Minggu, 26 Juli 2009

Peran Hasil Audit Investigasi Dalam Hal Pembuktian Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Kajian Putusan MA No. 995/Pid/2005)

Pembuktian mengenai nilai kerugian nyata bagi negara akibat dari korupsi penting dalam hubungannya dengan penjatuhan pidana (tambahan) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan yang diperoleh / hasil dari korupsi (Pasal 18 ayat (1) huruf b UUTPK). Sesuai dengan tujuan utama penegakan hukum pidana korupsi ialah mengembalikan kerugian negara. Maka hampir pasti pada setiap penyelesaian hukum perkara korupsi (yang dapat merugikan kepentingan hukum mengenai keuangan atau perekonomian negara), jaksa dan hakim selalu membuktikan tentang nilai (angka) kerugian negara secara riel. Pada tahap pembuktian mengenai kerugian riel ini, peran auditor menjadi sangat penting.
Auditor yang sengaja dilibatkan dalam pembuktian perkara korupsi menghasilkan dua alat bukti.
1. Pertama bahan tulisan yang berupa laporan audit investigasi, jadi merupakan alat bukti surat – seperti laporan Visum et Repertum oleh Dokter Forensik atau Rumah Sakit.
2. Kedua, alat bukti keterangan ahli, apabila auditor memberikan keterangan ahli baik dalam penyidikan di hadapan penyididik maupun di dalam sidang pengadilan. Terutama di depan hakim, karena hasil / isi alat bukti akan bernilai dalam pembuktian jika didapat atau diberikan di hadapan hakim di sidang pengadilan.
Kedudukan laporan audit investigasi belum populer di dunia peradilan sebagai alat bukti, berbeda dengan visum et repertum oleh ahli kedokteran forensik yang membuktikan penyebab kematian korban. Namun berdasarkan alasan yang sama dengan visum et repertum, maka sewajarnya kedudukan laporan hasil audit investgiasi mempunyai kedudukan yang sama dengan visum et repertum dalam hal pembuktian. Alasan yang sama itu adalah:
1. Visum et repertum maupun laporan hasil audit investigasi di buat oleh orang yang memiliki keahlian khusus. Keahlian khusus tersebut diperolehnya melalui jenjang pendidikan tinggi khusus, yang setelah itu – kemudian ditekuninya sebagai lapangan pekerjaan atau menjadi tugas jabatannya.
2. Visum et repertum maupun laporan hasil audit investigasi berfungsi yang sama bagi hakim, ialah untuk membantu dalam hal pembutkian, khususnya menemukan sesuatu keadaan yang menentukan terhadap penyelesaian perkara pidana. Khususnya perkara korupsi untuk menentukan keadaan jumlah kerugian neagara akibat dari korupsi yang dilakukan terdakwa.
3. Pada umumnya hakim bukan ahli kedokteran dan bukan pula ahli dibidang audit keuangan. Keadaan ini mengharuskan hakim meminta bantuan dari ahli kedokteran forensik untuk mencari dan menentukan penyebab kematian korban atau meminta bantuan dari ahli dibidang audit keuangan untuk menentukan jumlah angka tertentu dari kegiatan penggunaan uang in casu dalam perkara korupsi – berupa kerugian negara.
4. Bahwa baik ahli kedokteran forensik maupun ahli audit keuangan, mereka telah mengucapkan sumpah sebelum menjalankan pekerjaan jabatannya. Oleh karena itu kepercayaan terhadap kebenaran isi visum et repertum maupun isi laporan hasil audit investigasi selain melekat atau terletak pada keahlian khusus yang dimiliki oleh ahli kedokteran forensik atau auditor yang membuatanya, juga karena menjalankan pekerjaan yang menghasilkan visum et repertum maupun laporan hasil audit investigasi tersebut, dibuat atau diberikan atas dasar sumpah jabatan. Hukum telah meletakkan dasar dan menentukan kepercayaan atas kebenaran sesuatu keterangan pada pelaksanaan sumpah.
Demikian juga, ketika ahli kedokteran forensik maupun ahli audit keuangan memberikan keterangan mengenai keahliannya di hadapan hakim di sidang pengadilan, karena sebelum memangku jabatan dan menjalankan pekerjaannya telah dilakukan penyumpahan terlebih dulu. Juga apabila mereka diminta keterangan keahliannya di dalam sidang pengadilan, sebelum membeli keterangan dimintakan bersumpah terlebih dulu, atau memberikan sumpah untuk memperkuat keterangan yang telah diberikan olehnya. Oleh karena itu sangatlah beralasan bahwa bagi mereka ditetapkan sebagai seorang ahli, bukan saksi. Jika tidak sebagai seorang ahli yang memberikan keterangan ahli, maka keterangannya tidaklah mempunyai nilai apa-apa di depan sidang pengadilan. Sebabnya ialah, mereka bukanlah orang yang melihat, mendengar dan mengalamai suatu kejadian. Oleh sebab itu mereka bukanlah saksi. Mereka memberikan keterangan adalah berdasarkan ilmu pengetahuan atau keahliannya dalam menilai terhadap suatu kejadian tertentu. Hakim juga perlu menilai terhadap kejadian tertentu, dalam hal mana hakim tidak dapat menggunakan keterangan saksi, karena keterangan saksi tidak cukup untuk digunakan dalam hal menilai atas suatu kejadian tertentu. Sedangkan pengetahuan hakim juga tidak cukup untuk digunakan sebagai dasar menilai terhadap kejadian tersebut. Hakim tidak mempunyai keahlian khusus yang dapat digunakannya. Padahal hakim untuk membentuk keyakinannya tentang salah atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang di dakwakan sangat memerlukan keterangan-keterangan yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bahwa benar-benar ada suatu kejadian tertentu, in casu penyebab kematian seseorang atau adanya nilai uang tertentu (riel) yang merupakan kerugian negara.
Untuk mengetahui sejauhmana peran laporan hasil audit investigasi maupun keterangan ahli auditor investigasi di dalam sidang pengadilan, dapat dilihat dan dipelajari dalam berbagai putusan hakim, khususnya ditingkat kasasi. Salah satu adalah putusan Mahkamah Agung RI No. 995K/PID/2006 tanggal 16 Agustus 2006.
Pada halaman 179 putusan tersebut, Mahkamah Agung memberi pertimbangan hukum atas keberatan Pemohon Kasasi Jaksa PU tentang nilai rupiah dari pidana (tambahan) pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan judex factie sejumlah Rp 2.516.000.000,00 (dua milyar lima ratus enam belas ribu rupiah). Alasan pemohon kasasi ialah dalam hal judex factie menentukan angka tersebut hakim telah salah dalam menerapkan hukum, dikarenakan hakim tidak menggunakan keterangan ahli SLAMET TULUS WAHYONO Ak, CFE dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan salah satu Instansi Pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara yang berpendapat bahwa kerugian keuangan Negara Timbul sebagi akibat dari perjanjian asuransi antara KPU dan PT. Asuransi Bumi Putra Muda 1967 adalah sebesar Rp 14.193.000.000,00 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) yang dihitung dari total premi yang dibayar oleh KPU kepada PT Asuransi Bumiputra Muda 1967 sebesar Rp 14.800.000.000,00 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) dikurangi dengan klaim yang telah diterima oleh KPU dari PT Asuransi Bumi Putra Muda sebesar Rp 607.000.000,00 (enam ratus tujuh juta rupiah).
Walaupun Mahkamah Agung dapat membenarkan keberatan Pemohon Kasasi tersebut, namun Mahkamah Agung mempunyai pendapat sendiri yang berbeda baik dengan judex factie maupun dengan Pemohon Kasasi – Jaksa Penuntut Umum.
Pendapat Mahkamah Agung tersebut adalah (dikutif) sebagai berikut:
1. bahwa dari premi sebesar Rp 14.800.000.000,00 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) diperoleh discount sebesar Rp 5.032.000.000,00 (lima milyar tiga puluh dua juta rupiah) yang menurut Pasal 16 ayat (4) Undang Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara “penerimaan berupa komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan / atau pengadaan barang dan / atau jasa oleh Negara / Daerah adalah hak Negara / Daerah.
2. bahwa ternyata discount atau potongan sebesar Rp 5.032.000.000,00 (lima milyar tiga puluh dua juta rupiah) tersebut oleh terdakwa tidak disetorkan ke Kas negara, akan tetapi dinikmatinya sendiri dan beberapa pejabat dilingkungan dan / atau diluar KPU;
3. bahwa berdasarkan putusan Judex Factie sebagian dari discount tersebut telah ditetapkan dirampas untuk Negara dan mengacu kepada kurs uang asing tanggal 2 Desember 2005 untuk US $, Canada $, RM / yang diperoleh Mahkamah Agung dari Bank Indonesia, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa nilai rupiah yang berhasil dirampas untuk Negara sebagai berikut:
US $ 226.099 x Rp 9.985,00 = Rp 2.257.598.515,00
HK $ 670 x Rp 1.287,52 = Rp 862.638,40
RM 774 x Rp 2.641,19 = Rp 2.044.281,06
Canada $ 10 x Rp 556,13 = Rp 85.561,30
Rp 2.260.590.995,00
Jumlah uang rupiah termasuk travel
cheque yang telah disita untuk Negara Rp 635.223.200,00
Jumlah Rp 2.895.814.195,76
Terbilang: Dua milyar delapan ratus sembilan puluh lima juta delapan ratus empat belas ribu seratus sembilan puluh lima 76/100 rupiah.
Bahwa dengan demikian jumlah uang pengganti yang akan dijadikan pidana tambahan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa lainnya (Cq terdakwa Hamdani Amin) masing-masing adalah ½ x (Rp 5.032.000.000,00 - Rp 2.895.814.195,76) = Rp 1.068.092.902,12 dibulatkan menjadi Rp 1.068.092.902,00 (satu milyar enam puluh delapan juta sembilan puluh dua ribu sembilan rtus dua puluh).
KOMENTAR:
2. Sebagaimana Surat Dakwaan, Terdakwa didakwa dengan dakwaan bentuk kumulatif, gabungan antara bentuk primer subsider dan tunggal, yang formatnya berikut:
Kesatu:
Primer: Pasal 2 ayat (1) jo 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001jo 55 (1) ke-1 KUHP.
Subsider: Pasal 3 jo 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001 jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Lebih Subsider: Pasal 8 jo 18 ayat (1) huruf b ayat (1) dan ayat (3) UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001 jo Psl 55 (1) ke-1 KUHP.
Kedua: Pasal 11 jo 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU No. 31/1999 yang diubah UU No. 20/2001 jo 55 (1) ke-1 jo 64 ayat (1) KUHP.
Menurut Jaksa dalam surat tuntutannya, yang terbukti adalah dakwaan Kesatu Primer dan dakwaan Kedua. Menurut Pengadilan Tipikor (tingkat pertama) yang terbukti juga sama dengan pendapat JPU, dan kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tingkat banding. Juga Mahkamah Agung tetap sama.
Dasar dalam hal mempertimbangkan nilai riel kerugian negara ada perbedaaan baik antara Pengadilan Tipikor tingkat pertama, dengan tingkat banding, maupun dengan Mahkamah Agung. Ternyata berikut:
a. Pengadilan tingkat Pertama, menetapkan angka riel kerugian negara yang harus diganti dengan menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti ialah sebesar Rp 5.032.000.000,00 (lima milyar tiga puluh dua juta rupiah). Angka riel kerugian negara di ambil dasar dari discount atau potongan sebesar Rp 5.032.000.000,00 (lima milyar tiga puluh dua juta rupiah) yang oleh terdakwa tidak disetorkan ke Kas negara.
b. Pengadilan tingkat banding, menetapkan angka riel kerugian negara yang harus diganti terdakwa dengan menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti adalah sebesar Rp. 2.516.000.000,00 (dua milyar lima ratus enam belas juta rupiah), karena ada 2 terdakwa yang bertanggung jawab selain terdakwa juga terdakwa Hamdani Amin yang diberkas dalam perkara lain. Karena itu tanggunggjawab pengganti kerugian harus dibebankan pada dua terdakwa, dengan menetapkan 50 % setiap terdakwa.
c. Perbedaan ini diselesaikan melalui pertimbangan sendiri oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menetapkan angka kerugian riel dengan cara nilai discount dikurangi dari uang yang telah disita oleh Kejaksaan sebsar Rp 2.895.814.195,76 kemudian dibagi dua, maka terdapat angka yang dibebankan untuk diganti pada terdakwa sebesar Rp Rp 1.068.092.902,00 (satu milyar enam puluh delapan juta sembilan puluh dua ribu sembilan rtus dua puluh).
2. Ternyata bahwa laporan hasil audit investigasi yang menyatakan kerugian negara adalah sebesar Rp 14.193.000.000,00 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) yang diambil alih Jaksa dalam requisitoirnya, tidaklah menjadi bahan pertimbangan keberatan Jaksa Penuntut Umum maupun pertimbangan hukum Mahkamah Agung, melainkan yang dipakai sebagai alasan keberatan adalah keterangan ahli auditor investigasi dari BPKP di dalam sidang pengadilan. Namun demikian (walaupun saya tidak mengetahui laporan audit investigasi) secara logika keterangan ahli auditor dari BPKP tersebut adalah menjelaskan laporan hasil auditnya secara lisan. Artinya isinya sama. Oleh karena isinya sama maka sebenarnya jaksa sebagai pemohon kasasi yang berkeberatan atas penghitungan judex factie seharusnya merujuk pada kedua-duanya dengan analisis pertimbangan bahwa keduanya saling berhubungan. Kecuali jika ada perbedaan, dan perbedaan itu dijelaskan alasannya oleh ahli di muka hakim, maka yang digunakan adalah keterangannya (ahli) disidang pengadilan. Namun hal ini tidak tergambar / terpapar di dalam pertimbngan hukum Mahkamah Agung maupun alasan keberatan pemohon kasasi dalam memorie kasasinya.
3. Apabila konsisten dengan dasar untuk menarik angka riel kerugian negara adalah dari uang discount yang tidak disetorkan pad Negara, maka seharusnya dakwaan yang terbukti adalah bukan Dakwaan Kesatu Primer (Pasal 2 dst.), melainkan hanyalah terhadap Dakwaan Kesatu Lebih Subsider ialah Pasal 8 tentang penggelapan uang negara. Jadi disini baik judex factie maupun Mahkamah Agung telah tidak tepat menerapkan Pasal pemidanaan. Bukankah discount yang tidak disetorkan pada Kas Negara itu sama dengan penggelapan uang negara. Jadi persis dan tepat menerapkan Pasal 8 UUTPK. Baik kedua judex factie maupun judex jurist telah tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Seharusnya Penasehat hukum terdakwa mengajukan keberatan atas putusan judex factie pada saat mengajukan upaya kasasi. Ada perbedaan secara substansial antara perbuatan memperkaya pada pasal 2 dengan perbuatan menggelapkan pada Pasal 8. Perbedaan dilihat dari sudut sebab apa keberadaan benda (in casu uang) berada dalam kekuasaan terdakwa. Pada perbuatan memperkaya, uang tersebut berada dalam kekuasaan terdakwa adalah disebabkan langsung oleh perbuatan memperkaya yang in casu perbuatan melawan hukum. Sedangkan pada perbuatan menggelapkan uang tersebut berada dalam kekuasaan terdakwa bukan karena melawan hukum[1], yang in casu tidak melawan hukum karena menerima discount. Pada tahap ini tidak terjadi kejahatan korupsi. Barulah terjadi korupsi setelah uang tersebut tidak disetorkan ke kas negara melainkan di nikamti sendiri dan dibag0bagikan pada kolega anggota KPU.
3. Bahwa baik penghitungan angka kerugian Negara dalam laporan hasil auditor BPKP maupun keterangan ahli auditor BPKP di muka hakim sidang pengadilan, tidaklah mengikat hakim. Terbukti dalam pertimbngan putusan Mahkamah Agung perkara ini, Mahkamah Agung melakukan penganalisisaan atau penghitungan sendiri yang tidak tunduk pada penghitungan dalam laporan hasil auditor BPKP maupun keterangan ahli auditor investigasi dari BPKP di muka sidang pengadilan. Mahkamah Agung melakukan penilaian atau penghitungan sendiri dan tidak tunduk pada laporan hasil audit investigasi (alat bukti surat) yang dibuat oleh ahli, atau diterangkan oleh ahli dalam sidang pengadilan. Hal ini dapat dibenarkan berdasarkan hukum pembuktian dalam perkara pidana. Menurut hukum pembuktian perkara pidana, bahwa semua alat bukti tidak ada yang merupakan alat bukti sempurna atau alat bukti yang mengikat hakim, melainkan semuanya merupakan alat bukti bebas. Hakim mempunyai kebebasan dalam menilai isi semua alat bukti yang diajukan di dalam sidang pengadilan.[2] Bebas bukan berarti semau gue, melainkan tetap harus memperhatikan pada nilai-nilai bukti yang ada pada setiap alat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan dengan berpedoman pada minimal alat bukti sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 183 KUHAP.
4. Bahwa dengan demikian laporan hasil audit BPKP atau keterangan ahli auditor BPKP di sidang pengadilan berfungsi yang sama dengan isi alat bukti lainnya di sidang pengadilan, ialah tidak bersifat mengikat dan menentukan hakim.
5. bahwa isi laporan audit investigator atau keterngan ahli audit investigator di dalam berkas penyidikan perkara (BAP) berfungsi sebagai alat bantu yang menjadi pedoman hakim dalam menjalankan persidangan untuk mendapatkan fakta-fakta hukum dalam rangka hakim membentuk keyakinan tentang bersalah ataukah tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan.
6. Pendapat Pemohon Kasasi – Jaksa Penuntut Umum dalam keberatan hukumnya dalam memorie kasasi yang menyatakan bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum pembuktian dikarenakan judex facie telah berpendapat sendiri dan tidak menggunakan dasar hasil auditor BPKP, dari sudut hukum pembuktian perkara pidana tidaklah dapat dibenarkan. Karena menurut hukum pembuktian perkara pidana, tidak mengenal alat bukti sempurna yang mengikat hakim. Hakim tidak perlu tunduk pada nilai angka kerugian negara menurut perhitungan auditor BPKP, apabila menurut penilaian hakim nilai kerugian riel tersebut tidak sesuai dengan perhitungan hakim sendiri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu menurut logika hukum dan keadilan.
Demikian hasil kajian saja terhadap putusan Mahkamah Agung No. 995K/PID/2006 khusus tentang laporan hasil audit dan keterangan ahli auditor BPKP dari sudut hukum pembuktian perkara pidana. Semoga bermanfaat.
Malang, 9 April 2007.


[1] Adami Chazawi, 2005. Hukum Pidana materiil dan Formiil Korupsi di Indonesia, Penerbit Bayu Media, Malang, hal. 8-9.
[2] Adami Chazawi, 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT Alumni, Bandung, hal. 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar