Jumat, 07 November 2014

MENERIMA KASASI PUTUSAN BEBAS - KEBABLASAN




KUHAP membedakan antara upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari banding dan kasasi (Bab XVII KUHAP). Upaya hukum luas biasa, yang terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali (PK) (Bab XVIII KUHAP).
         Sementara perlawanan walaupun disebut dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, tetapi tidak diatur secara khusus dalam bab tersendiri seperti upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.
          Penyebutan kasasi dalam praktik selalu diartikan kasasi biasa yang diatur  dalam bab XVII  (Pasal 244-258 KUHAP).  Sementara untuk kasasi luar biasa  acapkali disebut dengan kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 259 KUHAP).
         Putusan yang dapat dilawan dengan upaya kasasi adalah semua putusan terakhir selain putusan Mahkamah Agung, yang amarnya bukan pembebasan.
         Pasal 244 merumuskan bahwa “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas”.
           Jadi jelaslah bahwa, putusan terakhir pembebasan (vrijspraak) dari pengadilan selain Mahkamah Agung tidak dapat dilawan dengan upaya hukum kasasi. Frasa “kecuali putusan bebas” tersebut harus dimaknai sebagai penegasan oleh UU. Sementara pengertian penegasan harus dimaknai sebagai peringatan dan perhatian pada para jaksa, terdakwa dan hakim, alias tidak boleh dilanggar.
           Namun dalam praktik ternyata lain, ketentuan yang secara tegas dalam Pasal 244 KUHAP diterobos dengan argumentasi, bahwa terhadap putusan bebas tidak murni dapat diajukan kasasi. Berarti putusan bebas dalam Pasal 244 tersebut dalam praktik diartikan sebagai putusan bebas murni, sebab menurut putusan MA No. 275K/Pid/1983 kalau bebas tidak murni masih bisa dilawan dengan upaya hukum kasasi biasa.
           Memang logis, bahwa dalam praktik pengadilan pada tingkat manapun dalam amar putusan yang membebaskan terdakwa tidak pernah ada sebutan pembebasan murni atau pembebasan tidak murni, melainkan menyatakan dibebaskan atau membebaskan  dari segala tuduhan - sesuai dengan bunyi Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
           Akhirnya dengan putusan KASASI Mahkamah Agung yang semula berasal dari perkara RADEN SENSON NATALEGAWA (No. 275K/Pid/1983, 29-12-1983), tersebut, maka jaksa penuntut umum hampir pasti – selalu melakukan usaha mencoba-coba mengajukan upaya kasasi, dengan alasan putusan yang dilawan adalah merupakan putusan bebas yang tidak murni. Akhirnya menimbulkan kekacauan antara putusan bebas yang murni mana yang menurut doktrin dan putusan bebas mana yang menurut putusan Mahakaha Agung No. 275K/Pid./1983 tersebut. Karena seolah-oleh semua putusan bebas selalu dianggap oleh jaksa merupakan putusan bebas yang tidak murni.
        Dalam doktrin hukum memang dikenal adanya istilah bebas murni (zuivere vrijspraak) dan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak).
           Menurut doktrin hukum, putusan bebas tidak murni adalah putusan yang amarnya pembebasan namun didasarkan pertimbangan hukum untuk putusan pelepasan dari tuntutan hukum. Sementara menurut putusan MA No. 275/Pid/1983 adalah “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan, dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur perbuatan yang didakwakan, ataupun apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absosult dan relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan  dalam putusan pengadilan, ...[1]
           Lalu dalam praktik diartikan bahwa putusan bebas yang tidak dapat dilawan dengan upaya kasasi adalah terhadap putusan bebas murni saja dan terhadap putusan bebas yang tidak murni masih dapat dilawan dengan upaya kasasi biasa. Dalam hal JPU mengajukan kasasi biasa terhadap putusan pembebasan terdakwa, maka ia harus dapat membuktikan melalui uraian dalam memorie kasasinya, pertama bahwa putusan pembebasan yang dilawannya itu seharusnya berisi putusan pembebasan yang tidak murni. Kedua, barulah jaksa mengurai dalam analisis hukumnya, bahwa putusan dalam perkara yang dilawan seharusnya penjatuhan hukuman, bukan pembebasan.  Kalau jaksa sekedar hanya bisa membuktikan alasan yang pertama, maka putusan yang akan dijatuhkan MA di tingkat PK adalah amar pelepasan dari tuntutan hukum sesuai dengan perkara yang sebenarnya.
             Dalam KUHAP tidak dikenal pembagian putusan bebas antara bebas murni dan tidak murni, melainkan hanya disebut putusan bebas. Untuk mengetahui yang sebenarnya mengenai putusan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP, dapat melakukan analisis hukum berdasarkan 2 (alasan), yaitu:
1.      Berdasarkan penafsiran sistematis.
           Maksudnya adalah, bahwa berdasarkan penafsiran sistemartis, maka perkataan “diputus bebas” dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan berdasarkan kalimat sebelum perkataan “diputus bebas”. Kalimat yang dimaksud adalah: “’kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”. Kalimat tersebut menerangkan tentang syarat-syarat putusan bebas. Apabila dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP, maka arti dari kalimat “’kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah sama pengertiannya dengan:
a.      Pertama, hakim tidak memperoleh dua atau lebih alat bukti sah yang dapat digunakan untuk membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa, atau
b.      Kedua, mesklipun ada dua atau lebih alat bukti yang digunakan, namun hakim tidak dapat meyakini tentang kesalahan terdakwa dari alat bukti tersebut, atau
c.      Ketiga, hakim yakin namun tidak memenuhi syarat minimal dua alat bukti yang sah.
            Bahwa,  di dalam 3 (tiga) pengertian tersebut tidaklah bisa diartikan lain, selain bahwa putusan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah putusan bebas sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, b dan c tersebut di atas tadi. Dan alasan putusan bebas tersebut tidak ada hubungannya dengan putusan bebas yang tidak murni sebagaimana dimaksud dalam doktrin hukum maupun putusan pembebasan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap RS Natalegawa tanggal 10 Pebruari 1982 No. 33/1981/Pid.B/PN Jakapus, yang kemudian dibatalkan oleh MA dengan Nomor putusan 275K/Pid/1983   tersebut.
           Dengan kata lain, adalah bahwa perkataan “diputus bebas” dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah putusan bebas yang mengandung tiga unsur putusan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP.  Dan putusan bebas seperti itulah yang di dalam doktrin hukum disebut dengan “bebas murni”, atau putusan bebas yang didasarkan pada pertimbangan hukum tentang satu atau beberapa unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinan.
2.      Penafsiran dari sudut sejarah pembentukan Pasal 191 Ayat (1).
           Kalau dilihat dari penafsiran sejarah, maka sesungguhnya KUHAP tidak mengenal putusan bebas yang murni dan tidak murni. Sama dengan penafsiran dari sudut maksud dari Pasal 191 Ayat (1) KUHAP. Jika tidak mengenal putusan bebas murni dan tidak murni, maka pasti perkataaan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah putusan bebas murni, dan tidak mungkin putusan bebas yang tidak murni seperti  yang dimaksud dalam doktrin hukum sebagai putusan bebas yang didasarkan pada pertimbangan putusan pelepasan dari tuntutan hukum. Lebih-lebih lagi putusan bebas yang tidak murni seperti dalam putusan MA No. 275 K/Pid/1983.
           Hal ini diketahui dari pembicaraan KUHAP di DPR sebelum KUHAP diundangkan tanggal 31 Desember 1981. Dalam catatan VB da Costa SH wakil ketua Komisi III bidang Hukum DPR RI, termuat dalam Kompas tanggal 3-12-1982 tertulis sbb: Sejarah terjadinya KUHAP pada umumnya  dan Pasal 67 jo Pasal 233 ayat (2)  khususnya tidak dapat dilepaskan dari penafsiran yang tepat tentang putusan bebas. Rancangan asli Pasal 64 mempergunakan istilah “pembebasan dari tuduhan”, yang diambil dari Pasal 19 UU No. 14 Tahun 1970 yang memungutnya dari Pasal 6 Ayat (2) UU/Drt Tahun 1951 dengan penyesuaian seperlunya. Sewaktu istilah itu dibahas di DPR., mau tidak mau dipersoalkan istilah dan pengertian “pembebasan murni” dan “tidak murni” sebagaimana dikenal oleh jurisprodensi sampai saat itu.
           Akhirnya disepakati bulat untuk menolak istilah “pembebasan dari tuduhan” maupun istilah /pengertian yang lahir dari padanya, yaitu “pembebasan murni” dan “pembebasan tidak murni”.  HAP Baru hanya mengenal istilah “bebas” dan bebas artinya tanpa kualifikasi murni dan tidak murni. Implemantasi administratif dari ketentuan itu berupa larangan dalam Pasal 233 (2) KUHAP”.[2]
           Apabila MA dengan kekuasaannya hendak memaksakan kehendaknya untuk menafsirkan bebas dalam Pasal 191 Ayat (1) jo 183 KUHAP sebagai bebas murni, sehingga memberikan tafsir tentang syarat-syarat bebas yang tidak murni sebagaimana dalam putusan MA No. 275K/Pid/1983 terhadap R. Senson Natalegawa. Maka untuk hal ini harus tajam analisis hukum dalam Memori Kasasi yang dibuat. Karena sesunggunya disinilah letak kesalahan/kekhilafan hakim dalam putusan yang dilawan kasasi.
           Menurut hemat penulis, ada 2 pengertian bebas tidak murni dari 2 sumber:
        Pertama, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, dari sumber doktrin hukum (Yahya Harahap menyebutnya dengan yurisprodensi lama[3]),  yang mengatakan bahwa putusan bebas yang tidak murni adalah putusan yang amarnya bebas tetapi dasar pertimbangan hukumnya adalah dasar pertimbangan putusan lepas dari tuntutan hukum. Misalnya terdakwa diputus bebas dengan alasan, bahwa terdakwa tidak mengerti atau tidak mengetahui  kalau surat yang digunakannya merupakan surat yang palsu, artinya ketiadaan unsur kesalahan. Pertimbangan hukum seperti itu mestinya diikuti amar pelepasan dari tuntutan hukum bukan amar pembebasan. Tapi kalau bebas murni, adalah didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa salah satu atau beberapa unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti. Hal yang disebutkan terakhir inipun sudah sangat jelas dalam putusan MA kasus R.Senson Natalegawa No. 275K/Pid/1983 tersebut di atas tadi.
        Kedua, dari sumber Putusan MA No.  275K/Pid/1983, yang menyatakan: “Apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan, dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pengadilan dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut maupun relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan putusan pengadilan itu”.
            Menurut hemat penulis, bahwa frasa “sebutan tindak pidana  (dalam kalimat “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan...”)  sebagai tidak jelas (obscuur). Oleh sebab itu harus dicari pengertiannya dengan  cara menafsirkan/ditafsir lagi. Untuk itu ada dua cara tafsir yang dapat digunakan terhadap frasa “sebutan tindak pidana”  tersebut, ialah:
         Pertama,  berdasarkan tafsir gramatikal (bahasa) terhadap frasa “sebutan tindak pidana”, adalah diartikan sebagai “kualifikasi tindak pidana” atau nama dari suatu rumusan tindak pidana, misalnya pencurian, pemerasan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya.
           Sehingga jika diterapkan pengertian dari sudut bahasa ini, maka maksud putusan bebas tidak munri adalah putusan yang mempertimbangkan tindak pidana yang sebutannya lain dari tindak pidana yang sebutannya dalam surat dakwaan. Misalnya mempertimbangkan tentang unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang tidak didakwakan, sementara amarnya membebaskan dari dakwaan pasal pencurian yang didakwakan. Atau menjatuhkan amar putusan pidana terhadap sebutan kualifikasi tindak pidana yang tidak sesuai dengan sebutan tindak pidana dalam pertimbangan hukumnya.  Misalnya dakwaan pencurian yang dibebaskan padahal dasar pertimbanga hukumnya mempertimbangkan tentang penggelapan.
         Kedua, berdasarkan penafsiran sistematis (systematische interpretatie),  artinya bahwa untuk menafsirkan kata/frasa “sebutan tindak pidana  dalam kalimat “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan...”  harus didasarkan kalimat sesudahnya. Karena kalimat yang disebutkan sesudahnya menurut ilmu bahasa memberikan keterangan atau penjelasan terhadap kata/isitilah yang disebutkan sebelumnya dalam rangkaian suatu kalimat tertentu. Dalam hal ini adalah pada kalimat “bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan. Anak kalimat inilah sesugguhnya focus dari pengertian anak kalimat “penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.
           Alasannya ialah pengertian kata pembebasan yang digantungkan terhadap syarat “sebutan tindak pidana pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam surat dakwaan di jelaskan artinya pada kalimat sesudahnya, ialah bahwa “bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Pengertian ini adalah sama dengan pengertian perkataan tidak boleh menjatuhkan pidana alias bebas dalam Pasal 183 KUHAP dalam hubungannya dengan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP yang memenuhi 3 syarat tersebut seperti di atas tadi sudah di jelaskan.
           Penafsiran sistematis inilah sesungguhnya yang paling tepat.  Dan inilah yang  harus diterapkan oleh jaksa penuntut umum yang mengajukan kasasi biasa atas putusan pembebasan. Jadi ukurannya lebih jelas, lebih terukur, dari pada umumnya kita dapat membaca dalam memorie  kasasi jaksa penuntut umum, yang susah ditarik simpulannya, karena kabur atau obscuur. Bahkah kadang-kadang kita tidak memperoleh apa-apa dari memorie kasasi terhadap putusan bebas yang dibuat jaksa.
           Baik menggunakan penafsiran berdasarkan bahasa atau penafsiran sistematis, maka harus dicari dan dianalisis, bahwa dalam putusan terakhir yang dikasasi, benar-benar telah salah dalam menerapkan syarat-syarat putusan bebas yang tidak murni sebagaimana yang penulis maksudkan tersebut di atas. Baik syarat-syarat putusan yang tidak murni  menurut doktrin hukum (yurispridensi lama) maupun syarat-syarat putusan yang tidak murnini menurut putusan MA No. 275K/Pid/1983 kasus RS Natalegawa tersebut.
           Penulis acapkali menemukan putusan MA yang mengabulkan kasasi jaksa terhadap putusan pembebasan, yang pertimbangan hukumnya  tidak jelas dan bahkan tidak tepat, atau menurut penelitian penulis justru mengabulkan kasasi jaksa atas putusan bebas yang telah benar, atau benar-benar pembebasan didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa salah satu atau beberapa unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti,  Seperti yang dimaksud putusan kasasi perkara R. S. Natalegawa No. 275K/Pid/1983 tersebut. Misalnya  putusan kasasi terhadap putusan pembebasan yang semula diajukan jaksa No. 1613K/Pid./2010 dalam kasus dugaan penipuan di PN Padang. 
           Amat jelas bahwa syarat-syarat putusan bebas yang tidak murni (baik menurut doktrin maupun yurisprodensi putusan No. 275K/Pid/1983) tersebut ternyata tidak dipertimbangkan secara tepat dan benar oleh MA.  Mestinya putusan MA ini dilawan lagi dengan upaya PK oleh terpidana. Dasarnya dengan menggunakan alasan dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf c yakni “dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata”.
           Putusan PN Padang No. 761/Pid.B/2009/PN.Pdg yang membebaskan terdakwa tersebut bukan didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang didakwakan (in casu bukan didasarkan pada kekeliruan dalam hal menafsirkan unsur tindak pidana penipuan), melainkan didasarkan pada  tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan,  khususnya didasarkan pada pertimbangan tidak terbuktinya unsur tindak pidana penipuan, bisa dibaca dalam:  
-         Halaman 67 sampai dengan halaman 77 semua pertimbangan adalah mengenai 4 unsur penipuan), yang tiap-tiap unsur telah dipertimbangkan yang kemudian menyimpulkan, yaitu:
-         bahwa “maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum telah tidak terbukti” (halaman 72).
-         bahwa unsur menggunakan /memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan telah tidak terbukti (halaman 75).
-         bahwa unsur menggerakkan  orang lain untuk menyerahkan barang kepadanya tidak terbukti (halaman 77),
-         Oleh karena itu pada akhirnya PN Padang menyimpulkan bahwa tindak pidana penipuan tidak terbukti (halaman 77).
               Jadi jelas sekali bahwa putusan pembebasan PN Padang adalah bukan didasarkan pada kekeliruan penafsiran terhadap sebutan tindak pidana, melainkan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang di dakwakan.
Putusan MA No. 275 K/Pid/1983 Tidak Sesuai Lagi Dengan Keadaan Sekarang.
           Bahwa putusan MA No. 275K/Pid/1983 sesungguhnya tidak dapat digunakan lagi pada saat ini dalam hal usaha melawan putusan bebas dengan kasasi biasa. Alasannya, adalah:
a.     Pertimbangan putusan MA No. 275K/Pid/1983 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Putusan tersebut hanya bersifat temporary, provisorisch atau sementara karena kebutuhan waktu itu. Hal ini dapat dibaca pada pertimbangan hukumnya yang menyatakan sebagai berikut:
“menimbang bahwa lagipula mengenai dapat tidaknya terhadap putusan bebas dimintakan banding, masih merupakan masalah hukum yang pada tanggal 10 Pebruari 1982 itu, yakni saat Kitab UU Hukum Acara Pidana baru sekitar satu setengah bulan dinyatakan berlaku, masih belum pasti jawabannya, oleh karena itu dalam masa peralihan yang menimbulkan ketidakpastian hukum  itu, Mahkamah Agung menganggap adil apabila apa yang dilakukan Jaksa, yakni mengajukan keberatan terhadap putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri harus diartikan sebagai ditujukan ke pada Mahkamah Agung.
b.     Hal tersebut juga ternyata dalam angka 19 Lampiran Keputusan Menkeh 10 Desember 1983 No. M.14-PW.07.03/1983 (dikeluarkan  yang sesungguhnya menjadi insiprasi putusan No. 275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983), berbunyi terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas (maksudnya tidak murni) dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurispridensi. 
c.     Bahwa apa yang dimaksud berdasarkan kondisi, adalah kondisi masa peralihan dari HIR ke KUHAP yang baru berlaku belum genap 2 bulan dan kondisi seringnya penyelewengan hukum.[4]  Dan kondisi yang penting, pada saat itu (1981) sebagian besar hakim karier lulusan dari SHD (setingkat Sekolah Menegah) saja, belum banyak yang berpendidikan Fakultas Hukum. Semenatara sekarang, bukan lagi sekedar  berpendidikan Fakultas Hukum (S1), melainkan sudah banyak yang bergelar Master Hukum (S2), atau bahkan banyak pula yang sudah berpendidikan doktor (S3). Bahkan hakim agung yang bergelar guru besar (professor). Kecuali kalau bangsa ini telah menganggap bahwa  keterpurukan penegakan hukum di Negara kita ini, bukan lagi masalah kepintaran atau pendidikan penegak hukumnya, melainkan pada moralnya dan pada kepintarannya dalama hal memutar-mutar hukum.  
         Demikian pendapat  penulis. Tentulah tidak  memiliki  kekuatan apapun pendapat dari seorang akademisi hukum, jika dibandingkan dengan kekuasaan kehakiman yang dipegang pucuknya oleh Mahkamah Agung.   Mudah-mudahan tulisan sederhana ini ada sedikit gunanya terutama bagi mahasiswa hukum, mahasiswa yang saya cintai.
Kampus fh ub, 27 Juni 2012

