Senin, 07 Januari 2013

MUNGKINKAH PEJABAT YANG KORUPSI KARENA TIDAK MENGETAHUI HUKUM DIMAAFKAN SAJA?

Menurut Presiden dalam pidato peringatan Puncak Hari Anti Korupsi dan Hari HAM se-Dunia di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/12/2012), membedakan dua kategori korupsi, ialah: • Pertama, korupsi yang dilakukan pejabat dengan niat untuk korupsi. • Kedua, korupsi yang dilakukan pejabat yang karena ketidakpahaman terhadap hukum (peraturan perundang-undangan). Untuk pelaku korupsi jenis kedua, selanjutnya Presiden mengatakan, bahwa: “… seseorang pejabat - bahwa yang dilakukan itu keliru dan berkategori korupsi, maka Negara wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak punya niat untuk melakukan korupsi, tapi bisa salah di dalam mengemban tugas-tugasnya, tugas yang datang siang dan malam kadang-kadang memerlukan ketepatan pengambilan keputusan – memerlukan kebijakan yang tepat. Jangan biarkan mereka dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi”. Boleh jadi hal pernyataan Presiden SBY itu ditafsirkan bahwa pejabat yang korupsi yang tidak boleh dipidana karena ketidaktahuannya tentang hukum itu, dapat dibenarkan berdasarkan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld)?. Ataukah merupakan perkecualian dari asas (fiksi) hukum “setiap orang dianggap mengetahui hukum”?. Benarkah? Artikel ini akan mencoba melihat pernyataan Presiden SBY itu dari dua sisi: asas (fiksi) hukum “setiap orang dianggap mengetahui hukum” (presumptio iures de iure) dan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). ASAS (FIKSI) HUKUM “SETIAP ORANG DIANGGAP MENGETAHUI HUKUM” Pernyataan Presiden (mengenai pelaku korupsi dari sebab ketidaktahuannya terhadap peraturan) tersebut menimbulkan polemik di masyarakat, yang pada umumnya menyatakan ketidaksetujuan dengan pernyataan tersebut. Alasan utamanya ialah dalam hukum (termasuk hukum pidana) berlaku asas (fiksi) hukum “setiap orang dianggap mengetahui hukum”. Ketidaktahuan mengenai hukum tidak dapat digunakan sebagai alasan peniadaan kesalahan (alasan pemaaf), yang bisa meniadakan pertanggungjawaban pidana, alias alasan tidak dijatuhkan pidana pada pembuatnya. Asas (fiksi) hukum “setiap orang dianggap mengetahui hukum” mutlak diperlukan Negara dalam rangka Negara memaksakan kehendaknya yang in casu keberlakuan hukum yang dibuatnya. Dalam konsepsi Negara sebagai organisasi yang terbesar dan terkuat/tertinggi, dalam hubungannya dengan hukum pidana (hukum pidana subjektif), memiliki 3 (tiga) hak dasar, ialah: • Hak menetukan aturan mengenai larangan-larangan perbuatan beserta menentukan sanksi terhadap pelanggarnya; • Hak memberlakukan (menerapkan) hukum in clud sanksinya; • Hak menjalankan sanksi yang telah dijatuhkan Negara pada siapa yang melanggar larangan tersebut. Dengan tiga hak (recht) tersebut, Negara leluasa dalam menjalankan fungsi hukum pidana “menjaga ketertiban umum”. Dengan tiga hak dasar itu pula Negara memberlakukan asas (fiksi) hukum “setiap orang dianggap mengetahui hukum”. Dalam arti setelah hukum itu dibentuk dan diberlakukan pada penduduknya, maka sejak itu penduduk harus dianggap mengetahuinya. Karena itu penduduk wajib mentaatinya. Oleh karena itu jika penduduk in concreto tidak mengetahui hukum yang telah dibentuk dan diberlakukan Negara, tidak bisa dijadikan sebagai alasan menghapus kesalahan, yang dapat meniadakan pertangunganjawab pidana – dan tanpa pidana pada