Jumat, 04 Desember 2009

PENGHINAAN DALAM UU PENYIARAN & UU ITE, APANYA YANG SALAH??

PENGHINAAN DALAM UU PENYIARAN,

DAN UU ITE, APANYA YANG SALAH??

Artikel Online

Drs. Adami Chazawi, S.H (Dosen FH UB)

A. PENGHINAAN MENURUT SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA

Menurut sistem hukum kita di dalam KUHP (berasal dari WvS Belanda) kualifikasi penghinaan dibedakan antara penghinaan (beleediging) umum yang dimuat dalam bab (titel) XVI buku II. Diluar Bab XVI ada pula penghinaan (termasuk penghinaan khusus) yang tersebar dalam pasal-pasal yang masuk pada delik pokoknya yang lain yang dari beleediging, namun tetap ada sifat menyerang harga diri nama baik, namun tidak bersifat pribadi melainkan bersifat komunal.

Objek jenis-jenis penghinaan dalam Bab XVI hanyalah orang, lengkapnya perasaan /harga diri mengenai nama baik dan kehormatan orang pribadi. Ada banyak jenis penghinaan dalam bab XVI, sebagian ada yang diberi kualifikasi dan sebagian tidak. Bentuk penghinaan yang diberi kualifikasi tertentu adalah:

1. “Pencemaran” (smaad), yang kadang disebut dengan penistaan [Pasal 310 ayat (1)].

2. “Pencemaran tertulis” (smaadschrift), ialah bila penghinaan dalam ayat (1) dilakukan dengan cara “tulisan atau gambar” [Pasal 310 ayat (2)],

3. “Fitnah” (laster) [Pasal 311 ayat (1)]

4. “Penghinaan ringan” (eenvoudige beleediging) (Pasal 315).

5. “Pengaduan fitnah” (lasterlijke aanklacht) [Pasal 317 ayat (1)].

6. “Menimbulkan persangkaan palsu” (lasterlijke verdrachtmaking) [Pasal 318 ayat (1)]

Penghinaan selebihnya[1] tidak diberi kualifikasi tertentu. Penghinaan dalam Pasal 320 dan 321 ini dilakukan terhadap orang yang sudah mati, maka dalam praktik sering disebut dengan “penghinaan orang mati”. Penghinaan orang mati, pada dasarnya melarang orang untuk melakukan perbuatan yang kalau orangnya masih hidup dapat merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis terhadap orang itu.

Penghinaan dalam bab XVI diberi kualifikasi-kualifikasi tertentu. Artinya penghinaan adalah suatu nama dari kelompok kejahatan-kejahatan yang menyerang kehormatan dan nama baik orang. Ternyata kualifikasi penghinaan ini, menjadi unsur dalam beberapa kejahatan yang pada dasarnya juga mengenai rasa kehormatan dan nama baik, baik bagi orang yang memiliki kualifikasi khusus, seperti: Kepala Negara atau Wakilnya,[2] maupun bagi lembaga atau badan.[3]

Diluar KUHP, terdapat pula penghinaan khusus. Penghinaan khusus dalam pengertian yang disebut terakhir ini berbeda dengan penghinaan khusus dalam KUHP. Penghinaan khusus dalam KUHP yang tersebar diluar Bab XVI KUHP, yang sifat penghinaannya ditujukan pada harga diri mengenai nama baik dan kehormatan yang bersifat komunal.

Sementara penghinaan khusus di luar KUHP yang kini terdapat dalam perundang-undangan kita, ialah penghinaan khusus dalam UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Berdasarkan azas lex specialis derogat legi generali. Kedua jenis penghinaan khusus ini masih ada hubungannya dengan bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI KUHP.[4] Penghinaan dalam kedua UU ini sifatnya sama dengan penghinaan dalam bab XVI KUHP, dalam arti objek yang dihina adalah perasaan mengenai nama baik dan kehormatan orang perorangan (pribadi), bukan korporasi. Jadi kita tidak mengenal penghinaan diluar KUHP yang ditujukan pada korporasi, misalnya pada Rumah Sakit OMNI sebagaimana IBU PRITA yang dilaporkan oleh RS OMNI. Mestinya, jika terbukti Ibu PRITA hanya dapat dijatuhi putusan pelepasan dari tuntutan hukum.

