PEMBUKTIAN TERBALIK
TPK MENERIMA GRATIFIKASI
DAFTAR ISI
I.
I. Pendahuluan
(2)
II.
II. Konsepsi Hukum TPK Menerima gratifikasi (3)
A. Niat
Jahat Untuk memiliki Pemberian (3)
B. Perbedaan
TPK Menerima Gratifikasi dengan TPK Penyuapan Pasif Lainnya (5)
C. Kesengajaan
dalam TPK Menerima Gratifikasi (8)
D. Ketiadaan
Niat Jahat Untuk Memiliki Pemberian Merupakan Alasan Peniadaan Pidana (10)
III.
III. Tindak Pidana Korupsi Menerima Gratifikasi (10)
A. Unsur-unsur
Tindak Pidana Menerima Gratifikasi (11)
1. Unsur
perbuatannya: menerima (11)
2. Unsur
objeknya: gratifikasi (14)
3. Unsur:
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan
tugasnya (15)
4. Unsur:
tidak melaporkan penerimaan pemberian pada KPK
(16)
B.
Surat Dakwaan TPK Menerima Gratifikasi (17)
IV.
Pembebanan Pembuktian Terbalik TPK Menerima
Gratifikasi (18)
A.
Kedudukan Pembuktian Terdakwa dan Jaksa PU
dalam Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik
(18)
B.
Objek Pembuktian Terbalik TPK Menerima
Gratifikasi (20)
C.
Penerapan Sistem Pembebanan Pembuktian
Terbalik pada TPK Menerima Gratiffikasi
(21)
V.
Kesimpulan (26)
KEPUSTAKAAN (30).
PEMBUKTIAN TERBALIK TPK MENERIMA
GRATIFIKASI
Adami
Chazawi (FH UB)
I.
PENDAHULUAN
Tentang bagaimana sistem beban pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi beserta cara
membuktikannya perlu mengkaji lebih dulu tentang bagaimana sesungguhnya konsepsi gratifikasi dalam UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan
atas UU No. 31 Tahun 1999 (disingkat UUTPK). Tidak cukup dengan
sekedar membaca Pasal 12B dan12C UUTPK. Perlu dicari/digali tentang berbagai
hal tidak saja yang yang terdapat secara tersurat dalam Pasal 12B dan 12C,
tetapi juga yang tersirat/terselubung di dalam rumusan Pasal 12B dan 12C dan
pasal-pasal lain yang terkait. Digali
dari apa yang tersirat dan bisa jadi dari sana dapat ditemukan hukumnya.
Rumusan Pasal 12B ayat (1) memberi kesan seolah-olah yang dibebani pertanggungjawaban pidana
adalah si pemberi gratifikasi. Pengertian “dianggap pemberian suap”
mengindikasikan bahwa titik perhatian adalah pada si pemberi gratifikasi, tidak
sejalan/bertentangan dengan :
-
Logika
dari rumusan ayat (1) huruf a dan b., tentang pembebanan pembuktian TPK menerima gratifikasi pada penerima, bukan pada pemberi;
-
Logika
dari rumusan Pasal 12C, yang mewajibkan untuk melapor penerimaan adalah pada
penerima.
-
Pemberi
gratifikasi tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.
Demikian juga jika dihubungkan
dengan norma Pasal 12C tentang kewajiban hukum penerima untuk melaporkan
penerimaan pemberian pada KPK. Di dalam norma ini terkandung makna-makna
tertentu yang tersirat, yang juga mempunyai arti dalam hal menerapkan sistem
pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi.
Kebelumjelasan tentang TPK
menerima gratifikasi beserta sistem beban pembuktian terbalik yang dirumuskan
dalam Pasal 12B dan 12C dalam
hubungannya dengan berbagai pasal mengenai sistem pembuktian dalam hukum pidana
korupsi, misalnya Pasal 37 jo 38A, yang menyulitkan praktik untuk menerapkan
Pasal 12B tersebut pada berbagai kasus, tidak boleh dijadikan alasan untuk lari
dari kenyataan bahwa TPK menerima gratifikasi beserta sistem beban pembuktian
terbalik tersebut telah ditetapkan menjadi hukum positif kita. Penegak hukum tidak
patut menghindarkan diri dari masalah, namun harus dihadapi dengan memcahkan
masalah tersebut.
Menerima gratiifikasi sebagai bagian
tindak pidana suap pasif, yang berbeda sistem pembuktiannya dengan tindak
pidana suap aktif maupu pasif lainnya, sudah ditetapkan dan menjadi hukum
positif. Oleh sebab itu janganlah berbagai kelamahan tersebut menjadi alasan
untuk menjauhkan praktik hukum pidana korupsi dari Pasal 12B dan Pasal 12C
tersebut. Janganlah memberi kesan pada masyarakat bahwa pejabat/lembaga
penyidik dan penuntut umum menghindarkan diri dari kesulitan untuk menerapkan
Pasal 12B jo 12C tersebut.
Tulisan singkat ini dimaksudkan
untuk dapat membantu – menguak berbagai kegelapan yang masih menyelimuti apa
yang terkandung sebenarnya di dalam rumusan kedua pasal tersebut.
Dari konspsi-konsepsi TPK menerima
gratifikasi yang ditemukan, diharapkan
dapat ditetapkan unsur-unsur yang sesungguhnya dari TPK menerima gratifikasi. Unsur-unsur
TPK menerima gratifikasi perlu ditetapkan secara pasti dan rinci, karena bagaimana menerapkan sistem
beban pembuktian terbalik terhadap TPK menerima gratifikasi dalam UUTPK
ditentukan dan tidak bisa dipisahkan dengan unsur-unsur tindak pidananya.
II.
II. KONSEPSI HUKUM TPK MENERIMA GRATIFIKASI
A. NIAT JAHAT UNTUK MEMILIKI PEMBERIAN
Unsur
ini tidak tersurat dalam Pasal 12B, namun sebagai suatu tindak pidana kejahatan
dipastikan ada/terdapat secara tersirat/terselubung dalam rumusan, dan keberadaan atau ketiadaannya dapat
menentukan dipidana ataukah tidak si pembuatnya. Disamping itu juga penting dalam hubungannya
dengan beban pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi. Oleh
sebab itu, perlu ditetapkan dan dibicarakan, meskipun merupakan unsur
terselubung. Menjadi bagian yang perlu
dibuktikan oleh terdakwa dalam rangka beban pembuktian terbalik untuk ditetapknnya terdakwa tidak bersalah. Bagi jaksa penuntut umum
tidak ada urusannya dengan unsur ini. Tetapi
bagi terdakwa dirasa penting dalam hal untuk
kepentingan tidak tidak dipidana dirinya sendiri.
Apakah sesungguhnya yang dimaksud
niat jahat itu? Meskipun istilah
niat jahat belum dikenal benar
dalam perbendaharan hukum pidana kita, namun apa yang dimaksud dengan istilah niat jahat sesungguhnya selalu ada dalam setiap
tindak pidana. Kiranya pengertiannya sama dengan istilah yuridis yang dikenal
dalam doktrin dengan “sifat melawan hukum subjektif”, suatu kesadaran perihal perbuatan yang (hendak)
dilakukan adalah
terlarang atau dicela. Suatu kesadaran yang melawan hukum, merupakan bagian dari unsur
kesalahan bentuk kesengajaan. Dicela karena pembuat tidak berhak melakukan
perbuatan, atau tidak berhak untuk memperoleh sesuatu dari perbuatan melawan
hukum yang dilakukannya atau yang hendak dilakukannya.
Meskipun terselubung, niat jahat
yang selalu harus ada disetiap tindak pidana ini sangatlah penting dalam hubungannya dengan penjatuhan
pidana. Karena menjadi syarat untuk dapat dipersalahkannya perbuatan pada
pembuatnya, dan karena itu dapat disebut syarat untuk dapat dipidanya pembuat.
Barangkali oleh sebab terselubung itu, yang menyebabkan dalam praktik tidak
selalu diperhatikan, sepanjang terdakwa tidak terbukti adanya kelainan jiwa dan
keadaan tekanan jiwa yang tidak dapat dilawannya pada saat berbuat.
