Jumat, 14 Februari 2014

POTENSI MASALAH PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM RUU KUHP

TANGGAPAN/MASUKAN DALAM DISKUSI TERBATAS RUU KUHP (Diselenggarakan Oleh KPK di Surabaya, 22-10-2013) 1. a. Kebijakan menempatkan norma tindak pidana korupsi yang sekarang dalam UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001 ke dalam bab yang berbeda dalam RUU KUHP tersebut tidak tepat. Alasannya adalah: 1) Bila dicermati TPK dalam UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001, kiranya TPK dirumuskan berdasarkan konsepsi: (1) Korupsi sebagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum kekayaan Negara atau menggerogoti kekayaan Negara. Contoh Pasal 2, 3, dan 8. (2) Korupsi sebagai penyalahgunaan hak/kekuasaan jabatan atau kedudukan oleh pegawai negeri untuk memperoleh sesuatu yang bukan menjadi haknya. Contoh Pasal 8 dan semua bentuk penyuapan pasif. (3) Korupsi sebagai perbuatan yang menyerang dan menggerogoti moral dan disiplin pegawai negeri dalam pelaksanaan tugasnya untuk kepentingan umum. Contoh semua penyuapan aktif. Tiga konsepsi tersebut tercermin di dalam pasal-pasalnya. Konsepsi TPK tersebut tidak dianut secara konsisten lagi oleh RUU KUHP. Terbukti dari: • Dihapuskannya Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 8 ditarik dari bagian TPK dan dimasukkan dalam bagian Tindak Pidana Jabatan. • Dikeluarkannya Pasal 9, 5 ayat (2), 6 ayat (2), 12a, 12b, 12c, 12e, 12f, 12h, 12i dari bagian TPK dan menempatkannya dalam bagian Tindak Pidana Jabatan. • Menarik Pasal 23 jo 220 dan 231 KUHP dari bagian TPK dan menjadi bagian Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum. Sementara RUU KUHP tidak cukup alasan dan logika hukumnya dengan meniadakan dan menggeser tiga konsepsi hukum TPK tersebut, terutama konspsi korupsi sebagai perbuatan yang menggerogoti kekayaan Negara. 2) TPK korupsi dalam Bab XXXII Tentang TPK Korupsi menekankan pada penyuapan. Konsepsi hukum TP Korupsi yang utama menurut UU No. 31/1999 diubah UU No. 20/2001: “sebagai perbuatan yang menggerogoti kekayaan Negara” sudah ditinggalkan/bergeser ke arah: perbuatan “suap menyuap” meskipun tidak konsisten. Tidak konsisten, karena: (a) Bila RUU KUHP menganggap bahwa konsepsi hukum TPK menekankan / menomorsatukan pada penyuapan, maka seharusnya semua bentuk penyuapan masuk dan menjadi TPK. Namun ternyata tidak, terdapat pula penyuapan (pasif) lain yang dilakukan oleh pegawai negeri yang masuk ke dalam Bab XXXI TP Jabatan. Sementara si penyuap (aktif) tidak dicelakan dan dipidana. (b) Dasar dan logika membedakan penyuapan (aktif dan pasif) pada dan oleh pegawai negeri yang masuk Bab XXXI TP Jabatan dengan penyuapan (aktif dan pasif) pada dan oleh pejabat publik tidak jelas. (c) Tidak jelas pengertian subjek hukum pejabat beserta 10 subjek hukum bagiannya dalam Pasal 190 RUU KUHAP dalam hubungannya dengan membedakan / perbedaan antara subjek hukum pejabat publik suap aktif dan pasif (seperti Pasal 688, 689, 690, 691) yang merupakan tindak pidana korupsi dengan subjek hukum suap pasif (seperti Pasal 666, 667, 668) yang bukan bagian tindak pidana korupsi, melainkan tindak pidana jabatan. Sedangkan baik subjek hukum pejabat beserta 10 bagiannya sama-sama sebagai subjek hukum yang tugas/pekerjaannya di bidang birokrasi pemerintahan yang langsung atau tidak langsung untuk dan berhubungan dengan kepentingan umum. Oleh sebab itu andaikata dalam RUU diberikan pengertian masing-masing dengan logika tertentu sampai menjadi subjek hukum tindak pidana masing-masing, bisa jadi masih tetap terdapat kerancuan dan pengertian yang tumpang tindih. 3) Kebijakan demikian itu memangkas/melemahkan wewenang KPK dan Pengadilan Tipikor. Karena RUU KUHP menyusutkan bentuk TPK yang semula 44 bentuk menjadi 24 bentuk. b. Beberapa TPK yang sekarang ada dalam UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001 yang kemudian tidak menjadi bagian tindak pidana korupsi lagi, karena dimasukan menjadi bagian Tindak Pidana Jabatan (Bab XXXII) dan TP Perbuatan Curang (Bab XVIII) dalam RUU KUHP, pada dasarnya penegakan hukumnya bukan lagi menjadi kewenangan KPK maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Karena KPK dan Pengadilan Tipikor hanya berwenang penegakan hukum TPK. Namun KPK dan Pengadilan Tipikor tidak tertutup kemungkinan diberi wewenang dalam penegakan hukumnya seperti saat ini. Dengan cara merevisi UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor [vide Pasal 211 RUU KUHAP dan Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP] memuat ketentuan khusus sebagai pengecualiannya (lex specialis). Untuk memperkuat/lebih memperkuat kewenangan KPK maupun Pengadilan Tipikor, revisi tersebut dapat dilakukan dengan memperluas kewenangan KPK dan Pengadilan Tipikor termasuk: • Tindak pidana korupsi yang semula terdapat dalam UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001 yang dimasukkan menjadi bagian Bab XXXII – Tindak Pidana Jabatan dan Bab XVIII – Tindak Pidana Perbuatan Curang; • Maupun tindak pidana yang masuk bagian Bab XXXI – Tindak pidana Jabatan dan bagian Bab XVII – Tindak Pidana Perbuatan Curang lainnya yang dinilai seirama dengan 3 (tiga) konsepsi tindak pidana korupsi seperti tersebut di atas. • Juga tindak pidana lain tertentu yang tersebar di dalam bab-bab yang lain yang bersesuaian dengan 3 (tiga) konspsi tindak pidana korupsi. Tidak ada larangan KPK dan Pengdilan Tipikor menangani perkara tindak pidana di luar Bab XXXII RUU KUHP, asalkan di dalam UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor kewenangan tersebut di ditentukan secara tegas. Dapat dilakukan dengan merevisi UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor. Ketentuan seperti itu sebagai lex specialis. 2. Tindak pidana korupsi penyuapan dalam Bab XXXII (Tentang Tindak Pidana Korupsi) dirumuskan secara berpasangan subjek hukumnya ayat (1) setiap pasal mengatur setiap orang yang melakukan perbuatan memberi dsb. Sedangkan ayat (2) pasal yang sama mengatur pejabat publik yang menerima pemberian tersebut. Akan tetapi untuk tindak pidana korupsi penyuapan yang diatur dalam bab XXXI (Tindak Pidana Jabatan) hanya mengatur dan mengancam pidana kepada subjek hukum pegawai negeri. Penempatan dengan membedakan secara demikian itu – tidak tepat, karena: • Salah satu konsepsi penyuapan adalah, selalu dapat disalahkan dan dibebani pertanggungjawaban terhadap baik subjek hukum yang menyuap maupun yang menerima suap. Oleh karena itu dalam setiap bentuk penyuapan selalu harus dirumuskan secara berpasangan (meskipun tidak harus dalam satu pasal) antara penyuapan aktif yang mencelakan subjek hukum yang menyuap dengan penyuapan pasif yang mencelakan subjek hukum yang menerima suap. Konsepsi seperti itulah yang digunakan pembentuk KUHP yang memasukkan penyuapan aktif pada kelompok Kejahatan Terhadap Penguasa umum (Bab VIII), sementara penyuapan pasif yang mencelakan si penerima suap yang termasuk golongan pegawai negeri/pejabat (ambtenaar) di masukkan ke dalam bagian Kejahatan Jabatan (Bab XXVIII). • Pembedaan penempatan penyuapan aktif dalam bagian kejahatan terhadap penguasa umum dan penyuapan pasif pada