Minggu, 26 Juli 2009

PENGHINAAN KHUSUS DALAM UU PENYIARAN

Oleh Drs. Adami Chazawi, S.H (Dosen FH UB)


A. HUBUNGAN ANTARA PENGHINAAN KHUSUS DENGAN PENGHINAAN UMUM
Bentuk-bentuk penghinaan khusus selain dirumuskan dalam KUHP di luar Bab XVI, juga terdapat di luar KUHP. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penghinaan khusus baik yang ada di dalam KUHP (diluar Bab XVI Buku II) maupun diluar KUHP, juga masih ada hubungannya dengan bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI KUHP.[1] Meskipun penerapan pidananya tetap berdasarkan bentuk penghinaan khususnya. Hal ini didasarkan pada azas lex specialis derogat legi generali. Ada 6 ciri sebagai indiktor tindak pidana lex specialis dari suatu lex generalis.
1. Dalam tindak pidana lex specialis harus mengandung semua unsur pokok tindak pidana lex generalis. Ditambah satu atau beberapa unsur khusus dalam lex specialis yang tidak terdapat dalam lex generalisnya. Unsur yang disebutkan terakhir sebagai unsur khususnya yang menyebabkan tindak pidana tersebut merupakan lex specialis dari suatu lex generalis. Dicontohkan Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (3) UU ITE sebagai lex specialis dari Pasal 310 KUHP. Untuk terbukti adanya penghinaan menurut Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (3) UU ITE, telebih dulu harus terbukti adanya pencemaran dalam Pasal 310 KUHP sebagai lex generalis pencemaran. Ditambah satu lagi unsur khususnya, ialah terbukti pula pencemaran tersebut dengan menggunakan sarana elektronik.
2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum dan bentuk khususnya harus sama. Misalnya lex generalis penghinaan, lex spesialisnya juga penghinaan. Jika lex generalisnya mengenai pornografi, maka lex specialisnya juga harus mengenai pornografi.
3. Harus terdapat persamaan subjek hukum tindak pidana lex specialis dengan subjek hukum lex generalis. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Tidak boleh subjek hukumnya yang dianggap lex specialisnya korporasi, sementara lex generalisnya orang. Inilah alasan yang paling masuk akal, bahwa pencemaran tertulis dan delik kesusilaan misalnya pornografi melalui media cetak tidak bisa menerapkan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.[2]
4. Harus terdapat persamaan objek tindak pidana antara lex specialis dengan objek lex generalis. Kalau objek tindak pidana lex generalis adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan orang. Kalau objek lex generalis adalah tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, maka objek lex specialisnya juga merupakan tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan..
5. Harus ada persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex specialis dengan lex generalisnya. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormtan, maka lex specialisnya juga demikian.
6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas lex specialis derogat legi generali tidak berlaku. Karena dapat berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber yang lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah.
Ciri-ciri lex specialis tersebut diatas berlaku secara kumulatif. Bila tidak memenuhi salah satu dari indikator tersebut diatas, suatu norma tindak pidana tidak dapat disebut lex specialis. Keenam ciri itu yang digunakan untuk menentukan apakah suatu norma tindak pidana dalam UU ITE dan UU Penyiaran tersebut sebagai lex specialis dari bentuk-bentuk penghinaan umum.

B. PENGHINAAN KHUSUS DALAM UU No. 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN
Diantara 10 macam tindak pidana penyiaran yang dirumuskan dalam Pasal 57, 58 dan 59 UU Penyiaran terdapat dua bentuk tindak pidana penghinaan khusus.
1. Dalam Pasal 36 Ayat (5) huruf a jo Pasal 57 huruf d.
2. Dalam Pasal 36 Ayat (6) jo Pasal 57 huruf e.
Untuk lebih jelasnya bunyi redaksi rumus Pasal 36 dan 57 dikutip selengkapnya.

Pasal 36.
(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta wajib memuat sekurang-kurangnya 60 % (enam puluh perseratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.