Niat
jahat sebagai
bagian dari kesengajaan ini, kadang-kadang dicantumkan sebagai unsur formal dari
suatu tindak pidana tertentu. Misalnya unsur dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum al. dalam Pasal 368, 369, 378
KUHP. Dalam UUTPK terdapat dalam Pasal 3
yakni “tujuan
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi” (dengan
menyalahgunakan jabatan). Dalam
perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan di dalamnya sekaligus sudah terdapat
sifat melawan hukum objektif. Sedangkan dalam unsur maksud atau kehendak
menguntungkan diri sendiri atau orang lain tersebut, sekaligus di dalamnya
sudah terdapat / mengandung kesadaran bahwa dirinya tidak berhak untuk
menguntungkan dirinya sendiri atau diri orang lain dengan melalui perbuatan menyalahgunakan
kewenangan jabatan tersebut. Itulah maknanya sifat melawan hukum subjektif yang terkandung di dalam unsur “tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain” dalam Pasal 3 UUTPK. Arti tujuan disini adalah
tujuan dekat, suatu tujuan yang menurut kebiasaan dan akal dapat dicapai dengan
perbuatan tertentu, yang in casu “menyalahgunakan kewenangan jabatan”
tersebut. Bukan tujuan jauh yang
berhubungan dengan motif dilakukannya perbuatan.
Sebaliknya lebih banyak tindak pidana yang unsur sifat
melawan hukum subjektif seperti Pasal 368, 369, 378 KUHP atau Pasal 3 UUTPK tidak dicantumkan. Apabila tidak dicantumkan, maka niat
jahat ini terdapat secara terselubung. Sebagaimana unsur kesengajaan
yang selalu ada dalam setiap tindak pidana – terutama
pada kejahatan, baik dicantumkan maupun terselubung dalam unsur perbuatan. Unsur kesengajaan (termasuk niat jahat di
dalamnya) merupakan
unsur mutlak meskipun
tidak dicantumkan
secara formal dalam rumusan. Jika tidak dicantumkan, tidak perlu dibuktikan
secara khusus dalam persidangan oleh jaksa penunut umum. Namun kalau dalam sidang terbukti sebaliknya bahwa
niat jahat tidak ada, maka ketiadaan unsur niat jahat ini menjadi alasan peniadaan kesalahan, yang menyebabkan si
pembuat yang tanpa niat jahat dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Lain halnya dalam sistem beban
pembuktian terbalik, yang focus pembuktiannya oleh terdakwa untuk tidak
dijatuhkan pidana, maka unsur niat jahat
menjadi hal yang sama pentingnya untuk dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, sama seperti
membuktikan sebaliknya dari keberadaan unsur-unsur tindak pidana yang tersurat
dalam rumusan. Oleh karena itu penting dibicarakan dalam rangka membicarakan
pembuktian terbalik.
B.
PERBEDAAN TPK MENERIMA GRATIFIKASI DENGAN TPK PENYUAPAN PASIF LAINNYA.
Perbedaan TPK menerima gratifikasi dengan bentuk-bentuk penyuapan pasif lainnya, kiranya
terdapat dalam unsur niat/kehendak jahat sebagaimana penulis maksudkan, khususnya terdapat
dalam hal saat atau “tempus” terbentuknya niat jahat tersebut. Suatu
niat jahat yang ditujukan untuk memiliki pemberian.
Bahwa satu ciri tindak pidana korupsi menerima
gratifikasi, jika dilihat dari sudut timbulnya niat jahat in casu untuk memiliki pemberian, ialah: apabila dari keadaan dan sifatnya pemberian yang
diterima pegawai negeri, pada saat
menerima belum terbentuk kesengajaan ic kehendak jahat untuk memiliki
pemberian. Kehendak jahat untuk memiliki pemberian
terbentuk setelah menerima pemberian. Kiranya demikianlah suatu hukum yang dapat ditemukan dalam norma yang
mewajibkan pegawai negeri melaporkan pemberian yang diterimanya menurut Pasal
12C UUTPK.
Sebaliknya kalau pada saat
menerima pemberian, niat jahat untuk memiliki pemberian sudah terbentuk, maka yang terjadi adalah salah satu bentuk TPK menerima suap (penyuapan pasif) lainnya. Dari sudut
tempus terbentuknya kehendak jahat, ciri penyuapan pasif konvensional adalah
kehendak jahat untuk memiliki pemberian sudah terbentuk pada saat pegawai
negeri menerima pemberian, atau pada saat menerima pemberian niat
jahat yang demikian itu sudah ada. Sebaliknya kalau pada saat menerima
pemberian niat jahat itu tidak ada, maka sesungguhnya tidak ada suap aktif
bentuk apapun. Pada tahap ini tidak bisa penerima pemberian dipidana, karena
tidak ada apa yang penulis sebut dengan niat jahat itu. Dalam hal ini niat jahat menjadi syarat
untuk dapat dipidanya pembuat. Karena niat jahat tidak ada, maka pegawai negeri
pada saat (tempus) menerima pemberian tadi tidak boleh dipidana.
Untuk dapat dipidana maka haruslah niat jahat itu diperluas dengan syarat, yang
ic
tidak melaporkan pemberian itu selama waktu yang ditentukan. Niat jahat
itu terbentuk setelah perbuatan menerima pemberian.
Tidak dapat diragukan lagi,
bahwa ada unsur niat jahat yang terbentuk
setelah
(tempus) menerima pemberian
dalam TPK menerima gratifikasi – Pasal 12B. Demikian logika hukum dari ketentuan tentang kewajiban penerima melaporkan
penerimaan dalam Pasal 12C
ayat (1) dan (2). Timbul kehendak untuk
memiliki itu dianggap ada setelah
menerima sampai pada hari kerja ke tiga puluh, yang bersangkutan tidak
melaporkan penerimaan. Bila pada
kesempatan itu melaporkan gratifikasi yang diterima, maka harus dianggap
kehendak untuk memiliki pemberian tidak
pernah timbul, baik pada saat maupun setelah menerima pemberian (gratifikasi). Dan itu
harus dianggap bukan bentuk penyuapan apapun.
Logika
hukum ini dapat dinormatifkan jika diterapkan dalam kasus-kasus yang
tepat, dan menjadi suatu temuan hukum.
Adapun kehendak jahat ini diartikan sebagai kehendak untuk memiliki,
memanfaatkan, menggunakan, menikmati dsb. atas sesuatu penerimaan untuk dirinya
yang disadarinya tidak berhak untuk semua itu (melawan hukum subjektif).
Kehendak jahat untuk memiliki
pemberian – gratifikasi terbentuk setelah
menerima pemberian, yang ditandai dengan tidak melaporkan pemberian yang
diterimanya dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima. Apabila - karena keadaan dan sifatnya pemberian
menyebabkan tidak dapat ditentukan saat terbentuknya kehendak jahat untuk
menerima pemberian, dapat dianggap
terbentuk sejak setelah menerima
pemberian sampai 30 hari kerja kemudian. Dasar terbentuknya sikap batin –
kehendak memiliki setelah menerima pemberian, adalah merupakan jiwa dari ketentuan Pasal 12C ayat (1) dan ayat (2).
Logikanya ialah, jika pada saat menerima pemberian telah
terbentuk kehendak untuk memiliki, maka tidak
mungkin dan tidak perlu pegawai negeri – yang menerima pemberian melapor
pada KPK. Artinya, kehendak untuk memiliki pemberian haruslah timbul setelah
menerima pemberian. Sebab, kalau kehendak
jahat – untuk memiliki pemberian yang bukan menjadi haknya itu telah
terbentuk pada saat menerima pemberian,
maka tidak perlu UU memberi kesempatan selama
30 hari
kerja untuk melaporkan penerimaan pada
KPK. Karena sesungguhnya tindak
pidana penyuapan pasif disatu pihak yang sekaligus penyuapan aktif dilain pihak telah terjadi
sempurna. Tidak mungkin tindak pidana yang telah terjadi sempurna dapat berubah
sifat menjadi perbuatan yang dibenarkan jika si pembuat melaporkan tentang
tindak pidana yang telah dilakukannya.
Sebaliknya apabila kehendak jahat
- untuk memiliki pemberian seperti itu pada saat menerima tidak ada, dan
dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima – tidak melaporkan pemberian yang
diterima, maka harus dianggap kehendak jahat untuk memiliki itu terbentuk
setelah menerima, dan korupsi menerima gratifikasi terjadi (tempus delicti) pada hari kerja
yang ke-30 sejak menerima pemberian. Hal yang disebut terakhir ini berlaku,
berdasarkan (logische interpretatie) dari ketentuan Pasal 12C ayat (1), (2) dan
(3) tersebut. Berdasarkan penafsiran yang demikian itu kita dapat
menemukan hukumnya.
C. KESENGAJAAN
DALAM TPK MENERIMA GRATIFIKASI
Kesengajaan dalam TPK menerima gratifikasi - Pasal 12B
yang terselubung yang telah dibicarakan
tersebut, terdiri dari tiga sikap batin yang menyatu – tak terpisahkan, merupakan
tiga dalam satu kebulatan (three in one), namun dapat
dibedakan, ialah antara:
·
Kesengajaaan
dalam arti kehendak untuk melakukan perbuatan “menerima pemberian”, dan
·
Kesengajaan
dalam arti kehendak jahat untuk “memiliki pemberian”, dan
·
Kesengajaan
dalam arti kesadaran bahwa memiliki pemberian merupakan larangan/celaan
disebabkan si pembuat tidak berhak memilikinya.
