Kamis, 31 Maret 2011

TANGGAPAN BUKU LEMBAGA PK

TANGGAPAN BERBAGAI PIHAK TERHADAP BUKU “LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI (PK) PERKARA PIDANA PENEGAKAN HUKUM DALAM PENYIMPANGAN PRAKTIK & PERADILAN SESAT” OLEH ” Drs. H. ADAMI CHAZAWI, S.H ------------------------------------------------------------------------ ----------------------------------------------------------------------- PERTAMA: TANGGAPAN PROF. DR. MULADI, SH PADA ACARA PELUNCURAN BUKU PROF. DR. MULADI, S.H. Buku Sdr. H. Adami Chazawi di atas pada dasarnya memuat dua hal penting, yang oleh penulis dikategorikan sebagai tragedi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Dua hal tersebut adalah sebagai berikut. a. Adanya peradilan sesat (miscarriage of justice) yang menyangkut pemidanaan orang yang tidak bersalah; b. PK oleh Jaksa yang sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legislated envionment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana. Saya sangat setuju substansi buku ini ditulis dan disebarluaskan, karena menurut Penulis merupakan kritik terhadap dilanggarnya prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intelectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran (truth) dan bukan melakukan pembenaran (justification). Secara jujur sebenarnya harus diakui bahwa sekalipun KUHAP diundangkan pada tahun 1981 (UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 – 76) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis (Orde Baru), namun banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang menggambarkan “due processs of law” dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya yang didasarkan atas atmosfir colonial seperti HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement (S.1941-44). Sistem Inkuisitur yang sangat tidak adil banyak dipengaruhi dengan hal-hal yang positif, sehingga sistem KUHAP banyak yang menyebutnya “gematige inquisitoir”, yang mulai memperbaiki hak-hak tersangka, seperti pengaturan tentang pra peradilan, kewajiban pendampingan oleh penasehat hukum dan sebagainya. Namun disana sini masih terjadi praktik-praktik pelanggaran hak-hak tersangka karena ada peluang untuk menafsirkan lain. Di era demokratisasi yang dicanangkan sejak tahun 1998 melalui gerakan reformasi, nantinya tidak boleh lagi ada peluang untuk terjadinya “miscarriage of justice”, “malpractice of law” dalam bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum acara pidana, karena apa yang dinamakan “supremasi hukum”, keberadaan hukum yang aspiratif dan kekuasaan kehakiman yang merdeka serta jaminan terhadap promosi dan perlindungan hak-hak azasi manusia (HAM) merupakan empat dari sekian banyak nilai-nilai dasar (core values) demokrasi. Di dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum (law enforcement) terdapat apa yang dinamakan “area of no enforcement”, dimana kekuasaan Negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Dalam penegakan hukum pidana harus selalu dijaga kesetaraan antara hak-hak Negara untuk memberantas kejahatan (crime control) yang harus efisien dan efektif, dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, hak-hak dasar warganegara yang harus dilindungi (due process of law). Di dalam “area of no enforcement” itulah hukum acara pidana harus ditegakkan secara pasti agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) aparat penegak hukum. Prinsip demokrasi, supremasi hukum dan promosi serta perlindungan HAM merupakan prasyarat untuk bebas hidup bermartabat (freedom to live in dignity), disamping bebas dari kemiskinan (freedom from want) dan bebas dari rasa takut (fredom from fear). Kehidupan hukum baik dalam ranah pembuatan hukum (law making proces), penegakan hukum (law enforcement) dan pembangunan kesadaran hukum (law awareness) tidak boleh merefleksikan hukum sebagai perintah penguasa (the command of the sovereign), tetapi harus peka terhadap masalah-masalah keadilan dan keadilan sendiri mengandung makna berupa sikap tidak memihak (impartiality) kepada siapa saja termasuk kepada penguasa yang memperoleh kekuasaannya dari rakyat. Pernyataan bahwa “law is simply politics” tidak dapat disangkal, tetapi politik dalam arti demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam sistem peradilan pidana terdapat dua nilai yang harus ditegakkan secara simultan yaitu pertama, “professed values” yang diproklamasikan dengan jelas dalam perundng-undangan, dan kedua, “underlying values” yang sekalipun tidak diproklamasikan tetapi turut mengendalikan system peradilan pidana yakni nilai-nilai “good governance” seperti supremasi hukum, effisiensi, transparansi, effektivitas, poprorsionalitas, “fair play” dan sebagainya. Dalam rangka kerangka teoritik dan konseptual di atas buku Sdr. Drs. H. Adami Chazawi, S.H dengan judul “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana” menjadi relevan dan penting untuk dibaca dan saya yakin buku ini akan memiliki signifikansi baik teoritis maupun praktis bagi yang berkepentingan. Jakarta, 8 Maret 2010. ttd PROF. DR. MULADI, S.H. -------------------------- ------------------------- KEDUA: Ketua Komisi III DPR: Tak ada alasan revisi KUHAP Kamis, 25/03/2010 18:24:07 WIBOleh: John A. Oktavery JAKARTA (Bisnis.com): Ketua Komisi III DPR Benny K. Harman menilai tidak ada alasan untuk merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) guna melegalkan peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh aparat hukum.Pendapat Benny K. Harman dikemukakan berkaitan dengan buku karya Adami Chazawi dengan judul “Lembaga Peninjauan Kembali Pidana, yang diluncurkan beberapa waktu lalu.Menurut Benny, hak PK hanya untuk terdakwa ataupun keluarganya sebagaimana yang telah diatur dalam salah satu pasal di KUHAP."Jika aturannya sudah jelas yang tidak perlu ada revisi. Aturan yang sudah benar harus dijalankan tanpa terkecuali. Apalagi, KUHAP sudah menentukan hak untuk mengajukan PK itu ada pada terpidana bukan pada Jaksa penuntut umum," ujarnya hari ini.Benny menilai Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan PK. Bila terjadi, lanjutnya, harus ada ketegasan untuk menolaknya, terutama dari Mahkamah Agung."Mestinya Mahkamah Agung menolak, tapi kan MA tidak bisa hanya menjadi corong UU , dia juga bisa menyampingkan Undang-Undang untuk menegakkan keadilan," katanya.Pakar hukum pidana asal Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mengemukakan PK yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak ada landasan hukumnya."MA harus menjaga tatanan hukum agar tidak ada lagi penyimpangan," katanya.Dia pun mengatakan aturan PK sudah sangat jelas dan itu merupakan upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada terdakwa dan keluarga atas kekeliruan. "Oleh karenanya tidak bisa ini dilakukan oleh aparat hukum,"Jika ini dilakukan, menurutnya, upaya hukum lanjutan bagi aparat akan berjalan empat tingkatan mulai dari tingkat I, banding, kasasi hingga PK dan itu hanya bisa dilakukan oleh terdakwa.Pakar hukum Muladi dalam sambutan tertulis pada saat peluncuran buku tentang PK pada beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dia setuju pendapat penulis buku Adami Chazawi bahwa PK oleh jaksa sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legisted environment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana.Dia mengakui telah terjadi pelanggaran prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intellectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran ( truth) dan bukan merupakan pembenaran (justification)."Jujur saja KUHAP itu diundangkan pada 1981 (UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981-76) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis [orde baru]. Namun banyak sekali pemikiran- pemikiran baru yang menggambarkan due process of law dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya," katanya.