabaikan. 4. Untuk selesainya tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 atau 3 UUTPK, kerugian keuangan atau perekonomian negara secara objektif tidak merupakan keharusan sudah timbul. Namun cukuplah bahwa kebijakan publik tersebut dapat atau potensial merugikan keuangan atau perekonomian negara. Jika potenssi dari suatu kebiajakan publik ketika dikeluarkan sudah mengandung potensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka tindak pidana korupsi sesungguhnya sudah terjadi secara sempurna (voltooid) pada saat kebijakan publik tersebut dikeluarkan, sebelum kebijakan itu dilaksanakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan atau 3 UUTPK, tindak pidana korupsi melalui kebijakan publik tersebut, sudah terjadi sempurna ketika kebijakan itu sudah diambil secara sah, Misalnya peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan secara sah atau SK sudah ditandatangani oleh si pejabat. Meskipun belum dijalankan dan belum membawa dampak kerugian keuangan negara secara rieel. Kedua pasal tersebut, merumurkan tindak pidana formil bukan materiil, meskipun dalam praktik jaksa selalu ingin menjadikannya sebagai delik materiil. Karena di dalam praktik JPU selalu membuktikan adanya kerugian negara secara rieel. Tentu saja sikap dan perilaku JPU yang seperti ini salah, dan sikap dan perilaku semcam ini dapat berdampak buruk pada pemberantasan korupsi. Terutama pengungkapan kasus korupsi melalui kebijakan publik. Empat unsur itulah yang harus dibuktikan jika suatu kebijakan akan diproses ke ranah hukum pidana khususnya korupsi. Korupsi kebijakan terdapat dalam prores pembuatannya dan dapat juga dalam proses menjalankannya. Korupsi melalui kebijakan publik sangat berbahaya, dapat membangkrutkan negara dalam satu generasi. Karena kebijakan itu berlangsung lama. Selama tidak dicabut/ditarik atau ditiadakan dengan peraturan perundang-undangan maka selama itu pula kebijakan itu dapat digunakan untuk melakukan korupsi. Jadi korupsi berjangka panjang lha gitu. Apalagi jika perpolitikan menggunakan model atau sistem otoriter seperti jaman Orde Baru yang lalu. Jadi kasus Bank Century, untuk diangkat ke dalam kasus korupsi, penulis menyarankan: 1. Harus diusut oleh KPK, bukan oleh Kejaksaan Agung atau POLRI. Kedua instansi tersebut dikhawatrkan dapat diintervensi Presiden/Pemerintah baik secara langsung maupun diam-diam. 2. Apa yang dicari KPK ialah indikator-2 yang penulis sebutkan di atas tadi. Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, penulis yakin indikator-indikator itu bisa ditemukan, dengan syarat KPK kuat komitmennya utk membongkar kasus tsb, tanpa ambil peduli tekanan-tekanan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak lain, yang pasti ada. Penulis yakin rakyat akan lebih banyak yang mendukung KPK dari pada yang tidak. Kiranya demikian pendapat penulis. Kampus FH UB, 13 Juli 2010