Jumat, 07 November 2014

MENERIMA KASASI PUTUSAN BEBAS - KEBABLASAN




KUHAP membedakan antara upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari banding dan kasasi (Bab XVII KUHAP). Upaya hukum luas biasa, yang terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali (PK) (Bab XVIII KUHAP).
         Sementara perlawanan walaupun disebut dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, tetapi tidak diatur secara khusus dalam bab tersendiri seperti upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.
          Penyebutan kasasi dalam praktik selalu diartikan kasasi biasa yang diatur  dalam bab XVII  (Pasal 244-258 KUHAP).  Sementara untuk kasasi luar biasa  acapkali disebut dengan kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 259 KUHAP).
         Putusan yang dapat dilawan dengan upaya kasasi adalah semua putusan terakhir selain putusan Mahkamah Agung, yang amarnya bukan pembebasan.
         Pasal 244 merumuskan bahwa “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas”.
           Jadi jelaslah bahwa, putusan terakhir pembebasan (vrijspraak) dari pengadilan selain Mahkamah Agung tidak dapat dilawan dengan upaya hukum kasasi. Frasa “kecuali putusan bebas” tersebut harus dimaknai sebagai penegasan oleh UU. Sementara pengertian penegasan harus dimaknai sebagai peringatan dan perhatian pada para jaksa, terdakwa dan hakim, alias tidak boleh dilanggar.
           Namun dalam praktik ternyata lain, ketentuan yang secara tegas dalam Pasal 244 KUHAP diterobos dengan argumentasi, bahwa terhadap putusan bebas tidak murni dapat diajukan kasasi. Berarti putusan bebas dalam Pasal 244 tersebut dalam praktik diartikan sebagai putusan bebas murni, sebab menurut putusan MA No. 275K/Pid/1983 kalau bebas tidak murni masih bisa dilawan dengan upaya hukum kasasi biasa.
           Memang logis, bahwa dalam praktik pengadilan pada tingkat manapun dalam amar putusan yang membebaskan terdakwa tidak pernah ada sebutan pembebasan murni atau pembebasan tidak murni, melainkan menyatakan dibebaskan atau membebaskan  dari segala tuduhan - sesuai dengan bunyi Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
           Akhirnya dengan putusan KASASI Mahkamah Agung yang semula berasal dari perkara RADEN SENSON NATALEGAWA (No. 275K/Pid/1983, 29-12-1983), tersebut, maka jaksa penuntut umum hampir pasti – selalu melakukan usaha mencoba-coba mengajukan upaya kasasi, dengan alasan putusan yang dilawan adalah merupakan putusan bebas yang tidak murni. Akhirnya menimbulkan kekacauan antara putusan bebas yang murni mana yang menurut doktrin dan putusan bebas mana yang menurut putusan Mahakaha Agung No. 275K/Pid./1983 tersebut. Karena seolah-oleh semua putusan bebas selalu dianggap oleh jaksa merupakan putusan bebas yang tidak murni.
        Dalam doktrin hukum memang dikenal adanya istilah bebas murni (zuivere vrijspraak) dan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak).
           Menurut doktrin hukum, putusan bebas tidak murni adalah putusan yang amarnya pembebasan namun didasarkan pertimbangan hukum untuk putusan pelepasan dari tuntutan hukum. Sementara menurut putusan MA No. 275/Pid/1983 adalah “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan, dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur perbuatan yang didakwakan, ataupun apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absosult dan relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan  dalam putusan pengadilan, ...[1]
           Lalu dalam praktik diartikan bahwa putusan bebas yang tidak dapat dilawan dengan upaya kasasi adalah terhadap putusan bebas murni saja dan terhadap putusan bebas yang tidak murni masih dapat dilawan dengan upaya kasasi biasa. Dalam hal JPU mengajukan kasasi biasa terhadap putusan pembebasan terdakwa, maka ia harus dapat membuktikan melalui uraian dalam memorie kasasinya, pertama bahwa putusan pembebasan yang dilawannya itu seharusnya berisi putusan pembebasan yang tidak murni. Kedua, barulah jaksa mengurai dalam analisis hukumnya, bahwa putusan dalam perkara yang dilawan seharusnya penjatuhan hukuman, bukan pembebasan.  Kalau jaksa sekedar hanya bisa membuktikan alasan yang pertama, maka putusan yang akan dijatuhkan MA di tingkat PK adalah amar pelepasan dari tuntutan hukum sesuai dengan perkara yang sebenarnya.
             Dalam KUHAP tidak dikenal pembagian putusan bebas antara bebas murni dan tidak murni, melainkan hanya disebut putusan bebas. Untuk mengetahui yang sebenarnya mengenai putusan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP, dapat melakukan analisis hukum berdasarkan 2 (alasan), yaitu:
1.      Berdasarkan penafsiran sistematis.
           Maksudnya adalah, bahwa berdasarkan penafsiran sistemartis, maka perkataan “diputus bebas” dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan berdasarkan kalimat sebelum perkataan “diputus bebas”. Kalimat yang dimaksud adalah: “’kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”. Kalimat tersebut menerangkan tentang syarat-syarat putusan bebas. Apabila dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP, maka arti dari kalimat “’kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah sama pengertiannya dengan:
a.      Pertama, hakim tidak memperoleh dua atau lebih alat bukti sah yang dapat digunakan untuk membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa, atau
b.      Kedua, mesklipun ada dua atau lebih alat bukti yang digunakan, namun hakim tidak dapat meyakini tentang kesalahan terdakwa dari alat bukti tersebut, atau
c.      Ketiga, hakim yakin namun tidak memenuhi syarat minimal dua alat bukti yang sah.
            Bahwa,  di dalam 3 (tiga) pengertian tersebut tidaklah bisa diartikan lain, selain bahwa putusan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah putusan bebas sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, b dan c tersebut di atas tadi. Dan alasan putusan bebas tersebut tidak ada hubungannya dengan putusan bebas yang tidak murni sebagaimana dimaksud dalam doktrin hukum maupun putusan pembebasan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap RS Natalegawa tanggal 10 Pebruari 1982 No. 33/1981/Pid.B/PN Jakapus, yang kemudian dibatalkan oleh MA dengan Nomor putusan 275K/Pid/1983   tersebut.
           Dengan kata lain, adalah bahwa perkataan “diputus bebas” dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah putusan bebas yang mengandung tiga unsur putusan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP.  Dan putusan bebas seperti itulah yang di dalam doktrin hukum disebut dengan “bebas murni”, atau putusan bebas yang didasarkan pada pertimbangan hukum tentang satu atau beberapa unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinan.
2.      Penafsiran dari sudut sejarah pembentukan Pasal 191 Ayat (1).
           Kalau dilihat dari penafsiran sejarah, maka sesungguhnya KUHAP tidak mengenal putusan bebas yang murni dan tidak murni. Sama dengan penafsiran dari sudut maksud dari Pasal 191 Ayat (1) KUHAP. Jika tidak mengenal putusan bebas murni dan tidak murni, maka pasti perkataaan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah putusan bebas murni, dan tidak mungkin putusan bebas yang tidak murni seperti  yang dimaksud dalam doktrin hukum sebagai putusan bebas yang didasarkan pada pertimbangan putusan pelepasan dari tuntutan hukum. Lebih-lebih lagi putusan bebas yang tidak murni seperti dalam putusan MA No. 275 K/Pid/1983.
           Hal ini diketahui dari pembicaraan KUHAP di DPR sebelum KUHAP diundangkan tanggal 31 Desember 1981. Dalam catatan VB da Costa SH wakil ketua Komisi III bidang Hukum DPR RI, termuat dalam Kompas tanggal 3-12-1982 tertulis sbb: Sejarah terjadinya KUHAP pada umumnya  dan Pasal 67 jo Pasal 233 ayat (2)  khususnya tidak dapat dilepaskan dari penafsiran yang tepat tentang putusan bebas. Rancangan asli Pasal 64 mempergunakan istilah “pembebasan dari tuduhan”, yang diambil dari Pasal 19 UU No. 14 Tahun 1970 yang memungutnya dari Pasal 6 Ayat (2) UU/Drt Tahun 1951 dengan penyesuaian seperlunya. Sewaktu istilah itu dibahas di DPR., mau tidak mau dipersoalkan istilah dan pengertian “pembebasan murni” dan “tidak murni” sebagaimana dikenal oleh jurisprodensi sampai saat itu.
           Akhirnya disepakati bulat untuk menolak istilah “pembebasan dari tuduhan” maupun istilah /pengertian yang lahir dari padanya, yaitu “pembebasan murni” dan “pembebasan tidak murni”.  HAP Baru hanya mengenal istilah “bebas” dan bebas artinya tanpa kualifikasi murni dan tidak murni. Implemantasi administratif dari ketentuan itu berupa larangan dalam Pasal 233 (2) KUHAP”.[2]
           Apabila MA dengan kekuasaannya hendak memaksakan kehendaknya untuk menafsirkan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) jo 183 KUHAP sebagai bebas murni, sehingga memberikan tafsir tentang syarat-syarat bebas yang tidak murni sebagaimana dalam putusan MA No. 275K/Pid/1983 terhadap R. Senson Natalegawa. Maka untuk hal ini harus tajam analisis hukum dalam Memori Kasasi yang dibuat. Karena sesunggunya disinilah letak kesalahan/kekhilafan hakim dalam putusan yang dilawan kasasi.
           Menurut hemat penulis, ada 2 pengertian bebas tidak murni dari 2 sumber:
        Pertama, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, dari sumber doktrin hukum (Yahya Harahap menyebutnya dengan yurisprodensi lama[3]),  yang mengatakan bahwa putusan bebas yang tidak murni adalah putusan yang amarnya bebas tetapi dasar pertimbangan hukumnya adalah dasar pertimbangan putusan lepas dari tuntutan hukum. Misalnya terdakwa diputus bebas dengan alasan, bahwa terdakwa tidak mengerti atau tidak mengetahui  kalau surat yang digunakannya merupakan surat yang palsu, artinya ketiadaan unsur kesalahan. Pertimbangan hukum seperti itu mestinya diikuti amar pelepasan dari tuntutan hukum bukan amar pembebasan. Tapi kalau bebas murni, adalah didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa salah satu atau beberapa unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti. Hal yang disebutkan terakhir inipun sudah sangat jelas dalam putusan MA kasus R.Senson Natalegawa No. 275K/Pid/1983 tersebut di atas tadi.
        Kedua, dari sumber Putusan MA No.  275K/Pid/1983, yang menyatakan: “Apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan, dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pengadilan dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut maupun relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan putusan pengadilan itu”.
            Menurut hemat penulis, bahwa frasa “sebutan tindak pidana  (dalam kalimat “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan...”)  sebagai tidak jelas (obscuur). Oleh sebab itu harus dicari pengertiannya dengan  cara menafsirkan/ditafsir lagi. Untuk itu ada dua cara tafsir yang dapat digunakan terhadap frasa “sebutan tindak pidana”  tersebut, ialah:
         Pertama,  berdasarkan tafsir gramatikal (bahasa) terhadap frasa “sebutan tindak pidana”, adalah diartikan sebagai “kualifikasi tindak pidana” atau nama dari suatu rumusan tindak pidana, misalnya pencurian, pemerasan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya.
           Sehingga jika diterapkan pengertian dari sudut bahasa ini, maka maksud putusan bebas tidak munri adalah putusan yang mempertimbangkan tindak pidana yang sebutannya lain dari tindak pidana yang sebutannya dalam surat dakwaan. Misalnya mempertimbangkan tentang unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang tidak didakwakan, sementara amarnya membebaskan dari dakwaan pasal pencurian yang didakwakan. Atau menjatuhkan amar putusan pidana terhadap sebutan kualifikasi tindak pidana yang tidak sesuai dengan sebutan tindak pidana dalam pertimbangan hukumnya.  Misalnya dakwaan pencurian yang dibebaskan padahal dasar pertimbanga hukumnya mempertimbangkan tentang penggelapan.
         Kedua, berdasarkan penafsiran sistematis (systematische interpretatie),  artinya bahwa untuk menafsirkan kata/frasa “sebutan tindak pidana  dalam kalimat “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan...”  harus didasarkan kalimat sesudahnya. Karena kalimat yang disebutkan sesudahnya menurut ilmu bahasa memberikan keterangan atau penjelasan terhadap kata/isitilah yang disebutkan sebelumnya dalam rangkaian suatu kalimat tertentu. Dalam hal ini adalah pada kalimat “bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan. Anak kalimat inilah sesugguhnya focus dari pengertian anak kalimat “penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.
           Alasannya ialah pengertian kata pembebasan yang digantungkan terhadap syarat “sebutan tindak pidana pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam surat dakwaan di jelaskan artinya pada kalimat sesudahnya, ialah bahwa “bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Pengertian ini adalah sama dengan pengertian perkataan tidak boleh menjatuhkan pidana alias bebas dalam Pasal 183 KUHAP dalam hubungannya dengan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP yang memenuhi 3 syarat tersebut seperti di atas tadi sudah di jelaskan.
           Penafsiran sistematis inilah sesungguhnya yang paling tepat.  Dan inilah yang  harus diterapkan oleh jaksa penuntut umum yang mengajukan kasasi biasa atas putusan pembebasan. Jadi ukurannya lebih jelas, lebih terukur, dari pada umumnya kita dapat membaca dalam memorie  kasasi jaksa penuntut umum, yang susah ditarik simpulannya, karena kabur atau obscuur. Bahkah kadang-kadang kita tidak memperoleh apa-apa dari memorie kasasi terhadap putusan bebas yang dibuat jaksa.
           Baik menggunakan penafsiran berdasarkan bahasa atau penafsiran sistematis, maka harus dicari dan dianalisis, bahwa dalam putusan terakhir yang dikasasi, benar-benar telah salah dalam menerapkan syarat-syarat putusan bebas yang tidak murni sebagaimana yang penulis maksudkan tersebut di atas. Baik syarat-syarat putusan yang tidak murni  menurut doktrin hukum (yurispridensi lama) maupun syarat-syarat putusan yang tidak murnini menurut putusan MA No. 275K/Pid/1983 kasus RS Natalegawa tersebut.
           Penulis acapkali menemukan putusan MA yang mengabulkan kasasi jaksa terhadap putusan pembebasan, yang pertimbangan hukumnya  tidak jelas dan bahkan tidak tepat, atau menurut penelitian penulis justru mengabulkan kasasi jaksa atas putusan bebas yang telah benar, atau benar-benar pembebasan didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa salah satu atau beberapa unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti,  Seperti yang dimaksud putusan kasasi perkara R. S. Natalegawa No. 275K/Pid/1983 tersebut. Misalnya  putusan kasasi terhadap putusan pembebasan yang semula diajukan jaksa No. 1613K/Pid./2010 dalam kasus dugaan penipuan di PN Padang. 
           Amat jelas bahwa syarat-syarat putusan bebas yang tidak murni (baik menurut doktrin maupun yurisprodensi putusan No. 275K/Pid/1983) tersebut ternyata tidak dipertimbangkan secara tepat dan benar oleh MA.  Mestinya putusan MA ini dilawan lagi dengan upaya PK oleh terpidana. Dasarnya dengan menggunakan alasan dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf c yakni “dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata”.
           Putusan PN Padang No. 761/Pid.B/2009/PN.Pdg yang membebaskan terdakwa tersebut bukan didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang didakwakan (in casu bukan didasarkan pada kekeliruan dalam hal menafsirkan unsur tindak pidana penipuan), melainkan didasarkan pada  tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan,  khususnya didasarkan pada pertimbangan tidak terbuktinya unsur tindak pidana penipuan, bisa dibaca dalam:  
-         Halaman 67 sampai dengan halaman 77 semua pertimbangan adalah mengenai 4 unsur penipuan), yang tiap-tiap unsur telah dipertimbangkan yang kemudian menyimpulkan, yaitu:
-         bahwa “maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum telah tidak terbukti” (halaman 72).
-         bahwa unsur menggunakan /memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan telah tidak terbukti (halaman 75).
-         bahwa unsur menggerakkan  orang lain untuk menyerahkan barang kepadanya tidak terbukti (halaman 77),
-         Oleh karena itu pada akhirnya PN Padang menyimpulkan bahwa tindak pidana penipuan tidak terbukti (halaman 77).
               Jadi jelas sekali bahwa putusan pembebasan PN Padang adalah bukan didasarkan pada kekeliruan penafsiran terhadap sebutan tindak pidana, melainkan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang di dakwakan.
Putusan MA No. 275 K/Pid/1983 Tidak Sesuai Lagi Dengan Keadaan Sekarang.
           Bahwa putusan MA No. 275K/Pid/1983 sesungguhnya tidak dapat digunakan lagi pada saat ini dalam hal usaha melawan putusan bebas dengan kasasi biasa. Alasannya, adalah:
a.     Pertimbangan putusan MA No. 275K/Pid/1983 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Putusan tersebut hanya bersifat temporary, provisorisch atau sementara karena kebutuhan waktu itu. Hal ini dapat dibaca pada pertimbangan hukumnya yang menyatakan sebagai berikut:
“menimbang bahwa lagipula mengenai dapat tidaknya terhadap putusan bebas dimintakan banding, masih merupakan masalah hukum yang pada tanggal 10 Pebruari 1982 itu, yakni saat Kitab UU Hukum Acara Pidana baru sekitar satu setengah bulan dinyatakan berlaku, masih belum pasti jawabannya, oleh karena itu dalam masa peralihan yang menimbulkan ketidakpastian hukum  itu, Mahkamah Agung menganggap adil apabila apa yang dilakukan Jaksa, yakni mengajukan keberatan terhadap putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri harus diartikan sebagai ditujukan ke pada Mahkamah Agung.
b.     Hal tersebut juga ternyata dalam angka 19 Lampiran Keputusan Menkeh 10 Desember 1983 No. M.14-PW.07.03/1983 (dikeluarkan  yang sesungguhnya menjadi insiprasi putusan No. 275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983), berbunyi terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas (maksudnya tidak murni) dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurispridensi. 
c.     Bahwa apa yang dimaksud berdasarkan kondisi, adalah kondisi masa peralihan dari HIR ke KUHAP yang baru berlaku belum genap 2 bulan dan kondisi seringnya penyelewengan hukum.[4]  Dan kondisi yang penting, pada saat itu (1981) sebagian besar hakim karier lulusan dari SHD (setingkat Sekolah Menegah) saja, belum banyak yang berpendidikan Fakultas Hukum. Semenatara sekarang, bukan lagi sekedar  berpendidikan Fakultas Hukum (S1), melainkan sudah banyak yang bergelar Master Hukum (S2), atau bahkan banyak pula yang sudah berpendidikan doktor (S3). Bahkan hakim agung yang bergelar guru besar (professor). Kecuali kalau bangsa ini telah menganggap bahwa  keterpurukan penegakan hukum di Negara kita ini, bukan lagi masalah kepintaran atau pendidikan penegak hukumnya, melainkan pada moralnya dan pada kepintarannya dalama hal memutar-mutar hukum.  
         Demikian pendapat  penulis. Tentulah tidak  memiliki  kekuatan apapun pendapat dari seorang akademisi hukum, jika dibandingkan dengan kekuasaan kehakiman yang dipegang pucuknya oleh Mahkamah Agung.   Mudah-mudahan tulisan sederhana ini ada sedikit gunanya terutama bagi mahasiswa hukum, mahasiswa yang saya cintai.
Kampus fh ub, 27 Juni 2012

KEPUSTAKAAN
H. Adami Chazawi, 2010. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
Martiman Prodjohamidjojo, 1984. Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni (arti dan makana), Penerbit Simplex, Jakarta. 
M. Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, penerbit Pustaka Kartini, Jakarata,




[1]  Dikutif dari Martiman Prodjohamidjojo, 1984. Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni (arti dan makana), Penerbit Simplex, Jakarata, halaman 73.
[2]  Lihat Buku Kemerdekaan Hakim – Keputusan Bebas Murni (arti dan makna) oleh Martiman Prodjohamidjhojo, SH (1984), halaman 24-25.
[3]  M. Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, penerbit Pustaka Kartini, Jakarta, halaman 1007.
[4]  M. Yahya Harahap, ibid, halaman  1010.