bagian kejahatan jabatan dalam KUHP, berhubung terdapat hal/keadaan yang berbeda antara keduanya. Pertama, berbeda kepentingan hukum yang hendak dilindungi antara penyuapan aktif dengan penyuapan pasif. Kedua, berbeda subjek hukum yang dipersalahkan dan dibebani pertanggungjawaban pidana. • Yang membuat persoalan ialah, dalam RUU KUHP membedakan antara sebagian penyuapan yang masuk dalam bagian tindak pidana korupsi (Bab XXXII) dan sebagian lainnya masuk bagian tindak pidana jabatan dengan subjek hukum yang berbeda-beda. Tentu tidak akan menjadi persoalan apabila bentuk-bentuk penyuapan aktif dan pasif seluruhnya dimasukkan ke dalam bagian Bab XXXII – Tindak Pidana Korupsi, karena kepentingan hukum (langsung atau tidak langsung menyangkut kepentingan umum) yang hendak dilindungi oleh penyuapan aktif dan penyuapan pasif itu pada dasarnya terdapat kesamaan. • Oleh karena berbeda subjek hukumnya antara penyuapan pasif yang menjadi bagian Tindak Pidana Jabatan (pegawai negeri) dengan subjek hukum penyuapan pasif (pejabat publik) yang menjadi bagian tindak pidana korupsi. Maka tidak mungkin dapat dipersalahkan dan dibebani pertanggungjawaban pidana terhadap subjek hukum bukan pegawai negeri yang menyuap pegawai negeri (penyuapan aktif) yang masuk bagian tindak pidana jabatan (Bab XXXI). Karena subjek hukum tindak pidana jabatan harus berkualitas sebagai pegawai negeri. Kecuali apabila penyuapan (aktif dan pasif) tersebut dimasukkan menjadi bagian tindak pidana korupsi. • Dengan kebijakan membedakan pemuatan penyuapan aktif pegawai negeri (Bab XXXI) dengan penyuapan aktif dan pasif pada dan oleh pejabat publik (Bab XXXII), menyebabkan dilanggarnya prinsip pembebanan pertanggungjawaban pada bentuk-bentuk penyuapan, khususnya antara penyuapan aktif dan penyuapan pasif yang sama-sama harus bertangung jawab. Dengan kebijakan itu, menjadi keharusan subjek hukum yang memeberi suap (suap aktif) yang masuk bagian tindak pidana jabatan (Bab XXXI) tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dan tidak dipidana. Sementara mereka ini tidak termasuk subjek hukum yang dapat dipidana menurut penyuapan aktif yang menjadi bagian tindak pidana korupsi (bab XXXII). Terutama disebabkan subjek hukum yang menrima suap berbeda, yang satu pegawai negeri dan yang lainnya adalah pejabat publik. Keadaan ini menjadi sesuatu yang amat janggal. • Singkatnya, bahwa pembedaan penempatan penyupan aktif ke dalam bagian tindak pidana jabatan (Bab XXXI) dan penyuapan aktif dan pasif ke dalam bagian korupsi (Bab XXXII) (apalagi dengan pembedaan subjek hukumnya antara pegawai negeri dan pejabat publik) merupakan kebijakan yang tidak tepat. • Disamping itu, juga terdapat kelemahan lainnya, adalah: - penyebutan objek tindak pidana dalam penyuapan aktif dan pasif yang masuk bagian tindak pidana korupsi tidak konsisten. Contoh: Pasal 688 dan 689 ayat (1) objeknya sesuatu, tapi ayat (2) objeknya janji atau pemberian. - Objek suap yang masuk tindak pidana korupsi disebutkan: janji, sesuatu, pemberian. Sementara pada penyuapan yang masuk tindak pidana jabatan disebutkan: hadiah, janji, gratifikasi. 3. a. Menghilangkan dengan cara tidak memuat tindak pidana Pasal 2 dan 3 UU No. 31/1999 diubah UU No. 20/2001 dalam RUU KUHP (khususnya dalam Bab XXXII) merupakan kebijakan yang tidak tepat, dan sangat disesalkan. Alasannya adalah: • Rumusan tindak pidana Pasal 2 dan 3 sederhana, mudah merinci unsur-unsurnya, Dapat dibedakan dan diterangkan secara jelas unsur perbuatan, sifat melawan hukumnya perbuatan, maupun objek tindak pidananya dan akibat perbuatan. Pengertiannya sudah terkonsepsi oleh praktik hukum dan pendapat ahli. • Perbuatannya memperkaya diri (Pasal 2) dan perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan (Pasal 3) abstrak - terbatas, kelebihannya adalah wujud konkretnya bisa mencakup bermacam bentuk perbuatan. Meskipun perbuatan dirumuskan secara abstrak, tidak menyebabkan pelanggaran prinsip atau asas kepastian hukum. Berhubung wujud-wujud konkret perbuatan memperkaya diri dan menyalahgunakan kewenangan jabatan tetap terbatas/dibatasi oleh unsur sifat melawan hukumnya perbuatan (Pasal 2) dan akibat (dapat) merugikan keuangan Negara (Pasal 2 dan 3). • Oleh karena dua alasan tersebut di atas itulah, maka selama ini kasus-kasus korupsi besar maupun sedang dan kecil baik di pusat maupun di daerah yang (dapat) menimbulkan kerugian di bidang keuangan Negara, selalu Pasal 2 dan 3 yang diterapkan secara tepat. Pasal 2 dan 3 sangat efektif dan berperan yang sangat besar dalam pemberantasan korupsi (represif) di Indonesia. • Perbuatan memperkaya diri secara melawan hukum yang (dapat) menimbulkan kerugian keuangan Negara (Pasal 2) atau perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan yang menimbulkan kerugian Negara (Pasal 3) adalah merupakan perwujudan dari konsepsi utama tindak pidana korupsi sebagai perbuatan menyerang kepentingan hukum Negara di bidang kekayaan Negara atau menggerogoti kekayaan Negara. b. Berdasarkan alasan sebagaimana yang diterangkan pada angka 3 huruf a tersebut di atas, maka seharusnya rumusan tindak pidana korupsi memperkaya diri dalam Pasal 2 dan tindak pidana menyalahgunakan kewenangan jabatan dalam Pasal 3 tetap dipertahankan dan dimuat (kembali) dalam Bab XXXII RUU KUHP sebagai bagian dari tindak pidana korupsi. • Rumusan Pasal 2 dan 3 bukan rumusan tindak pidana materiil, hanya dalam praktik dianggap sebagai tindak pidana materiil, disebabkan Jaksa PU selalu membuktikan adanya akibat kerugian keuangan Negara secara nyata (riel). Meskipun dengan mengingat di muatnya perkataan “dapat” dalam kalimat anak kalimat “yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”, tindak pidana Pasal 2 dan 3 merupakan tindak pidana formil. Yang dibuktikan cukup potensialnya, bukan kerugian secara nyata. Cara membuktikan potensialnya tersebut, ialah dengan mencari, menemukan dan menetapkan suatu keadaan tertentu. Apabila keadaan tertentu itu ditemukan, maka adanya keadaan itulah yang menyebabkan timbulnya potensi merugikan keuangan Negara. Misalnya pimpinan Bank Pemerintah yang menandatangani kontrak pemberian kredit tanpa jaminan atau jaminan yang tidak seimbang dengan nilai kredit yang diberikan. Keadaan yang dimaksud adalah memberikan pinjaman tanpa jaminan atau jaminan yang nilainya tidak sebanding dengan nilai kredit yang diberikan. Keadaan tersebut dapat dipikirkan (oleh orang awam sekalipun) - potensial merugikan keuangan Negara. Dengan ditandatanganinya kontrak tersebut, tindak pidana korupsinya telah selesai sempurna. • Perlu ada revisi (tambahan) pada penjelasan Pasal 3, dengan menegaskan apakah si pembuat yang memegang jabatan yang disalahgunakan olehnya tersebut bukan saja pemegang jabatan publik, namun juga pada jabatan privat. Penegasan in diperlukan karena dalam praktik masih belum terdapat kespakatan. Meskipun subjek hukum pemangku jabatan yang dimaksud disebutkan dengan perkataan “setiap orang, yang artinya bisa pemegang jabatan publik maupun privat. 4. Tindak pidana korupsi dalam Bab XXXII RUU KUHP dirumuskan secara formil dengan maksud menjamin kepastian hukum namun konskewensi yang dikatakan ruang lingkupnya menjadi terbatas. a. Sesungguhnya untuk menetukan atau mengatakan tindak pidana itu dirumuskan secara formil atau secara materiil, bukan dilihat dari sudut dicantumkannya unsur perbuatan secara tegas dalam rumusan. Setiap tindak pidana memang harus dicantumkan unsur perbuatannya, baik dalam rumusan formil maupun materiil. Yang menentukan rumusan tindak pidana itu formil atau materiil adalah harus dilihat dari sudut “syarat penyelesainya”. Bila syarat selesainya tindak pidana digantungkan pada selesainya perbuatan saja, maka tindak pidana tersebut adalah dirumuskan secara formil. Sebaliknya bila syarat selesainya digantungkan pada akibat perbuatan yang diperlukan, maka rumusan tersebut merupakan rumusan tindak pidana materiil. • Dalam kenyataannya ada tindak pidana yang dari sudut permusannya dengan menyebutkan unsur perbuatan tertentu, yang seolah-olah dengan selesainya perbuatan itu selesai pula tindak pidananya. Seperti pada “perbuatan memberi sesuatu” pada Pasal 5 ayat (1). Ini tindak pidana formil, namun perbuatan “memberi sesuatu”, barulah dapat dikatakan selesai dan selesai pula penyuapan tersebut, apabila benda sesuatunya itu telah berpindah/beralih kekuasaannya ke dalam kekuasaan si penerima. Jadi ukuran penyelesainya adalah pada akibat in casu beralihnya kekuasaan atas benda. Kiranya sama pula dengan perbuatan mengambil dalam pencurian. • Oleh sebab itu dari cara merumuskannya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara “rumusan murni formil, semi formil (disebut juga semi materiil) dan murni materiil. • Contoh Pasal 5 ayat (1) mengenai perbuatan “memberi” sesuatu tadi, itu rumusan formil tidak murni/semi formil atau materiil tidak murni/semi materiil. Contoh rumusan materiil murni, Pasal 338 KUHP dengan perbuatan “menghilangkan nyawa” orang lain, atau Pasal 188 KUHP dengan perbuatan “menyebabkan kebakaran”. b. Menuurut hemat saya, tidak bisa dijadikan alasan bahwa rumusan formil itu cakupannya terbatas, sementara rumusan materiil tidak. Apalagi dihubungkan dengan mudah atau tidaknya pembuktiannya. Untuk menentukan rumusan formil atau materiil dari suatu rumusan tindak pidana haruslah dilihat dari sudut pengertian perbuatannya, sementra pengertiannya itu tidak boleh dilepaskan dari syarat penyelesainnya. Yang penting apakah hendak dirumuskan secara murni formil, semi formil/materiil ataukah murni materiil, bergantung dari maksud dibentuknya tindak pidana tersebut, ialah apakah yang dilarang dan mengancam suatu kepentingan hukum yang dilindungi itu pada perbuatannya saja ataukah tidak cukup - melainkan pada akibatnya. Disamping itu perlu pula diperhatikan tentang pengertian yang hendak diberikan pada unsur perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Bila pengertian perbuatan itu pada penyelesainya yang artinya penyelesaian tindak pidana digantungkan pada akibat yang timbul dari perbuatan itu, maka dirumuskan secara semi formil/semi materiil, seperti pada pencurian. c. Merumuskan tindak pidana secara formil, secara materiil ataukah semi formil/materiil, tidak ada hubungannya secara langsung dengan mudah tidaknya pembuktiannya. Melainkan bergantung dari pengertian (hukumnya) dari unsur perbuatan yang dicantumkan. Yang terang adalah rumusan secara materiil itu, cakupan wujud-wujud perbuatannya meluas/luas, bisa wujud apapun juga namun ada batasnya ialah: (1) dari wujud itu benar terbukti menimbulkan akibat yang dilarang tersebut, atau ada causal verband antara wujud perbuatan dengan akibat. Sementara rumusan fomil munri tidak diperlukan akibat. Sedangkan rumusan semi formil, untuk selesainya perbuatan masih diperlukan ukuran akibat. Hubungan perbuatan dan akibat ini dapat dipikirkan secara akal. 5. Subjek hukum tindak pidana jabatan (Bab XXXI) RUU KUHP menggunakan istilah “pegawai negeri”. Sementara subjek hukum tindak pidana korupsi (Bab XXXII) menggunakan istilah “pejabat publik”. a. Keadaan tersebut tidak menguntungkan, menimbulkan kerancuan dan implikasi ketidakadilan. • Menggunakan istilah mengenai subjek hukum yang berbeda dalam rumusan tindak pidana hanya dimungkinkan apabila antara tindak pidana - tindak pidana itu berbeda secara substansial, baik pengertian yuridis subjek hukumnya itu, tindak pidananya, atau ruang lingkup tindak pidananya maupun kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Syarat ini tidak cukap terdapat pada perbedaan subjek hukum “pegawai negeri” pada tindak korupsi penyuapan dalam Bab XXXI dengan “pejabat publik” pada tindak pidana korupsi penyuapan (aktif atau pasif) dalam Bab XXXII. • RUU KUHP menggunakan 11 istilah dalam Pasal 190 RUU KUHAP untuk suatu subjek hukum yang ada hubunganannya langsung atau tidak langsung dengan tugas dan pekerjaan birokrasi kepemerintahan yang berhubungan dengan kepentingan umum. Sementara belum diketahui keterangan tentang pengertiannya masing-masing istilah. Inilah yang menyebabkan menimbullkan kerancuan. • Dengan membedakan penyuapan yang sebagian masuk kejahatan jabatan dan sebagian masuk korupsi dengan membedakan pula subjek hukum dan membedakan ancaman pidana yang perbedaan berat ringgannya sangat jauh, menyerang rasa keadilan masyarakat. Penyuapan – subjek hukumnya “pegawai negeri” yang masuk pada bagian tindak pidana jabatan (Bab XXXI) diancam dengan pidana: penjara seumur hidup atau penjara sementara minimum 5 tahun dan maksimum 20 tahun. Sedangkan pada penyuapan (aktif dan pasirf) yang masuk bagian tindak pidana korupsi (Bab XXXII) diancam pidana penjara minimum 1 tahun dan maksimum ada yang 5 tahun ada 7 tahun. Sementara kepentingan hukum yang dilindungi yang dilanggar oleh kedua kelompok penyuapan tersebut tidaklah berbeda. Korupsi penyuapan lebih ringan dari pada penyuapan yang masuk kejahatan jabatan. b. Menurut hemat saya, istilah yang digunakan dan menjadi salah satu unsur tindak pidana, pertama-tama haruslah istilah yang diberi arti sesuai dengan arti bahasa. Karena hukum tertulis itu di rumuskan dengan menggunakan bahasa. Kalau dalam arti bahasa tidak cukup, maka pengertian istilah itu dapat diperluas bukan saja seperti pengertian bahasanya, juga diperlruas termasuk pengertian di luar bahasa. Namun yang terakhir ini haruslah di terangkan di dalam Bab tentang Pengertian. Apabila tidak, akan membingungkan dan melanggar asas kepastian hukum. Sepajang dalam Bab V Tentang Pengertian mengenai 10 macam kualifikasi subjek hukum bagian dari pengertian pejabat tersebut tidak diterangkan pengertiannya, dapat terjadi kerancuan dan membingungkan dalam praktik . • Kalau ditanyaklan mana istilah yang direkomendasikan, maka menurut hemat saya sebaiknya istilah yang digunakan adalah “pegawai negeri”. Namun pengertiannya selain yang diartikan menurut UU Pokok kepegawaian, diperluas termasuk pengertian yang lain. Tidak menggunakan istilah pejabat, karena dari sudut bahasa dan secara sosiologis istilah “pejabat” itu adalah seseorang yang menduduki jabatan di birokrasi pemerintahan, yang termasuk unsur pimpinan. Kecuali apabila memang yang dimaksudkan adalah seorang pejabat. Demikian tanggapan kami. Semoga merupakan pandangan yang baik. Adami Chazawi (FH UB) 22-10-2013