KEPUSTAKAAN
H. Adami Chazawi, 2010. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
Martiman Prodjohamidjojo, 1984. Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni (arti dan makana), Penerbit Simplex, Jakarta. 
M. Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, penerbit Pustaka Kartini, Jakarata,




[1]  Dikutif dari Martiman Prodjohamidjojo, 1984. Kemerdekaan hakim – Keputusan bebas Murni (arti dan makana), Penerbit Simplex, Jakarata, halaman 73.
[2]  Lihat Buku Kemerdekaan Hakim – Keputusan Bebas Murni (arti dan makna) oleh Martiman Prodjohamidjhojo, SH (1984), halaman 24-25.
[3]  M. Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, penerbit Pustaka Kartini, Jakarta, halaman 1007.
[4]  M. Yahya Harahap, ibid, halaman  1010.

Minggu, 28 September 2014

PEMBUKTIAN TERBALIK TPK MENERIMA GRATIFIKASI




PEMBUKTIAN  TERBALIK TPK MENERIMA GRATIFIKASI

DAFTAR  ISI

I.              I.    Pendahuluan    (2)
II.            II.   Konsepsi Hukum TPK Menerima gratifikasi  (3)
A.   Niat Jahat Untuk memiliki Pemberian  (3)
B.   Perbedaan TPK Menerima Gratifikasi dengan TPK Penyuapan Pasif Lainnya  (5)
C.   Kesengajaan dalam TPK Menerima Gratifikasi  (8)
D.   Ketiadaan Niat Jahat Untuk Memiliki Pemberian Merupakan Alasan Peniadaan Pidana  (10)
III.           III.   Tindak Pidana Korupsi Menerima Gratifikasi  (10)
A.   Unsur-unsur Tindak Pidana Menerima Gratifikasi  (11)
1.    Unsur perbuatannya: menerima  (11)
2.    Unsur objeknya: gratifikasi  (14)
3.    Unsur: berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya  (15)
4.    Unsur: tidak melaporkan penerimaan pemberian pada KPK  (16)
B.   Surat Dakwaan TPK Menerima Gratifikasi (17)
IV.          Pembebanan Pembuktian Terbalik TPK Menerima Gratifikasi   (18)
A.   Kedudukan Pembuktian Terdakwa dan Jaksa PU dalam Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik   (18)
B.   Objek Pembuktian Terbalik TPK Menerima Gratifikasi   (20)
C.   Penerapan Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik pada TPK Menerima Gratiffikasi   (21)
V.           Kesimpulan   (26)
KEPUSTAKAAN  (30).

PEMBUKTIAN TERBALIK TPK MENERIMA GRATIFIKASI*
Adami Chazawi (FH UB)

I.             PENDAHULUAN
              Tentang bagaimana sistem beban pembuktian terbalik pada TPK  menerima gratifikasi beserta cara membuktikannya perlu mengkaji lebih dulu tentang bagaimana sesungguhnya konsepsi gratifikasi dalam UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 (disingkat UUTPK). Tidak cukup dengan sekedar membaca Pasal 12B dan12C UUTPK. Perlu dicari/digali tentang berbagai hal tidak saja yang yang terdapat secara tersurat dalam Pasal 12B dan 12C, tetapi juga yang tersirat/terselubung di dalam rumusan Pasal 12B dan 12C dan pasal-pasal lain yang terkait.  Digali dari apa yang tersirat dan bisa jadi dari sana dapat ditemukan hukumnya.
             Rumusan Pasal 12B ayat (1) memberi kesan seolah-olah yang dibebani pertanggungjawaban pidana adalah si pemberi gratifikasi. Pengertian “dianggap pemberian suap” mengindikasikan bahwa titik perhatian adalah pada si pemberi gratifikasi, tidak sejalan/bertentangan dengan :
-         Logika dari rumusan ayat (1) huruf a dan b., tentang pembebanan pembuktian TPK menerima gratifikasi pada penerima, bukan pada pemberi;
-         Logika dari rumusan Pasal 12C, yang mewajibkan untuk melapor penerimaan adalah pada penerima.
-         Pemberi gratifikasi tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.        
             Demikian juga jika dihubungkan dengan norma Pasal 12C tentang kewajiban hukum penerima untuk melaporkan penerimaan pemberian pada KPK. Di dalam norma ini terkandung makna-makna tertentu yang tersirat, yang juga mempunyai arti dalam hal menerapkan sistem pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi.
             Kebelumjelasan tentang TPK menerima gratifikasi beserta sistem beban pembuktian terbalik yang dirumuskan dalam Pasal 12B dan 12C  dalam hubungannya dengan berbagai pasal mengenai sistem pembuktian dalam hukum pidana korupsi, misalnya Pasal 37 jo 38A, yang menyulitkan praktik untuk menerapkan Pasal 12B tersebut pada berbagai kasus, tidak boleh dijadikan alasan untuk lari dari kenyataan bahwa TPK menerima gratifikasi beserta sistem beban pembuktian terbalik tersebut telah ditetapkan menjadi hukum positif kita. Penegak hukum tidak patut menghindarkan diri dari masalah, namun harus dihadapi dengan memcahkan masalah tersebut.  
           Menerima gratiifikasi sebagai bagian tindak pidana suap pasif, yang berbeda sistem pembuktiannya dengan tindak pidana suap aktif maupu pasif lainnya, sudah ditetapkan dan menjadi hukum positif. Oleh sebab itu janganlah berbagai kelamahan tersebut menjadi alasan untuk menjauhkan praktik hukum pidana korupsi dari Pasal 12B dan Pasal 12C tersebut. Janganlah memberi kesan pada masyarakat bahwa pejabat/lembaga penyidik dan penuntut umum menghindarkan diri dari kesulitan untuk menerapkan Pasal 12B jo 12C tersebut. 
           Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk dapat membantu – menguak berbagai kegelapan yang masih menyelimuti apa yang terkandung sebenarnya di dalam rumusan kedua pasal tersebut.
             Dari konspsi-konsepsi TPK menerima gratifikasi yang ditemukan, diharapkan dapat ditetapkan unsur-unsur yang sesungguhnya  dari TPK menerima gratifikasi.  Unsur-unsur TPK menerima gratifikasi perlu ditetapkan secara pasti dan rinci, karena bagaimana menerapkan sistem beban pembuktian terbalik terhadap TPK menerima gratifikasi dalam UUTPK ditentukan dan tidak bisa dipisahkan dengan unsur-unsur tindak pidananya.  
II.           II.   KONSEPSI HUKUM TPK MENERIMA GRATIFIKASI
A.   NIAT JAHAT UNTUK MEMILIKI PEMBERIAN
            Unsur ini tidak tersurat dalam Pasal 12B, namun sebagai suatu tindak pidana kejahatan dipastikan ada/terdapat secara tersirat/terselubung dalam rumusan,  dan keberadaan atau ketiadaannya dapat menentukan dipidana ataukah tidak si pembuatnya.  Disamping itu juga penting dalam hubungannya dengan  beban pembuktian  terbalik pada TPK menerima gratifikasi. Oleh sebab itu, perlu ditetapkan dan dibicarakan, meskipun merupakan unsur terselubung.  Menjadi bagian yang perlu dibuktikan oleh terdakwa dalam rangka beban pembuktian terbalik  untuk ditetapknnya terdakwa  tidak bersalah. Bagi jaksa penuntut umum tidak ada urusannya dengan unsur ini.  Tetapi bagi terdakwa dirasa penting  dalam hal untuk kepentingan tidak tidak dipidana dirinya sendiri.
            Apakah sesungguhnya yang dimaksud niat jahat itu? Meskipun istilah niat jahat  belum dikenal benar dalam perbendaharan hukum pidana kita,  namun apa  yang dimaksud dengan istilah niat jahat sesungguhnya selalu ada dalam setiap tindak pidana. Kiranya pengertiannya sama dengan istilah yuridis  yang dikenal dalam doktrin  dengan “sifat melawan hukum subjektif, suatu kesadaran perihal perbuatan yang  (hendak)  dilakukan adalah terlarang atau dicela. Suatu kesadaran yang  melawan hukum, merupakan bagian dari unsur kesalahan bentuk kesengajaan. Dicela karena pembuat tidak berhak melakukan perbuatan, atau tidak berhak untuk memperoleh sesuatu dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya atau yang hendak dilakukannya.
           Meskipun terselubung, niat jahat yang selalu harus ada disetiap tindak pidana ini sangatlah  penting dalam hubungannya dengan penjatuhan pidana. Karena menjadi syarat untuk dapat dipersalahkannya perbuatan pada pembuatnya, dan karena itu dapat disebut syarat untuk dapat dipidanya pembuat. Barangkali oleh sebab terselubung itu, yang menyebabkan dalam praktik tidak selalu diperhatikan, sepanjang terdakwa tidak terbukti adanya kelainan jiwa dan keadaan tekanan jiwa yang tidak dapat dilawannya pada saat berbuat.
          Niat jahat sebagai bagian dari kesengajaan ini, kadang-kadang  dicantumkan sebagai  unsur formal dari suatu tindak pidana tertentu.  Misalnya unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum al. dalam Pasal 368, 369, 378 KUHP. Dalam UUTPK terdapat dalam Pasal 3 yakni “tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi” (dengan menyalahgunakan jabatan). Dalam perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan di dalamnya sekaligus sudah terdapat sifat melawan hukum objektif. Sedangkan dalam unsur maksud atau kehendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain tersebut, sekaligus di dalamnya sudah terdapat / mengandung kesadaran bahwa dirinya tidak berhak untuk menguntungkan dirinya sendiri atau diri orang lain dengan melalui perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan tersebut. Itulah maknanya sifat melawan hukum subjektif  yang terkandung di dalam unsur “tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain”  dalam Pasal 3 UUTPK. Arti tujuan disini adalah tujuan dekat, suatu tujuan yang menurut kebiasaan dan akal dapat dicapai dengan perbuatan tertentu, yang in casu  “menyalahgunakan kewenangan jabatan” tersebut.  Bukan tujuan jauh yang berhubungan dengan motif dilakukannya perbuatan.
            Sebaliknya lebih banyak tindak pidana yang unsur sifat melawan hukum subjektif seperti Pasal 368, 369, 378 KUHP atau Pasal  3 UUTPK tidak dicantumkan. Apabila tidak dicantumkan, maka niat jahat ini terdapat secara terselubung. Sebagaimana unsur kesengajaan yang selalu ada dalam setiap tindak pidana – terutama pada kejahatan, baik dicantumkan maupun terselubung dalam unsur perbuatan. Unsur kesengajaan (termasuk niat jahat di dalamnya)  merupakan unsur mutlak meskipun  tidak dicantumkan secara formal dalam rumusan. Jika tidak dicantumkan, tidak perlu dibuktikan secara khusus dalam persidangan oleh jaksa penunut umum. Namun kalau dalam sidang terbukti sebaliknya bahwa niat jahat tidak ada, maka  ketiadaan unsur niat jahat ini menjadi alasan peniadaan kesalahan, yang menyebabkan si pembuat yang tanpa niat jahat dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
          Lain halnya dalam sistem beban pembuktian terbalik, yang focus pembuktiannya oleh terdakwa untuk tidak dijatuhkan pidana,  maka unsur niat jahat menjadi hal yang sama pentingnya untuk dibuktikan  sebaliknya oleh terdakwa, sama seperti membuktikan sebaliknya dari keberadaan unsur-unsur tindak pidana yang tersurat dalam rumusan. Oleh karena itu penting dibicarakan dalam rangka membicarakan pembuktian terbalik.
B.  PERBEDAAN TPK MENERIMA GRATIFIKASI DENGAN TPK PENYUAPAN PASIF LAINNYA.
            Perbedaan TPK menerima gratifikasi dengan bentuk-bentuk penyuapan pasif lainnya, kiranya terdapat dalam unsur niat/kehendak jahat  sebagaimana penulis maksudkan, khususnya terdapat dalam hal  saat atau “tempus”  terbentuknya niat jahat tersebut.   Suatu niat jahat yang ditujukan untuk memiliki pemberian.   
           Bahwa satu ciri tindak pidana korupsi menerima gratifikasi, jika dilihat dari sudut timbulnya niat jahat in casu untuk memiliki pemberian, ialah: apabila  dari keadaan dan sifatnya pemberian yang diterima pegawai negeri, pada  saat menerima belum  terbentuk kesengajaan ic kehendak jahat untuk memiliki  pemberian. Kehendak jahat untuk memiliki pemberian terbentuk setelah menerima pemberian. Kiranya demikianlah suatu  hukum yang dapat ditemukan dalam norma yang mewajibkan pegawai negeri melaporkan pemberian yang diterimanya menurut Pasal 12C UUTPK.
             Sebaliknya kalau pada saat menerima pemberian, niat jahat untuk memiliki pemberian sudah terbentuk, maka yang terjadi adalah salah satu bentuk TPK menerima suap (penyuapan pasif) lainnya. Dari sudut tempus terbentuknya kehendak jahat, ciri penyuapan pasif konvensional adalah kehendak jahat untuk memiliki pemberian sudah terbentuk pada saat pegawai negeri menerima pemberian, atau pada saat menerima pemberian niat jahat yang demikian itu sudah ada. Sebaliknya kalau pada saat menerima pemberian niat jahat itu tidak ada, maka sesungguhnya tidak ada suap aktif bentuk apapun. Pada tahap ini tidak bisa penerima pemberian dipidana, karena tidak ada apa yang penulis sebut dengan niat jahat  itu. Dalam hal ini niat jahat menjadi syarat untuk dapat dipidanya pembuat. Karena niat jahat tidak ada, maka pegawai negeri pada saat (tempus)  menerima pemberian tadi tidak boleh dipidana. Untuk dapat dipidana maka haruslah niat jahat itu diperluas dengan syarat, yang ic  tidak melaporkan pemberian itu selama waktu yang ditentukan. Niat jahat itu terbentuk setelah perbuatan menerima pemberian.
            Tidak dapat diragukan lagi, bahwa ada unsur niat jahat yang terbentuk   setelah  (tempus) menerima pemberian dalam TPK menerima gratifikasi – Pasal 12B. Demikian logika hukum dari ketentuan tentang kewajiban penerima melaporkan penerimaan  dalam Pasal 12C ayat (1) dan (2). Timbul kehendak untuk memiliki itu dianggap  ada setelah menerima sampai pada hari kerja ke tiga puluh, yang bersangkutan tidak melaporkan penerimaan.  Bila pada kesempatan itu melaporkan gratifikasi yang diterima, maka harus dianggap kehendak untuk memiliki pemberian  tidak pernah timbul, baik pada saat maupun setelah menerima pemberian (gratifikasi). Dan itu harus dianggap bukan bentuk penyuapan apapun.   Logika hukum ini dapat dinormatifkan jika diterapkan dalam kasus-kasus yang tepat,  dan menjadi suatu temuan hukum.  
             Adapun kehendak jahat ini diartikan sebagai kehendak untuk memiliki, memanfaatkan, menggunakan, menikmati dsb. atas sesuatu penerimaan untuk dirinya yang disadarinya tidak berhak untuk semua itu (melawan hukum subjektif). 
          Kehendak jahat untuk memiliki pemberian – gratifikasi terbentuk setelah  menerima pemberian, yang ditandai dengan tidak melaporkan pemberian yang diterimanya dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima. Apabila  - karena keadaan dan sifatnya pemberian menyebabkan tidak dapat ditentukan saat terbentuknya kehendak jahat untuk menerima pemberian,  dapat dianggap terbentuk sejak setelah  menerima pemberian sampai 30 hari kerja kemudian. Dasar terbentuknya sikap batin – kehendak memiliki setelah menerima pemberian, adalah merupakan jiwa dari  ketentuan Pasal 12C ayat (1) dan ayat (2).
           Logikanya ialah, jika pada saat menerima pemberian telah terbentuk kehendak untuk memiliki, maka tidak  mungkin dan tidak perlu pegawai negeri – yang menerima pemberian melapor pada KPK. Artinya, kehendak untuk memiliki pemberian haruslah timbul setelah menerima pemberian. Sebab, kalau kehendak  jahat – untuk memiliki pemberian yang bukan menjadi haknya itu telah terbentuk pada saat  menerima pemberian, maka tidak perlu UU memberi kesempatan selama  30 hari kerja  untuk melaporkan penerimaan pada KPK.  Karena sesungguhnya tindak pidana penyuapan pasif disatu pihak yang sekaligus  penyuapan aktif dilain pihak telah terjadi sempurna. Tidak mungkin tindak pidana yang telah terjadi sempurna dapat berubah sifat menjadi perbuatan yang dibenarkan jika si pembuat melaporkan tentang tindak pidana yang telah dilakukannya.
            Sebaliknya apabila kehendak  jahat  - untuk memiliki pemberian seperti itu pada saat menerima tidak ada, dan dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima – tidak melaporkan pemberian yang diterima, maka harus dianggap kehendak jahat untuk memiliki itu terbentuk setelah menerima, dan korupsi menerima gratifikasi terjadi (tempus delicti) pada hari kerja yang  ke-30 sejak menerima pemberian.  Hal yang disebut terakhir ini berlaku, berdasarkan (logische interpretatie)  dari ketentuan Pasal 12C ayat (1), (2) dan (3) tersebut. Berdasarkan penafsiran yang demikian itu kita dapat menemukan hukumnya.
C.    KESENGAJAAN DALAM TPK MENERIMA GRATIFIKASI   
           Kesengajaan dalam TPK menerima gratifikasi - Pasal 12B yang terselubung  yang telah dibicarakan tersebut, terdiri dari tiga sikap batin yang menyatu – tak terpisahkan,  merupakan tiga dalam satu kebulatan (three in one),  namun dapat dibedakan, ialah antara:
·         Kesengajaaan dalam arti  kehendak untuk melakukan perbuatan   menerima  pemberian,  dan
·         Kesengajaan dalam arti kehendak jahat untuk memiliki pemberian, dan 
·         Kesengajaan dalam arti kesadaran bahwa memiliki pemberian merupakan larangan/celaan disebabkan si pembuat tidak berhak memilikinya.
            Bagian kesengajaan yang pertama, adalah kehendak atau keinginan untuk melakukan perbuatan (aktif maupun pasif) menerima pemberian. Perbuatan  aktif menerima misalnya mengulurkan tangan untuk menerima pemberian. Perbuatan pasif  menerima, misalnya tidak melarang/membiarkan si pemberi meletakkan pemberian di atas meja kerjanya. Dengan diletakkannya pemberian di atas meja, maka perbuatan menerima telah selesai. Karena dengan demikian kekuasaan terhadap pemberian telah beralih dari si pemberi pada diri si penerima.   Wujud kelakuan menerima pemberian seperti itu memang dikehendaki si pembuat.
          Keberadaan kesengajaan yang pertama ini mudah dibuktikan, cukup dengan membuktikan keadaan pemberian telah berada dalam kekusaan pegawai negeri yang menerima, atau pemberian telah dimanfaatkan, telah dinikmati. Sebab kalau tidak ada kehendak untuk menerima, maka pada saat (tempus) pemberian diberikan atau beberapa saat setelah itu maka pegawai negeri melakukan penolakan pemberian atau mengembalikannya pada si pemberi.
          Sementara itu, niat jahat untuk memiliki pemberian mengandung bagian unsur kesengajaan kedua dan ketiga. Letak jahatnya dari niat/kehendak terletak pada tidak berhaknya pegawai negeri memiliki pemberian. Kesengajaan yang demikian ini yang menurut penulis sama pengertiannya dengan sifat melawan hukum yang subjektif. Kiranya inilah yang dimaksud Moeljatno dengan “subjektief onrechtselement.*  
          Kesengajaan yang kedua dan ketigalah yang dapat membedakan antara TPK menerima gratifikasi dengan jenis-jenis TPK menerima suap atau penyuapan pasif lainnya, ialah pada saat terbentuknya.  Sedangkan kesengajaan yang pertama tidak, karena pada TPK menerima garitikasi dengan TPK menerima suap lainnya selalu memiliki kesengajaan yang pertama.
           Ketiga-tiga sikap batin si pembuat tersebut harus terdapat pada setiap TPK menerima gratifikasi. Ketiga-tiga sikap batin terselubung tidak perlu dibuktikan secara khusus oleh jaksa penuntut umum, karena dua alasan, ialah:
·         Pertama, karena dalam sistem pembebanan pembuktian pada penuntut umum-pun,  jaksa tidak wajib membuktikan  unsur yang terselubung.  Bagi  terdakwa dalam upaya menggunakan hak pembelaan dirinya, dapat  membuktikan keadaan sebaliknya dari unsur yang terselubung tersebut. Agar tidak dipidananya terdakwa.  Tidak demikian bagi Jaksa penuntut umum, Apalagi dalam hal tindak pidana korupsi menerima gratifikasi yang beban pembuktian diletakkan pada diri terdakwa. Bagi jaksa PU dalam sistem pembuktian terbalik tidak wajib membuktikan unsur-unsur tersurat apalagi yang tersirat. Kalaupun membuktikan juga, maka dianggap kegiatan itu  adalah sebagai menggunakan hak, bukan melaksanakan kewajiban.
·         Kedua,  pembuktian TPK menerima gratifikasi menggunakan sistem pembebanan pembuktian terbalik terhadap keberadaan unsur-unsur tindak pidananya. Apabila terbukti sebaliknya, maka terhadap si pembuat tidak boleh dipidana. Dalam hal membuktikan sebaliknya ini adalah kewajiban terdakwa.  Selain membuktikan sebaliknya dari unsur-unsur yang tersurat juga sama fungsinya dalam hal membuktikan ketiadaan unsur yang terselubung.  Kewajiban terdakwa untuk membuktikan  ketiadaan unsur ditujukan untuk dirinya sendiri agar tidak dijatuhi pidana. Dan untuk tidak dipidananya terdakwa, kewajiban terdakwa untuk membuktikan ketiadaan unsur-unsur TPK menerima gratifikasi tersebut termasuk unsur kesengajaan yang terselubung seperti yang penulis maksudkan tersebut di atas tadi. Akibat hukum dari kemampuan terdakwa membuktikan ketiadaan  unsur-unsur tersurat (formal) sama dan tiada bedanya dengan akibat hukum dari kemampuan terdakwa membuktikan ketiadaan unsur kesengajaan yang terselubung yang salah satu bagiannya adalah niat jahat untuk memiliki pemberian tadi. .
            Sebaliknya apabila kehendak  jahat  - untuk memiliki pemberian seperti itu pada saat menerima tidak ada, dan dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima – tidak melaporkan pemberian yang diterima, maka harus dianggap kehendak jahat untuk memiliki itu terbentuk setelah menerima, dan korupsi menerima gratifikasi dianggap terjadi (tempus delicti) pada hari kerja yang  ke-30 sejak menerima pemberian.  Hal yang disebut terakhir ini berlaku, berdasarkan (logische interpretatie)  dari ketentuan Pasal 12C ayat (1), (2) dan (3) tersebut.
D.  KETIADAAN NIAT JAHAT UNTUK MEMILIKI PEMBERIAN  MERUPAKAN ALASAN PENIADAAN PIDANA
            Apabila kehendak jahat  - untuk memiliki pemberian itu pada saat menerima tidak ada atau belum terbentuk, dan kemudian  masih  dalam waktu  30 hari kerja sejak menerima melaporkan penerimaan pemberian pada KPK, maka harus dianggap kehendak jahat untuk memiliki itu tidak pernah ada, baik pada saat maupun setelah menerima pemberian.  Maka pegawai negeri yang menerima pemberian tidak boleh dituntut pidana. Dalama hal ini perbuatan melaporkan pemberian yang diterima pada KPK tadi berfungsi sebagai alasan peniadaan penunutan pidana.
           Kalau sampai dituntut pidana, dan dilawan oleh terdakwa dengan upaya eksepsi, maka hakim akan menerima eksepsi dengan putusan sela Negara tidak berhak menuntut pidana. Bila eksepsi yang demikian tidak diajukan, dan pokok perkara dakwaan telah diperiksa, maka hakim akan memberikan putusan akhir dengan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, dengan alasan perbuatan menerima terbukti, namun bukan merupakan tindak pidana. Atau dapat dengan menggunakan pertimbangan atas dasar asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).  Bahwa secara objektif perbuatan menerima gratifikasi terbukti namun terdapat unsur peniadaan pidana ic yang menghapuskan kesalahan, ialah ketiadaan niat jahat sebagaimana yang penulis maksudkan tadi.
III.          III.   TINDAK PIDANA KORUPSI  MENERIMA GRATIFIKASI  
  
A.  UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI MENERIMA GRATIFIKASI
           Bahwa yang dibebani pertanggungjawaban pidana TPK  menerima gratifikasi adalah si penerima saja. Harus dianggap merupakan perkecualian dari konsepsi penyuapan yang selalu berpasangan antara penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Perkecualian ini agaknya disebabkan bahwa niat jahat ic kehendak untuk memiliki pemberian lahir/timbul setelah menerima, bukan saat menerima. Sebab kalau sudah timbul  pada saat menerima, maka yang terjadi adalah disatu pihak penyuapan aktif tertentu dan dan dilain pihak penyuapan pasif tertentu yang ada dalam UUTPK.  
         Konsepsi hukum seperti ini meletakkan dasar yang penting dalam hal menentukan suatu pemberian pada pegawai negeri sebagai tindak pidana korupsi penyuapan pasif.
         Agar menjadi suatu bentuk TPK menerima gratifikasi sempurna, maka dari rumusan Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b. jo 12C, perlu ditarik dan ditetapkan unsur-unsurnya.  Unsur-unsur tersebut dapat ditetapkan berdasarkan dan menggali rumusan Pasal 12B dan 12C.  Selain unsur pembuatnya: pegawai negeri atau penyelenggara Negara, dalam TPK menerima gratifikasi – Pasal 12B jo Pasal 12C dipastikan (harus) mengandung 4 unsur, ialah:
1.    Unsur perbuatannya: menerima;
2.    Unsur objeknya: gratifikasi
3.    Unsur: berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.
4.    Unsur: tidak melaporkan penerimaan pemberian pada KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima pemberian.
1.   UNSUR PERBUATAN:  MENERIMA
          Setiap tindak pidana selalu terdapat perbuatan yang dilarang. Perbuatan merupakan unsur mutlak yang harus dicantumkan dalam setiap rumusan tindak pidana. Kalau ada tindak pidana UU tanpa mencantumkan unsur perbuatan yang dilarang, keadaan itu harus dianggap sebagai perkecualian, seperti pada   penganiayaan. Demikian juga pada TPK menerima gratifikas (Pasal 12B) perbuatan menerima tidak secara tegas dicantumkan.  Seperti merumuskan penganiayaan (Pasal 351 KUHP), merumuskan TPK menerima gratifikasi  – Pasal 12B harus dianggap sebagai perkecualian.
           Unsur perbuatan menerima ini  dalam TPK menerima gratifikasi harus ada dan terkandung/tersirat dan dapat disimpulkan dari:
·        Pertama, bunyi kalimat pada permulaan rumusan Pasal 12B ayat (1) yang berbunyi “ Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, …”   Frasa/ perkataan “kepada pegawai negeri” mengandung pengertian bahwa pegawai negerilah yang menerima pemberian itu. Berarti disana terdapat perbuatan yang dilarang ialah “menerima” pemberian (gratifikasi).
·        Kedua, pada kalimat selebihnya (huruf a dan huruf b) – mengenai sistem beban pembuktiannya  yang menunjukkan bahwa si penerima gratifikasilah yang dipersalahkan dan dibebani pertanggungjawaban pidana. Pada kalimat ini dapat dipastikan bahwa perbuatan yang di larang dalam Pasal 12B tersebut adalah perbuatan menerima. Serta subjek hukum yang dituju oleh pemberian  adalah orang (pegawai negeri)  yang menerima. Pegawai negeri yang menerima inilah yang dibebani pertanggungjawaban pidana, dan bukan subjek hukum yang memberi.
             Dalam putusan Pengadilan TPK pada pengadilan Jakarta Pusat No. 34/Pid.B/TPK/2011/PN-Jkt.Pst. perkara Gayus HP Tambunan, majelis hakim menarik dan menetapkan unsur perbuatan menerima (gratifikasi) ini dari kalimat  penjelasan Pasal 12B maupun  dari frasa “setiap gratifikasi” dalam Pasal 12B ayat (1).* Unsur ini memang tidak tersurat, tetapi tersirat  dari kalimat baik dalam Pasal 12 ayat (1) maupun pada penjelasannya. Dalam hal ini dapat dibandingkan dengan adanya perbuatan menganiaya (mishandelen) dari kualifikasi “penganiayaan” (mishandeling) dalam Pasal 351 KUHP.
          Meskipun tersirat, namun dalam rangka pembuktian maka perbuatan menerima harus dianggap suatu unsur yang tersurat. Tidak ada bedanya dengan unsur perbuatan menganiaya (mishandelen)  dalam kualifikasi penganiayaan (mishandeling)  dalam Pasal 351 KUHP. Oleh karena itu dalam sistem beban pembuktian terbalik, adalah termasuk membuktiakan ketiadaan perbuatan menerima (pemberian) tersebut. Sebaliknya Jaksa penuntut umum dalam menggunakan haknya membuktikan keberadaan unsur perbuatan menerima. .
          Pada dasarnya yang harus dibuktikan itu adalah tentang keberdaaan suatu keadaan. Suatu perbuatan (aktif)  adalah merupakan suatu keadaan, oleh karena itu yang harus dibuktikan. Sedangkan tidak berbuat apapun sebagai suatu ketiadaan tidak perlu dibuktikan. Tetapi dalam sistem beban pembuktian terbalik, bagi terdakwa justru harus membuktikan tidak berbuat ,menerima, yang sesungguhnya tidak berbuat itu tidak perlu dibuktikan. Namun oleh karena menjadi kewajiban hukumnya, maka yang harus dibuktikan tidak menerima tersebut, harus dikaitkan/dihubungkannya dengan berbagai keadaaan ic tempus delicti dan locus delicti dan objek (objek) gratifikasi yang yang diterima terdakwa, yang telah disebutkan dalam surat dakwaan. Tentu dalam surat dakwaan telah disebut  Keadaan-keadaan itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa.
           Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa di dalam perbuatan menerima inilah terdapat kesengajaan yang mengandung  tiga bagian: (1) merupakan kehendak untuk mewujudkan perbuatan menerima, (2) merupakan kehendak untuk memiliki pemberian, dan (3) merupakan kesadaran bahwa memiliki pemberian sebagai melawan hukum, karena tidak berhak memiliki pemberian.  Jaksa penuntut umum tidak wajib membuktikan unsur ini. Sebaliknya untuk tidak dipidananya terdakwa, terdakwa wajib membuktikan ketiadaan unsur  kesengajaan seperti ini.
           Dalam sistem pembebanan terbailk, yang pada dasarnya kewajiban pembuktian terdakwa itu ditujukan untuk tidak memidana terdakwa. Kewajiban terdakwa untuk membuktikan unsur yang tersurat dan yang tersirat menjadi sama pentingnya. Boleh dikata tidak ada bedanya,  hasil pembuktiannya akan menghasilkan akibat hukum yang sama.
            Unsur kesengajaan yang bermuka tiga sebagaimana yang penulis maksudkan tersebut di atas, melekat dan berhubungan dengan  perbuatan menerima dan objek gratifikasi.  Oleh karena itu juga, dalam hal membuktikan ketiadaan unsur menerima ini, termasuk di dalamnya membuktikan ketiadaan salah satu diantara tiga kesengajaan yang penulis maksudkan tersebut.         
2..  OBJEK TINDAK PIDANA: GRATIFIKASI
          Setiap tindak pidana pasti ada unsur objeknya.  Pada umumnya objek yang disebutkan dalam rumusan tindak pidana itu disebutkan setelah penyebutan perbuatan.  Artinya objek tindak pidana sekaligus menjadi objek perbuatan. Hanya sebagian kecil saja  tindak pidana yang membedakan antara objek tindak pidana dan objek perbuatan. Misalnya penipuan (Pasal 378 KUHP),  objek perbuatan menggerakkan adalah orang dan objek tindak pidananya adalah barang, membuat utang dan menghapuskan piutang.
           Meskipun tidak lazim merumuskan suatu tindak pidana seperti Pasal 12B, namun tidak  terdapat alasan yang cukup untuk mengatakan Pasal 12B bukan rumusan tindak pidana. Meskipun tidak tegas mana objek tindak pidananya, namun objek itu ada, yaitu terdapat  dari anak kalimat “Setiap gratifikasi kepada pegawai  negeri … dianggap pemberian suap, ...”  Kalimat itu mengandung objek ialah gratifikasi sekaligus perbuatan menerima yang dilarang.
           Tidak ada kesulitan memberikan isi –pengertian dari objek gratifikasi ini. Dalam penjelasan Pasal 12B  ayat (1) telah diberikan penafsiran otentik tentang pengertiannya. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas lainnya”.
           Isi – pengertian gratifikasi yang sangat luas dan dengan sifatnya terbuka. Perkataan dan lain-lain, menunjukkan bahwa isi pengertian gratifikasi bisa diisi oleh praktik. Penyidik dan penuntut umum dapat mengisinya dengan jenis-jenis  pemberian lainnya, dan hakim akan memutuskannya.
          Istilah/perkataan “pemberian” yang digunakan Pasal 123B sangat tepat dan sesuai dengan objek semua jenis penyuapan menurut rumusan aslinya dengan menggunakan kata “gift” yang akar katanya adalah “geven” (memberi), suatu kata kerja. Kata kerja memberi (geven)  berubah sifat menjadi kata benda yang disebut “gift” , yang seharusnya diterjemahkan dengan pemberian, bukan hadiah, apalagi dengan kata sesuatu, seperti memberikan sesuatu pada Pasal 5 ayat (1) UUTPK..
         Mengggunakan kata hadiah untuk objek seperti Pasal 11 dan 13 dapat menimbulkan masalah dalam  praktik bagi penegak hukum yang tidak terjaga integritasnya. Seperti  pada  kasus dugaan penyuapan yang pernah terjadi tahun 2010 di wilayah kerja Polda Kalimantan Selatan yang untuk mengelabui hukum dengan membuat kuitansi/tanda terima uang senilai Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang seolah-olah pemberian pada pegawai negeri itu merupakan pinjaman uang. Oleh si jaksa penuntut umum, dugaan suap yang jumlahnya miliaran rupiah itu dihentikan penuntutannya karena dianggap perdata, berupa pinjaman uang saja.*.  
          Dengan menyebut gratifikasi sebagai bentuk pemberian dalam Pasal 12B maka pemberian pinjaman uang pada pegawai negeri (meskipun berbunga)  dapat masuk gratifikasi, asalkan causa pemberian pinjaman uang itu ada hubungannya dengan jabatan  pegawai negeri yang menerima.
3.   UNSUR  BERHUBUNGAN DENGAN JABATANNYA DAN YANG BERLAWANAN DENGAN KEWAJIBAN  ATAU TUGASNYA.
            Kata akhiran “nya”  pada kata “jabatannya”  dan kata “tugasnya”,  menunjuk pada kedudukan subjek hukum yang menerima ic pegawai negeri atau penyelenggara Negara - subjek hukum yang menerima pemberian. Unsur ini bersifat objektif.     Tidak  ada kesukaran membuktikannya, baik sebaliknya  oleh terdakwa maupun keberadaannya oleh jaksa penuntut umum. Pembuktian perihal kedudukan si pembuat tersebut  cukup dengan menggunakan bantuan hukum tata usaha Negara, dan pada kenyataan pekerjaan sehari-harinya. Keadaan itulah yang dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa. Sebaliknya jaksa penuntut umum membuktikan keberadaannya.
            Dalam Pasal 12 huruf a juga terdapat unsur nomor 3 tersebut. Akan tetapi berbeda fungsi. Dalam Pasal 12 huruf a unsur nomor 3 tersebut bersifat subjektif, karena dituju oleh unsur (kesengajaan sebagai) maksud untuk menggerakkan pegawai negeri yang menerima pemberian agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.  Sementara Pada TPK menerima gratifikasi Pasal 12B  unsur ini bersifat objektif.  
         Dalam unsur ini mengandung  tiga unsur, ialah:
a.    Kualitas subjek hukum yang menerima pemberian haruslah pegawai negeri atau penyelenggara Negara;
b.    Pegawai negeri atau penyelenggara Negara haruslah memiliki kewenangan jabatan pada saat melakukan perbuatan menerima. Untuk memiliki kewenangan jabatan, mereka haruslah memiliki jabatan.
c.    Bahwa pemberian yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut haruslah ada hubungannya dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
           Dalam penerapan sistem beban pembuktian terbalik tindak pidana Pasal 12B,, terdakwalah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan sebaliknya dari ketiga-tiganya, juga secara objektif. Artinya terdakwa dibebani kewajiban hukum  untuk membuktikan bahwa:
a.    Terdakwa bukanlah berkualitas pegawai negeri atau penyelenggara, atau dapat juga membuktikan bahwa pemberian yang diterimanya tidak ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Misalnya saja berhubungan dengan transaksi keperdataan dsb.: atau
b.    Membuktikan bahwa pada saat menerima pemberian terdakwa tidak memiliki jabatan apapun; atau tidak mempunyai kewenangan lagi, atau
c.    Membuktikan bahwa pemberian yang diterima pegawai negeri secara objektif tidak ada hubungannya dengan kewenangan jabatannya dan tidak berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya.     
                