(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarakan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
(5) Isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Pasal 57.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Ayat (3);
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (2);
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Ayat (5);
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Ayat (6).
Norma larangan (tindak pidana) bentuk-bentuk penghinaan dirumuskan dalam Pasal 36 Ayat (5) huruf a dan Ayat (6). Sementara bentuk ancaman pidananya dicantumkan dalam 57 Huruf e dan d.

1. Bentuk penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 36 Ayat (5) jo Pasal 57 Huruf d , apabila dirinci terdapat unsur.
a. Perbuatan: siaran (menyiarkan)
b. Objeknya: isi siaran bersifat fitnah;
2. Sementara bentuk penghinaan dalam dalam Pasal 36 Ayat (6) jo Pasal 57 Huruf e, apabila dirinci terdapat unsur.
a. Perbuatan: siaran (menyiarkan);
b. Objeknya: Isi siaran memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
1. Penghinaan Menyiarkan yang Isinya Bersifat Fitnah (Pasal 36 Ayat (5) jo 57 Huruf d)
a. Perbuatan menyiarkan
Perbuatan menyiarkan dalam Pasal 36 Ayat (5) UU Penyiaran tidak sama artinya dengan menyiarakan (verspreiden) dalam Pasal 310 Ayat (2) atau Pasal 157 Ayat (1) KUHP. Menurut KUHP menyiarakan (verspreiden) melakukan perbuatan dengan menyebarkan sesuatu (objek tindak pidana) kepada umum sehingga sesuatu tersebut diketahui oleh orang banyak (umum). Oleh karena tidak disebutkan caranya menyiarkan, maka cara tersebut harus disesuakan dengan sifat objek dan wadah objek yang disiarkan. Dicontohkan pencemaran tertulis Pasal 31 Ayat (2) KUHP. Wadah objek (kehormatan dan nama baik orang) pencemaran tersebut terdapat dalam bentuk tulisan, yang terdapat pada benda-benda yang mengandung sifat dapat ditulisi, misalnya kertas. Karena sifatnya, maka menyiarkan (verspreiden) dapat dilakukan dengan cara membuat tulisan dalam banyak lembar kertas (misalnya dalam majalah, tabloit dll). Kemudian disebarkan dengan cara bermacam-macam, sehingga tersebar pada umum. Berdasarkan pengertian yang demikian, maka sesungguhnya verpspreiden lebih tepat dibahasaIndonesiakan dengan menyebarkan dari pada menyiarkan.
Berbeda halnya dengan perbuatan menyiarkan dalam Pasal 36 Ayat (5) UU Penyiaran. Objek yang disiarkan menurut UU Penyiaran adalah merupakan pesan atau rangkain pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karater, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.[3] Oleh sebab itu pengertian siaran menurut UU penyiaran tidak sama persis artinya dengan menyiarkan (verspreiden) dalam hal pencemaran terulis [Pasal 310 Ayat (2) KUHP]. Sebagaimana menyiarkan dalam acara televisi oleh stasiun TV atau stasiun radio. Memang maksud dibentuknya tindak pidana penyiaran dalam UU Penyiaran secara khusus ditujukan bagi objek pesan yang disampaikan melalui siaran stasiun televisi atau stasiun radio. Berbeda halnya dengan perbuatan menyiarkan (verspreiden) dalam tindak pidana penyiaran dalam KUHP, seperti Pasal 310 Ayat (2), 144 Ayat (1), 155 Ayat (1), 157 Ayat (1), 282 Ayat (1) dan (2), dll. Objek tindak pidana penyiaran dalam KUHP pada dasarnya adalah berita dalam tulisan yang wadahnya kertas. Bentuknya majalah, koran, tabloit, lembar-lembar lepas seperti pamflet, selebaran.. Sifat perbuatan menyiarakan (verspreiden) yang dilakukan pada objek yang demikian, tidak sama dengan perbuatan menyiarkan terhadap objek pesan atau rangkaian pesan melalui media elektornik sebagaimana dimaksud Pasal 1 Angka 1 UU Penyiaran.[4]
Sebagaimana penjelasan otentik UU Penyiaran, dapatlah disimpulkan bahwa perbuatan menyiarkan adalah kegiatan memancarluaskan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.[5]
Meskipun terdapat perbedaan antara menyiarkan (verspreiden) dengan menyiarkan dalam UU Penyiaran, dilihat dari segi akibat perbuatan secara subtantif terdapat pesamaan. Kedua perbuatan itu menyebabkan objek pencemaran yang dilindungi kepentingan hukumnya tersebut itu diketahui umum.
