Rabu, 03 Agustus 2011

Putusan mempidana B Prita Tidak Bisa digunakan Untuk PK Putusan Perdata

Pertanyaan hukumnya, bisakah putusan MA yang mempidana Ibu Prita digunakan sebagai dasar mengajukan PK terhadap putusan perdata yang menolak gugatan RS OMNI dkk?? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikaji lebih dulu kedudukan hubungan antara putusan perkara perdata No. 300/Pdt/2010 dengan putusan pidana MA No. 822K/Pid.Sus/2010. Dalam hal ini perlu dikaji hubungan kedua putusan MA yang saling bertentangan tersebut.
Dua Putusan Mempunyai Hubungan Erat.
Bahwa, antara putusan perkara pidana Pemohon PK MA No. 822K/Pid.Sus/2010 dan No. 300K/Pdt./2010 terdapat hubungan yang sangat erat, yang tidak boleh isi pertimbangan hukum maupun amarnya saling bertentangan.
Dalam masing-masing putusan MA tersebut terdapat pertimbangan hukum mengenai sesuatu in casu penghinaan dan/atau pencemaran yang didakwakan pada Ibu Prita. Namun dalam masing-masing putusan MA tersebut isi pertimbangan hukum mengenai pencemaran telah saling bertentangan, sehingga amar dari masing-masing putusan tersebut juga menjadi saling bertentangan. Kiranya disinilah terdapatnya alasan yang paling kuat bagi Ibu Prita untuk mengajukan PK terhadap putusan perkara pidananya.
Dasar/posita gugatan perdata ialah Pasal 1372 jo 1365 BW yang in casu dimaksud adalah, bahwa Ibu Prita (terdakwa) diduga telah melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap RS OMNI, dr Grace dan dr Hengky Gosal (para penggugat). Artinya untuk mengabulkan petitum gugatan mengenai penggantian kerugian, terlebih dahulu harus dibuktikan telah terjadinya pencemaran tersebut (atau bentuk lain dari penghinaan).
Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1372 jo 1365 BW) Merupakan Sifat Melawan Hukum Bentuk-bentuk Penghinaan.
Ternyata dalam pertimbangan hukum putusan MA No. 300 K/Pdt/2010, gugatan para penggugat ditolak seluruhnya. Artinya perbuatan Ibu Prita bukanlah perbuatan melawan hukum, (yang in casu dari sudut hukum pidana didakwa melakukan pencemaran). Dari sudut perdata, mengandung arti bahwa apa yang dilakukan Ibu Prita bukanlah sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana yang dimaksud Pasal 1372 jo 1365 BW. Dari sudut hukum penghinaan (include di dalamnya pencemaran), kedududkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1372 jo 1365 BW) merupakan tempat atau letak sifat melawan hukum bentuk-bentuk penghinaan. Jika perbuatan melawan hukum tidak terbukti, maka demi hukum tidak mungkin terdapat sifat melawan hukum di dalam suatu peristiwa yang semula didakwakan bentuk-bentuk penghinaan. Oleh karena tidak mengandung sifat melawan hukum, sementara perbuatannya terbukti, maka terhadap terdakwa tidak boleh dipidana, melainkan harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Inilah sesungguhnya yang harus diperjuangan oleh Ibu Prita, melalui pengajuan PK terhadap putusan MA yang mempidananya tersebut.
Oleh sebab perbuatan Ibu Prita tidak mengandung sifat melawan hukum, maka seharusnya dakwaan pencemaran (dan jenis-jenis penghinaan lainnya) dari sudut hukum pidana dinyatakan tidak terbukti pula. Karena dua perkara masing-masing perkara perdata dan perkara pidana pokok objeknya adalah sama, yakni masalah penghinaan dan/atau pencemaran seperti yang didakwakan dalam perkara pidana. Penghinaan (include pencemaran di dalamnya) dari sudut hukum pidana merupakan tindak pidana yang dapat dipidana. Sementara dari sudut hukum perdata adalah merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) – Pasal 1372 jo 1365 BW yang dapat dimintakan ganti kerugian. Disinilah letak hubungan yang sangat erat antara dua perkara tersebut.
Hukum tidak menghendaki terjadinya pertentangan (conflict van rechtspraak) antara dua atau lebih putusan, baik isi pertimbangan hukumnya maupun amar putusannya. Bahwa ratio dan latar belakang dari ketentuan mengenai larangan conflict van rechtspraak sebagaimana dimaksud Pasal 263 Ayat (2) huruf b KUHAP (salah satu dasar mengajukan PK putusan pidana) adalah bertumpu pada kepastian hukum. Dilarang adanya dua atau lebih putusan pengadilan yang saling berhubungan/berkaitan yang sudah mempunyai kekuatan hukum, yang masing-masing pertimbangan hukum maupun amar putusannya saling bertentangan atau berlainan. Disini pula letaknya pentingnya kepastian hukum sebagai tujuan utama dari hukum pidana. Sementara keadilan dan kemanfaatan telah include berada di dalamnya. Bila kepastian hukum ditegakkan pengadilan, dengan demikian keadilan dan kemanfaatan dari putusan tersebut akan tercapai. Contoh konkret kasus Ibu Prita ini sangatlah sesuai.
Putusan Pidana Ibu Prita Tidak Dapat Digunakan Sebagai Dasar Pengajuan PK Terhadap Putusan Perdata
RS OMNI dan kedua dokternya tersebut (para penggugat) boleh saja mengajukan PK terhadap putusan MA No. 300K/Pdt/2010 (putusan perdata) dengan menggunakan putusan MA No. 822/Pid.Sus/2010 sebagai dasarnya. Upaya semacam itu merupakan hak setiap penggugat yang dikalahkan. Namun harus diingat, seperti yang telah penulis tegaskan sebelumnya, bahwa dalam hubungnnya dengan Pasal 1372 jo 1365 BW, unsur sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 UU ITE (termasuk semua bentuk penghinaan) adalah terletak pada terbuktinya semua elemen dari perbuatan melawan hukum Pasal 1372 jo 1365 BW tersebut. Bahwa perbuatan melawan hukum menurut arti Pasal 1372 jo 1365 BW dari sudut hubungannya dengan semua bentuk penghinaan, baik penghinaan dalam Bab XVI KUHP (penghinaan umum maupun khusus) maupun yang diluar KUHP adalah merupakan (letaknya) sifat melawan hukumnya bentuk-bentuk penghinaan tersebut.
Jadi apabila MA sudah memberi pertimbangan dalam putusan perdata (No. 300K/Pdt/2010), bahwa perbuatan melawan hukum Pasal 1372 jo 1365 BW sudah tidak terbukti, maka demi hukum tidak ada sifat melawan hukum dalam tindak pidana pencemaran yang didakwakan. Oleh karena itu dalam hal seperti ini tidak bisa dibalik, putusan pidana untuk mengajukan PK terhadap putusan perdata. Dalam kedudukan dan hubungan kedua putusan tersebut, putusan perkara pidana MA tidak bisa digunakan sebagai alasan PK untuk malawan putusan perkara perdatanya. Dengan menggunakan logika sederhana (awam), dapat diberikan contoh. Bahwa sebuah sabit digunakan untuk memotong rumput (merumput). Bukan dibalik, rumput digunakan untuk memotong sabit. Itulah kira-kira hubungan dan kedudukan kedua putusan MA yang saling bertentangan tersebut.
PK Ibu Prita Jangan Sampai Terlambat Diajukan dan Diputus
Di peradilan Indonesia saat ini, semua kemungkinan masih bisa terjadi. Karena sesuatu hal, kemungkinan yang buruk tersebut bisa benar-benar bisa timbul. Untuk mencegah kemungkinan buruk tersebut, dimana putusan perkara pidana digunakan oleh para Penggugat untuk mengajukan PK terhadap putusan perdata, maka Ibu Prita jangan sampai keduluan oleh para penggugat untuk mengajukan PK terhadap putusan perkara perdatanya. Demikian juga jangan sampai permintaan PK oleh para penggugat diputus lebih dulu. Jika benar-benar RS OMNI dkk menggunakan hak untuk mengajukan PK, cara dan jalan satu-satunya untuk membuat tidak berkutiknya hakim MA ditingkat PK yang mengadili perminataan PK oleh RS OMNI dkk adalah Ibu Prita harus gerak cepat. Jangan sampai kedahuluan diputusnya permintaan PK para penggugat oleh MA.
