KUHAP
membedakan antara upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum
biasa terdiri dari banding dan kasasi (Bab XVII
KUHAP). Upaya hukum luas biasa, yang terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum
dan peninjauan kembali (PK) (Bab
XVIII KUHAP).
Sementara perlawanan walaupun disebut
dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, tetapi tidak diatur secara khusus dalam bab
tersendiri seperti upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.
Penyebutan kasasi dalam praktik selalu
diartikan kasasi biasa yang diatur dalam
bab XVII (Pasal 244-258 KUHAP). Sementara untuk kasasi luar biasa acapkali disebut dengan kasasi demi
kepentingan hukum (Pasal 259 KUHAP).
Putusan
yang dapat dilawan dengan upaya kasasi adalah semua putusan terakhir selain
putusan Mahkamah Agung, yang amarnya bukan pembebasan.
Pasal 244
merumuskan bahwa “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau
penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas”.
Jadi jelaslah bahwa, putusan terakhir
pembebasan (vrijspraak) dari pengadilan selain Mahkamah Agung tidak
dapat dilawan dengan upaya hukum kasasi. Frasa “kecuali putusan bebas”
tersebut harus dimaknai sebagai penegasan oleh UU. Sementara pengertian
penegasan harus dimaknai sebagai peringatan dan perhatian pada para jaksa,
terdakwa dan hakim, alias tidak boleh dilanggar.
Namun
dalam praktik ternyata lain, ketentuan yang secara tegas dalam Pasal 244 KUHAP diterobos
dengan argumentasi, bahwa terhadap putusan bebas tidak murni dapat
diajukan kasasi. Berarti putusan bebas dalam Pasal 244 tersebut dalam praktik
diartikan sebagai putusan bebas murni, sebab menurut putusan MA No. 275K/Pid/1983 kalau bebas tidak
murni masih bisa dilawan dengan upaya hukum kasasi biasa.
Memang logis, bahwa dalam praktik pengadilan
pada tingkat manapun dalam amar putusan yang membebaskan terdakwa tidak pernah
ada sebutan pembebasan murni atau pembebasan tidak murni, melainkan menyatakan
dibebaskan atau membebaskan dari segala
tuduhan - sesuai dengan bunyi Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
Akhirnya
dengan putusan KASASI Mahkamah
Agung yang semula berasal dari perkara RADEN SENSON NATALEGAWA (No.
275K/Pid/1983, 29-12-1983), tersebut, maka jaksa penuntut umum hampir pasti –
selalu melakukan usaha mencoba-coba mengajukan upaya kasasi, dengan alasan
putusan yang dilawan adalah merupakan putusan bebas yang tidak murni. Akhirnya
menimbulkan kekacauan antara putusan bebas yang
murni mana yang menurut doktrin dan putusan bebas mana yang menurut putusan Mahakaha Agung No.
275K/Pid./1983 tersebut. Karena seolah-oleh semua putusan bebas selalu dianggap
oleh jaksa merupakan putusan bebas yang tidak murni.
Dalam
doktrin hukum memang dikenal adanya istilah bebas murni (zuivere vrijspraak)
dan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak).
Menurut doktrin hukum, putusan bebas
tidak murni adalah putusan yang amarnya pembebasan namun didasarkan
pertimbangan hukum untuk putusan pelepasan dari tuntutan hukum. Sementara
menurut putusan MA No. 275/Pid/1983 adalah “apabila pembebasan itu
didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang
disebut dalam surat dakwaan, dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur perbuatan
yang didakwakan, ataupun apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut
kompetensi absosult dan relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur
non yuridis yang turut dipertimbangkan
dalam putusan pengadilan, ...”[1]
Lalu dalam praktik diartikan bahwa
putusan bebas yang tidak dapat dilawan dengan upaya kasasi adalah terhadap
putusan bebas murni saja dan terhadap putusan bebas yang tidak murni masih
dapat dilawan dengan upaya kasasi
biasa. Dalam hal JPU mengajukan kasasi biasa
terhadap putusan pembebasan terdakwa, maka ia harus dapat membuktikan
melalui uraian dalam memorie kasasinya, pertama bahwa putusan pembebasan yang
dilawannya itu seharusnya berisi putusan pembebasan yang tidak murni. Kedua,
barulah jaksa mengurai dalam analisis hukumnya, bahwa putusan dalam perkara
yang dilawan seharusnya penjatuhan hukuman, bukan pembebasan. Kalau jaksa sekedar hanya bisa membuktikan
alasan yang pertama, maka putusan yang akan dijatuhkan MA di tingkat PK adalah amar
pelepasan dari tuntutan hukum sesuai dengan perkara yang sebenarnya.
Dalam KUHAP tidak dikenal
pembagian putusan bebas antara bebas murni dan tidak murni, melainkan hanya
disebut putusan bebas. Untuk mengetahui yang sebenarnya mengenai putusan bebas
dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP, dapat melakukan analisis hukum berdasarkan 2
(alasan), yaitu:
1.
Berdasarkan penafsiran sistematis.
Maksudnya adalah, bahwa berdasarkan
penafsiran sistemartis, maka perkataan “diputus bebas” dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan
berdasarkan kalimat sebelum perkataan “diputus bebas”. Kalimat yang dimaksud adalah: “’kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan”. Kalimat tersebut menerangkan tentang syarat-syarat putusan
bebas. Apabila dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP, maka arti dari kalimat “’kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan” dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah sama pengertiannya dengan:
a.
Pertama, hakim tidak memperoleh dua atau lebih alat bukti
sah yang dapat digunakan untuk membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa,
atau
b.
Kedua, mesklipun ada dua atau lebih alat bukti yang
digunakan, namun hakim tidak dapat meyakini tentang kesalahan terdakwa dari
alat bukti tersebut, atau
c.
Ketiga, hakim yakin namun tidak memenuhi syarat minimal
dua alat bukti yang sah.
Bahwa, di dalam 3 (tiga) pengertian tersebut tidaklah
bisa diartikan lain, selain bahwa putusan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah
putusan bebas sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, b dan c tersebut di atas
tadi. Dan alasan putusan bebas tersebut tidak ada hubungannya dengan putusan
bebas yang tidak murni sebagaimana dimaksud dalam doktrin hukum maupun putusan
pembebasan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap RS Natalegawa tanggal 10
Pebruari 1982 No. 33/1981/Pid.B/PN Jakapus, yang kemudian dibatalkan oleh MA
dengan Nomor putusan 275K/Pid/1983
tersebut.
Dengan kata lain, adalah bahwa perkataan
“diputus bebas” dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah putusan bebas yang
mengandung tiga unsur putusan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP.
Dan putusan bebas seperti itulah yang di
dalam doktrin hukum disebut dengan “bebas murni”, atau putusan bebas yang
didasarkan pada pertimbangan hukum tentang satu atau beberapa unsur tindak
pidana yang didakwakan tidak terbukti
secara sah dan meyakinan.
2.
Penafsiran dari sudut sejarah
pembentukan Pasal 191 Ayat (1).
Kalau
dilihat dari penafsiran sejarah, maka sesungguhnya KUHAP tidak mengenal putusan
bebas yang murni dan tidak murni. Sama dengan penafsiran dari sudut maksud dari
Pasal 191 Ayat (1)
KUHAP. Jika tidak mengenal putusan bebas murni dan tidak murni, maka pasti
perkataaan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah putusan bebas murni, dan tidak
mungkin putusan bebas yang tidak murni seperti yang dimaksud dalam doktrin hukum sebagai
putusan bebas yang didasarkan pada pertimbangan putusan pelepasan dari tuntutan
hukum. Lebih-lebih lagi
putusan bebas yang tidak murni seperti dalam putusan MA No. 275 K/Pid/1983.
Hal ini diketahui dari pembicaraan
KUHAP di DPR sebelum KUHAP diundangkan
tanggal 31 Desember 1981. Dalam catatan VB da Costa SH wakil ketua Komisi III
bidang Hukum DPR RI, termuat dalam Kompas tanggal 3-12-1982 tertulis sbb: “Sejarah
terjadinya KUHAP pada umumnya dan Pasal
67 jo Pasal 233 ayat (2) khususnya tidak
dapat dilepaskan dari penafsiran yang tepat tentang putusan bebas. Rancangan
asli Pasal 64 mempergunakan istilah “pembebasan dari tuduhan”, yang diambil
dari Pasal 19 UU No. 14 Tahun 1970 yang memungutnya dari Pasal 6 Ayat (2)
UU/Drt Tahun 1951 dengan penyesuaian seperlunya. Sewaktu istilah itu dibahas di
DPR., mau tidak mau dipersoalkan istilah dan pengertian “pembebasan murni” dan
“tidak murni” sebagaimana dikenal oleh jurisprodensi sampai saat itu”.
Akhirnya disepakati bulat untuk menolak
istilah “pembebasan dari tuduhan” maupun istilah /pengertian yang lahir dari
padanya, yaitu “pembebasan murni” dan “pembebasan tidak murni”. HAP Baru hanya mengenal istilah “bebas” dan
bebas artinya tanpa kualifikasi murni dan tidak murni. Implemantasi
administratif dari ketentuan itu berupa larangan dalam Pasal 233 (2) KUHAP”.[2]
Apabila MA dengan kekuasaannya hendak memaksakan kehendaknya untuk
menafsirkan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) jo 183 KUHAP sebagai bebas murni,
sehingga memberikan tafsir tentang syarat-syarat bebas yang tidak murni sebagaimana
dalam putusan MA No. 275K/Pid/1983 terhadap R. Senson Natalegawa. Maka untuk
hal ini harus tajam analisis hukum dalam Memori Kasasi yang dibuat. Karena sesunggunya disinilah letak
kesalahan/kekhilafan hakim dalam putusan yang dilawan kasasi.
Menurut hemat penulis, ada 2 pengertian
bebas tidak murni dari 2 sumber:
•
Pertama, seperti yang
telah diutarakan sebelumnya, dari sumber doktrin hukum (Yahya Harahap menyebutnya dengan yurisprodensi lama[3]), yang mengatakan bahwa putusan bebas yang tidak
murni adalah putusan yang amarnya bebas tetapi dasar pertimbangan hukumnya adalah dasar
pertimbangan putusan lepas dari tuntutan hukum. Misalnya terdakwa diputus bebas
dengan alasan, bahwa terdakwa tidak mengerti atau tidak mengetahui kalau surat yang digunakannya merupakan surat
yang palsu, artinya ketiadaan unsur kesalahan. Pertimbangan hukum
seperti itu mestinya diikuti amar pelepasan dari tuntutan hukum bukan amar
pembebasan. Tapi kalau bebas murni, adalah didasarkan pada pertimbangan hukum
bahwa salah satu atau beberapa unsur tindak pidana yang didakwakan tidak
terbukti. Hal yang
disebutkan terakhir inipun sudah sangat jelas dalam putusan MA kasus R.Senson
Natalegawa No. 275K/Pid/1983 tersebut di atas tadi.
•
Kedua, dari sumber Putusan
MA No. 275K/Pid/1983, yang menyatakan: “Apabila
pembebasan itu didasarkan pada penafsiran
yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat
dakwaan, dan bukan didasarkan pada
tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila
pengadilan dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya,
dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut maupun relatif,
tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur non yuridis yang turut
dipertimbangkan putusan pengadilan itu”.
Menurut hemat penulis, bahwa frasa “sebutan tindak pidana” (dalam kalimat “apabila pembebasan itu
didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang
disebut dalam surat dakwaan...”) sebagai
tidak jelas (obscuur). Oleh
sebab itu harus dicari pengertiannya dengan
cara menafsirkan/ditafsir lagi. Untuk itu ada dua cara tafsir yang dapat digunakan terhadap frasa “sebutan tindak pidana” tersebut, ialah:
•
Pertama, berdasarkan tafsir gramatikal (bahasa) terhadap frasa “sebutan tindak pidana”, adalah diartikan sebagai “kualifikasi tindak pidana” atau nama
dari suatu rumusan tindak pidana, misalnya pencurian, pemerasan, pembunuhan,
perkosaan dan lain sebagainya.
Sehingga
jika diterapkan pengertian dari sudut bahasa ini, maka maksud putusan bebas
tidak munri adalah putusan yang mempertimbangkan tindak pidana yang sebutannya
lain dari tindak pidana yang sebutannya dalam surat dakwaan. Misalnya
mempertimbangkan tentang unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang tidak
didakwakan, sementara amarnya membebaskan dari dakwaan pasal pencurian yang
didakwakan. Atau menjatuhkan amar putusan pidana terhadap sebutan kualifikasi
tindak pidana yang tidak sesuai dengan sebutan tindak pidana dalam pertimbangan
hukumnya. Misalnya dakwaan pencurian
yang dibebaskan padahal dasar pertimbanga hukumnya mempertimbangkan tentang
penggelapan.
•
Kedua, berdasarkan penafsiran
sistematis (systematische interpretatie), artinya bahwa untuk menafsirkan kata/frasa “sebutan tindak pidana” dalam kalimat “apabila pembebasan itu
didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan...” harus didasarkan kalimat sesudahnya.
Karena kalimat yang disebutkan sesudahnya menurut ilmu bahasa memberikan
keterangan atau penjelasan terhadap kata/isitilah yang disebutkan sebelumnya
dalam rangkaian suatu kalimat tertentu. Dalam hal ini adalah pada kalimat “bukan didasarkan pada tidak terbuktinya
unsur-unsur perbuatan yang didakwakan. Anak kalimat inilah sesugguhnya
focus dari pengertian anak kalimat “penafsiran yang keliru terhadap sebutan
tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.
Alasannya ialah pengertian kata
pembebasan yang digantungkan terhadap syarat “sebutan tindak pidana pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan
tindak pidana dalam surat dakwaan di jelaskan artinya pada kalimat
sesudahnya, ialah bahwa “bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur
tindak pidana yang didakwakan. Pengertian ini adalah sama dengan pengertian perkataan
tidak boleh menjatuhkan
pidana alias bebas dalam Pasal 183 KUHAP dalam hubungannya dengan Pasal 191
Ayat (1) KUHAP yang memenuhi 3 syarat tersebut seperti di atas tadi
sudah di jelaskan.
Penafsiran sistematis inilah sesungguhnya
yang paling tepat. Dan inilah yang harus diterapkan oleh jaksa penuntut umum yang
mengajukan kasasi biasa atas
putusan pembebasan. Jadi ukurannya lebih jelas, lebih terukur, dari pada
umumnya kita dapat membaca dalam memorie kasasi jaksa penuntut umum, yang susah ditarik
simpulannya, karena kabur atau obscuur. Bahkah kadang-kadang kita tidak
memperoleh apa-apa dari memorie kasasi terhadap putusan bebas yang dibuat
jaksa.
Baik menggunakan penafsiran
berdasarkan bahasa atau penafsiran sistematis, maka harus dicari dan dianalisis,
bahwa dalam putusan terakhir yang dikasasi, benar-benar telah salah dalam
menerapkan syarat-syarat putusan bebas yang tidak murni sebagaimana yang
penulis maksudkan tersebut di
atas. Baik syarat-syarat putusan yang tidak murni menurut doktrin hukum (yurispridensi lama)
maupun syarat-syarat putusan yang tidak murnini menurut putusan MA No.
275K/Pid/1983 kasus RS Natalegawa tersebut.
Penulis acapkali menemukan putusan
MA yang mengabulkan kasasi jaksa terhadap putusan pembebasan, yang pertimbangan
hukumnya tidak jelas dan bahkan tidak tepat,
atau menurut penelitian penulis justru mengabulkan kasasi jaksa atas putusan
bebas yang telah benar, atau benar-benar pembebasan didasarkan pada pertimbangan
hukum bahwa salah satu atau beberapa unsur tindak pidana yang didakwakan tidak
terbukti, Seperti yang dimaksud putusan kasasi perkara
R. S. Natalegawa No. 275K/Pid/1983 tersebut. Misalnya putusan kasasi terhadap putusan pembebasan yang semula diajukan jaksa No. 1613K/Pid./2010 dalam kasus dugaan penipuan di PN
Padang.
Amat jelas bahwa syarat-syarat
putusan bebas yang tidak murni (baik menurut doktrin maupun yurisprodensi
putusan No. 275K/Pid/1983) tersebut ternyata
tidak dipertimbangkan secara tepat dan benar oleh MA. Mestinya putusan MA ini dilawan
lagi dengan upaya PK oleh terpidana. Dasarnya dengan menggunakan alasan dalam Pasal 263 Ayat (2)
huruf c yakni “dengan
jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata”.
Putusan PN Padang No. 761/Pid.B/2009/PN.Pdg yang
membebaskan terdakwa tersebut
bukan didasarkan pada penafsiran yang
keliru terhadap sebutan tindak pidana yang didakwakan (in casu bukan
didasarkan pada kekeliruan dalam hal menafsirkan unsur tindak pidana penipuan),
melainkan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan, khususnya didasarkan
pada pertimbangan tidak terbuktinya unsur tindak pidana penipuan, bisa dibaca
dalam:
-
Halaman 67 sampai dengan halaman 77 semua pertimbangan
adalah mengenai 4 unsur penipuan), yang tiap-tiap unsur telah dipertimbangkan
yang kemudian menyimpulkan, yaitu:
-
bahwa “maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum telah tidak terbukti” (halaman 72).
-
bahwa unsur menggunakan /memakai nama palsu atau martabat
palsu dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan telah tidak terbukti
(halaman 75).
-
bahwa unsur menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang kepadanya tidak terbukti (halaman 77),
-
Oleh karena itu pada akhirnya PN Padang menyimpulkan bahwa
tindak pidana penipuan tidak terbukti (halaman 77).
Jadi jelas sekali
bahwa putusan pembebasan PN Padang adalah bukan didasarkan pada kekeliruan penafsiran
terhadap sebutan tindak pidana, melainkan didasarkan pada tidak terbuktinya
unsur-unsur tindak pidana yang di dakwakan.
Putusan MA No. 275 K/Pid/1983 Tidak Sesuai Lagi
Dengan Keadaan Sekarang.
Bahwa putusan MA No. 275K/Pid/1983
sesungguhnya tidak dapat digunakan lagi pada saat ini dalam hal usaha melawan
putusan bebas dengan kasasi biasa. Alasannya, adalah:
a.
Pertimbangan putusan MA No. 275K/Pid/1983 tersebut sudah
tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Putusan tersebut hanya bersifat temporary,
provisorisch atau sementara karena kebutuhan waktu itu. Hal ini dapat
dibaca pada pertimbangan hukumnya yang menyatakan sebagai berikut:
“menimbang
bahwa lagipula mengenai dapat tidaknya terhadap putusan bebas dimintakan
banding, masih merupakan masalah hukum yang pada tanggal 10 Pebruari 1982 itu,
yakni saat Kitab UU Hukum Acara Pidana
baru sekitar satu setengah bulan dinyatakan berlaku, masih belum pasti
jawabannya, oleh karena itu dalam masa peralihan yang menimbulkan ketidakpastian hukum itu, Mahkamah Agung menganggap adil apabila
apa yang dilakukan Jaksa, yakni mengajukan keberatan terhadap putusan bebas
yang dijatuhkan Pengadilan Negeri harus diartikan sebagai ditujukan ke pada
Mahkamah Agung.
b.
Hal tersebut juga ternyata dalam angka 19 Lampiran Keputusan
Menkeh 10 Desember 1983 No. M.14-PW.07.03/1983 (dikeluarkan yang sesungguhnya menjadi insiprasi putusan
No. 275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983), berbunyi terhadap putusan bebas
tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan
situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan
bebas (maksudnya tidak murni) dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan
pada yurispridensi.
c.
Bahwa apa yang dimaksud berdasarkan kondisi, adalah
kondisi masa peralihan dari HIR ke KUHAP yang baru berlaku belum genap 2 bulan
dan kondisi seringnya penyelewengan hukum.[4] Dan kondisi yang penting, pada saat itu (1981)
sebagian besar hakim karier lulusan dari SHD (setingkat Sekolah Menegah) saja,
belum banyak yang berpendidikan Fakultas Hukum. Semenatara sekarang, bukan lagi
sekedar berpendidikan Fakultas Hukum
(S1), melainkan sudah banyak yang bergelar Master Hukum (S2), atau bahkan
banyak pula yang sudah berpendidikan doktor (S3). Bahkan hakim agung yang bergelar guru
besar (professor). Kecuali kalau bangsa ini telah menganggap bahwa keterpurukan penegakan hukum di Negara kita
ini, bukan lagi masalah kepintaran atau pendidikan penegak hukumnya, melainkan
pada moralnya dan pada
kepintarannya dalama hal memutar-mutar hukum.
Demikian pendapat penulis. Tentulah tidak memiliki
kekuatan apapun pendapat dari seorang akademisi hukum, jika dibandingkan dengan kekuasaan kehakiman
yang dipegang pucuknya oleh
Mahkamah Agung. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini ada sedikit
gunanya terutama bagi mahasiswa hukum, mahasiswa yang saya cintai.
Kampus fh ub, 27 Juni 2012
KEPUSTAKAAN
H. Adami Chazawi, 2010. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana,
Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
Martiman Prodjohamidjojo, 1984. Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni
(arti dan makana), Penerbit Simplex, Jakarta.
M. Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid
II, penerbit Pustaka Kartini, Jakarata,
[1] Dikutif dari Martiman Prodjohamidjojo, 1984.
Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni (arti dan makana), Penerbit Simplex,
Jakarata, halaman 73.
[2] Lihat Buku Kemerdekaan Hakim – Keputusan
Bebas Murni (arti dan makna) oleh Martiman Prodjohamidjhojo, SH (1984), halaman
24-25.
[3] M. Yahya Harahap, 1988. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, penerbit Pustaka Kartini, Jakarta,
halaman 1007.
[4]
M. Yahya Harahap, ibid, halaman
1010.