Bagian kesengajaan yang pertama,
adalah kehendak atau keinginan untuk melakukan perbuatan (aktif maupun pasif)
menerima pemberian. Perbuatan aktif
menerima misalnya mengulurkan tangan untuk menerima pemberian. Perbuatan
pasif menerima, misalnya tidak melarang/membiarkan si pemberi meletakkan pemberian di atas meja kerjanya. Dengan
diletakkannya pemberian di atas meja, maka perbuatan menerima telah selesai.
Karena dengan demikian kekuasaan terhadap pemberian telah beralih dari si
pemberi pada diri si penerima. Wujud kelakuan menerima pemberian seperti itu
memang dikehendaki si pembuat.
Keberadaan kesengajaan yang pertama
ini mudah dibuktikan, cukup dengan membuktikan keadaan pemberian telah berada
dalam kekusaan pegawai negeri yang menerima, atau pemberian telah dimanfaatkan,
telah dinikmati. Sebab kalau tidak ada kehendak untuk menerima, maka pada saat
(tempus) pemberian diberikan atau
beberapa saat setelah itu maka pegawai negeri melakukan penolakan pemberian
atau mengembalikannya pada si pemberi.
Sementara itu, niat jahat untuk memiliki pemberian
mengandung bagian unsur kesengajaan kedua dan ketiga. Letak
jahatnya dari niat/kehendak terletak pada tidak berhaknya pegawai negeri
memiliki pemberian. Kesengajaan yang demikian ini yang menurut penulis sama
pengertiannya dengan sifat melawan hukum yang subjektif. Kiranya inilah yang
dimaksud Moeljatno dengan “subjektief
onrechtselement.
Kesengajaan yang kedua dan ketigalah
yang dapat membedakan antara TPK menerima gratifikasi dengan jenis-jenis TPK
menerima suap atau penyuapan pasif lainnya, ialah pada saat terbentuknya. Sedangkan kesengajaan yang pertama tidak,
karena pada TPK menerima garitikasi dengan TPK menerima suap lainnya selalu
memiliki kesengajaan yang pertama.
Ketiga-tiga sikap batin si pembuat
tersebut harus terdapat pada setiap TPK menerima gratifikasi. Ketiga-tiga sikap
batin terselubung tidak perlu dibuktikan secara khusus oleh jaksa penuntut
umum,
karena dua alasan, ialah:
·
Pertama, karena dalam sistem pembebanan
pembuktian pada penuntut umum-pun, jaksa
tidak wajib membuktikan unsur yang
terselubung. Bagi terdakwa dalam upaya menggunakan hak
pembelaan dirinya, dapat membuktikan keadaan
sebaliknya dari unsur yang terselubung tersebut. Agar tidak dipidananya
terdakwa. Tidak demikian bagi Jaksa
penuntut umum, Apalagi dalam hal tindak pidana korupsi menerima gratifikasi yang
beban pembuktian diletakkan pada diri terdakwa. Bagi jaksa PU dalam sistem
pembuktian terbalik tidak wajib membuktikan unsur-unsur tersurat apalagi yang
tersirat. Kalaupun membuktikan juga, maka dianggap kegiatan itu adalah sebagai menggunakan hak, bukan
melaksanakan kewajiban.
·
Kedua,
pembuktian TPK menerima gratifikasi menggunakan sistem pembebanan pembuktian
terbalik terhadap keberadaan unsur-unsur tindak pidananya. Apabila terbukti sebaliknya, maka terhadap si pembuat
tidak boleh dipidana. Dalam hal membuktikan sebaliknya ini adalah kewajiban
terdakwa. Selain membuktikan sebaliknya dari
unsur-unsur yang tersurat juga sama fungsinya dalam hal membuktikan ketiadaan
unsur yang terselubung. Kewajiban
terdakwa untuk membuktikan ketiadaan
unsur ditujukan untuk dirinya sendiri agar tidak dijatuhi pidana. Dan untuk
tidak dipidananya terdakwa, kewajiban terdakwa untuk membuktikan ketiadaan
unsur-unsur TPK menerima gratifikasi tersebut termasuk unsur kesengajaan yang
terselubung seperti yang penulis maksudkan tersebut di atas tadi. Akibat hukum
dari kemampuan terdakwa membuktikan ketiadaan unsur-unsur tersurat (formal) sama dan tiada
bedanya dengan akibat hukum dari kemampuan terdakwa membuktikan ketiadaan unsur
kesengajaan yang terselubung yang salah satu bagiannya adalah niat jahat untuk
memiliki pemberian tadi. .
Sebaliknya apabila kehendak jahat
- untuk memiliki pemberian seperti itu pada saat menerima tidak ada, dan
dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima – tidak melaporkan pemberian yang
diterima, maka harus dianggap kehendak jahat untuk memiliki itu terbentuk
setelah menerima, dan korupsi menerima gratifikasi dianggap terjadi (tempus delicti) pada hari kerja
yang ke-30 sejak menerima
pemberian. Hal yang disebut terakhir ini
berlaku, berdasarkan (logische
interpretatie) dari ketentuan Pasal
12C ayat (1), (2) dan (3) tersebut.
D.
KETIADAAN NIAT JAHAT UNTUK MEMILIKI PEMBERIAN MERUPAKAN ALASAN PENIADAAN PIDANA
Apabila kehendak jahat - untuk memiliki pemberian itu pada saat
menerima tidak ada atau belum terbentuk, dan kemudian masih
dalam waktu 30 hari kerja sejak
menerima melaporkan penerimaan pemberian pada KPK, maka harus dianggap kehendak
jahat untuk memiliki itu tidak pernah ada, baik pada saat maupun setelah
menerima pemberian. Maka pegawai negeri
yang menerima pemberian tidak boleh dituntut pidana. Dalama
hal ini perbuatan melaporkan pemberian yang diterima pada KPK tadi berfungsi
sebagai alasan peniadaan penunutan pidana.
Kalau sampai dituntut pidana, dan dilawan oleh terdakwa
dengan upaya eksepsi, maka hakim akan menerima eksepsi dengan putusan sela
Negara tidak berhak menuntut pidana. Bila eksepsi yang demikian tidak
diajukan, dan pokok perkara dakwaan
telah diperiksa, maka hakim akan memberikan putusan akhir dengan melepaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum, dengan alasan perbuatan menerima terbukti,
namun bukan merupakan tindak pidana. Atau dapat dengan
menggunakan pertimbangan atas dasar asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Bahwa secara objektif perbuatan menerima
gratifikasi terbukti namun terdapat unsur peniadaan pidana ic yang menghapuskan kesalahan, ialah ketiadaan niat jahat
sebagaimana yang penulis maksudkan tadi.
III.
III. TINDAK
PIDANA KORUPSI MENERIMA GRATIFIKASI
A.
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI MENERIMA GRATIFIKASI
Bahwa yang dibebani pertanggungjawaban pidana TPK menerima gratifikasi adalah si penerima saja.
Harus dianggap merupakan perkecualian dari konsepsi penyuapan yang selalu
berpasangan antara penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Perkecualian ini agaknya
disebabkan bahwa niat jahat ic kehendak
untuk memiliki pemberian lahir/timbul setelah menerima, bukan saat menerima.
Sebab kalau sudah timbul pada saat
menerima, maka yang terjadi adalah disatu pihak penyuapan aktif tertentu
dan dan dilain pihak penyuapan pasif tertentu yang ada
dalam UUTPK.
Konsepsi hukum seperti ini meletakkan
dasar yang penting dalam hal menentukan suatu pemberian pada pegawai negeri
sebagai tindak pidana korupsi penyuapan pasif.
Agar menjadi suatu bentuk TPK menerima
gratifikasi sempurna, maka dari rumusan Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b. jo
12C, perlu ditarik dan ditetapkan unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut dapat ditetapkan
berdasarkan dan menggali rumusan Pasal 12B dan 12C. Selain unsur pembuatnya: pegawai negeri atau
penyelenggara Negara, dalam TPK menerima gratifikasi – Pasal 12B jo Pasal 12C dipastikan
(harus) mengandung 4 unsur, ialah:
1. Unsur
perbuatannya: menerima;
2. Unsur
objeknya: gratifikasi
3. Unsur:
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban dan tugasnya.
4. Unsur:
tidak melaporkan penerimaan pemberian
pada KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima pemberian.
