Kamis, 11 April 2013

TINDAK PIDANA PERS DALAM KUHP BUKAN LEX SPECIALIS DALAM UU PERS

Arti Tindak Pidana Pers. Undang-undang tidak mengenal istilah tindak pidana pers. Istilah itu dikenal dalam masyarakat, merupakan istilah sosial. Suatu istilah yang menggambarkan sekelompok tindak pidana yang mengandung ciri-ciri: • Dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan. wujudnya bisa bermacam-macam bergantung dan berhubungan dengan unsur perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana tertentu yang bersangkutan. Misalnya menyerang kehormatan atau nama baik dengan tulisan (Pasal 310 KUHP); menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan (Pasal 144, 155, 157 KUHP). • Objek yang dipublikasikan adalah berita/informasi, atau mengenai buah pikiran tertentu. • Caranya atau sarananya dengan menggunakan tulisan/barang cetakan. • Di dalam berita/informasi mengandung sifat melawan hukum. Karena isinya melanggar kepentingan hukum orang pribadi atau masyarakat termasuk Negara yang dilindungi hukum. Agar dapat dipidananya tindak pidana pers, selain perlu memenuhi unsur tersebut juga harus adanya kesengajaan, yang ditujukan baik terhadap perbuatnnya, sifat melawan hukumnya perbuatan maupun sifat melawan hukum mengenai isi beritanya. Kesengajaan harus dibuktikan ataukah tidak, bergantung dicantumkan ataukah tidak di dalam rumusan tindak pidana in concreto. Unsur sengaja selalu harus dianggap ada pada setiap kejahatan, kecuali jika dinyatakan secara expressis verbis kulpa. Jika dicantumkan wajib dibuktikan, sebaliknya jika tidak – tidak perlu dibuktikan. Dengan terbuktinya perbuatan unsur sengaja dianggap terbukti pula. Sebaliknya kalau yang terbukti ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) terhadap unsur tertentu, tidak boleh dipidana. Ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) merupakan alasan penghapus kesalahan. Tindak pidana bentuk apapun, baru dapat dimasukkan ke dalam kelompok tindak pidana pers, apabila memenuhi ciri-ciri tersebut. Tindak pidana yang memenuhi ciri itu, terdapat pada bermacam-macam tindak pidana tertentu. Misalnya dalam bentuk-bentuk penghinaan, penghasutan, pornografi, menyiarkan berita bohong, pembocoran rahasia Negara, dll. Arti Tindak Pidana Lex Specialis Dalam doktrin yang dimaksud tindak pidana lex sepecialis adalah tindak pidana yang disamping mengandung unsur-unsur pokok dalam tindak pidana umum (lex generalis), juga mengandung satu atau lebih unsur khusus. Pembedaan tindak pidana umum dan khusus berhubungan dengan cara pembentuk undang-undang (KUHP) dalam merumuskan dan membedakan berat ringannya tindak pidana yang sejenis. Pembentuk undang-undang membedakan antara tindak pidana bentuk pokok (umum/standar) dan bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan dalam jenis yang sama. Misalnya pada pencurian. Bentuk standarnya dalam Pasal 362, bentuk yang lebih berat dalam Pasal 363 dan 365. Sementara bentuk yang lebih ringan dalam Pasal 364. Tidak semua jenis tindak pidana bisa ditentukan bentuk standarnya, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan. Maksud membedakan bentuk standar, yang lebih berat dan yang lebih ringan adalah dalam rangka menentukan berat ringan beban pertanggungjawaban pidananya. Berat ataukah ringan bergantung sifat dari unsur khususnya. Unsur khusus ini yang menentukan keberlakuan bentuk tindak pidananya, beserta berat ringan pertanggungjawaban pidananya. Seperti ditentukan dalam Pasal 63 Ayat (2) KUHP. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Apa yang dimaksud dengan “perbuatan” (feit) disitu, haruslah diartikan secara luas, bukan arti sempit sebagai perbuatan jasmani. Harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana. Singkatnya perbuatan sebagai tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam tindak pidana in concreto. Dari keterangan singkat tersebut di atas, maka istilah lex specialis haruslah diartikan sebagai tindak pidana specialis, bukan undang-undang specialis. Jelas dari bunyi Pasal 63 Ayat (2) KUHP, sebagai dasar hukum keberlakuan lex specialis. Ayat (2) pasal itu dengan tegas menyebutkan “suatu perbuatan” (een feit) bukan suatu undang-undang (een wet). Suatu perbuatan yang harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana alias tindak pidana. Berbeda halnya dengan UU ITE (No. 11/2008), terdapat beberapa tindak pidana padanan dari tindak pidana tertentu dalam KUHP. Misalnya pencemaran (KUHP), ada padanannya di dalam UU ITE, yaitu jika dilakukan dengan mendistribusikan atau mentransmisikan tulisan yang isinya pencemaran melalui sarana teknologi ITE, maka bukan pencemaran dalam KUHP yang diterapkan, melainkan pencemaran di dalam UU ITE. Sementara UU Pers sama sekali tidak ditemukan keadaan seperti UU ITE. Apa dasar untuk menentukan tindak pidana masuk pada lex specialis dari suatu lex generalis? Dasarnya adalah: 1. Di atas telah disampaikan ciri/indikator umumnya ialah, dalam tindak pidana bentuk khusus (lex specialis) terdapat semua unsur tindak pidana bentuk umumnya (lex generalis) ditambah satu atau lebih unsur-unsur khusus. Unsur khusus itulah yang menyebabkan diterapkannya lex specialis. 