B. APANYA YANG SALAH

PERTAMA

Penghinaan dalam UU Penyiaran tersebut hanyalah berlaku bagi bentuk fitnah saja. Hal ini dikarenakan kalimat dalam rumusa tindak pidananya hanya menyebutkan satu unsur (frasa) yakni “bersifat fitnah”. Berdasarkan hal tersebut maka penghinaan dalam UU penyiaan tidak termasuk pencemaran, pengaduan fitnah, penghinaan ringan dll. Namun oleh karena dalam fitnah terdapat pencemaran. Untuk terjadinya fitnah harus terlebih dulu terjadi pencemaran, maka pencemaran juga harus ada dalam penghinaan menurut UU Penyiaran. Akan tetapi tidak dapat dipidana apabila hanya semata-mata terjadi pencemaran saja.

KEDUA:

Berbeda halnya dengan penghinaan dalam UU ITE. Dalam rumusan penghinaan menurut UU ITE disebutkan “… muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Maka dapat ditafsir bahwa selain pencemaran dapat terjadi bentuk-bentuk penghinaan lain, ditafsir dari frasa “muatan penghinaan”. Sementara bentuk-bentuk penghinaan lain ditafsir dari frasa “dan/atau”. Namun demikian, terdapat pula kesalahan pembentuk UU dengan hanya mencantumkan frasa pencemaran nama baik. Mengapa? Karena prinsip dalam pencemaran menurut sistem hukum kita, sesungguhnya ada 2 objek deliknya, bukan saja “nama baik”, tetapi juga “kehormatan”. Ada perbedaan substantif antara nama baik dan kehormatan. Mestinya UU ITE cukup menyebutkan satu kata saja, yakni “pencemaran”, tanpa menambah lagi dengan kata “nama baik”. Lalu bagaimana fungsi dan kedudukan “kehormatan”? Seolah-olah objek “kehormatan” sudah dikeluarkan dari pencemaran menurut UU ITE.

KETIGA

Ancaman pidana pada pencemaran menurut KUHP hanya pidana penjara maksimum 9 bulan. Jika dengan tulisan atau gambar yang disebarkan, ditempelkan atau dipertunjukkan diperberat menjadi 1 tahun 4 bulan penjara. Sementara fitnah dengan pidana penjara maksimum 4 tahun. Tetapi pencemaran menurut UU Penyiaran adalah maksimum 5 tahun penjara. Serta menurut UU ITE dengan pidana penjara maksimum 6 tahun. Demikian juga dengan bentuk-bentuk penghinaan lain menurut UU ITE juga diancam maksimum 6 tahun penjara. Nampak sekali bahwa pembentuk UU menetapkan ancaman pidana pada fitnah dalam UU Penyiaran, ancaman pidana pada pencemaran (yang menyamakan dengan bentuk-bentuk penghinaan lainnya) dalam UU ITE agak ngawur, sekedar menuruti selera saja tanpa logika, karena tidak menggunakan/mempertimbangkan:

- Pertama, bahwa antara fitnah dan pencemaran berbeda kualitas kejahatannya/sifat jahatnya. Bahwa fitnah jauh lebih berat dari pada pencemaran. Menurut KUHP (asalnya delik) sifat jahatnya fitnah tersebut adalah 4 (empat) seperempat kali lebih jahat dari pencemaran. Hal ini dapat dilihat dalam lex generalisnya (KUHP), dimana fitnah diancam pidana 4 tahun. Sementara pencemaran dengan pidana penjara 9 bulan saja.