4.  UNSUR TIDAK MELAPORKAN PENERIMAAN PEMBERIAN PADA KPK
           Boleh jadi seorang pegawai negeri pada saat menerima pemberian yang berhubungan dengan jabatannya tidak mempunyai niat jahat untuk memiliki, menikmati atau memanfaatkan pemberian untuk kepentingan pribadinya. Namun oleh sebab selama waktu 30 hari kerja sejak menerima pemberian, yang bersangkutan tidak melaporkan pemberian itu pada KPK, maka kehendak jahat itu (dianggap) lahir/terbit pada hari setelah menerima sampai pada hari kerja ketiga puluh. Maka terhadapnya dianggap menerima suap gratifikasi menurut Pasal 12B dan terwujud pada hari ke-30 hari kerja sejak menerima pemberian.
           Jaksa penuntut umum menyatakan dalam surat dakwaan bahwa sejak menerima pemberian sampai ke-30 hari kerja, pegawai negeri yang bersangkutan tidak melaporkan penerimaan pemberian tersebut pada KPK. Pernyataan demikian dalam surat dakwaan - sudah cukup. Unsur ini tidak wajib dibuktikan oleh  Jaksa Penuntut Umum. Selain karena sifatnya perbuatan negatif tidak perlu dibuktikan fisiknya – karena tidak berbuat, juga dalam hal sistem beban pembuktian terbalik mengenai unsur-unsur tindak pidana pada TPK menerima gratifikasi kewajiban ini di bebankan pada terdakwa membuktikan sebaliknya agar dirinya tidak dipidana.

 B.   SURAT DAKWAAN TPK MENERIMA GRATIFIKASI
              TPK menerima gratifikasi sebagai bagian dari penyuapan pasif, menurut UUTPK  merupakan tindak pidana berat atau lebih berat dari TPK menerima suap Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 11. Sifat jahatnya TPK menerima gratifikasi sama dengan  Pasal 12 huruf a dan b. Karena diancam dengan pidana yang sama: penjara seumur hidup atau sementara maksimum 20 tahun dan minimum  4 tahun. Tentulah ada sesuatu yang tersirat di dalamnya dengan memberikan ancaman pidana yang lebih berat itu.  
           Oleh karena itu berdasarkan kebiasaan, Jaksa Penuntut Umum wajib menempatkan dakwaan terhadap TPK mnerima gratifikasi – Pasal 12B sebagai dakwaan primair. Sementara pasal-pasal penyuapan aktif lainnya yang bersesuaian didakwakan pada dakwaan berikutnya, baik pada dakwaan bentuk primair-subsidiar (berlapis/bertingkat) maupun bentuk alternatif. Maksudnya adalah sebagai cadangan, apabila dalam sidang pengadilan, karena ditemukannya keadaan-keadaan tertentu  yang membuktikan bahwa niat jahat  untuk memiliki pemberian itu sudah terbentuk sebelum menerima atau setidak-tidaknya pada saat menerima pemberian.
          Dengan cara membuat dakwaan yang demikian, diharapkan bahwa apabila niat jahat untuk memiliki itu terbukti terbentuk pada saat menerima pemberian, maka yang terjadi bukan TPK menerima gratifikasi, maka dengan demikian akan terbukti bentuk penyuapan fasif tertentu lainnya. 
          Tidak tepat apabila dibuat surat dakwaan bentuk kumulatif antara TPK menerima gratifikasi – Pasal 12B dengan TPK penyuapan pasif lainnya. Alasannya adalah, antara TPK menerima gratiifikasi dengan bentuk-bentuk TPK suap pasif lainnya tidak mungkin bisa terjadi secara kumulatif (perbarengan perbuatan – Pasal 65 KUHP) berhubung karena adanya unsur  (terselubung) saat (tempus delicti)  terbentuknya kehendak jahat untuk memiliki pemberian. Tidak mungkin disatu pihak pada saat menerima pemberian kehendak jahat itu sudah terbentuk dan yang sekaligus dipihak lain terbentuk pula kehendak jahat untuk memiliki pemberian setelah menerima pemberian.

IV.           VI.   PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK TINDAK PIDANA KORUPSI MENERIMA GRATIFIKASI

A.    KEDUDUKAN PEMBUKTIAN TERDAKWA DAN JAKSA PU  DALAM SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK
            Dalam kedudukannya sebagai penuntut umum yang mendakwa dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik (Pasal 12B jo 12C)  pada dasarnya jaksa tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan semua unsur TPK menerima gratifikasi, seperti perbuatan menerima  dan objek gratifikfikasi, dll..  Apabila jaksa penuntut umum membuktikan juga keberadaan semua unsur ,  maka harus dianggap jaksa tersebut menggunakan haknya sebagai penuntut umum, bukan sebagai melaksanakan kewajiban hukumnya.
            Oleh karena itu hakim dibebani kewajiban hukum untuk  terlebih dulu memberikan kesempatan seluas-luasnya pada terdakwa melaksanakan kewajiban hukumnya untuk membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, termasuk unsur niat jahat untuk memiliki pemberian yang terselubung seperti yang penulis maksudkan tadi.  Kewajiban hukum seperti ini sama dengan kewajiban hukum hakim yang memeriksa perkara perdata atas gugatan. Demikian juga dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik, hakim dibebani kewajiban hukum untuk meminta pada terdakwa lebih dahulu melaksanakan kewajibannya untuk membuktikan tentang ketiadaan unsur-unsur TPK menerima gratifikasi.
           Sebagai konsekwensi dari kewajiban hakim seperti itu, maka disatu pihak bagi terdakwa – Ia mempunyai hak untuk diberi kesempatan terlebih dulu untuk melaksanakan kewajibannya membuktikan sebaliknya atau membuktikan  ketiadaan dari unsur-unsur tindak pidana. Sebaliknya jaksa penuntut umum  untuk sementara wajib berlaku pasif terlibih dahulu dalam arti wajib menerima pelaksanaan hak terdakwa tersebut.
           Kemudian - juga hakim dibebani kewajiban hukum untuk memberikan hak pada jaksa penuntut untuk membuktikan keberadaan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Hak jaksa penuntut umum ini boleh digunakan dan boleh tidak.  Namun hakim wajib memberikan hak itu. Tidak digunakannya hak ini oleh jaksa penuntut umum, tidak menyebabkan putusan menjadi cacat. Tetapi kalau hakim tidak memberirkan hak ini, putusan menjadi cacad hukum.
           Sebagai konskwensi dari pemberian hak mendahului membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana, maka dalam hal mempertimbangkan hasil pembuktian dalam sistem  pembebanan terbalik, mestinya pula harus mempertimbangkan terlebih dulu hasil pembuktian terdakwa mengenai satu persatu unsur tindak pidananya.  Barulah kemudian mempertimbangkan atau menghubungkannya dengan hasil pembuktian jaksa penuntut umum.
            Oleh sebab itu, dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik, fungsi hasil pembuktian oleh jaksa penuntut umum adalah:
a.    Apabila menurut majelis hakim pembuktian terdakwa tidak berhasil membuktikan ketiadaan unsur –unsur tindak pidananya, sementara itu jaksa penuntut umum berhasil membuktikan keberadaan unsur-unsur TPK menerima gratifikasi, maka hasil pembuktian jaksa penuntut umum tersebut berfungsi sebagai memperkuat terhadap ketidakberhasilan terdakwa membuktikan ketidaan unsur-unsur tersebut. Jiwa dari fungsi hasil pembuktian jaksa penuntut umum seperti ini juga terdapat di dalam norma Pasal 37A ayat (2) UUTPK. Meskipun objek pembuktiannya berbeda namun jiwanya sama.
b.   Apabila manurut majelis hakim pembuktian terdakwa berhasil membuktkan ketiadaan salah satu (saja) dari unsur-unsur TPK menerima gratifikasi, maka bagaimanapun hasil pembuktian jaksa penuntut umum menjadi tidak penting lagi. Inilah sebagai konskewensi logis yang harus diterima sebagai suatu kenyatan yang tidak bisa ditolak dengan ditetapkan dan diberlakukannya sistem beban pembuktian terbalik dalam hukum positif. Dalam keadaan keberhasilan terdakwa membuktikan ketiadaan unsur tindak pidana, maka fungsi hasil pembutian jaksa penuntut umum, adalah sebagai bahan/objek yang oleh hakim (harus) dipertimbangkan sebagai tidak terbukti berdasarkan hasil pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa.
           Dalam keadaan kedua, keberhasilan terdakwa membuktikan ketiadaan salah satu  unsur TPK menerima gratifikasi tersebut harus didahulukan dan diutamakan. Adalah tidak logis, apabila disatu pihak terdakwa dipertimbangkan terlebih dulu oleh majelis sebagai dapat membuktikan ketiadaan salah satu unsur, sementara kemudian dipihak lain juga majelis mempertimbangkan jaksa penuntut umum juga berhasil membuktikan semua ansur tindak pidananya. 

B.    OBJEK PEMBUKTIAN TERBALIK TPK MENERIMA  GRATIFIKASI
            Dilihat dari sudut objek pembuktian ic gratifikasi, sistem pembebanan pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi ada 2 kemungkinan, ialah:
a.    Pertama, terhadap penerimaan gratifikasi yang terbatas, maka yang dianggap merupakan kewajiban JPU membuktikan seperti penjelasan pemerintah pada saat perumusan RUU Revisi UU No. 31 Tahun 1999, diterapkan hanyalah semata-mata adanya penerimaan yang terbatas ini. Sedangkan bagi terdakwa merupakan kewajiban untuk membuktikan sebaliknya. Membuktikan sebaliknya adalah membuktikan hal penerimaan itu tidak memenuhi sebagian atau seluruh unsur TPK menerima gratifikasi, termasuk membuktikan bahwa penerimaan itu tidak ada hubungannya dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya.
b.    Kedua, terhadap objek harta benda terdakwa yang tidak sesuai dengan sumber pendapatannya, yang  dianggap bersumber juga pada penerimaan yang tidak sah. JPU hanya wajib meneukannya dan menyebutnya dalam surat dakwaan. Setelah kesempatan membuktikan sebaliknya oleh terdakwa, barulah jaksa penuntut  umum membuktikan tentang keberadaan seluruh harta benda terdakwa, tidak wajib namun merupakan hak membuktikan hal penerimaannya baik asalnya, jumlahnya maupun waktu penerimaaannya. Mengenai harta benda yang demikian ini,  terdakwa  wajib membuktikan sebaliknya atau bukan berasal dari TPK menerima gratifikasi.
            Kiranya untuk pemberian  yang terbatas, tidak merupakan hal yang perlu dibicarakan terlalu jauh.  Dengan berpedoman pada empat unsur TPK menerima gratifikasi kiranya tidak banyak mengalami hambatan untuk menerapkan sistem pembebanan pembuktian terbalik.  Berbeda halnya dengan objek pembuktian mengenai penerimaan pemberian  yang tidak terbatas, yang diketahui dari indikator keberadaan harta benda yang tidak sesuai dengan sumber pendapatannya yang sah.  Misalnya pada kasus Korrlantas, Gayus HP Tambunan atau Widya Widyatmika.
           Bagi penerimaan yang tidak terbatas, yang dapat dilihat dari indikator jumlah harta kekayaan terdakwa yang tidak sesuai/seimbang  dengan sumber pendapatannya yang sah (illicit enrichment) masih perlu dibicarakan.  

C.   PENERAPAN SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TPK MENERIMA GRATIFIKASI
         Pembebanan pembuktian terbalik berpijak pada asas “praduga bersalah”  (presumption of guilty)  kebalikan dari sistem  beban pembuktian pada penuntut umum  (seperti KUHAP) yang berpijak pada asas praduga tidak bersalah (presumtion of innocence). Pada asas praduga bersalah, jaksa mengajukan terdakwa ke sidang pengadilan telah menang satu langkah, ialah tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Karena dengan mengajukan dakwaannya tersebut, terdakwa dianggap telah bersalah. Oleh karena itu pihak yang berkewajiban membuktikan terdakwa tidak bersalah adalah dipihak terdakwa.
           Pasal 12B  UUTPK menetapkan pembebanan terbalik pada tindak pidana TPK menerima gratifikasi  yang nilai penerimaan – pemberiannya  Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)  atau lebih.
           Sistem pembenanan pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi tidak lepas dari pengertian yuridis TPK menerima gratifikasi itu sendiri, karena kewajiban terdakwa tersebut adalah membuktikan ketiadaan  unsur-unsur tindak pidananya. Empat unsur pokok TPK menerima gratifikasi yang telah disebutkan sebelumnya, merupakan kewajiban terdakwa untuk membuktikan sebaliknya, atau membuktikan ketiadaan semua atau cukup salah satu unsur tersebut. Apabila terdakwa tidak berhasil, maka harus dianggap terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi menerima gratifikasi. Demikian sesungguhnya prinsip sistem pembebanan pembuktian terbalik.
           Sedangkan jaksa penuntut umum dalam hal membuktikan terdapatnya/terbuktinya ke-empat unsur tersebut harus dianggap bukan melaksanakan kewajibannya, namun melaksanakan haknya.  Dari kedua hasil pembuktian oleh terdakwa disatu pihak dan dilain pihak oleh jaksa penuntut umum itu, hakim melakukan pembuktian dengan menilai sendiri atas kedua hasil pembuktian itu dalam pertimbangan hukumnya.
          Konspsi sistem pembebanan pembuktian terbalik sebagaimana Penjelasan Pemerintah pada saat Revisi UU No. 31/1999” tentang kewajiban JPU hanya membuktikan satu bagian inti delik , yaitu “penerimaan uang”. Sedangkan bagian inti delik lainnya dibuktikan sebaliknya oleh penerima gratifikasi. Konsepsi tersebut belum cukup, masih mengandung beberapa kelemahan, al. ialah:
-         Tidak/belum dapat diterapkan pada kekayaan terdakwa yang melimpah yang tidak sesuai dengan sumber pendapatannya (illicit enrichtment). JPU mendapat kesukaran membuktikan tentang penerimaan yang berkali-kali yang menghasilkan kekayaan tersebut dan dalam jangka waktu yang lama, baik waktunya maupun jumlahnya.
-         Padahal, kalau didasarkan pada maksud dibentuknya TPK menerima gratifikasi ini ditujukan untuk memberantas semua bentuk-bentuk pemberian kepada pegawai negeri yang dianggap sudah membudaya.
-         Tujuan diadakannya sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam TPK menerima gratifikasi pada dasarnya untuk mengatasi kesulitan jaksa penuntut umum membuktian pada kasus korupsi  menerima suap yang disebut  gratifikasi itu sendiri.
          Penerimaan yang dimaksud penjelasan pemerintah tersebut  digunakan oleh jaksa penuntut umum sebagai dasar utama/pertama dalam mendakwakan TPK menerima gratifikasi Pasal 12B. Tanpa ada dasar penerimaan – pemberian apa-apa, tidak mungkin bisa membawa kasus Pasal 12B dengan mendakwakan TPK menerima gratifikasi. Namun tidak berarti objek penerimaan yang tidak terbatas yang menghasilkan harta kekayaan terdakwa yang tidak seimbang dengan sumber pendapatannya yang sah – tidak boleh didakwakan.  Justru pada objek yang kedua inilah tujuan dan kegunaan dibentuknya sistem beban pembuktian terbalik dapat mencapai hasil maksimal.
           Untuk penerimaan yang diduga lainnya yang menghasilkan kekayaan yang tidak seimbang dengan sumber pendapatannya, juga dapat didakwakan cukup dengan menunjuk jumlah kekayaannya yang ditemukan yang sekaligus membandingkan dengan menunjuk /menyebutkan sumber-sumber pendapatan yang sah.  Pembuktian selanjutnya tentang harta tersebut tidak ada hubungannya dengan penerimaan (gratifikasi) dibebakan kepada terdakwa.  Cara membuktikan sebaliknya ini, cukup terdakwa membuktikan dari mana asalnya ic sumbernya yang halal sebagian atau seluruh dari harta kekayaan yang disebutkan dalam surat dakwaan. Hasil pembuktian terdakwa itu akan dipertimbangkan hakim dengan menghubungkan dengan hasil pembuktian jaksa penuntut umum untuk menarik kesimpulan tentang terbukti ataukah tidak harta benda tersebut bersumber dari sumber penghasilan yang sah ataukah haram.           
            Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan sebagian atau seluruhnya berasal dari sumber pendapatan yang sah,  maka dianggap bahwa harta kekayaan itu adalah berasal dari menerima pemberian (gratifikasi). Dalam hal ini tidak perlu jaksa penuntut umum repot-repot membuktikan asal penerimaannya  serta tempus dan locus penerimaannya secara rinci.  Karena dalam sistem pembeban terbalik jaksa tidak dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan keberadaan semua unsur serta keadaan-keadaan sekitarnya dari  tindak pidana yang didakwakan. Demikianlah sesungguhnya sistem pembebanan terbalik pada TPK menerim gratifikasi. Apabila tidak menerapkan hukum pembuktian yang demikian, maka pembutktian itu bukan sistem pembebanan terbalik, melainkan sistem biasa.
          Dengan tidak bersesuaian itu dianggap harta tersebut juga merupakan hasil dari penerimaan – pemberian. Kiranya demikian maksud dari dirumuskannya Pasal 38B ayat (2), meskipun Pasal 12B tidak disebut dalam Pasal 38 ayat (1). Namun jiwa dari norma Pasal  38B ayat (2) sebagai sistem beban pembuktian terbalik (mengenai harta benda terdakwa) adalah sama dengan jiwa sistem pembebanan pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi  Pasal 12B  ayat (1) huruf a.   Dalam jiwa norma terdapat maksud / tujuan dari dibentuknya norma tersebut.      
           Konsepsi beban pembuktian terbalik terhadap unsur penerimaan pemberian (menerima gratifikasi) seperti tersebut di atas rupanya  sudah diterapkan pada kasus Sdr. Gayus Tambunan, meskipun penerapannya tidak sama persis sebagaimana yang penulis lukiskan tersebut di atas. Namun jiwanya dan substansinya sama.  
          Terbukti majelis dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa  meskipun ketidakberhasilan JPU membuktikan penerimaan gratifikasi dari Alif Kuncoro dan Denny Adrianz. Namun keadaan itu tidak  mengurangi peran terdakwa atas telah terbuktinya menerima gratifikasi, karena telah terbuktinya menerima gratifikasi, karena telah terbukti secara nyata dari saksi Roberto Santonius dan tentunya dari wajib pajak lainnya yang telah membawa terdakwa  dapat mengumpulkan uang sejumlah US$ 659,800 (enam juta lima ratus sembilan ribu delapan ratus dolar Amerika) dan SGD 9.680,000 (sembilan juta enam ratus delapan puluh ribu dolar Singapura) tersebut di atas yang oleh terdakwa tidak dapat dibuktikan asal usulnya dari sumber yang sesuai dengan ketentuan undang-undang.*
           Dari pertimbangan hukum majelis tersebut, kiranya dapat ditarik temuan hukumnya al., ialah:
·         Pertama, mengenai pengutamaan penilaian hasil pembuktian. Bahwa yang diutamakan dalam pertimbangan hukum dalam perkara TPK menerima gratifikasi - Pasal 12B adalah tentang hasil pembuktian terdakwa. Pengutamaan pembuktian adalah terhadap berhasil ataukah tidak berhasil terdakwa melaksanakan kewajibannya dalam hal membuktikan sebaliknya dari unsur perbuatan menerima gratiifikasi yang menjadi objek pembuktian terbalik.
·         Kedua, mengenai fungsi ketidakberhasilan terdakwa membuktikan sebaliknya. Bahwa keberhasilan jaksa penuntut umum menggunakan haknya – membuktikan unsur perbuatan menerima sebagian saja dari penerimaan yang didakwakan bukan sebagai dasar  untuk menyatakan bahwa penerimaan lainnya yang didakwakan tidak terbukti, sepanjang terdakwa memang tidak berhasil membuktikan sebaliknya mengenai objek / harta penerimaan tersebut.
            Dari  temuan hukum kedua menunjukkan bahwa belum seratus persen hakim melaksanakan kewajiban hukumnya untuk mendahulukan - mempertimbangkan hasil pembuktian terdakwa, meskipun fungsi hasil pembuktian terdakwa menjadi perhatian yang utama untuk menyatakan terbukti tidaknya objek  yang dibuktikan.
·         Ketiga, mengenai hubungan pembuktian jaksa dengan pembuktian terdakwa.  Bahwa berhasil ataukah tidak  jaksa penuntut umum menggunakan haknya dalam membuktikan keberadaaan unsur perbuatan menerima gratifikasi tidak memengaruhi terhadap  ketidakberhasilan terdakwa membuktikan sebaliknya.  Temuan hukum ketiga adalah sebagai akibat dari temuan hukum kedua.
·         Keempat mengenai dasar menarik dan menetapkan amar putusan akhir. Bahwa dalam putusan akhir  pembebasan atau pemidanaan   karena TPK menerima gratifikas, tidak ditentukan oleh keberhasilan jaksa penuntut umum menggunakan haknya – membuktikan unsur perbuatan menerima gratifikasi (termasuk sebagian dari penerimaan) melainkan bergantung dari berhasil ataukah tidak berhasil terdakwa melaksanakan kewajibannya membuktikan sebaliknya sebagian atau seluruh unsur-unsur penerimaan pemberian.
         Dari pertimbangan hukum majelis tersebut, dapat juga ditarik kesimpulan secara umum  bahwa untuk menyatakan terbukti ataukah tidak terbukti penerimaan pemberian dalam sistem beban pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi, diletakkan pada keberhasilan atau tidaknya terdakwa membuktikan sebaliknya dari keberadaan objek yang dibuktikan, tidak diletakkan pada hasil pembuktian jaksa penuntut umum.
          Mengenai temuan hukum yang kedua, meskipun tidak sama persis dengan pendapat penulis yang sudah dikemukakan sebelumnya. Namun jiwa mendahulukan kewajiban terdakwa membuktikan sebaliknya dan peran serta fungsi hasil akhir pembuktiannya terhadap terbukti ataukah tidak objek yang dibuktikan  sudah diperoleh dari pertimbangan hukum putusan tersebut.  Namun kewajiban mendahulukan untuk dipertimbangkan pembuktian terdakwa perlu ditegaskan lagi. Bahwa yang pertama harus dipertimbangkan adalah hasil pembuktian terbalik oleh terdakwa, barulah kemudian (jika perlu) menghubungkannya  dengan hasil pembuktian jaksa penuntut umum, barulah mengambil kesimpulan.   Tidak harus mempertimbangkan terlebih dulu hasil pembuktian  jaksa penuntut umum.
           Karena fungsi hasil pembuktian jaksa penuntut umum pada sistem pembeban terbalik, seharusnya sebagai memperkuat saja.  Sebagai memperkuat, maka andaikata tidak membuktikan atau hanya dapat membuktikan sebagian penerimaan, tidak berarti seluruh penerimaan tidak terbukti, sepanjang memang terdakwa tidak berhasil membuktikan sebaliknya dari objek harta  yang dianggap sebagai penerimaan yang didakwakan.
           Konsepsi sistem pembebanan pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi mestinya tidak bergantung pada objek penerimaan pemberian yang terbatas atau dapat diketahui pemberinya maupun jumlah angka/nilainya. Tetapi harus mencakup pula penerimaan pemberian yang tidak terbatas, dilakukan oleh banyak orang dan berkali-kali yang tidak mungkin dapat dibuktikan “hal penerimaannya”  secarta rinci.l Seperti pada kasus  Sdr. Gayus  HP Tambunan dan Sdr. Dhana Widyatmika. Penuntut umum telah mengemukakan seluruh harta benda yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dengan membandingkannya dengan sumber pendapatannya yang sah.
            Kewajiban jaksa penuntut umum adalah memaparkan mengenai angka-angka dan keberadaan harta terdakwa. Kemudian melukiskan  dengan  membandingkannya dengan sumber pendapatannya yang halal. Semua itu cukup disampaikan di dalam surat dakwaan. Dalam sidang jaksa penuntut umum dalam menggunakan haknya boleh membuktikan tentang  penerimaan masing-masing si pemberi, tempus dan locus penerimaannya. Kalaupun tidak berhasil, tidak berarti tidak terbukti hal penerimaan gratifikasi, sepanjang terdakwa sendiri tidak berhasil membuktikan sumber harta yang didakwakan sebagai sumber yang halal.  Karena dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik putusan harus didasarkan pada hasil pembuktian terdakwa, bukan hasil pembuktian jaksa penuntut umum. Apabila sikap yang demikian tidak diambil, maka tidak banyak faedahnya mencantumkan sistem pembebanan terbalik pada TPK menerima gratifikasi dalam Pasal 12B jo 12C UUTPK.

V.             V.   KESIMPULAN

1. Kebelumjelasan TPK menerima gratifikasi berikut sistem pembebanan pembuktiannya yang terbalik  tidak  perlu dijadikan alasan untuk tidak menerapkan hukum yang telah merupakan hukum positif.  Praktik akan menyelesaikan dan melengkapinya dengan cara menemukan hukum yang tersirat dari dalam rumusan Pasal 12B dan 12C dan pasal-pasal lain yang terkait.  Pakar-pakar hukum pidana mendapatkan peran penting dalam membantu menemukan hukum tersebut.  
2.   Untuk menerapkan sistem pembebanan terbalik pada TPK menerima gratifikasi,  tidak lepas dari unsur-unsur tindak pidananya dan cara bekerjanya sistem tersebut.
3.   Unsur-unsur  TPK  menerima gratifikasi dalam Pasal 12B ayat (1) jo 12C selain subjek hukumnya pegawai negeri atau penyelenggara Negara, adalah:
·         Perbuatannya: menerima
·         Objeknya: pemberian/gratifikasi
·         berhubungan dengan  jabatan atau tugasnya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
·         tidak melaporkan penerimaan pemberian/gratifikasi pada KPK
Disamping unsur-unsur tersebut  terdapat lagi unsur yang terselubung dan tersembunyi dalam perbuatan menerima, ialah niat jahat untuk memiliki pemberian yang terbentuk setelah menerima pemberian, yang wajib dibuktikan keberdaan sebaliknya oleh terdakwa.
4.   Prinsip-prinsip sistem pembebanan pembuktian terbalik  adalah:
a.    Sistem pembebanan terbalik berpijak pada asas praduga bersalah (presumption of guilty).
b.    Tujuan penerapan sistem pembebanan pembuktian terbalik adalah untuk tidak dipidananya terdakwa.
c.    Kewajiban  terdakwa adalah untuk membuktikan ketiadaan semua unsur tindak pidana termasuk unsur  niat jahat untuk memiliki pemberian, dan sebaliknya menjadi kewajiban hukum hakim untuk meminta terdakwa melaksanakan kewajibannya  tersebut terlebih dulu sebelum memberikan hak jaksa penuntut umum untuk membuktian keberadaan unsur-unsur tindak pidana.
d.    Jaksa penuntut tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan keberadaan unsur-unsur tindak pidana. Namun upaya membuktikan keberadaan unsur-unsur tindak pidana adalah merupakan hak. Karena itu dibolehkan apabila hak tidak digunakan.
e.    Hakim dibebani kewajiban hukum untuk terlebih dulu meminta terdakwa melaksankan kewajibannya untuk membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana dan kewajiban hukum untuk mempertimbangkannya sebelum mempertimbangkan hasil pembuktian jaksa penuntut umum.   
f.     Kemudian berikutnya hakim dibebani kewajiban hukum untuk meminta jaksa penuntut umum melaksanakan haknya untuk membuktikan keberadaan unsur-unsur tindak pidana, yang kemudian mempertimbangkannya setelah mempertimbangkan hasil pembuktian terdakwa.
5.   Ada dua objek TPK menerima gratifikasi yang menjadi kewajiban terdakwa untuk dibuktikan sebaliknya, dan menjadi hak jaksa penuntut umum untuk membuktikan keberadaannya, ialah:
·         Penerimaan pemberian yang terbatas, adalah suatu penerimaan pemberian yang ditemukan dan disebut dalam surat dakwaan baik tentang jenisnya, jumlah/nilainya, si pemberinya maupun  tempus dan locusnya.
·         Penerimaan pemberian yang tidak terbatas, adalah penerimaan yang sebaliknya, dan yang  cukup disebut seluruh harta - jenis dan nilai/jumlahnya yang kemudian tidak sesuai dengan membandingkannya pada sumber pendapatannya yang sah.
6.   Oleh karena dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik, kewajiban membuktikan sebaliknya oleh terdakwa dan dipertimbangkannya hasil pembuktian mendapat prioritas, maka  fungsi hasil pembuktian terdakwa sangat menentukan terhadap dipidana ataukah tidak terdakwa.
7.    Sebaliknya hasil pembuktian jaksa penuntut umum:
·         berfungsi sebagai memperkuat terhadap pembuktian terdakwa yang tidak berhasil membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana.
·         Apabila terdakwa berhasil membuktikan ketiadaan (sebaliknya) salah satu atau beberapa unsur tindak pidana, hasil pembuktian jaksa hanya berfungsi sebagai bahan yang wajib dipertimbangkan hakim sebagai tidak terbukti, berdasarkan keberhasilan terdakwa membuktikan ketiadaan sebagian atau seluruh unsur tindak pidana.

                                                                                  Malang, 27 September 2014






















DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2014. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
----------------------, 2013. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
Andi Hamzah, 2012. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PenerbitPT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Chairul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Penerbit Prenanda Media, Jakarta.
Djoko Sumaryanto, 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Pengemablian Kerugian Keuangan Negara, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
Elwi Danil, H., 2014. Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya,  Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Indriyanto Seno Adji, 2002. Korupsi dan Hukum Pidana, Penerbit Kantor Pengacara & Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta.
Klitgaard, Robert, 2001. Membasmi Korupsi, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Komariah Emong Sapardjaja, Ny., 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.
Lilik Mulyadi, 2007. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Alumni, Jakarta.
Martiman Prodjohamidjojo (i), 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Penerbit Mandar Madju, Bandung.
Moeljatno (i), 1983. Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Termorhuizen, Marjanne, 1999, Kamus Hukum Belanda Indonesia,  Penerbit Djambatan, Jakarta.









                                                                                


* Ditujukan pada KPK dalam Rangka Memenuhi Permintaan Penyusunan Anotasi Hukum untuk Penguatan Pasal Gratifikasi dalam Kasus Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika.
*  Moeljatno, 1983. Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, h. 179.
*  halaman 212.
*  Penyidik telah memeriksa empat ahli, dari FH UI, FH UNDIP, FH AIRLANGGA dan FH UB yang pendapatnya memperkuat penyidikan.
*  Halaman 214.