Bukanlah suatu kesalahan dan celaan kalau PH Ibu Prita mendesak agar permintaan PK nya segera diperiksa dan diputus. Hal semacam itu adalah merupakan hak setiap warga negara. Demikian juga desakan masyarakat, boleh saja diajukan pada PN Tangerang agar segera menyidangkan dan segera mengirimkan berkasnya ke MA. Serta mendesak MA segera memeriksa dan memutus.
Kiranya Ibu Prita tidak terlambat. Beberapa hari yang lalu telah terdengar berita, bahwa PH dari Kantor OC Kaligis telah mengajukan upaya PK tersebut. Belum diketahui kalau-kalau pihak RS OMNI dkk mengajukan upaya PK pula. Yang kita khawatirkan kalau-kalau ada main mata antara MA dengan para penggugat? Hal demikian juga harus diwaspadai. Masyarakat dan pers harus terus membuka dan membelalakkan mata mengamati perkembangan kasus ini.
Apabila permintaan PK Ibu Prita dikabulkan, dan putusan MA yang mengadili permintaan PK Ibu Prita menarik amar “membatalkan putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010, dan melepaskan terdakwa dari segala tuntunan hukum. Andaikata para penggugat (RS OMNI, dr Grace dan dr Hengky Gosal) juga mengajukan PK dan belum diputus, kiranya sudah tertutup kemungkinan untuk dapat dikabulkan. Mengingat putusan PK yang melepaskan dari segala tuntutan hukum Ibu Prita tidak mungkin diubah lagi untuk disesuaikan dengan putusan perdata yang bertentangan dengan putusan pidananya. Justru sebaliknya putusan perdata tetap akan dipertahankan, karena tidak boleh bertentangan dengan putusan pidana yang tidak mungkin dilawan dengan upaya hukum apapun. Jangan sampai timbul upaya hukum gregetan, seperti upaya hukum PK oleh Jaksa PU terhadap putusan pembebasan Muchtar Pakpahan yang kemudian menjadi malapetaka besar dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.
Semoga hakim pada Mahkamah Agung yang mengadili upaya hukum PK mengabulkan permintaan PK Ibu Prita tersebut. Amin ya Robbal Allamin. Kita tunggu.
Kampus FH UB, 2-8-2011
H. Adami Chazawi

Senin, 01 Agustus 2011

DASAR IBU PRITA MENGAJUKAN UPAYA PK

Putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010 yang mengabulkan permohonan kasasi Jaksa PU dan menjatuhkan pidana terhadap Ibu Prita Mulyasari memang patut dilawan dengan PK. Meskipun putusn itu bersyarat. Pidana 6 bulan penjara tidak perlu dijalankan selama syarat dalam masa percobaan (1 tahun), terpidana tidak melakukan tindak pidana (apapun). Namun putusan pemidanaan tersebut sudah memberi cap penjahat pada Ibu Prita. Putusan itu sangat menyakitkan. Oleh karena itu harus dilawan dengan upaya peninjauan kembali (PK). Beberapa dasar dan alasan yang dapat digunakan. Setidak-tidaknya ada dua dasar.

I. Dasar Pertama: Putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010 (perkara pidana) bertentangan dengan putusan MA No. 300K/Pdt/2010 (perkara perdata). Dengan mengutip Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP, terdapatnya pernyataan sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah saling bertentangan satu dengan yang lain (Conflict van Rechtspraak).
Bahwa, antara putusan perkara pidana Pemohon PK MA No. 822K/Pid.Sus/2010 dan No. 300K/Pdt./2010 terdapat hubungan yang sangat erat, yang tidak boleh isinya saling bertentangan.
Dalam masing-masing putusan MA tersebut terdapat pertimbangan hukum mengenai sesuatu in casu penghinaan dan/atau pencemaran yang didakwakan pada Pemohon PK. Namun dalam masing-masing putusan MA tersebut isi pertimbangan hukum mengenai pencemran tersebut telah saling bertentangan, sehingga amar dari masing-masing putusan tersebut juga menjadi saling bertentangan.