- Kedua, bahwa sifat jahat pencemaran dengan tulisan dan gambar dalam KUHP tidak berbeda dengan pencemaran dalam UU ITE. Pencemaran menurut UU ITE sekedar berbeda medianya saja. Tidak mengandung sifat yang lebih jahat/lebih berat dari pada pencemaran menurut KUHP. Bahkan justru terbalik, bahwa sifat jahat dari penyebarannya dalam UU ITE lebih terbatas dari pada dengan tulisan diatas kertas, seperti dalam majalah-majalah. Disebabkan orang yang dapat mengetahui dan membuka akses melalui media “iternet” jauh lebih terbatas dari pada mengetahui dari tulisan dalam koran atau majalah. Kemudahan untuk mengetahui isi tulisan dalam koran atau majalah atau bentuk media lainnya lebih besar/tinggi dari pada isi tulisan dalam media internet. Seharusnya pencemaran dalam UU ITE tidak seberat dari bentuk standardnya dalam KUHP sebagai lex generalisnya. Berdasarkan pertimbangan/alasan tersebut, mestinya pencemarn dalam UU ITE lebih ringan. Suatu kekeliruan yang tidak disadari oleh pembentuk UU.

Sekarang, untuk mencapai keadilan dalam hal penerapan pidananya, hanya tinggal – berpulang pada para praktisi. Oleh karena itu penulis mengingatkan pada para praktisi terutama pada hakim-hakim, agar mengingat hal tersebut. Dalam kapasitas menjalankan kewenangan hakim dalam hal menjatuhkan berat ringannya pidana, apa yang penulis kemukakan tersebut diatas, agar diingat benar. Demikian juga dengan Polisi dan Jaksa, agar tidak dengan mudahnya menahan orang dengan hanya berpedoman pada ancaman pidana 5 tahun atau lebih pada penghinaan dalam UU Penyiaran dan UU ITE ini. Anda jangan arogan dan main kekuasaan. Anda harus ingat, bahwa ketika hukum itu diterapkan atau hendak diterapkan tidak/bukan hanya melihat normatifnya saja. Namun banyak hal yang harus anda lihat dan perhatikan, misalnya: latar belakang/ratio dibentuknya delik tersebut baik ketika delik dibentuk maupun sekarang ketika norma delik hendak diterapkan, pendapat umum masyarakat, sifat jahat dari perbuatan tersangka / terdakwa, motivasi dan latar belakang pelaku berbuat, situasi dan pengaruh dari luar ketika tersangka/terdakwa berbuat, dll. Anda tidak boleh sak enaknya dan sak kenanya menerapkan hukum dan hukuman. Apalagi jika anda dipesan dan disuap/menerima suap. Dosa besar yang akan anda bawa sampai mengadap Sang Maha Kuasa. Ingat itu !

Jika anda menampakkan dan mempertahankan sifat mau menang sendiri, mau benar sendiri dan arogan akan membuat masyarakat meremehkan pekerjaan dan profesi anda. Sekaligus menjatuhkan kredibilitas dan ngenyek profesi anda. Anda dan jabatan anda tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan masyarakat. Anda pun mendapat gaji dan bayaran dari uang rakyat, dari pajak yang ditanggung rakyat. Anda hidup di masyarakat, bukan hidup dikayangan yang mempunyai nilai nilai sendiri dan menjalankan norma sendiri. Oleh karena itu jangan cederai perasaan keadilan masyarakat. Mohon maaf.

Penulis.



[1] Pasal 320 dan 321 KUHP.

[2] Lihat Pasal 134, 137, 142, 143 KUHP.

[3] Lihat Pasal 154, 155, 207 dan 208 KUHP.

[4] Lihat Pasal 53 UU ITE yang menyatakan bahwa semua Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertentangan dengan UU ini dinyatakan tetap berlaku. Ketentuan yang sama terdapat juga dalam Pasal 60 UU Penyiaran.