2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum (lex generalis) dan bentuk khususnya (lex specialis) harus sama. Misalnya lex generalis penghinaan, lex spesialisnya juga penghinaan. Jika lex generalisnya pornografi, maka lex specialisnya juga harus mengenai hal pornografi. 3. Subjek hukum tindak pidana juga dapat menentukan. Dalam tindak pidana bentuk umum (orang ataukah badan) harus sama dengan subjek hukum tindak pidana dalam bentuk khususnya. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Bukan merupakan lex specialis apabila subjek hukum yang dianggap lex generalis adalah orang sementara subjek hukum yang dianggap lex specialis adalah badan. Misalnya pers yang menyiarkan pornografi tidak bisa melanggar Pasal 18 (2) jo Pasal 5 (1) UU Pers. Pasal 18 (1) bukan lex specialis dari Pasal 282 KUHP. Karena subjek hukum pornografi menurut KUHP adalah orang. Sementara subjek hukum Pasal 18 (1) UU Pers adalah perusahaan pers. 4. Objek tindak pidana lex specialisnya harus sama dengan objek hukum lex generalisnya. Kalau objek lex generalisnya adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan orang. Kalau objek lex generalis adalah tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, maka lex specialisnya juga merupakan tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan.. 5. Kepentingan hukum yang hendak dilindungi juga harus sama. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormtan, maka lex specialisnya juga demikian. 6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas ini tidak berlaku. Karena berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah. Tindak Pers dal UU Pers Bukan Lex Specialis dari KUHP Ada keberatan yang cukup beralasan untuk menolak memberlakukan UU Pers terhadap tindak pidana pers yang kebetulan bersesuaian dengan tindak pidana dalam KUHP, misalnya bentuk-bentuk penghinaan. Dari indikator lex specialis seperti tersebut di atas, bertambah jelas bahwa jenis-jenis tindak pers dalam KUHP, sukar untuk bisa ditempatkan sebagai lex specialis dari kaca mata UU Pers. Dari ciri-ciri lex specialis tersebut di atas, dapatlah ditetapkan alasan-alasan kesukaran menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers (seperti bentuk-bentuk penghinaan dengan menggunakan pers). Sukar mencari padanan tindak pidana pers jenis-jenis tertentu di dalam KUHP di dalam UU Pers. Dari sinilah pula salah satu alasan banyak ahli hukum untuk menolak pemberlakuan UU Pers terhadap kasus-kasus tindak pidana pers, seperti jenis-jenis penghinaan. Karena sulit untuk mencari padanannya. Bagaimana caranya memberlakukan UU Pers terhadap kasus penghinaan misalnya pencemaran. Tidak dapat ditemukan jalannya. Di dalam UU Pers tidak terdapat tindak pidana padanannya. Padahal untuk dinyatakan sebagai tindak pidana lex specialis di luar KUHP, haruslah ada tindak pidana padanannya. Andaikata bentuk-bentuk penghinaan (KUHP), misalnya pencemaran [Pasal 310 Ayat (2)] hendak dipaksakan sebagai lex specialis – masuk dalam Pasal 18 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (1) UU Pers, sehingga UU Perslah diterapkan, kesukarannya adalah: • Pertama, mungkinkah tindak pidana pencemaran, yang unsur-unsurnya tertentu dan sangat jelas pengertiannya disamakan artinya dengan (kalimat) “pers telah melanggar kewajiban hukumnya untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat….”? Misalnmya hendak memaksakan kehendak bahwa semua unsur pencemaran dengan tulisan Pasal 310 (2) semuanya sudah terdapat dalam unsur/frasa “tidak menghormati kesusilaan? Bisakah kita menerimanya? Penafsiran model apa yang dapat diterapkan untuk membenarkan pandangan seperti itu? Mungkinkah para pakar hukum bisa menjawab pertanyaan tersebut? Secara sosiologis mungkin ada pakar yang dapat menemukan jawabannya. Namun secara yuridis kiranya tidak mungkin. • Kedua, indikator lex specialis yang menyangkut subjek hukum sebagai mana disebutkan pada angka 3 juga menjadi halangan untuk menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers. Subjek hukum tindak pidana dalam KUHP yang kebetulan dapat dilakukan melalui pers adalah orang pribadi. Sementara subjek hukum tindak pidana pers menurut UU Pers adalah “perusahaan pers”. Dari apa yang diterangkan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tidak bisa menggunakan UU Pers untuk mengadili jenis-jenis tindak pidana pers dalam KUHP. Meskipun dengan menggunakan alasan harus terlebih dulu menggunakan hak jawab atau hak koreksi. Menurut kalangan pers harus terlebih dulu menggunakan hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers. Tiadanya upaya seperti itu bukan merupakan alasan untuk tidak menuntut pidana. Karena penuntutan pidana tindak pidana pers tidak ada hubungannya dengan hak jawab dan hak koreksi serta upaya Dewan Pers. Perdamaian yang dihasilkan oleh upaya Dewan Pers, hanya bisa memengaruhi terhadap penjatuhan pidana in concreto saja. Tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana si pembuat dalam melakukan tindak pidana pers. Belum/tidak menggunakan hak jawab atau hak dan kewajiban koreksi atau mediasi melalui Dewan Pers tidak bisa digunakan sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana terhadap si pembuat tindak pidana pers. Hak jawab, hak dan kewajiban koreksi sekedar hak korban dan kewajiban pers untuk menempatkan informasi/berita yang semula dianggap salah pada keadaan yang sebenarnya. Ketiadaan upaya-upaya itu sekali-kali bukan alasan untuk meniadakan hak Negara untuk menuntut pidana. Meskipun merupakan delik aduan. Bila pengaduan dicabut masih dalam waktu 3 bulan sejak pengaduan diajukan, hapusnya hak Negara menuntut bukan didasarkan karena tiadanya penggunaana hak jawab atau hak koreksi atau upaya mediasi, tetapi karena pengaduan dicabut. Mediasi sekedar penting dalam penyelesaian konflik keperdataan, mengenai penggantian kerugian akibat dari perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 dan atau 1372 BW. Tidak penting dalam hal penyelesaian menurut hukum pidana melalui penuntutan pidana oleh Negara atas pengaduan atau laporan korban tindak pidana pers. Apabila pemerintah hendak memberi perlindungan hukum yang lebih luas terhadap kebebasan pers dalam usaha pers menjalankan fungsinya, maka dalam UU Pers harus ditambahkan satu norma yang tegas menyatakan, bahwa untuk mengajukan tuntutan pidana tindak pidana pers, harus terlebih dulu dilakukan hak jawab atau hak/kewajiban koreksi dan mediasi melalui Dewan Pers. Apabila upaya mediasi gagal, barulah terhadap si pembuat kasus itu dapat dilakukan penuntutan pidana. Jadi seharusnya ada 3 (tiga) syarat untuk dapatnya melakukan penuntutan pidana tindak pidana pers, ialah: (pertama) harus terlebih dulu korban menggunakan hak jawab; dan (kedua) korban dan pers harus melakukan mediasi melalui perentaraan Dewan Pers; dan (ketiga) upaya mediasi tersebut ternyata gagal. Kegagalan upaya mediasi dapat ditempatkan sebagai alasan utama penuntutan pidana. Tanpa ketentuan seperti itu, maka praktik akan tetap berjalan seperti keadaan sekarang.

TINDAK PIDANA PERS DALAM KUHP BUKAN LEX SPECIALIS DALAM UU PERS

Arti Tindak Pidana Pers. Undang-undang tidak mengenal istilah tindak pidana pers. Istilah itu dikenal dalam masyarakat, merupakan istilah sosial. Suatu istilah yang menggambarkan sekelompok tindak pidana yang mengandung ciri-ciri: • Dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan. wujudnya bisa bermacam-macam bergantung dan berhubungan dengan unsur perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana tertentu yang bersangkutan. Misalnya menyerang kehormatan atau nama baik dengan tulisan (Pasal 310 KUHP); menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan (Pasal 144, 155, 157 KUHP). • Objek yang dipublikasikan adalah berita/informasi, atau mengenai buah pikiran tertentu. • Caranya atau sarananya dengan menggunakan tulisan/barang cetakan. • Di dalam berita/informasi mengandung sifat melawan hukum. Karena isinya melanggar kepentingan hukum orang pribadi atau masyarakat termasuk Negara yang dilindungi hukum. Agar dapat dipidananya tindak pidana pers, selain perlu memenuhi unsur tersebut juga harus adanya kesengajaan, yang ditujukan baik terhadap perbuatnnya, sifat melawan hukumnya perbuatan maupun sifat melawan hukum mengenai isi beritanya. Kesengajaan harus dibuktikan ataukah tidak, bergantung dicantumkan ataukah tidak di dalam rumusan tindak pidana in concreto. Unsur sengaja selalu harus dianggap ada pada setiap kejahatan, kecuali jika dinyatakan secara expressis verbis kulpa. Jika dicantumkan wajib dibuktikan, sebaliknya jika tidak – tidak perlu dibuktikan. Dengan terbuktinya perbuatan unsur sengaja dianggap terbukti pula. Sebaliknya kalau yang terbukti ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) terhadap unsur tertentu, tidak boleh dipidana. Ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) merupakan alasan penghapus kesalahan. Tindak pidana bentuk apapun, baru dapat dimasukkan ke dalam kelompok tindak pidana pers, apabila memenuhi ciri-ciri tersebut. Tindak pidana yang memenuhi ciri itu, terdapat pada bermacam-macam tindak pidana tertentu. Misalnya dalam bentuk-bentuk penghinaan, penghasutan, pornografi, menyiarkan berita bohong, pembocoran rahasia Negara, dll. Arti Tindak Pidana Lex Specialis Dalam doktrin yang dimaksud tindak pidana lex sepecialis adalah tindak pidana yang disamping mengandung unsur-unsur pokok dalam tindak pidana umum (lex generalis), juga mengandung satu atau lebih unsur khusus. Pembedaan tindak pidana umum dan khusus berhubungan dengan cara pembentuk undang-undang (KUHP) dalam merumuskan dan membedakan berat ringannya tindak pidana yang sejenis. Pembentuk undang-undang membedakan antara tindak pidana bentuk pokok (umum/standar) dan bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan dalam jenis yang sama. Misalnya pada pencurian. Bentuk standarnya dalam Pasal 362, bentuk yang lebih berat dalam Pasal 363 dan 365. Sementara bentuk yang lebih ringan dalam Pasal 364. Tidak semua jenis tindak pidana bisa ditentukan bentuk standarnya, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan. Maksud membedakan bentuk standar, yang lebih berat dan yang lebih ringan adalah dalam rangka menentukan berat ringan beban pertanggungjawaban pidananya. Berat ataukah ringan bergantung sifat dari unsur khususnya. Unsur khusus ini yang menentukan keberlakuan bentuk tindak pidananya, beserta berat ringan pertanggungjawaban pidananya. Seperti ditentukan dalam Pasal 63 Ayat (2) KUHP. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Apa yang dimaksud dengan “perbuatan” (feit) disitu, haruslah diartikan secara luas, bukan arti sempit sebagai perbuatan jasmani. Harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana. Singkatnya perbuatan sebagai tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam tindak pidana in concreto. Dari keterangan singkat tersebut di atas, maka istilah lex specialis haruslah diartikan sebagai tindak pidana specialis, bukan undang-undang specialis. Jelas dari bunyi Pasal 63 Ayat (2) KUHP, sebagai dasar hukum keberlakuan lex specialis. Ayat (2) pasal itu dengan tegas menyebutkan “suatu perbuatan” (een feit) bukan suatu undang-undang (een wet). Suatu perbuatan yang harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana alias tindak pidana. Berbeda halnya dengan UU ITE (No. 11/2008), terdapat beberapa tindak pidana padanan dari tindak pidana tertentu dalam KUHP. Misalnya pencemaran (KUHP), ada padanannya di dalam UU ITE, yaitu jika dilakukan dengan mendistribusikan atau mentransmisikan tulisan yang isinya pencemaran melalui sarana teknologi ITE, maka bukan pencemaran dalam KUHP yang diterapkan, melainkan pencemaran di dalam UU ITE. Sementara UU Pers sama sekali tidak ditemukan keadaan seperti UU ITE. Apa dasar untuk menentukan tindak pidana masuk pada lex specialis dari suatu lex generalis? Dasarnya adalah: 1. Di atas telah disampaikan ciri/indikator umumnya ialah, dalam tindak pidana bentuk khusus (lex specialis) terdapat semua unsur tindak pidana bentuk umumnya (lex generalis) ditambah satu atau lebih unsur-unsur khusus. Unsur khusus itulah yang menyebabkan diterapkannya lex specialis. 2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum (lex generalis) dan bentuk khususnya (lex specialis) harus sama. Misalnya lex generalis penghinaan, lex spesialisnya juga penghinaan. Jika lex generalisnya pornografi, maka lex specialisnya juga harus mengenai hal pornografi. 3. Subjek hukum tindak pidana juga dapat menentukan. Dalam tindak pidana bentuk umum (orang ataukah badan) harus sama dengan subjek hukum tindak pidana dalam bentuk khususnya. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Bukan merupakan lex specialis apabila subjek hukum yang dianggap lex generalis adalah orang sementara subjek hukum yang dianggap lex specialis adalah badan. Misalnya pers yang menyiarkan pornografi tidak bisa melanggar Pasal 18 (2) jo Pasal 5 (1) UU Pers. Pasal 18 (1) bukan lex specialis dari Pasal 282 KUHP. Karena subjek hukum pornografi menurut KUHP adalah orang. Sementara subjek hukum Pasal 18 (1) UU Pers adalah perusahaan pers. 4. Objek tindak pidana lex specialisnya harus sama dengan objek hukum lex generalisnya. Kalau objek lex generalisnya adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan orang. Kalau objek lex generalis adalah tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, maka lex specialisnya juga merupakan tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan.. 5. Kepentingan hukum yang hendak dilindungi juga harus sama. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormtan, maka lex specialisnya juga demikian. 6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas ini tidak berlaku. Karena berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah. Tindak Pers dal UU Pers Bukan Lex Specialis dari KUHP Ada keberatan yang cukup beralasan untuk menolak memberlakukan UU Pers terhadap tindak pidana pers yang kebetulan bersesuaian dengan tindak pidana dalam KUHP, misalnya bentuk-bentuk penghinaan. Dari indikator lex specialis seperti tersebut di atas, bertambah jelas bahwa jenis-jenis tindak pers dalam KUHP, sukar untuk bisa ditempatkan sebagai lex specialis dari kaca mata UU Pers. Dari ciri-ciri lex specialis tersebut di atas, dapatlah ditetapkan alasan-alasan kesukaran menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers (seperti bentuk-bentuk penghinaan dengan menggunakan pers). Sukar mencari padanan tindak pidana pers jenis-jenis tertentu di dalam KUHP di dalam UU Pers. Dari sinilah pula salah satu alasan banyak ahli hukum untuk menolak pemberlakuan UU Pers terhadap kasus-kasus tindak pidana pers, seperti jenis-jenis penghinaan. Karena sulit untuk mencari padanannya. Bagaimana caranya memberlakukan UU Pers terhadap kasus penghinaan misalnya pencemaran. Tidak dapat ditemukan jalannya. Di dalam UU Pers tidak terdapat tindak pidana padanannya. Padahal untuk dinyatakan sebagai tindak pidana lex specialis di luar KUHP, haruslah ada tindak pidana padanannya. Andaikata bentuk-bentuk penghinaan (KUHP), misalnya pencemaran [Pasal 310 Ayat (2)] hendak dipaksakan sebagai lex specialis – masuk dalam Pasal 18 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (1) UU Pers, sehingga UU Perslah diterapkan, kesukarannya adalah: • Pertama, mungkinkah tindak pidana pencemaran, yang unsur-unsurnya tertentu dan sangat jelas pengertiannya disamakan artinya dengan (kalimat) “pers telah melanggar kewajiban hukumnya untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat….”? Misalnmya hendak memaksakan kehendak bahwa semua unsur pencemaran dengan tulisan Pasal 310 (2) semuanya sudah terdapat dalam unsur/frasa “tidak menghormati kesusilaan? Bisakah kita menerimanya? Penafsiran model apa yang dapat diterapkan untuk membenarkan pandangan seperti itu? Mungkinkah para pakar hukum bisa menjawab pertanyaan tersebut? Secara sosiologis mungkin ada pakar yang dapat menemukan jawabannya. Namun secara yuridis kiranya tidak mungkin. • Kedua, indikator lex specialis yang menyangkut subjek hukum sebagai mana disebutkan pada angka 3 juga menjadi halangan untuk menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers. Subjek hukum tindak pidana dalam KUHP yang kebetulan dapat dilakukan melalui pers adalah orang pribadi. Sementara subjek hukum tindak pidana pers menurut UU Pers adalah “perusahaan pers”. Dari apa yang diterangkan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tidak bisa menggunakan UU Pers untuk mengadili jenis-jenis tindak pidana pers dalam KUHP. Meskipun dengan menggunakan alasan harus terlebih dulu menggunakan hak jawab atau hak koreksi. Menurut kalangan pers harus terlebih dulu menggunakan hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers. Tiadanya upaya seperti itu bukan merupakan alasan untuk tidak menuntut pidana. Karena penuntutan pidana tindak pidana pers tidak ada hubungannya dengan hak jawab dan hak koreksi serta upaya Dewan Pers. Perdamaian yang dihasilkan oleh upaya Dewan Pers, hanya bisa memengaruhi terhadap penjatuhan pidana in concreto saja. Tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana si pembuat dalam melakukan tindak pidana pers. Belum/tidak menggunakan hak jawab atau hak dan kewajiban koreksi atau mediasi melalui Dewan Pers tidak bisa digunakan sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana terhadap si pembuat tindak pidana pers. Hak jawab, hak dan kewajiban koreksi sekedar hak korban dan kewajiban pers untuk menempatkan informasi/berita yang semula dianggap salah pada keadaan yang sebenarnya. Ketiadaan upaya-upaya itu sekali-kali bukan alasan untuk meniadakan hak Negara untuk menuntut pidana. Meskipun merupakan delik aduan. Bila pengaduan dicabut masih dalam waktu 3 bulan sejak pengaduan diajukan, hapusnya hak Negara menuntut bukan didasarkan karena tiadanya penggunaana hak jawab atau hak koreksi atau upaya mediasi, tetapi karena pengaduan dicabut. Mediasi sekedar penting dalam penyelesaian konflik keperdataan, mengenai penggantian kerugian akibat dari perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 dan atau 1372 BW. Tidak penting dalam hal penyelesaian menurut hukum pidana melalui penuntutan pidana oleh Negara atas pengaduan atau laporan korban tindak pidana pers. Apabila pemerintah hendak memberi perlindungan hukum yang lebih luas terhadap kebebasan pers dalam usaha pers menjalankan fungsinya, maka dalam UU Pers harus ditambahkan satu norma yang tegas menyatakan, bahwa untuk mengajukan tuntutan pidana tindak pidana pers, harus terlebih dulu dilakukan hak jawab atau hak/kewajiban koreksi dan mediasi melalui Dewan Pers. Apabila upaya mediasi gagal, barulah terhadap si pembuat kasus itu dapat dilakukan penuntutan pidana. Jadi seharusnya ada 3 (tiga) syarat untuk dapatnya melakukan penuntutan pidana tindak pidana pers, ialah: (pertama) harus terlebih dulu korban menggunakan hak jawab; dan (kedua) korban dan pers harus melakukan mediasi melalui perentaraan Dewan Pers; dan (ketiga) upaya mediasi tersebut ternyata gagal. Kegagalan upaya mediasi dapat ditempatkan sebagai alasan utama penuntutan pidana. Tanpa ketentuan seperti itu, maka praktik akan tetap berjalan seperti keadaan sekarang.

TINDAK PIDANA MEMAKSA MASUK RUMAH TANPA HAK (PS 167 KUHP)

Banyak kejadian dilingkungan kita, ada orang yang menempati rumah sewa atau kontrakan, setelah habis masa sewa atau kontraknya, diperingatkan agar mengosongkan rumah – tidak juga segera pergi, dilaporkan ke polisi. Ada janda menempati rumah dinas mantan suaminya, setelah diperingankan segera pergi, tetap membangkang. Seperti nenek Sularti dan nenek Roesmini. Juga dilaporkan ke polisi? Untuk pengusutan kasus semacam itu kepolisian selalu menggunakan Pasal 167 KUHP. Apakah dibenarkan untuk mengeluarkan keluarga penghuni semacam itu dengan menggunakan aparat kepolisian? Lengkapnya adalah “tindak pidana memaksa masuk rumah atau pekarangan yang tertutup tanpa hak. Dirumuskan dalam Pasal 167 KUHP, bunyinya sbb.: (1) Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada disitu dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,00. (2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, atau barangsiapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk. (3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. (4) Pidana tersebut dalam ayat (1) dan (3) dapat tambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu. Tindak pidana Pasal 167 KUHP merupakan penyerangan terhadap hak kebebasan rumah tangga (huisvredebreuk) , ada tiga macam. Dua diirumuskan dalam ayat (1) dan satu dalam ayat (3). Sementara ayat (2) tidak memuat rumusan tindak pidana, berhubung tidak dicantumkan ancaman pidana. Rumusan ayat (2) tentang perluasan pengertian dari perbuatan memaksa masuk sebagaimana dalam ayat (1). Sementara ayat (4) merumuskan syarat pemberatan pidana dari tindak pidana dalam ayat (1) dan ayat (3). 1. Tindak Pidana Pasal 167 Ayat (1) yang Pertama Tindak pidana pertama [ayat (1)] terdiri dari unsur-unsur berikut ini. a. Perbuatan: memaksa masuk ke dalam: b. Objek: - rumah; - ruangan; - pekarangan yang tertutup; yang dipakai orang lain; c. dengan melawan hukum. Perbuatan memaksa/menerobos masuk dengan melawan hukum (wederrechtelijk binnendringen) terjadi dalam dua hal, ialah: 1) Bila sebelumnya telah diberi suatu tanda larangan bagi orang yang tidak berhak untuk masuk ke dalam sebuah rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup. Misalnya dengan tulisan “dilarang masuk” atau “masuk harus mendapat ijin”, atau pintu pagar atau pintu rumah tertutup rapat dan dikunci. Maka setiap orang yang tanpa hak di larang memasuki rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup meskipun tidak diketahui orang yang berhak. Orang yang masuk itu telah melakukan perbuatan memaksa masuk. Dengan demikian perbuatan itu telah mengandung sifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan memaksa masuk justru terletak pada tidak mengindahkan tanda larangan masuk semacam itu. Artinya orang yang masuk tanpa mengindahkan tanda-tanda larangan tersebut, adalah bertentangan dengan kehendak dari orang yang berhak. 2) Bila tanda-tanda larangan masuk tidak ada, kemudian ada orang hendak masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup, oleh orang yang berhak - melarangnya untuk masuk, baik dengan ucapan atau disertai dengan perbuatan, misalnya dengan menghalangi dengan membentangkan tangannya atau dengan menutup pintu. Orang itu tidak mengindahkannya dan tetap menerobos masuk ke dalam, maka orang itu juga melakukan perbuatan memaksa masuk. Perbuatan memaksa masuk semacam itu telah mengandung sifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan itu terletak pada tidak mengindahkan larangan masuk oleh orang yang berhak tadi. Artinya juga bertentangan dengan kehendak dari orang yang berhak. Objek rumah (woning) haruslah diartikan sebagai suatu tempat yang digunakan oleh orang untuk berdiam/tinggal. Di dalam Memorie van Antwoord (MvT), woning dikatakan “op een slaapgelegenheid aanwezig is” atau “dimana terdapat suatu kesempatan tidur” , dan itu adalah disebut suatu kediaman. Sebutan tempat kediaman lebih tepat, karena gerbong kereta api atau di bawah kolong jembatan, sebuah perahu dapat pula disebut tempat kediaman apabila pada kenyataannya tempat itu digunakan orang untuk berdiam/tempat tinggal. Hoge Raad dalam pertimbangan suatu putusan tanggal 14 Desember 1914, memasukkan tempat kerja sebagai tempat kediaman, asalkan tempat itu merupakan bagian dari tempat kediaman . Objek ruang tertutup adalah suatu tempat yang tidak dipergunakan untuk tempat tinggal atau berdiam, tapi dipergunakan oleh yang berhak untuk tujuan-tujuan tertentu oleh orang-orang tertentu saja dan bukan untuk umum. Misalnya sebuah bangunan yang diperuntukkan sebagai gudang, sebuah bangunan toko pada saat toko tersebut di tutup dan di kunci oleh yang berhak. Namun apabila sebuah toko merupakan bagian dari sebuah tempat tinggal, maka toko tersebut tidak disebut sebagai ruangan yang tertutup, melainkan sebagai rumah atau tempat tinggal. Apa artinya “dipakai orang lain”? Maksudnya adalah rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup itu dipergunakan, ditempati atau dikuasai oleh orang yang berhak. Orang yang berhak ini tidak harus seorang pemilik, bisa juga selain pemilik apabila orang lain itu mendapat hak untuk mempergunakannya, menempatinya atau menguasainya dari si pemilik. Misalnya karena sebab perjanjian, atau sebab “zaakwaarneming” (Pasal 1354 BW). Tanda suatu sebidang tanah dikuasai oleh orang yang berhak, misalnya di atasnya didirkan sebuah bangunan, diberi pagar keliling, digarap atau ditanami, dibersihkan, dipetik hasil tanaman yang tumbuh di atasnya. Pengertian perbuatan memaksa/menerobos masuk sebagaiamana yang diterangkan tersebut di atas, diperluas dalam ayat (3) menjadi/termasuk: • masuk dengan merusak; • masuk dengan memanjat; • masuk dengan menggunakan anak kunci palsu; • masuk dengan menggunakan perintah palsu; • masuk dengan menggunakan pakaian jabatan palsu; atau • masuk dengan tidak setahu yang berhak bukan karena kekhilafan dan kedapatan disitu pada waktu malam. Merusak (braak) adalah perbuatan yang ditujukan pada suatu benda yang menimbulkan akibat benda menjadi rusak, atau singkatnya menjadikan rusaknya suatu benda. Benda yang dirusak adalah benda yang menjadi penghalang untuk memasuki rumah, ruang atau pekarangan yang tertutup. Misalnya pintu rumah atau pintu pagar, jendela, pagar. Untuk dapatnya masuk, diperlukan untuk merusak benda yang menjadi penghalang tersebut. Sifat memaksa masuk ke dalam rumah, ruang atau pekarangan yang tertutup terdapat pada perbuatan merusak tersebut. Untuk selesainya perbuatan memaksa masuk, diperlukan selesainya perbuatan merusak dan perbuatan masuk. Memanjat (inklimming) adalah perbuatan membawa dirinya ke tempat yang lebih tinggi dari semula, baik dengan menggunakan alat misalnya tangga maupun tidak. Pengertian itu diperluas oleh Pasal 99 KUHP, termasuk juga: • masuk melalui lubang yang memang sudah ada, tetapi bukan untuk masuk; • masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali; • begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup. Anak kunci palsu (valsche sleutels) adalah anak kunci yang bukan yang sebenarnya khusus untuk membuka kunci. Misalnya anak kunci yang dibuat dengan meniru anak kunci yang sebenarnya. Namun pengertian semacam itu telah diperluas oleh Pasal 100 KUHP yang menyatakan bahwa “Yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksudkan untuk membuka kunci. Oleh sebab itu maka benda apapun juga yang bukan anak kunci yang sebenarnya (asli) akan tetapi digunakan untuk membuka kunci. Benda-benda yang dimaksudkan, bisa berupa sepotong kawat atau paku atau obeng yang fungsi atau kegunaan yang sebenarnya bukan khusus untuk membuka kunci. Semua benda apapun juga disebut anak kunci palsu dengan syarat bahwa benda itu dapat digunakan membuka sebuah kunci. Perintah dalam unsur perintah palsu (valsche order) adalah sebuah perintah yang bisa digunakan untuk memasuki sebuah rumah atau pekeangan yang tertutup. Misalnya perintah untuk menggeledah rumah. Perintah palsu dapat terjadi dalam beberapa kemungkinan, ialah: • perintah yang diberikan oleh orang yang sesunggunya tidak berhak; atau • perintah yang diberikan oleh orang yang berhak, tapi isinya bertentangan dengan yang sebenarnya; atau • perintah yang diberikan oleh orang yang berhak dan isinya benar tapi dengan menyalahi prosedur. 2. Tindak Pidana Pasal 167 Ayat (1) yang Kedua Tindak pidana yang dimaksud terdapat dalam rumusan (kalimat): “atau berada disitu dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”. Apabila rumusan itu dirinci terdapat unsur-unsur: a. Perbuatan: berada disitu; b. dengan melawan hukum; c. atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera. Tindak pidana yang dimaksudkan tersebut di atas, tidak dilakukan dengan perbuatan memaksa (menerobos) masuk, melainkan berada di dalam rumah, ruang atau pekarangan yang tertutup dengan melawan hukum. Misalnya pada saat pintu (gerbang) pekarangan rumah dalam keadaan terbuka, tiba-tiba seorang pemulung masuk ke dalamnya. Orang yang masuk ini bukanlah orang yang memaksa masuk. Tetapi Dia berada disitu dengan melawan hukum, kecuali oleh yang berhak pemulung itu dibiarkan atau didiamkan saja. Perbuatan membiarkan atau mendiamkan tersebeut dapat dianggap telah memberikan ijin secara diam-diam. Sebaliknya apabila orang yang berhak tadi tidak memberi ijin misalnya menyruhnya pergi maka orang itu berada di dalam pekarangan itu, barulah terbit sifat melawan hukumnya perbuatan pemulung yang berada di dalam pekarangan itu. Meskipun telah dilarang dan disuruh pergi/keluar, tidaklah serta merta dengan demikian telah terpenuhi semua unsur dan dapat dipidananya si pemulung tadi. Melainkan setelah diingatkan untuk segera pergi, orang itu tidak segera pergi. Apa indikatornya dari “tidak segera pergi” tersebut? Harus dilihat dari sifat dan keadaan senyatanya secara kasusitis. Pada umumnya diukur dari tiga kali peringatan untuk segera pergi, orang itu tidak juga pergi . Bisa pula diukur dengan menggunakan paksaan oleh seorang SATPAM dsb. Tindak pidana penyerangan terhadap ketenteraman dan kebebasan rumah tangga yang kedua ini, dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian apabila terdapat kesulitan untuk membuktikan perbuatan memaksa/menerobos masuk secara melawan hukum. Sebagaimana pada contoh tersebut di atas. Pada umumnya, karena pekerjaannya seorang pemulung akan masuk ke pekarangan rumah apabila pintu pagarnya terbuka atau tidak dalam keadaan terkunci. Oleh sebab itu, tidaklah tepat dikatakan memaksa/menerobos masuk dengan melawan hukum pada seorang pemulung yang masuk pekarangan yang secar kebetulan pintu pagarnya tidak tertutup atau tidak terkunci untuk mencari barang buangan dikeranjang sampah di pekarangan itu. Baru timbul sifat melawan hukumnya pada keberadaannya dalam pekarangan itu setelah diperingatkan untuk segera pergi, bukan pada saat masuknya pekarangan. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana yang kedua hanya bisa timbul, apabila sejak awal keberadaan orang itu (pelakunya) di dalam rumah atau pekarangan yang tertutup tersebut sudah mengandung sifat melawan hukum. Oleh sebab itu, tindak pidana Pasal 167 ayat (1) tidak mungkin terjadi kalau sejak awal keberadaan orang dalam rumah atau pekarangan yang tertutup tadi tidak mengandung sifat melawan hukum. Misalnya sejak orang yang menempati rumah yang disewa atau dikontrak, yang habis masa sewa atau kontraknya, dan tidak segera pergi setelah diingatkan oleh si pemilik. Peristiwa terakhir ini, bukan tindak pidana menurut Pasal 167 ayat (1) KUHP, melainkan suatu bentuk wanprestasi saja, yang hanya bisa dilakukan dengan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Sama halnya juga dengan seseorang yang sudah menempati sebuah rumah yang kemudian digugat dan kalah, yang kemudian diperingatkan oleh pihak yang menang agar segera pergi, dan tidak segera pergi. Adami Chazawi