1. UNSUR PERBUATAN: MENERIMA
Setiap tindak pidana selalu terdapat perbuatan
yang dilarang. Perbuatan merupakan
unsur mutlak yang harus dicantumkan dalam setiap rumusan tindak pidana.
Kalau ada tindak pidana UU tanpa mencantumkan unsur perbuatan yang dilarang,
keadaan itu harus dianggap sebagai perkecualian, seperti pada penganiayaan. Demikian
juga pada TPK menerima gratifikas (Pasal 12B) perbuatan menerima tidak secara tegas dicantumkan. Seperti
merumuskan penganiayaan (Pasal 351 KUHP), merumuskan TPK menerima gratifikasi – Pasal 12B harus dianggap sebagai
perkecualian.
Unsur perbuatan menerima ini dalam TPK menerima
gratifikasi harus ada dan terkandung/tersirat
dan dapat disimpulkan dari:
·
Pertama,
bunyi kalimat pada permulaan rumusan Pasal 12B ayat (1) yang berbunyi “ Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, …” Frasa/ perkataan “kepada pegawai negeri”
mengandung pengertian bahwa pegawai negerilah yang menerima pemberian itu. Berarti
disana terdapat perbuatan yang dilarang ialah “menerima” pemberian
(gratifikasi).
·
Kedua,
pada kalimat selebihnya (huruf a dan huruf b) – mengenai sistem beban pembuktiannya yang menunjukkan bahwa si penerima
gratifikasilah yang dipersalahkan dan dibebani pertanggungjawaban pidana. Pada
kalimat ini dapat dipastikan bahwa perbuatan yang di larang dalam Pasal 12B tersebut
adalah perbuatan menerima. Serta subjek hukum yang dituju oleh pemberian
adalah orang (pegawai negeri) yang menerima. Pegawai negeri yang menerima
inilah yang dibebani pertanggungjawaban pidana, dan bukan subjek hukum yang
memberi.
Dalam putusan Pengadilan TPK pada
pengadilan Jakarta Pusat No. 34/Pid.B/TPK/2011/PN-Jkt.Pst. perkara Gayus HP
Tambunan, majelis hakim menarik dan menetapkan unsur perbuatan menerima
(gratifikasi) ini dari kalimat penjelasan
Pasal 12B maupun dari frasa “setiap
gratifikasi” dalam Pasal 12B ayat (1). Unsur
ini memang tidak tersurat, tetapi tersirat
dari kalimat baik dalam Pasal 12 ayat (1) maupun pada penjelasannya. Dalam
hal ini dapat dibandingkan dengan adanya perbuatan menganiaya (mishandelen) dari kualifikasi
“penganiayaan” (mishandeling) dalam
Pasal 351 KUHP.
Meskipun tersirat, namun dalam rangka
pembuktian maka perbuatan menerima harus dianggap suatu unsur yang tersurat.
Tidak ada bedanya dengan unsur perbuatan menganiaya (mishandelen) dalam kualifikasi
penganiayaan (mishandeling) dalam Pasal 351 KUHP. Oleh karena itu dalam
sistem beban pembuktian terbalik, adalah termasuk membuktiakan ketiadaan
perbuatan menerima (pemberian) tersebut. Sebaliknya Jaksa penuntut umum dalam
menggunakan haknya membuktikan keberadaan unsur perbuatan menerima. .
Pada dasarnya yang harus dibuktikan
itu adalah tentang keberdaaan suatu keadaan. Suatu perbuatan (aktif) adalah merupakan suatu keadaan, oleh karena
itu yang harus dibuktikan. Sedangkan tidak berbuat apapun sebagai suatu
ketiadaan tidak perlu dibuktikan. Tetapi dalam sistem beban pembuktian
terbalik, bagi terdakwa justru harus membuktikan tidak berbuat ,menerima, yang
sesungguhnya tidak berbuat itu tidak perlu dibuktikan. Namun oleh karena
menjadi kewajiban hukumnya, maka yang harus dibuktikan tidak menerima tersebut,
harus dikaitkan/dihubungkannya dengan berbagai keadaaan ic tempus delicti dan locus delicti dan objek (objek)
gratifikasi yang yang diterima terdakwa, yang telah disebutkan dalam surat
dakwaan. Tentu dalam surat dakwaan telah disebut Keadaan-keadaan itulah yang harus dibuktikan
sebaliknya oleh terdakwa.
Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa di dalam perbuatan menerima inilah terdapat kesengajaan yang mengandung tiga bagian: (1) merupakan kehendak untuk
mewujudkan perbuatan menerima, (2) merupakan kehendak untuk memiliki pemberian,
dan (3) merupakan kesadaran bahwa memiliki pemberian sebagai melawan hukum,
karena tidak berhak memiliki pemberian. Jaksa penuntut umum tidak wajib membuktikan
unsur ini. Sebaliknya untuk tidak dipidananya terdakwa, terdakwa wajib
membuktikan ketiadaan unsur kesengajaan seperti
ini.
Dalam sistem pembebanan terbailk, yang pada
dasarnya kewajiban pembuktian terdakwa itu ditujukan untuk tidak memidana
terdakwa. Kewajiban terdakwa untuk membuktikan unsur yang tersurat dan yang
tersirat menjadi sama pentingnya. Boleh dikata tidak ada bedanya, hasil pembuktiannya akan menghasilkan akibat
hukum yang sama.
Unsur kesengajaan yang bermuka tiga
sebagaimana yang penulis maksudkan tersebut di atas, melekat dan berhubungan
dengan perbuatan menerima dan objek
gratifikasi. Oleh karena itu juga, dalam
hal membuktikan ketiadaan unsur menerima ini, termasuk di dalamnya membuktikan
ketiadaan salah satu diantara tiga kesengajaan yang penulis maksudkan tersebut.
2.. OBJEK TINDAK PIDANA: GRATIFIKASI
Setiap tindak pidana pasti ada unsur
objeknya. Pada umumnya objek yang
disebutkan dalam rumusan tindak pidana itu disebutkan setelah penyebutan
perbuatan. Artinya objek tindak pidana
sekaligus menjadi objek perbuatan. Hanya sebagian kecil saja tindak pidana yang membedakan antara objek
tindak pidana dan objek perbuatan. Misalnya penipuan (Pasal 378 KUHP), objek perbuatan menggerakkan adalah orang dan
objek tindak pidananya adalah barang, membuat utang dan menghapuskan piutang.
Meskipun tidak lazim merumuskan
suatu tindak pidana seperti Pasal 12B, namun tidak terdapat alasan yang cukup untuk mengatakan Pasal
12B bukan rumusan tindak pidana. Meskipun tidak tegas mana objek tindak
pidananya, namun objek itu ada, yaitu terdapat
dari anak kalimat “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri … dianggap pemberian suap, ...” Kalimat itu mengandung objek ialah gratifikasi
sekaligus perbuatan menerima yang dilarang.
Tidak ada kesulitan memberikan isi
–pengertian dari objek gratifikasi ini. Dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) telah diberikan penafsiran otentik
tentang pengertiannya. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yang
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas lainnya”.
Isi – pengertian gratifikasi yang
sangat luas dan dengan sifatnya terbuka. Perkataan dan lain-lain, menunjukkan
bahwa isi pengertian gratifikasi bisa diisi oleh praktik. Penyidik dan penuntut
umum dapat mengisinya dengan jenis-jenis
pemberian lainnya, dan hakim akan memutuskannya.
Istilah/perkataan “pemberian” yang
digunakan Pasal 123B sangat tepat dan sesuai dengan objek semua jenis penyuapan
menurut rumusan aslinya dengan menggunakan kata “gift” yang akar katanya adalah “geven”
(memberi), suatu kata kerja. Kata kerja memberi (geven) berubah sifat menjadi
kata benda yang disebut “gift” , yang
seharusnya diterjemahkan dengan pemberian, bukan hadiah, apalagi dengan kata
sesuatu, seperti memberikan sesuatu pada Pasal 5 ayat (1) UUTPK..
Mengggunakan kata hadiah untuk objek
seperti Pasal 11 dan 13 dapat menimbulkan masalah dalam praktik bagi penegak hukum yang tidak terjaga
integritasnya. Seperti pada kasus dugaan penyuapan yang pernah terjadi tahun
2010 di wilayah kerja Polda Kalimantan Selatan yang untuk mengelabui hukum
dengan membuat kuitansi/tanda terima uang senilai Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) yang seolah-olah pemberian pada pegawai negeri itu merupakan
pinjaman uang. Oleh si jaksa penuntut umum, dugaan suap yang jumlahnya miliaran
rupiah itu dihentikan penuntutannya karena dianggap perdata, berupa pinjaman
uang saja..