Dasar/posita gugatan perdata (saya pastikan) Pasal 1365 jo 1372 BW in casu yang dimaksud adalah, bahwa Ibu Prita (terdakwa dalam perkara pidana) diduga telah melakukan penghinaan dan/atau penecamaran nama baik terhadap RS OMNI, dr Grace dan dr Hengky Gosal (para penggugat). Artinya untuk mengabulkan petitum gugatan mengenai penggantian kerugian, terlebih dahulu harus dibuktikan telah terjadinya pencemaran tersebut (atau bentuk lain dari penghinaan). Ternyata dalam pertimbangan hukum putusan MA No. 300 K/Pdt/2010, gugatan para penggugat ditolak seluruhnya. Artinya perbuatan Ibu Prita bukanlah perbuatan melawan hukum, (yang in casu dari sudut hukum pidana didakwa melakukan pencemaran). Dari sudut perdata, mengandung arti bahwa apa yang dilakukan Ibu Prita bukanlah sebagai perbuatan melawan hukum ((onrechtmatige daad) sebagaimana yang dimaksud Pasal 1365 jo 1372 BW. Seharusnya dari sudut hukum pidana apa yang dilakukan Ibu Prita bukanlah merupakan penemaran. .
Bahwa apabila dari sudut hukum perdata in casu perbuatan melawan hukum Pasal 1365 jo 1372 BW dinyatakan tidak terbukti. Maka seharusnya dakwaan pencemaran (dan jenis-jenis penghinaan lainnya) dari sudut hukum pidana seperti pada pertimbangan hukum putusan MA No 822K/Pid.Sus/2010 dinyatakan tidak terbukti pula. Karena dua perkara masing-masing perkara perdata dan perkara pidana pokok objeknya adalah sama, yakni masalah penghinaan dan/atau pencemaran seperti yang didakwakan dalam perkara pidana. Disinilah letak hubungan yang sangat erat antara dua perkara tersebut.
Bahwa ratio dan latar belakang dari ketentuan mengenai larangan adanya conflict van rechtspraak sebagaimana dimaksud Pasal 263 Ayat (2) huruf b KUHAP tersebut adalah bertumpu pada kepastian hukum. Artinya dilarang adanya dua atau lebih putusan pengadilan yang saling berhubungan/berkaitan yang sudah mempunyai kekuatan hukum, yang masing-masing pertimbangan hukum maupun amar putusnnya saling bertentangan atau berlainan.
Bahwa oleh karena itu putusan perkara perdata MA No. 300K/Pdt/2010 adalah mutlak yang digunakan sebagai alasan PK untuk membatalkan putusan MA perkara pidana No. 822 K/Pid. Sus/2010. Insya Allah hakim MA PK nanti akan menggunakan alasan ini untuk membatalkan putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010.
Sehubungan hal ini, ada pertanyaan yang bisa timbul. Apakah putusan MA yang menghukum Ibu Prita tersebut dapat digunakan untuk mengajukan PK perkara perdatanya?
Jawaban singkatnya. RS OMNI dan kedua dokternya tersebut (para penggugat) boleh saja mengajukan PK terhadap putusan MA No. 300K/Pdt/2010 (putusan perdata), karena hal semacam itu merupakan hak setiap penggugat yang dikalahkan. Namun harus diingat bahwa unsur sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 UU ITE (termasuk semua bentuk penghinaan) dalam hubungnnya dengan Pasal 1365 jo 1372 BW, adalah terletak pada terbuktinya semua elemen dari perbuatan melawan hukum Pasal 1365 jo 1372 BW tersebut. Jadi jika perbuatan melawan hukum Pasal 1365 jo 1365 BW sudah tidak terbukti, maka demi hukum tidak ada sifat melawan hukum dalam tindak pidana pencemaran yang didakwakan. Oleh karena itu tidak bisa dibalik. Putusan perkara pidana MA tidak bisa digunakan sebagai alasan PK untuk malawan putusan perkara perdatanya. Dengan menggunakan logika sederhana, dapat diberikan contoh. Bahwa sebuah sabit digunakan untuk memotong rumput (merumput). Bukan dibalik, rumput digunakan untuk memotong sabit.
II. Dasar yang kedua. Putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010 Dengan jelas memperlihatkan Suatu Kekhilafan Hakim atau Suatu Kekeliruan yang Nyata (Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP.
1. Alasan Pertama. MA dalam putusan No. 822K/Pid.Sus/2010 telah salah dalam mengartikan arti juridis dari tindak pidana pencemaran.
Kualifikasi atau istilah pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE mempunyai arti juridis yang sama dengan pencemaran (smaad) dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Dalam UU ITE tidak ada penjelasan mengenai arti juridis istilah pencemaran. Maka itu Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merupakan lex specialis dari Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Pengertian pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE sama dengan arti penemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP.
Kekeliruan putusan No. 822K/Pid.Sus/2010 terletak pada memberi arti dan menerapkan unsur/istilah asli (Belanda) dalam Pasal 310 Ayat (1) WvS voor Nederlandsche Indie yang bunyinya “telastlegging van een bepaald feit” ke dalam kasus pidana, dimana mengirimkan e-mailnya ke temannya yang dipertimbangkan oleh judex juris sebagai pencemaran.
Bahwa terjemahan yang sebenarnya dari unsur/frasa “telastlegging van een bepaald feit” adalah “menuduhkan melakukan suatu perbuatan tertentu”. Meskipun ada pakar menterjemahkan dengan menuduhkan “suatu hal”, namun “hal” yang dimaksud itu tiada lain adalah suatu perbuatan tertentu. Kata asli yang digunakan oleh WvS voor Nederlandsce Indie adalah jelas-jelas “feit” lengkapnya van een bepalld feit, artinya suatu perbuatan tertentu. Kata feit itu artinya perbuatan. Tidak bisa diartikan lain.
Inti pencemaran adalah menyerang (aanranden) nama baik (goeden naam) dan kehormatan (eer) orang lain dengan menuduhkan perbuatan tertentu (een feit). Unsur perbuatan yang dilarang adalah menyerang (aanrenden). Objeknya adalah nama baik dan kehormatan orang. Sementara caranya menyerang adalah dengan menuduhkan perbuatan tertentu (een feit). Oleh sebab itulah dalam setiap pencemaran [Pasal 310 Ayat (1) KUHP], maka yang harus dibuktikan ialah semua unsur itu, tak terkecuali unsur caranya menyerang in casu menuduh melakukan perbuatan tertentu (yang memalukan orang yang diserang tersebut).
Bahwa MA dalam putusannya No. 822K/Pid.Sus/2010 ternyata telah salah dalam hal memahami dan menerapkan terhadap unsur “telastlegging van een bepaald feit”. Salahnya ialah isi e-mail pemohon PK yang berbunyi “Saya informasikan juga dr Hengky praktik di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini, dan tanggapan dr Grace yang katanya adalah penanggungjawab masalah complain saya ini tidak profersional sama sekali dan tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer”, telah dinilai sebagai “telastlegging van een bepaald feit” pada dr Henky dan dr Grace, sehingga kehormatan dan nama baik tercemar. Dalam kalimat tersebut tidak terdapat bentuk konkret perbuatan apa yang dituduhkan Ibu Prita kedapa dua dokter tersebut.
Sebenarnya isi e-mail Ibu Prita tersebut hanya dapat ditpertimbangkan sebagai benntuk perbuatan dalam penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP). Dimana dalam Pasal 315 ada unsur tidak bersifat pencemaran. Sedangkan yang dimaksud tidak bersifat pencemaran itu salah satumnya adalah “tidak bersifat menuduhkan melakukan perbuatan (konkret) tertentu”. Namun Pasal 315 tidak didakwakan. Tidak boleh mempidana terdakwa apabila tidak didakwakan.
Sementara bagi RS OMNI dalam hal dakwaan pencemaran atau bentuk-bentuk penginaan lainnya, tidak merupakan hal yang penting. Karena mengenai penghinaan umum (Bab XVI KUHP) tidak bisa ditujukan (objeknya) pada korporasi seperti RS OMNI, melainkan hanyalah pada orang pribadi.