pembuatnya itu. Keadaan ketidaktahuan atas hukum (peraturan perundang-undangan), tidak dapat digunkan sebagai alasan pemaaf (ignorantia jurist non excusat). Fiksi hukum yang demikian ini ditempatkan sebagai alasan pembenar dari semua apa yang dikehendaki Negara. Asas (fiksi) hukum ini mutlak berlaku, demi untuk kepentingan bersama (keseluruhannya). Penduduk menerima kehadiran Negara – dengan demikian harus juga menerima perbuatan dan perlakuan Negara untuk kepentingan bersama tersebut. Demikian kiranya filosofi dari asas (fiksi) hukum “setiap orang dianggap mengetahui hukum”. ASAS “TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN” Asas ini telah dianut dalam praktik sejak tahun 1930. Bermula dari kasus yang terkenal dengan “Water en Melk Arrst” (Hoge Raad 14-2-1916). Seorang pengusaha susu telah mencampur susu dengan air, yang di Belanda dilarang dan diancam pidana. Dalam rumusan delik (jenis pelanggaran) ini tidak dicantumkan unsur sengaja maupun culpa. Pada kasus ini, seorang pegawai yang tidak mengetahui perihal susu yang sudah dicampur air tadi, mengirimkan susu pada pelanggannya. Pegawai ini tidak dipidana dengan alasan Ia tidak mengetahui keadaan susu yang sudah dicampur air tadi. Konsepsi KUHP dalam hal perumusan delik dolus, ada yang unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas, dan ada yang tidak. Sementara untuk delik culpa, unsur culpa selalu dicantumkan. Oleh karena itu bagi delik yang tidak dicantumkan unsur culpa maupun kesengajaan dalam rumusan delik, maka delik itu sesungguhnya merupakan delik dolus, mengandung unsur sengaja di dalamnya. Unsur sengaja terdapat secara terselubung dalam unsur perbuatannya. Karena sifat dan keadaan kata kerja yang merupakan unsur perbuatan yang digunakan dalam rumusan delik, sudah dengan sendirinya menggambarkan adanya kesengajaan di dalamnya. Berdasarkan hal itu, maka delik larangan mencampur susu dengan air tadi sesungguhnya terdapat unsur sengaja secara terselubung. Tidak perlu kesengajaan yang terselubung secara demikian dibuktikan secara khusus. Cukup membuktikan perbuatannya saja. Jilka terbukti melakukan unsur perbuatan dalam rumusan delik, maka kesengajaan itu dianggap (fiksi) telah terbukti pula. Hal ini sama dengan unsur sifat melawan hukumnya perbuatan. Jika dicantumkan dalam rumusan haruslah dibuktikan. Perbedaannya, hanya pada unsur sifat melawan hukum, tidak semata-mata terdapat secara terselubung dalam unsur perbuatan saja, melainkan juga terdapat secara terselubung dalam unsur lain, misalnya melekat pada akibat perbuatan atau pada keadaan yang menyertai objek delik dsb. Kalau dilihat dari latar belakang asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dijiwai oleh Water en Melk Arrest HR (14-2-1916) tadi, maka dapat ditarik perbedaan (pertentangan) antara asas tiada pidana tanpa kesalahan dengan asas (fiksi) setiap orang dianggap mengetahui hukum. Meskipun persamaan kedua asas ini, ialah berlaku pada tataran penerapan hukum normatif pidana, khususnya ketika hendak menjatuhkan putusan. Disatu pihak asas (fiksi) hukum setiap orang dianggap mengetahui hukum. Oleh sebab itu tidak boleh tanpa “mengetahui” hukum dijadikan alasan untuk meniadakan kesalahan - menjadi alasan pemaaf. Pelaku tetap dipidana. Sementara itu dilain pihak pada asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, dimana keadaan “tidak mengetahui” dapat menjadi alasan pemaaf. Pelaku tidak dipidana. Dalam hal alasan “tidak mengetahui” dari kedua asas hukum tersebut, kiranya dapatlah dibedakan. Pada asas (fiksi) hukum “setiap orang dianggap mengetahui hukum”, hal keadaan apa yang tidak diketahuinya itu adalah mengenai hukum (peraturan perundang-undangan). Sementara pada asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, hal keadaan yang tidak diketahuinya itu adalah dalam hal/mengenai (salah satu) unsur delik. Kiranya alasan tiada pidana tanpa kesalahan, dapat diberikan contoh menggunakan surat palsu pada Pasal 263 ayat (2) KUHP. Meskipun si pembuat yang menggunakan surat palsu disengaja (artinya mengehndaki perbuatan itu). Apabila orang itu tidak mengetahui bahwa isi surat itu adalah palsu, maka pastilah Ia tidak boleh dipidana. Tidak dipidananya itu, dapat menggunakan alasan: • Pertama, pengertian sengaja dalam rumusan delik Pasal 263 ayat (2) selain kehendak untuk mewujudkan perbuatannya, juga termasuk “mengetahui” (wiilens menurut MvT) terhadap unsur-unsur delik yang disebutkan di depan (sebelum) kata sengaja. Jadi tidak dipidana karena unsur kesengajaannya tidak terpenuhi. Amar vonisnya adalah pembebasan (vrijspraak). • Kedua, pada asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Si pembuat tidak dipidana, karena “tidak mengetahui” perihal salah satu unsur delik yang in casu “palsunya isi surat”. Alasan ini digunakan tanpa perlu memerhatikan unsur sengaja dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan delik, atau ada atau tidak ada kesengajaan dalam hal perbuatan “menggunakan” surat. Amar vonisnya bukan pembebasan, tetapi pelepasan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging). Kedudukan dan fungsi asas “tiada pidana tanpa kesalahan” adalah merupakan alasan pemaaf, suatu alasan peniadaan pidana di luar undang-undang. Meskipun secara teoritis asas (fiksi) hukum - setiap orang dianggap mengetahui hukum berlaku mutlak. Dalam hal menerapkan norma hukum (terutama hukum pidana) menyebabkan menjadi tidak penting mengenai sikap batin si pembuat terhadap aturan hukum. Yang penting bagaimana kenyataannya perbuatan. Dalam hal ini menganut ajaran perbuatan materiil (materieel feit) secara utuh, tanpa ada teloransi. Namun dalam praktik, tidak selamanya dianut. Seperti pada contoh putusan HR (22-11-1949) dalam kasus seorang pengendara motor yang sebelum mengendarai motornya telah datang menghadap pejabat kepolisian yang berwenang untuk mendapatkan informasi selengkapnya tentang surat apa saja yang diperlukan bagi seseorang yang hendak mengendarai motor. Pejabat polisi tadi tidak menerangkan secara sempurna, karena tidak menerangkan bahwa syarat mengendarai motor juga surat bukti mengenai kewargnegaraan. HR tidak menjatuhkan amar penghukuman (verordeling) melainkan pelepasan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) pada pengendara ini, karena Ia tidak mengerti bahwa untuk mengendarai motor harus juga membawa surat bukti kewarganegaraan. Apakah yang dimaksud Presiden SBY dengan “Jangan biarkan mereka dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi” sama arti dan maknanya dengan arrest HR (22-11-1949) tersebut? Wallahu 'alam. Yang pasti kalau arrest ini diterapkan secara sembrono, tanpa mempertimbangkan “sifat dan keadaan khusus “ dari sebab ketidaktahuan si pembuat itu, dapat dipastikan penerapan hukum oleh hakim dapat menjadi semena-mena. Negara kita sudah berubah menjadi murni Negara kekuasaan. Relakah kita….?