Dengan menyebut gratifikasi sebagai
bentuk pemberian dalam Pasal 12B maka pemberian pinjaman uang pada pegawai
negeri (meskipun berbunga) dapat masuk
gratifikasi, asalkan causa pemberian pinjaman uang itu ada hubungannya dengan
jabatan pegawai negeri yang menerima.
3. UNSUR BERHUBUNGAN DENGAN JABATANNYA DAN YANG
BERLAWANAN DENGAN KEWAJIBAN ATAU
TUGASNYA.
Kata akhiran “nya” pada kata “jabatannya” dan kata “tugasnya”, menunjuk pada kedudukan subjek hukum yang
menerima ic pegawai negeri atau
penyelenggara Negara - subjek hukum yang menerima pemberian. Unsur ini bersifat
objektif. Tidak ada kesukaran membuktikannya, baik
sebaliknya oleh terdakwa maupun
keberadaannya oleh jaksa penuntut umum. Pembuktian perihal kedudukan si pembuat
tersebut cukup dengan menggunakan bantuan
hukum tata usaha Negara, dan pada kenyataan pekerjaan sehari-harinya. Keadaan
itulah yang dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa. Sebaliknya jaksa penuntut umum
membuktikan keberadaannya.
Dalam Pasal 12 huruf a juga
terdapat unsur nomor 3 tersebut. Akan tetapi berbeda fungsi. Dalam Pasal 12
huruf a unsur nomor 3 tersebut bersifat subjektif, karena dituju oleh unsur
(kesengajaan sebagai) maksud untuk menggerakkan pegawai negeri yang menerima
pemberian agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya. Sementara
Pada TPK menerima gratifikasi Pasal 12B
unsur ini bersifat objektif.
Dalam unsur ini mengandung tiga unsur, ialah:
a. Kualitas
subjek hukum yang menerima pemberian haruslah pegawai negeri atau penyelenggara
Negara;
b. Pegawai
negeri atau penyelenggara Negara haruslah memiliki kewenangan jabatan pada saat
melakukan perbuatan menerima. Untuk memiliki kewenangan jabatan, mereka
haruslah memiliki jabatan.
c. Bahwa
pemberian yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut
haruslah ada hubungannya dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya.
Dalam penerapan sistem beban
pembuktian terbalik tindak pidana Pasal 12B,, terdakwalah yang dibebani
kewajiban untuk membuktikan sebaliknya dari ketiga-tiganya, juga secara
objektif. Artinya terdakwa dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan bahwa:
a. Terdakwa
bukanlah berkualitas pegawai negeri atau penyelenggara, atau dapat juga
membuktikan bahwa pemberian yang diterimanya tidak ada hubungannya dengan
kedudukannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Misalnya saja
berhubungan dengan transaksi keperdataan dsb.: atau
b. Membuktikan
bahwa pada saat menerima pemberian terdakwa tidak memiliki jabatan apapun; atau
tidak mempunyai kewenangan lagi, atau
c. Membuktikan
bahwa pemberian yang diterima pegawai negeri secara objektif tidak ada
hubungannya dengan kewenangan jabatannya dan tidak berlawanan dengan kewajibannya
atau tugasnya.
4. UNSUR TIDAK MELAPORKAN PENERIMAAN
PEMBERIAN PADA KPK
Boleh
jadi seorang pegawai negeri pada saat menerima pemberian yang berhubungan
dengan jabatannya tidak mempunyai niat jahat untuk memiliki, menikmati atau
memanfaatkan pemberian untuk kepentingan pribadinya. Namun oleh sebab selama
waktu 30 hari kerja sejak menerima pemberian, yang bersangkutan tidak
melaporkan pemberian itu pada KPK, maka kehendak jahat itu (dianggap)
lahir/terbit pada hari setelah menerima sampai pada hari kerja ketiga puluh.
Maka terhadapnya dianggap menerima suap gratifikasi menurut Pasal 12B dan
terwujud pada hari ke-30 hari
kerja sejak menerima pemberian.
Jaksa penuntut umum menyatakan dalam surat
dakwaan bahwa sejak menerima pemberian sampai ke-30 hari kerja, pegawai negeri
yang bersangkutan tidak melaporkan penerimaan pemberian tersebut pada KPK. Pernyataan
demikian dalam surat dakwaan - sudah cukup. Unsur ini tidak wajib dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Selain karena sifatnya
perbuatan negatif tidak perlu dibuktikan fisiknya – karena tidak
berbuat, juga dalam hal sistem
beban pembuktian terbalik mengenai unsur-unsur tindak pidana pada TPK menerima
gratifikasi kewajiban ini di bebankan pada terdakwa membuktikan
sebaliknya agar dirinya tidak dipidana.
B. SURAT DAKWAAN TPK MENERIMA GRATIFIKASI
TPK menerima gratifikasi sebagai bagian
dari penyuapan pasif, menurut UUTPK
merupakan tindak pidana berat atau lebih berat dari TPK menerima suap
Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 11. Sifat jahatnya TPK menerima gratifikasi sama
dengan Pasal 12 huruf a dan b. Karena
diancam dengan pidana yang sama: penjara seumur hidup atau sementara maksimum
20 tahun dan minimum 4 tahun. Tentulah
ada sesuatu yang tersirat di dalamnya dengan memberikan ancaman pidana yang
lebih berat itu.
Oleh karena itu berdasarkan kebiasaan, Jaksa Penuntut Umum wajib menempatkan dakwaan terhadap TPK
mnerima gratifikasi – Pasal 12B sebagai dakwaan primair. Sementara pasal-pasal penyuapan aktif lainnya yang bersesuaian didakwakan
pada dakwaan berikutnya, baik
pada dakwaan bentuk primair-subsidiar (berlapis/bertingkat) maupun bentuk
alternatif. Maksudnya adalah sebagai cadangan, apabila dalam sidang pengadilan,
karena ditemukannya keadaan-keadaan tertentu
yang membuktikan bahwa niat jahat
untuk memiliki pemberian itu sudah terbentuk sebelum menerima atau
setidak-tidaknya pada saat menerima pemberian.
Dengan cara membuat dakwaan yang
demikian, diharapkan bahwa apabila niat jahat untuk memiliki itu terbukti
terbentuk pada saat menerima pemberian, maka yang terjadi bukan TPK menerima
gratifikasi, maka dengan demikian akan terbukti bentuk penyuapan fasif tertentu
lainnya.
Tidak
tepat apabila dibuat surat dakwaan bentuk kumulatif antara TPK menerima
gratifikasi – Pasal 12B dengan TPK penyuapan pasif lainnya. Alasannya adalah,
antara TPK menerima gratiifikasi dengan bentuk-bentuk TPK suap pasif lainnya
tidak mungkin bisa terjadi secara kumulatif (perbarengan perbuatan – Pasal 65
KUHP) berhubung karena adanya unsur
(terselubung) saat (tempus delicti) terbentuknya kehendak jahat untuk memiliki
pemberian. Tidak mungkin disatu pihak pada saat menerima pemberian kehendak
jahat itu sudah terbentuk dan yang sekaligus dipihak lain terbentuk pula kehendak jahat
untuk memiliki pemberian setelah menerima pemberian.
IV.
VI. PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK TINDAK PIDANA KORUPSI
MENERIMA GRATIFIKASI
A.
KEDUDUKAN PEMBUKTIAN TERDAKWA DAN JAKSA
PU DALAM SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN
TERBALIK
Dalam kedudukannya sebagai penuntut
umum yang mendakwa dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik (Pasal 12B jo
12C) pada dasarnya jaksa tidak dibebani
kewajiban untuk membuktikan semua unsur TPK menerima gratifikasi, seperti
perbuatan menerima dan objek
gratifikfikasi, dll.. Apabila jaksa
penuntut umum membuktikan juga keberadaan semua unsur , maka harus dianggap jaksa tersebut
menggunakan haknya sebagai penuntut umum, bukan sebagai melaksanakan kewajiban
hukumnya.
Oleh karena itu hakim dibebani kewajiban
hukum untuk terlebih dulu memberikan
kesempatan seluas-luasnya pada terdakwa melaksanakan kewajiban hukumnya untuk
membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, termasuk unsur
niat jahat untuk memiliki pemberian yang terselubung seperti yang penulis
maksudkan tadi. Kewajiban hukum seperti
ini sama dengan kewajiban hukum hakim yang memeriksa perkara perdata atas
gugatan. Demikian juga dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik, hakim
dibebani kewajiban hukum untuk meminta pada terdakwa lebih dahulu melaksanakan
kewajibannya untuk membuktikan tentang ketiadaan unsur-unsur TPK menerima
gratifikasi.
Sebagai konsekwensi dari kewajiban
hakim seperti itu, maka disatu pihak bagi terdakwa – Ia mempunyai hak untuk
diberi kesempatan terlebih dulu untuk melaksanakan kewajibannya membuktikan
sebaliknya atau membuktikan ketiadaan
dari unsur-unsur tindak pidana. Sebaliknya jaksa penuntut umum untuk sementara wajib berlaku pasif terlibih
dahulu dalam arti wajib menerima pelaksanaan hak terdakwa tersebut.
Kemudian - juga hakim dibebani
kewajiban hukum untuk memberikan hak pada jaksa penuntut untuk membuktikan
keberadaan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Hak jaksa penuntut umum
ini boleh digunakan dan boleh tidak. Namun hakim wajib memberikan hak itu. Tidak
digunakannya hak ini oleh jaksa penuntut umum, tidak menyebabkan putusan
menjadi cacat. Tetapi kalau hakim tidak memberirkan hak ini, putusan menjadi
cacad hukum.
Sebagai konskwensi dari pemberian
hak mendahului membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana, maka dalam hal
mempertimbangkan hasil pembuktian dalam sistem
pembebanan terbalik, mestinya pula harus mempertimbangkan terlebih dulu hasil
pembuktian terdakwa mengenai satu persatu unsur tindak pidananya. Barulah kemudian mempertimbangkan atau
menghubungkannya dengan hasil pembuktian jaksa penuntut umum.
Oleh sebab itu, dalam sistem
pembebanan pembuktian terbalik, fungsi hasil pembuktian oleh jaksa penuntut
umum adalah:
a. Apabila
menurut majelis hakim pembuktian terdakwa tidak berhasil membuktikan ketiadaan
unsur –unsur tindak pidananya, sementara itu jaksa penuntut umum berhasil
membuktikan keberadaan unsur-unsur TPK menerima gratifikasi, maka hasil
pembuktian jaksa penuntut umum tersebut berfungsi sebagai memperkuat terhadap
ketidakberhasilan terdakwa membuktikan ketidaan unsur-unsur tersebut. Jiwa dari
fungsi hasil pembuktian jaksa penuntut umum seperti ini juga terdapat di dalam
norma Pasal 37A ayat (2) UUTPK. Meskipun objek pembuktiannya berbeda namun
jiwanya sama.
b. Apabila manurut majelis hakim pembuktian
terdakwa berhasil membuktkan ketiadaan salah satu (saja) dari unsur-unsur TPK
menerima gratifikasi, maka bagaimanapun hasil pembuktian jaksa penuntut umum
menjadi tidak penting lagi. Inilah sebagai konskewensi logis yang harus
diterima sebagai suatu kenyatan yang tidak bisa ditolak dengan ditetapkan dan
diberlakukannya sistem beban pembuktian terbalik dalam hukum positif. Dalam
keadaan keberhasilan terdakwa membuktikan ketiadaan unsur tindak pidana, maka
fungsi hasil pembutian jaksa penuntut umum, adalah sebagai bahan/objek yang
oleh hakim (harus) dipertimbangkan sebagai tidak terbukti berdasarkan hasil
pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa.
Dalam keadaan kedua, keberhasilan
terdakwa membuktikan ketiadaan salah satu
unsur TPK menerima gratifikasi tersebut harus didahulukan dan
diutamakan. Adalah tidak logis, apabila disatu pihak terdakwa dipertimbangkan
terlebih dulu oleh majelis sebagai dapat membuktikan ketiadaan salah satu
unsur, sementara kemudian dipihak lain juga majelis mempertimbangkan jaksa
penuntut umum juga berhasil membuktikan semua ansur tindak pidananya.
B.
OBJEK PEMBUKTIAN TERBALIK TPK MENERIMA GRATIFIKASI
Dilihat dari sudut objek pembuktian ic gratifikasi, sistem pembebanan pembuktian terbalik pada
TPK menerima gratifikasi ada 2
kemungkinan, ialah:
a. Pertama,
terhadap penerimaan gratifikasi yang
terbatas, maka yang dianggap merupakan kewajiban JPU membuktikan seperti
penjelasan pemerintah pada saat perumusan RUU Revisi UU No. 31
Tahun 1999, diterapkan
hanyalah semata-mata adanya penerimaan yang
terbatas ini. Sedangkan bagi terdakwa
merupakan kewajiban untuk membuktikan sebaliknya. Membuktikan sebaliknya adalah
membuktikan hal penerimaan itu tidak memenuhi sebagian atau seluruh unsur TPK menerima gratifikasi, termasuk
membuktikan bahwa penerimaan itu tidak ada hubungannya dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya.
b. Kedua,
terhadap objek
harta benda terdakwa yang tidak sesuai dengan sumber
pendapatannya, yang dianggap bersumber juga pada penerimaan yang tidak sah. JPU hanya wajib meneukannya
dan menyebutnya dalam surat dakwaan. Setelah kesempatan membuktikan sebaliknya
oleh terdakwa, barulah jaksa penuntut
umum membuktikan tentang keberadaan
seluruh harta benda terdakwa,
tidak wajib namun merupakan hak membuktikan hal penerimaannya baik asalnya, jumlahnya
maupun waktu penerimaaannya. Mengenai harta benda yang demikian ini, terdakwa wajib membuktikan
sebaliknya atau bukan berasal dari TPK menerima gratifikasi.
Kiranya untuk pemberian yang terbatas, tidak merupakan hal yang perlu
dibicarakan terlalu jauh. Dengan
berpedoman pada empat unsur TPK menerima gratifikasi kiranya tidak banyak
mengalami hambatan untuk menerapkan sistem pembebanan pembuktian terbalik. Berbeda halnya dengan objek pembuktian
mengenai penerimaan pemberian yang tidak
terbatas, yang diketahui dari indikator keberadaan harta benda yang tidak
sesuai dengan sumber pendapatannya yang sah.
Misalnya pada kasus Korrlantas, Gayus HP Tambunan atau Widya Widyatmika.
Bagi penerimaan yang tidak terbatas,
yang dapat dilihat dari indikator jumlah harta kekayaan terdakwa yang tidak
sesuai/seimbang dengan sumber
pendapatannya yang sah (illicit enrichment) masih
perlu dibicarakan.
C.
PENERAPAN
SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TPK MENERIMA GRATIFIKASI
Pembebanan pembuktian terbalik
berpijak pada asas “praduga bersalah” (presumption of guilty) kebalikan dari sistem beban pembuktian pada penuntut umum (seperti KUHAP) yang berpijak pada asas praduga
tidak bersalah (presumtion of innocence).
Pada asas praduga bersalah, jaksa mengajukan terdakwa ke sidang pengadilan
telah menang satu langkah, ialah tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan
dakwaannya. Karena dengan mengajukan dakwaannya tersebut, terdakwa dianggap
telah bersalah. Oleh karena itu pihak yang berkewajiban membuktikan terdakwa
tidak bersalah adalah dipihak terdakwa.
Pasal 12B UUTPK menetapkan pembebanan terbalik pada
tindak pidana TPK menerima gratifikasi
yang nilai penerimaan – pemberiannya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih.
Sistem pembenanan pembuktian terbalik pada TPK menerima
gratifikasi tidak lepas dari pengertian yuridis TPK menerima gratifikasi itu sendiri, karena kewajiban
terdakwa tersebut adalah membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidananya. Empat unsur pokok TPK
menerima gratifikasi yang telah disebutkan sebelumnya, merupakan kewajiban
terdakwa untuk membuktikan sebaliknya, atau membuktikan ketiadaan semua atau cukup
salah satu unsur tersebut. Apabila terdakwa tidak berhasil, maka harus dianggap
terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi menerima gratifikasi.
Demikian sesungguhnya prinsip sistem pembebanan pembuktian terbalik.
Sedangkan jaksa penuntut umum dalam
hal membuktikan terdapatnya/terbuktinya ke-empat unsur tersebut harus dianggap
bukan melaksanakan kewajibannya, namun melaksanakan haknya. Dari kedua hasil pembuktian oleh terdakwa
disatu pihak dan dilain pihak oleh jaksa penuntut umum itu, hakim melakukan
pembuktian dengan menilai sendiri atas kedua hasil pembuktian itu dalam
pertimbangan hukumnya.
Konspsi sistem pembebanan pembuktian terbalik
sebagaimana Penjelasan Pemerintah pada saat Revisi UU No. 31/1999” tentang
kewajiban JPU hanya membuktikan satu bagian inti delik , yaitu “penerimaan
uang”. Sedangkan bagian inti delik lainnya dibuktikan sebaliknya oleh penerima
gratifikasi. Konsepsi tersebut belum cukup, masih mengandung beberapa kelemahan,
al.
ialah:
-
Tidak/belum
dapat diterapkan pada kekayaan terdakwa yang melimpah yang tidak sesuai dengan sumber pendapatannya (illicit enrichtment). JPU mendapat kesukaran membuktikan tentang penerimaan yang berkali-kali yang
menghasilkan kekayaan
tersebut dan dalam jangka waktu yang lama, baik waktunya maupun jumlahnya.