(fh) (Sumber: http://web.bisnis.com/) ------------ ------------ KETIGA: [New post] Buku 'Lembaga PK Perkara Pidana' Diluncurkan Mar 13, '10 10:24 PMfor everyone Buku 'Lembaga PK Perkara Pidana' Diluncurkan dekadeku 14 Maret 2010 pada 3:21 am Tag:Buku PK,luncurkan buku Categories:Politik Buku URL:http://wp.me/pGrDA-9i JAKARTA--Buku berjudul 'Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakkan Hukum dan Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat' karangan dosen hukum pidana Universitas Brawijaya (Unibraw), Adami Chazawi, diluncurkan, di Jakarta, akhir pekan lalu. Adami Chazawi menyatakan buku tersebut menyoroti bahwa PK merupakan penebusan dosa yang telah dibuat kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK. "PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kedzaliman negara dengan menghukum warganya yang tidak bersalah," katanya. Namun, kata Adami, dalam perjalanannya terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK yang dimulai semasa era orde baru, yakni, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam kasus Muchtar Pakpahan, padahal pada PK sebelumnya Muchtar Pakpahan dinyatakan bebas. Saat ini, Adami menjelaskan, pengajuan PK semakin banyak kekeliruannya dengan terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dengan melawan putusan bebas. "Akibatnya seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas, harus khawatir jika jaksa mengajukan PK kembali," cetusnya. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang bahwa KUHAP itu tidak dari perspektif hukum. "Melainkan, dari perspektif politik," jelasnya. (www.antaranews.com) Komentari tulisan ini (Sumber:http://wirlilik.multiply.com) ----------------------------------------- ---------------------------------------- KEEMPAT: Lembaga Peninjauan Kembali (PK) 15-03-2010 16:28 Konsepsi hukum PK Pidana, berpijak pada landasan filosofi, bahwa negara telah salah mempidana penduduk yang tidak berdosa yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa. Putusan mempidana yang terlanjur salah, dapat dianggap suatu bentuk kezaliman negara pada penduduknya. Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah. Negara berdosa dan bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah terlanjur dirampas tanpa hak tersebut. Bentuk pertanggungjawaban itu, ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK, bukan kepada negara. Karena itu dapat dianggap, bahwa PK Pidana adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara pada penduduknya. Merupakan upaya pengembalian hak-hak dan keadilan pada terpidana yang telanjur dirampas negara tanpa hak. Bentuk pertanggungjawaban dan wujud nyata penebusan dosa negara pada terpidana atas kesalahan yang telah menjatuhkan pidana pada penduduknya yang terbukti kemudian tidak bersalah. Landasan filosofi tersebut tertuang dalam norma dasar PK – Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Secara tegas merumuskan bahwa, “terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Dari sudut sejarah hukum PK, dapat dilihat dalam Reglement op de Srtrafvordering (Stb No. 40 jo 57 Tahun 1847), setelah kemerdekaan dalam PERMA No. 1 Tahun 1969 maupun PERMA No. 1 Tahun 1980, sangat jelas bahwa sejak semula pembentuk UU menghendaki bahwa PK Pidana hanya diperuntukkan semata-mata bagi kepentingan terpidana, dan bukan bagi kepentingan negara.Jiwa dan semangat hukum PK dalam Bab XVII- Pasal 263 s.d 269 KUHAP. Namun akhir-akhir ini, praktik peradilan MA telah tidak lagi konsisten terhadap hukum PK pidana dalam KUHAP, dimana tindakan coba-coba Jaksa mengajukan PK terhadap pembebasan Muchtar Pakpahan (putusan No. 55K/Pid/2006) yang jelas-jelas tidak memiliki hak untuk itu, mendapat justifikasi dari MA. Ketika itu – dimasa rezim Orde Baru (Otoriter), Masyarakat berpikir – masih dapat memaklumi. Namun kemudian setelah rezim otoriter tumbang, ternyata MA masih juga menggunakan putusan yang salah tersebut sebagi rujukan, seperti ternyata pada putusan RAM Gulumal (No. 03PK/Pid/2001) dan beberapa kasus lain. Meskipun nuansa ketakutan pada rezim orde lama sudah ditinggalkan, namun terkesan berubah sifat ketakutannya ke arah takut dicap tidak anti korupsi. Demikian sedikit resume buku Lembaga PK Perkara Pidana Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat yang ditulis oleh Drs. Adami Chazawi, SH., pengajar hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Launching buku tersebut diselenggarakan oleh Indonesia Against Injustice atau IAI sebuah Lembaga independen non-governmental yang concern pada masalah Penegakan Hukum. Acara yang diselenggarakan di Hotel Nikko, Jakarta, beberapa waktu lalu, bisa dibilang sukses. Hampir semua undangan hadir memenuhi salah satu ruang pertemuan di Hotel Nikko, Jakarta, Rabu (10/3) lalu, yang juga penuh sesak oleh wartawan baik media cetak maupun elektronik nasional. Dalam kesempatan itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Herman Suryokumoro, SH. MS. hadir sebagai undangan khusus, selain itu hadir pula beberapa pakar hukum terkemuka, diantaranya : Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH., Dr. Chaerul Huda, SH. MH., serta praktisi Media Karni Ilyas, serta para akademisi. Masih dalam acara launching tersebut, pengacara senior Prof. Dr. OC Kaligis selaku Presiden IAI, menyampaikan dalam pidatonya, bahwa Indonesia Against Injustice menyambut, menghargai, dan mendukung terbitnya buku Lembaga Peninjauan Kembali ini. Diharapkan buku tersebut memberikan pencerahan dan kesadaran bagi institusi penegak hukum untuk mengembalikan upaya hukum PK kepada kesejatian makna dan maksudnya, sehingga tidak lagi terjadi praktik pengajuan PK oleh Jaksa dan/atau tidak lagi terjadi pengabulan oleh MA atas PK yang diajukan Jaksa dalam perkara pidana. OC Kaligis juga menambahkan bahwa IAI memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Penulis Drs. H. Adami Chazawi, SH. yang lewat bukunya ini telah memberikan perhatian yang dalam dan serius terhadap masalah Lembaga PK dalam perkara pidana. [childa] (Sumber: http://hukum.brawijaya.acid/) ---- ---------------- ---------------- KELIMA: You are here Home OC Kaligis : Negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat. Kamis, 11 Maret 2010 04:44 Lintas Indonesia -Jakarta.-Buku berjudul Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat yang ditulis oleh Drs H Adami Chazawi SH, pakar hukum Universitas Brawijaya diluncurkan Hari Rabu 10/3 di Hotel Nikko Jakarta kemarin.Hadir ditemani beberapa pakar hukum terkemuka, yaitu Prof DR OC Kaligis, Prof DR Indriyanto Seno Adji ,SH, DR Chaerul Huda, SH,MH,Karni Ilyas.Hak Terpidana Menurut Adami, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum luar biasa, PK merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Adami menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Itu dimulai saat di era Orde Baru, jaksa mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK yang sangat bermuatan politis itu dikabulkan. Kejaksaan berhasil menggolkan aturan Peninjauan Kembali (PK) jaksa di Mahkamah Agung. Keberhasilan ini langsung dipertanyakan berbagai kalangan. Sebab menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya."Jaksa mencoba-coba menorobos aturan dasar KUHAP dengan mengajukan PK dan MA mengabulkan. Ini menyalahi. PK sejak awalnya memang sudah sangat jelas untuk terpidana, bukan untuk negara dalam hal ini jaksa," kata pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Adami Chazawi.Setuju dengan pendapat Pak Adami, Presiden Indonesia Against Injustice OC Kaligis menyesalkan sikap kejaksaan itu. Menurutnya, kondisi ini akan melanggengkan penegakan hukum yang menyimpang."Ini menyimpang dari ketentuan KUHAP," timpal OC Kaligis.Putusan itu digunakan sebagai dasar untuk terus mengulang kesalahan yang sama, dengan pengabulan beberapa PK yang diajukan jaksa. OC Kaligis mengatakan, ’’Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh UU, karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat.’’ Wakil Ketua Indonesia Against Justice (IAI) Karni Ilyas menuturkan, sistem peradilan sesat muncul karena ketiadaan konsistensi penegakan hukum, seperti dikabulkannya kasasi atas putusan bebas murni dan sikap Mahkamah Agung (MA) yang menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan jaksa. Padahal secara jelas dan terang, hal-hal seperti itu telah diatur hukum acara pidana. ’’Salah kaprah seperti pengabulan PK perkara Muchtar Pakpahan, malah dilanjutkan,’’ ujar Karni.