PEMBUKTIAN TPK
MENERIMA GRATIFIKASI
DAFTAR ISI
I.
Pendahuluan (2)
II.
Konsepsi Hukum TPK Menerima Gratifikasi (3)
A. Niat Jahat Untuk Memiliki Pemberian (3)
B. Perbedaan TPK Menerima Gratifikasi dengan TPK Penyuapan
Pasif Lainnya (5)
1. Perbedaan
Mengenai Tempus Terbentuknya Niat Jahat untuk Memiliki Pemberian (5)
2. Perbedaan
Mengenai Tempus Terwujudnya Tindak Pidana (8)
3. Perbedaan
Mengenai Beban Pertanggungjawaban Pidana
(9)
4. Perbedaan
Mengenai Sistem Pembebanan Pembuktian
(9)
5. Perbedaan
Mengenai Ada dan Tiadanya Syarat
Melaporkan Pemberian pada KPK (9)
6. Perbedaan mengenai Objek Tindak Pidananya (10)
C. Kesengajaan dalam TPK Menerima Gratifikasi (10)
D. Ketiadaan Niat Jahat Untuk Memiliki Pemberian Merupakan
Alasan Peniadaan Pidana (12)
III. Tindak Pidana Korupsi Menerima Gratifikasi (13)
A. Unsur-unsur Tindak Pidana Menerima Gratifikasi (13)
1. Unsur
Perbuatan: Menerima (13)
2. Unsur
Objek Tindak Pidana: Gratifikasi (15)
3. Unsur:
Berhubungan dengan Jabatannya dan yang Berlawanan dengan Kewajiban dan
Tugasnya (17)
4. Unsur:
Tidak Melaporkan Penerimaan Pemberian pada KPK
(18)
B.
Surat Dakwaan TPK Menerima
Gratifikasi (18)
IV.
Pembebanan Pembuktian Terbalik TPK Menerima Gratifikasi (19)
A.
Kedudukan Pembuktian
Terdakwa dan Jaksa PU dalam Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik (19)
B.
Objek Pembuktian Terbalik
TPK Menerima Gratifikasi (21)
C. Penerapan Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik pada TPK Menerima
Gratiffikasi (22)
III.
Kesimpulan (28)
DAFTAR PUSTAKA (31).
PEMBUKTIAN TPK
MENERIMA GRATIFIKASI*
Adami Chazawi (FH UB)
Abstrak: Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan atas
UU No. 31 Tahun 1999 (disingkat UUTPK) merumuskan satu bentuk tindak pidana
korupsi (TPK), yang dapat diberi kualifikasi “TPK menerima gratifikasi”. Pasal
12B jarang diterapkan berhubung terdapat keraguan tentang berbagai hal,
terutama mengenai pengertian TPK menerima gratifikasi beserta beban pembuktian
terbaliknya. Kedua hal itu tidak cukup pengaturannya dalam UUTPK. Oleh karena telah menjadi hukum positif, maka
kekurangjelasan tersebut tidak patut dijadikan alasan untuk tidak menerapkan pasal
tersebut pada kasus-kasus penerimaan gratifikasi yang sesuai dengan maksud
dibentuknya Pasal 12B dan 12C. Hakim
dapat melakukan penemuan hukum dengan menafsirkan dengan cara-cara yang telah diakui dalam
doktrin hukum. Kalangan akademisi berperan dalam membantu hakim menemukan hukum
yang dimaksudkan.
Kata kunci: TPK menerima
gratifikasi, penyuapan aktif, penyuapan pasif, dan pembebanan pembuktian
terbalik.
I.
PENDAHULUAN
Tentang bagaimana sistem beban
pembuktian terbalik pada TPK menerima
gratifikasi beserta cara membuktikannya perlu mengkaji lebih dulu tentang bagaimana
sesungguhnya konsepsi gratifikasi dalam UUTPK. Tidak cukup dengan sekedar
membaca Pasal 12B dan12C UUTPK. Perlu dicari/digali tentang berbagai hal tidak
saja yang yang terdapat secara tersurat dalam Pasal 12B dan 12C, tetapi juga
yang tersirat/terselubung di dalam rumusan Pasal 12B dan 12C dan pasal-pasal
lain yang terkait. Digali dari apa yang
tersirat dan bisa jadi dari sana dapat ditemukan hukumnya.
Rumusan Pasal 12B ayat (1) memberi
kesan seolah-olah yang dibebani pertanggungjawaban pidana adalah si pemberi
gratifikasi. Pengertian “dianggap pemberian suap” mengindikasikan bahwa titik
perhatian adalah pada si pemberi gratifikasi, tidak sejalan/bertentangan dengan
:
-
Logika dari rumusan ayat
(1) huruf a dan b., tentang pembebanan pembuktian TPK menerima gratifikasi pada
penerima, bukan pada pemberi;
-
Logika dari rumusan Pasal
12C, yang mewajibkan untuk melapor penerimaan adalah pada penerima.
-
Pemberi gratifikasi tidak
dibebani pertanggungjawaban pidana.
Demikian juga jika dihubungkan
dengan norma Pasal 12C tentang kewajiban hukum penerima untuk melaporkan
penerimaan pemberian pada KPK. Di dalam norma ini terkandung makna-makna
tertentu yang tersirat, yang juga mempunyai arti dalam hal menerapkan sistem
pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi.
Kebelumjelasan tentang TPK
menerima gratifikasi beserta sistem beban pembuktian terbalik yang dirumuskan dalam
Pasal 12B dan 12C dalam hubungannya
dengan berbagai pasal mengenai sistem pembuktian dalam hukum pidana korupsi,
misalnya Pasal 37 jo 38A, yang menyulitkan praktik untuk menerapkan Pasal 12B
tersebut pada berbagai kasus, tidak boleh dijadikan alasan untuk lari dari
kenyataan bahwa TPK menerima gratifikasi beserta sistem beban pembuktian
terbalik tersebut telah ditetapkan menjadi hukum positif kita. Penegak hukum tidak
patut menghindarkan diri dari masalah, namun harus dihadapi dengan memcahkan
masalah tersebut.
Menerima gratifikasi sebagai bagian
tindak pidana penyuapan pasif,
yang berbeda sistem pembuktiannya dengan tindak pidana penyuapan aktif maupun pasif lainnya, sudah ditetapkan dan menjadi hukum
positif. Oleh sebab itu janganlah berbagai kelamahan tersebut menjadi alasan
untuk menjauhkan praktik hukum pidana korupsi dari Pasal 12B dan Pasal 12C
tersebut. Janganlah memberi kesan pada masyarakat bahwa pejabat/lembaga
penyidik dan penuntut umum menghindarkan diri dari kesulitan untuk menerapkan
Pasal 12B jo 12C tersebut.
Tulisan singkat ini dimaksudkan
untuk dapat membantu – menguak berbagai kegelapan yang masih menyelimuti apa
yang terkandung sebenarnya di dalam rumusan kedua pasal tersebut.
Dari konspsi-konsepsi TPK menerima
gratifikasi yang ditemukan, diharapkan dapat ditetapkan unsur-unsur yang sesungguhnya
dari TPK menerima gratifikasi. Unsur-unsur TPK menerima gratifikasi perlu
ditetapkan secara pasti dan rinci, karena bagaimana menerapkan sistem beban
pembuktian terbalik terhadap TPK menerima gratifikasi dalam UUTPK ditentukan dan
tidak bisa dipisahkan dengan unsur-unsur tindak pidananya.
II.
KONSEPSI HUKUM TPK MENERIMA GRATIFIKASI
A. NIAT JAHAT
UNTUK MEMILIKI PEMBERIAN
Unsur
ini tidak tersurat dalam Pasal 12B, namun sebagai suatu tindak pidana kejahatan
dipastikan ada/terdapat secara tersirat/terselubung dalam rumusan, dan keberadaan atau ketiadaannya dapat
menentukan dipidana ataukah tidak si pembuatnya. Disamping itu juga penting dalam hubungannya
dengan beban pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi. Oleh
sebab itu, perlu ditetapkan dan dibicarakan, meskipun merupakan unsur
terselubung. Menjadi bagian yang perlu
dibuktikan oleh terdakwa dalam rangka beban pembuktian terbalik untuk ditetapkannya terdakwa
tidak bersalah. Bagi jaksa penuntut umum tidak ada urusannya dengan
unsur ini. Tetapi bagi terdakwa dirasa
penting dalam hal untuk kepentingan
tidak tidak dipidana dirinya sendiri.
Apakah
sesungguhnya yang dimaksud niat jahat itu? Meskipun istilah niat jahat belum dikenal benar dalam perbendaharan hukum
pidana kita, namun apa yang dimaksud dengan istilah niat jahat
sesungguhnya selalu ada dalam setiap tindak pidana dolus. Kiranya pengertiannya sama dengan istilah yuridis yang dikenal dalam doktrin dengan “sifat melawan hukum subjektif”, suatu
kesadaran perihal perbuatan yang (hendak) dilakukan adalah terlarang atau dicela. Suatu
kesadaran yang melawan hukum, merupakan
bagian dari unsur kesalahan bentuk kesengajaan. Dicela karena pembuat tidak
berhak melakukan perbuatan, atau tidak berhak untuk memperoleh sesuatu dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukannya atau yang hendak dilakukannya.
Meskipun
terselubung, niat jahat yang selalu harus ada disetiap tindak pidana dolus
ini sangatlah
penting dalam hubungannya dengan penjatuhan pidana. Karena menjadi suatu
syarat untuk dapat disalahkannya perbuatan pada
pembuatnya, dan karena itu dapat disebut syarat untuk dapat dipidanya pembuat.
Barangkali oleh sebab terselubung itu, yang menyebabkan dalam praktik tidak
selalu diperhatikan, sepanjang terdakwa tidak terbukti adanya kelainan jiwa dan
keadaan tekanan jiwa yang tidak dapat dilawannya pada saat berbuat.
Niat
jahat sebagai bagian dari kesengajaan ini, kadang-kadang dicantumkan sebagai unsur formal dari suatu tindak pidana
tertentu. Misalnya unsur dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum al. dalam Pasal
368, 369, 378 KUHP. Dalam UUTPK terdapat dalam Pasal 3 yakni “tujuan menguntungkan
diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi” (dengan menyalahgunakan jabatan).
Dalam perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan di dalamnya sekaligus sudah terdapat
sifat melawan hukum objektif. Sedangkan dalam unsur maksud atau kehendak
menguntungkan diri sendiri atau orang lain tersebut, sekaligus di dalamnya
sudah terdapat / mengandung kesadaran bahwa dirinya tidak berhak untuk
menguntungkan dirinya sendiri atau diri orang lain dengan melalui perbuatan menyalahgunakan
kewenangan jabatan tersebut. Itulah maknanya sifat melawan hukum subjektif yang terkandung di dalam unsur “tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain” dalam Pasal 3 UUTPK. Arti tujuan disini adalah
tujuan dekat, suatu tujuan yang menurut kebiasaan dan akal dapat dicapai dengan
perbuatan tertentu, yang in casu “menyalahgunakan kewenangan jabatan”
tersebut. Bukan tujuan jauh yang
berhubungan dengan motif dilakukannya perbuatan.
Sebaliknya
lebih banyak tindak pidana yang unsur sifat melawan hukum subjektif seperti yang
terdapat Pasal 368, 369, 378 KUHP atau
Pasal 3 UUTPK tidak dicantumkan. Apabila
tidak dicantumkan, maka niat jahat ini terdapat secara terselubung. Sebagaimana
unsur kesengajaan yang selalu ada dalam setiap tindak pidana – terutama pada
kejahatan, kecuali dicantumkan secara tegas unsur
kealpaan. Keberadaan kesengajaan baik dicantumkan maupun terselubung dalam unsur perbuatan.
Unsur kesengajaan (termasuk niat jahat di dalamnya) merupakan unsur mutlak meskipun tidak dicantumkan secara formal dalam
rumusan. Jika tidak dicantumkan, tidak perlu dibuktikan secara khusus dalam
persidangan oleh jaksa penunut umum. Namun kalau dalam sidang terbukti
sebaliknya bahwa niat jahat tidak ada, maka
ketiadaan unsur niat jahat ini menjadi alasan peniadaan kesalahan, yang
menyebabkan si pembuat yang tanpa niat jahat dilepaskan dari segala tuntutan
hukum.
Lain
halnya dalam sistem beban pembuktian terbalik, yang focus pembuktiannya oleh
terdakwa untuk tidak dijatuhkan pidana,
maka unsur niat jahat menjadi hal yang sama pentingnya untuk dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, sama seperti
membuktikan sebaliknya dari keberadaan unsur-unsur tindak pidana yang tersurat
dalam rumusan. Oleh karena itu penting dibicarakan dalam rangka membicarakan
pembuktian terbalik.
B. PERBEDAAN TPK
MENERIMA GRATIFIKASI DENGAN TPK PENYUAPAN PASIF LAINNYA
1. Perbedaan Mengenai Tempus
Terbentuknya Niat Jahat untuk Memiliki Pemberian
Perbedaan TPK menerima gratifikasi dengan bentuk-bentuk penyuapan pasif
lainnya, kiranya terdapat dalam unsur niat/kehendak jahat sebagaimana penulis maksudkan, khususnya terdapat
dalam hal saat atau “tempus” terbentuknya niat jahat tersebut. Suatu niat jahat yang ditujukan untuk
memiliki pemberian.
Bahwa satu ciri tindak pidana
korupsi menerima gratifikasi, jika dilihat dari sudut timbulnya niat jahat in casu untuk memiliki pemberian, ialah:
apabila dari keadaan dan sifatnya
pemberian yang diterima pegawai negeri, pada
saat menerima belum terbentuk
kesengajaan ic kehendak jahat untuk
memiliki pemberian. Kehendak jahat untuk
memiliki pemberian terbentuk setelah menerima pemberian. Kiranya demikianlah
suatu hukum yang dapat ditemukan dalam
norma yang mewajibkan pegawai negeri melaporkan pemberian yang diterimanya
menurut Pasal 12C UUTPK.
Sebaliknya kalau pada saat menerima
pemberian, niat jahat untuk memiliki pemberian sudah terbentuk, maka yang
terjadi adalah salah satu bentuk TPK menerima suap (penyuapan pasif) lainnya.
Dari sudut tempus terbentuknya kehendak jahat, ciri penyuapan pasif
konvensional adalah kehendak jahat untuk memiliki pemberian sudah terbentuk
pada saat pegawai negeri menerima pemberian, atau pada saat menerima pemberian
niat jahat yang demikian itu sudah ada.
Sebaliknya
kalau pada saat menerima pemberian niat jahat itu tidak ada, maka sesungguhnya
tidak ada suap pasif bentuk apapun. Pada tahap ini tidak bisa penerima
pemberian dipidana, karena tidak ada apa yang penulis sebut dengan niat
jahat itu. Dalam hal ini niat jahat
menjadi syarat untuk dapat dipidanya pembuat. Karena niat jahat tidak ada, maka
pegawai negeri pada saat (tempus) menerima pemberian tadi tidak boleh dipidana.
Untuk dapat dipidana maka haruslah niat jahat itu diperluas dengan syarat, yang
ic
tidak melaporkan pemberian itu selama waktu yang ditentukan. Niat jahat
itu terbentuk setelah perbuatan menerima pemberian.
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa
ada unsur niat jahat yang terbentuk
setelah (tempus) menerima pemberian dalam TPK menerima gratifikasi – Pasal
12B. Demikian logika hukum dari ketentuan tentang kewajiban penerima melaporkan
penerimaan dalam Pasal 12C ayat (1) dan
(2). Timbul kehendak untuk memiliki itu dianggap ada setelah menerima sampai pada hari kerja
ke tiga puluh, yang bersangkutan tidak melaporkan penerimaan. Bila pada kesempatan itu melaporkan
gratifikasi yang diterima, maka harus dianggap kehendak untuk memiliki
pemberian tidak pernah timbul, baik pada
saat maupun setelah menerima pemberian (gratifikasi). Keadaan
itu harus dianggap
bukan bentuk penyuapan apapun. Logika
hukum ini dapat dinormatifkan jika diterapkan dalam kasus-kasus yang
tepat, dan menjadi suatu temuan
hukum.
Adapun kehendak jahat ini
diartikan sebagai kehendak untuk memiliki, memanfaatkan, menggunakan, menikmati
dsb. atas sesuatu pemberian untuk
dirinya yang disadarinya tidak berhak untuk semua itu (melawan hukum
subjektif).
Kehendak jahat untuk memiliki
pemberian – gratifikasi terbentuk setelah
menerima pemberian, yang ditandai dengan tidak melaporkan pemberian yang
diterimanya dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima. Apabila - karena keadaan dan sifatnya pemberian
menyebabkan tidak dapat ditentukan saat terbentuknya kehendak jahat untuk
menerima pemberian, dapat dianggap
terbentuk sejak setelah menerima
pemberian sampai ke-30 hari
kerja kemudian. Dasar terbentuknya sikap batin – kehendak memiliki setelah
menerima pemberian, adalah merupakan jiwa dari
ketentuan Pasal 12C ayat (1) dan ayat (2).
Logikanya ialah, jika pada saat
menerima pemberian telah terbentuk kehendak untuk memiliki, maka tidak mungkin dan tidak perlu pegawai negeri – yang
menerima pemberian melapor pada KPK. Artinya, kehendak untuk memiliki pemberian
haruslah timbul setelah menerima pemberian. Sebab, kalau kehendak jahat – untuk memiliki pemberian yang bukan
menjadi haknya itu telah terbentuk pada saat
menerima pemberian, maka tidak perlu UU memberi kesempatan selama 30 hari kerja
untuk melaporkan penerimaan pada KPK.
Karena sesungguhnya tindak pidana penyuapan pasif disatu pihak yang
sekaligus penyuapan aktif dilain pihak telah
terjadi sempurna. Tidak mungkin tindak pidana yang telah terjadi sempurna dapat
berubah sifat menjadi perbuatan yang dibenarkan jika si pembuat melaporkan
tentang tindak pidana yang telah dilakukannya.
Sebaliknya apabila kehendak jahat
- untuk memiliki pemberian seperti itu pada saat menerima tidak ada, dan
dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima – tidak melaporkan pemberian yang
diterima, maka harus dianggap kehendak jahat untuk memiliki itu terbentuk
setelah menerima, dan korupsi menerima gratifikasi terjadi (tempus delicti) pada hari kerja
yang ke-30 sejak menerima
pemberian. Hal yang disebut terakhir ini
berlaku, berdasarkan (logische
interpretatie) dari ketentuan Pasal
12C ayat (1), (2) dan (3) tersebut. Berdasarkan penafsiran yang demikian itu
kita dapat menemukan hukumnya.
Selain tempus terbentuknya niat jahat
untuk memilik pemberian, yang membedakan antara TPK menerima gratifikasi dengan
TPK pernyuapan pasif yang lain, perbedaan lain dapat digali dari ketentuan
Pasal 12B dan 12C sebagaimana diuraikan berikut ini.
2.
Perbedaan Mengenai
Tempus Terwujudnya Tindak Pidana
Perbedaaan TPK menerima gratifikasi
dengan TPK menerima suap lainnya juga
terdapat pada tempus terwujudnya.
Sejalan dengan ciri TPK menerima gratifikasi dari sudut termpus terbentuknya
niat jahat untuk memiliki pemberian, maka menentukan tempus (kapan) terwujudnya
tindak pidana.
Dari norma Pasal 12C ayat (1) dan (2)
dapat disimpulkan bahwa TPK menerima gratifikasi terwujud selesai sempurna
bukan pada saat menerima pemberian, namun terwujud pada ke-30 hari kerja sejak
menerima gratifikasi. Keadaan ini di dasarkan pada ketentuan yang memberikan
kesempatan pada si penerima untuk melaporkan penerimaan itu pada KPK selama 30
hari kerja sejak menerima pemberian. Maka dalam tenggang waktu itu tidak
mungkin terjadi TPK menerima gratifikasi, meskipun niat jahat itu terbentuk
pada hari-hari sebelum ke-30 hari kerja. Sementara TPK penyuapan pasif lainnya telah terwujud pada saat menerima
pemberian.
Kelemahan pandangan
ini terdapat dalam hal
menentukan di tempat manakah TPK
menerima gartifikasi terwujud, dalam rangka menentukan kompetensi relatif peradilan.
Apakah di tempat menerima pemberian atau di tempat mana niat jahat terbentuk,
atau ditempat mana terdakwa berada pada
ke-30 hari kerja?
Mengenai hal ini tidak perlu dipesoalkan, dalam hal ini harus dikembalikan pada prinsip
penyuapan pasif ialah selesainya pada saat perbuatan menerima pemberian
dilakukan. Berdasarkan prinsiip itu, maka demikian juga
TPK menerima gratifikasi harus dianggap selesai di tempat dimana perbuatan
menerima pemberian itu dilakukan. Sementara itu, tidak
melaporkan pada KPK harus dianggap
sebagai unsur syarat untuk dapat dipidananya si pembuat.
Anggapan demikian dapat
dipertahankan, mengingat TPK menerima gratifikasi dan sistem beban pembuktian
terbaliknya tersebut merupakan bagian upaya luar biasa dalam memberantas
korupsi di Indonesia, yang sekaligus dapat dianggap sebagai perkecualian dari
penyuapan pasif lainnya. Bukankah norma
Pasal 12B dan 12C dari berbagai hal dan
keadaan merupakan perkecualian dari
konsepsi hukum penyuapan?
3.
Perbedaan Mengenai Beban Pertanggungjawaban
Pidana
Konsepsi hukum mengenai pertanggungjawaban
pidana dalam penyuapan ialah dibebankan pada kedua pihak, baik penyuap maupun penerima suap,
sama-sama dipidana. Meskipun dahulu terdapat perkecualian
pada penyuapan pasif Pasal 418 KUHP (sekarang diadopsi ke Pasal 11) tidak
terdapat pasangannya. Namun kemudian dibentuk pasangannya ke dalam Pasal 1 ayat
(1) huruf d UU No. 3 Tahun 1971 (sekarang diadopsi ke Pasal 13).
UU No. 3
Tahun 1971 maupun UU 31 Tahun 1999 secara
konsisten mempertahankan konsepsi hukum mengenai beban pertanggungjawaban
pidana pada TPK penyuapan tersebut.