-
Padahal, kalau didasarkan pada maksud
dibentuknya TPK menerima gratifikasi ini ditujukan untuk memberantas semua
bentuk-bentuk pemberian kepada pegawai negeri yang dianggap sudah membudaya.
-
Tujuan diadakannya sistem pembebanan
pembuktian terbalik dalam TPK menerima gratifikasi pada dasarnya untuk
mengatasi kesulitan jaksa penuntut umum membuktian pada kasus korupsi menerima suap yang disebut gratifikasi itu sendiri.
Penerimaan yang dimaksud penjelasan
pemerintah tersebut digunakan oleh jaksa
penuntut umum sebagai dasar utama/pertama dalam mendakwakan TPK menerima
gratifikasi Pasal 12B. Tanpa ada dasar penerimaan – pemberian apa-apa, tidak
mungkin bisa membawa kasus Pasal 12B dengan mendakwakan TPK menerima
gratifikasi. Namun tidak berarti objek penerimaan yang tidak terbatas yang
menghasilkan harta kekayaan terdakwa yang tidak seimbang dengan sumber
pendapatannya yang sah – tidak boleh didakwakan. Justru pada objek yang kedua inilah tujuan
dan kegunaan dibentuknya sistem beban pembuktian terbalik dapat mencapai hasil
maksimal.
Untuk penerimaan yang diduga lainnya
yang menghasilkan kekayaan yang tidak seimbang dengan sumber pendapatannya,
juga dapat didakwakan cukup dengan menunjuk jumlah kekayaannya yang ditemukan
yang sekaligus membandingkan dengan menunjuk /menyebutkan sumber-sumber
pendapatan yang sah. Pembuktian
selanjutnya tentang harta tersebut tidak ada hubungannya dengan penerimaan
(gratifikasi) dibebakan kepada terdakwa.
Cara membuktikan sebaliknya ini, cukup terdakwa membuktikan dari mana
asalnya ic sumbernya yang halal
sebagian atau seluruh dari harta kekayaan yang disebutkan dalam surat dakwaan. Hasil
pembuktian terdakwa itu akan dipertimbangkan hakim dengan menghubungkan dengan
hasil pembuktian jaksa penuntut umum untuk menarik kesimpulan tentang terbukti
ataukah tidak harta benda tersebut bersumber dari sumber penghasilan yang sah
ataukah haram.
Apabila terdakwa tidak dapat
membuktikan sebagian atau seluruhnya berasal dari sumber pendapatan yang sah, maka dianggap bahwa harta kekayaan itu adalah
berasal dari menerima pemberian (gratifikasi). Dalam hal ini tidak perlu jaksa
penuntut umum repot-repot membuktikan asal penerimaannya serta tempus dan locus penerimaannya secara
rinci. Karena dalam sistem pembeban
terbalik jaksa tidak dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan keberadaan
semua unsur serta keadaan-keadaan sekitarnya dari tindak pidana yang didakwakan. Demikianlah
sesungguhnya sistem pembebanan terbalik pada TPK menerim gratifikasi. Apabila tidak
menerapkan hukum pembuktian yang demikian, maka pembutktian itu bukan sistem pembebanan
terbalik, melainkan sistem biasa.
Dengan tidak bersesuaian itu dianggap
harta tersebut juga merupakan hasil dari penerimaan – pemberian. Kiranya
demikian maksud dari dirumuskannya Pasal 38B ayat (2), meskipun Pasal 12B tidak
disebut dalam Pasal 38 ayat (1). Namun jiwa dari norma Pasal 38B ayat (2) sebagai sistem beban pembuktian
terbalik (mengenai harta benda terdakwa) adalah sama dengan jiwa sistem
pembebanan pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi Pasal 12B
ayat (1) huruf a. Dalam jiwa
norma terdapat maksud / tujuan dari dibentuknya norma tersebut.
Konsepsi beban pembuktian terbalik terhadap unsur penerimaan pemberian
(menerima gratifikasi) seperti
tersebut di
atas rupanya sudah diterapkan pada kasus Sdr. Gayus
Tambunan,
meskipun penerapannya tidak sama persis sebagaimana yang penulis lukiskan
tersebut di atas. Namun jiwanya dan substansinya sama.
Terbukti majelis dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa meskipun ketidakberhasilan JPU membuktikan
penerimaan gratifikasi dari Alif Kuncoro dan Denny Adrianz. Namun keadaan itu tidak mengurangi peran terdakwa
atas telah terbuktinya menerima gratifikasi, karena telah terbuktinya menerima
gratifikasi, karena telah terbukti secara nyata dari saksi Roberto Santonius
dan tentunya dari wajib pajak lainnya yang telah membawa terdakwa dapat mengumpulkan uang sejumlah US$ 659,800
(enam juta lima ratus sembilan ribu delapan ratus dolar Amerika) dan SGD
9.680,000 (sembilan juta enam ratus delapan puluh ribu dolar Singapura)
tersebut di atas yang oleh terdakwa tidak dapat dibuktikan asal usulnya dari
sumber yang sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dari pertimbangan hukum majelis
tersebut, kiranya dapat ditarik temuan hukumnya al., ialah:
·
Pertama, mengenai pengutamaan penilaian hasil pembuktian. Bahwa yang diutamakan dalam
pertimbangan hukum dalam perkara TPK menerima gratifikasi - Pasal 12B adalah tentang
hasil pembuktian terdakwa. Pengutamaan pembuktian adalah terhadap berhasil
ataukah tidak berhasil terdakwa melaksanakan kewajibannya dalam hal membuktikan
sebaliknya dari unsur perbuatan menerima gratiifikasi yang menjadi objek
pembuktian terbalik.
·
Kedua, mengenai fungsi ketidakberhasilan terdakwa membuktikan sebaliknya. Bahwa
keberhasilan jaksa penuntut umum menggunakan haknya – membuktikan unsur
perbuatan menerima sebagian saja dari penerimaan yang didakwakan bukan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa penerimaan
lainnya yang didakwakan tidak terbukti, sepanjang terdakwa memang tidak
berhasil membuktikan sebaliknya mengenai objek / harta penerimaan tersebut.
Dari temuan hukum kedua menunjukkan bahwa belum
seratus persen hakim melaksanakan kewajiban hukumnya untuk mendahulukan - mempertimbangkan
hasil pembuktian terdakwa, meskipun fungsi hasil pembuktian terdakwa menjadi
perhatian yang utama untuk menyatakan terbukti tidaknya objek yang dibuktikan.
·
Ketiga, mengenai hubungan pembuktian jaksa dengan pembuktian terdakwa. Bahwa berhasil ataukah tidak jaksa penuntut umum menggunakan haknya dalam
membuktikan keberadaaan unsur perbuatan menerima gratifikasi tidak memengaruhi
terhadap ketidakberhasilan terdakwa
membuktikan sebaliknya. Temuan hukum
ketiga adalah sebagai akibat dari temuan hukum kedua.
·
Keempat mengenai dasar menarik dan menetapkan amar putusan akhir. Bahwa dalam
putusan akhir pembebasan atau pemidanaan
karena TPK menerima gratifikas, tidak
ditentukan oleh keberhasilan jaksa penuntut umum menggunakan haknya –
membuktikan unsur perbuatan menerima gratifikasi (termasuk sebagian dari penerimaan)
melainkan bergantung dari berhasil ataukah tidak berhasil terdakwa melaksanakan
kewajibannya membuktikan sebaliknya sebagian atau seluruh unsur-unsur
penerimaan pemberian.
Dari pertimbangan hukum majelis
tersebut, dapat juga ditarik kesimpulan secara umum bahwa untuk menyatakan terbukti ataukah tidak
terbukti penerimaan pemberian dalam sistem beban pembuktian terbalik pada TPK
menerima gratifikasi, diletakkan pada keberhasilan atau tidaknya terdakwa
membuktikan sebaliknya dari keberadaan objek yang dibuktikan, tidak diletakkan
pada hasil pembuktian jaksa penuntut umum.
Mengenai temuan hukum yang kedua,
meskipun tidak sama persis dengan pendapat penulis yang sudah dikemukakan
sebelumnya. Namun jiwa mendahulukan kewajiban terdakwa membuktikan sebaliknya dan
peran serta fungsi hasil akhir pembuktiannya terhadap terbukti ataukah tidak
objek yang dibuktikan sudah diperoleh
dari pertimbangan hukum putusan tersebut.