(DM) (Sumber: http://www.lintasindonesia.com/) ------ ------------ ------------ KEENAM: Peradilan Sesat dalam PK Imam dan David Oleh : Bambang M. Yanto 11-Mar-2010, 23:44:50 WIB _____ KabarIndonesia - Buku "Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktek dan Peradilan Sesat" buah pena Drs. H. Adami Chazawi, SH. pakar hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang.Menurut Prof. DR. OC Kaligis, dari Indonesian Against Injustice, buku ini dibedah dalam talk show hukum & peradilan dengan pembicara Prof. DR. Indriyanto Seno Adji, SH,, MH., DR. Chaerul Huda, SH., MH. serta Karni Ilyas dari TVOne.Adami Chazawi, menuturkan, penulisan buku ini terinsipirasi kejadian menggelitik hati dan perasaannya yang dalam.Pertama, tragedi hukum dialami Imam Chambali dan David Eko Priyanto, dipersalahkan dan divonis oleh peradilan sesat atas tindakan pembunuhan yang tidak dilakukannya. Dosa besar proses peradilan sesat itu, mungkin dapat dimaafkan, apabila negara mengembalikan keadilan dan hak haknya melalui proses dan prosedure upaya hukum PK (peninjauan kembali).Kedua, beberapa kali Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang membenarkan permintaan PK oleh Jaksa. "Dua kejadian tersebut adalah suatu tragedi dalam penegakan hukum di Indonesia," kata Adami dalam buku yang ditulisnya sangat cocok dibaca para mahasiswa hukum, praktisi hukum dan pemerhati hukum.Sementara itu, mantan Menteri Kehakiman Prof. DR. Muladi, SH. yang juga mantan Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang dalam kesempatan terpisah, mengaku sangat setuju dengan substansi buku yang ditulis Adami. Dinyatakan, buku tersebut merupakan kritik terhadap pelanggaran prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual yang hanya mengungkap kebenaran dan bukan melakukan pembenaran.Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.comBerita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:http://kabarindonesia.com/ Sumber: http://www.kabarindonesia.com [Beritahu Teman] [Print Berita] -------------- -------------- KETUJUH Home Dari Diskusi Tentang PK Proses Hukum Peninjauan Kembali Bukan Milik Jaksa 13 Mar 2010 Nasional Rakyat Merdeka Jakarta, RM. Peninjauan Kembali (PK.) merupakan hak warga _okum_ yang menjadi terpidana dan ahli warisnya, bukan hak _okum_ yang direpresentasikan jaksa. “PK adalah penebusan dosa yang telah dibuat _okum_ kepada warganya. Maka, pengajuan PK diberikan kepada warga _okum_ yang menjadi terdakwa,” kata dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Adami Chazawi dalam diskusi tentang PK di Jakarta, kemarin. Dasar filosofisnya, menurut Adami, _okum_ sudah melakukan kezaliman dengan menghukum warganya yang tak bersalah. Kezaliman itu tak _oku diperbaiki dengan upaya _okum biasa. Karenanya, dibutuhkan sebuah upaya _okum luar biasa untuk memperbaiki kezaliman itu, yakni melalui PK. Namun, lanjutnya, kemudian terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK di negeri ini. Adami menyebutnya sebagai _okum__ besar dalam penegakan _okum. Itu dimulai saat Orde Baru, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK itu dikabulkan, bahkan dimenangkan oleh MA,” katanya. Sampai kini, kata Adami, PK yang diajukan jaksa untuk melawan putusan bebas, terus dikabulkan. Akibatnya, seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas pengadilan, tetap tak tenang sepanjang hidup. Pasalnya, jaksa _oku mengajukan PK kapan saja, selagi yang bersangkutan masih hidup. “Saya tak terima itu. Karena akademisi, saya menyampaikan protes dengan menulis buku,” kata penulis buku Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik Peradilan Sesat ini. Di tempat yang sama. Presiden Indonesian Against Injustice yang juga advokat senior, OC Kaligis mengatakan, jaksa sebagai representasi _okum_, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang. KUHAP hanya memberi hak mengajukan PK kepada warga yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. “Kalau _okum_ mau diberi hak untuk mengajukan PK, harus melalui Undang-Undang,” tandasnya. Ahli _okum pidana UI In-drianto Scnoaji dan jumalis senior Kami Ilyas yang juga menjadi pembicara, sependapat dengan Adami dan Kaligis. Kami mengingatkan. Muchtar Pakpahan melawan pemerintahan Soeharto di Medan dan dibebaskan pengadilan. Karena penguasa tak puas, diajukanlah PK. “Itu sejarah awal pengajuan PK oleh jaksa. Tapi, ini berlanjut hingga sekarang,” tandas Kami. Sedangkan ahli _okum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda menilai, pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang KUHAP tidak dari perspektif _okum. Melainkan, dari perspektif politik. Jon Entitas terkaitAdami Ahli Dasar Kezaliman KUHAP Medan Muchtar Orde PK Scnoaji Soeharto UI Adami Chazawi Kami Ilyas Muchtar Pakpahan OC Kaligis Penegakan Hukum Peninjauan Kembali Hukum Pidana Universitas Lembaga PK Perkara Penyimpangan Praktik Peradilan Sesat Presiden Indonesian Against Injustice Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda Dari Diskusi Tentang PK Proses Hukum Peninjauan Kembali Bukan Milik Jaksa Ringkasan Artikel Ini Dari Diskusi Tentang PK Proses Hukum Peninjauan Kembali Bukan Milik Jaksa. Maka, pengajuan PK diberikan kepada warga _okum_ yang menjadi terdakwa,” kata dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Adami Chazawi dalam diskusi tentang PK di Jakarta, kemarin. Presiden Indonesian Against Injustice yang juga advokat senior, OC Kaligis mengatakan, jaksa sebagai representasi _okum_, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang. Sedangkan ahli _okum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda menilai, pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang KUHAP tidak dari perspektif _okum. Jumlah kata di Artikel : 370Jumlah kata di Summary : 85Ratio : 0,230*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net. Pendapat Anda Pendapat anda mengenai ringkasan artikel ini : Baik Buruk (Sumber: http://bataviase.co.id/) ---------------------- --------------------- KEDELAPAN Buku "Lembaga PK Perkara Pidana" Diluncurkan Rabu, 10 Maret 2010 20:25 WIB 0 Komentar 0 0 CETAK KIRIM Error! Hyperlink reference not valid. function fbs_click() {u=location.href;t=document.title;window.open('http://www.facebook.com/sharer.php?u='+encodeURIComponent(u)+'&t='+encodeURIComponent(t),'sharer','toolbar=0,status=0,width=626,height=436');return false;} FACEBOOK http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/03/128562/18/1/Buku-Lembaga-PK-Perkara-Pidana-Diluncurkan Buzz up! JAKARTA--MI: Buku berjudul "Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakkan Hukum dan Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat" karangan dosen hukum pidana Universitas Brawijaya (Unibraw), Adami Chazawi, diluncurkan, di Jakarta, Rabu (10/3). Adami Chazawi menyatakan buku tersebut menyoroti bahwa PK merupakan penebusan dosa yang telah dibuat kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK. "PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kedzaliman negara dengan menghukum warganya yang tidak bersalah," katanya. Namun, kata dia, dalam perjalanannya terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK yang dimulai semasa era orde baru, yakni, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam kasus Muchtar Pakpahan, padahal pada PK sebelumnya Muchtar Pakpahan dinyatakan bebas. Saat ini, ia menjelaskan pengajuan PK semakin banyak kekeliruannya dengan terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dengan melawan putusan bebas. "Akibatnya seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas, harus khawatir jika jaksa mengajukan PK kembali," katanya. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang bahwa KUHAP itu tidak dari perspektif hukum. "Melainkan, dari perspektif politik," katanya. (Ant/Ol-01) Sent from my BlackBerry® powered by (Sumber: http://mediaindonesia. Com) -------------------- -------------------- KESEMBILAN PK Dinilai Bukan Hak Negara Tanggal : 12 Mar 2010 Sumber : Sinar Harapan Prakarsa Rakyat, KESEPULUH Kamis, 11 Maret 2010 15:42Jakarta - Peninjauan Ke­mbali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa yang disediakan bagi warga negara yang menjadi terpidana atas suatu putusan hakim, dan bukan hak negara yang acapkali direpresentasikan oleh jaksa. PK Jaksa dibenarkan sejauh itu bertujuan kepentingan korban terpidana, bukan negara.Hal ini disampaikan Adami Chazawi dalam peluncuran bukunya Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Rabu (10/3). “PK ini adalah penebusan dosa negara kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK,” katanya.Adami Chazawi yang merupakan pengajar hukum pidana Universitas Brawijaya mengatakan, filosofi PK adalah negara telah melakukan kesalahan melalui putusan hakim dengan menghukum warganya yang tidak bersalah sehingga dibutuhkan sebuah upaya hukum luar biasa untuk menebus kesalahannya itu.Hanya saja yang terjadi di Indonesia menurutnya, Mah­kamah Agung (MA) semakin menjadi-jadi de­ngan kekeliruannya dengan menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa. Hal ini tidak lepas dari sejarah PK Jaksa yang di­kabulkan dan bahkan dimenangkan oleh MA dalam kasus Muchtar Pakpahan.Sementara itu, sejumlah pakar hukum turut hadir sebagai pembicara dalam peluncuran buku tersebut. Di antaranya pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Prof Indrianto Senoadji, praktisi hukum OC Kaligis dan pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chaerul Huda.Menurut Indrianto Senoadji prinsip umum yang berlaku adalah bahwa PK tak bisa diajukan atas putus­an bebas. Namun, ia melihat bahwa hukum pidana merupakan sesuatu yang sifatnya dinamis mengikuti ruang dan waktu. Artinya, perspektif hukum pidana saat ini melihat kepentingan tidak hanya pada rasa keadilan seorang terpidana, namun juga elemen-elemen lainnya termasuk hakim dan negara. (rafael sebayang) (Sumber: http://www.prakrsa-rakyat.org/) ----------------- ----------------- KESEBELAS Buku "Lembaga PK Perkara Pidana" Diluncurkan Rabu, 10 Maret 2010 21:11 WIB Hiburan Buku/Novel Dibaca 1049 kali Jakarta (ANTARA News) - Buku berjudul "Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakkan Hukum dan Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat" karangan dosen hukum pidana Universitas Brawijaya (Unibraw), Adami Chazawi, diluncurkan, di Jakarta, Rabu.Adami Chazawi menyatakan buku tersebut menyoroti bahwa PK merupakan penebusan dosa yang telah dibuat kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK."PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kedzaliman negara dengan menghukum warganya yang tidak bersalah," katanya.Namun, kata dia, dalam perjalanannya terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK yang dimulai semasa era orde baru, yakni, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam kasus Muchtar Pakpahan, padahal pada PK sebelumnya Muchtar Pakpahan dinyatakan bebas. Saat ini, ia menjelaskan pengajuan PK semakin banyak kekeliruannya dengan terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dengan melawan putusan bebas."Akibatnya seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas, harus khawatir jika jaksa mengajukan PK kembali," katanya.Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang bahwa KUHAP itu tidak dari perspektif hukum. "Melainkan, dari perspektif politik," katanya. (T.R021/R009) COPYRIGHT © 2010 (Sumber: http://portal.antara.co.id/) KEDUABELAS Rabu, 10/03/2010 18:01 WIBAturan Peninjauan Kembali (PK) Jaksa DisesalkanAri Saputra - detikNews KETIGABELAS Jakarta - Kejaksaan berhasil menggolkan aturan Peninjauan Kembali (PK) jaksa di Mahkamah Agung. Keberhasilan ini langsung dipertanyakan berbagai kalangan. Sebab menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya."Jaksa mencoba-coba menorobos aturan dasar KUHAP dengan mengajukan PK dan MA mengabulkan. Ini menyalahi. PK sejak awalnya memang sudah sangat jelas untuk terpidana, bukan untuk negara dalam hal ini jaksa," kata pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Adami Chazawi.Adami mengatakan itu pada peluncuran bukunya PK Perkara Pidana di Hotel Nikko, Jl Thamrin, Jakarta, Rabu (10/3/2010).Ia menambahkan, secara filosofis PK merupakan bentuk penebusan dosa negara kepada terpidana. Sebab, negara lewat jaksa telah melakukan kesalahan menuntut seseorang di pengadilan.Dengan adanya PK oleh kejaksaan, lanjut Adami, putusan bebas hakim menjadikan terpidana was-was. "Hidupnya tidak tenang karena PK itu diberikan selama-lamanya, sampai ia mati," tegas Adami mewanti-wanti.Sejalan dengan Adami, Presiden Indonesia Against Injustice OC Kaligis menyesalkan sikap kejaksaan itu. Menurutnya, kondisi ini akan melanggengkan penegakan hukum yang menyimpang."Ini menyimpang dari ketentuan KUHAP," timpal OC Kaligis.(Ari/nik) (Sumber: http://www.detiknews.com/) -------------------- -------------------- KEEMPATBELAS Buku "Lembaga PK Perkara Pidana" Diluncurkan document.write(String.fromCharCode(60,112,32,115,116,121,108,101,61,34,116,101,120,116,45,97,108,105,103,110,58,32,106,117,115,116,105,102,121,34,62,10,60,100,105,118,62,10,60,100,105,118,62,74,97,107,97,114,116,97,32,40,65,78,84,65,82,65,32,78,101,119,115,41,32,38,35,56,50,49,49,59,32,66,117,107,117,32,98,101,114,106,117,100,117,108,32,38,35,56,50,50,48,59,76,101,109,98,97,103,97,32,80,101,110,105,110,106,97,117,97,110,32,75,101,109,98,97,108,105,32,40,80,75,41,32,80,101,114,107,97,114,97,32,80,105,100,97,110,97,44,32,80,101,110,101,103,97,107,107,97,110,32,72,117,107,117,109,32,100,97,110,32,80,101,110,121,105,109,112,97,110,103,97,110,32,80,114,97,107,116,105,107,32,38,97,109,112,59,32,80,101,114,97,100,105,108,97,110,32,83,101,115,97,116,38,35,56,50,50,49,59,32,107,97,114,97,110,103,97,110,32,100,111,115,101,110,32,104,117,107,117,109,32,112,105,100,97,110,97,32,85,110,105,118,101,114,115,105,116,97,115,32,66,114,97,119,105,106,97,121,97,32,40,85,110,105,98,114,97,119,41,44,32,65,100,97,109,105,32,67,104,97,122,97,119,105,44,32,100,105,108,117,110,99,117,114,107,97,110,44,32,100,105,32,74,97,107,97,114,116,97,44,32,82,97,98,117,46,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,65,100,97,109,105,32,67,104,97,122,97,119,105,32,109,101,110,121,97,116,97,107,97,110,32,98,117,107,117,32,116,101,114,115,101,98,117,116,32,109,101,110,121,111,114,111,116,105,32,98,97,104,119,97,32,80,75,32,109,101,114,117,112,97,107,97,110,32,112,101,110,101,98,117,115,97,110,32,100,111,115,97,32,121,97,110,103,32,116,101,108,97,104,32,100,105,98,117,97,116,32,107,101,112,97,100,97,32,119,97,114,103,97,110,121,97,44,32,109,97,107,97,32,100,105,98,101,114,105,107,97,110,32,107,101,112,97,100,97,32,119,97,114,103,97,32,110,101,103,97,114,97,32,121,97,110,103,32,109,101,110,106,97,100,105,32,116,101,114,100,97,107,119,97,32,117,110,116,117,107,32,109,101,110,103,97,106,117,107,97,110,32,80,75,46,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,38,35,56,50,50,48,59,80,75,32,109,101,114,117,112,97,107,97,110,32,115,101,98,117,97,104,32,117,112,97,121,97,32,104,117,107,117,109,32,108,117,97,114,32,98,105,97,115,97,32,117,110,116,117,107,32,109,101,109,112,101,114,98,97,105,107,105,32,107,101,100,122,97,108,105,109,97,110,32,110,101,103,97,114,97,32,100,101,110,103,97,110,32,109,101,110,103,104,117,107,117,109,32,119,97,114,103,97,110,121,97,32,121,97,110,103,32,116,105,100,97,107,32,98,101,114,115,97,108,97,104,44,38,35,56,50,50,49,59,32,107,97,116,97,110,121,97,46,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,78,97,109,117,110,44,32,107,97,116,97,32,100,105,97,44,32,100,97,108,97,109,32,112,101,114,106,97,108,97,110,97,110,110,121,97,32,116,101,114,106,97,100,105,32,107,101,107,101,108,105,114,117,97,110,32,100,97,108,97,109,32,112,101,110,103,103,117,110,97,97,110,32,80,75,32,121,97,110,103,32,100,105,109,117,108,97,105,32,115,101,109,97,115,97,32,101,114,97,32,111,114,100,101,32,98,97,114,117,44,32,121,97,107,110,105,44,32,106,97,107,115,97,32,109,101,110,99,111,98,97,45,99,111,98,97,32,109,101,110,103,97,106,117,107,97,110,32,80,75,32,100,97,108,97,109,32,107,97,115,117,115,32,77,117,99,104,116,97,114,32,80,97,107,112,97,104,97,110,44,32,112,97,100,97,104,97,108,32,112,97,100,97,32,80,75,32,115,101,98,101,108,117,109,110,121,97,32,77,117,99,104,116,97,114,32,80,97,107,112,97,104,97,110,32,100,105,110,121,97,116,97,107,97,110,32,98,101,98,97,115,46,32,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,83,97,97,116,32,105,110,105,44,32,105,97,32,109,101,110,106,101,108,97,115,107,97,110,32,112,101,110,103,97,106,117,97,110,32,80,75,32,115,101,109,97,107,105,110,32,98,97,110,121,97,107,32,107,101,107,101,108,105,114,117,97,110,110,121,97,32,100,101,110,103,97,110,32,116,101,114,117,115,32,109,101,110,101,114,105,109,97,32,100,97,110,32,109,101,110,103,97,98,117,108,107,97,110,32,80,75,32,121,97,110,103,32,100,105,97,106,117,107,97,110,32,111,108,101,104,32,106,97,107,115,97,32,100,101,110,103,97,110,32,109,101,108,97,119,97,110,32,112,117,116,117,115,97,110,32,98,101,98,97,115,46,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,38,35,56,50,50,48,59,65,107,105,98,97,116,110,121,97,32,115,101,111,114,97,110,103,32,119,97,114,103,97,32,121,97,110,103,32,116,101,108,97,104,32,109,101,110,103,97,110,116,111,110,103,105,32,112,117,116,117,115,97,110,32,98,101,98,97,115,44,32,104,97,114,117,115,32,107,104,97,119,97,116,105,114,32,106,105,107,97,32,106,97,107,115,97,32,109,101,110,103,97,106,117,107,97,110,32,80,75,32,107,101,109,98,97,108,105,44,38,35,56,50,50,49,59,32,107,97,116,97,110,121,97,46,60,47,112,62,10,60,112,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,32,32,32,83,101,109,101,110,116,97,114,97,32,105,116,117,44,32,97,104,108,105,32,104,117,107,117,109,32,112,105,100,97,110,97,32,85,110,105,118,101,114,115,105,116,97,115,32,77,117,104,97,109,109,97,100,105,121,97,104,32,74,97,107,97,114,116,97,44,32,67,104,97,101,114,117,108,32,72,117,100,97,44,32,109,101,110,105,108,97,105,44,32,112,114,97,107,116,105,107,32,112,101,110,103,97,106,117,97,110,32,80,75,32,111,108,101,104,32,115,101,108,97,105,110,32,116,101,114,112,105,100,97,110,97,32,100,97,110,32,97,104,108,105,32,119,97,114,105,115,110,121,97,44,32,109,101,109,97,110,100,97,110,103,32,98,97,104,119,97,32,75,85,72,65,80,32,105,116,117,32,116,105,100,97,107,32,100,97,114,105,32,112,101,114,115,112,101,107,116,105,102,32,104,117,107,117,109,46,32,38,35,56,50,50,48,59,77,101,108,97,105,110,107,97,110,44,32,100,97,114,105,32,112,101,114,115,112,101,107,116,105,102,32,112,111,108,105,116,105,107,44,38,35,56,50,50,49,59,32,107,97,116,97,110,121,97,46,32,60,98,114,32,47,62,38,35,49,51,59,60,98,114,32,47,62,10,40,84,46,82,48,50,49,47,82,48,48,57,41,60,47,112,62,10,60,47,100,105,118,62,10,60,47,100,105,118,62,10)); Jakarta (ANTARA News) – Buku berjudul “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakkan Hukum dan Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat” karangan dosen hukum pidana Universitas Brawijaya (Unibraw), Adami Chazawi, diluncurkan, di Jakarta, Rabu. Adami Chazawi menyatakan buku tersebut menyoroti bahwa PK merupakan penebusan dosa yang telah dibuat kepada warganya, maka diberikan kepada warga negara yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK. “PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kedzaliman negara dengan menghukum warganya yang tidak bersalah,” katanya. Namun, kata dia, dalam perjalanannya terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK yang dimulai semasa era orde baru, yakni, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam kasus Muchtar Pakpahan, padahal pada PK sebelumnya Muchtar Pakpahan dinyatakan bebas. Saat ini, ia menjelaskan pengajuan PK semakin banyak kekeliruannya dengan terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dengan melawan putusan bebas. “Akibatnya seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas, harus khawatir jika jaksa mengajukan PK kembali,” katanya. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, memandang bahwa KUHAP itu tidak dari perspektif hukum. “Melainkan, dari perspektif politik,” katanya. (T.R021/R009) (Sumber: http://gosipterbaru.com/) --------------------------- ---------------------------- KELIMABELAS Hukum 11 Maret 2010 Dinilai Sesat Pengajuan PK Jaksa Perlu Diakhiri JAKARTA - Peradilan sesat yang masih terjadi di Indonesia perlu diakhiri. Para penegak hukum dan pengacara harus mengembalikan sistem peradilan ke jalan yang benar.Wakil Ketua Indonesia Against Justice (IAI) Karni Ilyas menuturkan, sistem peradilan sesat muncul karena ketiadaan konsistensi penegakan hukum, seperti dikabulkannya kasasi atas putusan bebas murni dan sikap Mahkamah Agung (MA) yang menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan jaksa. Padahal secara jelas dan terang, hal-hal seperti itu telah diatur hukum acara pidana. ’’Salah kaprah seperti pengabulan PK perkara Muchtar Pakpahan, malah dilanjutkan,’’ ujar Karni, di Jakarta, Rabu (10/3), dalam peluncuran buku ”Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat”.Penulis buku adalah pengajar hukum Universitas Brawijaya, Adami Chazawi. Sebagai pembicara lain, yakni praktisi hukum OC Kaligis, pakar hukum Universitas Indonesia, Indrianto Seno Adji, dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda.Hak Terpidana Menurut Adami, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum luar biasa, PK merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Adami menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Itu dimulai saat di era Orde Baru, jaksa mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK yang sangat bermuatan politis itu dikabulkan. Putusan itu digunakan sebagai dasar untuk terus mengulang kesalahan yang sama, dengan pengabulan beberapa PK yang diajukan jaksa. OC Kaligis mengatakan, ’’Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh UU, karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat.’’ (J21-76) Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad (Sumber: http://suaramerdeka.com/) --------------------------------- -------------------------------- KEENAMBELAS PELUNCURAN BUKUPK Merupakan Penebusan Dosa dari Negara Kamis, 11 Maret 2010 JAKARTA (Suara Karya): Upaya hukum peninjauan kembali (PK) merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. "PK adalah penebusan dosa yang telah dibuat negara kepada warganya. Maka, diberikan kepada warga negara yang yang menjadi terdakwa untuk mengajukan PK," kata Adami Chazawi, penulis buku "Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat" saat peluncuran perdana bukunya itu di Jakarta, Rabu (10/3). Dasar filosofisnya, menurut dosen hukum pidana Universitas Brawijaya ini, negara sudah melakukan kezaliman dengan menghukum warganya yang tak bersalah. Kezaliman itu tak bisa diperbaiki dengan upaya hukum biasa. Karenanya, dibutuhkan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kezaliman negara tersebut. Namun kemudian, telah terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK di negeri ini. Adami menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Itu dimulai saat di era Orde Baru, jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Dan ternyata, PK itu dikabulkan, bahkan dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA). Belakangan, MA semakin menjadi-jadi dengan kekeliruannya itu, terus menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa, melawan putusan bebas. Akibatnya, seorang warga yang telah mengantongi putusan bebas pengadilan tetap tak tenang sepanjang hidup. Pasalnya, jaksa bisa mengajukan PK kapan saja, selagi yang bersangkutan masih hidup. "Kami tak terima itu. Karena saya seorang akademisi, dengan cara menulis buku. Isi buku ini protes terhadap apa yang dilakukan MA yang mengabulkan PK yang diajukan jaksa," kata Adami. Di tempat yang sama, Presiden Indonesian Against Injustice Prof OC Kaligis mengatakan, PK merupakan koreksi atas terjadinya peradilan sesat. "Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang (UU), karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat. Dan, UU KUHAP hanya memberi hak mengajukan PK kepada warga yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. Kalau negara mau diberi hak untuk mengajukan PK, harus melalui UU," ujarnya. Ahli hukum pidana UI Prof Indrianto Senoaji dan jurnalis senior Karni Ilyas yang juga menjadi pembicara dalam diskusi peluncuran buku itu sependapat, prinsip umum yang berlaku adalah bahwa PK tak bisa diajukan atas putusan bebas. Karni menjelaskan, Muchtar Pakpahan melawan pemerintah Suharto di Medan dan dibebaskan pengadilan. Karena penguasa tak puas, diajukanlah PK. "Itu sejarah awal pengajuan PK oleh jaksa. Tapi yang salah kaprah ini terus berlanjjut hingga sekarang," kata Karni. Sedangkan ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda menilai, praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya memandang KUHAP tidak dari perspektif hukum, melainkan dari perspektif politik. (Lerman S/Jimmy Radjah) (sumber: http://suarakarya-online.com/) Politik Hukum Ekonomi Metropolitan Nusantara Internasional Hiburan Humor Opini About Us Copy Right ©2000 Suara Karya OnlinePowered by Hanoman-i ----------------------------- ------------------------------ KETUJUHBELAS Polhukam 'Peninjauan Kembali' Bukan Hak Jaksa Rabu, 10 Maret 2010 - 23:06 wib TEXT SIZE : addthis_pub = 'okezone'; addthis_logo = 'http://a.okezone.com/news/image/header/o.png'; addthis_logo_background = 'EFEF99'; addthis_logo_color = '666699'; addthis_brand = 'www.okezone.com'; addthis_options = 'facebook, email, delicious, favorites, digg, google, myspace, live, more'; Ilustrasi (Foto: pinkpaper) JAKARTA - Proses hukum Peninjauan Kembali (PK) merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana. Namun PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Hal tersebut diungkapkan Adami Chazawi, penulis buku Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, saat peluncuran perdana bukunya itu di Jakarta hari ini. “PK adalah penebusan dosa yang telah dibuat negara kepada warganya. Maka, warga negara yang menjadi terdakwa mengajukan PK,” kata pria yang juga dosen hukum pidana Universitas Brawijaya, Malang ini. Dasar filosofisnya, menurut Adami, negara sudah melakukan kezaliman dengan menghukum warganya yang tidak bersalah. Kezaliman itu tak bisa diperbaiki dengan upaya hukum biasa. Karenanya, dibutuhkan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kezaliman negara tersebut. Namun, telah terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK di negeri ini. Dia menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Hal ini berawal saat Orde Baru di mana jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. “Dan ternyata, PK itu dikabulkan, bahkan dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA),” tuturnya. Sampai saat ini, justru MA semakin menjadi-jadi dengan kekeliruannya itu dengan menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dalam melawan putusan bebas terdakwa tertentu. Akibatnya, seorang yang telah mengantongi putusan bebas pengadilan tetap dikejar jaksa. Jaksa bisa mengajukan PK kapan saja, selagi yang bersangkutan masih hidup. “Kami tak terima itu. Isi buku ini protes terhadap apa yang dilakukan MA yang mengabulkan PK yang diajukan jaksa,” tandas Adami. Sementara itu di tempat yang sama, Presiden Indonesian Against Injustice Prof OC Kaligis mengatakan, PK merupakan koreksi atas terjadinya peradilan sesat. “Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang (UU), karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat. UU KUHAP, katanya, hanya memberi hak mengajukan PK kepada warga yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. Kalau negara mau diberi hak untuk mengajukan PK, harus melalui UU,” ujarnya. Hal senada juga diungkapkan ahli hukum pidana Universitas Indonesia Indrianto Senoaji. Menurut dia, prinsip umum yang berlaku adalah bahwa PK tidak bisa diajukan atas putusan bebas. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, berarti telah memandang KUHAP tidak dari perspektif hukum. melainkan, dari perspektif politik.(Ahmad Jayadi/Koran SI/ton) (sumber: http://news.okezone.com/) ------------------------- ------------------------- KEDELAPANBELAS 'Peninjauan Kembali' Bukan Hak Jaksa AKARTA - Proses hukum Peninjauan Kembali (PK) merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana. Namun PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Hal tersebut diungkapkan Adami Chazawi, penulis buku Lembaga PK Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, saat peluncuran perdana bukunya itu di Jakarta hari ini. “PK adalah penebusan dosa yang telah dibuat negara kepada warganya. Maka, warga negara yang menjadi terdakwa mengajukan PK,” kata pria yang juga dosen hukum pidana Universitas Brawijaya, Malang ini. Dasar filosofisnya, menurut Adami, negara sudah melakukan kezaliman dengan menghukum warganya yang tidak bersalah. Kezaliman itu tak bisa diperbaiki dengan upaya hukum biasa. Karenanya, dibutuhkan sebuah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki kezaliman negara tersebut. Namun, telah terjadi kekeliruan dalam penggunaan PK di negeri ini. Dia menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Hal ini berawal saat Orde Baru di mana jaksa mencoba-coba mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. “Dan ternyata, PK itu dikabulkan, bahkan dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA),” tuturnya. Sampai saat ini, justru MA semakin menjadi-jadi dengan kekeliruannya itu dengan menerima dan mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa dalam melawan putusan bebas terdakwa tertentu. Akibatnya, seorang yang telah mengantongi putusan bebas pengadilan tetap dikejar jaksa. Jaksa bisa mengajukan PK kapan saja, selagi yang bersangkutan masih hidup. “Kami tak terima itu. Isi buku ini protes terhadap apa yang dilakukan MA yang mengabulkan PK yang diajukan jaksa,” tandas Adami. Sementara itu di tempat yang sama, Presiden Indonesian Against Injustice Prof OC Kaligis mengatakan, PK merupakan koreksi atas terjadinya peradilan sesat. “Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh Undang-Undang (UU), karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat. UU KUHAP, katanya, hanya memberi hak mengajukan PK kepada warga yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. Kalau negara mau diberi hak untuk mengajukan PK, harus melalui UU,” ujarnya. Hal senada juga diungkapkan ahli hukum pidana Universitas Indonesia Indrianto Senoaji. Menurut dia, prinsip umum yang berlaku adalah bahwa PK tidak bisa diajukan atas putusan bebas. Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda, menilai praktik pengajuan PK oleh selain terpidana dan ahli warisnya, berarti telah memandang KUHAP tidak dari perspektif hukum. melainkan, dari perspektif politik.(Ahmad Jayadi/Koran SI/ton) (Sumber: http://www.sasa.net/) --------------------------------- --------------------------------- KESEMBILANBELAS Kamis, 11 Maret 2010 Buku Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Di Luncurkan IAI Reporter By : Redaksi/Lan Klik Berita.COM. Peluncuran Buku berjudul Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat yang ditulis oleh Drs H Adami Chazawi SH, pakar hukum Universitas Brawijaya diluncurkan Hari Rabu 10/3 di Jakarta yang di hadiri oleh Presiden Indonesia Againt Injustice (IAI) Prof DR OC Kaligis, Prof DR Indriyanto Seno Adji ,SH, DR Chaerul Huda, SH,MH,Karni Ilyas.Peluncuran buku ini bekerjasama dengan IAI, dalam tulisannya buku ini tentang Hak Terpidana Menurut Adami, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum luar biasa, PK merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Dalam sambutanya OC Kaligis mengatakanjh selama 65 tahun merdeka, kisah ketidak adilan masih menjadi cerita kehidupan rakyat Indonesia, masih sering kita dengar suara jeritan ketidakadilan,tragisnya suara jeritan ketidakadilan itu jatuhnya korban korban ketidakadilan, contoh kasus Prita, kasus salah tangkap Kemat dkk di Jombang adalah contoh aktual praktek ketidak adilan ,Jelas OC Kaligis yang juga Presiden IAI.Dan OC Kaligis menambahkan , ’’Jaksa sebagai representasi negara, tak pernah diberi hak untuk mengajukan PK oleh UU, karena negara tak pernah menjadi korban peradilan sesat.’’ Sementara itu Adami menyebutnya sebagai tragedi besar dalam penegakan hukum. Itu dimulai saat di era Orde Baru, jaksa mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK yang sangat bermuatan politis itu dikabulkan. Kejaksaan berhasil menggolkan aturan Peninjauan Kembali (PK) jaksa di Mahkamah Agung. Keberhasilan ini langsung dipertanyakan berbagai kalangan. Sebab menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya."Jaksa mencoba-coba menorobos aturan dasar KUHAP dengan mengajukan PK dan MA mengabulkan. Ini menyalahi. PK sejak awalnya memang sudah sangat jelas untuk terpidana, bukan untuk negara dalam hal ini jaksa," kata pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Adami Chazawi.