Senin, 29 April 2013

MENGAPA PENCEMARAN TIDAK BISA DENGAN MENGIRIM E-MAIL?

PENERAPAN SERAMPANGAN PASAL 27 AYAT (3) UU ITE GAMPANG MEMAKAN KORBAN Sejak di undangkannya UU ITE, Pasal 27 Ayat (3) telah banyak memakan korban di Indonesia, yang pada umumnya karena perbuatan mengirimkan surat elektronik (E-mail). Seperti mengangkat kasus Ibu Prita Mulyasari yang mengirimkan pesan melalui E-mail menjadi sangat menghebohkan di negeri ini. Meskipun dalam putusan perkara perdata Nomor 300K/Pdt.2010 tanggal 29-September-2010, Mahkamah Agung menolak gugatan penggugat RS OMNI keseluruhannya. Namun dalam putusan perkara pidana - dipidana 6 bulan penjara dengan ketentuan pelaksanaan bersyarat selama waktu 1 tahun. Oleh sebab itulah, maka sesungguhnya perkara tersebut belum tuntas – masih menyisakan persoalan. Terdapat/timbulnya suatu keadaan pertentangan dua putusan merupakan suatu indikator adanya kesesatan hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaaimana maksud dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP. Satu-satu cara untuk mengakhirinya adalah dengan melalui putusan peninjauankembali (PK). Untuk adanya putusan PK, maka harus ada pihak yang mengajukan upaya hukum PK. Putusan yang satu digunakan sebagai bahan untuk mengajukan upaya PK terhadap putusan yang lainnya. Alasannya ada dua, ialah pertama, adanya conflict van rechspraak dan kedua, adanya kesesatan putusan hakim atau kekeliruan yang nyata. Tentu harus diiikuti oleh analisis hukum yang logic dan masuk akal. Persoalannya adalah, putusan yang manakah yang seharusnya digunakan sebagai bahan pengajuan upaya hukum PK tersebut? Tidak bisa asal ambil putusan mana yang dikehendaki, namun harus ada dasar pertimbangan hukumnya, ada dasar ratio dan logikanya, tidak boleh asal mau dan sekenanya. Setidak-tidaknya harus diperhatikan dan dipertimbangkan secara tepat perihal dua hal, ialah: (pertama) pada hubungan dan fungsi kedudukan putusan yang satu terhadap putusan yang lainnya. (Kedua) pada putusan mana yang dikeluarkan lebih dahulu atau mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan menggunakan dua ukuran tersebut, maka yang tepat dan benar untuk digunakan sebagai bahan untuk mengajukan upaya hukum PK adalah putusan MA perkara perdata No. 300K/Pdt/2010. Putusan tersebut digunakan melawan putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010 tanggal 30 Juni 2011. Alasan, adalah telah terdapatnya konflict van rechtspraak sekaligus terdapatnya kesesatan hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaimana maksud Pasal 263 Ayat (2) huruf b dan c KUIHAP dalam memutus perkara pidana tersebut. Bukti dari kedua alasan itu adalah putusan No. 300K/Pdt/2010 tersebut. Ukuran yang pertama telah dipenuhi, dengan ratio dan logika bahwa dalam kedua perkara tersebut terdapatnya persamaan tempat/letak sifat melawan hukumnya perbuatan yakni pada perbuatan Ibu Prita mengirimkan E-mail pada teman-temannya. Disanalah letak pertautan hubungan kedua perkara tersebut, yang mestinya mengenai hal dan keadaan pertautan hubungan itu harus memperoleh pertimbangan hukum yang sama dan amar putusan yang searah, namun jutru saling bertentangan. Oleh karena dalam putusan perkara perdatanya telah ditetapkan sebagai hukumnya, bahwa perbuatan tergugat Ibu Prita bukan perbuatan yang melawan hukum, sementara perbuatan melawan hukum Pasal 1365 BW adalah sebagai tempat letak sifat melawan hukumnya pencemaran, maka dengan demikian tidak terdapat sifat melawan hukumnya perbuatan (wederrechtelijkheid) Ibu Prita mengirimkan E-mail pada beberapa temannya itu. Tidaklah mungkin ada suatu tindak pidana yang tanpa ada atau mengandung sifat melawan hukum. Amar putusan yang pasti adalah pelepasan dari tuntutan hukum. Sementara itu, ukuran yang kedua pun juga telah dapat dipergunakan secara tepat, disebabkan putusan perkara pidana MA diputuskan belakangan setelah putusan perkara perdatanya mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan asas similia similibu dan tuntutan kepastian hukum secara bersyarat hakim terikat pada putusan yang sebelumnya. Syarat yang dimaksud yang in casu setidak-tidaknya adalah syarat dan kreteria mengenai sifat hubungan dan fungsi kedudukan putusan yang satu terhadap putusan yang lain seperti yang telah diertangkan sebelumnya. PASAL 27 (3) UU ITE ADALAH SMAAD SPECIALIS Perkataan “pencemaran” merupakan salah satu unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Oleh karena tidak ada keterangan apapun mengenai unsur tersebut di dalam UU ITE, maka untuk mencari pengertiannya harus mencari bandingannya ke dalam KUHP sebagai sumber induknya hukum pidana. Kualifikasi pencemaran terdapat dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP, maka arti pencemaran di dalam Pasal 27 Ayat (3) harus diartikan yang sama dengan pengertian pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP tersebut. Pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merupakan lex specialis dari pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Semua unsur pencemaran harus terbukti lebih dulu dalam hal membuktikan pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Tidak mungkin terjadi pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE sebagai lex specialis, apabila tidak terlebih dulu terbukti semua unsur pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Kalau dihubungkan dengan 6 kriteria yang menjadi ciri umum tindak pidana lex specilialis, ialah: 1. Dalam tindak pidana lex specialis harus mengandung dua bagian unsur. Bagian pertama, semua unsur pokok tindak pidana lex generalis, dan bagian kedua mengandung satu atau beberapa unsur khusus, yang tidak terdapat dalam lex generalisnya. Bagian kedua sebagai unsur khususnya yang menyebabkan tindak pidana tersebut merupakan lex specialis dari suatu lex generalis. Dicontohkan Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (3) UU ITE sebagai lex specialis dari Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Untuk terbukti adanya pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (3) UU ITE, telebih dulu harus terbukti adanya pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP sebagai lex generalisnya. Ditambah satu lagi unsur khususnya, ialah terbukti pula pencemaran tersebut dengan menggunakan sarana teknologi elektronik. 2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum dan bentuk khususnya harus sama. Dalam hal ini lex specialisnya adalah pencemaran, maka lex generalisnsnys juga harus pencemaran, bukan bentuk penghinaan yang lain. 3. Harus terdapat persamaan subjek hukum tindak pidana lex specialis dengan subjek hukum lex generalis. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Tidak boleh subjek hukum yang dianggap lex specialisnya korporasi, sementara lex generalisnya orang. 4. Harus terdapat persamaan objek tindak pidana antara lex specialis dengan objek lex generalis. Kalau objek tindak pidana lex generalis adalah nama baik dan kehormatan orang (pencemaran), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga harus nama baik dan kehormatan orang. 5. Harus ada persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam tindak pidana lex specialis dengan tindak pidana lex generalisnya. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormatan orang, maka lex specialisnya juga demikian. 6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas lex specialis derogat legi generali tidak berlaku. Karena dapat berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber yang lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah. Ciri-ciri lex specialis tersebut di atas berlaku secara kumulatif. Apabila dihubungkan dengan pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP, maka 6 ciri tersebut sudah terdapat pada pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Oleh karena itu tidak diragukan lagi, bahwa perkataan pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE harus diartikan yang sama dengan pengertian pencemaran menurut Pasal 310 Ayat (1) KUHP. ARTI PENGHINAAN DALAM PASAL 27 AYAT (3) Bagaiaman kita memberi arti perkataan “penghinaan” dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE? Memang ada persoalan dalam anak kalimat yang berbunyi ”yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran”. Dapat timbul berbagai pertanyaan, antara lain apakah sama arti penghinaan dengan pencemaran ataukah berbeda?. Secara yuridis formal tentu saja tidak mungkin sama. Karena pencemaran adalah salah satu bentuk dari 6 bentuk penghinaan (beleediging) dalam Bab XVI Buku II KUHP. Bukankah pencemaran sudah in clude dalam kualifikasi penghinaan? Mengapa disejarkan (disebut lagi) dalam anak kalimat “yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran” seolah-lah pencemaran bukan bagian penghinaan? Tidak jelas apa alasannya. Persoalan ini dapat menyangkut pada pembuatan surat dakwaan dan persoalan penerapan hukumnya oleh hakim. Harus diambil sikap. Salah satu sikap adalah, bahwa pencantuman kata pencemaran di dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah untuk menegaskan (stressing) saja. Artinya kalau dalam surat dakwaan tidak disebutkan jenis penghinaan lain, selain pencemaran, maka harus dianggap bahwa yang didakwakan jaksa adalah pencemaran dan bukan bentuk penghinaan yang lain. Dalam hal demikian, hanya pencemaraan saja yang wajib dibuktikan jaksa. Oleh karena itu, apabila yang dimaksud adalah salah satu saja dari bentuk-bentuk penghinaan selain pencemaran, maka dalam surat dakwaan wajib disebut secara tegas bentuk penghinaan mana yang dimaksudkan dalam hubungannnya dengan teknologi ITE sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut. Apabila tidak, maka yang dimaksud adalah hanya pencemaran saja. Karena pencemaran disebutkan secara tegas dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Apabila tidak disebutkan pasal KUHP lain (juncto) dalam surat dakwaan, maka yang harus dibuktikan ialah unsur-unsur pencemaran Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Bila disebutkan pasal KUHP lain dan bukan pencemaran, maka yang harus dibuktikan bukan pencemaran, malainkan bentuk penghinaan lain yang sesuai dengan bentuk penghinaan yang disebutkan dalam surat dakwaan. OBJEK PENCEMARAN DALAM PASAL 27 AYAT (3) Sebenarnya dalam konsepsi hukum pencemaran mengenai objek pencemaran, ada dua ialah nama baik dan kehormatan orang. Nama baik adalah rasa harga diri orang yang disandarkan pada kedudukan sosial dan sifat-sifat pribadi yang dimiliki seseorang. Sementara kehormatan adalah rasa harga diri seseorang yang didasarkan pada nilai-nilai yang baik (adab) dalam pergaulan sesama anggota masyarakat. Namun mengapa dalam pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE hanya disebutkan satu objek, ialah “nama baik” saja. Tidak jelas alasanya. Persoalan itu harus dianggap sebagai kelalain pembentuk UU saja. Jangan lagi dipersoalkan dalam praktik. Karena rasa malu pribadi orang itu hampir pasti selalu dalam hubungannya dengan nama baiknya yang sekaligus juga mernyangkut martabat kehormatannya. SIFAT MELAWAN HUKUMNYA PERBUATAN DALAM PENCEMARAN Sifat melawan hukumnya perbuatan menyerang nama baik atau kehormatan orang pada pencemaran terletak pada dua hal, ialah: (1) Secara subjektif, terletak pada “maksud yang terang (kenlijk doel) supaya diketahui umum”. (2) Secara objektif terletak pada “menuduhkan melakukan perbuatan tertentu” yang memalukan orang dan yang diketahui umum. Di dalam perbuatan menuduhkan perbuatan tertentu terdapat suatu informasi. Titik berat sifat melawan hukum objektifnya terletak pada isinya informasi tersbut “diketahui umum”. Sifat melawan hukum subjektif dan objektif tersebut juga harus terdapat pula pada pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, dan harus dibuktikan oleh Jaksa. Secara formal dalam rumusan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE terdapat unsur melawan hukum dengan menggunakan istilah “tanpa hak”. Istilah tersebut dicantumkan untuk memastikan bahwa si pembuat tidak berhak mentransmisikan informasi elektronik yang memuat pencemaran. Kiranya mencantumkan frasa “tanpa hak” tersebut hanya penting apabila dihubungkan dengan dasar peniadaan pidana disebabkan hapusnya sifat melawan hukumnya pencemaran yang diletakkan dalam keadaan “membela diri” [Pasal 310 Ayat (3) KUHP] saja, Kalau tidak dihubungkan seperti itu, maka pencantuman frasa “tanpa hak” disana – tidaklah mempunyai arti apa-apa. Karena sifat melawan hukumnya pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang sesungguhnya bukan disana letaknya. Namun secara subjektif dan objektif tetap terletak pada sumber induknya Pasal 310 Ayat (1) KUHP sebagaimana yang sudah diterangkan sebelumnya. Sifat melawan hukum objektifnya perbuatan mentransminsikan informasi elektronik yang sebenarnya adalah terletak pada isinya informasi yang mencemarkan orang lain (dan) yang diketahui umum. Tidaklah mungkin dilarang orang mentrtansmisikan informasi elektronik kalau isinya biasa-biasa saja, tidak mencemarkan nama baik atau kehormatan orang lain. Oleh karena itu sifat melawan hukumnya bisa hapus apabila ada alasan demi untuk membela diri dan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud dari Pasal 310 Ayat (3) KUHP. Bila ada salah satu alasan itu, maka si pembuat berhak untuk melakukannya. Kiranya demikian hubungan antara perkataan/unsur “tanpa hak” dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dengan hapusnya sifat melawan hukum karena untuk membela diri atau untuk kepentingan umum dalam Pasal 310 Ayat (3) KUHP. . Sifat melawan hukumnya perbuatan mentransmisikan informasi elektronik harus dibuktikan seperti membuktikan sifat melawan hukum pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP, ialah dengan cara membuktikan: (1) Terdapat maksudnya yang terang agar diketahui umum. (2) Isinya informasi secara objektif menurut nilai-nilai masyarakat pada saat dan di tempat perbuatan dilakukan mengandung sifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang. Tidak cukup sekedar menurut perasaan orang pribadi saja. (3) Isi perbuatan yang dituduhkan telah diketahui umum. (4) Penyebab diketahui umumnya haruslah merupakan penyebab langsung oleh adanya perbuatan menyerang dengan menuduhkan perbuatan tertentu, baik lisan maupun dengan tulisan. Bila seorang menerima suatu E-mail dari orang lain, kemudian atas kehendaknya sendiri Dia mentransmisikan isi E-mail itu ke dalam facebokmya atau twitternya, maka sesungguhnya orang yang wajib bertanggungjawab adalah Dia sendiri. Karena Dialah sebagai penyebab langsung tersebarnya isi E-mail tersebut di dunia maya. Pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah lex specialis baik pencemaran lisan maupun tertulis. Alasannya pencemaran dengan tulisan Pasal 310 Ayat (2) KUHP juga mengandung semua unsur pencemaran lisan dalam ayat (1). Sementara sifat khusus tertulisnya dari pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, ialah terletak pada caranya ialah dengan menggunakan sarana teknologi ITE. Bila dengan memanfaatkan teknologi ITE tanpa tulisan misalnya dengan suara saja, maka termasuk lex specialis dari pencemaran lisan – Pasal 310 (1) KUHP. Jika dengan tulisan, misalnya dengan memuatnya dalam twitter atau facebook atau suatu blog, atau YouTube, maka merupakan lex specialis dari pencemaran tertulis – Pasal 310 Ayat (2) KUHP. SYARAT UMUM PENCEMARAN TIDAK TERDAPAT DALAM HAL MENGIRIMKAN E-MAIL Pencemaran dengan perbuatan menyebarkan (verspreiden), mempertunjukan (ten toon gestelden), menempelkan (aanslaan) tulisan – Pasal 310 Ayat (2) KUHP tidak dapat diartikan yang sama dengan pencemaran dengan mentransmisikan, mendisitribuskan dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Alasannya, adalah: 1. Terletak pada perbedaan; “sifat dan keadaan unsur diketahui umumnya”. Bagi pencemaran Pasal 310 Ayat (2) KUHP, pada azasnya keadaan diketahui umum sudah ada/terjadi pada saat 3 perbuatan itu diwujudkan. Sementara keadaan diketahui umum menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE baru terjadi/ada setelah perbuatan mentransmisikan informasi diwujudkan. 2. Pada dasarnya menyebarkan menurut arti yang sebenarnya dari Pasal 310 Ayat (2) KUHP., adalah membagi-bagikan tulisan yang cukup banyak pada umum ; mempertunjukkan adalah memperlihatkan tulisan pada umum; dan menempelkan adalah melekatkan tulisan di atas benda tertentu misalnya kertas pada benda yang lain. Jadi berbeda pengertiannya dengan mentrasmisikan, mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. 3. Orang mengirimkan E-mail tidak tepat untuk disamartikan dengan perbuatan menyebarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan di muka umum sebagaimana maksud Pasal 310 Ayat (2) KUHP, yang sebenarnya juga menjadi unsur dari Pasal 27 (3) UU ITE. Alasannya, ialah: a. bahwa umum yang dimaksud frasa “dimuka umum” (openlijk) dalam Pasal 310 Ayat (2) KUHP adalah sebagai orang-orang banyak - siapa saja – tidak menunjuk pada orang-orang tertentu, ialah setiap orang bisa langsung mengetahui isinya tulisan tanpa harus melalui perbuatan lain/usaha lain terlebih dulu agar dapatnya mengetahui isinya tulisan tersebut. Sementara itu, orang yang dimaksud dari pengiriman suatu E-mail, hanyalah orang-orang tertentu, bukan orang pada umumnya atau bukan semua orang, melainkan terbatas hanya bagi orang-orang tertentu saja yang dituju si pembuat. Jadi hal, sifat dan keadaan yang ada pada perbuatan mengirim suatu E-mail yang demikian, tidak terdapat pada perbuatan mentrasmisikan informasi elektronik melalui twitter, facebook, blog, yoetube, kompasiana dll. b. Disamping itu juga, untuk mengetahui isinya suatu E-mail orang yang dituju masih harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu menurut dan dengan cara-cara atau metode tertentu dengan melalui sarana/alat elektronik tertentu. Tidak secara langsung sebagaimana dalam melakukan perbuatan menyebarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum. c. Selain itu orang yang dituju oleh suatu E-mail adalah orang yang terbatas, bukan semua orang. Oleh karena itu tidak bersesuaian dengan “sifat umum” dari semua bentuk penghinaan. Hal ini sesuai dan sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Simons yang mengatakan, bahwa mengirimkan tulisan pada orang yang terbatas – tidak termasuk penghinaan. Pendapat ini sejalan dengan arres Hoge Raad tanggal 1-12-1899 yang terjemahan bebasnya: “meskipun menuduhkan suatu perbuatan yang benar, apabila bukan untuk kepentingan umum, melainkan dengan maksud yang sebenarnya adalah untuk menghina orang, maka perbuatan itu adalah juga pencemaran”. Pertimbangan hukum arrest HR ini harus dimaknai dalam hubungannya dengan maksud yang terang (kenlijk doel) agar isinya perbuatan yang dituduhkan diketahui umum. Maksud atau kehendaknya begitu kuatnya untuk memalukan orang, meskipun isi informasi benar, tuduhan tersebut juga bisa termasuk pencemaran. Sifat semacam ini sulit terdapat dalam hal perbuatan mengirimkan suatu E-mail pada orang lain. 4. Mencantumkan perkataan terang (kenlijk) dalam frasa “maksud terang agar diketahui umum” [Pasal 310 (1) KUHP], harus diartikan maksud yang sangat kuat untuk menghinakan orang, maksud yang sangat kuat itu diperlihatkan secara jelas/terang dari caranya menuduh melakukan perbuatan tertentu. Jadi bukan sekedar kesadaran dengan menuduhkan perbuatan teretentu – bahwa orang lain akan menjadi malu. Maksud terang sebagai maksud yang sangat kuat dan merupakan maksud satu-satunya untuk menghinakan orang, tidak ada maksud yang lain yang patut. Kalau ada maksud lain yang patut, akibat terhinanya itu sebagai akibat yang tidak dapat dihindari demi untuk mencapai tujuan lain yang patut tersebut, maka disini tidak ada maksud terang agar diketahui umum. Dan ini bukan pencemaran. Disinilah letaknya filosofi alasan terpaksa untuk membela diri dan untuk kepentingan umum sebagai dasar peniadaan/hapusnya sifat melawan hukum perbuatan menurut Pasal 310 Ayat (3) KUHP. Maksud terang agar diketahui umum dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP yang artinya seperti tersebut di atas, harus juga terdapat/ada pada pencemaran sebagaimana dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Dan maksud yang demikian sukar pada peristiwa orang mengirimkan E-mail, oleh karena sifat keadaan umum yang dituju oleh kesengajaan dalam hal mengirimkan E-mail tidak bisa sama dengan sifat keadaan umum yang dituju oleh kesengajaan menuduhkan perbuatan tertentu menurut Pasal 310 Ayat (1) (2) KUHP. ARTI MEMBELA DIRI Tiadanya/hapusnya sifat melawan hukum perbuatan pada pencemaran – Pasal 310 Ayat (3) KUHP berlandaskan filosofi, ialah adanya serangan terhadap suatu kepentingan hukum seseorang yang dilanggar oleh perbuatan orang lain secara melawan hukum.. Orang yang dilanggar kepentingan hukumnya merasa perlu mempertahankan atau mengembalikan kepentingan hukumnya yang telah dilanggr oleh orang lain tersebut. Sebab apabila tidak melakukan pertahanan atau pengembalian kepentingan hukumnya yang telah dilanggar tadi, dia merasakan penderitaan secara batiniah. Untuk menghilangkan atau mengurangi penderitaan batiniah itulah, maka orang itu terpaksa melakukan perbuatan yang dapat memalukan orang yang telah melanggar kepentingan hukumnya tadi. Adanya penyerangan terhadap suatu kepentingan hukum oleh orang lain perlu dibuktikan dalam rangka untuk menghapuskan sifat melawan hukumnya pencemaran dengan alasan atau karena membela diri sebagai maksud Pasal 310 Ayat (3) KUHP. Selain itu isi perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela diri tersebut, merupakan perbuatan yang benar dan wajar menurut ukuran nilai-nilai masyarakat pada umumnya. Syarat adanya membela diri menurut Pasal 310 Ayat (3) KUHP, ialah terlebih dulu adanya penyerangan terhadap kepentingan hukum orang lain secara melawan hukum. Orang yang diserang kepentingan hukumnya merasa sangat perlu mempertahan atau mengembalikan akibat kepentingan hukumnya yang telah dilanggar tadi, sebab jika tidak ia merasakan penderitaan batin, seperti kesedihan, ketidakpuasan, amarah dan sebagainya yang menyiksa batin orang. Untuk itu maka ia melakukan reaksi balik, yang wujudnya bisa mencemarkan nama baik orang yang menyerang kepentingan hukumnya tadi. Kepentingan hukum yang dilanggar adalah segala kepentingan hukum yang menyangkut rasa ketentraman dan kedamaian hidup seseorang, misalnya dalam bidang harga diri mengenai nama baik dan rasa kesusilaan. Misalnya seorang ibu diperlakukan tidak senonoh – seperti memegang bagian tubuh yang terlarang oleh seorang lelaki. Disini terjadi pelanggaran terhadap kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan terhadap si ibu. Perbuatan lelaki itu membawa akibat terganggunya kedamaian dan ketenangan rasa kesusilaan ibu tersebut, maka dalam batas-batas yang wajar dibenarkan jika ibu bereaksi yang reaksi mana bisa memalukan si lelaki itu sendiri. Dalam hubungan dengan Pasal 310 ayat (3) KUHP, reaksi itu adalah menuduhkan perbuatan tertentu pada lelaki tadi. Arti membela diri sebagaimana tersebut di atas berlaku juga dalam hal membela diri dalam hal pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. KESIMPULAN 1. Sebagai ciri umum dari tindak pidana lex specialis, ialah terdapat unsur-unsur dan sifat yang sama dengan unsur-unsur dan sifat tindak pidana lex generalisnya. 2. Unsur dan sifat umumnya pencemaran dalam Pasal 310 Ayat (1) dan (2) sebagai lex generalis dari pencemaran dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah terletak pada: • Adanya perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan orang; • Dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu; • Adanya maksud terang uintuk diketehui umum; • Isi tuduhan telah diketahui umum; • Wujud objeknya adalah, suara/lisan (ayat 2) dan atau berupa tulisan (ayat 3); • Sifat melawan hukumnya perbuatan, secara subjektif terdapat pada maksud terang agar diketahui umum. Secara objektif terdapat pada isinya tuduhan yang mempermalukan orang yang diketahui umum. 3. Unsur dan sifat khusus dari yang ada dalam pencemaran menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah:caranya menyerang kehormatan dan nama baik dengan menggunakan sarana dan teknologi ITE. 4. Mengirimkan e-mail tidak merupakan pencemaran, alasannya adalah: • Karena mengirimkan e-mail tidak memenuhi syarat mengenai sifat unsur diketahui umumnya. Pencemaran terjadi jika isi tuduhan ditujukan pada umum dan kemudian diketahui umum. Sementara mengirimkan e-mail hanya ditujukan pada pribadi orang tertentu, bukan pada umum, dan oleh karenanya tidak diketahui umum. • Untuk mengetahui isinya perbuatan yang dituduhkan in casu yang memalukan orang lain, pada asasnya hal dan keadaan diketahui umumnya telah timbul pada saat perbuatan dilakukan, dan tidak diperlukan melakukan upaya-upaya khusus agar dapat mengetahui isinya perbuatan yang dituduhkan tersebut. Sementara syarat yang demikian tidak terdapat dalam hal orang mengirimkan e-mail. Karena untuk mengetahui isinya e-mail, orang yang dituju masih perlu melakukan perbuatan tertentu lainnya, dengan cara-cara dan methode tertentu melalui perangkat atau alat tertentu pula. Malang, 20-5-2012. KEPUSTAKAAN 1. Adami Chazawi, 2009. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit PMM – ITS Press, Surabaya. 2. ------------, 2011. Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang. 3. Eddy OS Hiariej, 2002. Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Jakarta. 4. Lamintang,1990. Delik-delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Kepatutan, Penerbit Mandar Maju, Bandung.. 5. Satrijo, J., 2005. Gugatgan Perdata Atas dasar Penghinaan Sebagai Tindakan Melawan Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Jakarta 6. Soenarto Soerodibroto, 1994. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprodensi MA dan HR Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. 7. S.R.Sianturi, 1989. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit ALUMNI AHAEM – PETEHAEM, Jakarta