b. Isinya Bersifat Fitnah
Oleh karena UU Penyiaran tidak memberi keterangan apa-apa mengenai unsur bersifat fitnah, maka harus kembali pada sumber utama hukum pidana ialah KUHP. Fitnah dalam KUHP dirumuskan dalam Pasal 311. Pasal 311 Ayat (1) merumuskan Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Dari rumusan fitnah tersebut dapatlah diketahui bahwa sesungguhnya dalam fitnah terdapat pencemaran, baik pencemaran lisan[6] maupun tertulis[7]. Fitnah merupakan pencemaran khusus. Pencemaran adalah standar bentuk-bentuk penghinaan, termasuk fitnah. Dapat diterima pendapat Wirjono Projodikoro yang mengatakan bahwa untuk mencari arti sesungguhnya tentang penghinaan haruslah dicari pada rumusan Pasal 310 Ayat (1) KUHP mengenai pencemaran, yang merupakan penghinaan bersahaja (eenvoudige beleediging).[8] Karena disanalah sesungguhnya intinya penghinaan, menjadi fondasi penghinaan. Oleh sebab itu dapat dianggap sebagai standar penghinan. Beliau juga menyimpulkan bahwa penghinaan berarti menyerang kehormatan atau nama baik orang, dan hal ini memang agak sama dengan pengertian penghinaan pada umumnya.[9]
Oleh karena fitnah merupakan bentuk khusus pencemaran, maka dalam fitnah harus terdapat unsur-unsur pencemaran. Unsur-unsur pencemaran Pasal 310 Ayat (1) adalah:
Unsur objektif
1. Perbuatannya: menyerang
2. Objeknya: a. kehormatan orang
b. nama baik orang
3. Caranya: dengan menuduhkan perbuatan tertentu
Unsur subjektif
4. Kesalahan: a. sengaja
b. maksudnya terang supaya diketahui umum
Pada unsur-unsur pencemaran tersebutlah letak hubungan atau persamaan antara fitnah menurut KUHP dengan fitnah menurut UU Penyiaran. Unsur-unsur Pasal 310 Ayat (1) KUHP sebagai unsur-unsur pokok lex generalis pencemaan yang juga merupakan unsur fitnah, yang harus juga terdapat dalam fitnah menurut Pasal 36 Ayat (5) Huruf a jo 57 huruf d UU Penyiaran. Sementara unsur lex specialis dalam Pasal 36 Ayat (5) Huruf a jo 57 huruf d UU Penyiaran, terletak pada objek yang disiarkan ialah pesan atau rangkaian pesan yang dilakukan dengan cara memancarluaskannya melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut maupun di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.[10]
Sebagai sifat/unsur khusus fitnah yang tidak harus ada pada pencemaran, ialah apa yang dituduhkan si pembuat harus tidak benar. Sementara dalam pencemaran, bisa terjadi pada tuduhan yang benar namun dengan maksud agar yang dituduh benar-benar menjadi malu. Unsur khusus ini terdapat dalam kalimat “tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui” dalam rumusan Pasal 311 Ayat (1) KUHP. Oleh karena unsur ini merupakan unsur mutlak dalam fitnah. Unsur inipun harus terdapat dalam fitnah menurut Pasal 36 Ayat (5) Huruf a jo 57 Huruf d UU Penyiaran. Oleh karena itu harus dibuktikan oleh jaksa.
Mengenai pencemaran dalam pasal 310 dan fitnah Pasal 311 KUHP dirasa tidak perlu dibicarakan lebih jauh lagi. Sudah cukup dibicarakan dalam Bab 3. Mahasiswa dan pembaca dapat membaca kembali.
Apakah kata “bersifat” dalam frasa “bersifat fitnah” mengandung arti khusus yang lain dari istilah fitnah sebagaimana yang telah diterangkan diatas? Memang dirasa pencantuman kata “bersifat” disana bisa menimbulkan penafsiran yang lebih luas dari sekedar pengertian fitnah. Perhatikan pendapat Wirjono Projodikoro yang menyebut bentuk penghinaan “menimbulkan persangkaan palsu” (lasterlijke aanklacht) dalam Pasal 318 KUHP yang disebut beliau dengan “pengaduan yang bersifat memfitnah”. Apabila kita perhatian pengertian yang sesungguhnya dari bentuk penghinaan Pasal 318 KUHP ini, dapatlah dimengerti pendapat beliau. Kejahatan pasal ini memang dapat menimbulkan fitnah bagi orang lain. Karena orang yang ditimbulkan persangkaan palsu melakukan tindak pidana tersebut sesungguhnya tidak benar. Ketidakbenaran ini merupakan syarat mutlak dari Pasal 318 KUHP tersebut.
Namun kalau Pasal 318 KUHP hendak dimasukkan pula ke dalam pengertian bersifat fitnah dari Pasal 36 Ayat (5) jo 57 Huruf d UU Penyiaran, harus dipikirkan lagi. Karena ada sifat yang tidak sama antara fitnah dalam Pasal 311 Ayat (1) KUHP dengan Pasal 318 KUHP. Bahwa dalam fitnah menurut Pasal 311 Ayat (1) harus secara tegas si pembuat menuduhkan suatu perbuatan tertentu pada seseorang. Perbuatan yang mempermalukan orang yang dituduh. Unsur ini sama dengan pencemaran. Sementara itu, dalam Pasal 318 KUHP tidak mengandung unsur tersebut. Melainkan perbuatan yang semata-mata menimbulkan persangkaan palsu (lasterlijke verdachtmaking) saja. Yang dilakukan, si pembuat tidak secara terang menuduhkan perbuatan tertentu. Jadi dari perbuatnnya sekedar menimbulkan kesan saja. Dicontohkan dengan maksud menimbulkan kesan A seorang pegedar narkotika. Seorang polisi melemparkan sebungkus kecil daun ganja ke dalam mobil A. Kemudian polisi temannya menangkap A bersamaan dengan barang tersebut. Polisi tadi telah melakukan kejahatan Pasal 318 KUHP.
Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa perbuatan menimbulkan persangkaan palsu menurut Pasal 318 KUHP dapat dilakukan dengan cara menggunakan sarana penyiaran. Dengan menyampaikan suatu pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau gambar bergerak beserta suara atau berbentuk grafis yang dapat diterima oleh umum melalui perangkat penerima siaran, yang isinya memberi kesan bahwa seseorang melakukan suatu kejahatan, yang sesungguhnya tidak dilakukannya. Dicontohkan sebuah stasiun TV menyiarakan seorang terdakwa telah dipidana penjara oleh hakim. Padahal orang tersebut masih dalam tahap penyidikan. Apabila sesungguhnya (kebenaran materiil) orang yang disiarkan tidak melakukan kejahatan yang disangkakan. Penanggungjawab penyiaran itu dapat dipidana. Orang yang menyiarkan juga dapat dipidana andaikata Ia mengerti tentang ketidak benaran berita yang disiarkan. Ketidak benaan berita bukan terletak pada keadaan orang yang disiarkan tidak melakukan kejahatan. Tetapi terletak bahwa orang itu tidak dipidana oleh hakim, melainkan sekedar dalam proses penyidikan saja. Orang yang sudah dipidana terkesan bahwa orang itu telah melakukan kejahatan. Padahal tidak.
Dari pembicaraan mengenai arti frasa/unsur “bersifat fitnah” dalam Pasal 36 Ayat (5) UU Penyiaran, dapatlah disimpulkan ada 2 pengertian. Luas dan sempit. Pengertian sempit ialah menunjuk pada Pasal 311 Ayat (1) jo Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Sementara pengertian luas termasuk juga Pasal 318 KUHP.
Oleh karena itu Jaksa yang mendakwakan Pasal 36 Ayat Huruf a (5) jo 57 Huruf d UU Penyiaran, wajib membuktikan pengertian luas ataukah pengertian sempit. Bergantung pada kasus poisisi dari perkara tersebut. Kedua pengertian tersebut dapat diterapkan. Masing-masing punya dasar.
2. Penghinaan Menyiarakan yang Isnya Memperolokkan, Merendahkan, Melecehkan dan/atau Mengabaikan Nilai-nilai Agama, Martabat Manusia Indonesia, atau Merusak Hubungan Internasional (Pasal 36 Ayat (6) jo Pasal 57 Huruf e)
Dari rumusan yang cenderung abstrak tersebut, dapat diketahui bahwa bentuk penghinaan ini tidak ada bandingannya dalam bentuk-bentuk penghinaan umum (Bab XVI Buku II KUHP). Oleh karena itu bukan merupakan lex specialis dari bentuk-bentuk penghinaan umum dalam KUHP. Merupakan penghinaan yang berdiri sendiri. Kecuali penghinaan terhadap objek nilai-nilai agama. Terdapat hubungannya dengan penghinaan/penodaan agama menurut Pasal 156a KUHP. Bentuk penghinaan terhadap nilai agama menurut Pasal 36 Ayat (6) UU Penyiaran bisa dianggap sebagai bentuk lex specialis dari penodaan agama dalam Pasal 156 a KUHP. Letak sifat khususnya ialah pada cara menyampaikan objek / isi penghinaan. Menurut UU penyiaran, objek isi pesan atau rangkaian pesan disampaikan dengan melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi yang dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.[11] Sementara perbuatan yang bersifat penodaan (penghinaan) agama menurut Pasal 156a KUHP dilakukan dengan cara yang lain. Dengan ucapan atau perbuatan fisik. Dicontohkan pada kasus penodaan agama oleh sekelompok orang di Batu Desember 2006. Kelompok itu mengelilingi sebuah kitab suci suatu agama yang diletakkan di lantai. Dengan dipimpin oleh seseorang, Ia menuding dan menunjuk-nunjuk kitab suci yang diletakkan dilantai tadi sambil mengucapkan kalimat-kalimat yang sifatnya menghina kitab suci tersebut. Penganut agama yang memiliki kitab suci tersebut merasa terhina. Mereka (40 orang) itu masing-masing di pidana 5 tahun penjara karena melakukan perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 156 a KUHP.[12]
Oleh karena tindak pidana Pasal 36 Ayat (6) jo 57 Huruf e berdiri sendiri, maka dapat dibuat surat dakwaan bentuk alternatif. Karena terdapat sifat saling mengecualikan antara kedua bentuk penghinaan tersebut. Jika terbukti Pasal 36 Ayat (5) jo 57 tidak mungkin terbukti bentuk penghinaan menurut Pasal 36 Ayat (6) jo 57 Huruf e UU Penyiaran dengan Pasal 156a KUHP.
Apabila dirinci bentuk penghinaan Pasal 36 Ayat (6) jo 57 Huruf e UU Penyiaran terdapat unsur.
a. Perbuatan: siaran (menyiarkan);
b. Objeknya: Isi siaran yang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Mengenai perbuatan menyiarakan telah dibicarakan sebelumnya. Tidak dibicarakan lagi disini. Pembaca dapat meneliti kembali uraian tersebut.
Objek tindak pidana ialah “isi siaran”. Sementara frasa/unsur yang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional, adalah merupakan unsur keadaan yang menyertai objek. Kedua unsur itu dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Pada macam-macam unsur keadaan yang menyertai objek isi siaran inilah terletak sifat melawan hukumnya perbuatan menyiarkan.
Di dalam unsur memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan inilah terdapat sifat penghinaan. Suatu sifat melawan hukumnya perbuatan menyiarkan dalam tindak pidana menurut Pasal 36 Ayat (6) jo 57 Huruf e UU Penyiaran
Orang yang merasa terhina bukan orang pribadi sebagaimana bentuk-bentuk penghinaan umum dalam Bab XVI Buku II KUHP. Melainkan orang dalam arti komunal/kelompok orang. Dicontahkan sebuah stasiun TV menyiarkan tulisan waratawannya. Menyatakan bahwa isi kitab suci agama B bukanlah suatu wahyu Tuhan seperti agama A. Pihak yang merasa terhina dari siaran tersebut bukan pribadi orang tertentu, tetapi semua orang pemeluk agama B tersebut. Perbuatan seperti ini dapat dikualifisir sebagai memperolok, merendahkan, melecehkan agama B tersebut.
Kata/istilah memperolokkan lebih dekat pada istilah penghinaan dalam arti harfiah. Merendahkan disamping mengandung sifat menghina juga mengandung makna sesuatu nilainya rendah. Tiada seorangpun tidak merasa tersinggung perasaannya, bila sesuatu tersebut menjadi miliknya atau yang dicintainya- direndahkan orang. Melecehkan lebih mengarah pada arti tidak ambil peduli, tidak menganggap sesuatu ada dan berarti. Meremehkan sesuatu yang sesungguhnya bagi orang lain amat dihargai. Sesuatu yang ada dan dihargai oleh orang lain tersebut, oleh orang tertentu dianggap tidak ada atau tidak berarti.
Istilah/kata-kata memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan yang menyertai objek (isi siaran) tindak pidana Pasal 36 Ayat (6) ini perlu dimaknai yang sesuai dengan konteks objektif dan maksud yang sebenarnya dari si pembuat. Tidak boleh diterapkan secara sembrono. Karena unsur-unsur tersebut sifatnya abstrak. Jika diterapkan tanpa akal dan logika hukum, apalagi dengan dilatabelakangi kebencian dan KKN, dapat menusuk rasa keadilan masyarakat.
3. Subjek Hukum Tindak Pidana Penyiaran
Sebagaimana dalam tindak pidana penyiaran dapat terlibat banyak pihak. Pada tindak pidana penyiaran dengan menggunakan sarana percetakan penentuan pertanggungjawaban atas isi benda-benda cetakan yang disiarkan telah jelas diatur dalam Pasal 61 dan 62 KUHP. Namun dalam hal tindak pidana penyiaran dalam UU Penyiaran, Pasal 62 dan 63 KUHP tidak berlaku. Disebabkan wadah isi objek tindak pidana yang disiarkan bukan pada benda-benda cetakan seperti buku, majalah, pamflet dan lain-lain. Melainkan isi pesan berbentuk suara, tulisan, gambar, gambar bergerak tanpa atau dengan suara dan lain-lain. Disiarkan melalui sarana pemancaran dan/atau transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyaakat dengan perangkat penerima siaran.[13]
Prinsip beban pertanggugjawaban pidana berpijak pada 2 hal pokok.
· Pertama, hanya subjek hukum orang yang dapat dibebani pertanggungjawaban sebagai pembuat tindak pidana. Apabila dalam tindak pidana tertentu di luar KUHP, korporasi dapat menjadi subjek hukum tindak pidana dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Harus dianggap sebagai perkecualiannya saja. Sebagaimana diketahui dalam hukum pidana, bukan pantangan dengan perkecualian. Asalkan perkecualian itu dirumuskan secara tegas, batas dan ukuran-ukurannya.
· Kedua, orang yang dibebani pertanggungjawaban pidana adalah siapa yang perbuatannya menyebabkan timbulnya tindak pidana. Sesuai bunyi dari masing-masing rumusan tindak pidana. Orang ini disebut sebagai pembuat tunggal (dader). Termasuk siapa-siapa yang mempunyai andil dan peran baik objektif maupun subjektif terhadap timbulnya tindak pidana. Orang-orang yang disebut terakhir ini dibebani tanggungjawab pidana berdasarkan ketentuan penyertaan (Pasal 55 – 57 KUHP).
Tidak ada keterangan atau petunjuk dalam UU Penyiaran tentang subjek hukum korporasi. Oleh karena itu tidak mungkin korporasi, seperti perusahaan TV atau perusahaan radio dapat dibebani tanggungjawab pidana apabila siarannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana penyiaran.[14]
Dalam siaran baik oleh stasiun TV atau oleh stasiun radio, hampir pasti dapat terlaksana disebabkan oleh perbuatan banyak orang. Dengan demikian, untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi subjek hukum tindak pidana penyiaran, perlu memperhatikan ketentuan penyertaan.
Pembuat-pembuat penyertaan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP dapat saja terlibat dalam tindak pidana menurut UU Penyiaran. Pembuat pelaksana (pleger), pembuat penyuruh (doen pleger) pembuat peserta (medepleger), pembuat penganjur (uitlokker) dan pembuat pembantu (medeplichtige) Namun yang pasti adalah pembuat pelaksana. Tidak mungkin tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu pembuat tanpa adanya pembuat pelaksana. Perbuatan pembuat pelaksanalah yang melahirkan tindak pidana. Sementara orang yang dapat terlibat bersama pembuat pelaksana adalah pembuat penganjur, terutama bagi orang-orang perusahaan yang tugasnya menentukan tentang isi siaran. Pembuat peserta terjadi apabila kesengajaannya sama dengan kesengajaan orang yang menyiarkan. Pembuat pembantu terlibat, apabila sifat perbuatannya sekedar mempermudah / memperlancar dalam melakukan penyiaran. Sementara kesengajaannya ditujukan untuk membantu saja terhadap penyiaran.



KEPUSTAKAAN
Adami Chazawi. 2008. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan & Penyertaan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------, 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Penerbit PT RajaGrafindo Persada , Jakarta.
---------, 2007. Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------, 2002. Kejahatan Terhadap Keamanan & Keselamatan Negara, Penerbit PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------, 2007. Tindak Pidana Hak atas Kekayaan Intelektual, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
---------, 2006. Kejahatan Terhadap Harta Benda, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
---------, 2002. Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Achmad Soema di Pradja, R. 1980. Hukum Pidana Dalam Yurisprodensi, Penerbit Armico, Bandung.
---------, 1977. Himpunan Putusan Mahkamah Agung Disertai Kaedah-kaedahnya, Penerbit Alumni, Bandung.
Andi Hamzah, 1991. Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Engelbrecht, W.A.1960. De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesie, PT Soerongan, Jakarta.
Indriyanto Seno Adji, 2002. Korupsi dan Hukum Pidana. Diterbitkan oleh Kantor Pengacara & Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, S.H & Rekan, Jakarta.
Leden Marpaung, 1997. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan Pengertian dan Penerapannya, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Jonkers, J.E. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Lamintang, PAF. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru, Bandung.
-----------,1987. Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Penerbit CV Sinar Baru, Bandung.
----------- dan Djisman Samosir, 1979. Delik-Delik Khisis Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Penerbit Tarsito, Bandung.
Mahkamah Agung, 1971. Jurisprodensi Indonesia, Diterbitkan oleh Mahkah Agung.
Marjoto, 1958. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia, Bogor.
Moch. Anwar, H.A.K. 1979. Hukum Pidana Bagian Khusus, Penerbit Alumni, Bandung.
Moeljatno (i), 1979. Hukum Pidana Delik-Delik Penyertaan, Tanpa dicantumkan nama penerbit.
----------, 1969. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana, Seksi Kepidanaan FH Universitas Gajamada, Yogjakarta.
----------, 1983. Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
----------, 1984. Kejahatan-kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Open Bare Orde), Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Oemar Seno Adjie, 1973. Mass Media Dan Hukum, Penerbit Erlangga, Jakarta.
---------, 1981. Herziening Ganti Rugi Suap Perkembangan Delik, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Roeslan Saleh, 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta.
-----------, 1962. Sifat Melawan Hukum dari pada Perbuatan Pidana, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta.
Saparadjaja, Ny. Komariah Emong, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.
Satochid Kartanegara (I), Tanpa tahun. Diktat, Hukum Pidana II Delik-delik Tertentu. Balai Lektur Mahasiswa.
----------- (II), Tanpa tahun, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa.
Schaffmeister, D. dkk. Editor Penerjemah J.E Sahetapy, 1995. Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Schravendijk,H.J.van., 1955. Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit J.B Wolters, Jakarta.
Sianturi, S.R. 1983. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit Alumni AHMPTHM, Jakarta.
Simons, D. 1992. Kitab pelajaran Hukum Pidana (Leerboek van Het Nederlandsce Strafrecht), Penerjemah PAF Lamintang, Penerbit Pioner Jaya, Bandung.
Soenarto Soerodibroto, 1994. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprodensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT Rajagrafindo, Jakarta.
Soesilo, R. 1979. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Penerbit Politeia, Bogor.
---------, 1980. Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia, Bogor.
Sugandi, R. 1980. KUHP Dengan Penjelasannya, Penerbit, Usaha Nasional, Surabaya.
Sunardi, dan Fanny Tanuwijaya. 2002. Pidana Perampasan Kemerdekaan Bagi Korporasi. Diterbitkan Lembaga Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, Malang.
Termorshuizen, Marjane.1999. Kamus Hukum Belanda Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Tirtaamidjaja, M.H. 1954. Pokok-Pokok Hukum Pidana.
Tresna, R.1959. Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit PT Tiara Ltd, Jakarta.
Utrech, E. 1986. Hukum Pidana I, Penerbit Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
---------, 1985. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbit Universitas, Bandung.
Wancik Saleh, 1973. Intisari Yurisprodensi Indonesia, Penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 1980. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit PT Eresco, Jakarta – Bandung.
----------, 1981. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit PT Eresco, Jakarta – Bandung.
Wojowasito, S. 1999. Kamus Umum Belanda Indonesia, Penerbit PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Yandianto, 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit M2S, Bandung.
Yahya Harahap, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta.
Yudha Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
Zainal Abidin Farid, A. 1995. Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Kitab Undang-Undang:
° KUHP, terjemahan Moeljatno (2001).
° KUHP, terjemahan Andi Hamzah (2000).
° KUHP, terjemahan Tim Penerjemah BPHN (1983).
° KUHP, terjemahan M.Budiarto dan Wancik Saleh (1979).
° Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
° KUH Perdata, terjemahan R. Soebekti dan R.Tjitrosudibio (1999).
° KUHPT, terjemahan Marjoto (1958).

[1] Lihat Pasal 53 UU ITE yang menyatakan bahwa semua Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertentangan dengan UU ini dinyatakan tetap berlaku. Ketentuan yang sama terdapat juga dalam Pasal 60 UU Penyiaran.
[2] Lihat Pasal 5 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
[3] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU Penyiaran.
[4] Pasal 1 Angka 1 UU Penyiaran, menerangkan tentang objek tindak pidana penyiaran ialah pesan atau rangkain pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.
[5] Lihat Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran.
[6] Lihat Pasal 310 Ayat (1) KUHP.
[7] Lihat Pasal 310 Ayat (2) KIHP.
[8] Wirjono Projodikoro, 2003. Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit Refika Aditama, Jakarta, halaman 97.
[9] Ibid., halaman 98.
[10] Lihat Pasal 1 Angka 3 UU Penyiaran.
[11] Lihat Pasal 1 Angka 1 2 UU Penyiaran.
[12] http://www.antara.ci.id/. Diakses tanggal 10 Nopember 2008.
[13] Lihat Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran.
[14] Lihat Pasal 59 UU Penyiaran, secara tegas disebutkan subjek hukumnya adalah setiap orang.

2 komentar: