Minggu, 29 November 2009

APAKAH PERADILAN SESAT

APAKAH PERADILAN SESAT??

- peradilan sesat adalah kegiatan mengadili dengan memeriksa perkara atau orang yang diadili oleh pengadilan untuk mengambil keputusan yang dilakukan dengan salah jalan, salah prosedurnya, salah menerapkan aturannya - menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa.

- peradilan sesat terjadi karena sesat fakta dan karena sesat hukumnya - menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa.

- semua pihak yang terlibat bertanggungjawab, namun yang paling bertanggungjawab adalah pihak yang langsung menyebabkan peradilan sesat.

- peradilan sesat selalu menimbulkan kewajiban hukum bagi negara untuk mengganti kerugian dan merehabilitasi nama baik korban.

Frasa “peradilan sesat” terdiri dari kata “peradilan” dan “sesat”. Secara harfiah “peradilan” adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan: lembaga hukum berfungsi memperbaiki.[1] Dari sudut proses kegiatan, peradilan adalah kegiatan memeriksa suatu perkara oleh pengadilan untuk mengambil keputusan. Peradilan pidana adalah kegiatan memeriksa suatu perkara dimana orang (terdakwa) didakwa melakukan tindak pidana guna memutus tentang benar ataukah tidak tindak pidana yang didakwakan.

Dalam pengertian luas, sejak proses kegiatan menyangka oleh penyidik, penuntutan oleh penuntut umum, mengadili dan memutus disebut peradilan pidana.

Sementara arti harfiah kata “sesat” adalah tidak melalui jalan yang benar, salah jalan.[2] Dari sudut proses kegiatan, peradilan sesat adalah kegiatan mengadili dengan memeriksa perkara atau orang yang diadili untuk mengambil keputusan yang dilakukan pengadilan dengan salah jalan, salah prosedurnya, salah menerapkan aturannya - menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa.

Peradilan sesat berasal dari frasa “Rechterlijke Dwaling” yang kadang dibahasaIndonesiakan dengan “kesesatan hakim”[3] Kata “rechterlijke” dibahasaIndonesiakan dengan kata “hakim”. Dapat dimengerti sepenuhnya karena peradilan identik dengan hakim. Hakim sebagai pengendali proses peradilan. Sehingga jika proses peradilan yang dikendalikan oleh hakim yang memeriksa perkara dilakukan dengan salah jalan alias sesat dan menghasilkan putusan yang merugikan orang yang diadili – menghasilkan putusan sesat, maka dapat pula disebut kesesatan hakim.

Bahwa peradilan sesat terjadi bisa karena sesat fakta dan bisa karena sesat hukumnya. Kedua-duanya menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa. Apabila di dalam sidang pengadilan yang diungkap jaksa suatu kejadian yang tidak sebenarnya, namun seolah-olah itulah yang sebenarnya. Kemudian hakim mengambilnya sebagai yang sebenarnya, dan dipertimbangkan untuk mengambil putusan, maka putusan tersebut dikatakan sesat apabila merugikan terdakwa. Dicontohkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi No.: 2/KTS/Bks/1977 tanggal 20 Oktober 1977 yang mempidana Sengkon dan Karta masing-masing 12 tahun dan 7 tahun penjara. Demikian juga putusan Pengadilan Negeri Jombang No.: 48/Pid.B/2008/PN JMB tanggal 17 April 2008 yang mempidana Imam 17 tahun penjara dan No.: 49/Pid.B/2008/PN JMB dan tanggal 17 April 2008 yang mempidana Devid 12 tahun penjara. Sejarah telah mencatatnya sebagai peradilan sesat.

Dari sejarah peradilan sesat di Indonesia setelah kemerdekaan yang terkuak ke permukaan, pada umumnya disebabkan oleh bahan mentah yang diperoleh kepolisian/penyidik bukan kebenaran sejati (materiële waarheid). Merupakan fakta atau kejadian hasil rekayasa penyidik. Hasil penyidikan yang diperoleh dengan cara mengarahkan terperiksa dengan menyiksa fisik dan mental serta dengan cara menyesatkan. Apa yang diperloleh penyidik tersebut oleh penuntut umum dipertahankan. Diungkap kembali di persidangan seolah-olah kebenaran sejati. Penasehat hukum atau terdakwa tidak berhasil mengungkapkan kebenaran materiil di persidangan, sehingga hakim menganggap kebenaran semu tersebut sebagai kebenaran sejati. Hakim mengambil alih dalam pertimbangan hukum seolah-olah kebenaran yang sesungguhnya, maka amar putusan yang ditarik menjadi tersesat jika merugikan terdakwa. Dengan cara seperti itulah yang terjadi pada peradilan Sengkon dan Karta. Demikian pula peradilan Imam, Devid dan Maman di Pengadilan Negeri Jombang. Nasib Maman lebih mujur, meskipun sempat ditahan 6 bulan 12 hari, akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Jombang menyusul diterima dan dibenarkannya alasan-alasan PK yang diajukan Imam dan Devid dalam putusan MA No.: 89 PK/PID/2008 dan No.: 90 PK/PID/2008 masing-masing tanggal 3 Desember 2008.[4]

Meskipun penyidik sebagai penyebab awal yang menghasilkan fakta-fakta/kejadian palsu - seolah-olah kebenaran sejati. Bila setelah disidangkan tidak terungkap kebenaran yang sesungguhnya, kesalahan juga ada pada penuntut umum, hakim dan juga penasehat hukum. Penuntut umum seharusnya dapat menemukan kejanggalan-kejanggalan rekayasa penyidik. Penuntut umum juga memiliki kewajiban untuk mencari kebenaran materiil. Bukan semata-mata menuntut dengan cara bagaimanapun agar terdakwa dihukum.

Hakim ikut bertanggungjawab, apabila sampai penyesatan fakta oleh penyidik semula tidak terungkap di dalam persidangan. Hakim adalah sebagai pengendali sidang. Peluang untuk menemukan kebenaran materiil jauh lebih besar dan terbuka di persidangan, dari pada ketika penyidikan. Mestinya dalam persidangan hakim dapat mengungkapkan dan menemukan kebenaran materiil. Demikian juga penasehat hukum, seharusnya pihak yang pertama kali memunculkan beberapa keganjilan yang ada dalam BAP dan persidangan. Karena yang paling tahu segalanya tentang terdakwa adalah penasehat hukum.

Dalam hal pengadilan tidak mampu mengungkap kebenaran sejati maka hakim juga tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas putusan sesat yang membuat penderitaan lahir batin terpidana. Lebih-lebih lagi apabila dalam persidangan hakim sudah memiliki sikap yang cenderung menyalahkan terdakwa – berpihak pada penuntut umum. Tidak lagi berpegang teguh pada azas praduga tak bersalah (presumtion of innocence).

Dalam praktik acapkali kita melihat persidangan dimana hakim marah-marah dengan memojokkan saksi atau terdakwa. Hakim memperlakukan penuntut umum yang tidak sama dengan penasehat hukum. Hakim lebih berpihak pada penuntut umum. Perlakuan yang tidak seimbang seperti itu, membuka peluang untuk diperolehnya fakta-fakta semu yang dalam keadaan dan derajat tertentu dapat menghasilkan putusan sesat.

Sebaliknya, peradilan sesat bisa pula disebabkan sepenuhnya kesalahan majelis hakim. Sampai saat ini, peradilan kita belum dapat bebas dari penyakit kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Penyakit ini dapat memengaruhi sidang pengadilan ke arah penciptaan fakta-fakta yang menyesatkan, yang dapat membawa pada putusan sesat pula.

Selain sesat karena fakta, peradilan sesat dapat pula disebabkan sesat di bidang hukum. Kesesatan di bidang hukum adalah menerapkan hukum yang salah terhadap fakta hukum yang sebenarnya. Apa yang dimaksud Pasal 263 Ayat (2) Huruf c KUHAP dengan “putusan yang jelas memperlihatkan kehkhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata” dapat merupakan kesesatan hakim di bidang hukum. Dengan diungkapnya kebenaran sejati di dalam persidangan, belum menjamin terhindarnya dari putusan yang sesat yang merugikan terdakwa. Bisa terjadi kebenaran sejati tersebut menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa dalam hal apabila hakim mempertimbangkan hukumnya keliru yang fatal. Sebagaimana putusan yang mempidana penipuan pada terdakwa yang terbukti tidak menepati janji untuk membayar hutangnya. Jelas putusan yang demikian merupakan putusan peradilan sesat.

Tidak semua fakta hasil rekayasa atau yang tidak sebenarnya, demikian juga kesalahan dalam menerapkan hukumnya merupakan kesesatan peradilan. Akan menjadi peradilan sesat jika karena kesesatan fakta atau kesesatan hukum tersebut menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa. Dengan mengutip pendapat Mrs. Blok en Basier dalam bukunya “Het Nederlandse Strafproces”, R. Soeparto mengatakan bahwa kesesatan hakim ialah kesesatan tentang fakta-fakta – feiten yang akibat-akibatnya merugikan orang-orang yang didakwa. Berdasarkan pengertian kesesatan hakim tersebut, maka kesesatan tentang fakta-fakta yang akibatnya menguntungkan terdakwa juridis bukan merupakan kesesatan hakim.[5]

Menurut hemat penulis, bahwa kesesatan peradilan tidak semata-mata karena tersesat fakta (feitelijke dwaling), namun dapat juga karena sesat di bidang hukum (dwaling omtrent het recht). Penulis menyetujui bahwa bukan termasuk peradilan sesat, apabila akibat putusan tidak merugikan terdakwa, meskipun faktanya palsu atau hukumnya salah fatal. Hal ini sejalan dengan adagium “lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.

Sesuai dengan uraian sebelumnya bahwa ada dua macam kesesatan, maka syarat/unsur adanya peradilan sesat di bidang perkara pidana, ialah:

1. Dalam hal kesesatan karena fakta, unsurnya ialah:

a. Fakta/kejadian yang diperoleh dalam sidang bukan fakta/kejadian yang sebenarnya, melainkan fakta palsu atau rekayasa.

b. Fakta/kejadian palsu atau rekayasa dipertimbangkan hakim sebagai dasar menarik amar putusan;

c. Amar putusan tersebut merugikan terdakwa.

2. Dalam hal kesesatan karena atau di bidang hukum, unsur-unsurnya:

a. Fakta yang diperoleh adalah fakta yang sebenarnya atau kebenaran materiil.

b. Dalam hal mempertimbangkan hukumnya terhadap kebenaran materiil yang keliru atau sesat;

c. Menghasilkan amar putusan yang merugikan terdakwa.

Hukum acara pidana khususnya hukum pembuktian dibentuk juga untuk mencegah peradilan sesat. Azas hukum dan norma hukum acara pidana dibentuk pada dasarnya juga untuk menghindari peradilan sesat. Beberapa azas dan norma hukum yang substansinya untuk menghindari peradilan sesat, antara lain sebagai berikut.

· Hak terdakwa untuk tidak menerima dan melawan putusan melalui upaya banding, kasasi, termasuk PK.

· Hakim dilarang menjatuhkan pidana bila terdapat keragu-raguan perihal kesalahan terdakwa.[6]

· Norma Pasal 183 KUHAP yang mengandung: syarat-syarat objektif dan subjektif yang harus dipenuhi agar hakim dapat menjatuhkan pidana. Syarat objektif, ialah menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Syarat subjektif, ialah dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim mendapat keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

· Sidang pengadilan harus terbuka untuk umum [Pasal 153 Ayat (3) jo Pasal 195 KUHAP].

· Dalam segala tingkat pemeriksaan tesangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP) Bahkan negara wajib menyediakan penasehat hukum atas tanggungan negara dalam hal tersangka/terdakwa disangka/didakwa melakukan tindak pidana yang dincam dengan pidana mati atau ancaman pidana penjara 15 tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun (Pasal 56 KUHAP).

· Hak terdakwa untuk memberikan keterangan secara bebas [Pasal 52 KUHAP].

· Sebelum memberikan keterangan saksi harus disumpah atau mengucapkan janji untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya [Pasal 160 Ayat (3) KUHAP].

· Ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya [Pasal 120 Ayat (2) KUHAP].

· Saksi yang memberikan keterangan palsu di atas sumpah di depan hakim diancam pidana (Pasal 242 KUHP).

· Saksi atau ahli yang menolak untuk bersumpah atau berjanji tanpa alasan, pemeriksaan tetap dilakukan, namun dengan surat penetapan hakim ketua terhadap saksi atau ahli tersebut dapat dikenakan sandera di tempat tahanan negara paling lama 14 hari [Pasal 161 Ayat (1) KUHAP]

· Bila saksi memberikan keterangan di sidang berbeda dengan keterangan dalam BAP, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu dan minta keterangan mengenai perbedaan itu (Pasal 163 KUHAP).

· Setiap kali saksi selesai memberikan keterangan hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut [Pasal 164 Ayat (1) KUHAP].

· Penuntut umum dan Penasehat hukum mempunyai hak yang sama untuk mengajukan pertanyaan pada saksi dan terdakwa, dan mempunyai hak yang sama untuk menghadapkan saksi-saksi [Pasal 165 Ayat (2) dan (4) KUHAP].

· Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana kepada saksi palsu. Apabila tetap pada keterangannya yang disangka palsu tersebut, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut dengan dakwaan sumpah palsu [Pasal 174 Ayat (1) dan (2) KUHAP].

Semua ketentuan tersebut pada dasarnya dibuat - ditujukan untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati (materiële waarheid) dalam perkara pidana. Selama manusia memiliki nafsu dan sifat khilaf, peraturan bagaimanapun baiknya, kesesatan peradilan setiap waktu bisa terjadi. Namun nafsu dan sifat khilaf, bisa ditekan serendah mungkin dalam mengadili dan memutus perkara, apabila pihak-pihak yang terkait terutama hakim cakap, berintegritas dan komitmen tinggi terhadap kebenaran dan keadilan, memiliki ilmu hukum yang memadai, selalu waspada dan bersikap hati-hati dengan menggunakan hati nurani. Hati nurani paling berperan mengendalikan nafsu dan menekan sifat khilaf sampai serendah-rendahnya.



[1] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (edisi keempat), Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, halaman 1293.

[2] Ibid., halaman 10.

[3] R. Soeprapto, Kesesatan Hakim (Rechterlijke Dwaling), 1961. Pidato Penerimaan Jabatan Lektor Kepala dalam Mata Pelajaran Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya, pada tanggal 26 Mei 1961, halaman 4.

[4] Permintaan PK Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto diurus oleh Kantor OC Kaligis & Associates di Jakarta.

[5] R. Soeparto. op.cit., halaman 7.

[6] Pasal 183 KUHAP menentukan perihal syarat objektif dan subjektif yang harus dipenuhi bagi hakim untuk menjatuhkan pidana. Syarat subjektif adalah keyakinan hakim. Keraguan sama artinya tidak memenuhi syarart subjektif yang dimaksud.

Selasa, 03 November 2009

Kajian Penahanan Bibit-Chandra

KAJIAN AKADEMIK ATAS PERISTIWA PENAHANAN
BIBIT SAMAD RIYANTO – CHANDRA M. HAMZAH

Mengikuti perkembangan penyidikan oleh POLRI terhadap Bibit Samad Riyanto - Chandra M. Hamzah (Wakil Ketua KPK Non Aktif) yang berlanjut dengan penahanan terhadap mereka yang masih dalam proses pra-penuntutan, kami kelompok pengajar Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dengan ini berpendapat sebagai berikut:
1. Bermula dari pernyataan Kabareskrim POLRI (Susno Duadji) yang mempersepsikan POLRI sebagai “Buaya” dan KPK sebagai “Cicak” yang saling berlawanan. Pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang emosional yang menimbulkan kesan bahwa POLRI berusaha untuk membidik orang-orang KPK. Kesan ini menjadi semakin menguat ketika POLRI melakukan penahanan terhadap Bibit Samad Riyanto - Chandra M. Hamzah.

2. a. Secara yuridis normatif berdasarkan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, penahanan bukan merupakan suatu keharusan karena dalam rumusan pasal tersebut hanya disebutkan syarat/batasan untuk dapat dilakukan penahanan. Syarat/batasan yang dimaksud adalah:
Ø Syarat Obyektif, apabila tindak pidana yang disangkakan diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih atau tindak pidana tertentu yang disebut dalam Pasal 21 Ayat (4) huruf b KUHAP;
Ø Syarat Subyektif, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri; menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Syarat subjektif tersebut bukan semata-mata didasarkan atas keyakinan penyidik, melainkan harus ada indikator-indikator yang mendukung kekhawatiran tersebut.
Ø Indikator-indikator pendukung tersebut harus dicantumkan dalam Surat Perintah Penahanan dan Surat Penahanan.
b. Seringnya Bibit Samad Riyanto - Chandra M. Hamzah mengeluarkan pernyataan kepada pers bukan merupakan indikator adanya kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri; menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana, sebagai syarat penahanan.
c. Berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) KUHAP jo. Pasal 7 Ayat (1), penahanan merupakan wewenang penyidik, bukan merupakan “hak”.

3. Secara sosiologis, ternyata penahanan Bibit Samad Riyanto - Chandra M. Hamzah tidak menimbulkan manfaat yang signifikan, bahkan sebaliknya hal tersebut menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.

4. Secara filosofis, penahanan ini tidak dilandaskan pada bukti-bukti yang cukup, terlihat dari adanya pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum kepada penyidik. Sementara itu, orang-orang yang dapat diindikasikan sebagai tersangka yang terkait dengan peristiwa ini belum jelas statusnya. Hal demikian inilah yang menimbulkan rasa ketidakadilan.

5. Secara psikologi massa, saat ini masyarakat Indonesia sedang gigih memerangi korupsi. KPK saat ini disimbolkan/dilambangkan sebagai “pahlawan” dalam perang terhadap korupsi, sehingga setiap upaya “pengkerdilan” terhadap KPK menimbulkan kemarahan besar dari masyarakat. Tindakan penahanan yang dilakukan oleh penyidik POLRI terhadap Bibit Samad Riyanto - Chandra M. Hamzah menimbulkan kesan “pengkerdilan” terhadap KPK.
6. Berdasarkan kajian-kajian tersebut di atas, kami berpendapat bahwa penahanan terhadap Bibit Samad Riyanto - Chandra M. Hamzah merupakan sesuatu tindakan yang tidak tepat, kontraproduktif dan dipaksakan.
MALANG, 2 NOVEMBER 2009
a.n.Kelompok Pengajar:
1. Kabag Hukum Pidana
1. Setiawan Nurdayasakti, SH.MH.

2. Kabag Hukum Administrasi Negara
2. Agus Yulianto, SH.MH.

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya





Herman Suryokumoro, SH.MS.
NIP 19560528 198503 1 002