Minggu, 26 Juli 2009

PENGHINAAN KHUSUS MENURUT UU ITE


Oleh Drs. H. Adami Chazawi, S.H (Dosen FH UB)

Terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam Pasal 27 sampai 37 UU No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Satu diantaranya merupakan tindak pidana penghinaan khusus, dimuat dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (1).
Pasal 27 Ayat (3)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 45 Ayat (1)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar).
Tindak pidana penghinaan khusus dalam Pasal 27 Ayat (3) jika dirinci terdapat unsur berikut.
Unsur objektif
1. Perbuatan: a. mendistribusikan;
b. mentransmisikan;
c. membuat dapat diaksesnya;
2. Melawan hukum: tanpa hak;
3. Objeknya: a. informasi elektronik dan/atau
b. dokumen elektronik.
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Unsur subjektif
4. Kesalahan: dengan sengaja.
1. Perbuatan Mendistribusikan, Mentransmisikan, Membuat Dapat Diaksesnya
Tidak terdapat penjelasan apa-apa mengenai tiga perbuatan tersebut dalam UU ITE. Oleh karena itu harus dicari di luar UU, khususnya dari sudut harfiah yang disesuaikan dengan teknologi informasi. Diterapkan dengan mempertimbangkan segala keadaan dan sifat dari peristiwa konkret yang disangkakan/diduga memuat tindak pidana bentuk penghinaan menurut UU ITE tersebut.
Mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[1] Dalam konteks tindak pidana penghinaan dengan menggunakan sarana teknologi informasi menurut UU ITE. Kiranya perbuatan mendistribusikan diartikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.
Informasi elektronik yang didistribusikan adalah merupakan data atau sekumpulan data elektronik seperti tulisan, suara, gambar, gambar bergerak bersuara maupun tidak, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronik maill) telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, anda, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang mampu memahaminya.[2]
Perbuatan mendistribusikan data atau sekumpulan data elektronik tersebut dalam rangka melakukan transaksi elektronik. Suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan menggunakan sarana komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.[3]
Tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merupakan tindak pidana formil yang tidak murni, termasuk tindak pidana semi materiil. Mengapa? Karena untuk selesainya perbuatan mendistribusikan harus menggunakan indikator telah terdistribusikannya data atau sekumpulan data elektronik objek tindak pidana. Jaksa harus membuktikan keadaan tersebut.
Perbuatan menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang (benda) kepada orang lain (benda lain).[4] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.
Seperti juga perbuatan mendistribusikan, perbuatan mengandung sifat materiil. Karena perbuatan menstansmisikan dapat menjadi selesai secara sempurna, apabila data atau sekumpulan data elektronik yang ditransmisikan sudah terbukti tersalurkan atau diteruskan dan atau diterima oleh orang atau benda perangkat apapun namanya dalam bidang teknologi informasi. Keadaan ini harus pula dibuktikan oleh jaksa.
Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.
Dihubungkan dengan objek tindak pidana menurut Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Perbuatan membuat dapat diaksesnya adalah melakukan perbuatan dengan cara apapun melalui perangkat elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi terhadap data atau sekumpulan data elektronik dalam melakukan transaksi elektronik yang menyebabkan data elektronik tersebut menjadi dapat diakses oleh orang lain atau benda elektronik lain.
Penghinaan khusus UU ITE dengan perbuatan “membuat dapat diaksesnya” merupakan tindak pidana materiil murni. Untuk terwujudnya secara sempurna tindak pidana ini, diperlukan akibat bahwa data atau sekumpulan data elektronik telah dapat diakses oleh orang lain atau seperangkat alat elektronik. Jaksa harus membuktikan bahwa data elektronik tersebut telah nyata-nyata diakses oleh orang lain. Minimal sudah terdapat/menyebar dalam perangkat elektronik yang lain dari perangkat elektronik semula yang digunakan oleh si pembuat.
2. Melawan Hukum: Tanpa Hak
Sebagaimana diketahui bahwa setiap unsur tindak pidana tidak berdiri sendiri. Selalu mempunyai hubungan dengan unsur-unsur lainnya. Dari sudut normatif, tindak pidana adalah suatu pengertian tentang hubungan antara kompleksitas unsur-unsurnya tersebut. Dari hubungan inilah kita dapat mengetahui alasan tercelanya perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana. Hubungan yang dekat dengan unsur tanpa hak dari perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses informasi elektronik, terdapat pada 2 unsur.
· Pertama secara objektif. Hubungan itu sangat dekat dengan sifat isi informasi elektronik yang didistribusikan, ditransmisikan oleh si pembuat. Sifat isi informasi atau dokumen (objek) elektronik tersebut mengandung muatan bentuk-bentuk penghinaan, utamanya bentuk pencemaran. Pada unsur inilah melekat sifat melawan hukum perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan informasi elektronik tersebut. Sekaligus merupakan alasan mengapa perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan menjadi terlarang. Oleh sebab itu, jika orang yang mengirimkan data elektronik tanpa memenuhi syarat tersebut tidak termasuk melawan hukum, dan tidak boleh dipidana.
· Kedua secara subjektif. Hubungan melawan hukum sangat dekat dengan unsur dengan sengaja (kesalahan). MvT WvS Belanda mengatakan bahwa “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.[5] Secara singkat sengaja artinya menghendaki (willens ) dan mengetahui (wetens). Mengenai keterangan dalam MvT WvS Belanda tersebut, Jan Remmelink menyatakan bahwa mengajarkan pada kita bahwa cara penempatan unsur sengaja dalam kentuan pidana akan menentukan relasi pengertian ini terhadap unsur-unsur delik lainnya: apa yang mengikuti kata ini akan dipengaruhi olehnya.[6]
Melihat letak unsur sengaja mendahului unsur perbuatan dan tanpa hak, maka tidak diragukan lagi. Bahwa si pembuat menghendaki untuk melakukan perbuatan mendistribusikan, menstransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. Kehendak ini termasuk juga pengetahuan yang harus sudah terbentuk sebelum berbuat, karena demikian sifat kesengajaan. Orang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang sudah diketahuinya.
Disamping itu sengaja harus juga ditujukan pada unsur tanpa hak. Apa artinya? Bahwa si pembuat sebelum menstransmisikan, mendistribusikan informasi elektronik atau dokumen elektronik tersebut. Telah mengetahui atau menyadari bahwa Ia tidak berhak melakukannya. Perbuatannya melawan hukum, tercela, tidak dibenarkan dan dilarang. Kesadaran yang demikianlah yang biasanya disebut dengan sifat melawan hukum subjektif. Suatu kesadaran yang tidak perlu mengetahui secara persis tentang UU atau pasal yang melarang. Cukup kesadaran bahwa perbuatan semacam itu tercela, tidak dibenarkan. Suatu kesadaran yang selalu ada bagi setiap orang normal pada umumnya. Orang yang berjiwa normal saja yang dapat menilai terhadap semua perbuatan yang hendak dilakukannya sebagai halal ataukah haram. Oleh karena itu untuk membuktikan kesadaran sifat melawan hukum perbuatan patokannya, ialah terbukti si pembuat berjiwa normal.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Pembentuk WvS Belanda telah mengambil sikap yang rasional mengenai unsur sifat melawan hukum. Bahwa dengan dibentuknya tindak pidana dalam UU sudah dengan sendirinya terdapat unsur sifat melawan hukum. Dalam setiap rumusan tindak pidana telah terdapat unsur melawan hukum. Meskipun di dalam rumusan tidak dicantumkan. Tidak perlu setiap rumusan tindak pidana selalu mencantumkan melawan hukum secara tegas. Hanya apabila dalam hal-hal ada alasan saja maka unsur melawan hukum perlu dicantumkan. Hal-hal yang dimaksud ialah apabila ada orang lain yang berhak untuk melakukan perbuatan yang sama seperti tindak pidana yang dirumuskan UU. Barulah dalam rumusan sifat melawan hukum perbuatan perlu dicantumkan. WvS bermaksud mencegah agar mereka yang menggunakan hak atau kewenangan mereka itu tidak sertamerta dipidana.[7]
Dengan mengingat petunjuk MvT WvS Belanda tersebut, kita harus memahami maksud pembentuk UU ITE mencantumkan unsur tanpa hak dalam rumusan tindak pidan Pasal 27 Ayat (3). Tentu ada maksud pembentuk UU ITE mencantumkan unsur tanpa hak (istilah lain dari melawan hukum) dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut. Kiranya maksud pembentuk UU ITE ditujukan agar orang yang berhak melakukan perbuatan mendistribusi, mentransmisikan, membuat dapat diakses informasi elektronik tidak boleh dipidana. Meskipun informasi yang didistribusikan bersifat menghinakan orang lain.
Persoalannya ialah, dalam hal mana atau dengan syarat apa orang yang mendistribusikan, mentrasmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang isinya bersifat menghina tersebut berhak melakukannya? UU ITE tidak memberikan keterangan apa-apa. Oleh karena itu harus dicari dari sumber hukum penghinaan, ialah Bab XVI Buku II KUHP.
Bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP bersumber pada pencemaran (Pasal 310). Bentuk-bentuk penghinaan tersebut mengandung sifat yang sama, ialah terdapat pada pencemaran. Setiap bentuk penghinaan selalu bersifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang. Oleh sebab itu pencemaran dapat dianggap sebagai bentuk standar penghinaan.
Pada pencemaran terdapat alasan peniadaan sifat melawan hukum perbuatan (ayat 3). Pencemaan tidak dipidana apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Dua keadaan inilah yang menyebabkan si pembuat berhak mendistribusikan, mentransmisikan informasi elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan. Dengan hapusnya sifat melawan hukum sama artinya dengan si pembuat berhak melakukannya.
Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya. Bahwa untuk dapat mengajukan alasan demi kepentingan umum. Disamping memang sangat perlu, dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi si pembuat sendiri. Melainkan untuk kepentingan orang lain (umum). Juga isi yang disampaikan haruslah benar, tidak boleh palsu. Sementara itu, untuk dapat mengemukakan alasan membela diri, diperlukan 2 syarat. Pertama, harus terlebih dulu ada perbuatan - berupa serangan oleh orang lain yang bersifat melawan hukum. Kedua, apa yang dituduhkan isinya harus benar. Si pembuat harus dapat membuktikan syarat-syarat tersebut.
Demikianlah arti dan maksud mencantumkan unsur tanpa hak dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.
3. Objeknya: Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang Memiliki Muatan Penghinaan dan /atau Pencemaran Nama Baik
Seperti halnya unsur perbuatan, objek tindak pidana selalu dicantumkan secara tegas dalam setiap rumusan tindak pidana. Mengetahui unsur objek tidak sulit. Karena hampir pasti diletakkan di depan unsur perbuatan. Kecuali ada tindak pidana tertentu dimana unsur objek tidak persis diletakkan di depan unsur perbuatan. Dicontohkan pada penipuan. Objek yang diletakkan di depan perbuatan menggerakan adalah orang. Orang bukan unsur objek tindak pidana penipuan, tetapi objek perbuatan menggerakkan. Objek penipuan adalah barang, utang dan menghapuskan piutang.
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (elektronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[8]
Sementara dokumen elektronik tidak diberikan keterangan apapun dalam UU ITE. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan. Dokumen adalah 1 surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian); 2 barang cetakan atau naskah karangan yang dikirim melalui pos; 3 rekaman suara, gambar dalam filem, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti keterangan.[9]
Dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan menerapkannya pada objek tindak pidana, maka dapat didefinisikan. Dokumen elektronik adalah surat tertulis atau tercetak yang disimpan secara elektronik yang isinya dapat dipakai sebagai bukti berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Ada 3 hal yang perlu dipahami mengenai anak kalimat “yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.
· Pertama, unsur ini merupakan unsur keadaan yang menyertai yang melekat pada objek informasi dan/atau dokumen elektronik. Meskipun dua unsur ini dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan.
· Kedua, pada unsur inilah melekat/letak sifat melawan hukum dari perbuatan mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksenya informasi elektronik. Sekaligus di dalamnya diletakkan maksud dan tujuan dibentuknya tindak pidana ini. Sebagai memberi perlindungan hukum terhadap harga diri, martabat mengenai nama baik dan kehormatan orang.
· Ketiga, sebagai indikator bahwa tindak pidana ini merupakan lex specialis dari bentuk-bentuk penghinaan umum, utamanya pencemaran dalam KUHP.
Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, terdapat 6 indikator lex specialis. Maka jelas penghinaan dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (1) UU ITE merupakan lex specialis dari bentuk-bentuk penghinaan dalam KUHP, khususnya pencemaran. Unsur lex generalis yang harus ada dalam penghinaan UU ITE, ialah salah satu bentuk-bentuk penghinaan dalam KUHP, khususnya pencemaran. Apa alasannya?
· Dalam frasa yang memiliki muatan penghinaan, khususnya kata/unsur penghinaan dalam kalimat rumusan Pasal 27 Ayat (3) mengandung makna yuridis adalah semua bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI buku II KUHP. Mulai pencemaran, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, menimbulkan persangkaan palsu sampai penghinaan pada orang mati.
· Dalam frasa pencemaran nama baik sudah dapat dipastikan, bahwa maksudnya adalah pencemaran (bentuk standar) dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Hanya saja rumusan Pasal 27 Ayat (3) tersebut kurang lengkap. Tidak menyebutkan objek pencemaran yang lain ialah hehormatan (eer). Harga diri dibidang nama baik (goeden naam) itu merupakan salah satu saja dari objek pencemaran, selain kehormatan (eer).
Menuliskan frasa “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, dirasa janggal. Karena kurang tepat. Sebagaimana diketahui, penghinaan (beleediging) bukan nama/kualifikasi sebuah tindak pidana. Melainkan nama suatu kelompok tindak pidana yang mempunyai kesamaan sifat. Terutama kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kejahatan-kejahatan tersebut.
Demikian juga dengan menggunakan kata “atau pencemaran nama baik” setelah kata penghinaan. Seolah-olah penghinaan itu lain artinya dengan pencemaran. Padahal di dalam penghinaan terdapat pencemaran. Seharusnya cukup menggunakan kata penghinaan saja.
Namun dapat dimengerti, apabila maksud pembentuk UU ITE diantara sekian banyak bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP tersebut, yang diutamakan adalah pencemaran.
Ada persoalan lain pula. Apakah unsur/kata penghinaan dalam tindak pidana penghinaan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dapat diberlakukan pula bagi penghinaan khusus di dalam KUHP? Sebagaimana yang sudah dibicarakan sebelumnya. Dalam KUHP juga terdapat tindak pidana penghinaan khusus. Terdapat dalam Pasal-pasal: 134, 136 bis, 137 (ketiganya sudah tidak berlaku)[10] 142, 142a, 143, 144, 154a, 154 dan 155 (tidak berlaku)[11], 156, 156a, 157, 207, 208 KUHP. Perlu disampaikan bahwa penyebutan penghinaan khusus dalam pasal-pasal KUHP tersebut, tidak menggunakan 6 indikator lex specialis sebagaimana diterangkan sebelumnya. Melainkan berdasarkan sifat umum dari bentuk-bentuk penghinaan. Sifat umum itu ialah, bahwa penghinaan menyerang rasa harga diri mengenai kehormatan dan nama baik individu atau sekelompok orang. Menimbulkan perasaan malu, amarah, jengkel, sakit hati, merendahkan harga diri pribadi atau kelompok orang. Semua perasaan tersebut membuat orang tidak nyaman dan menyakitkan. Berdasarkan sifat umum penghinaan, maka penghinaan dalam pasal-pasal tersebut dengan alasan apapun harus diterima sebagai bagian dari bentuk-bentuk penghinaan.
Oleh karena itu apabila kita mendasarkan pada sifat umum penghinaan, maka tidak ada alasan yang kuat untuk menolak bahwa penghinaan khusus dalam UU ITE ini dapat juga diberlakukan pada bentuk-bentuk penghinaan khusus yang terdapat dalam KUHP. Asalkan dapat terpenuhi semua unsur-unsur khusus dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Baik perbuatannya maupun objeknya sebagaimana yang sudah diterangkan sebelumnya. Perbuatann mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya. Sementara objeknya adalah informasi elektronik atau dokumen elektronik, dimana isinya bersifat menghina orang pribadi maupun kelompok orang.

[1] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[2] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
[3] Lihat Pasal 1 Angka 3 UU ITE.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[5] Moeljatno, Op.cit., halaman 171.
[6] Jan Remmelink, Op.cit., halaman 152.
[7] Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 187.
[8] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit., halaman 338.
[10] Norma ketiga pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 6 Desember 2006.
[11] Norma tindak pidana pada kedua pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan MK No. 6/PUU-V/2007 tanggal 16 Juli 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar