Sabtu, 01 Agustus 2009

SIFAT MELAWAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

SIFAT MELAWAN HUKUM PERBUATAN
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


ABSTRACT:
Meskipun berbeda, namun sifat melawan hukum perbuatan tidak dapat dipisahkan dengan perbuatan dalam tindak pidana, yang juga tidak dapat dipisahkan dengan tindak pidana sebagai kompleksitas unsur-unsur. Tindak pidana adalah kompleksitas dari berbagai unsur yang tersusun teratur dalam satu kalimat Undang-undang. Sifat melawan hukum selalu melekat pada perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana.
Sifat melawan hukum perbuatan tidaklah sama artinya dengan perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana, begitu juga hal yang lain dengan tindak pidana. Azas legalitas ditujukan pada perbuatan, konkritnya perbuatan yang bukan merupakan bagian/unsur dari tindak pidana menurut UU, agar perbuatan yang bukan merupakan bagian dari kompleksitas unsur-unsur tersebut tidak dipidana. Larangan menjatuhkan pidana hanyalah pada perbuatan yang tidak merupakan bagian dari suatu tindak pidana yang dirumuskan Undang-undang. Tetapi azas legalitas tidak ditujukan pada “penyebab” atau apa sebabnya perbuatan yang dilarang tersebut mengandung sifat tercela.
Oleh karena itu, dalam kerangka penerapan tindak pidana pada kasus konkrit, sifat melawan hukum perbuatan dari apa yang dilakukan terdakwa yang sesuai dengan perbuatan yang disebutkan dalam rumusan tindak pidana, tidak semata-mata dicari sumber atau sebabnya dalam ketentuan tertulis, agar tidak melawan azas legalitas. Namun dapat juga mencari dan mengukurnya dari rasa keadilan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang berlaku umum.
KATA KUNCI: Sifat melawan hukum, Perbuatan, dan Tindak pidana.


A. PENDAHULUAN

Setiap tindak pidana yang dibentuk dengan dirumuskan dalam UU mengandung sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Meskipun sekitar 10 % saja tindak pidana dalam KUHP yang mencantumkan melawan hukum sebagai unsur.[1] Mengenai hal itu tidak terdapat perbedaan pandangan. MvT WvS Belanda menjelaskan tentang keadaan itu dengan mengatakan bahwa dengan mencantumkan melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, agar orang yang melakukan perbuatan yang ia sebenarnya berhak untuk itu tidak terancam pidana. [2] Praktik di Indonesia juga mengikuti pandangan MvT tersebut.[3]
Meskipun sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak tindak pidana. Hanya perlu dibuktikan jika sifat tercela tersebut dicantumkan dalam rumusan. Hal ini wajar, karena prinsip pembuktian untuk menjatuhkan pidana adalah hanya terhadap unsur yang dicantumkan saja. Kecuali pembuktian untuk tidak menjatuhkan pidana, maka adakalanya diperlukan untuk membuktikan sebaliknya, ialah - tidak adanya sifat melawan hukum perbuatan atau tidak ada kesalahan pada diri terdakwa. Dua hal yang disebutkan terakhir ini bersumber pada praktik diterapkannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dan tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).[4]
Sifat melawan hukum perbuatan dalam korupsi oleh para praktisi terutama para Jaksa menjadi masalah dalam praktik dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-III/2006 tanggal 25 Juli 2006. Pada dua diantara lima amar putusan MK tersebut menyatakan bahwa:
~ “Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
~ Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Putusan MK ini dinilai oleh banyak pihak terutama para Jaksa dianggap suatu kemunduran, dan dapat menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Benarkah?
B. PEMBUKTIAN SIFAT MELAWAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
Meskipun dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 setidak-tidaknya ada 44 rumusan tindak pidana korupsi, namun hanya empat saja yang mencantumkan unsur sifat melawan hukum perbuatan, ialah Pasal 2, 12e, 23 jo 429 KUHP dan 23 jo 430 KUHP. Sementara Pasal 3 terdapat unsur melawan hukum yang menyatu pada unsur perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana. Frasa menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana, sesungguhnya adalah kata lain dari melawan hukum. Si pembuat tidak mempunyai hak untuk menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada dirinya karena kedudukan atau jabatan. Hanya saja berdasarkan struktur rumusan tindak pidana, frasa menyalahgunakan kewenangan tersebut berkedudukan sebagai unsur tingkah laku/perbuatan. Untuk Pasal 3 tidak perlu dibuktikan secara khusus unsur sifat melawan hukum perbuatan, tetapi yang harus dibuktikan adalah adanya wujud perbuatan meyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana. Dengan terbuktinya salah satu diantara tiga wujud perbuatan tersebut, maka harus dianggap sifat melawan hukum perbuatan telah terbukti pula.
Demikian juga Pasal 23 jo 421 KUHP, yang dalam rumusan tindak pidana mengandung sifat melawan hukum secara tersirat yang menyatu dengan unsur perbuatan menyalahgunakan kekuasaan. Dalam setiap perbuatan menyalahgunakan kekuasaan selalu mengandung sifat melawan hukum. Membuktikan telah terjadinya perbuatan menyalahgunakan kekuasaan sama artinya membuktikan adanya sifat melawan hukum dalam mewujudkan bentuk konkrit dari perbuatan tersebut. Si pembuat tidaklah mempunyai hak (melawan hukum) untuk menyalahgunakan kekuasaannya.
Sama juga dengan Pasal 23 jo 421 KUHP, Pasal 23 jo 429 KUHP maupun Pasal 23 jo 430 KUHP tidak menggunakan frasa melawan hukum untuk menggambarkan sifat melawan hukumnya perbuatan. Frasa menyalagunakan kekuasaan (Pasal 421 KUHP), atau melampaui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-cara yang diyentukan peraturan umum (Pasal 429 KUHP), atau melampaui kekuasaannya, istilah-istilah tersebut menggambarkan sifat tercela atau melawan hukum perbuatan. Hanya Pasal 2 dan 12 e menggunakan frasa melwan hukum. Meskipun menggunakan frasa yang berbeda, - semuanya menggambarkan sifat tercelanya perbuatan. Tetapi mempunyai sisi yang berbeda dalam hal pembuktian. Uraian pembuktian dalam surat tuntutan mengenai unsur melawan hukum yang tercantum dalam rumusan tadi tidak harus dicari landasannya pada hukum tertulis saja. Tetapi dengan akal budi dan ketajaman logika analisis seorang jaksa, dapat mencari diluar ketentuan tertulis. Dapat dikatakan lebih mendekati pengertian sifat melawan hukum dalam perbuatan melawan hukum perdata (Pasal 1365 BW). Pengertian perbuatan melawan hukum perdata, telah terbukti dipergunakan pula dalam praktik hukum pidana.
Putusan MK No. 003/PUU-III/2006 tanggal 25 Juli 2006 hanya terhadap berlakunya sifat melawan hukum materiil positif dalam Pasal 2 saja. Oleh sebab Pasal 2 inilah yang oleh penjelasannya dikatakan berlakuknya sifat melwan hukum materiil dalam fungsinya positif. Cakupan pasal 2 sangat luas disebabkan dari perbuatan memperkaya diri yang sangatlah luas dan abstrak. Batasan cakupan itu terletak hanya karena dicantumkannya unsur melawan hukum di dalam rumusan. Juga kata “dapat” dalam frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara, membuat kesulitan tersendiri dalam pembuktian. Dimana jaksa harus menganalisis tentang adanya kemungkinan atau potensial perbuatan memperkaya si pembuat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Karena kesulitan itu, menjadi penyebab dalam praktik hukum, jaksa selalu mencari kerugian nyata.
Membuktikan unsur sifat melawan hukum pada Pasal 2 UUTPK, dimulai dengan mengungkap fakta-fakta oleh jaksa mengenai berbagai ketentuan tertulis yang telah dilanggar terdakwa, kemudian dibahas / dianalisis dalam requisitoir.
Terlalu fokus dalam mencari sumber tertulis, jika tidak berhati-hati dapat terjebak pada persoalan kesalahan administrasi atau kesalahan prosedur semata. Walaupun tidak berarti kesalahan prosedur atau kesalahan adminsirtrasi adalah bukan korupsi. Sebetulnya tidaklah salah jaksa mulai membuktikan sifat melawan hukum dengan mencari kesalahan administrasi, karena kesalahan administrasi adalah tempat - letak sifat melawan hukumnya perbuatan dari sudut formil atau melawan hukum formil dalam korupsi. Namun tidak cukup, karena salah administrasi perlu dihubungkan dengan kesalahan (ic kesengajaan) dan (dapat) membawa kerugian negara.
Dalam hubungannya dengan unsur kesalahan pembuat dan (dapat) ataukah tidak merugikan negara, maka ada 4 bentuk kesalahan adminisrtrasi, ialah:
1. Kesalahan administrasi murni. Pembuat khilaf (culpoos) – tidak menyadari apa yang diperbuatnya bertentangan dengan ketentuan yang ada mengenai prosedur atau tatalaksana suatu pekerjaan tertentu, dan tidak (dapat) membawa kerugian negara. Disini tidak ada korupsi. Pengembalian atau pembetulan kesalahan dapat dilakukan secara administratif pula. Misalnya dengan mencabut, membatalkan atau melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya.
2. Si pembuat juga khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu, yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara, misalnya nilai uang tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum menurut hukum perdata (Pasal 1365 BW), bukan korupsi. Pada si pembuat diwajibkan untuk mengganti kerugian. Korupsi Pasal 2 bukan bentuk tindak pidana culpoos, melainkan tindak pidana dolus, walaupun unsur kesengajaan tidak dicantumkan. Setiap rumusan tindak pidana yang tidak secara tegas mencantumkan unsur culpoos adalah tindak pidana dolus. Kesengajaan melekat secara terselubung (tersirat) di dalam unsur perbuatannya. Seperti Pasal 2, kesengajaan si pembuat tersirat di dalam perbuatan memperkaya. Perbuatan itu dipastikan dikehendaki si pembuat.
3. Ketiga, si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan adminsitratif tertentu, namun tidak (dapat) membawa dampak kerugian kepentingan hukum negara. Kesalahan semacam ini masih di teloransi sebagai kesalahan adminsitratif. Sanksi administratitif dapat dijatuhkan pada si pembuat. Tetapi bukan sanksi pidana. Kejadian ini bukan tindak pidana korupsi.
4. Keempat, si pembuat sadar dan mengerti bahwa pekerjaan administratif tertentu menyalahi aturan – dilakukannya juga, yang karena itu (dapat) membawa kerugian negara. Dalam hal ini masuk pada persoalan korupsi. Meskipun kesengajaan tidak penting dibuktikan, karena tidak dirumuskan. Namun dengan terbuktinya wujud perbuatan memperkaya diri, maka kesengajaan (kehendak dan pengetahuan) dianggap terbukti pula.
Jadi diantara 4 macam kesalahan administrasi, hanya satu saja yang merupakan korupsi, yaitu yang keempat. Pembuktian sifat melwan hukum jaksa, ialah diusahakan kesalahan administrasi tersebut bersumber pada peraturan tertulis. Biasanya memang kesalahan administrasi adalah kesalahan dari aturan yang tertulis. Jika tidak ditemukan sumber tertulis, akal budi dan kecerdasan jaksa diperlukan untuk melakukan analisis pembuktian dengan mencari diluar hukum tertulis. Mencari diluar kesalahan administrasi. Melawan hukum korupsi tidak semata-mata dan tidak sama pengertiannya dengan kesalahan administrasi.
Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibuktikan, tidaklah sama bagi setiap tindak pidana, bergantung dari redaksi rumusan tindak pidana yang bersangkutan dan paham yang dianut. Dimana ada perbedaan pandangan antara yang objektif dan yang subyektif. Dari sisi rumusannya sifat melawan hukum Pasal 2 adalah objektif.
Persoalan pembuktian sifat melawan hukum Pasal 2 dari sudut objektif, ialah bagaimana jika jaksa tidak menemukan sumber tertulis?. Tentu tidak mungkin Jaksa dengan begitu mudah menuntut babas. Jaksa boleh memberikan analisis hukum bahwa sifat tercelanya perbuatan memperkaya terdakwa bertentangan dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat sebagaimana penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK, yang sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK. Apakah upaya demikian tidak bertentangan dengan putusan MK tersebut? Bergantung pada bagaimana cara kita memandang dan menafsirkan sifat tercela dari sisi materiil positif tersebut.
Menurut hemat penulis, kiranya ada 2 (dua) cara dalam melihat sifat melawan hukum materiil positif. Pertama cara umum, yaitu cara yang tidak menghubungkannya dengan pembuktian tindak pidana. Cara memandang sifat melawan hukum materiil positif inilah sering dihubungkan dengan azas legalitas. Seolah-olah setiap sifat melawan hukum materiil positif yang terkandung dalam perbuatan sama artinya dengan tindak pidana (berdasarkan ukuran) materiil positif. Pandangan yang pada dasarnya menolak sifat melawan hukum materiil positif dalam hukum pidana, termasuk disini. Kiranya perlu dibedakan antara pengertian tindak pidana dengan sifat tercelanya perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Tindak pidana harus ditentukan melalui UU, tetapi sifat tercelanya perbuatan yang menjadi unsur suatu tindak pidana tidak mutlak harus bersumber pada hukum UU.
Sebaliknya secara khusus, adalah membicarakan unsur tersebut dalam rangka pembuktian unsur melawan hukum yang dirumuskan dalam tindak pidana. Pembuktian sifat melawan hukum sebagai unsur tindak pidana, tidak bisa dipisahkan dengan bagaimana kenyataan unsur melawan hukum dirumuskan sebagai bagian dari kompleksitas unsur-unsur tindak pidana. Begitu pula harus diberi arti apa, tidak bisa dipisahkan dengan kompleksitas unsur-unsur tindak pidananya. Pandangan mengenai unsur melawan hukum materiil positif harus tetap dilihat dalam kerangka rumusan tindak pidananya. Oleh sebab itu dalam hubungannya dengan pembuktian, unsur melawan hukum bukan unsur mutlak. Pandangan dari sisi yang demikian ini tidak perlu dihubung-hubungkan dengan asas legalitas. Bahwa sifat melawan hukum materiil positif dari suatu unsur perbuatan dalam tindak pidana tertentu tidak sama artinya dengan tindak pidana (sudut) materiil positif, ialah kejahatan dari sudut sosial yang perlu dicegah dengan mempidana pembuatnya.
Contoh melawan hukum pada penipuan (Pasal 378 KUHP). Kita mendapat kesukaran, apabila hendak mencari ketentuan tertulis sebagai sumber sifat melawan hukum yang terkandung dalam maksud menguntungkan diri si penipu dengan melawan hukum, artinya penipu tidaklah berhak untuk mendapatkan keuntungan dari perbuatan mengggerakkan agar orang menyerahkan benda tertentu. Amatlah sulit mencari dasar tertulis adanya kesadaran penipu bahwa ia tidak berhak mendapatkan keuntungan dari perbuatan menggerakkan misalnya dengan mengatakan dirinya adalah pemilik benda yang dijualnya padahal bukan pemilik (menggunakan kedudukan palsu). Ketentuan yang menyatakan tercelanya perbuatan bukan pemilik yang mengaku sebagai pemilik hanyalah di dapat dalam kesadaran hukum masyarakat, bukan pada bahan-bahan tulisan. Jika tidak ditemukan ketentuan tertulis, tentu harus melihat pada rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakatlah yang akan mengatakan bahwa maksud menguntungkan diri sendiri dengan mengaku sebagai pemilik dan menjual barang milik orang lain tanpa kehendaknya adalah sebagai tercela. Berarti disini kita melihatnya dari sudut materiil positif. Tidak lagi formil positif.
Pengertian sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam suatu unsur tindak pidana pada dasarnya tidaklah berbeda jauh dengan isi sifat melawan hukum dalam perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad Pasal 1365 BW) setelah arrest Hoge Raad mengenai Cohen lawan Lindenboum tanggal 31 Januari 1919. Vos menurut Moeljatno menganut pendirian melawan hukum materiil, memformulir perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak diperbolehkan. Formulering ini dipengaruhi oleh pendapat HR dalam Lindenbaum Cohen Arrest tersebut.[5]) Moeljatno juga berpendirian yang sama, dan mengatakan, bahwa kiranya tidaklah mungkin selain dari pada mengikuti ajaran yang materiil. Sebab bagi orang Indonesia belum pernah ada saat bahwa hukum dan Undang-Undang dipandang sama.[6]) Komariah Emong Sapardjaja menyatakan bahwa “pada awalnya masalah kepatutan tidak boleh diterapkan di pidana. Namun ketika hukum perdata memasukkan perbuatan tidak patut sebagai unsur melawan hukum, pakar hukum pidana Belanda mengatakan bahwa melawan hukum bidang pidana tidak berbeda lagi dengan bidang hukum perdata seperti termuat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Berarti perbuatan tidak patut itu juga diadopsi di bidang hukum pidana”[7]).
Jadi sifat melawan hukum sebagai unsur tindak pidana tidak semata-mata harus diartikan bertentangan dengan hukum tertulis saja, tapi juga bisa bertentangan dengan haknya sendiri atau hak orang lain. Vos mengemukakan pandangannya tersebut, dengan mengemukan contoh putusan HR (28 Juli 1911) dalam hal penipuan yang pertimbangan hukumnya, ialah “sifat menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum dalam penipuan karena si pembuat tidak mempunyai hak atas keuntungan tersebut”.[8]) Pandangan demikian adalah pandangan dalam hubungannya dengan pembuktian unsur melawan hukum pada penipuan. Pandangan ini sejalan dengan pengertian perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata. Mencari sifat tercelanya perbuatan tersebut di luar ketentuan UU, ialah rasa keadilan dan kepatutan masyarakat. Unsur sifat melawan hukum tidak sama artinya dengan unsur perbuatan. Dua hal yang berbeda, meskipun tidak dapat dipisahkan. Tindak pidana mengandung unsur perbuatan, yang memang benar terikat pada azas legalitas. Tetapi sifat tercela dalam perbuatan yang dirumuskan dalam tindak pidana tidak mungkin dapat dicari pijakannya dalam ketentuan tertulis secara memuaskan.
Pandangan luas tentang sifat melwan hukum seperti tersebut diatas, sesuai dengan MA dalam perkara Prof. DR. Nazaruddin Sjamsudin, yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan al. (dengan adanya putusan MK tersebut) “menyebabkan unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) menjadi tidak jelas rumusannya”. Oleh karena itu berdasarkan doktrin “Sens-Clair” (la doctrine du senclair) dan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 Mahkamah Agung harus melakukan penemuan hukum.[9]). Apa yang dimaksud MA dengan melakukan penemuan hukum tersebut adalah pendiriannya bahwa “unsur sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil dan perbuatan melawan hukum materiil maupun dalam fungsi positif dan negatif”[10]) Artinya Mahkamah Agung tidak mengikuti dan menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Dengan demikian, dalam membuktikan sifat melawan hukum dari perbuatan memperkaya Pasal 2 UUTPK, tidak boleh diartikan hendak mempidana perbuatan lain yang menurut masyarakat patut dipidana yang tidak dirumuskan dalam UU. Melainkan harus diartikan bahwa dalam wujut tertentu perbuatan memperkaya mengandung sifat celaan menurut masyarakat. Seperti perbuatan pegawai negeri yang karena uang negara sejumlah tertentu belum saatnya dipergunakan, mendepositokan uang itu atas nama pribadinya. Dalam perbuatan konkrit mendepositokan mengandung sifat celaan masyarakat, yang terletak pada atas nama pribadinya.
C. KESIMPULAN
~ Sifat melawan hukum perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana hanya perlu dibuktikan apabila dicantumkan sebagai unsur dalam rumusan. Pembuktiannya dengan cara membuat analisis hukum mengenai pengertiannya yang tidak dapat dipisahkan dengan perbuatan konkrit si pembuat.
~ Membuktikan adanya sifat melawan hukum perbuatan dari suatu tindak pidana dapat di cari pada dilanggarnya ketentuan tertulis dengan wujud perbuatan yang sama seperti yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, atau mencari sifat dicelanya wujud perbuatan berdasarkan nilai-nilai kepatutan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
~ Mencari sifat tercela dari wujud perbuatan (bagian kompleksitas unsur-unsur tindak pidana) pada nilai dan rasa keadilan masyarakat tidak sama artinya dengan hendak mempidana suatu perbuatan yang tidak dirumuskan sebagai tindak pidana tertentu.
~ Sifat melawan hukum materiil positif yang terkandung dalam unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana tertentu tidak sama artinya dengan tindak pidana dari sudut materiil positif.
~ Pandangan sifat melawan hukum materiil positif dalam kerangka pembuktian tidak perlu dibayang-bayangi ketakutan terhadap pelanggaran asas legalitas. Karena dalam hal pembuktian sifat melawan hukum sebagai unsur tindak pidana tidak perlu dihubungkan dengan kehendak untuk mempidana perbuatan yang patut dipidana menurut masyarakat yang tidak ada dalam UU.
-----------------------

[1] H.J van Schravendijk, 1955. Buku Pelajaran Tentang Hukuim Pidana Indonesia, J.B Wolters, Jakarta – Gronigen, hal 157.
[2] Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. …..
[3] Lihat al. putusan MA tanggal 30-7-1982 No. 680K/Pid/1982.
[4] Lihat arrest Hoge Raad tanggal 14-2-1916 dalam perkara melepaskan dari tuntutan hukum terdakwa yang nyata-nyata terbukti mengirim susu yang tidak diketahuinya telah dicampur dengan air oleh majikannya. Tidak diketahuinya tersebut adalah merupakan keadaan tidak terbukti unsur kesalahan pada diri terdakwa.
[5] ) Moeljatno, Azas-azaas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 131.
[6] ) Ibid.
[7]) Guse Prayudi, 2007. Sifat Melwan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Dalam Varia Peradilan No. 254, Januari 2007, hal. 36.
[8] ) Roeslan Saleh, 1962.Sifat Melawan Hukum dari pada Perbuatan Pidana, Penerbit Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Jogjakarta, hal. 24.
[9] ) Putusan Nomor 995K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 dalam Perkara Terdakwa Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, hal. 176.
[10] ) Ibid., hal. 177.