MENEMBUS KEBUNTUAN
DALAM UPAYA MENCARI KEADILAN
DALAM KASUS OKNUM APARAT
TABRAK MATI RIFKY ANDHIKA
(Dalam Seminar 17 Tahun Memburu Keadilan)
(H. Adami Chazawi)
I. PENDAHULUAN
Nasib Bapak Indra Azwan yang tinggal di Genukwatu Barat G II No. 95 Blimbing Malang, sangat memilukan. Anak kandungnya Rifky Andika (12) tanggal 18 Pebruari 1993 (17 tahun lalu), ketika pulang dari belajar kelompok, pada saat menyebrang di jalan S. Parman tertabrak sehingga tewas oleh sebuah mobil Nopol L 512 BN. Pengemudi tidak segera menghentikan mobilnya, melainkan tancap gas - melarikan diri. Ada seorang melihat kejadian tersebut dan langsung mengejar dengan kendaraannya. Ternyata mobil tersebut masuk ke Kantor POLWIL Malang di Jl. Jaksa Agung Soeprapto.. Dengan demikian mudah diketahui, bahwa pengemudinya adalah seorang oknum aparat.[1]
Bapak Indra Azwan sudah melakukan segala upaya, dengan harapan pelakunya dihukum. Namun upayanya tidak membuahkan hasil apa-apa, selain kekecewannya yang mendalam pada aparat penegak hukum. Terkesan para petinggi hukum melindungi pelaku. Penyelesaia kasus itu seperti digantung dan sangat lambat. Sampai akhirnya (15 tahun kemudian) tanggal 6 Pebruari 2008 disidangkan di DILMILTAMA III Surabaya, dan divonis “hak menuntut pidana atas terdakwa tidak dapat diterima, karena “perkara tersebut telah lewat waktu”.[2] Putusan itupun di kuatkan dalam tingkat banding oleh “DILMILTAMA Surabaya No. Put/08/PMU/BDG/Pol/VI/2009. Dari sudut hukum pidana, terhadap oknum pelaku selesailah perkara ini.
Putusan itu sangat mengecewakan, dan dengan caranya sendiri bapak Indra Azwan menolaknya, dan tetap berusaha untuk mendapat keadilan. Untuk menunjukkan kekecewaannya atas penanganan kasus tersebut, maka beliau melakukan tindakan yang tergolong nekad. Beliau dari Malang ke Jakarta dengan berjalan kaki. Dengan satu tekad ialah bertemu Presiden SBY untuk menyampaikan uneg-unegnya dan sekaligus minta agar keadilan ditegakkan dalam kasus kematian anaknya. Berangkat dari kediamannya tanggal 9 Juli 2010. Dua puluh dua hari sampailah beliau di istana presiden. Upaya yang terakhir ini rupanya mendapat perhatian luas dari segenap lapisan masyarakat. Bahkan Presiden pun bersedia menerima kehadiran beliau.
Seminar yang digagas oleh anak-anak Forum Mahasiswa Peduli Keadilan (FORMAH PK) FH Universitas Brawijaya ini, salah satu bentuk keprihatinan dan kepedulian terhadap tragedi penegakan hukum tersebut. Anak-anak muda - mahasiswa ini ingin menyumbangkan pikiran mencari jalan keluar dari kebuntuan dalam mencari keadilan dari kasus tersebut melalui seminar nasional ini. Insya Allah akan menemukannya.
II. PERMASALAHAN HUKUM
Kami hendak mencoba membicarakan masalah sebagai berikut:
1. Apakah kasus tersebut telah lampau waktu?
2. Apakah masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan?
III. PEMBAHASAN
A. PERMASALAHAN PERTAMA
Belum Tentu Sudah Liwat Waktu
Demi tegaknya keadilan, mestinya DILMILTI III Surabaya tidak perlu buru-buru memutus “penuntutan tidak dapat diterima karena telah daluwarsa”. Toh hakim dapat melakukan penafsiran terhadap Pasal 80 Ayat (1) KUHP secara luas. Dengan cara menafsirkan, keadilan dapat ditegakkan. Belum tentu saat pengadilan menjatuhkan vonis pada tanggal 6 Pebruari 2008, kasus oknum aparat tabrak lari tersebut sudah liwat waktu.
Pasal 80 KUHP merumuskan sbb:
(1) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan umum .
(2) Sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.
Dari ketentuan di atas, setidak-tidaknya dapat diketahui bahwa “berjalannya” daluwarsa dapat dihentikan . Pertanyaan hukumnya ialah.
1. Apa sesungguhnya arti penuntutan? dan
2. Apa arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa?
Mencari arti yang sesungguhnya dengan cara menggali maksud apa yang terkandung di dalam istilah “penuntutan” (Vervolging), dan arti “tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa”. Itulah yang seharusnya dilakukan hakim.
Memang kalau kita melihat arti penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Selesailah masalahnya, karena pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan. Penghitungan daluwarsa penuntutan pidana dihitung sejak terjadinya tindak pidana. Tentu saja kalau berdasarkan KUHAP, kasus ini tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Dalam UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer tidak ada ketentuan seperti Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Meskipun semula hakim berpendapat yang senada dengan Pasal 1 Angka 7 KUHAP[3], namun ternyata tidak konsisten, karena pada konklusi pertimbangan hukumnya tidak menggunakan ketentuan KUHAP tersebut. Terbukti dalam putusannya mempertimbangkan bahwa “tenggang waktu daluwarsa mulai berlaku tanggal 9 Pebruari sampai dibukanya sidang tanggal 4 Pebruari 2008”, . . . Pada 4 Perbuari telah berlangsung 15 tahun. Menurut Pasal 76 KUHP Ayat (1) KUHP, perbuatan terdakwa telah melampaui waktu 12 tahun. [4]
Dipersidangan ini surat dakwaan dibacakan, dan pada saat ini terdakwa mengetahui jika Ia dituntut pidana. Meskipun tidak terbaca dalam pertimbangan hukum putusan, namun kiranya demikian logika hakim. Suatu pengertian vervolging yang sangat sempit. Lebih sempit dari Pasal 1 Angka 7 KUHAP.
Jika pikiran itu yang digunakan, patut disayangkan. Pengadilan tidak berusaha menafsirkan norma Pasal 80 Ayat (1) KUHP berdasarkan maksud dibuatnya ketentuan tersebut, atau filosofi / latar belakang ketentuan daluwarsa, dengan kata lain menafsirkan secara luas. Tentu saja logika tidak boleh ditinggalkan dalam setiap melakukan penafsiran.
Untuk memahami istilah dalam KUHP, haruslah berdasarkan KUHP itu sendiri. Jangan berdasarkan aturan lain, seperti KUHAP. Kecuali apabila secara tegas ditentukan dalam aturan lain seperti UU No. 31 Tahun 1997, yang ternyata tidak ditemukan. Kalau ini yang menjadi titik pangkal berpikir, maka pengertian istilah penuntutan (vervolging) bisa lain, tidak sebagaimana yang dipahami oleh Pengadilan Militer Tinggi III tersebut.
Menurut hemat kami, masih terbuka jalan untuk menggali maksud pembentuk UU yang sebenarnya, khususnya mencantumkan kalimat “asalkan tindakan (penuntutan) itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau diberitahukan kepadanya…” dalam Pasal 80 Ayat (1) KUHP. Tentulah ada maksud pembentuk UU merumuskan kalimat itu. Rumusan Pasal 80 KUHP memang sangat terbuka untuk ditafsirkan. Salah satu tujuan yang sangat penting dari suatu penafsiran adalah pencapaian keadilan.
Cara Menafsirkan Pertama.
Dari kalimat itu dapatlah disimpulkan. Bahwa ada penuntutan yang tidak diketahui oleh orang yang dituntut. Karena itu wajiblah diberitahukan padanya, sebagai syarat terhentinya daluwarsa penuntutan. Disamping itu tentulah ada penuntutan yang dengan secara otomatis (serta merta) tanpa diberitahukan, Ia mengetahuinya.
Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya KUHP memberi arti istilah penuntutan bukan sebagai jaksa menyerahkan berkas ke pengadilan dan meminta untuk memeriksa dan memutusnya. Sebab kalau pembentuk KUHP semula memberi arti penuntutan sama dengan KUHAP (menyerahkan perkara ke pengadilan), maka kalimat “asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut” tidak perlu dicantumkan dalam Pasal 80 Ayat (1) KUHP. Karena tidak mungkin tersangka tidak mengetahui kalau ia dituntut. Penafsiran arti kata/unsur penuntutan menurut Pasal 80 Ayat (1) jo Pasal 78 KUHP tidak tepat jika berdasarkan Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Apalagi pengertian menurut DILMILTI III Surabaya, yang lebih ke belakang (sempit) dalam proses acara pidana dari pada bunyi Pasal 1 Angka 7 KUHAP.
Kalau begitu apa artinya penuntutan dalam Pasal 80 KUHP?. Bahwa penututan itu sudah terjadi pada saat sebelum jaksa menyerahkan perkara ke pengadilan. Pada saat penyidikan dilakukan sudah merupakan tindakan penuntutan, sebab pada fase tersebutlah negara sudah melakukan tindakan pembatasan hak-hak seseorang secara paksa. Pada saat itu pelaku mengetahui kalau ia dituntut. Itulah pendapat luas tentang arti penuntutan dalam Pasal 80 Ayat (1) jo 78 KUHP.
Pendapat luas ini bisa diketahui dari beberapa referensi. Misalnya Jonkers[5] dan R. Tresna[6], Itulah yang dimaksud dengan pengertian luas, yang sesuai dengan pengertian menurut KUHP. Bukan arti sempit menurut KUHAP. Meskipun beberapa pakar mengatakan pengertian luas sudah ditinggalkan. Namun tidak berarti pengertian luas tidak bisa diterapkan. Untuk pencapaian dan menegakan keadilan, tidak ada salahnya bahkan seharusnya hakim menggunakan/menerapkan pengertian penuntutan dalam Pasal 80 Ayat (1) jo 78 KUHP secara luas.
Ada pendapat yang lebih luas dari Pasal 1 angka 7 KUHAP, namun lebih sempit dari Pasal 81 Ayat (1) KUHP. Dalam bukunya Marjoto (ahli hukum pidana militer) menulis bahwa “yang diartikan dengan penunutan ialah hak untuk membawa atau mengajukan tersangka ke muka pengadilan; jadi semua tindakan yang dilakukan oleh kejaksaan pada umumnya adalah penunutan, ....”[7] Karena itu wajar kalau Oditur Tinggi berpedapat bahwa pada saat dibukanya sidang (4 Pebruari 2008) kasus itu belum daluwarsa.[8] Karena menurut Oditur tindakan penunutan dalam kasus ini adalah pada tindakan prapenunutan[9] (1 Nopember 2004). Saat ini belum berlangsung 12 tahun sejak kejadian.
Apabila pengadilan menggunakan pengertian luas tentang pengertian penuntutan, maka bisa jadi saat ini kasus itu belum daluwarsa.
Namun begitu - dalam kasus ini, oleh sebab penanganannya sudah sangat berlaurt-larut. Toh jika penafsiran secara luas digunakan, masih juga terbentur pada ketentuan Pasal 80 Ayat (2) KUHP, yang menyatakan “sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru”.
Dalam hubungannya dengan penanganan kasus ini, suka atau tidak suka, kami berpendapat, bahwa ketentuan ayat (2) ini mengandung persoalan. Kalau tenggang daluwarsa penuntutan dihentikan karena adanya tindakan penunutan. Kemudian dimulai tenggang daluwarsa yang baru, pertanyaannya:
Apakah tenggang daluwarsa yang baru ini dapat dihentikan lagi dengan adanya penuntutan?.
Kalau pengertian tindakan penuntutan adalah sebagai menyerahkan perkara ke pengadilan, maka jawabannya adalah tidak mungkin dihentikan, karena tindakan menyerahkan perkara ke pengadilan sudah liwat dan tidak mungkin diulangi kembali. Kalau demikian, lalu untuk apa dirumuskan ketentuan Pasal 80 Ayat (2) yang berbunyi demikian? Dan ini bertentangan dengan maksud dari lembaga daluwarsa.
Sebaliknya jika jawabannya dapat dihentikan, Dengan demikian, tenggang daluwarsa yang baru ini juga bisa liwat lagi setelah 12 tahun sejak dihentikan karena dilakukan penyidikan. Contohnya dalam kasus ini. Jika tindakan penyidikan (9 Pebruari 1993) menghentikan daluwarsa (pengertian luas), maka tanggal 10 Pebruari 1993 tenggang daluwarsa dihitung lagi. Maka pada tanggal 10 Pebruari 2005 jatuh tempo 12 tahun. Maka sejak tanggal 11 Pebruari 2005, hak negara menunut pidana menjadi hapus.
Jawaban iya atau tidak di atas perlu diuji dengan menggunakan logika yang didasarkan pada maksud sebenarnya dari ketentuan ayat (2) tersebut. Maksudnya adalah untuk mengantisipasi apabila terdakwa yang sedang diadili melarikan diri atau ingkar tidak mau hadir di dalam persidangan, sementara negara tidak melakukan upaya paksa untuk menghadirkannya. Logika seperti ini benar, dalam kerangka pengertian penuntutan adalah suatu proses peradilan pidana yang dimulai saat penyidikan sampai putusan akhir, dan bahkan sampai selesainya menjalankan pidana oleh negara. Inilah jawaban yang paling masuk akal.
Dari apa yang diterangkan di atas, melalui penafsiran sistematis dapat disimpulkan bahwa pengertian penuntutan dalam Pasal 80 Ayat (1) KUHP bukan sekedar jaksa menyerahkan perkara ke pengadilan saja, melainkan suatu proses peradilan pidana. Proses peradilan pidana adalah dimulai sejak penyidikan sampai di putusnya oleh pengadilan. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas sampai terpidana selesai menjalani pidana – pun juga masih termasuk proses peradilan pidana.
Cara Menafsirkan Kedua
Pasal 80 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “tindakan penunutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut”. Jelas bahwa “pengetahuan orang yang dituntut itu adalah merupakan syarat menentukan untuk terhentinya daluwarsa penuntutan.
Jika syarat ini dipergunakan, maka sesungguhnya terhentinya daluwarsa penunutan “pasti” bukan pada saat sidang dengan hadirnya terdakwa, seperti pada pendapat DILMILTI III. Namun sudah diketahui terdakwa bahwa Ia dituntut pada saat dilakukan penyidikan (11-2-1993), dan yang pasti pada saat terdakwa dipanggil kembali oleh DENPOM V/3 untuk melakukan pemeriksaan ulang (2004) selanjutnya tanggal 1 Nopember 2004 berkas dilimpahkan ke Koatmil III-12 Surabaya. Inilah alasan oditur Militer Tinggi bahwa pada saat itu (pra penunutan) berjalannya daluwarsa terhenti. Sampai pada saat ini kejadian tersebut belum berlangsung 12 tahun.
Cara menafsirkan Ketiga
Dalam rangka untuk mencapai kedilan dalam kasus ini, kiranya masih lebih bijak menafsirkan frasa “tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa”, dalam Pasal 80 Ayat (1) jo 78 KUHP, berdasarkan latar belakang dan filosofi lembaga penghentian penuntutan pidana dengan alasan kadaluwarsa. Ini cara penafsiran yang lebih logis, dari pada menafsirkan yang dilakukan DILMILTI III Surabaya tersebut.
Lembaga penghentian penuntutan bertujuan “kepastian hukum”. Dalam konteks ini, kepastian hukum mengandung makna bahwa karena berjalanya waktu yang sekian lama, masyarakat dan terutama korban dan atau keluarganya, telah merlupakan penderitaan yang dirasakan yang diakibatkan oleh kejahatan yang dilakukan pembuat. Rasa penderitaan akibat suatu kejahatan telah tiada lagi dan bahkan sudah dilupakan orang.
Dalam keadaan yang demikian, penjatuhan pidana sebagai upaya pemulihan keadilan yang telah dirampas si penjahat – sudah tidak efektif lagi. Pidana yang dijatuhkan hakim terkandung rasa kepuasan masyarakat. Rasa kepuasan itu adalah merupakan aspek yang sangat penting dari pencapaian keadilan melalui vonis hakim yang menghukum terdakwa yang terbukti bersalah. Itulah sesungguhnya filosofi lembaga penghentian penuntutan pidana oleh sebab kadaluwarsa tersebut.
Namun dalam kasus ini liwat waktu yang bahkan kini sudah 17 tahun pun masyarakat terutama bagi keluarga korban - tidak bisa menerima dan melupakan penderitaan berupa rasa keadilan yang sudah terampas oleh perbuatan seorang oknum. Kepedihan dan penderitaan batin akibat dari kejadian karena kelalain oknum, yang mengakibatkan matinya Rifky Andika tersebut, tidak juga lenyap dan berkurang. Terbukti orang tua korban telah melakukan upaya apapun juga untuk mencari keadilan bagi kematian anaknya tersebut. Seminar nasional yang membicarakan kasus ini sekarang adalah suatu bukti pula bahwa masyarakat tidak bisa melupakan kejadian tragis yang merenggut nyawa seorang anak manusia tersebut. Dalam keadaan demikian, maka azas tenggang waktu tertentu yang berjalan sekian lama tidak tepat digunakan sebagai alasan menghentikan penuntutan pidana.
Artinya, jika berdasarkan latar belakang dan filosofi lembaga penghentian penuntutan pidana atas lamanya waktu, yang bertumpu pada rasa keadilan yang terampas yang diingat dan tidak dilupakan orang/masyarakat, maka dalam kurun waktu 17 tahun memburu keadilan yang sedang kita bicarakan sekarang ini, tidak tepat untuk menghentikan penuntutan terhadap si pembuatnya.
Sebagai catatan.
Catatan Pertama.
Selain pengertian penuntutan sebagaimana dimaksudkan Pasal 80 Ayat (1) KUHP. KUHP juga memberi arti lain seperti Pasal 81 KUHP. Arti penuntutan menurut Pasal 81 KUHP lebih luas lagi, karena termasuk juga selama persidangan sampai diputus. Nah selama persidangan itu, penuntutan dapat dihentikan oleh hakim apabila terbukti ada perselisihan pra yudicial. Artinya selama persidangan berlangsung itu juga masuk pengertian penuntutan.
Terbuktilah bahwa ketentuan Pasal 1 Angka 7 KUHAP tidak sejalan dengan Pasal 81 maupun Pasal 80 KUHP. Demikian juga jika dikaji secara dalam perihal kata penuntutan dalam pasal-pasal KUHP yang lain, seperti pasal 72 maupun 76 KUHP.
Maka dapat disimpulkan bahwa, penunutan berdasarkan KUHP sudah terjadi pada saat penyidikan sampai di putusnya perkara tersebut oleh hakim. Kalau tidak diberi arti yang demikian, maka tidak mungkin pembentuk UU merumuskan Pasal 81 KUHP dengan bunyi yang demikian. Dengan pengertian yang demikian, maka kita dapat memahami bunyi rumusan Pasal 80 Ayat (2) KUHP, yang berbunyi “sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa yang baru. Dengan logika, bahwa tenggang daluwarsa yang kedua ini juga dapat dihentikan lagi dengan ada penuntutan. Karena penunutan itu adalah suatu proses mengadili sampai adanya putusan akhir. Cara penafsiran sistematis (systematische interpretatie) inilah yang lebih logis.
Pengertian penuntutan seperti ini sesuai dengan SEMA No. 4 Tahun 1980 tentang perselisihan pra yudicial yang dapat menghentikan sementara penuntutan. Bahwa perselishan pra yudicial ada dua macam, yaitu: “quistion prejudicielle au jugemet” dan “quistion prejudicialle a laction”. Untuk yang pertama dicontohkan Pasal 81 KUHP, suatu tindakan menghentikan sementara (skorsing) penuntutan pidana yang merupakan kewenangan hakim, bukan kewajiban hakim. Sementara yang kedua merupakan kewajiban hakim. Misalnya Pasal 284 Ayat (5) KUHP. Apabila hakim mengadili perzinaan sementara perkawinan belum putus karena perceraian, maka hakim harus menghentikan sementara penuntutan perkara zina tersebut, sampai adanya putusan perceraian.
Maka jelaslah, bahwa pengertian penuntutan di dalam KUHP tidak sama artinya dengan arti penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP.
Catatan Kedua.
Amar “hak menuntut pidana atas terdakwa tidak dapat diterima” karena daluwarsa”
Mestinya yang tidak dapat diterima adalah “tindakan penuntutan” oleh negara (diwakili oditur militer) bukan “hak menuntut pidana”. Untuk melaksanakan hak menuntut pidana, oditur melakukan tindakan penuntutan. Maka tindakan penuntutan itulah yang dapat dinyatakan tidak dapat diterima.[10]
Amar putusan seperti itu baru bisa diberikan oleh hakim, bila perkara pokoknya tidak diperiksa dan tidak dipertimbangkan. Artinya amar demikian hanya mungkin diberikan dalam putusan sela yang mengabulkan eksepsi. Bila eksepsi diajukan, maka ekespsi harus diperiksa dan diputus terlebih dulu. Dalam memeriksa dan mempertimbangkan keberatan dalam eksepsi, tidak perlu memeriksa dan mempertimbangkan pokok perkaranya. Hanya bila putusan sela menolak keberatan dari terdakwa/penasehat hukum saja, baru hakim perlu memeriksa, mempertimbangkan dan memutus pokok perkaranya.
Putusan hakim DILMILTI III Surabaya tersebut telah memeriksa pokok perkaranya, bahwa telah memberi pertimbangan dan konklusi hukum yang sangat jelas yang bunyinya ialah “Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, merupakan fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan, Majelis Hakim berpendapat cukup bukti yang sah dan meyakinkan bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana . . . .”[11] Pertimbangan hukum seperti ini mestinya diikuti oleh amar pemidanaan. Ternyata amar yang demikian tidak ditarik hakim, tetapi justru menarik amar “penuntutan tidak dapat diterima karena daluwarsa”.
Oleh adanya putusan yang demikian, maka dari sudut hukum pidana berakhirlah perkara ini. Tidak ada lagi upaya hukum apapun yang dapat dilakukan. Masyarakat termasuk keluarga korban in casu bapak Indra Azwan, dipaksa untuk untuk menerimanya. Apa boleh buat. Biarlah hukum Allah yang berlaku. Mengapa demikian?
- Pertama, yang pasti dengan upaya hukum apapun yang dikenal dalam hukum pidana terhadap putusan akhir - sudah liwat waktu, kecuali PK. Namun PK tidak mungkin.
- Kedua, amar putusan yang berbunyi “hak menuntut pidana tidak dapat diterima” adalah bukan amar dalam putusan akhir, namun amar putusan sela. Amar putusan sela hanya mungkin dilawan dengan upaya hukum perlawanan. Perlawanan tidak mungkin dilakukan, karena tidak ada putusan sela. Format putusan Pengadilan Milter Tinggi III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/ II/2008 adalah format putusan akhir dan bukan format putusan sela.
- Ketiga. Sementara kasasi tidak mungkin dilakukan terhadap putusan yang bunyi amarnya demikian. Kasasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan akhir yang mempidana saja.
- Keempat, upaya PK tidak bisa dilakukan. Sebab, disamping PK hanya dapat diajukan terhadap putusan akhir yang amarnya mempidana. Juga PK hanya bisa diajukan dan menjadi hak terpidana saja.
B. PERMASALAHAN KEDUA
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum - Sebuah Solusi
Dari sudut hukum pidana, kasus ini sudah tamat. Sudah tutup buku. Tinggal sejarah saja yang dapat diingat atau diketahui oleh anak cucu kita. Namun dari sudut hukum perdata masih terbuka luas.
Setiap tindak pidana pastilah di dalamnya mengandung sekali gus perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad, Pasal 1365 BW). Kecuali tindak pidana yang korbannya adalah si pembuat sendiri. Namun perbuatan melawan hukum belum tentu merupakan tindak pidana.
Oleh karena itu, meskipun Bapak Indra Azwan telah gagal dalam memperjuangkan hak-haknya dari sudut hukum pidana. Kasus ini masih dapat diselesaikan dengan mengajukan gugat perdata.
Dua gugatan perdata secara terpisah dengan dasar perbuatan melawan hukum. Pertama ditujukan pada oknum yang menyebabkan langsung kematian Rifky Andika. Kedua ditujukan pada oknum-oknum penegak hukum yang terlibat dalam menangani kasus kematian RIFKY ANDIKA tersebut.
Meskipun Bapak Indra Azwan tentu tidak mau nyawa anaknya ditukar atau disamakan dengan beberapa puluh juta rupiah atau ratusan juta rupiah, bahkan miliaran rupiah. Namun yang sangat berharga dari gugatan tersebut, adalah:
o Pertama, berguna sebagai pengetahuan dan pelajaran bagi setiap oknum penegak hukum dan siapa saja di negara hukum Indonesia ini. Bahwa di dalam kejahatan yang dilakukan, sekaligus di dalamnya ada perbuatan melawan hukum perdata, yang juga harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku dengan penggantian kerugian. Pertanggungjawaban perdata tersebut tidak akan menjadi selesai atau hapus, meskipun perkara pidana telah diselesaikan dengan menjatuhkan hukuman pada si pembuat. Setiap kejahatan, pelakunya dapat digugat secara perdata untuk menuntut penggantian kerugian.
o Kedua, dengan pengetahuan dan palajaran yang dapat dipetik dari gugatan perdata tersebut, diharapkan para petinggi hukum sadar akan akibat dari perbuatan yang sewenang-wenang dalam menegakkan aturan. Bahwa ke depan kesewenang-wenangan diharapkan berkurang - sampai tidak terjadi lagi. Amin Ya Robal Alamin.
o Ketiga, untuk mendapatkan kepastian hukum bahwa si penabrak benar-benar telah bersalah. Toh dasar pertimbangan amar putusan perdatanya nanti adalah kelakuan menabrak mati seorang RIFKY ANDIKA yang in casu berupa tindak pidana adalah suatu kesalahan yang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Pertimbangan hukum beserta konklusinya dari putusan DILMILTI III Surabaya telah menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Pasal 359 KUHP dapat digunakan dalam pembuktian. Putusan dengan pertimbangan hukum beserta konklusi putusan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti mutlak dan yang mengikat hakim. Insya Allah Tuhan menunjukkan kebenaran dan keadilan dalam perkara perdata ini.
Hambatan gugatan perdata ialah pada pembiayaan. Gugatan perdata memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mungkin masyarakat dapat menggalang dana seperti “Coin Ibu Prita Mulyasari” yang lalu. Dengan niat melawan kebatilan dan dukungan dari Insan Pers, Insya Allah COIN RIFKY ANDIKA dapat diwujudkan.
Sanksi bagi Oknum yang Merekayasa
Dari sudut hukum pidana tidak ada lagi keadilan yang bisa didapat. Putusan hakim DILMILTI III jo DILMILTAMASurabaya ini sudah final. Hanya tinggal mencari siapa-siapa penegak hukum yang terlibat yang sengaja merekayasa kasus ini sehingga menghasilkan putusan tindakan penuntutan pidana tidak dapat diterima karena daluwarsa tersebut. Dialah yang harus diperiksa. Jika ada terindikasi tindak pidana, misalnya menerima suap atau memalsu surat dalam hal penanganannya, maka harus diusut. Jika terbukti harus dihukum.
Setidak-tidaknya sanksi jabatan boleh dijatuhkan. Namun jika sebagian petinggi hukum yang menangani kasus itu telah pensiun, kiranya mereka masih dapat di gugat perdata melalui perbuatan melawan hukum Pasal 1365 BW untuk penggantian kerugian atas perbuatannya yang memperlambat atau menterlantarkan penanganan perkara ini.
IV. KESIMPULAN
1. Pengertian penuntutan di dalam pasal-pasal KUHP tidak sama dengan pengertian penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP.
2. Dalam menerapkan ketentuan dalam pasal tertentu KUHP, harus dicari pengertian yang sesuai dengan maksud dari ketentua pasal tersebut.
3. Belum ada keseragaman pendapat, dan juga belum ada yurisprodensi tetap yang dapat dianut perihal pengertian penuntutan dalam Pasal 80 KUHP.
4. Dalam doktrin ada 2 pengertian penuntutan. Arti luas dan arti sempit. Kata/unsur “penuntutan” dalam pasal-pasal KUHP harus diberi arti secara luas. Pengertian secara luas ini lebih sesuai dengan pengertian penuntutan dalam Pasal 81 KUHP. Tidak ada salahnya jika mencari arti penuntutan dengan berdasarkan maksud dari penuntutan dalam Pasal 81 KUHP (penafsiran sistematis).
5. Untuk kepastian hukum di dalam praktik, maka dalam hukum acara pidana (KUHAP) dan KUHP yang akan datang hendaklah diberikan batasan yang tegas tentang arti penuntutan yang dapat menampung maksud dari rumusan dalam KUHP yang memuat frasa atau istilah penuntutan.
6. Format putusan DILMILTI III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008 adalah format putusan akhir, namun amarnya putusan sela.
7. Dengan adanya putusan DILMILTI III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008 jo putusan DILMILTAMANo. Put/08/PMU/BDG/Pol/VI/2009 dari sudut hukum pidana - perkara ini selesai.
8. Dari sudut hukum pidana, masih bisa dipersoalkan tentang mengapa, apa motivasinya dan untuk tujuan apa serta dengan cara bagaimana para oknum penegak hukum menangani perkara ini sehingga menghasilkan putusan DILMILTI III Surabaya yang dirasa menusuk rasa keadilan masyarakat? Untuk itu silakan semua pihak yang peduli terutama keluarga korban berjuang terus.
9. Dari sudut hukum perdata, masih terbuka upaya mengajukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW). Baik terhadap oknum pelaku, maupun terhadap oknum-oknum penegak hukum yang menyebabkan terlantar dan berlarut-lartunya penanganan perkara ini sehingga lahir putusan Pengadilan Militer Tingggi III No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008,jo DILMILTAMASurabaya No. Put/08/PMU/BDG/Pol/VI/2009.
10. Putusan DILMILTI III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/ II/2008 ,jo DILMILTAMASurabaya No. Put/08/PMU/BDG/Pol/VI /2009. merupakan alat bukti sempurna. Pertimbangan hukum dan konkulusi putusan tersebut merupakan bukti yang mengikat hakim.
Demikian buah pikiran yang dapat kami sampaikan pada seminar ini. Tidak ada gading yang tak retak. Atas kesalahan dan kekurangan yang ada, kami mohon maaf.
Terima kasih.
Malang, Kampus FH UB, 22 Januari 2011.
[1] Proposal Bedah Kasus 17 Tahun Memburu Keadilan, halaman 1.
[2] Putusan DILMILTI Surabaya No.: PUT/05-K/PMT.III?POLRI/II/2008 tanggal 6 Pebruari 2008.
[3] Lihat putusan No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008, halaman 22.
[4] Ibid, halaman 23.
[5] Prof. Mr. JE Jonkers, 1987. Handboek van het Nederlandsch – Indische Strafrecht, Terjemahan Tim Penerjemah Bina Aksara, Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, hal. 241.
[6] Mr. R. Tresna, 1959. Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit PT Tiara Ltd, Jakrta, hal. 176.
[7] Marjoto, 1958. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara, Penerbit POLITEIA, Bogor, hal. 34.
[8] Putusan No. PUT/05-K/PMT-III/POL/II/2008, hal. 23.
[9] Ibid, hal. 17.
[10] Lihat bunyi Pasal 80 Ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiap-tiap tindakan penuntutan….” .
[11]Lihat Putusan Pengadilann Militer Tinggi III Surabaya No. PUT/05-K/PMT.III/POL/II/2008, halaman 21.
Jumat, 28 Januari 2011
Kamis, 05 Agustus 2010
Oknum Polisi Tabrak Mati Anak, Gugatan Perdata Sebuah Solusi
GUGATAN PERDATA - SEBUAH SOLUSI
KASUS OKNUM POLISI TABRAK ANAK P. INDRA AZWAN
(H. Adami Chazawi)
PENDAHULUAN
Nasib Bapak Indra Azwan yang tinggal di Genukwatu Barat G II No. 95 Blimbing Malang, sungguh sangat memilukan. Anak kandungnya Rifki Andika (12) tanggal 18 Pebruari 1993 (17 tahun lalu), ditabrak seorang Letnan Polisi di Jalan S. Parman Malang - sehingga tewas. Selama itu kasus itu digantung, tidak menentu. Sampai akhirnya tahun 2008 disidangkan di Pengadilan Negeri Malang, dan divonis bebas, alasan hakim kasus tersebut telah daluwarsa.[1] (Mestinya bukan bebas, melainkan diputus dengan amar ”negara tidak berhak menuntut karena daluwarsa”).
Ini satu bukti bahwa kasus oknum polisi dimana korbannya adalah rakyat kecil atau melarat, hampir pasti tersendat, bahkan berhenti tanpa kepastian. Akhir cerita, sudah dapat ditebak, kalau diajukan ke pengadilan, akan diputus negara tidak bisa menuntut lagi karena daluwarsa. Memang disengaja oleh oknum-oknum yang menangani, berdasarkan solidaritas yang membabi buta, dengan menyalahgunakan kewenangan. Pennanganan kasus semacam ini tentu masih banyak. Hanya tidak terekspos ke publik.
Bapak yang malang ini, sudah melakukan upaya apa saja secara terus menerus sampai detik ini. Namun tidak pernah digubris secara serius. Bahkan untuk yang terakhir kalinya Ia melakukan protes kepada aparat penegak hukum dengan berjalan kaki dari Malang menuju Istana Presiden. Dua puluh dua hari sampailah beliau di istana presiden. Tujuan satu-satunya meminta keadilan pada Pimpinan Tertinggi di Republik ini. Namun sampai detik ini tidak juga bisa bertemu. Bukan main susahnya ketemu Presidennya sendiri.
PERMASALAHAN HUKUM
Sesungguhnya hakim (2008) yang mengadili perkara ini tidak perlu buru-buru memutus Jaksa tidak berhak menuntut karena telah daluwarsa. Toh hakim dapat melakukan penafsiran atas Pasal 80 KUHP secara luas, demi untuk mencapai keadilan. Apa artinya? Belum tentu pada tahun 2008, bahkan sekarang kasus tersebut benar-benar daluwarsa.
Pasal 80 KUHP merumuskan sbb:
(1) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan umum .
(2) Sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.
Dari ketentuan di atas, berjalannya tenggang waktu/daluwarsa dapat dihentikan. Persoalannya adalah pada kalimat ini. Pertanyaan hukumnya ialah.
1. Apa sesungguhnya arti penuntutan? dan
2. Apa arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa?
Mencari arti yang sesungguhnya dengan cara menggali maksud apa yang terkandung di dalam istilah “penuntutan” (Vervolging), dan arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa? Mari kita bahas dua masalah tersebut.
Memang kalau kita melihat arti penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Selesailah masalahnya, karena pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum menlimpahkan perkara ke pengadilan negeri. Penghitungan daluwarsa penuntutan pidana dihitung sejak terjadinya tindak pidana. Tentu saja kalau berdasarkan KUHAP, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Selesailah sudah. PN telah benar.
Hanya tinggal mencari siapa-siapa penegak hukum yang terlibat yang sengaja merekayasa kasus ini sehingga daluwarsa. Dialah yang harus diperiksa. Jika ada terindikasi tindak pidana, misalnya menerima suap atau memalsu surat dalam hal penangananya, maka “bui” adalah tempat penegak hukum yang busuk seperti itu. Setidak-tidaknya sanksi jabatan harus dijatuhkan. Janganlah kita terbiasa menteloransi kesalahan seperti ini secara membabi buta.
Tapi, apakah hakim sudah benar memahami istilah yang ada di dalam KUHP dengan menggunakan KUHAP?. Suatu sumber hukum (KUHP) yang berlaku di Hindia Belanda sejak tanggal 1 Januari 1908. Sementara KUHAP berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981. Ada cara lain untuk memahami semua istilah dalam KUHP, yakni haruslah berdasarkan KUHP itu sendiri. Jangan berdasarkan KUHAP. Kalau ini yang menjadi titik pangkal berpikir, maka pengertian istilah penuntutan (vervolging) bisa lain, sebagaimana yang dipahami oleh Hakim PN Malang tersebut.
Menurut hemat saya, masih terbuka jalan untuk menggali maksud pembentuk UU yang sebenarnya, khususnya mencantumkan kalimat “asalkan tindakan (penuntutan) itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau diberitahukan kepadanya…”. Tentulah ada maksud pembentuk UU mengapa kalimat itu perlu dicantumkan.
Dari kalimat itu dapatlah kita tarik simpulannya. Bahwa ada penuntutan yang tidak diketahui oleh orang yang dituntut. Karena itu wajiblah diberitahukan padanya, sebagai syarat terhentinya daluwarsa penuntutan. Disamping itu tentulah ada penuntutan yang dengan secara otomatis (serta merta) tanpa diberitahukan, Ia mengetahuinya. Dan yang kedua inilah yang dimaksudkan penuntutan dalam arti KUHAP yang sekarang. Tidak perlu diberitahukan, toh si pelaku mengetahui dengan sendirinya, ketika Ia disidangkan untuk pertama kali. Bahkan sebelum diajukan ke pengadilan, Ia mengetahuinya melalui pengisian BA.15. Maksud BA.15 ialah terdakwa sebelum disidangkan, Ia dipanggil Jaksa untuk ditanyai hal kebenaran BAP yang dibuat Polisi Penyidik. BA itulah yang disebut dengan BA. 15.
Persoalan yang belum terjawab, ialah penuntutan yang semula tidak diketahui oleh yang dituntut. Apakah arti dan makna yang sesungguhnya? Menjawab permasalahan ini bisa dengan cara menggalinya menurut KUHP, bukan menurut KUHAP. Oleh karena itu untuk mengatasi kasus polisi yang menabrak mati anak pak Indra Azwan ini, harus dilihat dari KUHP.
Dari kalimat asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, mengandung arti bahwa, ada penuntutan yang tidak diketahui oleh penuntut. Nah dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya KUHP memberi arti istilah penuntutan bukan sebagai Jaksa menyerahkan berkas ke pengadilan dan meminta untuk menyidangkan dan memutus. Sebab kalau pembentuk KUHP semula memberi arti penuntutan sama dengan KUHAP (menyerahkan perkara ke pengadilan), maka kalimat “asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut” tidak diperlukan dicantumkan dalam Pasal 80 KUHP. Karena tidak mungkin tersangka tidak akan mengetahui kalau ia dituntut.
Secara akal tidak benar mencari arti istilah dalam KUHP yang berlaku sejak 1908 berdasarkan KUHAP yang berlakunya tahun 1981?
Kalau begitu apa artinya penuntutan dalam Pasal 80 KUHP. Jawaban singkatnya, ialah bahwa penututan itu sudah terjadi pada saat sebelum jaksa menyerahkan perkara ke pengadilan. Tapi pada saat penyidikan dilakukan, fase itu sudah disebut dengan penuntutan. Pendapat ini bisa dibandingkan dengan merujuk satu referensi - buku Jonkers.[2]. Itulah yang dimaksud dengan pengertian luas, yang sesuai dengan pengertian menurut KUHP. Bukan arti sempit menurut KUHAP.
Apabila hakim menggunakan pengertian luas, pengertian yang sesungguhnya - sebagai konsepsi Pasal 80 tentang pengertian penuntutan, maka bisa jadi saat ini kasus itu belum daluwarsa. Bisa jadi penyidikan sudah dilakukan sebelum masa 12 tahun sejak Polisi tersebut menabrak mati anak kesayangan Pak Indra Azwan tersebut. Pada saat itu berjalannya tenggang daluwarsa terhenti. Kalau terhenti, pastilah tahun 2008 bahkan sekarang mungkin belum 12 tahun sejak terhentinya.
Semoga hakim MA (apabila masih mungkin mengajukan upaya kasasi?) nanti menggunakan pendapat luas sebagaimana yang saya maksudkan. Lebih-lebih lagi kalau desakan meluas di masyarakat. Desakan diperlukan, karena masih ada jalan hukumnya, bukan tidak berdasar sama sekali. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendukung Bapak yang malang dari Malang tersebut.
Sebagai catatan. Selain pengertian penuntutan sebagaimana dimaksudkan Pasal 80 KUHP. KUHP juga memberi arti lain seperti Pasal 81 KUHP, disana arti penuntutan termasuk juga selama persidangan sampai diputus. Nah selama persidangan itu, penuntutan dapat dihentikan oleh hakim apabila terbukti ada perselisihan pra yudicial. Maka berdasarkan KUHP, penuntutan sudah terjadi pada saat penyidikan sampai di putusnya perkara tersebut oleh hakim. Kalau tidak diberi arti yang demikian, maka tidak mungkin pembentuk UU merumuskan Pasal 81 KUHP dengan bunyi yg demikian.
SEMOGA PARA PENEGAK HUKUM MEMILIKI PANDANGAN YANG LUAS DALAM PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENCAPAI KEADILAN.
GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM - SEBUAH SOLUSI.
Setiap tindak pidana pastilah di dalamnya mengandung sekali gus perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad, Pasal 1365 BW). Namun perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 BW belum tentu sekaligus merupakan tindak pidana.
Oleh karena itu, andaikata Bapak Indra Azwan merasa gagal memperjuangkan hak-haknya dari sudut hukum pidana. Mengapa tidak menggunakan melalui jalur gugatan perdata?. Seperti pernah terjadi di Malang. Seorang anak menabrak seorang pegawai suatu Instansi sehingga satu kakinya diamputasi. Kemudian menggugat perdata untuk penggantian kerugian pada orang tuanya, dengan menyita rumah mewahnya. Akhir cerita, rumah mewah tersebut dilelang - hasil lelang untuk membayar ganti rugi sebuah kaki. Apalagi sebuah nyawa. Pastilah bukan sebuah rumah ludes, bisa saja seluruh harta pak Polisi tersebut ludes, asal penegakan hukum dilakukan secara benar, adil, jujur dan tegas. Sesuai apa yang dikatakan artis Pong di atap gedung DPR. Paling tidak hartanya bisa berkurang buat bayar pengacara. Buat pelajaran, bahwa hukum lain masih ada diluar hukum pidana yang tidak bisa dia kuasai dan permainkan.
Saya menganjurkan kasus ini agar diselesaikan dengan mengajukan gugat perdata. Mumpung harta-harta yang ada belum dijual /dialihkan secara pura-pura. Meskipun Bapak Indra Azwan tentu tidak mau nyawa anaknya ditukar atau disamalkan dengan beberapa puluh juta rupiah atau ratusan juta rupiah. Namun yang sangat berharga, adalah, pengetahuan dan pelajaran bagi oknum penegak hukum dan siapa saja di bumi Indonesia Raya ini. Bahwa setiap upaya penyimpangan hukum dan pengelabuan hukum oleh siapaun, selalu mengandung akibat hukum bagi dirinya sendiri. Meskipun penegakan hukum pidana ada dalam genggamannya, namun oknum penegak hukum tidak boleh sak enaknya di negara hukum ini. Masih ada norma hukum lain yang tidak bisa dipermainkannya. Seperti kasus ini, gugatan perdata adalah sebuah solusi, yang sebelumnya mungkin tidak diperhitungkannya.
Demikian pendapat saya.
Semoga perjuangan Bapak Indra Azwan selama ini terkabul. Amin ya Robbal alamin.
Malang, Kampus FH UB, 2 Agustus 2010.
[1] Sinar Indonesia Baru, http://hariansib.com/ (mobil Sib), diakses 1-8-2010).
[2] Jonkers, JE. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda (Handboek van het Nederlandisch Indiche Strtafrecht), Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, halaman 241.
KASUS OKNUM POLISI TABRAK ANAK P. INDRA AZWAN
(H. Adami Chazawi)
PENDAHULUAN
Nasib Bapak Indra Azwan yang tinggal di Genukwatu Barat G II No. 95 Blimbing Malang, sungguh sangat memilukan. Anak kandungnya Rifki Andika (12) tanggal 18 Pebruari 1993 (17 tahun lalu), ditabrak seorang Letnan Polisi di Jalan S. Parman Malang - sehingga tewas. Selama itu kasus itu digantung, tidak menentu. Sampai akhirnya tahun 2008 disidangkan di Pengadilan Negeri Malang, dan divonis bebas, alasan hakim kasus tersebut telah daluwarsa.[1] (Mestinya bukan bebas, melainkan diputus dengan amar ”negara tidak berhak menuntut karena daluwarsa”).
Ini satu bukti bahwa kasus oknum polisi dimana korbannya adalah rakyat kecil atau melarat, hampir pasti tersendat, bahkan berhenti tanpa kepastian. Akhir cerita, sudah dapat ditebak, kalau diajukan ke pengadilan, akan diputus negara tidak bisa menuntut lagi karena daluwarsa. Memang disengaja oleh oknum-oknum yang menangani, berdasarkan solidaritas yang membabi buta, dengan menyalahgunakan kewenangan. Pennanganan kasus semacam ini tentu masih banyak. Hanya tidak terekspos ke publik.
Bapak yang malang ini, sudah melakukan upaya apa saja secara terus menerus sampai detik ini. Namun tidak pernah digubris secara serius. Bahkan untuk yang terakhir kalinya Ia melakukan protes kepada aparat penegak hukum dengan berjalan kaki dari Malang menuju Istana Presiden. Dua puluh dua hari sampailah beliau di istana presiden. Tujuan satu-satunya meminta keadilan pada Pimpinan Tertinggi di Republik ini. Namun sampai detik ini tidak juga bisa bertemu. Bukan main susahnya ketemu Presidennya sendiri.
PERMASALAHAN HUKUM
Sesungguhnya hakim (2008) yang mengadili perkara ini tidak perlu buru-buru memutus Jaksa tidak berhak menuntut karena telah daluwarsa. Toh hakim dapat melakukan penafsiran atas Pasal 80 KUHP secara luas, demi untuk mencapai keadilan. Apa artinya? Belum tentu pada tahun 2008, bahkan sekarang kasus tersebut benar-benar daluwarsa.
Pasal 80 KUHP merumuskan sbb:
(1) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan umum .
(2) Sesudah dihentikan, dimulai tenggang daluwarsa baru.
Dari ketentuan di atas, berjalannya tenggang waktu/daluwarsa dapat dihentikan. Persoalannya adalah pada kalimat ini. Pertanyaan hukumnya ialah.
1. Apa sesungguhnya arti penuntutan? dan
2. Apa arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa?
Mencari arti yang sesungguhnya dengan cara menggali maksud apa yang terkandung di dalam istilah “penuntutan” (Vervolging), dan arti tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa? Mari kita bahas dua masalah tersebut.
Memang kalau kita melihat arti penuntutan menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP. Selesailah masalahnya, karena pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum menlimpahkan perkara ke pengadilan negeri. Penghitungan daluwarsa penuntutan pidana dihitung sejak terjadinya tindak pidana. Tentu saja kalau berdasarkan KUHAP, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Selesailah sudah. PN telah benar.
Hanya tinggal mencari siapa-siapa penegak hukum yang terlibat yang sengaja merekayasa kasus ini sehingga daluwarsa. Dialah yang harus diperiksa. Jika ada terindikasi tindak pidana, misalnya menerima suap atau memalsu surat dalam hal penangananya, maka “bui” adalah tempat penegak hukum yang busuk seperti itu. Setidak-tidaknya sanksi jabatan harus dijatuhkan. Janganlah kita terbiasa menteloransi kesalahan seperti ini secara membabi buta.
Tapi, apakah hakim sudah benar memahami istilah yang ada di dalam KUHP dengan menggunakan KUHAP?. Suatu sumber hukum (KUHP) yang berlaku di Hindia Belanda sejak tanggal 1 Januari 1908. Sementara KUHAP berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981. Ada cara lain untuk memahami semua istilah dalam KUHP, yakni haruslah berdasarkan KUHP itu sendiri. Jangan berdasarkan KUHAP. Kalau ini yang menjadi titik pangkal berpikir, maka pengertian istilah penuntutan (vervolging) bisa lain, sebagaimana yang dipahami oleh Hakim PN Malang tersebut.
Menurut hemat saya, masih terbuka jalan untuk menggali maksud pembentuk UU yang sebenarnya, khususnya mencantumkan kalimat “asalkan tindakan (penuntutan) itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau diberitahukan kepadanya…”. Tentulah ada maksud pembentuk UU mengapa kalimat itu perlu dicantumkan.
Dari kalimat itu dapatlah kita tarik simpulannya. Bahwa ada penuntutan yang tidak diketahui oleh orang yang dituntut. Karena itu wajiblah diberitahukan padanya, sebagai syarat terhentinya daluwarsa penuntutan. Disamping itu tentulah ada penuntutan yang dengan secara otomatis (serta merta) tanpa diberitahukan, Ia mengetahuinya. Dan yang kedua inilah yang dimaksudkan penuntutan dalam arti KUHAP yang sekarang. Tidak perlu diberitahukan, toh si pelaku mengetahui dengan sendirinya, ketika Ia disidangkan untuk pertama kali. Bahkan sebelum diajukan ke pengadilan, Ia mengetahuinya melalui pengisian BA.15. Maksud BA.15 ialah terdakwa sebelum disidangkan, Ia dipanggil Jaksa untuk ditanyai hal kebenaran BAP yang dibuat Polisi Penyidik. BA itulah yang disebut dengan BA. 15.
Persoalan yang belum terjawab, ialah penuntutan yang semula tidak diketahui oleh yang dituntut. Apakah arti dan makna yang sesungguhnya? Menjawab permasalahan ini bisa dengan cara menggalinya menurut KUHP, bukan menurut KUHAP. Oleh karena itu untuk mengatasi kasus polisi yang menabrak mati anak pak Indra Azwan ini, harus dilihat dari KUHP.
Dari kalimat asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut, mengandung arti bahwa, ada penuntutan yang tidak diketahui oleh penuntut. Nah dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya KUHP memberi arti istilah penuntutan bukan sebagai Jaksa menyerahkan berkas ke pengadilan dan meminta untuk menyidangkan dan memutus. Sebab kalau pembentuk KUHP semula memberi arti penuntutan sama dengan KUHAP (menyerahkan perkara ke pengadilan), maka kalimat “asal tindakan itu diketahui oleh yang dituntut” tidak diperlukan dicantumkan dalam Pasal 80 KUHP. Karena tidak mungkin tersangka tidak akan mengetahui kalau ia dituntut.
Secara akal tidak benar mencari arti istilah dalam KUHP yang berlaku sejak 1908 berdasarkan KUHAP yang berlakunya tahun 1981?
Kalau begitu apa artinya penuntutan dalam Pasal 80 KUHP. Jawaban singkatnya, ialah bahwa penututan itu sudah terjadi pada saat sebelum jaksa menyerahkan perkara ke pengadilan. Tapi pada saat penyidikan dilakukan, fase itu sudah disebut dengan penuntutan. Pendapat ini bisa dibandingkan dengan merujuk satu referensi - buku Jonkers.[2]. Itulah yang dimaksud dengan pengertian luas, yang sesuai dengan pengertian menurut KUHP. Bukan arti sempit menurut KUHAP.
Apabila hakim menggunakan pengertian luas, pengertian yang sesungguhnya - sebagai konsepsi Pasal 80 tentang pengertian penuntutan, maka bisa jadi saat ini kasus itu belum daluwarsa. Bisa jadi penyidikan sudah dilakukan sebelum masa 12 tahun sejak Polisi tersebut menabrak mati anak kesayangan Pak Indra Azwan tersebut. Pada saat itu berjalannya tenggang daluwarsa terhenti. Kalau terhenti, pastilah tahun 2008 bahkan sekarang mungkin belum 12 tahun sejak terhentinya.
Semoga hakim MA (apabila masih mungkin mengajukan upaya kasasi?) nanti menggunakan pendapat luas sebagaimana yang saya maksudkan. Lebih-lebih lagi kalau desakan meluas di masyarakat. Desakan diperlukan, karena masih ada jalan hukumnya, bukan tidak berdasar sama sekali. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendukung Bapak yang malang dari Malang tersebut.
Sebagai catatan. Selain pengertian penuntutan sebagaimana dimaksudkan Pasal 80 KUHP. KUHP juga memberi arti lain seperti Pasal 81 KUHP, disana arti penuntutan termasuk juga selama persidangan sampai diputus. Nah selama persidangan itu, penuntutan dapat dihentikan oleh hakim apabila terbukti ada perselisihan pra yudicial. Maka berdasarkan KUHP, penuntutan sudah terjadi pada saat penyidikan sampai di putusnya perkara tersebut oleh hakim. Kalau tidak diberi arti yang demikian, maka tidak mungkin pembentuk UU merumuskan Pasal 81 KUHP dengan bunyi yg demikian.
SEMOGA PARA PENEGAK HUKUM MEMILIKI PANDANGAN YANG LUAS DALAM PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENCAPAI KEADILAN.
GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM - SEBUAH SOLUSI.
Setiap tindak pidana pastilah di dalamnya mengandung sekali gus perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad, Pasal 1365 BW). Namun perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 BW belum tentu sekaligus merupakan tindak pidana.
Oleh karena itu, andaikata Bapak Indra Azwan merasa gagal memperjuangkan hak-haknya dari sudut hukum pidana. Mengapa tidak menggunakan melalui jalur gugatan perdata?. Seperti pernah terjadi di Malang. Seorang anak menabrak seorang pegawai suatu Instansi sehingga satu kakinya diamputasi. Kemudian menggugat perdata untuk penggantian kerugian pada orang tuanya, dengan menyita rumah mewahnya. Akhir cerita, rumah mewah tersebut dilelang - hasil lelang untuk membayar ganti rugi sebuah kaki. Apalagi sebuah nyawa. Pastilah bukan sebuah rumah ludes, bisa saja seluruh harta pak Polisi tersebut ludes, asal penegakan hukum dilakukan secara benar, adil, jujur dan tegas. Sesuai apa yang dikatakan artis Pong di atap gedung DPR. Paling tidak hartanya bisa berkurang buat bayar pengacara. Buat pelajaran, bahwa hukum lain masih ada diluar hukum pidana yang tidak bisa dia kuasai dan permainkan.
Saya menganjurkan kasus ini agar diselesaikan dengan mengajukan gugat perdata. Mumpung harta-harta yang ada belum dijual /dialihkan secara pura-pura. Meskipun Bapak Indra Azwan tentu tidak mau nyawa anaknya ditukar atau disamalkan dengan beberapa puluh juta rupiah atau ratusan juta rupiah. Namun yang sangat berharga, adalah, pengetahuan dan pelajaran bagi oknum penegak hukum dan siapa saja di bumi Indonesia Raya ini. Bahwa setiap upaya penyimpangan hukum dan pengelabuan hukum oleh siapaun, selalu mengandung akibat hukum bagi dirinya sendiri. Meskipun penegakan hukum pidana ada dalam genggamannya, namun oknum penegak hukum tidak boleh sak enaknya di negara hukum ini. Masih ada norma hukum lain yang tidak bisa dipermainkannya. Seperti kasus ini, gugatan perdata adalah sebuah solusi, yang sebelumnya mungkin tidak diperhitungkannya.
Demikian pendapat saya.
Semoga perjuangan Bapak Indra Azwan selama ini terkabul. Amin ya Robbal alamin.
Malang, Kampus FH UB, 2 Agustus 2010.
[1] Sinar Indonesia Baru, http://hariansib.com/ (mobil Sib), diakses 1-8-2010).
[2] Jonkers, JE. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda (Handboek van het Nederlandisch Indiche Strtafrecht), Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, halaman 241.
Minggu, 25 Juli 2010
Berciuman Bibir Di Muka Umum, Dipidanakah ?
BERCIUMAN BIBIR DI MUKA UMUM –
DIPIDANAKAH ??
(Tinjauan dari KUHP & UU ITE)
H. Adami Chazawi
(Untuk Mahasiswa FH UB, khususnya
yang memprogramkan KTSH).
PENDAHULUAN
Untuk menyatakan perasaan, orang bisa melakukan dengan cara mencium atau berciuman. Menyatakan sayang pada anak, orang mencium kening atau pipi si anak. Untuk menyatakan keakraban (sesama jenis), dengan berciuman pipi. Untuk menyatakan hormat pada seseorang, bisa dilakukan dengan mencium tangannya. Seperti Anggodo mencium tangan mantan pejabat tinggi Kejaksaan Agung di muka persidangan pengadilan yang lalu. Menyatakan cinta atau melampiaskan birahi, dapat dengan melakukan mencium bibir lawan jenisnya.
Untuk ciuman yang terakhir halal saja dilakukan, asalkan tidak dilihat oleh umum, misalnya di dalam kamar atau di hutan sekalian seperti tarzan. Bebeda halnya apabila mencium atau berciuman bibir di lakukan di muka umum. Orang yang melihat adegan tersebut terganggu rasa kesusilaannya. Contoh K dan pacarnya berciuman di muka para wartawan intertainment. Kemudian ditayangkan oleh station TV. Masyarakat memberi rekasi - mencela pertunjukan adegan baku cium tersebut. Sebagaimana dapat dibaca di koran-koran, siran TV dan jejaring sosial (internet). MUI juga segera memberi reaksi. Ketua MUI KH Hamidan menyatakan “mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan”.[1] Tak tahan menghadapi reaksi dari masyarakat, K pun menyatakan “meminta maaf” atas kelakuan yang membuat banyak orang tergganggu rasa kesusilannya tersebut.[2]
Keadaan tersebut membuktikan bahwa, di dalam kehidupan masyarakat, ada nilai-nilai kesusilaan yang hidup, dihargai, dianut dan dipertahankan. Kenyataan adanya reaksi masyarakat tersebut, adalah suatu bukti bahwa nilai-nilai kesusilaan itu ada dan hidup dan keberlakuannya dipertahankan masyarakat.
Timbulnya reaksi masyarakat seperti itu, membuktikan pula bahwa, setiap individu tidak saja harus menegakkan hukum dalam sikap dan perbuatannya, tetapi juga perlu menegakkan norma-norma lainnya, seperti norma kesusilaan dan norma agama. Meskipun terhadap isi bagian tertentu norma kesusilaan dan norma agama belum diadopsi ke dalam norma hukum. Belum teradopsi ke dalam norma hukum, tidak menjadi alasan bagi setiap individu untuk tidak menjalankan dan mematuhi norma-norma kesusilaan dan norma agama. Banyak norma-norma agama yang tanpa disadari telah diadopsi ke dalam norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu melanggar norma-norma kesusilaan dapat dinilai sekaligus melanggar norma agama. Misalnya perbuatan bersetubuh diluar nikah. Dilarang oleh norma agama, kesusilaan, yang dengan syarat-syarat tertentu dilarang pula oleh hukum.[3] Nilai-nilai moral kesusilaan yang berasal dari norma agama telah diadopsi ke dalam norma hukum.
Norma-norma kesusilaan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal kesopanan setiap orang dalam pergaulan hidup sesamanya dalam masyarakat. Nilai-nilai kesusilaan yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dapat mencerminkan sifat dan karakter dari suatu lingkungan masyarakat, bahkan suatu bangsa . Patokan patut atau tidak patutnya suatu perbuatan, dianggap menyerang atau tidak terhadap kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan tidak semata-mata bersifat individual, tetapi juga bersifat sosial.[4] Seperti lain jenis berciuman bibir di muka umum. Bukan individu tertentu yang merasa terganggu rasa kesusilaannya, melainkan juga orang-orang lainnya. Maka sifat melanggar kesusilaan yang melekat pada kelakuan seperti itu telah bersifat sosial, menjadi kejahatan sosial. Jika ada padanannya di dalam hukum pidana, menjadi kejahatan menurut hukum yang dapat dipidana.
BERCIUMAN BIBIR DI MUKA UMUM, KEJAHATAN HUKUMKAH?
Hal berciuman (bibir) di muka umum menjadi polemik, akibat kelakuan K dan pacarnya berciuman di hadapan para wartawan pada konferensi pers (21-7-2010) yang diadakannya. Polemik tersebut adalah merupakan rekasi dari masyarakat, yang rasa kesusilaannya telah diganggu. Reaksi ini dapat menjadi reaksi hukum (sanksi hukum), manakalah kelakuan seperti itu dapat dipidana karena ada padanannya di dalam hukum pidana.
Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kelakuan K dan pacarnya tersebut merupakan suatu kejahatan hukum. Tidak sama sekali. Andaikata pun terpaksa, paling-paling akan mengatakan kelakuan seperti itu dapat diduga suatu kejahatan hukum. Karena tulisan ini semata-mata membicarakan kelakuan orang lain jenis berciuman di muka umum secara umum. Tidak secara spesifik menunjuk kelakuan K tersebut. Kelakuan mereka itu sekedar “keadaan” yang memotivasi penulis untuk mencoba mengemukakan pendapat tentang masalah “berciuman bibir” di muka umum.
Pasal 281 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-:
1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Ada dua bentuk kejahatan melanggar kesusilaan umum, yakni yang satu dirumuskan pada angka 1, dan kejahatan yang kedua dirumuskan pada angka 2.
Unsur-unsur kejahatan angka 1, adalah:
a. Perbuatan: melanggar kesusilaan;
b. secara terbuka.
c. Kesalahan: sengaja
Kata “melanggar” dalam frasa “melanggar kesusilaan” tidak ada hubungannya dengan kata “pelanggaran” asal kata dari overtredingen (jenis-jenis delik buku III KUHP), melainkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang.[5] Melanggar kesusilaan (schennis der eerbaarheid), suatu rumusan perbuatan yang bersifat abstrak, tidak konkret. Isi atau wujud konkretnya tidak dapat ditentukan, karena wujud konkretnya ada sekian banyak jumlahnya, bahkan tidak terbatas. Wujud perbuatan baru dapat diketahui manakala perbuatan itu telah terjadi secara sempurna. Misalnya: bertelanjang, berciuman, memegang alat kelaminnya atau alat kelamin orang lain, memegang buah dada seorang perempuan, memperlihatkan penisnya atau vaginanya dan lain sebagaianya. Termasuk berciuman bibir. Tentu saja semua harus dilakukan di muka umum (openbaar).
Unsur dimuka umum inilah yang menjadi penyebab semua perbuatan di atas menjadi perbuatan melanggar kesusilaan, artinya melekat sifat tercela atau melawan hukum pada perbuatan melanggar kesusilaan. Walaupun unsur melawan hukum dalam kejahatan ini tidak dirumuskan sebagai unsur (tertulis), tetapi sudah pasti sifat tercela ini selalu ada, dan keberadaannya itu telah dengan sendirinya melekat pada unsur secara terbuka (openbaar) atau dimuka umum.[6]
Sifat melanggar kesusilaan dari suatu perbuatan melanggar kesusilaan, yang melekat pada unsur “di muka umum”, sebagaimana pada umumnya kejahatan kesusilaan. Keberlakuan difinitifnya bergantung pada waktu dan tempat dilakukannya perbuatan. Dapat dikatakan relatif. Bergantung dari masyarakatnya, tempatnya dan temponya. Pendapat demikian benar, namun perlu diketahui bahwa tidak semua wujud perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum mempunyai sifat relatif, ada wujud perbuatan tertentu yang dinilai menyerang rasa kesusilaan bagi setiap golongan masyarakat dimanapun berada dan untuk setiap masa. Misalnya bersetubuh ditempat umum atau dimuka orang banyak, perbuatan mana serupa dengan perbuatan binatang dalam melampiaskan nafsu birahinya.
Bagaimana dengan berciuman bibir di muka umum? Berciuman bibir antara dua orang yang berlainan jenis, adalah merupakan: (1) wujud pelaksanaan dari cinta birahi, (2) bagian dari persenggamaan. Senggama merupakan puncak dari segala wujud perbuatan dalam hal melampiaskan nafsu birahi manusia. Oleh karena berciuman seperti itu merupakan bagian dari melampiaskan cinta birahi, bila dilakukan di muka umum menjadi tercela. Nilai-nilai susila di masyarakat kita, tetap mencela terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan kelakuan melampiaskan birahi. Sebagai indikatornya adalah reaksi masyarakat terhadap kelakuan tersebut, sebagaimana pada pendahuluan di atas telah dibicarakan. Kelakuan buruk ini dapat masuk pada perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum menurut arti dari Pasal 281 KUHP tersebut.
Pasal 27 Ayat (1) jo 45 UU Ayat (1) No. 11/2008 Tentang ITE jo 56 KUHP.
Pasal 27 (1) jo 45 (1) UU No. 11/2008:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kita coba menggunakan ketentuan hukum pidana di atas untuk menganalisis kasus berciuman bibir di muka umum. Unsur-unsurnya berikut ini.
· Perbuatan: (a) mendistribusikan, (b) mentransmisikan; (c) membuat dapat diaksesnya.
· Objek:: (a) informasi elektronik dan/atau. (b) dokumen Eelektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
· Kesalahan: sengaja
· Melawan hukum: tanpa hak
Perbuatan mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[7] Dalam konteks dengan kejahatan kesusilaan menurut Pasal 27 (1) tersebut, perbuatan mendistribusikan dapat didefinisikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.
Menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang (benda) kepada orang lain (benda lain).[8] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.[9]
Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.[10]
Dihubungkan dengan objek tindak pidana menurut Pasal 27 Ayat (1) UU ITE. Perbuatan membuat dapat diaksesnya adalah melakukan perbuatan dengan cara apapun melalui perangkat elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi terhadap data atau sekumpulan data elektronik dalam melakukan transaksi elektronik yang menyebabkan data elektronik tersebut menjadi dapat diakses oleh orang lain atau benda elektronik lain.[11]
Ada 2 objek tindak pidana.
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (elektronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[12]
Sementara dokumen elektronik tidak diberikan keterangan apapun dalam UU ITE. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan. Dokumen adalah 1 surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian); 2 barang cetakan atau naskah karangan yang dikirim melalui pos; 3 rekaman suara, gambar dalam filem, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti keterangan.[13]
Dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan menerapkannya pada objek tindak pidana, maka dapat didefinisikan. Dokumen elektronik adalah surat tertulis atau tercetak yang disimpan secara elektronik yang isinya dapat dipakai sebagai bukti berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sementara objek “yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah dibicarakan sebelumnya. Unsur ini disebut unsur keadaan yang menyertai yang melekat pada objek dokumen elektronik atau informasi elektronik.
Kini semakin jelas, bahwa tiga perbuatan dalam Pasal 27 (1) dengan objek informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat diterapkan terhadap kasus orang yang di duga berciumam bibir di muka umum. Kepada siapa? Tentulah kepada siapa yang melakukan tiga perbuatan tersebut.
Tentulah bukan wartawan – peliput maupun si pembuat yang berciuman sebagai subjek hukum yang dapat dibebani tanggungg jawab pidana sebagai pembuat (pembuat tunggal/dader atau pembuat pelaksana/pleger). Namun bukan berarti kedua subjek hukum yang disebut terakhir dilepaskan begitu saja dari tanggungjawab pidana (toerekeningsvatbaar). Kedua subjek hukum tersebut terakhir dapat dibebani tanggung jawab pidana sebagai pembuat peserta (medepleger) berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) angka 1 KUHP. Pertimbangan hukumnya, ialah wartawan peliput dan orang yang berciumam bibir telah menyadari bahwa informasi atau dokumen elektronik yang di buat tersebut hendak di distribusikan atau ditransmisikan melalui seperangkat alat elektronik. Sementara Ia sadar bukan mereka yang akan melakukannya. Namun perbuatan mentransmisikan atau mendistribusikan tidak bisa dilakukan tanpa didahului oleh perbuatan mereka tersebut. Syarat seorang medepleger, ialah kesengajaannya sama dengan kesengajaan si pembuat pelaksananya. Sementara perbuatannya tidak penting harus sama.
Sekian dulu.
Mahasiwa FH UB, diijinkan untuk mengkopi. Namun tidak diijinkan untuk merubah tulisan.
Malang, kampuis FH UB, 24-07-2010.
[1] Kompas, com (22-7-2010).
[2] Kompas.com (23-7-2010).
[3] Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit IMM –ITS Press, Surabaya, halaman 5.
[4] Ibid, halaman 6.
[5] Adami Chazawi, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, halaman 16.
[6] Ibid.
[7] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[9] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit ITS Press – PMM, Surabaya, halaman 283.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
[13] Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit., halaman 338.
DIPIDANAKAH ??
(Tinjauan dari KUHP & UU ITE)
H. Adami Chazawi
(Untuk Mahasiswa FH UB, khususnya
yang memprogramkan KTSH).
PENDAHULUAN
Untuk menyatakan perasaan, orang bisa melakukan dengan cara mencium atau berciuman. Menyatakan sayang pada anak, orang mencium kening atau pipi si anak. Untuk menyatakan keakraban (sesama jenis), dengan berciuman pipi. Untuk menyatakan hormat pada seseorang, bisa dilakukan dengan mencium tangannya. Seperti Anggodo mencium tangan mantan pejabat tinggi Kejaksaan Agung di muka persidangan pengadilan yang lalu. Menyatakan cinta atau melampiaskan birahi, dapat dengan melakukan mencium bibir lawan jenisnya.
Untuk ciuman yang terakhir halal saja dilakukan, asalkan tidak dilihat oleh umum, misalnya di dalam kamar atau di hutan sekalian seperti tarzan. Bebeda halnya apabila mencium atau berciuman bibir di lakukan di muka umum. Orang yang melihat adegan tersebut terganggu rasa kesusilaannya. Contoh K dan pacarnya berciuman di muka para wartawan intertainment. Kemudian ditayangkan oleh station TV. Masyarakat memberi rekasi - mencela pertunjukan adegan baku cium tersebut. Sebagaimana dapat dibaca di koran-koran, siran TV dan jejaring sosial (internet). MUI juga segera memberi reaksi. Ketua MUI KH Hamidan menyatakan “mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan”.[1] Tak tahan menghadapi reaksi dari masyarakat, K pun menyatakan “meminta maaf” atas kelakuan yang membuat banyak orang tergganggu rasa kesusilannya tersebut.[2]
Keadaan tersebut membuktikan bahwa, di dalam kehidupan masyarakat, ada nilai-nilai kesusilaan yang hidup, dihargai, dianut dan dipertahankan. Kenyataan adanya reaksi masyarakat tersebut, adalah suatu bukti bahwa nilai-nilai kesusilaan itu ada dan hidup dan keberlakuannya dipertahankan masyarakat.
Timbulnya reaksi masyarakat seperti itu, membuktikan pula bahwa, setiap individu tidak saja harus menegakkan hukum dalam sikap dan perbuatannya, tetapi juga perlu menegakkan norma-norma lainnya, seperti norma kesusilaan dan norma agama. Meskipun terhadap isi bagian tertentu norma kesusilaan dan norma agama belum diadopsi ke dalam norma hukum. Belum teradopsi ke dalam norma hukum, tidak menjadi alasan bagi setiap individu untuk tidak menjalankan dan mematuhi norma-norma kesusilaan dan norma agama. Banyak norma-norma agama yang tanpa disadari telah diadopsi ke dalam norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu melanggar norma-norma kesusilaan dapat dinilai sekaligus melanggar norma agama. Misalnya perbuatan bersetubuh diluar nikah. Dilarang oleh norma agama, kesusilaan, yang dengan syarat-syarat tertentu dilarang pula oleh hukum.[3] Nilai-nilai moral kesusilaan yang berasal dari norma agama telah diadopsi ke dalam norma hukum.
Norma-norma kesusilaan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal kesopanan setiap orang dalam pergaulan hidup sesamanya dalam masyarakat. Nilai-nilai kesusilaan yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dapat mencerminkan sifat dan karakter dari suatu lingkungan masyarakat, bahkan suatu bangsa . Patokan patut atau tidak patutnya suatu perbuatan, dianggap menyerang atau tidak terhadap kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan tidak semata-mata bersifat individual, tetapi juga bersifat sosial.[4] Seperti lain jenis berciuman bibir di muka umum. Bukan individu tertentu yang merasa terganggu rasa kesusilaannya, melainkan juga orang-orang lainnya. Maka sifat melanggar kesusilaan yang melekat pada kelakuan seperti itu telah bersifat sosial, menjadi kejahatan sosial. Jika ada padanannya di dalam hukum pidana, menjadi kejahatan menurut hukum yang dapat dipidana.
BERCIUMAN BIBIR DI MUKA UMUM, KEJAHATAN HUKUMKAH?
Hal berciuman (bibir) di muka umum menjadi polemik, akibat kelakuan K dan pacarnya berciuman di hadapan para wartawan pada konferensi pers (21-7-2010) yang diadakannya. Polemik tersebut adalah merupakan rekasi dari masyarakat, yang rasa kesusilaannya telah diganggu. Reaksi ini dapat menjadi reaksi hukum (sanksi hukum), manakalah kelakuan seperti itu dapat dipidana karena ada padanannya di dalam hukum pidana.
Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kelakuan K dan pacarnya tersebut merupakan suatu kejahatan hukum. Tidak sama sekali. Andaikata pun terpaksa, paling-paling akan mengatakan kelakuan seperti itu dapat diduga suatu kejahatan hukum. Karena tulisan ini semata-mata membicarakan kelakuan orang lain jenis berciuman di muka umum secara umum. Tidak secara spesifik menunjuk kelakuan K tersebut. Kelakuan mereka itu sekedar “keadaan” yang memotivasi penulis untuk mencoba mengemukakan pendapat tentang masalah “berciuman bibir” di muka umum.
Pasal 281 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-:
1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Ada dua bentuk kejahatan melanggar kesusilaan umum, yakni yang satu dirumuskan pada angka 1, dan kejahatan yang kedua dirumuskan pada angka 2.
Unsur-unsur kejahatan angka 1, adalah:
a. Perbuatan: melanggar kesusilaan;
b. secara terbuka.
c. Kesalahan: sengaja
Kata “melanggar” dalam frasa “melanggar kesusilaan” tidak ada hubungannya dengan kata “pelanggaran” asal kata dari overtredingen (jenis-jenis delik buku III KUHP), melainkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang.[5] Melanggar kesusilaan (schennis der eerbaarheid), suatu rumusan perbuatan yang bersifat abstrak, tidak konkret. Isi atau wujud konkretnya tidak dapat ditentukan, karena wujud konkretnya ada sekian banyak jumlahnya, bahkan tidak terbatas. Wujud perbuatan baru dapat diketahui manakala perbuatan itu telah terjadi secara sempurna. Misalnya: bertelanjang, berciuman, memegang alat kelaminnya atau alat kelamin orang lain, memegang buah dada seorang perempuan, memperlihatkan penisnya atau vaginanya dan lain sebagaianya. Termasuk berciuman bibir. Tentu saja semua harus dilakukan di muka umum (openbaar).
Unsur dimuka umum inilah yang menjadi penyebab semua perbuatan di atas menjadi perbuatan melanggar kesusilaan, artinya melekat sifat tercela atau melawan hukum pada perbuatan melanggar kesusilaan. Walaupun unsur melawan hukum dalam kejahatan ini tidak dirumuskan sebagai unsur (tertulis), tetapi sudah pasti sifat tercela ini selalu ada, dan keberadaannya itu telah dengan sendirinya melekat pada unsur secara terbuka (openbaar) atau dimuka umum.[6]
Sifat melanggar kesusilaan dari suatu perbuatan melanggar kesusilaan, yang melekat pada unsur “di muka umum”, sebagaimana pada umumnya kejahatan kesusilaan. Keberlakuan difinitifnya bergantung pada waktu dan tempat dilakukannya perbuatan. Dapat dikatakan relatif. Bergantung dari masyarakatnya, tempatnya dan temponya. Pendapat demikian benar, namun perlu diketahui bahwa tidak semua wujud perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum mempunyai sifat relatif, ada wujud perbuatan tertentu yang dinilai menyerang rasa kesusilaan bagi setiap golongan masyarakat dimanapun berada dan untuk setiap masa. Misalnya bersetubuh ditempat umum atau dimuka orang banyak, perbuatan mana serupa dengan perbuatan binatang dalam melampiaskan nafsu birahinya.
Bagaimana dengan berciuman bibir di muka umum? Berciuman bibir antara dua orang yang berlainan jenis, adalah merupakan: (1) wujud pelaksanaan dari cinta birahi, (2) bagian dari persenggamaan. Senggama merupakan puncak dari segala wujud perbuatan dalam hal melampiaskan nafsu birahi manusia. Oleh karena berciuman seperti itu merupakan bagian dari melampiaskan cinta birahi, bila dilakukan di muka umum menjadi tercela. Nilai-nilai susila di masyarakat kita, tetap mencela terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan kelakuan melampiaskan birahi. Sebagai indikatornya adalah reaksi masyarakat terhadap kelakuan tersebut, sebagaimana pada pendahuluan di atas telah dibicarakan. Kelakuan buruk ini dapat masuk pada perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum menurut arti dari Pasal 281 KUHP tersebut.
Pasal 27 Ayat (1) jo 45 UU Ayat (1) No. 11/2008 Tentang ITE jo 56 KUHP.
Pasal 27 (1) jo 45 (1) UU No. 11/2008:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kita coba menggunakan ketentuan hukum pidana di atas untuk menganalisis kasus berciuman bibir di muka umum. Unsur-unsurnya berikut ini.
· Perbuatan: (a) mendistribusikan, (b) mentransmisikan; (c) membuat dapat diaksesnya.
· Objek:: (a) informasi elektronik dan/atau. (b) dokumen Eelektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
· Kesalahan: sengaja
· Melawan hukum: tanpa hak
Perbuatan mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[7] Dalam konteks dengan kejahatan kesusilaan menurut Pasal 27 (1) tersebut, perbuatan mendistribusikan dapat didefinisikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.
Menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang (benda) kepada orang lain (benda lain).[8] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.[9]
Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.[10]
Dihubungkan dengan objek tindak pidana menurut Pasal 27 Ayat (1) UU ITE. Perbuatan membuat dapat diaksesnya adalah melakukan perbuatan dengan cara apapun melalui perangkat elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi terhadap data atau sekumpulan data elektronik dalam melakukan transaksi elektronik yang menyebabkan data elektronik tersebut menjadi dapat diakses oleh orang lain atau benda elektronik lain.[11]
Ada 2 objek tindak pidana.
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (elektronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[12]
Sementara dokumen elektronik tidak diberikan keterangan apapun dalam UU ITE. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan. Dokumen adalah 1 surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian); 2 barang cetakan atau naskah karangan yang dikirim melalui pos; 3 rekaman suara, gambar dalam filem, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti keterangan.[13]
Dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan menerapkannya pada objek tindak pidana, maka dapat didefinisikan. Dokumen elektronik adalah surat tertulis atau tercetak yang disimpan secara elektronik yang isinya dapat dipakai sebagai bukti berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchage (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sementara objek “yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah dibicarakan sebelumnya. Unsur ini disebut unsur keadaan yang menyertai yang melekat pada objek dokumen elektronik atau informasi elektronik.
Kini semakin jelas, bahwa tiga perbuatan dalam Pasal 27 (1) dengan objek informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat diterapkan terhadap kasus orang yang di duga berciumam bibir di muka umum. Kepada siapa? Tentulah kepada siapa yang melakukan tiga perbuatan tersebut.
Tentulah bukan wartawan – peliput maupun si pembuat yang berciuman sebagai subjek hukum yang dapat dibebani tanggungg jawab pidana sebagai pembuat (pembuat tunggal/dader atau pembuat pelaksana/pleger). Namun bukan berarti kedua subjek hukum yang disebut terakhir dilepaskan begitu saja dari tanggungjawab pidana (toerekeningsvatbaar). Kedua subjek hukum tersebut terakhir dapat dibebani tanggung jawab pidana sebagai pembuat peserta (medepleger) berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) angka 1 KUHP. Pertimbangan hukumnya, ialah wartawan peliput dan orang yang berciumam bibir telah menyadari bahwa informasi atau dokumen elektronik yang di buat tersebut hendak di distribusikan atau ditransmisikan melalui seperangkat alat elektronik. Sementara Ia sadar bukan mereka yang akan melakukannya. Namun perbuatan mentransmisikan atau mendistribusikan tidak bisa dilakukan tanpa didahului oleh perbuatan mereka tersebut. Syarat seorang medepleger, ialah kesengajaannya sama dengan kesengajaan si pembuat pelaksananya. Sementara perbuatannya tidak penting harus sama.
Sekian dulu.
Mahasiwa FH UB, diijinkan untuk mengkopi. Namun tidak diijinkan untuk merubah tulisan.
Malang, kampuis FH UB, 24-07-2010.
[1] Kompas, com (22-7-2010).
[2] Kompas.com (23-7-2010).
[3] Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit IMM –ITS Press, Surabaya, halaman 5.
[4] Ibid, halaman 6.
[5] Adami Chazawi, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, halaman 16.
[6] Ibid.
[7] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[9] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit ITS Press – PMM, Surabaya, halaman 283.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
[13] Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit., halaman 338.
Jumat, 16 Juli 2010
ANALISIS HUKUM KASUS ARIEL
ANALISIS HUKUM KASUS ARIEL
KASUS PORNOGRAFI ORANG MIRIP ARIEL??
(H. Adami Chazawi)
Ditujukan Untuk Mahasiswa FH UB
PENDAHULUAN
Ada ahli hukum kita, baik pengamat maupun praktisi, yang mengemukakan Pasal 281, 282 KUHP dan Pasal 27 Ayat (1) jo 45 Ayat (1) UU ITE, dapat diterapkan pada kasus orang yang mirip Ariel. Sebagian ahli menunjuk Pasal 29 jo 4 Ayat (1), dan 32 jo 6 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Mari kita telaah sumber-sumber hukum tersebut.
Terdapat konsepsi-konsepsi hukum di dalam setiap macam tindak pidana yang dibentuk Pembuat UU. Konsepsi hukum tersebut bahkan terdapat di dalam setiap unsur. Konsepsi-konsepsi hukum yang dimaksud terkadang berupa petunjuk di dalam Memorie van Toelichting (untuk WvS), (misalnya pengertian barang pada pencurian adalah barang bergerak dan berwujud) atau di dalam Penjelasan UU dan atau juga di dalam Pasal 1 tentang pengertian-pengertian (diluar KUHP). Jika tidak ada petunjuk atau penjelasan, konsepsi-konsepsi hukum tersebut dapat dicari dan dipikirkan berdasarkan ilmu hukum dengan menggunakan logika dan akal. Konspesi-konsepsi yang demikian ini ditemukan melalui pemikiran para ahli hukum. Kali ini mari kita coba menganalisis kasus orang mirip Ariel ini berdasarkan konsepsi-konsepsi hukum yang penulis maksudkan. Agar kita, terutama para mahasiswa menjadi kritis dalam hal menerima informasi yang belum tentu kebenaran hukumnya.
1. Pasal 281 KUHP
Pasal 281: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,00
1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.[1]
Ada dua macam kejahatan melanggar kesusilaan dalam Pasal 281 masing-masing pada angka 1 dan angka 2.
KEJAHATAN KESUSILAAN ANGKA 1
Perlu diketahui bahwa konsepsi hukum mengenai kejahatan Pasal 281 Angka 1 ini adalah kejahatan dimana sifat melanggar kesusilaannya sudah melekat dengan sendirinya secara langsung dan seketika itu pada diri si pembuat pada saat melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang ketika itu dilihat orang banyak. Artinya sifat melanggar kesusilaannya melekat pada objek tubuhnya sendiri ketika melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan tersebut. Misalnya orang yang bertelanjang di muka umum atau bersenggama di muka umum. Pasal 281 Angka 1 tidak berlaku bagi kejahatan kesusilaan dimana sifat melanggar kesusilaannya itu melekat atau terdapat di luar tubuh si pelaku ketika ia berbuat tertentu. Tidak berlaku pada kejahatan-kejahatan yang sifat melanggar kesusilaannya melekat selain pada tubuh si pembuat, misalnya memperlihatkan gambar laki-laki sedang beronani atau perempuan sedang bermaturbasi pada beberapa orang. Contoh terakhir masuk pornografi Pasal 282 Ayat (1) KUHP. Pada contoh terakhir ini, sifat melanggar kesusilannya melekat pada isi gambarnya ketika diperlihatkan pada orang banyak/umum, bukan melekat pada perbuatan memperlihatkan.
KEJAHATAN KESUSILAAN ANGKA 2
Kejahatan kesusilaan angka 2 tidak mungkin diterapkan pada kasus orang yang mirip Ariel. Satu-satunya alasan bahwa rumusan Angka 2 perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat harus di hadapan orang-orang lain (umum) yang ada di tempat melakukan perbuatan a susila tersebut, bukan karena orang lain itu sengaja datang untuk melihat atau mengetahui si pembuat melakukan kejahatan a susila tersebut. Ratio dari ketentuan Angka 2 ini ialah pembentuk UU tidak menghendaki untuk melindungi kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan terhadap orang-orang yang sengaja melihat orang yang berbuat yang kalau di muka umum - melanggar kesusilaan. Ratio ini amat sesuai dengan logika umum. Bahwa orang yang sengaja kurang ajar (melihat orang lain yang jiika di muka umum - melanggar kesusilaan, misalnya bersenggama) tidak perlu diberi perlindungan hukum mengenai rasa kesusilaannya. Dengan kata lain orang yang sengaja melihat orang lain sedang bersenggama, harus dianggap tidak memiliki rasa kesusilaan. Karena itu tidak perlu memberi perlindungan hukum mengenai rasa kesesuilaannya.
Pembentuk UU menganggap bahwa “tidak perlu melindungi rasa kesusilaan bagi orang yang tidak memiliki rasa kesusilaan”. Contohnya, tidak mungkin dipidana sepasang “kemanten anyar” ketika sedang bersenggama yang dilihat oleh anak-anak kos di rumahnya, apabila anak-anak kos tersebut sengaja beramai-ramai mengintipnya. Meskipun terang persenggamaan itu dihadapan/ dilihat oleh banyak orang. Lain halnya apabila sepasang penganten baru tersebut sengaja bermain cinta agar dilihat orang banyak dengan sengaja membuka pintu dan jendela kamarnya lebar-lebar, yang disadarinya disekitar itu berkeliaran anak-anak kos. Tentu saja kedua manten anyar yang kurang ajar ini harus dibebani tanggung jawab pidana menurut Pasal 281 Angka 2 atas perbuatannya itu, meskipun bermainnya di kamarnya sendiri.
Kasus Orang Mirip Ariel
Kalau kita terapkan pada kasus kesusilaan orang yang mirip Ariel dalam vedio persenggamaan yang beredar di situs internet yang bikin heboh Menteri dan Presiden ini, tentu Pasal 281 tidak tepat. Satu-satunya alasan, bahwa Pasal 281 angka 1 sifat pelanggaran kesusilaannya itu melekat pada si pembuat sendiri ketika si pembuat berbuat dilihat banyak orang. Misalnya seorang mahasiswa memperlihatkan alat kelaminnya pada teman-temannya. Sementara gambar bergerak persenggamaan ketika orang mirip Ariel, Luna dan Cut Tari bermain cinta tidak ada orang lain yang melihat. Sifat melanggar kesusilaan menurut Pasal 281 bukan melekat pada gambar videonya, tetapi melekat pada tubuh ketiganya ketika berbuat tersebut yang (kalau) “dilihat orang banyak”. Sifat melanggar kesusilaan yang merupakan sifat melawan hukumnya dari wujud-wujud perbuatan si pembuat menurut Pasal 281 terletak/melekat pada unsur “dilihat umum” atau di muka umum. Keadaan orang banyak melihat ketika mereka bersenggama pada kasus orang mirip Ariel ini jelas tidak ada.
Kalau kemudian gambar bergerak orang bersenggama di dalam video (bukan videonya lho) dengan alat-alat tertentu dengan cara-cara (teknologi) tertentu dipertunjukan pada banyak orang/umum, barulah timbul sifat melanggar kesusilaannya. Namun sifat melanggar kesusilaan yang terakhir ini bukan sifat melanggar kesusilaan sebagaimana yang dimaksud Pasal 281 (maupun Pasal 282 yang akan dijelaskan dibawah nanti).
2. Pasal 282 KUHP – Tindak Pidana Pornografi
Pasal 282:
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan atau gambar atau benda tersebut, memasukkannya kedalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkaannya atau menunjukannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
(2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membikin memasukkan kedalam negeri, meneruskan, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencaharian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 75.000,00.[2]
Dari sudut unsur kesalahan, Pasal 282 memuat dua tindak pidana pornografi sengaja (Ayat 1) dan tindak pidana pornografi kulpa/kelalaian (Ayat 2).
Tindak pidana pornografi sengaja Ayat (1) terdiri dari 3 macam, ialah:
a. Tindak pidana pornografi menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan.
b. Tindak pidana pornografi dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan, gambar, benda, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, memiliki persediaan tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan.
c. Tindak pidana secara terang-terangan dengan mengedarkan tulisan/surat, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang diketahuinya isinya melanggar kesusilaan.
Tindak pidana pornografi kulpa juga tiga macam, ialah:
a. Tindak pidana pornografi menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut melanggar kesusilaan.
b. Tindak pidana pornografi dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan, gambar, benda, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, memiliki persediaan tulisan, gambar atau benda yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut melanggar kesusilaan.
c. Tindak pidana secara terang-terangan dengan mengedarkan tulisan/surat, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut isinya melanggar kesusilaan.
Tentang Objek dan Perbuatan Tindak Pidana Pornografi Pasal 282
Jelas objek tindak pidana pornografi ada 3 macam, ialah gambar (afbeeldingen), tulisan (geschriften) dan benda (voorwerp). Cukup lengkap perbuatan yang dilarang dalam Ayat (1) maupun Ayat (2) tersebut, antara lain yang menurut perkiraan orang dilakukan oleh orang mirip Ariel adalah: mempertunjukan (tentoon stellen) dan menyiarkan (verspreiden).
Konsepsi Hukum Mengenai Gambar (Afbeeldingen)
Konsepsi hukum mengenai gambar di dalam Pasal 282 ini berbeda dengan gambar di dalam sebuah video. Pengertian gambar dalam konsepsi pornografi menurut Pasal 282 adalah coretan-coretan yang sengaja dibuat mengenai tiruan dari suatu benda, tepatnya lukisan gitu lho. Bisa diperluas dengan gambar yang dibuat dengan alat, misalnya dengan mesin cetak atau poto tustel dsb. Namun tidak mungkin gambar yang masih ada di dalam video, lebih-lebih di jaringan internet. Alasannya ialah bahwa gambar yang sifanya melanggar kesusilaan atau isinya yang memuat kecabulan (jika diperlihatkan di muka umum) yang dimaksud Pasal 282 adalah pada objek gambarnya yang semata-mata melekat di atas /pada kertas dan semacamnya. Pada gambar yang melekat di atas kertas semacam ini langasung dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain, tanpa harus melakukan perbuatan-perbuatan dengan cara serta metode tertentu seperti halnya gambar bergerak bersuara di jaringan internet. Gambar yang melekat di atas kertas yang langsung dapat dilihat inilah melekat sifat melanggar kesusilaannya.
Sudah barang tentu keadaan dan sifat gambar menurut konsepsi Pasal 282 seperti ini tidak mungkin terdapat pada benda yang masih di dalam sebuah video, sekeping CD/VCD, flash disk atau yang semacamnya. Lebih-lebih lagi dalam sebuah file di situs internet, dimana orang-orang baru dapat melihatnya dengan menggunakan alat dengan cara, metode dan teknologi tertentu. Tanpa alat dan pengetahuan tertentu mengenai cara-cara dan metode serta teknologi tertentu, tidak mungkin orang dapat melihat gambar di dalamnya.
Konsepsi hukum mengenai gambar menurut Pasal 282 yang demikian ini dapat dipikirkan bahwa ketika KUHP dibuat tidak ada gambar-gambar lebih-lebih lagi gambar gergerak bersuara yang dapat disimpan di dalam Video atau file-file di Personal Komputer atau jaringan internet dan sebagainya seperti keadaan sekarang ini. Apabila hakim menganggap bahwa gambar yang tersimpan dalam video termasuk juga pengertian gambar yang dimaksud dalam Pasal 282 KUHP, maka hakim sudah keluar dari konsepsi hukum mengenai gambar menurut Pasal 282, melainkan telah menafsirkannya. Masalahnya sudah menjadi lain, sudah masuk masalah apakah cara menafsirkan yang digunakan hakim dapat dibenarkan?
Dalam hukum pidana cara-cara menafsirkan sangat ketat, dibatasi oleh model dan cara penafsiran yang ada dan dikenal dalam doktrin. Acap kali hakim menyalahgunakan kewenangannya dengan menafsirkan terlalu luas, sehingga membunuh norma hukum pidana itu sendiri, hakim telah bertindak sebagai pembuat UU, bukan lagi menemukan hukum sebagimana yang dimaksud pada awal tulisan ini dengan menggali untuk mencari dan menemukan konsepsi-
konsepsi hukum dalam rumusan tindak pidana. Hakim kita acap kali menggunakan analogi yang dilarang dipergunakan dalam hukum pidana karena bertentangan dengan Pasal 1 KUHP. Lalu hakim tersebut mengatakan dia tidak menggunakan analogi tetapi penafsiran ekstensif. Itu akal-akalan hakim saja dengan berlindung di bawah jargon “kebebasan hakim”. Sebenarnya ekstensif itu adalah penghalusan saja dari analogi. Berbeda dari sudut graduil saja.[3] Sifat keduanya sama.[4] Cara-cara bekerjanya tidaklah berbeda. [5]
Kosepsi Hukum Mengenai Perbuatan Menyebarkan (Verspreiden).
Sangat sulit dan mengganjal untuk menerapkan Pasal 282 KUHP pada kasus orang mirip Ariel ini, bukan sekedar karena konsepsi mengenai gambar saja sebagaimana yang diterangkan di atas, tetapi juga konsepsi dari perbuatan menyebarkan (verspreiden) atau mempertunjukkan (ten toon stelen) gambar di muka umum tersebut. Bahwa perbuatan itu harus dilakukan langsung pada benda gambarnya diatas kertas atau semacamnya, bukan pada seperti menunjukan sekeping CD atau VCD (yang di dalamnya ada gambar porno). Lagi pula konsepsi perbuatan menyebarkan (verspreiden) menurut arti yang sebenarnya adalah gambar tersebut berada dalam wadah (banyak) lembar-lembar kertas atau semacamnya (gambarnya banyak), kemudian kertas-kertas yang memuat gambar tersebut disebar, dibagi-bagikan, diserahkan pada banyak orang. Tempos perbuatan menyebarkan dengan tempos diketahuinya gambar adalah bersamaan. Sangat cocok dengan orang yang membagi-bagikan gambar porno dalam famlet atau menempelkan famflet yang memuat gambar-gambar porno. Atau diperluas lagi termasuk orang yang mengirimkan banyak majalah porno kepada agen-agen untuk diperjualbelikan.
Konsepsi gambar dan perbuatan menyebarkan dan atau menunjukkan tidak pas terhadap kasus orang mirip Ariel. Silakan pembaca menganalisisnya sendiri. Bagi penulis yang tetap berpegang teguh pada asas legalitas Pasal 1 KUHP (dasar/fondasi hukum pidana lho), sangat sulit menerima apabila kasus orang mirip Ariel hendak diterapkan Pasal 282 KUHP.
3. Pasal 27 Ayat (1) jo 45 Ayat (1) UU ITE
Pasal 27 Ayat (1): Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya ITE dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal 45 Ayat (1): Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat 91) Ayat (2) Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau dengan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.
Perbuatan Mendistribusikan, Mentransmisikan, Membuat Dapat Diaksesnya
Tiga perbuatan dalam pasal 27 Ayat (1) mempunyai makna yang sama dengan perbuatan menyebarluaskan dan menyiarkan dalam Pasal 29 UU Pornografi, dalam arti akibat dari perbuatan-perbuatan semacam itu, isi objek dokumen elektronik tersebut diketahui umum. Sedikit perbedaan, dimana menurut Pasal 27 UU ITE lebih kearah melalui alat teknologi Elektronik (ITE).
Mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[6] Dalam konteks tindak pidana kesusilaan dengan menggunakan sarana teknologi informasi menurut UU ITE. Kiranya perbuatan mendistribusikan diartikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.[7]
Perbuatan mendistribusikan data atau sekumpulan data elektronik tersebut dalam rangka melakukan transaksi elektronik. Suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan menggunakan sarana komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.[8]
Perbuatan menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan (benda) dari seseorang kepada orang lain (benda lain).[9] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.[10]
Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.[11]
Kejahatan kesusilaan khusus UU ITE dengan perbuatan “membuat dapat diaksesnya” merupakan tindak pidana materiil murni. Untuk terwujudnya secara sempurna tindak pidana ini, diperlukan akibat bahwa data atau sekumpulan data elektronik telah dapat diakses oleh orang lain atau seperangkat alat elektronik. Jaksa harus membuktikan bahwa data elektronik tersebut telah nyata-nyata diakses oleh orang lain. Minimal sudah terdapat/menyebar dalam perangkat elektronik yang lain dari perangkat elektronik semula yang digunakan oleh si pembuat
Kasus Orang Mirip Ariel
Ketentuan pasal ini, lebih dekat pada kasus orang mirip Ariel. Meskipun terdapat kesulitan dalam hal pembuktiannya. Hukum pembuktian yang ada di dalam KUHAP berikut sedikit yang ada di dalam UU ITE tidak cukup mudah untuk membuktikan bahwa Ariel yang mendistribusikan atau yang turut mendistribusikan. Lebih-lebih apabila orang mirip Ariel tidak mengaku dan orang lain yang mendistribusikan atau ikut serta mendistribusikan tidak ditemukan. Beban pembuktian perkara ini ada pada jaksa, bukan pada Ariel. Pasal 65 KUHAP sangat tegas menyatakan bahwa “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.
Dalam hal perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya gambar bergerak persenggamaan bersuara - orang mirip Ariel – Luna dan Cut tari tersebut, sehingga diketahui umum seperti keadaan sekarang ini, bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan, ialah:
· Kemungkinan pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau mereka berdua atau bertiga sama-sama mendistribusikan dll (penyertaan) tanpa melibatkan orang lain.
· Kemungkinan kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak mendistribusikan dll dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain tanpa sepengetahuan Ariel, Luna maupun Cut Tari.
· Kemungkinan ketiga, bisa jadi orang lain yang mendistribusikan dll., dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan. Hukum penyertaan harus diterapkan. Tanpa menerapkan hukum penyertaan, orang yang mirip Ariel, Luna maupun Cut Tari tidak mungkin dipidana.
Kemungkinan ketigalah yang bisa diterapkan pada orang mirip Ariel, sementara yang kedua tidak akan menyangkut Ariel, karena ia sebagai korban. Sementara yang pertama, sangat sulit – apo iso polisi menyangkutkan Ariel, meskipun penyidik dapat mengungkap dan menemuka si pembuat yang mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya gambar bergerak bersuara persenggamaan tersebut, bila orang mirip Ariel, Luna, Cut Tari dan siapapun juga termasuk teman-2 Ariel tidak menerangkan tentang keterlibatan Ariel dalam hal orang lain yang mentransmisikan dll tersebut.
4. Pasal 29 jo 4 Ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Banyak perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 29 jo 4 Ayat (1). Namun yang dekat dengan kasus orang mirip Ariel, hanya perbuatan membuat. Apabila dapat dibuktikan bahwa orang yang mirip Ariel yang membuat video tersebut dengan maksud bukan untuk dirinya sendiri, maka ia dapat dipidana berdasarkan Pasal 29 jo 4 Ayat (1).
Namun apabila dapat dibuktikan bahwa maksud membuat video gambar bergerak bersuara persetubuhan itu untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan dirinya sendiri, maka perbuatannya itu tidak dapat dipidana.[12] Disebabkan oleh ketiadaan kesalahan dalam hal membuat video. Perbuatan membuat adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap sesuatu barang yang belum ada menjadi ada.
Mengenai untuk kepentingan diri sendiri sebagai penyebab tidak dapat dipidananya pembuat ini, sesungguhnya bukan karena orang yang mirip Ariel tidak melanggar Pasal 29 jo 4 Ayat (1) khususnya mengenai perbuatan membuat video porno, atau karena bukan tidak melakukan perbuatan membuat seperti bunyi pada Penjelasan Pasal 4. Melainkan dalam hal membuat video porno tersebut kehilangan/ketiadaan kesalahan pada diri si pembuat. Kesalahan sebagai syarat untuk dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat – tiada atau hapus. Jadi masuk pada alasan pemaaf (fait d’exuse). Merupakan alasan peniadaan pidana pada tindak pidana khusus, bukan alasan penghapus pidana umum seperti pada Bab III Buku II KUHP.
Meskipun bunyi penjelasan Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Bunyi penjelasan yang demikian itu bukanlah merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, dan bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Adapun alasannya ialah:
· Bukan merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, karena perbuatan membuat telah benar-benar terjadi, terbukti dengan lahirnya atau adanya video tersebut, dipastikan hasil dari perbuatan membuat.
· Oleh karena itu bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Pasal 29 jo 4 (1) merupakan tindak pidana semi formil. Untuk selesainya perbuatan membuat harus terbukti adanya gambar dalam video hasil dari perbuatan tersebut. Dengan terbukti adanya gambar bergerak porno tersebut, maka terwujudlah perbuatan yang dengan demikian terwujud pula tindak pidana.
Dalam hal ini memang, telah terjadi kesalahan dalam hal penempatan alasan peniadaan pidana. Perkecualian dari perbuatan yang dapat dipidana, atau perkecualian dari tindak pidana seharusnya dimuat di dalam pasal yang merumuskan tindak pidana yang bersangkutan dan bukan dimuat dalam penjelasanya. Namun demikian, tidaklah berarti meniadakan keberlakuan penjelasan Pasal 4 tersebut sebagai alasan peniadaan pidana khusus.
Jika orang mirip Ariel terbukti membuat, dan Ia menerangkan untuk kepentingan dirinya sendiri, maka menurut hukum pembuktian, Jaksa dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan sebaliknya. Bahwa pembuatan video tersebut terkandung maksud bukan sekedar untuk kepentingan si pembuat saja. Bagaimana cara Jaksa membuktikan? Caranya Jaksa harus membuktikan adanya tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa pembuatan video tersebut ditujukan bukan sekedar untuk dirinya sendiri. Misalnya tanda-tanda yang mengindikasikan akan diedarkan, akan dijual, akan dilihat teman-temannya, akan dijadikan persediaan, dan sebagainya.
Jika demikian, bagaimana dengan kenyataan bahwa video tersebut telah beredar secara luas? Mengenai persoalan ini harus dibedakan dengan perbuatan membuat. Hal beredarnya harus dicari diluar dari perbuatan membuat, yang in casu menyebarluaskan atau menyiarkan.
Seperti perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam Pasal 27 UU ITE yang telah dibicarakan, juga dalam hal menyebarluaskan bisa terjadi beberapa kemungkinan, ialah:
· Pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau Ia sendiri (secara pribadi) atau mereka berdua atau bertiga sama-sama mendistribusikan dll. (penyertaan) tanpa melibatkan orang lain.
· Kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak menyebarluaskan dll. dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain tanpa sepengetahuan mereka.
· Ketiga, bisa jadi orang lain yang menyebarluaskan dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan. Hukum penyertaan harus diterapkan. Tanpa menerapkan hukum penyertaan, orang yang mirip Ariel tidak mungkin dipidana.
Jadi apabila orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari tidak dapat dibuktikan “membuat video porno” bukan untuk dirinya sendiri, maka harus dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) disebabkan hapusnya/tiadanya kesalahan pada diri si pembuat.
Hanya mungkin dipidana dalam hal terbukti melakukan perbuatan yang lain, misalnya menyebarluaskan atau terlibat bersama orang lain dalam menyebarluaskan. Artinya haruslah dapat dibuktikan setelah video dibuat, salah satu atau dua atau ketiganya ikut terlibat (penyertaan) dalam hal orang lain mengedarkan video porno tersebut sebagaimana kemungkinan yang ketiga.
Persoalan lainnya, ialah bagaimana jika terbukti pembuatan membuat video porno tersebut dilakukan sebelum diundangkannya UU Pornografi tanggal 28 Nopember 2008. Berdasarkan azas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, perbuatan membuat tersebut tidak dapat dipidana. UU Pornografi tidak berlaku surut.
5. Pasal 32 jo 6 UU Pornografi
Banyak perbuatan dalam Pasal 32 jo 6. Namun yang mungkin dilakukan oleh orang yang mirip Ariel ialah perbuatan memiliki atau menyimpan.
Memiliki ada dua pengertian. Pertama, memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang atas benda yang dikuasainya secara langsung. Kedua memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang atas benda yang tidak dikuasainya secara langsung. Sementara menyimpan, benda bisa menjadi milik si penyimpan ataupun tidak. Namun benda tersebut harus berada dalam kekuasaan seseorang yang mengandung sifat merawatnya, melindunginya dan merahasiakannya bagi orang lain, serta mengandung maksud untuk tujuan-tujuan tertentu.
Sama halnya dengan perbuatan membuat benda pornografi yang jika dilakukan dengan maksud untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Demikian juga halnya dengan perbuatan memiliki dan menyimpan menurut Penjelasan Pasal 6 jika untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Dalam hal melakukan perbuatan menyimpan tersebut kehilangan/tiadanya kesalahan pada diri si pembuatnya. Tentu saja melakukan suatu perbuatan yang tanpa kesalahan pada diri si pembuatnya, tidak boleh dipidana.
Untuk mempidana terdakwa atas dakwaan Pasal 32 jo 6, Jaksa wajib membuktikan bahwa perbuatan menyimpan atau memiliki video tersebut bukan untuk diri sendiri. Dengan kata lain, Jaksa harus dapat membuktikan ada kesengajaan terdakwa dalam hal menyimpan untuk digunakan selain untuk diri sendiri, misalnya untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya.
Sama halnya dengan Pasal 29 jo 4 Ayat (1), meskipun unsur sengaja tidak dicantumkan dalam rumusan, namun dengan menyebutkan unsur-unsur perbuatan yang sedemikian rupa, yang oleh karenanya tidak memungkinkan untuk dapat dipidananya pembuat jika tidak diikuti oleh kehendak selain sekedar untuk menyimpan. Dengan demikian Jaksa dibebani kewajiban untuk membuktikan adanya kesengajaan dalam hal melakukan perbuatan menyimpan tersebut untuk keperluan lain, dan tidak semata-mata menyimpan untuk diri sendiri. Misalnya dalam menyimpan terkandung kehendak untuk disiapkan / disediakan untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan / disediakan bagi keperluan lain-lainnya. Cara Jaksa membuktikan, ialah harus menemukan keadaan-keadaan atau tanda-tanda yang dapat dijadikan indikator bahwa penyimpanan tersebut terkandung kehendak/kesengajaan untuk dipergunakan selain sekedar menyimpan. Misalnya ditemukan keadaan berupa si penyimpan pernah menawarkan untuk dibeli atau memperlihatkan kepada pihak lain. Keadaan seperti ini dapat digunakan Jaksa sebagai indikator bahwa penyimpanan itu bukan untuk diri pribadinya sendiri.
Kampus FH UB: 13-7-2010
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya.
---------------, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya.
---------------, 2007. 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------------, 2008. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
---------------, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
--------------, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Engelbrecht, W.A.1960. De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesie, PT Soerongan, Jakarta.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
KUHP Terjemahan BPHN.
[1] Terjemahan BPHN.
[2] Terjemahan BPHN.
[3] Moelyatno, mengutip pendapat Prof. Scholten, dalam Azsas-azas Hukum Pidana (1983), Penerbit Bina Aksara, halaman 26.
[4] Ibid, halaman 27.
[5] Adami Chazawi, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana - Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, halaman 42.
[6] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[7] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Posisitf Penghinaan, Penerbit PMM – ITS Pres, Surabaya, halaman 283.
[8] Lihat Pasal 1 Angka 3 UU ITE.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[10] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, halaman 284.
[11] Ibid.
[12] Lihat Penjelasan Pasal 4.
KASUS PORNOGRAFI ORANG MIRIP ARIEL??
(H. Adami Chazawi)
Ditujukan Untuk Mahasiswa FH UB
PENDAHULUAN
Ada ahli hukum kita, baik pengamat maupun praktisi, yang mengemukakan Pasal 281, 282 KUHP dan Pasal 27 Ayat (1) jo 45 Ayat (1) UU ITE, dapat diterapkan pada kasus orang yang mirip Ariel. Sebagian ahli menunjuk Pasal 29 jo 4 Ayat (1), dan 32 jo 6 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Mari kita telaah sumber-sumber hukum tersebut.
Terdapat konsepsi-konsepsi hukum di dalam setiap macam tindak pidana yang dibentuk Pembuat UU. Konsepsi hukum tersebut bahkan terdapat di dalam setiap unsur. Konsepsi-konsepsi hukum yang dimaksud terkadang berupa petunjuk di dalam Memorie van Toelichting (untuk WvS), (misalnya pengertian barang pada pencurian adalah barang bergerak dan berwujud) atau di dalam Penjelasan UU dan atau juga di dalam Pasal 1 tentang pengertian-pengertian (diluar KUHP). Jika tidak ada petunjuk atau penjelasan, konsepsi-konsepsi hukum tersebut dapat dicari dan dipikirkan berdasarkan ilmu hukum dengan menggunakan logika dan akal. Konspesi-konsepsi yang demikian ini ditemukan melalui pemikiran para ahli hukum. Kali ini mari kita coba menganalisis kasus orang mirip Ariel ini berdasarkan konsepsi-konsepsi hukum yang penulis maksudkan. Agar kita, terutama para mahasiswa menjadi kritis dalam hal menerima informasi yang belum tentu kebenaran hukumnya.
1. Pasal 281 KUHP
Pasal 281: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,00
1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.[1]
Ada dua macam kejahatan melanggar kesusilaan dalam Pasal 281 masing-masing pada angka 1 dan angka 2.
KEJAHATAN KESUSILAAN ANGKA 1
Perlu diketahui bahwa konsepsi hukum mengenai kejahatan Pasal 281 Angka 1 ini adalah kejahatan dimana sifat melanggar kesusilaannya sudah melekat dengan sendirinya secara langsung dan seketika itu pada diri si pembuat pada saat melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang ketika itu dilihat orang banyak. Artinya sifat melanggar kesusilaannya melekat pada objek tubuhnya sendiri ketika melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan tersebut. Misalnya orang yang bertelanjang di muka umum atau bersenggama di muka umum. Pasal 281 Angka 1 tidak berlaku bagi kejahatan kesusilaan dimana sifat melanggar kesusilaannya itu melekat atau terdapat di luar tubuh si pelaku ketika ia berbuat tertentu. Tidak berlaku pada kejahatan-kejahatan yang sifat melanggar kesusilaannya melekat selain pada tubuh si pembuat, misalnya memperlihatkan gambar laki-laki sedang beronani atau perempuan sedang bermaturbasi pada beberapa orang. Contoh terakhir masuk pornografi Pasal 282 Ayat (1) KUHP. Pada contoh terakhir ini, sifat melanggar kesusilannya melekat pada isi gambarnya ketika diperlihatkan pada orang banyak/umum, bukan melekat pada perbuatan memperlihatkan.
KEJAHATAN KESUSILAAN ANGKA 2
Kejahatan kesusilaan angka 2 tidak mungkin diterapkan pada kasus orang yang mirip Ariel. Satu-satunya alasan bahwa rumusan Angka 2 perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat harus di hadapan orang-orang lain (umum) yang ada di tempat melakukan perbuatan a susila tersebut, bukan karena orang lain itu sengaja datang untuk melihat atau mengetahui si pembuat melakukan kejahatan a susila tersebut. Ratio dari ketentuan Angka 2 ini ialah pembentuk UU tidak menghendaki untuk melindungi kepentingan hukum mengenai rasa kesusilaan terhadap orang-orang yang sengaja melihat orang yang berbuat yang kalau di muka umum - melanggar kesusilaan. Ratio ini amat sesuai dengan logika umum. Bahwa orang yang sengaja kurang ajar (melihat orang lain yang jiika di muka umum - melanggar kesusilaan, misalnya bersenggama) tidak perlu diberi perlindungan hukum mengenai rasa kesusilaannya. Dengan kata lain orang yang sengaja melihat orang lain sedang bersenggama, harus dianggap tidak memiliki rasa kesusilaan. Karena itu tidak perlu memberi perlindungan hukum mengenai rasa kesesuilaannya.
Pembentuk UU menganggap bahwa “tidak perlu melindungi rasa kesusilaan bagi orang yang tidak memiliki rasa kesusilaan”. Contohnya, tidak mungkin dipidana sepasang “kemanten anyar” ketika sedang bersenggama yang dilihat oleh anak-anak kos di rumahnya, apabila anak-anak kos tersebut sengaja beramai-ramai mengintipnya. Meskipun terang persenggamaan itu dihadapan/ dilihat oleh banyak orang. Lain halnya apabila sepasang penganten baru tersebut sengaja bermain cinta agar dilihat orang banyak dengan sengaja membuka pintu dan jendela kamarnya lebar-lebar, yang disadarinya disekitar itu berkeliaran anak-anak kos. Tentu saja kedua manten anyar yang kurang ajar ini harus dibebani tanggung jawab pidana menurut Pasal 281 Angka 2 atas perbuatannya itu, meskipun bermainnya di kamarnya sendiri.
Kasus Orang Mirip Ariel
Kalau kita terapkan pada kasus kesusilaan orang yang mirip Ariel dalam vedio persenggamaan yang beredar di situs internet yang bikin heboh Menteri dan Presiden ini, tentu Pasal 281 tidak tepat. Satu-satunya alasan, bahwa Pasal 281 angka 1 sifat pelanggaran kesusilaannya itu melekat pada si pembuat sendiri ketika si pembuat berbuat dilihat banyak orang. Misalnya seorang mahasiswa memperlihatkan alat kelaminnya pada teman-temannya. Sementara gambar bergerak persenggamaan ketika orang mirip Ariel, Luna dan Cut Tari bermain cinta tidak ada orang lain yang melihat. Sifat melanggar kesusilaan menurut Pasal 281 bukan melekat pada gambar videonya, tetapi melekat pada tubuh ketiganya ketika berbuat tersebut yang (kalau) “dilihat orang banyak”. Sifat melanggar kesusilaan yang merupakan sifat melawan hukumnya dari wujud-wujud perbuatan si pembuat menurut Pasal 281 terletak/melekat pada unsur “dilihat umum” atau di muka umum. Keadaan orang banyak melihat ketika mereka bersenggama pada kasus orang mirip Ariel ini jelas tidak ada.
Kalau kemudian gambar bergerak orang bersenggama di dalam video (bukan videonya lho) dengan alat-alat tertentu dengan cara-cara (teknologi) tertentu dipertunjukan pada banyak orang/umum, barulah timbul sifat melanggar kesusilaannya. Namun sifat melanggar kesusilaan yang terakhir ini bukan sifat melanggar kesusilaan sebagaimana yang dimaksud Pasal 281 (maupun Pasal 282 yang akan dijelaskan dibawah nanti).
2. Pasal 282 KUHP – Tindak Pidana Pornografi
Pasal 282:
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan atau gambar atau benda tersebut, memasukkannya kedalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkaannya atau menunjukannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
(2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membikin memasukkan kedalam negeri, meneruskan, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencaharian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 75.000,00.[2]
Dari sudut unsur kesalahan, Pasal 282 memuat dua tindak pidana pornografi sengaja (Ayat 1) dan tindak pidana pornografi kulpa/kelalaian (Ayat 2).
Tindak pidana pornografi sengaja Ayat (1) terdiri dari 3 macam, ialah:
a. Tindak pidana pornografi menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan.
b. Tindak pidana pornografi dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan, gambar, benda, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, memiliki persediaan tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan.
c. Tindak pidana secara terang-terangan dengan mengedarkan tulisan/surat, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang diketahuinya isinya melanggar kesusilaan.
Tindak pidana pornografi kulpa juga tiga macam, ialah:
a. Tindak pidana pornografi menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut melanggar kesusilaan.
b. Tindak pidana pornografi dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan, gambar, benda, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, memiliki persediaan tulisan, gambar atau benda yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut melanggar kesusilaan.
c. Tindak pidana secara terang-terangan dengan mengedarkan tulisan/surat, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda tersebut isinya melanggar kesusilaan.
Tentang Objek dan Perbuatan Tindak Pidana Pornografi Pasal 282
Jelas objek tindak pidana pornografi ada 3 macam, ialah gambar (afbeeldingen), tulisan (geschriften) dan benda (voorwerp). Cukup lengkap perbuatan yang dilarang dalam Ayat (1) maupun Ayat (2) tersebut, antara lain yang menurut perkiraan orang dilakukan oleh orang mirip Ariel adalah: mempertunjukan (tentoon stellen) dan menyiarkan (verspreiden).
Konsepsi Hukum Mengenai Gambar (Afbeeldingen)
Konsepsi hukum mengenai gambar di dalam Pasal 282 ini berbeda dengan gambar di dalam sebuah video. Pengertian gambar dalam konsepsi pornografi menurut Pasal 282 adalah coretan-coretan yang sengaja dibuat mengenai tiruan dari suatu benda, tepatnya lukisan gitu lho. Bisa diperluas dengan gambar yang dibuat dengan alat, misalnya dengan mesin cetak atau poto tustel dsb. Namun tidak mungkin gambar yang masih ada di dalam video, lebih-lebih di jaringan internet. Alasannya ialah bahwa gambar yang sifanya melanggar kesusilaan atau isinya yang memuat kecabulan (jika diperlihatkan di muka umum) yang dimaksud Pasal 282 adalah pada objek gambarnya yang semata-mata melekat di atas /pada kertas dan semacamnya. Pada gambar yang melekat di atas kertas semacam ini langasung dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain, tanpa harus melakukan perbuatan-perbuatan dengan cara serta metode tertentu seperti halnya gambar bergerak bersuara di jaringan internet. Gambar yang melekat di atas kertas yang langsung dapat dilihat inilah melekat sifat melanggar kesusilaannya.
Sudah barang tentu keadaan dan sifat gambar menurut konsepsi Pasal 282 seperti ini tidak mungkin terdapat pada benda yang masih di dalam sebuah video, sekeping CD/VCD, flash disk atau yang semacamnya. Lebih-lebih lagi dalam sebuah file di situs internet, dimana orang-orang baru dapat melihatnya dengan menggunakan alat dengan cara, metode dan teknologi tertentu. Tanpa alat dan pengetahuan tertentu mengenai cara-cara dan metode serta teknologi tertentu, tidak mungkin orang dapat melihat gambar di dalamnya.
Konsepsi hukum mengenai gambar menurut Pasal 282 yang demikian ini dapat dipikirkan bahwa ketika KUHP dibuat tidak ada gambar-gambar lebih-lebih lagi gambar gergerak bersuara yang dapat disimpan di dalam Video atau file-file di Personal Komputer atau jaringan internet dan sebagainya seperti keadaan sekarang ini. Apabila hakim menganggap bahwa gambar yang tersimpan dalam video termasuk juga pengertian gambar yang dimaksud dalam Pasal 282 KUHP, maka hakim sudah keluar dari konsepsi hukum mengenai gambar menurut Pasal 282, melainkan telah menafsirkannya. Masalahnya sudah menjadi lain, sudah masuk masalah apakah cara menafsirkan yang digunakan hakim dapat dibenarkan?
Dalam hukum pidana cara-cara menafsirkan sangat ketat, dibatasi oleh model dan cara penafsiran yang ada dan dikenal dalam doktrin. Acap kali hakim menyalahgunakan kewenangannya dengan menafsirkan terlalu luas, sehingga membunuh norma hukum pidana itu sendiri, hakim telah bertindak sebagai pembuat UU, bukan lagi menemukan hukum sebagimana yang dimaksud pada awal tulisan ini dengan menggali untuk mencari dan menemukan konsepsi-
konsepsi hukum dalam rumusan tindak pidana. Hakim kita acap kali menggunakan analogi yang dilarang dipergunakan dalam hukum pidana karena bertentangan dengan Pasal 1 KUHP. Lalu hakim tersebut mengatakan dia tidak menggunakan analogi tetapi penafsiran ekstensif. Itu akal-akalan hakim saja dengan berlindung di bawah jargon “kebebasan hakim”. Sebenarnya ekstensif itu adalah penghalusan saja dari analogi. Berbeda dari sudut graduil saja.[3] Sifat keduanya sama.[4] Cara-cara bekerjanya tidaklah berbeda. [5]
Kosepsi Hukum Mengenai Perbuatan Menyebarkan (Verspreiden).
Sangat sulit dan mengganjal untuk menerapkan Pasal 282 KUHP pada kasus orang mirip Ariel ini, bukan sekedar karena konsepsi mengenai gambar saja sebagaimana yang diterangkan di atas, tetapi juga konsepsi dari perbuatan menyebarkan (verspreiden) atau mempertunjukkan (ten toon stelen) gambar di muka umum tersebut. Bahwa perbuatan itu harus dilakukan langsung pada benda gambarnya diatas kertas atau semacamnya, bukan pada seperti menunjukan sekeping CD atau VCD (yang di dalamnya ada gambar porno). Lagi pula konsepsi perbuatan menyebarkan (verspreiden) menurut arti yang sebenarnya adalah gambar tersebut berada dalam wadah (banyak) lembar-lembar kertas atau semacamnya (gambarnya banyak), kemudian kertas-kertas yang memuat gambar tersebut disebar, dibagi-bagikan, diserahkan pada banyak orang. Tempos perbuatan menyebarkan dengan tempos diketahuinya gambar adalah bersamaan. Sangat cocok dengan orang yang membagi-bagikan gambar porno dalam famlet atau menempelkan famflet yang memuat gambar-gambar porno. Atau diperluas lagi termasuk orang yang mengirimkan banyak majalah porno kepada agen-agen untuk diperjualbelikan.
Konsepsi gambar dan perbuatan menyebarkan dan atau menunjukkan tidak pas terhadap kasus orang mirip Ariel. Silakan pembaca menganalisisnya sendiri. Bagi penulis yang tetap berpegang teguh pada asas legalitas Pasal 1 KUHP (dasar/fondasi hukum pidana lho), sangat sulit menerima apabila kasus orang mirip Ariel hendak diterapkan Pasal 282 KUHP.
3. Pasal 27 Ayat (1) jo 45 Ayat (1) UU ITE
Pasal 27 Ayat (1): Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya ITE dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal 45 Ayat (1): Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat 91) Ayat (2) Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau dengan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.
Perbuatan Mendistribusikan, Mentransmisikan, Membuat Dapat Diaksesnya
Tiga perbuatan dalam pasal 27 Ayat (1) mempunyai makna yang sama dengan perbuatan menyebarluaskan dan menyiarkan dalam Pasal 29 UU Pornografi, dalam arti akibat dari perbuatan-perbuatan semacam itu, isi objek dokumen elektronik tersebut diketahui umum. Sedikit perbedaan, dimana menurut Pasal 27 UU ITE lebih kearah melalui alat teknologi Elektronik (ITE).
Mendistribusikan adalah menyalurkan (membagikan, mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat.[6] Dalam konteks tindak pidana kesusilaan dengan menggunakan sarana teknologi informasi menurut UU ITE. Kiranya perbuatan mendistribusikan diartikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi.[7]
Perbuatan mendistribusikan data atau sekumpulan data elektronik tersebut dalam rangka melakukan transaksi elektronik. Suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan menggunakan sarana komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.[8]
Perbuatan menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan bahwa menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan pesan (benda) dari seseorang kepada orang lain (benda lain).[9] Dari kalimat tersebut dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan, maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan. Adalah perbuatan dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu - mengirimkan atau meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan transaksi elektronik.[10]
Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya. Kiranya ada maksud pembentuk UU dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.[11]
Kejahatan kesusilaan khusus UU ITE dengan perbuatan “membuat dapat diaksesnya” merupakan tindak pidana materiil murni. Untuk terwujudnya secara sempurna tindak pidana ini, diperlukan akibat bahwa data atau sekumpulan data elektronik telah dapat diakses oleh orang lain atau seperangkat alat elektronik. Jaksa harus membuktikan bahwa data elektronik tersebut telah nyata-nyata diakses oleh orang lain. Minimal sudah terdapat/menyebar dalam perangkat elektronik yang lain dari perangkat elektronik semula yang digunakan oleh si pembuat
Kasus Orang Mirip Ariel
Ketentuan pasal ini, lebih dekat pada kasus orang mirip Ariel. Meskipun terdapat kesulitan dalam hal pembuktiannya. Hukum pembuktian yang ada di dalam KUHAP berikut sedikit yang ada di dalam UU ITE tidak cukup mudah untuk membuktikan bahwa Ariel yang mendistribusikan atau yang turut mendistribusikan. Lebih-lebih apabila orang mirip Ariel tidak mengaku dan orang lain yang mendistribusikan atau ikut serta mendistribusikan tidak ditemukan. Beban pembuktian perkara ini ada pada jaksa, bukan pada Ariel. Pasal 65 KUHAP sangat tegas menyatakan bahwa “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.
Dalam hal perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya gambar bergerak persenggamaan bersuara - orang mirip Ariel – Luna dan Cut tari tersebut, sehingga diketahui umum seperti keadaan sekarang ini, bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan, ialah:
· Kemungkinan pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau mereka berdua atau bertiga sama-sama mendistribusikan dll (penyertaan) tanpa melibatkan orang lain.
· Kemungkinan kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak mendistribusikan dll dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain tanpa sepengetahuan Ariel, Luna maupun Cut Tari.
· Kemungkinan ketiga, bisa jadi orang lain yang mendistribusikan dll., dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan. Hukum penyertaan harus diterapkan. Tanpa menerapkan hukum penyertaan, orang yang mirip Ariel, Luna maupun Cut Tari tidak mungkin dipidana.
Kemungkinan ketigalah yang bisa diterapkan pada orang mirip Ariel, sementara yang kedua tidak akan menyangkut Ariel, karena ia sebagai korban. Sementara yang pertama, sangat sulit – apo iso polisi menyangkutkan Ariel, meskipun penyidik dapat mengungkap dan menemuka si pembuat yang mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya gambar bergerak bersuara persenggamaan tersebut, bila orang mirip Ariel, Luna, Cut Tari dan siapapun juga termasuk teman-2 Ariel tidak menerangkan tentang keterlibatan Ariel dalam hal orang lain yang mentransmisikan dll tersebut.
4. Pasal 29 jo 4 Ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Banyak perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 29 jo 4 Ayat (1). Namun yang dekat dengan kasus orang mirip Ariel, hanya perbuatan membuat. Apabila dapat dibuktikan bahwa orang yang mirip Ariel yang membuat video tersebut dengan maksud bukan untuk dirinya sendiri, maka ia dapat dipidana berdasarkan Pasal 29 jo 4 Ayat (1).
Namun apabila dapat dibuktikan bahwa maksud membuat video gambar bergerak bersuara persetubuhan itu untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan dirinya sendiri, maka perbuatannya itu tidak dapat dipidana.[12] Disebabkan oleh ketiadaan kesalahan dalam hal membuat video. Perbuatan membuat adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap sesuatu barang yang belum ada menjadi ada.
Mengenai untuk kepentingan diri sendiri sebagai penyebab tidak dapat dipidananya pembuat ini, sesungguhnya bukan karena orang yang mirip Ariel tidak melanggar Pasal 29 jo 4 Ayat (1) khususnya mengenai perbuatan membuat video porno, atau karena bukan tidak melakukan perbuatan membuat seperti bunyi pada Penjelasan Pasal 4. Melainkan dalam hal membuat video porno tersebut kehilangan/ketiadaan kesalahan pada diri si pembuat. Kesalahan sebagai syarat untuk dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat – tiada atau hapus. Jadi masuk pada alasan pemaaf (fait d’exuse). Merupakan alasan peniadaan pidana pada tindak pidana khusus, bukan alasan penghapus pidana umum seperti pada Bab III Buku II KUHP.
Meskipun bunyi penjelasan Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Bunyi penjelasan yang demikian itu bukanlah merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, dan bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Adapun alasannya ialah:
· Bukan merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, karena perbuatan membuat telah benar-benar terjadi, terbukti dengan lahirnya atau adanya video tersebut, dipastikan hasil dari perbuatan membuat.
· Oleh karena itu bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Pasal 29 jo 4 (1) merupakan tindak pidana semi formil. Untuk selesainya perbuatan membuat harus terbukti adanya gambar dalam video hasil dari perbuatan tersebut. Dengan terbukti adanya gambar bergerak porno tersebut, maka terwujudlah perbuatan yang dengan demikian terwujud pula tindak pidana.
Dalam hal ini memang, telah terjadi kesalahan dalam hal penempatan alasan peniadaan pidana. Perkecualian dari perbuatan yang dapat dipidana, atau perkecualian dari tindak pidana seharusnya dimuat di dalam pasal yang merumuskan tindak pidana yang bersangkutan dan bukan dimuat dalam penjelasanya. Namun demikian, tidaklah berarti meniadakan keberlakuan penjelasan Pasal 4 tersebut sebagai alasan peniadaan pidana khusus.
Jika orang mirip Ariel terbukti membuat, dan Ia menerangkan untuk kepentingan dirinya sendiri, maka menurut hukum pembuktian, Jaksa dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan sebaliknya. Bahwa pembuatan video tersebut terkandung maksud bukan sekedar untuk kepentingan si pembuat saja. Bagaimana cara Jaksa membuktikan? Caranya Jaksa harus membuktikan adanya tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa pembuatan video tersebut ditujukan bukan sekedar untuk dirinya sendiri. Misalnya tanda-tanda yang mengindikasikan akan diedarkan, akan dijual, akan dilihat teman-temannya, akan dijadikan persediaan, dan sebagainya.
Jika demikian, bagaimana dengan kenyataan bahwa video tersebut telah beredar secara luas? Mengenai persoalan ini harus dibedakan dengan perbuatan membuat. Hal beredarnya harus dicari diluar dari perbuatan membuat, yang in casu menyebarluaskan atau menyiarkan.
Seperti perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam Pasal 27 UU ITE yang telah dibicarakan, juga dalam hal menyebarluaskan bisa terjadi beberapa kemungkinan, ialah:
· Pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau Ia sendiri (secara pribadi) atau mereka berdua atau bertiga sama-sama mendistribusikan dll. (penyertaan) tanpa melibatkan orang lain.
· Kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak menyebarluaskan dll. dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain tanpa sepengetahuan mereka.
· Ketiga, bisa jadi orang lain yang menyebarluaskan dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan. Hukum penyertaan harus diterapkan. Tanpa menerapkan hukum penyertaan, orang yang mirip Ariel tidak mungkin dipidana.
Jadi apabila orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari tidak dapat dibuktikan “membuat video porno” bukan untuk dirinya sendiri, maka harus dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) disebabkan hapusnya/tiadanya kesalahan pada diri si pembuat.
Hanya mungkin dipidana dalam hal terbukti melakukan perbuatan yang lain, misalnya menyebarluaskan atau terlibat bersama orang lain dalam menyebarluaskan. Artinya haruslah dapat dibuktikan setelah video dibuat, salah satu atau dua atau ketiganya ikut terlibat (penyertaan) dalam hal orang lain mengedarkan video porno tersebut sebagaimana kemungkinan yang ketiga.
Persoalan lainnya, ialah bagaimana jika terbukti pembuatan membuat video porno tersebut dilakukan sebelum diundangkannya UU Pornografi tanggal 28 Nopember 2008. Berdasarkan azas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, perbuatan membuat tersebut tidak dapat dipidana. UU Pornografi tidak berlaku surut.
5. Pasal 32 jo 6 UU Pornografi
Banyak perbuatan dalam Pasal 32 jo 6. Namun yang mungkin dilakukan oleh orang yang mirip Ariel ialah perbuatan memiliki atau menyimpan.
Memiliki ada dua pengertian. Pertama, memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang atas benda yang dikuasainya secara langsung. Kedua memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang atas benda yang tidak dikuasainya secara langsung. Sementara menyimpan, benda bisa menjadi milik si penyimpan ataupun tidak. Namun benda tersebut harus berada dalam kekuasaan seseorang yang mengandung sifat merawatnya, melindunginya dan merahasiakannya bagi orang lain, serta mengandung maksud untuk tujuan-tujuan tertentu.
Sama halnya dengan perbuatan membuat benda pornografi yang jika dilakukan dengan maksud untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Demikian juga halnya dengan perbuatan memiliki dan menyimpan menurut Penjelasan Pasal 6 jika untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Dalam hal melakukan perbuatan menyimpan tersebut kehilangan/tiadanya kesalahan pada diri si pembuatnya. Tentu saja melakukan suatu perbuatan yang tanpa kesalahan pada diri si pembuatnya, tidak boleh dipidana.
Untuk mempidana terdakwa atas dakwaan Pasal 32 jo 6, Jaksa wajib membuktikan bahwa perbuatan menyimpan atau memiliki video tersebut bukan untuk diri sendiri. Dengan kata lain, Jaksa harus dapat membuktikan ada kesengajaan terdakwa dalam hal menyimpan untuk digunakan selain untuk diri sendiri, misalnya untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya.
Sama halnya dengan Pasal 29 jo 4 Ayat (1), meskipun unsur sengaja tidak dicantumkan dalam rumusan, namun dengan menyebutkan unsur-unsur perbuatan yang sedemikian rupa, yang oleh karenanya tidak memungkinkan untuk dapat dipidananya pembuat jika tidak diikuti oleh kehendak selain sekedar untuk menyimpan. Dengan demikian Jaksa dibebani kewajiban untuk membuktikan adanya kesengajaan dalam hal melakukan perbuatan menyimpan tersebut untuk keperluan lain, dan tidak semata-mata menyimpan untuk diri sendiri. Misalnya dalam menyimpan terkandung kehendak untuk disiapkan / disediakan untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan / disediakan bagi keperluan lain-lainnya. Cara Jaksa membuktikan, ialah harus menemukan keadaan-keadaan atau tanda-tanda yang dapat dijadikan indikator bahwa penyimpanan tersebut terkandung kehendak/kesengajaan untuk dipergunakan selain sekedar menyimpan. Misalnya ditemukan keadaan berupa si penyimpan pernah menawarkan untuk dibeli atau memperlihatkan kepada pihak lain. Keadaan seperti ini dapat digunakan Jaksa sebagai indikator bahwa penyimpanan itu bukan untuk diri pribadinya sendiri.
Kampus FH UB: 13-7-2010
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya.
---------------, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya.
---------------, 2007. 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
---------------, 2008. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
---------------, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
--------------, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Engelbrecht, W.A.1960. De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesie, PT Soerongan, Jakarta.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
KUHP Terjemahan BPHN.
[1] Terjemahan BPHN.
[2] Terjemahan BPHN.
[3] Moelyatno, mengutip pendapat Prof. Scholten, dalam Azsas-azas Hukum Pidana (1983), Penerbit Bina Aksara, halaman 26.
[4] Ibid, halaman 27.
[5] Adami Chazawi, 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana - Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, halaman 42.
[6] Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 336.
[7] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Posisitf Penghinaan, Penerbit PMM – ITS Pres, Surabaya, halaman 283.
[8] Lihat Pasal 1 Angka 3 UU ITE.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Ibid., halaman 1485.
[10] Adami Chazawi, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, halaman 284.
[11] Ibid.
[12] Lihat Penjelasan Pasal 4.
Selasa, 22 Juni 2010
DAPATKAH orang yang mirip ARIEL, LUNA DAN CUT TARI
DAPATKAH orang yang mirip ARIEL, LUNA DAN CUT TARI
DIJERAT DENGAN UU PORNOGRAFI??
Dapatkah orang yang mirip Ariel, Luna Maya dan Cut Tari dijerat dengan UU Pornografi? Oleh karena pertanyaannya “dapatkah”, bisa saja jawabannya ialah DAPAT, tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Tindak pidana pornografi yang dapat diterapkan ialah:
1. Pasal 29 jo Pasal 4 Ayat (1), dan
2. Pasal 32 jo Pasal 6.
Pasal 29: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 4 Ayat (1): Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.
Pasal 32: Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 6: Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 29 jo 4 Ayat (1).
Untuk Pasal 29 jo 4 Ayat (1), perbuatannya ialah memproduksi dan membuat. Apabila terbukti bahwa orang yang mirip Ariel yang membuat atau memproduksi video tersebut, maka ia dapat disangkakan Pasal 29 jo 4 Ayat (1). Namun apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan membuat video persetubuhan itu untuk dirinya sendiri atau kepentingan dirinya sendiri, maka perbuatannya itu tidak dapat dipidana.
Memproduksi adalah perbuatan dengan cara apapun yang ditujukan untuk menghasilkan suatu barang atau menghasilkan barang yang belum ada menjadi ada.
Sementara perbuatan membuat adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap sesuatu barang yang belum ada menjadi ada.
Mengenai penyebab tidak dapat dipidananya ini, sesungguhnya bukan karena orang yang mirip Ariel tidak melanggar Pasal 29 jo 4 Ayat (1) khususnya mengenai perbuatan membuat video porno, atau bukan tidak melakukan perbuatan membuat. Melainkan dalam hal membuat video porno tersebut kehilangan/hapusnya kesalahan pada diri si pembuatnya.
Meskipun bunyi penjelasan Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepetingan sendiri. Bunyi penjelasan yang demikian itu bukanlah merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, dan bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Adapun alasannya ialah:
Ø Bukan merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, kaena perbuatan membuat telah benar-benar terjdi, terbukti dengan lahirnya atau adanya video tersebut, dipastikan hasil dari perbuatan membuat.
Ø Oleh karena itu bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Pasal 29 jo 4 (1) merupakan tindak pidana formil. Dengan terwujudnya perbuatan, maka terwujud pula tindak pidana.
Ø Perkecualian dari perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana, atau perkecualian dari tindak pidana haruslah dimuat di dalam pasal yang merumuskan tindak pidana dan bukan dimuat dalam penjelasanya.
Oleh karena itulah maka penyebab tidak dapat dipidananya orang yang membuat video porno untuk kepentingan diri sendiri, merupakan alasan penghapus pidana khusus, bukan alasan penghapus pidana umum sebagaimana dimuat dalam KUHP.
Apabila orang mirip Ariel dapat membuktikan dirinya membuat video tersebut hanya untuk dirinya sendiri, maka pembuat yang melakukan perbuatan membuat incasu tindak pidana tersebut tidak dapat dipidana. Untuk membuktikan bahwa video porno yang sudah beredar tersebut, tidaklah cukup Dia menyatakan bahwa pembuatannya hanya ditujukan untuk dirinya dan kepentingannya sendiri. Melainkan juga wajib membuktikan atau memberikan alasan berupa tanda-tanda/keadaan-keadaan tertentu sebagai indikator bahwa video tersebut dibuat untuk dirinya sendiri. Karena cara merumuskan dan sifat dari kalimat dalam penjelasan tersebut sedemikian rupa, maka menjadi kewajiban si pembuat sendiri untuk membuktikan tentang maksud pembuatan tersebut sekedar untuk dirinya sendiri.
Tidaklah mungkin Jaksa dibebani kewjiban hukum untuk membuktikan bahwa pembuatan video porno tersebut sekedar untuk diri si pembuat sendiri. Justru sebaliknya Jaksa dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan sebaliknya, bahwa pembuatan video tersebut terkandung maksud bukan sekedar untuk kepentingan si pembuat saja. Bagaimana cara Jaksa membuktikan? Caranya Jaksa harus membuktikan adanya tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa pembuatan video tersebut ditujukan bukan sekedar untuk dirinya sendiri. Misalnya tanda-tanda yang mengindikasikan akan diedarkan, akan dijual, akan dilihat teman-temannya, akan dijadikan persediaan, dan sebagainya.
Menurut hukum pembuktian, bisa saja terdakwa hanya menyatakan bahwa pembuatan video tersebut sekedar untuk kepetingan dirinya sendiri, yang mestinya diikuti pula dengan alasan dan mengemukakan bukti-bukti bahwa benar untuk dirinya sendiri. Namun hasil pembuktian Jaksa lah yang akan menentukan. Pendapat ini didasarkan pada sistem pembuktian yang ada di dalam KUHP, yang selalu dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan dakwaannya. ketentuan ini berlandaskan azas praduga tidak bersalah.
Jika demikian, bagaimana kenyataannya video tersebut telah beredar secara luas? Mengenai persoalan ini harus dibedakan dengan perbuatan membuat. Hal beredarnya harus dicari dari sebab perbuatan mengedarkan atau menurut UUP menyebarluaskan.
Dalam hal menyebarluaskan bisa terjadi beberapa kemungkinan, ialah:
Ø Pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau mereka berdua atau bertiga sama-sama menyebarluaskan tanpa melibatkan orang lain.
Ø Kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak menyebarluaskan dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain.
Ø Ketiga, bisa jadi orang lain yang menyebarluaskan dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan.
Jadi apabila orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terbukti membuat video porno untuk dirinya sendiri dan karenanya tidak dipidana, disebabkan dalam perbuatan itu hapus unsur kesalahan pda diri si pembuatnya.
Namun dengan perbuatan selain membuat, dapat dipidana karena salah satu atau dua dari tiga kemungkinan tersebut diatas. Artinya haruslah dapat dibuktikan setelah video dibuat, salah satu atau dua atau ketiganya ikut terlibat (penyertaan) dalam hal orang lain mengedarkan video porno tersebut.
Persoalan lainnya, ialah bagaimana jika terbukti pembuatan membuat video porno tersebut dilakukan sebelum diundangkannya UU Pornografi tanggal 28 Nopember 2008. Berdasarkan azas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, perbuatan membuat tersebut tidak dapat dipidana. UU Pornografi tidak berlaku surut.
Pasal 32 jo 6
Perbuatan yang mungkin dilakukan orang yang mirip Ariel ialah perbuatan memiliki atau menyimpan. Memiliki ada dua pengertian. Pertama, memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang, meskipun benda tidak dalam penguasaan langsung. Misalnya dipinjam oleh temannya. Kedua, memiliki dalam arti menguasai suatu barang, yakni terdapat hubuingan yang sangat erat/dekat antara barang dengan seseorang. Ukuran dekatnya ialah orang itu dapat melakukan suatu perbuatan terhadap benda itu secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu.
Sama hal dengan perbuatan membuat benda pornografi yang jika dilakukan untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Demikian juga halnya dengan perbuatan memiliki dan menyimpan menuurut Penjelasan Pasal 6 jika untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Perbuatan menyimpan tersebut kehilangan/hapusnya unsur kesalahan pada diri si pembuatnya. Tentu saja melakukan perbuatan yang hapusnya kesalahan pada diri si pembuatnya tidak boleh dipidana.
Untuk mempidana terdakwa atas dakwaan Pasal 32 jo 6, Jaksa wajib membuktikan bahwa perbuatan tersebut dilakukan bukan untuk diri sendiri. Artinya Jaksa harus dapat membuktikan ada kesengajaan terdakwa dalam menyimpan bukan untuk diri sendiri. Artinya ada kesengajaan dalam hal menyimpan ditujukan untuk keperluan selain sekedar menyimpan, misalnya untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya.
Sama halnya dengan Pasal 29 jo 4 (1), meskipun unsur sengaja tidak dicantumkan dalam rumusan, namun karena sifat dan keadaan rumusan tindak pidana sedemikian rupa, yang tidak memungkinkan dipidana jika tidak diikuti oleh kehendak selain semata-mata untuk sekedar menyimpan, perbuatan mana berupa perbuatan negatif, maka dengan demikian Jaksa dibebani kewajiban untuk membuktikan adanya kesengajaan dalam menyimpan tersebut untuk keperluan lain, dan tidak semata-mata menyimpan untuk diri sendiri. Misalnya dalam meyimpan terkandung kehendak untuk disiapkan / disediakan untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya. Cara Jaksa membuktikan, ialah harus menemukan keadaan-keadaan atau tanda-tanda yang dapat dijadikan indikator bahwa penyimpanan tersebut terkandung kehendak/kesengajaan untuk dipergunakan selain sekedar menyimpan. Misalnya ditemukan keadaan berupa si penyimpan pernah menawarkan untuk dibeli kepada pihak lain. Keadaan seperti ini dapat digunakan Jaksa sebagai indikator bahwa penyimpanan itu bukan utk diri pribadinya sendiri.
Kiranya demikian pendapat saya.
DIJERAT DENGAN UU PORNOGRAFI??
Dapatkah orang yang mirip Ariel, Luna Maya dan Cut Tari dijerat dengan UU Pornografi? Oleh karena pertanyaannya “dapatkah”, bisa saja jawabannya ialah DAPAT, tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Tindak pidana pornografi yang dapat diterapkan ialah:
1. Pasal 29 jo Pasal 4 Ayat (1), dan
2. Pasal 32 jo Pasal 6.
Pasal 29: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 4 Ayat (1): Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.
Pasal 32: Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 6: Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 29 jo 4 Ayat (1).
Untuk Pasal 29 jo 4 Ayat (1), perbuatannya ialah memproduksi dan membuat. Apabila terbukti bahwa orang yang mirip Ariel yang membuat atau memproduksi video tersebut, maka ia dapat disangkakan Pasal 29 jo 4 Ayat (1). Namun apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan membuat video persetubuhan itu untuk dirinya sendiri atau kepentingan dirinya sendiri, maka perbuatannya itu tidak dapat dipidana.
Memproduksi adalah perbuatan dengan cara apapun yang ditujukan untuk menghasilkan suatu barang atau menghasilkan barang yang belum ada menjadi ada.
Sementara perbuatan membuat adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap sesuatu barang yang belum ada menjadi ada.
Mengenai penyebab tidak dapat dipidananya ini, sesungguhnya bukan karena orang yang mirip Ariel tidak melanggar Pasal 29 jo 4 Ayat (1) khususnya mengenai perbuatan membuat video porno, atau bukan tidak melakukan perbuatan membuat. Melainkan dalam hal membuat video porno tersebut kehilangan/hapusnya kesalahan pada diri si pembuatnya.
Meskipun bunyi penjelasan Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepetingan sendiri. Bunyi penjelasan yang demikian itu bukanlah merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, dan bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Adapun alasannya ialah:
Ø Bukan merupakan perkecualian dari perbuatan membuat, kaena perbuatan membuat telah benar-benar terjdi, terbukti dengan lahirnya atau adanya video tersebut, dipastikan hasil dari perbuatan membuat.
Ø Oleh karena itu bukan pula perkecualian dari tindak pidana pornografi. Pasal 29 jo 4 (1) merupakan tindak pidana formil. Dengan terwujudnya perbuatan, maka terwujud pula tindak pidana.
Ø Perkecualian dari perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana, atau perkecualian dari tindak pidana haruslah dimuat di dalam pasal yang merumuskan tindak pidana dan bukan dimuat dalam penjelasanya.
Oleh karena itulah maka penyebab tidak dapat dipidananya orang yang membuat video porno untuk kepentingan diri sendiri, merupakan alasan penghapus pidana khusus, bukan alasan penghapus pidana umum sebagaimana dimuat dalam KUHP.
Apabila orang mirip Ariel dapat membuktikan dirinya membuat video tersebut hanya untuk dirinya sendiri, maka pembuat yang melakukan perbuatan membuat incasu tindak pidana tersebut tidak dapat dipidana. Untuk membuktikan bahwa video porno yang sudah beredar tersebut, tidaklah cukup Dia menyatakan bahwa pembuatannya hanya ditujukan untuk dirinya dan kepentingannya sendiri. Melainkan juga wajib membuktikan atau memberikan alasan berupa tanda-tanda/keadaan-keadaan tertentu sebagai indikator bahwa video tersebut dibuat untuk dirinya sendiri. Karena cara merumuskan dan sifat dari kalimat dalam penjelasan tersebut sedemikian rupa, maka menjadi kewajiban si pembuat sendiri untuk membuktikan tentang maksud pembuatan tersebut sekedar untuk dirinya sendiri.
Tidaklah mungkin Jaksa dibebani kewjiban hukum untuk membuktikan bahwa pembuatan video porno tersebut sekedar untuk diri si pembuat sendiri. Justru sebaliknya Jaksa dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan sebaliknya, bahwa pembuatan video tersebut terkandung maksud bukan sekedar untuk kepentingan si pembuat saja. Bagaimana cara Jaksa membuktikan? Caranya Jaksa harus membuktikan adanya tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa pembuatan video tersebut ditujukan bukan sekedar untuk dirinya sendiri. Misalnya tanda-tanda yang mengindikasikan akan diedarkan, akan dijual, akan dilihat teman-temannya, akan dijadikan persediaan, dan sebagainya.
Menurut hukum pembuktian, bisa saja terdakwa hanya menyatakan bahwa pembuatan video tersebut sekedar untuk kepetingan dirinya sendiri, yang mestinya diikuti pula dengan alasan dan mengemukakan bukti-bukti bahwa benar untuk dirinya sendiri. Namun hasil pembuktian Jaksa lah yang akan menentukan. Pendapat ini didasarkan pada sistem pembuktian yang ada di dalam KUHP, yang selalu dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan dakwaannya. ketentuan ini berlandaskan azas praduga tidak bersalah.
Jika demikian, bagaimana kenyataannya video tersebut telah beredar secara luas? Mengenai persoalan ini harus dibedakan dengan perbuatan membuat. Hal beredarnya harus dicari dari sebab perbuatan mengedarkan atau menurut UUP menyebarluaskan.
Dalam hal menyebarluaskan bisa terjadi beberapa kemungkinan, ialah:
Ø Pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau mereka berdua atau bertiga sama-sama menyebarluaskan tanpa melibatkan orang lain.
Ø Kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak menyebarluaskan dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain.
Ø Ketiga, bisa jadi orang lain yang menyebarluaskan dan orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan.
Jadi apabila orang yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terbukti membuat video porno untuk dirinya sendiri dan karenanya tidak dipidana, disebabkan dalam perbuatan itu hapus unsur kesalahan pda diri si pembuatnya.
Namun dengan perbuatan selain membuat, dapat dipidana karena salah satu atau dua dari tiga kemungkinan tersebut diatas. Artinya haruslah dapat dibuktikan setelah video dibuat, salah satu atau dua atau ketiganya ikut terlibat (penyertaan) dalam hal orang lain mengedarkan video porno tersebut.
Persoalan lainnya, ialah bagaimana jika terbukti pembuatan membuat video porno tersebut dilakukan sebelum diundangkannya UU Pornografi tanggal 28 Nopember 2008. Berdasarkan azas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, perbuatan membuat tersebut tidak dapat dipidana. UU Pornografi tidak berlaku surut.
Pasal 32 jo 6
Perbuatan yang mungkin dilakukan orang yang mirip Ariel ialah perbuatan memiliki atau menyimpan. Memiliki ada dua pengertian. Pertama, memiliki dalam arti melekat hak milik pada seseorang, meskipun benda tidak dalam penguasaan langsung. Misalnya dipinjam oleh temannya. Kedua, memiliki dalam arti menguasai suatu barang, yakni terdapat hubuingan yang sangat erat/dekat antara barang dengan seseorang. Ukuran dekatnya ialah orang itu dapat melakukan suatu perbuatan terhadap benda itu secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu.
Sama hal dengan perbuatan membuat benda pornografi yang jika dilakukan untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Demikian juga halnya dengan perbuatan memiliki dan menyimpan menuurut Penjelasan Pasal 6 jika untuk dirinya sendiri tidak dapat dipidana. Perbuatan menyimpan tersebut kehilangan/hapusnya unsur kesalahan pada diri si pembuatnya. Tentu saja melakukan perbuatan yang hapusnya kesalahan pada diri si pembuatnya tidak boleh dipidana.
Untuk mempidana terdakwa atas dakwaan Pasal 32 jo 6, Jaksa wajib membuktikan bahwa perbuatan tersebut dilakukan bukan untuk diri sendiri. Artinya Jaksa harus dapat membuktikan ada kesengajaan terdakwa dalam menyimpan bukan untuk diri sendiri. Artinya ada kesengajaan dalam hal menyimpan ditujukan untuk keperluan selain sekedar menyimpan, misalnya untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya.
Sama halnya dengan Pasal 29 jo 4 (1), meskipun unsur sengaja tidak dicantumkan dalam rumusan, namun karena sifat dan keadaan rumusan tindak pidana sedemikian rupa, yang tidak memungkinkan dipidana jika tidak diikuti oleh kehendak selain semata-mata untuk sekedar menyimpan, perbuatan mana berupa perbuatan negatif, maka dengan demikian Jaksa dibebani kewajiban untuk membuktikan adanya kesengajaan dalam menyimpan tersebut untuk keperluan lain, dan tidak semata-mata menyimpan untuk diri sendiri. Misalnya dalam meyimpan terkandung kehendak untuk disiapkan / disediakan untuk diedarkan, untuk dijual atau untuk disiapkan bagi keperluan lain-lainnya. Cara Jaksa membuktikan, ialah harus menemukan keadaan-keadaan atau tanda-tanda yang dapat dijadikan indikator bahwa penyimpanan tersebut terkandung kehendak/kesengajaan untuk dipergunakan selain sekedar menyimpan. Misalnya ditemukan keadaan berupa si penyimpan pernah menawarkan untuk dibeli kepada pihak lain. Keadaan seperti ini dapat digunakan Jaksa sebagai indikator bahwa penyimpanan itu bukan utk diri pribadinya sendiri.
Kiranya demikian pendapat saya.
Jumat, 23 April 2010
APAKAH HAKIM TERMASUK PEJABAT PEMBUAT
APAKAH HAKIM TERMASUK PEJABAT PEMBUAT
AKTA OTENTIK MENURUT PS 266 KUHP?
Catatan: Mahasiswa FH UB agar membaca tulisan singkat ini, terutama yang memprogramkan mata kuliah “kejahatan terhadap subjek hukum” (KTSH).
Beberapa kali advokat atau dipihak kepolisian datang kepada saya, mengkonsultasikan tentang gugatan atau permohonan yang diajukan ke Pengadilan yang isinya palsu. Bahkan ada kasus yang sudah diberkas. Pertanyaan hukumnya: APAKAH kepada mereka dapat diterapkan Pasal 266 KUHP? Untuk memberikan jawaban atas persoalan itu, saya membuat tulisan ini. Semoga berbagai pihak dapat membaca dan memakluminya.
Dari sudut pembuatnya, ada 2 akta otentik.
- Pertama, akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Umum (Openbaar ambtenaar). . Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Umum inilah yang dimaksud akta otentik dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa akta otentik adalah “akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berkuasa untuk itu di tempat mana akta itu dibuatnya”. Contohnya akta yang dibuat oleh seorang Notaris.
Tentang Notaris ini, diterangkan dalam Pasal 1 Peraturan Pejabat Notaris (PJN, Stb 1860 no. 3) yang merumuskan al: “Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpannya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”. Meskipun PJN, Stb 1860 No. 3 sudah dicabut, dan kini berlaku UU 30/2004 Tentang Jabatan Notaris, tetapi jiwa dari Pasal 266 KUHP adalah senada dengan jiwa dari Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) tersebut. Kini jiwa dari Pasal 1 PJN (Stb 1860 No. 3) tersebut masuk ke dalam Pasal 1 UU No. 30/2004 yang merumuskan “ Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam UU ini”.
- Kedua, akta otentik yang dibuat oleh pejabat lain (ambtenaren of personen). Pejabat ini misalnya: pejabat pencatat nikah di KUA atau pencatat nikah di Kantor Catatan Sipil, Panitera Pengadilan, Jurusita, termasuk penyidik yang membuat BAP Penyidikan.
Perbuatan dalam tindak pidana Pasal 266 KUHP ialah “menyuruh memasukkan”, sementara objek tindak pidananya adalah “keterangan palsu”. Siapa (subjek hukum) yang disuruh untuk memasukkan keterangan itu, tiada lain adalah Pejabat pembuat akta otentik tersebut, dan pejabat umum yang dimaksud Pasal 266 KUHP ini adalah pejabat umum seperti dalam Pasal 1868 BW jo Pasal 1 PJN jo Pasal 1 UU No. 30/2004 dan pejabat lain (meskipun pejabat lain ini tidak disebutkan dalam Pasal 1 UU No. 30/2004, tapi disebutkan dalam Pasal 1 PJN. Untuk Pejabat umum yang dimaksud dalam Pasal 1868 Jo 1 PJN jo Pasal 1 UU No. 30/2004 tidak ada persoalan, karena berdasarkan kedua pasal tersebut, nyatalah bahwa pejabat umum yang dimaksud fungsinya sekedar memasukkan/mencantumkan saja keterangan yang disampaiakan yang in casu diminta untuk dimuatnya dalam akta otentik yang dimaksudkan.
Sementara pejabat umum itu tidak mempunyai kewajiban hukum untuk membuktikan atau meminta buktikan mengenai kebenaran keterangan yang diminta masukkan ke dalam akta otentik yang dimaksudkan. Inilah ciri/sifat umumnya yang merupakan kriteria/syarat dari keterangan yang diminta masukan ke dalam akta otentik. Ciri atau syarat umum ini berlaku juga bagi keterangan yang disampaikan oleh peminta/ pemohon akta otentik pada pejabat lain yang bukan pejabat umum, seperti pejabat pencatat nikah di KUA atau di Kantor Catatan Sipil.
Oleh karena itulah, maka pejabat pembuat akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP, adalah pejabat umum pembuat akta otentik atau pejabat lain yang bertugas membuat akta otentik yang karena tugas jabatannya berdasarkan aturan umum, mereka tidak mempunyai kewajiban hukum untuk meminta buktikan atau membuktikan tentang kebenaran keterangan berdasarkan aturan umum yang disampaikan oleh orang yang meminta masukkan keterangan ke dalam akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP tersebut. Dengan kata lain pejabat pembuat akta otentik tersebut tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memberi pertimbangan hukum tentang benar ataukah tidak benar perihal keterangan yang disampaikan oleh pemohon/peminta untuk dimuat dalam akta otentik yang dimaksud. Hal ini berbeda dengan suatu putusan hakim.
Berdasarkan syarat umum inilah maka “hakim” bukanlah termasuk pejabat umum atau pejabat lain pembuat akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP, meskipun putusan hakim dapat dimasukkan ke dalam akta otentik ketika putusan atau penetapan itu mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itulah maka, surat gugatan atau permohonan kepada pengadilan, meskipun isinya (keterangan) yang dimuat dalam surat gugatan/permohonan tersebut palsu atau tidak benar – bertentangan dengan yang sebenarnya (bertentangan dengan kebenaran materiil), Pasal 266 KUHP tidak dapat diterapkan. Konsepsi tindak pidana pemalsuan surat menurut Pasal 266 KUHP tidak ditujukan bagi orang-orang yang mengajukan permintaan melalui gugatan atau permohonan kepada pengadilan. Jelas tho ??!!
Demikian.
Silakan mahasiswa dan dosen hukum pidana FH UB dan para pembaca lainnya untuk memberikan tanggapan. Dengan tanggapan semecam itu salah satu upaya dan sarana kita untuk mengembangkan lmu hukum.
AKTA OTENTIK MENURUT PS 266 KUHP?
Catatan: Mahasiswa FH UB agar membaca tulisan singkat ini, terutama yang memprogramkan mata kuliah “kejahatan terhadap subjek hukum” (KTSH).
Beberapa kali advokat atau dipihak kepolisian datang kepada saya, mengkonsultasikan tentang gugatan atau permohonan yang diajukan ke Pengadilan yang isinya palsu. Bahkan ada kasus yang sudah diberkas. Pertanyaan hukumnya: APAKAH kepada mereka dapat diterapkan Pasal 266 KUHP? Untuk memberikan jawaban atas persoalan itu, saya membuat tulisan ini. Semoga berbagai pihak dapat membaca dan memakluminya.
Dari sudut pembuatnya, ada 2 akta otentik.
- Pertama, akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Umum (Openbaar ambtenaar). . Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Umum inilah yang dimaksud akta otentik dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa akta otentik adalah “akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berkuasa untuk itu di tempat mana akta itu dibuatnya”. Contohnya akta yang dibuat oleh seorang Notaris.
Tentang Notaris ini, diterangkan dalam Pasal 1 Peraturan Pejabat Notaris (PJN, Stb 1860 no. 3) yang merumuskan al: “Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpannya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”. Meskipun PJN, Stb 1860 No. 3 sudah dicabut, dan kini berlaku UU 30/2004 Tentang Jabatan Notaris, tetapi jiwa dari Pasal 266 KUHP adalah senada dengan jiwa dari Pasal 1 PJN (Stb. 1860 No. 3) tersebut. Kini jiwa dari Pasal 1 PJN (Stb 1860 No. 3) tersebut masuk ke dalam Pasal 1 UU No. 30/2004 yang merumuskan “ Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam UU ini”.
- Kedua, akta otentik yang dibuat oleh pejabat lain (ambtenaren of personen). Pejabat ini misalnya: pejabat pencatat nikah di KUA atau pencatat nikah di Kantor Catatan Sipil, Panitera Pengadilan, Jurusita, termasuk penyidik yang membuat BAP Penyidikan.
Perbuatan dalam tindak pidana Pasal 266 KUHP ialah “menyuruh memasukkan”, sementara objek tindak pidananya adalah “keterangan palsu”. Siapa (subjek hukum) yang disuruh untuk memasukkan keterangan itu, tiada lain adalah Pejabat pembuat akta otentik tersebut, dan pejabat umum yang dimaksud Pasal 266 KUHP ini adalah pejabat umum seperti dalam Pasal 1868 BW jo Pasal 1 PJN jo Pasal 1 UU No. 30/2004 dan pejabat lain (meskipun pejabat lain ini tidak disebutkan dalam Pasal 1 UU No. 30/2004, tapi disebutkan dalam Pasal 1 PJN. Untuk Pejabat umum yang dimaksud dalam Pasal 1868 Jo 1 PJN jo Pasal 1 UU No. 30/2004 tidak ada persoalan, karena berdasarkan kedua pasal tersebut, nyatalah bahwa pejabat umum yang dimaksud fungsinya sekedar memasukkan/mencantumkan saja keterangan yang disampaiakan yang in casu diminta untuk dimuatnya dalam akta otentik yang dimaksudkan.
Sementara pejabat umum itu tidak mempunyai kewajiban hukum untuk membuktikan atau meminta buktikan mengenai kebenaran keterangan yang diminta masukkan ke dalam akta otentik yang dimaksudkan. Inilah ciri/sifat umumnya yang merupakan kriteria/syarat dari keterangan yang diminta masukan ke dalam akta otentik. Ciri atau syarat umum ini berlaku juga bagi keterangan yang disampaikan oleh peminta/ pemohon akta otentik pada pejabat lain yang bukan pejabat umum, seperti pejabat pencatat nikah di KUA atau di Kantor Catatan Sipil.
Oleh karena itulah, maka pejabat pembuat akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP, adalah pejabat umum pembuat akta otentik atau pejabat lain yang bertugas membuat akta otentik yang karena tugas jabatannya berdasarkan aturan umum, mereka tidak mempunyai kewajiban hukum untuk meminta buktikan atau membuktikan tentang kebenaran keterangan berdasarkan aturan umum yang disampaikan oleh orang yang meminta masukkan keterangan ke dalam akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP tersebut. Dengan kata lain pejabat pembuat akta otentik tersebut tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memberi pertimbangan hukum tentang benar ataukah tidak benar perihal keterangan yang disampaikan oleh pemohon/peminta untuk dimuat dalam akta otentik yang dimaksud. Hal ini berbeda dengan suatu putusan hakim.
Berdasarkan syarat umum inilah maka “hakim” bukanlah termasuk pejabat umum atau pejabat lain pembuat akta otentik yang dimaksud Pasal 266 KUHP, meskipun putusan hakim dapat dimasukkan ke dalam akta otentik ketika putusan atau penetapan itu mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itulah maka, surat gugatan atau permohonan kepada pengadilan, meskipun isinya (keterangan) yang dimuat dalam surat gugatan/permohonan tersebut palsu atau tidak benar – bertentangan dengan yang sebenarnya (bertentangan dengan kebenaran materiil), Pasal 266 KUHP tidak dapat diterapkan. Konsepsi tindak pidana pemalsuan surat menurut Pasal 266 KUHP tidak ditujukan bagi orang-orang yang mengajukan permintaan melalui gugatan atau permohonan kepada pengadilan. Jelas tho ??!!
Demikian.
Silakan mahasiswa dan dosen hukum pidana FH UB dan para pembaca lainnya untuk memberikan tanggapan. Dengan tanggapan semecam itu salah satu upaya dan sarana kita untuk mengembangkan lmu hukum.
Jumat, 29 Januari 2010
BISAKAH PRESIDEN dan/atau WAKIL PRESIDEN DIBERHENTIKAN DALAM MASA JABATANNYA?
H. Adami Chazawi (FH UB)
UUD Negara memberikan jalan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan 7B: perubahan ketiga tanggal 10 Nopember 2001).
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Apakah Pansus Bank Century sekarang berjalan menuju pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden? Para anggota Pansus beramai-ramai menyatakan bahwa Pansus sama sekali tidak ada maksud berjalan kesana. Tapi siapa tahu, pekerjaan politik tersebut berujung pada apa yang dipopulerkan media dengan pemakzulan? Putusan politik tidak bisa ditebak dan diterka-terka? Pagi ngomong A sore sudah berubah B. Makanya bisa dimengerti jika Bapak Presiden SBY mengumpulkan para Pejabat Tinggi Negara di Istana Presiden Bogor belum lama ini. Kiranya ada maksud mengantisipasi kalau-kalau akhirnya Pansus berjalan kearah sana. Bisa jadi tujuan akhirnya Pemberhentian Presiden/dan atau Wakil Presiden jika terbukti dari pekerjaan Pansus kasus Bank Century membuahkan hasil temuan bahwa di dalamnya terdapat tindak pidana korupsi yang melibatkan Presiden dan /atau Wakil Presiden??????.
Diantara sekian alasan / dasar untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dari hasil pekerjaan politik Pansus Bank Century hanya mungkin dengan menggunakan satu alasan saja. Bilamana di dalam kebijakan Bank Century tersebut mengandung muatan tindak pidana korupsi, dan Presiden dan/atau Wakil Presiden terlibat di dalamnya. Tentu saja temuan semacam ini harus ditindak lanjuti oleh KPK. Apabila KPK mengusut dan menetapkan Ibu Sri Mulyani dan Bapak Budiono sebagai tersangka, mengajukannya ke Penuntut Umum untuk diajukan ke Pengadilan sebagai terdakwa dan kemudian diputus bersalah sampai putusan mempunyai kekuatan hukum tetap (mungkin sampai tingkat kasasi). Barulah DPR punya alasan untuk mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana korupsi. Sungguh masih panjang jalannya???
DPR tidak bisa mengajukan permintaan semacam itu tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang mempidana yang bersifat tetap karena melakukan korupsi. Mahkamah Konstitusi tidak mungkin bisa membuat putusan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan korupsi tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang menghukum yang telah bersifat tetap. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memutus dan menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana tertentu (termasuk korupsi), tanpa terlebih dulu ada dan didasarkan pada putusan peradilan pidana yang mempidana karena bersalah melakukan tindak pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Meskipun Pasal 7B Ayat (5) UUD Negara menyatakan bahwa “Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penuapan, timndak pidana berat lainnya ...” Kata memutuskan dalam rumusan tersebut tidak sama nilai dan artinya dengan peradilan pidana yang memutuskan tentang “keyakinan terdakwa (berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah) telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan”. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi hanya bersifat declaratoir/menyatakan saja, bukan bersifat menghukum. Putusan yang menghukum ialah putusan peradilan pidana yang dijadikan landasan/dasar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Jelasnya, bahwa untuk menghentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan menggunakan alasan melakukan tindak pidana berat termasuk korupsi, tidak bisa semata-mata melalui kekuatan politik di DPR dan MPR saja, tetapi harus didahului oleh proses perkara pidana di dalam sidang peradilan pidana.
Penulis tidak menghendaki menggelindingnya pengungkapan/penyelesaian kasus Bank Century menuju ke pemberhentian Presiden. Cukuplah, jika memang di dalam pengambilan kebijakan terhadap Bank Century yang bikin heboh ini sampai pada pernyataan DPR adanya kesalahan saja. Tidak perlu dilakukan pengusutan ke arah pidana, Keputusan DPR mengenai hal yang demikian merupakan pukulan yang sangat berat bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden beserta jajran kabinetnya. Siapa tahu ada menteri yang karena itu mengundurkan diri secara sukarela, meniru negara-negara maju di dunia ini. Jika terbukti benar hasil kerja Pansus berujung pada keputusan bahwa pengambilan kebijakan Bank Century meupakan kesalahan/kekeliruan yang di dalamnya mengandung korupsi. Jaksa Agung dapat menggunakan haknya untuk menghentikan agar keputusan yang demikian tidak menggelinding terus sampai ke penututan pidana dengan cara mendeponir atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum melalui Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004. Kiranya lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya bagi rakyat bila Presiden dan/atau Wakil Presiden ditengah jalan dihentikan.
Kita mengharap DPR tidak menciptakan suatu keadaan yang memaksakan Presiden dan Wakil Presiden untuk menghadapi perkara pidana pada saat sedang menjalankan tugas jabatannya. Karena sekali terjadi akan menjadi Preseden buruk. Sabar....??? Meskipun dari sudut hukum sah-sah saja, tetapi akibat akhirnya bagi rakyat sangat tidak menguntungkan. Bilamana pemerintahan diganggu terus, pemerintahan tidak dapat focus dalam upaya menjalankan program-progamnya, yang berimbas pada rakyat seluruhnya. Keadaan yang demikian ini dapat dijadikan alasan pemerintah pada saat program mensejahterkan rakyat tidak tercapai.
Demikian pendapat penulis. Kali yang lain kita ketemu lagi.
Kampus FH UB 30 Januari 2010.
UUD Negara memberikan jalan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan 7B: perubahan ketiga tanggal 10 Nopember 2001).
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Apakah Pansus Bank Century sekarang berjalan menuju pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden? Para anggota Pansus beramai-ramai menyatakan bahwa Pansus sama sekali tidak ada maksud berjalan kesana. Tapi siapa tahu, pekerjaan politik tersebut berujung pada apa yang dipopulerkan media dengan pemakzulan? Putusan politik tidak bisa ditebak dan diterka-terka? Pagi ngomong A sore sudah berubah B. Makanya bisa dimengerti jika Bapak Presiden SBY mengumpulkan para Pejabat Tinggi Negara di Istana Presiden Bogor belum lama ini. Kiranya ada maksud mengantisipasi kalau-kalau akhirnya Pansus berjalan kearah sana. Bisa jadi tujuan akhirnya Pemberhentian Presiden/dan atau Wakil Presiden jika terbukti dari pekerjaan Pansus kasus Bank Century membuahkan hasil temuan bahwa di dalamnya terdapat tindak pidana korupsi yang melibatkan Presiden dan /atau Wakil Presiden??????.
Diantara sekian alasan / dasar untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dari hasil pekerjaan politik Pansus Bank Century hanya mungkin dengan menggunakan satu alasan saja. Bilamana di dalam kebijakan Bank Century tersebut mengandung muatan tindak pidana korupsi, dan Presiden dan/atau Wakil Presiden terlibat di dalamnya. Tentu saja temuan semacam ini harus ditindak lanjuti oleh KPK. Apabila KPK mengusut dan menetapkan Ibu Sri Mulyani dan Bapak Budiono sebagai tersangka, mengajukannya ke Penuntut Umum untuk diajukan ke Pengadilan sebagai terdakwa dan kemudian diputus bersalah sampai putusan mempunyai kekuatan hukum tetap (mungkin sampai tingkat kasasi). Barulah DPR punya alasan untuk mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana korupsi. Sungguh masih panjang jalannya???
DPR tidak bisa mengajukan permintaan semacam itu tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang mempidana yang bersifat tetap karena melakukan korupsi. Mahkamah Konstitusi tidak mungkin bisa membuat putusan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan korupsi tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang menghukum yang telah bersifat tetap. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memutus dan menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana tertentu (termasuk korupsi), tanpa terlebih dulu ada dan didasarkan pada putusan peradilan pidana yang mempidana karena bersalah melakukan tindak pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Meskipun Pasal 7B Ayat (5) UUD Negara menyatakan bahwa “Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penuapan, timndak pidana berat lainnya ...” Kata memutuskan dalam rumusan tersebut tidak sama nilai dan artinya dengan peradilan pidana yang memutuskan tentang “keyakinan terdakwa (berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah) telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan”. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi hanya bersifat declaratoir/menyatakan saja, bukan bersifat menghukum. Putusan yang menghukum ialah putusan peradilan pidana yang dijadikan landasan/dasar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Jelasnya, bahwa untuk menghentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan menggunakan alasan melakukan tindak pidana berat termasuk korupsi, tidak bisa semata-mata melalui kekuatan politik di DPR dan MPR saja, tetapi harus didahului oleh proses perkara pidana di dalam sidang peradilan pidana.
Penulis tidak menghendaki menggelindingnya pengungkapan/penyelesaian kasus Bank Century menuju ke pemberhentian Presiden. Cukuplah, jika memang di dalam pengambilan kebijakan terhadap Bank Century yang bikin heboh ini sampai pada pernyataan DPR adanya kesalahan saja. Tidak perlu dilakukan pengusutan ke arah pidana, Keputusan DPR mengenai hal yang demikian merupakan pukulan yang sangat berat bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden beserta jajran kabinetnya. Siapa tahu ada menteri yang karena itu mengundurkan diri secara sukarela, meniru negara-negara maju di dunia ini. Jika terbukti benar hasil kerja Pansus berujung pada keputusan bahwa pengambilan kebijakan Bank Century meupakan kesalahan/kekeliruan yang di dalamnya mengandung korupsi. Jaksa Agung dapat menggunakan haknya untuk menghentikan agar keputusan yang demikian tidak menggelinding terus sampai ke penututan pidana dengan cara mendeponir atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum melalui Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004. Kiranya lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya bagi rakyat bila Presiden dan/atau Wakil Presiden ditengah jalan dihentikan.
Kita mengharap DPR tidak menciptakan suatu keadaan yang memaksakan Presiden dan Wakil Presiden untuk menghadapi perkara pidana pada saat sedang menjalankan tugas jabatannya. Karena sekali terjadi akan menjadi Preseden buruk. Sabar....??? Meskipun dari sudut hukum sah-sah saja, tetapi akibat akhirnya bagi rakyat sangat tidak menguntungkan. Bilamana pemerintahan diganggu terus, pemerintahan tidak dapat focus dalam upaya menjalankan program-progamnya, yang berimbas pada rakyat seluruhnya. Keadaan yang demikian ini dapat dijadikan alasan pemerintah pada saat program mensejahterkan rakyat tidak tercapai.
Demikian pendapat penulis. Kali yang lain kita ketemu lagi.
Kampus FH UB 30 Januari 2010.
Langganan:
Postingan (Atom)