Sabtu, 02 Januari 2010

PUTUSAN YG MENERIMA & MEMBENARAKAN JPU MENGJUKAN PK ADALAH PUTUSAN YG JELAS MEMPERLIHATKAN SUATU KEKHILAFAN HAKIM ATAU SUATU KEKELIRUAN YANG NYATA

Artikel Online

Oleh Drs. H. Adami Chazawi, S.H (Dosen FH Universitas Brawijaya)

Orang yang disebut terpidana, ialah orang (subjek hukum) yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[1] Dipidana karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai yang didakwakan atas dasar keyakinan hakim yang dibentuk melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.[2]

Penyebutan istilah “terpidana” dalam rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP mengandung dua pengertian.

· Pertama, bahwa pihak yang dapat mengajukan PK perkara pidana hanyalah terpidana saja atau ahli waris terpidana.

· Kedua, upaya hukum PK dapat diajukan oleh terpidana hanyalah terhadap putusan pemidanaan saja. Lebih-lebih lagi ditegaskan dalam ayat (1) tersebut, bahwa “kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum” (yang tidak dapat diajukan PK).[3] Sementara putusan terhadap tindak pidana yang didakwakan, hanya ada tiga macam saja, yang ketiga ialah pemidanaan. Jadi jelas bahwa putusan yang dikecualikan dari bebas atau lepas dari tuntutan hukum, pastilah putusan pemidanaan. Subjek hukum yang dijatuhi pidana disebut terpidana.

Dari istilah terpidana dalam Pasal 263 Ayat (1) menunjukkan bahwa amar putusan terhadap terpidana adalah pemidanaan. Termasuk di dalamnya subjek hukum yang dijatuhi tindakan, bagi anak umurnya telah 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.[4]

Sesuai dengan landasan dibentuknya dan jiwa lembaga PK, maka hanya terpidana saja yang berhak mengajukan permintaan PK. Ahli waris yang juga disebutkan berhak, tidaklah berdiri sendiri, melainkan demi hukum mewakili terpidana. Artinya tidak terpisah dan berdiri sendiri, melainkan bagian dari terpidana. Oleh karena itu negara tidak dapat mengajukan permintaan PK. Praktik kejaksaan yang menggunakan dasar Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak dapat dibenarkan.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan PK perkara pidana yang dimaksud Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 tidak mungkin dapat ditafsirkan termasuk negara (jaksa), alasannya adalah:

· Pertama, norma Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 yang menyebut pihak-pihak adalah merupakan norma lex generalis. Berlaku untuk semua putusan perkara apapun yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tidak mungkin norma Pasal 23 Ayat (1) berlaku dan diterapkan mandiri, tanpa memberlakukan norma lainnya yang khusus (lex specialis). Tidak mungkin dapat berlaku hanya dengan menunjuk dan berdasarkan norma Pasal 23 Ayat (1) saja. Sementara PK perkara pidana diatur khusus (lex specialis) dalam Pasal 263 (1) KUHAP. Menurut azas hukum lex specialis derogat legi generali maka ketentuan yang khususlah yang berlaku. Pihak yang dimaksud Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 khusus untuk perkara pidana (lex specialis) adalah pihak yang sama seperti dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (1), yaitu terpidana atau ahli warisnya, bukan jaksa.

· Kedua, norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas, limitatif dan tuntas, maka bersifat tertutup.[5] Norma hukum yang demikian, tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretatio cessat in claris). Dilarang menafsirkan norma yang limitatif dengan maksud untuk menambahi dari yang sudah disebut dalam norma. Alasannya pertama, jika ditambah-tambahi dengan unsur atau ketentuan lain, norma tersebut akan mempunyai arti lain diluar yang dikehendaki pembentuk UU. Menyimpang dari makna dan jiwa norma tersebut. Kedua, untuk menambahi norma yang sudah limitatif adalah kewenangan pembentuk UU, bukan kewenangan hakim dan jaksa.

· Ketiga, rumusan Pasal 23 Ayat (1) UU 4/2004 jangan dibaca dan dimaknai secara sepotong-sepotong dengan maksud semata-mata untuk menghukum terdakwa yang sudah dibebaskan dengan putusan yang tetap dan diluar nalar dan akal sehat, melainkan harus lengkap dan menyeluruh. Dalam rumusan norma Pasal 23 Ayat (1) disebutkan secara tegas mengenai syarat umum PK, yakni “bila terdapat hal atau keadaan tertentu dalam UU”. Dalam perkara pidana, UU yang dimaksud adalah KUHAP, khususnya Pasal 263 Ayat (1). Hal atau keadaan tertentu yang dimaksud Pasal 23 Ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 adalah keadaan putusan pemidanaan yang telah tetap dan tiga syarat materiil PK dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHAP. Sementara subjek hukum yang berhak mengajukan PK pada keadaan dan syarat-syarat yang demikian itu hanyalah - semata-mata terpidana atau ahli warisnya saja, bukan negara atau pihak lain.

· Keempat, syarat materiil pengajuan PK menurut Pasal 263 Ayat (2) KUHAP tidak terpisahkan dengan syarat formil tentang subjek hukum yang berhak mengajukan PK dalam Ayat (1). Syarat materiil dalam Ayat (2) hanya dapat digunakan oleh subjek hukum yang disebutkan dalam Ayat (1) saja (penafsiran sistematis). Tidak dapat digunakan oleh subjek hukum lain diluar Ayat (1).

· Kelima, bahwa sesuai dengan kehendak pembentuk UU, ditegaskan pula dalam Keputusan Menkeh No. M.01.PW.07.03 Tahun 1982 (Lampiran PP 27/1983 Tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP) menyatakan secara tegas, bahwa hak PK tidak diberikan pada Jaksa Agung, logis karena yang berkepentingan adalah terpidana atau ahli warisnya.

· Keenam, bahwa dalam hal jaksa mengajukan permintaan PK terhadap putusan pembebasan yang telah in kracht van gewijsde tidak dapat lagi dianggap mewakili negara dan untuk kepentingan umum. Jaksa bertindak mewakili negara dan tugasnya untuk kepentingan umum terbatas hanya sepanjang melakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum (KUHAP). Menurut sistem hukum acara pidana Indonesia (KUHAP), jaksa selaku penuntut umum bertindak mewakili negara dan untuk kepentingan umum ialah hanya pada saat mempertahankan dan membuktikan surat dakwaan di persidangan pengadilan tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat kasasi. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, penuntutan telah terhenti. Meskipun jaksa memiliki hak mengajukan upaya kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 259 KUHAP). Namun kasasi demi kepentingan hukum bukan merupakan penuntutan lanjutan, dan tidak dapat dianggap sebagai tindakan penuntutan. Lebih-lebih lagi upaya hukum PK yang ditujukan semata-mata bagi kepentingan terpidana.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas maka putusan MA yang membenarkan alasan pengajuan permintaan PK penuntut umum merupakan putusan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP. Boleh dimasukkan ke dalam putusan peradilan sesat dalam hal hukum, bukan sesat dalam hal dan karena fakta.

Dengan demikian MA yang menerima permintaan PK penuntut umum dengan alasan mencari keadilan dengan cara menggali untuk menemukan hukum tidak dapat dibenarkan. MA sudah melampaui kewenangannya. MA bukan lagi menggali hukum dengan jalan menafsirkan terhadap Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Melainkan dengan alasan menafsirkan, MA telah membuat norma hukum baru diluar ketentuan semula, yang sesungguhnya menjadi kewenangan pembentuk UU. Beberapa alasannya dapat dikemukakan sebagai berikut. ...

Alasan Pertama, menggali nilai hukum dibatasi pada masalah (1) hukumnya belum ada atau (2) hukumnya ada tapi tidak jelas.[6] Sementara norma hukum mengenai PK yang dirumuskan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP telah sangat jelas, pasti, tuntas dan limitatif, tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretatio cessat in claris). Menggali untuk menemukan hukum tidak sama artinya dengan menciptakan/membuat hukum (baru), seperti yang dipraktikan MA dengan menambah norma baru ke dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.