Namun kewajiban mendahulukan untuk dipertimbangkan pembuktian terdakwa perlu
ditegaskan lagi. Bahwa yang pertama harus dipertimbangkan adalah hasil
pembuktian terbalik oleh terdakwa, barulah kemudian (jika perlu)
menghubungkannya dengan hasil pembuktian
jaksa penuntut umum, barulah mengambil kesimpulan. Tidak harus mempertimbangkan terlebih dulu
hasil pembuktian jaksa penuntut umum.
Karena fungsi hasil pembuktian jaksa penuntut umum pada sistem pembeban
terbalik, seharusnya sebagai memperkuat saja.
Sebagai memperkuat, maka andaikata tidak membuktikan atau hanya dapat
membuktikan sebagian penerimaan, tidak berarti seluruh penerimaan tidak terbukti,
sepanjang memang terdakwa tidak berhasil membuktikan sebaliknya dari objek
harta yang dianggap sebagai penerimaan
yang didakwakan.
Konsepsi sistem pembebanan
pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi mestinya tidak bergantung
pada objek
penerimaan pemberian yang terbatas atau dapat diketahui pemberinya maupun
jumlah angka/nilainya. Tetapi harus mencakup pula penerimaan
pemberian yang tidak terbatas, dilakukan oleh banyak
orang dan berkali-kali yang tidak mungkin dapat dibuktikan “hal penerimaannya” secarta rinci.l Seperti pada kasus Sdr. Gayus
HP Tambunan dan Sdr. Dhana Widyatmika. Penuntut umum telah mengemukakan
seluruh harta benda yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dengan
membandingkannya dengan sumber pendapatannya yang sah.
Kewajiban jaksa penuntut umum
adalah memaparkan mengenai angka-angka dan keberadaan harta terdakwa. Kemudian melukiskan dengan
membandingkannya dengan sumber pendapatannya yang halal. Semua itu cukup
disampaikan di dalam surat dakwaan. Dalam sidang jaksa penuntut umum dalam
menggunakan haknya boleh membuktikan tentang
penerimaan masing-masing si pemberi, tempus dan locus penerimaannya.
Kalaupun tidak berhasil, tidak berarti tidak terbukti hal penerimaan
gratifikasi, sepanjang terdakwa sendiri tidak berhasil membuktikan sumber harta
yang didakwakan sebagai sumber yang halal. Karena dalam sistem pembebanan pembuktian
terbalik putusan harus didasarkan pada hasil pembuktian terdakwa, bukan hasil
pembuktian jaksa penuntut umum. Apabila sikap yang demikian tidak diambil, maka
tidak banyak faedahnya mencantumkan sistem pembebanan terbalik pada TPK
menerima gratifikasi dalam Pasal 12B jo 12C UUTPK.
V.
V. KESIMPULAN
1. Kebelumjelasan
TPK menerima gratifikasi berikut sistem pembebanan pembuktiannya yang terbalik tidak
perlu dijadikan alasan untuk tidak menerapkan hukum yang telah merupakan
hukum positif. Praktik akan menyelesaikan
dan melengkapinya dengan cara menemukan hukum yang tersirat dari dalam rumusan
Pasal 12B dan 12C dan pasal-pasal lain yang terkait. Pakar-pakar hukum pidana mendapatkan peran
penting dalam membantu menemukan hukum tersebut.
2. Untuk menerapkan sistem pembebanan terbalik
pada TPK menerima gratifikasi, tidak
lepas dari unsur-unsur tindak pidananya dan cara bekerjanya sistem tersebut.
3.
Unsur-unsur TPK menerima gratifikasi dalam Pasal 12B ayat (1)
jo 12C selain subjek hukumnya pegawai negeri atau penyelenggara Negara, adalah:
·
Perbuatannya: menerima
·
Objeknya: pemberian/gratifikasi
·
berhubungan dengan jabatan atau tugasnya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya
·
tidak melaporkan penerimaan
pemberian/gratifikasi pada KPK
Disamping
unsur-unsur tersebut terdapat lagi unsur
yang terselubung dan tersembunyi dalam perbuatan menerima, ialah niat jahat untuk
memiliki pemberian yang terbentuk setelah menerima pemberian, yang wajib
dibuktikan keberdaan sebaliknya oleh terdakwa.
4. Prinsip-prinsip sistem pembebanan pembuktian
terbalik adalah:
a. Sistem
pembebanan terbalik berpijak pada asas praduga bersalah (presumption of guilty).
b. Tujuan
penerapan sistem pembebanan pembuktian terbalik adalah untuk tidak dipidananya
terdakwa.
c. Kewajiban terdakwa adalah untuk membuktikan ketiadaan
semua unsur tindak pidana termasuk unsur
niat jahat untuk memiliki pemberian, dan sebaliknya menjadi kewajiban
hukum hakim untuk meminta terdakwa melaksanakan kewajibannya tersebut terlebih dulu sebelum memberikan hak
jaksa penuntut umum untuk membuktian keberadaan unsur-unsur tindak pidana.
d. Jaksa
penuntut tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan keberadaan unsur-unsur
tindak pidana. Namun upaya membuktikan keberadaan unsur-unsur tindak pidana
adalah merupakan hak. Karena itu dibolehkan apabila hak tidak digunakan.
e. Hakim
dibebani kewajiban hukum untuk terlebih dulu meminta terdakwa melaksankan
kewajibannya untuk membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana dan
kewajiban hukum untuk mempertimbangkannya sebelum mempertimbangkan hasil
pembuktian jaksa penuntut umum.
f. Kemudian
berikutnya hakim dibebani kewajiban hukum untuk meminta jaksa penuntut umum
melaksanakan haknya untuk membuktikan keberadaan unsur-unsur tindak pidana,
yang kemudian mempertimbangkannya setelah mempertimbangkan hasil pembuktian
terdakwa.
5. Ada dua objek TPK menerima gratifikasi yang
menjadi kewajiban terdakwa untuk dibuktikan sebaliknya, dan menjadi hak jaksa
penuntut umum untuk membuktikan keberadaannya, ialah:
·
Penerimaan pemberian yang terbatas, adalah suatu
penerimaan pemberian yang ditemukan dan disebut dalam surat dakwaan baik tentang
jenisnya, jumlah/nilainya, si pemberinya maupun tempus dan locusnya.
·
Penerimaan pemberian yang tidak terbatas,
adalah penerimaan yang sebaliknya, dan yang
cukup disebut seluruh harta - jenis dan nilai/jumlahnya yang kemudian tidak
sesuai dengan membandingkannya pada sumber pendapatannya yang sah.
6. Oleh karena dalam sistem pembebanan
pembuktian terbalik, kewajiban membuktikan sebaliknya oleh terdakwa dan
dipertimbangkannya hasil pembuktian mendapat prioritas, maka fungsi hasil pembuktian terdakwa sangat
menentukan terhadap dipidana ataukah tidak terdakwa.
7. Sebaliknya
hasil pembuktian jaksa penuntut umum:
·
berfungsi sebagai memperkuat terhadap
pembuktian terdakwa yang tidak berhasil membuktikan ketiadaan unsur-unsur
tindak pidana.
·
Apabila terdakwa berhasil membuktikan
ketiadaan (sebaliknya) salah satu atau beberapa unsur tindak pidana, hasil
pembuktian jaksa hanya berfungsi sebagai bahan yang wajib dipertimbangkan hakim
sebagai tidak terbukti, berdasarkan keberhasilan terdakwa membuktikan ketiadaan
sebagian atau seluruh unsur tindak pidana.
Malang, 27 September 2014
DAFTAR
PUSTAKA
Adami Chazawi, 2014.
Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Penerbit Bayumedia
Publishing, Malang.
----------------------,
2013. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia Publishing,
Malang.
Andi Hamzah, 2012.
Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
PenerbitPT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Chairul Huda, 2006. Dari Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Penerbit Prenanda Media, Jakarta.
Djoko Sumaryanto,
2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka
Pengemablian Kerugian Keuangan Negara, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher,
Jakarta.
Elwi Danil, H., 2014.
Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Indriyanto Seno Adji,
2002. Korupsi dan Hukum Pidana, Penerbit Kantor Pengacara & Konsultan Hukum
Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta.
Klitgaard, Robert, 2001. Membasmi
Korupsi, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Komariah Emong Sapardjaja, Ny., 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia,
Penerbit Alumni, Bandung.
Lilik Mulyadi, 2007.
Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Alumni,
Jakarta.
Martiman Prodjohamidjojo (i), 2001. Penerapan
Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Penerbit Mandar Madju, Bandung.
Moeljatno (i), 1983. Asas-asas
Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Termorhuizen,
Marjanne, 1999, Kamus Hukum Belanda
Indonesia, Penerbit Djambatan,
Jakarta.