Pertimbangan hukum putusan tersebut tidak tepat. Alasannya, karena dalam kalimat tersebut tidak terdapat sedikitpun perbuatan konkret yang sifatnya menuduhkan pada para Penggugat dengan melakukan perbuatan tertentu (een beppald feit). Padahal dalam penecamaran harus jelas dan pasti mengenai wujud cara menyerang kehormatan dan nama baik orang lain tersebut, yakni dengan wujud konkret perbuatan tertentu.
Lagi pula apa yang ditulis oleh pemohon PK tersebut adalah berupa keluhan yang dirasakannya selama perawatan - isinya benar. Bukan sesuatu yang mengada-ada. Dalam konteks perjanjian khususnya di bidang kesehatan dan konsumen dari perawatan medis yang dilakukan terhadapnya, mengemukakan keluhan seperti itu adalah menjadi haknya, yang tidak boleh dilarang.
2. Alasan Kedua
Bahwa pertimbangan hukum MA dalam putusan yang menyatakan bahwa apa yang ditulis oleh pemohon PK dalam e-mailnya tersebut tidak dapat dianggap sebagai bukan untuk kepentingan umum, dikarenakan ditujukan pada dr. Hengky dan dr Grace.
Pertimbangan hukum ini kurang tepat. MA telah salah dalam memberi arti tentang “untuk kepentingan umum” sebagai dasar peniadaan sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (3) maupun fitnah (Pasal 311, karena pencemaran salah satu unsur fitnah).
Meskipun alasan untuk kepentingan umum ini baru penting, dan akan dipertimbangkan apabila unsur perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan dengan cara menuduhkan perbuatan tertentu pada orang lain - Pasal 310 Ayat (1) sudah terpenuhi. Yang menurut saya sebagaimana yang diutarakan sebelumnya, pencemaran telah tidak terjadi dalam kasus Ibu Prita ini.
Namun andaikata unsur caranya menyerang (dalam pencemaran) telah terpenuhi, maka barulah penting alasan bahwa perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum. Oleh karenanya Ibu Prita tidak boleh dipidana dan harus dilepaskan dari tuntutan hukum.
Bahwa apa yang dimaksud “demi untuk kepentingan umum” sebagai alasan peniadaan atau hapusnya sifat melawan hukum pencemaran, menurut sifat dan keadaannya ada dua syarat kumultif, yaitu:
• Pertama, sifat dari isinya tuduhan adalah bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dari yang menuduh saja, tetapi juga bagi orang lain atau siapa saja yang akan dan hendak berhubungan dengan orang yang dituduh tersebut. Hal ini terbukti dari bagian kalimat Ibu Prita dalam E-mailnya tersbut yang berbuyni “... hati-hati dengan perawatan medis ...dst...” Sangat jelas sifat isi dari email pemohon PK tersebut adalah untuk kehati-hatian pada temannya yang dituju.
• Kedua, isi apa yang dituduhkan itu wajib mengandung kebenaran. Dalam hal mengamati kasus ini, tidak cukup bukti bahwa apa yang dikatakan Ibu Prita sebagai kebohongan. Peringatan kehati-hatian tersebut beralasan, karena pihak RS telah melakukan suatu kesalahan dalam mendiagnosa. Diantaranya, semula hasil lab trombosit Ibu Prita adalah 27.000. (tidak normal karena yang normal adalah 150.000 s/d 400.000.000). Ternyata hasil ini salah, karena setelah dilakukan pemeriksaan lab kedua adalah 181.000 (normal). Selama dirawat di RS OMNI, pasien merasa penyakitnya tidak sembuh-sembuh, malahan semangkin sakit. Sehingga pasien pindah.
Apa yang saya tulis sekedar pendapat. Bagi mahasiswa yang memprogramkan praktik peradilan pidana, silakan memberi tanggapan. Anda akan mendapatkan nilai tambahan.
Demikian pendapat saya mengenai dasar dan alasan PK yang dapat digunakan oleh Ibu Prita.