Alasan kedua, suatu norma hukum selalu berada dalam suatu sistem. Sebuah undang-undang merupakan suatu sistem, sehingga merupakan kesatuan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Rumusan suatu norma hukum dalam suatu pasal peraturan perundangan-udangan selalu ada kaitannya dengan rumusan norma pada pasal yang lain. Setiap pasal dalam suatu undang-undang mempunyai kaitan atau hubungan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut dan tidak terpisahkan satu sama lain Dengan demikian bila hendak menafsirkan norma suatu pasal harus diletakkan dalam proporsinya. Norma pasal tersebut harus ditempatkan dalam sistem, tidak boleh keluar dari sistem atau undang-undang yang bersangkutan.[7]

Oleh karena itu norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, khususnya subjek hukum yang berhak mengajukan PK tidak bisa dihubungkan dengan kata “pihak-pihak” dalam Pasal 23 Ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 secara sepotong dan tidak tuntas – semaunya sendiri. Dengan satu-satunya tujuan menghukum terdakwa yang sudah dibebaskan dengan putusan yang sudah bersifat tetap. Sebabnya ialah Pasal 263 Ayat (1) adalah merupakan pihak dalam pengertian lex specialis, karena sudah mengacu pada pihak dalam hukum acara pidana. Sementara pihak-pihak yang yang dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 adalah pihak-pihak dalam lex generalis. Pengertian pihak-pihak dalam semua jenis perkara.

Sementara ketentuan subjek hukum yang berhak mengajukan permintaan PK dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP adalah merupakan lex specialis. Oleh karena itu, pihak-pihak dalam Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 hanya dapat ditafsirkan berdasarkan pasal-pasal yang ada di dalam ketentuan lex specialisnya ialah Pasal 263 sampai dengan Pasal 269. Tidak boleh ditafsirkan hanya berdasarkan ketentuan lex generalisnya. Harus di kembalikan dalam hubungannya dengan norma Pasal 263 Ayat (1) Ayat (2) khususnya Huruf a; Pasal 264 terutama Ayat (4); Pasal 265 terutama Ayat (2); Pasal 266 terutama Ayat (2) Huruf b dan Ayat (3); Pasal 268 terutama Ayat (1). Semua ketentuan tersebut berada dalam satu sistem. Tidak bertentangan satu dengan yang lain. Sistem tersebut akan menjadi rusak dan kacau, apabila terhadap rumusan norma Pasal 263 Ayat (1) ditambahkan kata “jaksa”; atau menafsirkan arti dan makna kata “terpidana” atau “ahli warisnya” sebagai “jaksa”. Penggalian hukum, terhadap makna dan arti “terpidana” atau “ahli warisnya” yang menghasilkan temuan “jaksa” sudah diluar nalar dan akal.

Kiranya cara pandang yang demikian inilah yang dimaksud Achmad Ali sebagai pandangan “pokrol bambu” yang berbeda dengan pandangan “akademisi hukum”. Kata beliau selanjutnya, bahwa pokrol bambu hanya memandang pasal-pasal undang-undang sebagai pasal yang berdiri sendiri-sendiri, terpisah dari sistem hukumnya, terpisah dari azas hukumnya, terpisah dari aturan hukum lain, terpisah dari rasa keadilan masyarakat. ... Sebaliknya seorang akademisi hukum senantiasa memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh.[8]

Alasan ketiga, oleh karena hukum itu merupakan dan berada dalam suatu sistem, maka MA yang membenarkan dan menerima permintaan PK jaksa, tidak boleh dianggap sekedar melanggar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP saja. Lembaga PK dibentuk khusus (semata-mata) ditujukan untuk kepentingan terpidana sebagaimana jiwa PK yang dirumuskan dalam Ayat (1) tersebut, merupakan azas pokok PK. Apabila melanggar azas pokok tersebut, ketentuan lain sebagai penjabaran dari norma Pasal 263 Ayat (1) juga dilanggar. Terutama norma Pasal 263 Ayat (1) (tentang putusan pemidanaan saja yang dapat dimintakan PK); Pasal 263 Ayat (2) huruf a; Pasal 264 Ayat (4); Pasal 266 Ayat (2); Pasal 268 Ayat (1) (2). Terlalu banyak ketentuan hukum mengenai PK yang dilanggar. Oleh karena itu, putusan yang menerima dan membenarkan jaksa mengajukan PK, seperti pepatah “setitik nila merusak susu sebelanga”. Merusak seluruh sistem hukum PK dalam KUHAP. Memberi kesan kepada kita bahwa untuk mencapai suatu tujuan, MA boleh melakukan penafsiran apapun dengan cara apapun. Juga memberi kesan, bahwa MA menetapkan tujuan terlebih dulu, barulah mencari alasan-alasan pembenar terhadap cara yang digunakan dalam usaha mencapai tujuan tersebut. Suatu cara berpikir yang terbalik dalam hal mengadili perkara.

Alasan keempat, MA menggali dengan menafsirkan [Pasal 263 Ayat (1)] dengan maksud untuk menemukan hukum (“jaksa sebagai pihak yang berhak mengajukan PK”) dengan mendasarkan pada frasa “pihak-pihak” dalam Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, adalah dengan menggunakan cara berpikir atau logika yang terbalik. Mengapa demikian? Berdasarkan kedudukan, fungsi dan hubungan antara ketentuan Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 (khususnya frasa “pihak-pihak yang bersangkutan”) dengan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP (khususnya frasa “terpidana atau ahli warisnya”).

Siapapun juga mengetahui bahwa Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 adalah merupakan lex generalis. Sementara Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan salah satu lex specialisnya, disamping lex specialis lainnya. MA ternyata telah menempatkan fungsi, kedudukan dan hubungan kedua sumber hukum tersebut secara terbalik. Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang seharusnya ditempatkan sebagai lex spesialis, ternyata oleh MA ditempatkan sebagai lex generalis. Untuk mengetahui siapa “pihak-pihak yang bersangkutan” yang dimaksud Pasal 23 Ayat (1) (lex generalis) dalam perkara pidana (lex specialis), seharusnya menghubungkannya/mendasarkannya pada Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Namun MA melakukan penafsiran dengan cara terbalik. Menafsirkan suatu lex specialis [Pasal 263 Ayat (1) KUHAP] khususnya kata “terpidana” atau “ahli warisnya” berdasarkan lex generalis (Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.[9] Cara dan model menafsirkan yang digunakan MA ini sudah diluar cara-cara yang wajar dan umum yang dikenal dalam doktrin hukum. Sungguh sulit diterima akal atau logika umum.

Alasan kelima, hakim boleh menggali untuk menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan tidak melanggar norma hukum yang sudah berlaku difinitif. Hakim tidak dibenarkan melanggar norma hukum dengan alasan menciptakan/membuat hukum. Menggali untuk menemukan (bukan membuat) hukum harus melalui hukum. Indonesia tidak menganut hukum preseden.

Alasan keenam, menggali nilai-nilai hukum harus melalui hukum dengan cara-cara penafsiran yang sudah lazim dalam doktrin dan tidak keluar dari logika. Tidak menggunakan penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversio). Sehubungan dengan hal ini RM. Sudikno Mertokusumo mengatakan antara lain bahwa Menggali untuk menemukan hukum bila hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap. Menggali untuk menemukan hukum ada metodenya, ada aturannya, tidak sekedar atau asal mengadakan penerobosan: nrobos sana nrobos sini mencari enaknya, mencari untungnya. Lebih-lebih dalam hukum pidana penemuan hukum tidak sebebas dalam hukum perdata. Kepentingan para pihak atau terdakwa harus diperhatikan, sebab hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Baik ia terdakwa atau bukan”.[10]

Apa yang disampaikan RM Sudikno Mertokusumo tersebut telah dilakukan MA dalam hal memeriksa dan memutus mulai perkara PK Muchtar Pakpahan (No. 55PK/Pid/1996), RAM Gulumal (No. 03PK/Pid/2001), Soetyawati (No. 15PK/Pid/2006), Pollycarpus (No. 109PK/Pid/2007), sampai perkara Joko S. Tjandra (No. 12PK/Pid.Sus/2009). Namun diantara putusan-putasan tersebut, putusan terhadap Joko S Tjandralah yang paling kontroversial. Disebabkan putusan MA No.1688K/Pid/2000 jo putusan PN Jakarta Selatan No. 156/PID.B/2000/PN.JAK-SEL yang dilawan PK oleh jaksa yang isi amarnya menyatakan “pelepasan dari segala tuntutan hukum” tersebut, bukan sekedar sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, melainkan juga sudah dieksekusi. Berdasarkan Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan/Mahkamah Agung RI No. Prin-139/0.1.14/Fu./09/2001 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tanggal 28 September 2001 dan Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan/Mahkamah Agung yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Tri Widodo SH dan Terdakwa Joko S. Tjandra, [11] jelaslah putusan MA No. 1688K/Pid/2000 jo putusan PN Jakarta Selatan No. 156/PID.B/2000/PN.JAK-SEL telah dieksekusi. Putusan perkara pidana yang sudah dieksekusi, harus dianggap negara sudah menerima putusan tersebut. Tetapi mengapa jaksa (yang katanya mewakili negara) masih mempersoalkannya dengan mengajukan PK? Apa alasan dan logika hukumnya dari putusan yang sudah diterima dan dieksekusi dapat dilawan dengan upaya hukum PK??

Alasan ketujuh, MA menganggap norma Pasal 263 Ayat (1) mengandung hal yang tidak jelas,[12] maka untuk memperjelasnya menggunakan cara penafsiran ekstensif [13] [untuk menemukan hukum bahwa jaksa berhak mengajukan PK, yang artinya MA telah menambahkan satu norma baru ke dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP]. Alasan seperti itu tentulah tidak tepat.

· Pertama, karena norma Pasal 263 Ayat (1) sudah sangat jelas dan limitatif. Norma yang sudah jelas – terang benderang tidak diperbolehkan untuk ditafsirkan lagi, sesuai dengan adagium interpretatio cessat in claris. Karena menafsirkan terhadap kata-kata yang sudah jelas sekali sama artinya dengan penghancuran (interpretatio est perversio).[14] Demikian juga, terhadap norma yang sudah limitatif, tidak dibenarkan untuk ditambah-tambah dengan cara menafsirkan.

· Kedua, oleh sebab itu cara menafsirkan yang dilakukan MA bukan merupakan penafasiran ekstensif. Kiranya cara menafsiran yang demikian itulah yang disebut dengan interpretatio est perversio.[15] Suatu penafsiran yang merusak, yang in casu merusak sistem hukum mengenai PK dalam KUHAP. Sistem hukum PK yang sudah beraturan menjadi berantakan.

Penarfsiran ekstensif bukan seperti yang dimaknai MA itu. Penafsiran ekstensif pada dasarnya sama dengan analogi yang juga dilarang untuk digunakan dalam hukum pidana berhubung bertentangan dengan azas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP.[16] Perbedaannya sekedar dari sudut graduil saja.[17] Pokok-pokok dan cara bekerja kedua penafsiran tersebut sama. Ekstensif biasanya diucapkan sebagai dalih saja dari digunakannya analogi. Pada penafsiran ekstensif masih berpijak pada pengertian norma yang bersangkutan, masih berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-kata normanya masih diturut, hanya ada perkataan yang diberi arti yang baru sesuai dengan pengertian sekarang.[18] Dicontohkan dalam electriciteits arrest HR tanggal 23 Mei 1921 kata/unsur yang diturut ialah mengenai “barang” (goed) dalam pencurian, yang semula menurut MvT adalah barang yang bergerak dan berwujud. Kemudian disesuaikan dengan keadaan sekarang bahwa aliran listrik sebagai sesuatu yang berharga secara ekonomis.[19] Sama dengan barang yang menjadi objek pencurian selalu mempunyai nilai ekonomis.

Dengan alasan menafsirkan secara ekstensif tersebut, tidak jelas MA masih berpegang pada unsur/kata yang mana dari rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Tentu saja tidak dapat dibenarkan jika pijakan MA pada unsur/kata “terpidana” atau “ahli warisnya” dari rumusan Pasal 263 Ayat (1) tersebut. Karena tidak mungkin kata “terpidana” atau “ahli warisnya” diberi arti “jaksa” sesuai dengan pengertian yang sekarang, sebagaimana bekerjanya penafsiran ekstensif. Sampai dunia kiamatpun tidak mungkin terpidana diberi arti yang sama dengan pengertian jaksa. Lebih-lebih lagi ahli waris terpidana diberi arti yang sama dengan jaksa. Menurut hemat penulis, MA tidak menggunakan metode penafsiran apapun termasuk ekstensif, melainkan telah membentuk/menambahkan norma baru ke dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHP. Membentuk norma baru memang tidak diperlukan penafsiran. Karena sudah berada di luar jangkauan pekerjaan/kegiatan menafsirkan.

Jadi jelaslah bahwa MA bukan menggunakan metode penafsiran ekstensif, melainkan melakukan interpretatio est perversio. Dengan demikian MA telah membentuk dan menambahkan norma baru ke dalam norma limitatif Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Sehubungan dengan hal itu MA juga telah melanggar ajaran-ajaran hukum yang dikenal, seperti yang dikemukakan Logemann, van Hamel, van Hatum, maupun Simons.

Sebagaimana yang dikutif oleh Andi Zainal Abidin tentang ajaran para ahli hukum (Belanda) tersebut sebagai berikut. ...

Dalam hubungan ini, Prof. Logemann (1948:40) mengatakan bahwa “penafsiran undang-undang tidaklah boleh memperkosa maksud dan jiwa undang-undang. Dengan kata lain, hakim tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Segala sesuatu yang logis dapat disimpulkan menjadi kehendak pembuat undang-undang. Oleh Prof. Mr. van Hamel dinyatakan bahwa terhadap redaksi undang-undang yang rumusannya sudah jelas dan tidak dapat diartikan jamak haruslah digunakan strictissma interpretatio atau penafsiran yang striktif”. Demikian pendapat Prof. Mr. van Hattum (1953-65).

Itulah yang dimaksud Prof Mr. D. Simons (1937:97) ketika menyatakan bahwa “pada dasarnya undang-undang itu haruslah ditafsirkan menurut undang-undang itu sendiri. Jikalau kata-kata atau rumusan undang-undang itu cukup jelas, maka hakim tidak boleh menyimpang dari kata-kata tersebut, walaupun maksud yang sungguh-sungguh pembuat undang-undang itu berlainan dengan arti kata tersebut” (vide Arrest Hoge Raad tanggal 21 Desember 1929 (NJ 1929:79).[20]

Dengan membenarkan dan menerima permintaan PK yang diajukan penuntut umum, apakah benar alasan bahwa MA hendak menegakkan keadilan? Apakah benar bahwa putusan pembebasan yang telah tetap yang in casu keluar dari kepala dan tangan majelis hakim MA sendiri, oleh MA dengan hakim yang lain dinyatakan putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan?

Putusan pembebasan dan pelepasan dari tuntutan hukum yang sudah tetap. Tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum biasa maupun luar biasa oleh pihak manapun juga. Tidak dapat dibenarkan negara mempersoalkan lagi tentang keadilan dalam putusan tersebut. Prosesnya sudah berlalu, sudah kasep. Logikanya sebagai berikut. ...

· Pertama, bahwa dalam setiap norma hukum sudah berbobot keadilan, disamping kemanfaatan dan tentu saja sesuai logika. Maksud dibentuknya norma hukum ditujukan untuk keadilan dan kemanfaatan. Oleh sebab itu di dalam setiap norma hukum sudah terdapat keadilan dan kemanfaatan. Jika hukum diterapkan - kepastian hukum dicapai, maka keadilan dan kemanfaatan juga dengan sendirinya ikut serta ditegakkan. Tidak mungkin sebaliknya. Mencari keadilan tanpa melalui norma hukum. Mencari keadilan harus melalui hukum, bukan dengan menafsirkan norma secara bebas yang merusak (interpretatio est perversio).

· Kedua, kepastian hukum adalah konkret – lebih terukur karena itu menjadi tujuan utama penegakan hukum. Sementara keadilan abstrak - relatif dan tidak bisa diukur, oleh karenanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kepastian hukum, bukan semata-mata menjadi tujuan satu-satunya yang lepas atau disingkirkan jauh-jauh dari kepastian hukum.

· Ketiga, negara membawa terdakwa ke sidang pengadilan untuk menegakkan hukum yang sekaligus di dalamnya keadilan. Selama proses peradilan berjalan – pada saat itu saja negara berhak mencari keadilan dengan melalui norma-norma hukum yang didakwakan. Pada saatnya proses itu akan berakhir, ialah ketika putusan menjadi tetap. Sementara proses PK tidak lagi mempersoalkan mencari keadilan dengan melalui penerapan norma-norma hukum seperti itu. Proses tersebut sudah berlalu, sudah liwat, sudah kasep. Sebaliknya, justru proses PK sebagai sarana untuk mengembalikan dan memulihkan hak-hak dan keadilan terpidana yang sudah dirampas negara tanpa hak melalui putusan pemidanaan. Dalam suatu negara hukum tidak dibenarkan secara terus menerus tanpa batas negara melakukan penuntutan terhadap seseorang.

Putusan MA yang menerima dan membenarkan jaksa mengajukan permintaan PK tidak dapat disebut yurisprodensi, alasannya berikut ini. ...

· Putusan tersebut bertentangan dengan hukum dan melanggar kehendak pembentuk UU.

· MA telah membenarkan jaksa menggunakan suatu hak yang sesungguhnya ia tidak memilikinya. MA telah membenarkan sesuatu hal yang salah. MA telah melampaui kewenangannya.

· Tingkat keberlakuan hukum dari putusan hakim berada di bawah hukum UU. Sementara hukum UU mengenai PK telah dilanggar dan tidak dilaksanakan.

· Putusan hakim tidak wajib diikuti oleh putusan hakim lain, tapi norma UU wajib ditegakan oleh semua hakim.

· Dengan terdapatnya suatu keadaan dimana disatu pihak MA membenarkan PK yang diajukan jaksa sementara dipihak lain in casu dalam perkara Sdr. Mulyar bin Samsi menolak,[21] menimbulkan kekacauan praktik penegakan hukum PK di Indonesia. Berdaskan azas “selalu menguntungkan terdakwa/terpidana” dalam hal ada dua atau lebih hukum setingkat yang mengatur hal yang sama dan saling bertentangan, maka yang harus dipilih ialah hukum yang menguntungkan terdakwa/terpidana.

Kesalahan MA yang membenarkan dan menerima PK yang diajukan jaksa membawa dampak buruk dan tidak menguntungkan penegakan hukum di Indonesia. Sebabnya ialah. ...

· Tidak ada lagi kepastian hukum khususnya mengenai PK di Indonesia, baik bagi negara maupun penduduk negara khususnya bagi terdakwa yang telah dibebaskan dengan putusan tetap..

· Negara cenderung telah bertindak sewenang-wenang pada penduduk negara. Sudah berjalan menuju arah praktik negara kekuasaan.

· Azas PK yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana, yang fungsinya untuk mengembalikan hak-hak dan keadilan terpidana yang sudah dirampas negara tanpa hak, sebagai suatu ciri dari negara hukum telah dilanggar secara terbuka dan terang-terangan.

· Putusan MA telah mengacaukan sistem hukum acara lembaga PK itu sendiri. Telah menjungkirbalikan norma Pasal 263, 264, 265, 266, dan 268 KUHAP, yang tegas, tuntas dan limitatif, sebagaimana kehendak pembentuk UU.

· Telah terjadi pelanggaran terhadap ketentraman dan kedamaian hidup bagi terdakwa yang telah dibebaskan dengan putusan yang bersifat tetap. Putusan pembebasan tidak membuat ketentraman bagi yang bersangkutan. Menciptakan suatu keadaan ketakutan dan dihantui perasaan was-was terus menerus seumur hidup seseorang, bahwa suatu saat akan dituntut lagi melalui PK, kiranya dapat dianggap suatu pelanggaran hak azasi manusia.[22] Menciptakan hukum yang membawa dampak melanggar hak azasi manusia tentulah tidak dibenarkan.

· Dengan pembolehan dan pembenaran penuntut umum mengajukan PK membuka peluang untuk dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum sebagai alat pemerasan terhadap terdakwa yang diputus bebas yang telah bersifat tetap. Pada era penegakan hukum di Indonesia yang sampai kini belum baik, masih banyak berkeliaran makelar kasus (markus) yang bisa memengaruhi dan mengatur penegakan hukum, keadaan ini sangat tidak menguntungkan.

Sekian. Ketemu lagi di artikel yeng lain - menyusul.

Malang, Kampus FH Universitas Brawijaya 25-10-2009.



[1] Lihat Pasal 1 Angka 32 KUHAP.

[2] Baca Pasal 184 KUHAP yang merumuskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Ketentuan ini menyebutkan syarat-syarat objektif dan subjektif secara limitatif yang harus dipenuhi bagi hakim untuk menjatuhkan pidana. Kadang disebut syarat minimal pembuktian.

[3] Ketentun mengenai macam-macam putusan PK yang mestinya dijatuhkan apabila keadaan baru diajukan dan dibenarkan oleh MA, ialah: putusan pembebasan, lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan, menunjukkan bahwa hanya terpidana yang diberi hak untuk mengajukan PK. Putusan-putusan yang demikian hanya mungkin diberikan apabila yang mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya saja. Bukan penuntut umum.

[4] Lihat Pasal 24 jo 25 jo 1 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

[5] Lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP yang menyatakan bahwa “Pasal ini memuat alasan secara limitatif untuk dapat dipergunakan meminta peninjauankembali suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

[6] RM. Sudikno Mertokusumo, 2009. Bolehkah Jaksa Mengajukan PK? (artikel online), http://sudiknoartikel.blogspot.com. diakses tanggal 3 September 2009.

[7] Ibid.

[8] Achmad Ali, 2002. Keterpurukan Hukum Di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, halaman 13.

[9] Lihat pertimbangan hukum putusan MA Nomor 54 PK/Pid/2006 tanggal 9 Januari 2007.

[10] R.M Sudikno Mertokusumo, loc.cit.

[11] Memorie PK Pemohon Joko S Tjandra melalui kuasanya dari Kantor OC Kaligis tanggal 19 Juni 2009.

[12] Lihat Putusan MA MA No. 109PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008 mengenai PK jaksa perkara Pollycarpus, dalam Varia Peradilan Tahun ke XXIII No. 268 Maret 2008, halaman 70.

[13] Dalam hal MA mencari alasan pembenar dengan menunjuk al (1) putusan MA No. 55PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996 dalam perkara Muchtar Pakpahan yang dikatakan menggunakan penafsiran ekstensif; (2) M Yahya Harahap yang membicarakan penerapan penafsiran ekstensif dalam putusan MA No. 275K/Pid.B/1983 tanggal 10 Desember 1983 mengenai pertimbangan hukum MA dalam hal pengajuan kasasi terhadap putusan pembebasan Natalegawa. Ibid, halaman 70 - 71.

[14] Lihat Andi Zainal Abidin, 1997. Opini: Seputar Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Republika Online (Sabtu, 18 Januari 1997), diakses tanggal 23 Nopember 2009.

[15] Bandingkan dengan OC Kaligis dalam “Penafsiran yang Menghancurkan” (artikel), suarakarya-online.com, diakses tanggal 23 Nopember 2009.

[16] Andi Zainal Abidin, Loc. cit.

[17] Moeljatno, 1983. Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, halaman 29.

[18] Moeljatno, Loc.cit.

[19] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II Delik-Delik Tertentu (diktat), halaman 156.

[20] Andi Zainal Abidin, Loc.cit.

[21] Putusan MA No.: 84PK/Pid/2006 tanggal 18 Juli 2007.

[22] Lihat Pasal 3 Ayat (2), 9 Ayat (2), 18 Ayat (5), 30, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Jiwa dari norma pasal-pasal tersebut adalah penghormatan, penghargaan dan sikap menjunjung tinggi terhadap ketenangan dan kedamaian hidup setiap manusia di planet bumi ini.