(Lan)(Sumber: http://klikberita.com/) ----------------------------- ----------------------------- KEDUAPULUH LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI (PK) PERKARA PIDANA Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradila Rp. 42000 35,700 Buku ini membahas materi PK (Peninjauan Kembali), sebagai upaya hukum istimewa untuk menegakan hukum yang disebabkan penyimpangan praktik dan peradilan sesat dalam perkara pidana. Pembahasannya antara lain landasan filosofis dan sejarah lembaga PK; syarat-syarat mengajukan PK; pengajuan, pemeriksaan dan putusan PK; serta studi kasus.Pengarang : Drs. H. Adami Chazawi, S.H. Penerbit : Sinar Grafika Kategori : - Hukum Pidana http://news.id.finroll.com/home/archive/241453-tiada-alasan-revisi-kuhap-untuk-legalkan-pk.html http://news.id.finroll.com/home/archive/241453-tiada-alasan-revisi-kuhap-untuk-legalkan-pk.html Yurisprudensi Hukum Acara PerdataBuku 1R. Soeroso, S.H.Rp. 85.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=477 LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI (PK)PERKARA PIDANA Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan SesatDrs. H. Adami Chazawi, S.H.Rp. 42.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=476 Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan YurisprudensiDrs. P.A.F. Lamintang, S.H.Theo Lamintang, S.H.Rp. 94.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=475 Wakaf dan Pemberdayaan UmatSuhrawardi K. LubisRp. 35.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=474 Hukum Investasi & Pasar ModalAna Rokhmatussa’dyah, SH., MH. Suratman, SH.,M.Hum. Rp. 50.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=473 Hukum InvestasiHendrik Budi UntungRp. 26.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=472 Hukum Kehutanan & Hukum PerkebunanSupriadi, S.H., M.Hum.Rp. 115.000,-,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=471 DELIK-DELIK KHUSUSKejahatan-Kejahatan terhadap Kepentingan Negara Drs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 120.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=470 Hukum Hak Kekayaan IntelektualDrs. Ermansjah Djaja, S.H., M.Si.Rp. 96.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=469 Hukum Anti Monopoli Suyud MargonoRp. 49.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=467 DELIK-DELIK KHUSUSKejahatan-Kejahatan terhadap Harta Kekayaan Drs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 69.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=465 DELIK-DELIK KHUSUSKejahatan-Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum terhadap Surat-Surat, Alat-Alat Pembayaran, Alat-Alat Bukti dan PeradilanDrs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 55.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=463 DELIK-DELIK KHUSUSTindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan Drs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 69.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=461 DELIK-DELIK KHUSUSKejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi Drs P.A.F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. Rp. 68.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=459 Komentar Atas UUD Negara Ri 1945 Prof. Dr. Jimly Ashshiddiqie, S.H. Rp. 32.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=457 Organ Perseroan Terbatas Cornelius Simanjuntak, S.H., M.H. Natalie Mulia, S.H., M.Kn. Rp. 25.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=455 Hukum Perwakafan Di IndonesiaRachmadi Usman, S.H., M.H.Rp. 47.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=453 Metode Penelitian Hukum Prof. Dr. Zainuddin AliRp. 41.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=451 PRAKTIK HUKUM ACARA PERDATA: Tata Cara dan Proses Persidangan (Edisi Kedua) R. Soeroso, S.H.Rp. 53.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=449 HUKUM PERSEROAN TERBATAS (Hard Cover) M. Yahya Harahap, S.H.Rp. 123.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=447 CYBERSPACE:Problematika dan Antisipasi Pengaturannya Niniek Suparni, S.H., M.H. Rp. 44.500,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=445 IMPLIKASI HUKUM ATAS SUMBER PEMBIAYAAN DAERAH DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH Adrian Sutedi, S.H., M.H.Rp. 75.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=443 KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH:Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Prof. Dr. J. KalohRp. 39.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=441 HUKUM KETENAGAKERJAAN PASCA REFORMASIAsri Wijayanti, S.H., M.H.Rp. 39.500,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=439 DELIK-DELIK TERTENTU (SPECIALE DELICTEN) DI DALAM KUHP Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, S.H.Rp. 36.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=437 Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar'iyyahDr. MardaniRp. 52.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=435 Hukum DagangDrs. Hj. Farida Hasyim, M.HumRp. 49.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=433 Hukum PerburuhanAdrian Sutedi, S.H., M.H.Rp. 67.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=431 Penegakkan Hukum Lingkungan IndonesiaSukanda Husin, S.H., LL.M.Rp. 33.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=429 Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara (Edisi Ketiga)Prof. Dr. Jur Andi HamzahRp. 26.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=415 Hukum PerbankanAdrian Sutedi, S.H., M.H.Rp. 47.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=244 UU Penyelenggara PemiluRedaksi (Penghimpun)Rp. 33.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=242 Amandemen UU KepabeananRedaksi (Penghimpun)Rp. 36.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=241 UU Badan Pemeriksa KeuanganRedaksi (Penghimpun)Rp. 20.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=240 Peralihan Hak Atas Tanah dan PendaftarannyaAdrian Sutedi, S.H., M.H.Rp. 47.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=237 Hukum Waris IslamSuhrawardi K. Lubis, S.H.Rp. 46.000,-http://bumiaksara.co.id/detail_b_sg.php?id=55 Home Profile Katalog Buku Penawaran Hubungi Kami Copyright © bumiaksara ------------------------------- ------------------------------- KEDUAPULUH SATU Kamis 25. of Maret 2010 11:19 TIADA ALASAN REVISI KUHAP UNTUK LEGALKAN PK Jakarta, Sejumlah kalangan menilai bahwa tidak ada alasan untuk merevisi KUHAP untuk melegalkan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh aparat hukum karena hak PK hanya untuk terdakwa ataupun keluarganya. Demikian disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR Benny K Harman dan pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji secara terpisah di Jakarta, Kamis. Menurut Benny, aturan hak mengajukan PK itu sekarang ini sudah ada dalam KUHAP mengenai. "Jika aturannya sudah jelas, maka tidak perlu ada revisi," katanya seraya menambahkan bahwa aturan yang sudah benar itu harus dijalankan tanpa terkecuali. "KUHAP itu sudah menentukan hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana dan bukan pada jaksa penuntut umum," ujarnya. Karenanya jika ada kasus PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, menurut Benny, maka harus ada ketegasan agar hal ini tidak boleh dibiarkan. Hal senada juga dikemukakan ahli hukum pidana UI Indriyanto yang sepakat bahwa PK yang dilakukan aparat penegak hukum tidak ada landasan hukumnya. Meskipun pernah ada kasus bahwa hal ini bisa dilakukan, lanjutnya, seharusnya hal ini tidak lagi dibiarkan. "Mahkamah Agung harus bisa tetap menjaga tatanan hukum agar tidak ada lagi penyimpangan," katanya. Ia pun mengatakan bahwa aturan PK sudah sangat jelas bahwa hal ini merupakan upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada terdakwa dan keluarga atas kekeliruan. "Oleh karenanya tidak bisa ini dilakukan oleh aparat hukum," katanya. Karenanya jika itu dilakukan, menurut dia, upaya hukum lanjutan bagi aparat akan berjalan empat tingkatan mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi hingga PK, padahal ini hanya bisa dilakukan oleh terdakwa. Ditanya apakah perlu adanya revisi KUHAP, Indriyanto menegaskan bahwa hal ini tidak perlu dilakukan, karena revisi diperlukan sebagai terobosan oleh aparat jika memang aturannya tidak jelas. "Sedangkan aturan mengenai PK sudah jelas, jadi buat apa lagi di revisi," katanya. Sementara itu, Gubernur Lemhanas Prof Muladi dalam sambutan tertulisnya pada saat peluncuran buku tentang PK beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dia setuju pendapat penulis buku Adami Chazawi bahwa PK oleh jaksa sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legisted environment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana. Menurutnya telah terjadi pelanggaran prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intellectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran (truth) dan bukan merupakan pembenaran (justification). "Secara jujur sebenarnya harus diakui bahwa sekalipun KUHAP diundangkan pada tahun 1981 (UU No. 8 Tahun 1981) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis (orde baru), namun banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang menggambarkan `due process of law` dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya," katanya. Dikatakannya, saat ini sistem inkuisitur yang sangat tidak adil banyak dipengaruhi dengan hal-hal yang positif, sehingga sistem KUHAP banyak yang menyebutkan "gematige inquisitoir" yang mulai memperbaiki hak-hak tersangka, seperti pengaturan tentang pra-peradilan, kewajiban pendampingan oleh penasehat hukum dan sebagainya. "Namun di sana-sini masih terjadi praktek-praktek pelanggaran hak-hak tersangka karena ada peluang untuk menafsirkan lain," ujarnya. Ditambahkannya, di dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum terdapat apa yang dinamakan "area of no enforcement" dimana kekuasaan negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah dan hak-hak dasar warganegara yang harus dilindungi. "Di dalam `area of no enforcement` itulah hukum acara pidana harus ditegakkan secara pasti agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum," tegasnya (ant) (Sumber: http://sinarharapan.co.id/) Era Baru News Kamis, 25 Maret 2010 ----------------------------------------- ----------------------------------------- KEDUPULUH DUA TIADA ALASAN REVISI KUHAP UNTUK LEGALKAN JAKSA PK Jakarta - Sejumlah kalangan menilai bahwa tidak ada alasan untuk merevisi KUHAP untuk melegalkan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh aparat hukum karena hak PK hanya untuk terdakwa ataupun keluarganya. Demikian disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR Benny K Harman dan pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji secara terpisah di Jakarta, Kamis (25/3). Menurut Benny, aturan hak mengajukan PK itu sekarang ini sudah ada dalam KUHAP mengenai. "Jika aturannya sudah jelas, maka tidak perlu ada revisi," katanya seraya menambahkan bahwa aturan yang sudah benar itu harus dijalankan tanpa terkecuali. "KUHAP itu sudah menentukan hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana dan bukan pada jaksa penuntut umum," ujarnya. Karenanya jika ada kasus PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, menurut Benny, maka harus ada ketegasan agar hal ini tidak boleh dibiarkan. Hal senada juga dikemukakan ahli hukum pidana UI Indriyanto yang sepakat bahwa PK yang dilakukan aparat penegak hukum tidak ada landasan hukumnya. Meskipun pernah ada kasus bahwa hal ini bisa dilakukan, lanjutnya, seharusnya hal ini tidak lagi dibiarkan. "Mahkamah Agung harus bisa tetap menjaga tatanan hukum agar tidak ada lagi penyimpangan," katanya. Ia pun mengatakan bahwa aturan PK sudah sangat jelas bahwa hal ini merupakan upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada terdakwa dan keluarga atas kekeliruan. "Oleh karenanya tidak bisa ini dilakukan oleh aparat hukum," katanya. Karenanya jika itu dilakukan, menurut dia, upaya hukum lanjutan bagi aparat akan berjalan empat tingkatan mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi hingga PK, padahal ini hanya bisa dilakukan oleh terdakwa. Ditanya apakah perlu adanya revisi KUHAP, Indriyanto menegaskan bahwa hal ini tidak perlu dilakukan, karena revisi diperlukan sebagai terobosan oleh aparat jika memang aturannya tidak jelas. "Sedangkan aturan mengenai PK sudah jelas, jadi buat apa lagi di revisi," katanya. Sementara itu, Gubernur Lemhanas Prof Muladi dalam sambutan tertulisnya pada saat peluncuran buku tentang PK beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dia setuju pendapat penulis buku Adami Chazawi bahwa PK oleh jaksa sebenarnya melanggar lingkungan keteraturan (legisted environment) yang sangat ketat dalam hukum acara pidana. Menurutnya telah terjadi pelanggaran prinsip supermasi hukum dengan mempertahankan kejujuran intelektual (intellectual honesty) yang sama sekali mengungkap kebenaran (truth) dan bukan merupakan pembenaran (justification). "Secara jujur sebenarnya harus diakui bahwa sekalipun KUHAP diundangkan pada tahun 1981 (UU No. 8 Tahun 1981) dalam suasana pemerintahan yang dikategorikan tidak demokratis (orde baru), namun banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang menggambarkan `due process of law` dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya," katanya. Dikatakannya, saat ini sistem inkuisitur yang sangat tidak adil banyak dipengaruhi dengan hal-hal yang positif, sehingga sistem KUHAP banyak yang menyebutkan "gematige inquisitoir" yang mulai memperbaiki hak-hak tersangka, seperti pengaturan tentang pra-peradilan, kewajiban pendampingan oleh penasehat hukum dan sebagainya. "Namun di sana-sini masih terjadi praktek-praktek pelanggaran hak-hak tersangka karena ada peluang untuk menafsirkan lain," ujarnya. Ditambahkannya, di dalam negara hukum yang demokratis secara teoritik dan konseptual dalam penegakan hukum terdapat apa yang dinamakan "area of no enforcement" dimana kekuasaan negara dibatasi secara tegas dan pasti, agar tidak melanggar asas praduga tidak bersalah dan hak-hak dasar warganegara yang harus dilindungi. "Di dalam `area of no enforcement` itulah hukum acara pidana harus ditegakkan secara pasti agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum," tegasnya.(ant/yan) (Sumber: http://erabaru.net/) ------------------------------------ ----------------------------------- KEDUPULUH TIGA Kamis, 11 Maret 2010 Indonesia Against Injustice (IAI) Launching Buku Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Reporter By : M Harun Jakarta, Otonominews,- Satu lagi buku penting tentang hokum di launching. Buku yang berjudul Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan karya Drs H Adami Chazawi SH, pakar hukum Universitas Brawijaya diluncurkan bekerjasama dengan Indonesia Against Injustice, pimpinasn pengacara senior O.C. Kaligis, SH. Peluncuran yang berlangsung meriah di Hotel Nikko Jakarta, Rabo (10/3) siang tersebut dihadiri beberapa pakar hukum terkemuka, antanya: Prof DR Indriyanto Seno Adji ,SH, DR Chaerul Huda, SH,MH, dan prtaktisi Media Karni Ilyas.Presiden Indonesia Against Injustice (IAI), O.C Kaligis mengatakan kami menyesalkan sikap ketidakadilan bagi bangsa ini selama Indonesia merdeka. Begitu juga tentang pnyimpangan dari ketentuan KUHAP itu juga menjadi keprihatinan kita semua. Oleh sebab itu, kata O.C KJaligis dalam sambutannya, ruang-ruang institusi peradilan yang sejatinya merupakan tumpuan harapan terakhir tegaknya keadilan yang didambakan para pencari keadilan. Misalnya kasus Prita, kasus salah tangkap Kemat dkk di Jombang contoh actual keatidak adilan itu,tegas Kaligis.Sementara itu hak pidana, menurut Adami, selaku penulis menyatakan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum luar biasa, PK merupakan hak warga negara yang menjadi terpidana dan ahli warisnya. PK bukan hak negara yang direpresentasikan oleh jaksa. Adami mencontohkan, tragedi besar dalam penegakan hokum itu dimulai di era Orde Baru, jaksa mengajukan PK dalam perkara putusan bebas yang diterima Muchtar Pakpahan. Ternyata, PK yang sangat bermuatan politis itu dikabulkan. Kejaksaan berhasil menggolkan aturan Peninjauan Kembali (PK) jaksa di Mahkamah Agung. Keberhasilan ini langsung dipertanyakan berbagai kalangan. Tentu sangat controversial sekali.Padahal menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Disini Jaksa mencoba menorobos aturan dasar KUHAP dengan mengajukan PK dan MA mengabulkan. Ini menyalahi. PK sejak awalnya , bukan untuk negara dalam hal ini jaksa," kata pakar hukum pidana Universitas Brawijaya yang kini sudah tampak sepuh ini. (harun). (Sumber: http://otonominews.com/)