Barulah UU No. 20 Tahun 2001 konsepsi tersebut disimpangi dengan
dirumuskannya Pasal 12B. Hanya TPK
menerima gratifikasi yang dibebani pertanggungjawaban pidana. Sementara si pemberi gratifikasi tidak. Keadaan
itu harus dianggap sebagai perkecualian. Dalam hukum pidana keadaan perkecualian bukanlah
suatu pantangan, melainkan suatu hal biasa. Keadaan itu tidak menyebabkan konsepsi
mengenai dibebani pertanggungjawaban pidana pada pembuat penyuapan aktif dan
pasif menjadi tidak berlaku. Konsepsi hukum tersebut masih tetap berlaku dalam
UUTPK sekarang.
Perkecualian – tidak dipersoalkannya
si pemberi gratifikasi dapat
dicari alasannya pada logika. Bahwa pemberian gratififikasi pada keadaan-keadaan
tertentu menyebabkan tidak
dapat diketahui lagi secara rinci, baik orang-orang yang menyuap, jumlah
penerimaan, maupun tempus dan locus delictinya, berhubung telah sekian lama
waktunya dan berkali-kalinya penerimaan yang menghasilkan kekayaan yang
sedemikian rupa yang tidak sesuai dengan sumber pendapatannya yang sah (illicit
enrichment). Padahal hasil dari korupsi semacam itu dapat ditemukan dari
kekayaan yang melimpah yang tidak sesuai dengan sumber penghasilannya yang sah.
Sementara itu dibentuknya Pasal 12B dengan sistem beban pembuktian terbalik
dimaksudkan untuk memudahkan pembuktian pada TPK penyuapan pasif tersebut.
4.
Perbedaan Mengenai Sistem Pembebanan Pembuktian
Perbedaan tersebut terutama
menyangkut pihak mana dan objek apa yang wajib dibuktikan. Dalam sistem beban
pembuktian terbalik TPK menerima gratifikasi,
terdakwalah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan tentang keetiadaan
(kebalikan) dari unsur-unsur tindak pidana. Bagi terdakwa ditujukan untuk tidak
dipidananya dirinya sendiri. Sebaliknya jaksa diberi hak untuk membuktikan
keberadaan unsur-unsur TPK menerima gratifikasi, dengan tujuan memperkuat
ketidakberhasilan terdakwa membuktikan ketiadaan unsur-unsur
tindak pidana untuk dapat dipidananya terdakwa.
5.
Perbedaan Mengenai Ada dan Tiadanya Syarat Melaporkan Pemberian pada KPK
Pada TPK menerima gratifikasi
dilekatkan syarat dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima pemberian tidak
melaporkan pemberian itu pada KPK.
Syarat ini dapat dianggap merupakan syarat
tambahan untuk dapat dipidananya
terdakwa, yang sekaligus merupan salah satu unsurnya. Sementara
itu pada TPK penyuapan pasif lainnya tidak dilekatkan syarat tidak melaporkan penerimaan pada KPK.
Perbedaan ini disebabkan oleh syarat
yang menentukan penyelesaian tindak pidananya. TPK
penyuapan pasif lainnya terwujud pada saat perbuatan menerima pemberian.
Sementara TPK menerima gratifikasi dianggap terwujud pada hari kerja ke-30 sejak menerima
pemberian.
6.
Perbedaan Mengenai Objek Tindak Pidananya
Ada dua objek TPK suap pasif lain,
ialah hadiah dan janji. Sementara objek TPK menerima gratifikasi ialah pemberian dalam arti luas, yang
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, dan tidak termasuk janji.
Dari kajian tersebut di atas, dapat
diketahui setdak-tidaknya ada 6 (enam)
perbedaan antara TPK menerima gratifikasi dengan bentuk-bentuk penyuapan
pasif lainnya dalam hukum pidana korupsi.
C. KESENGAJAAN DALAM TPK MENERIMA
GRATIFIKASI
Kesengajaan dalam TPK menerima
gratifikasi - Pasal 12B yang terselubung
yang telah dibicarakan tersebut, terdiri dari tiga sikap batin yang
menyatu – tak terpisahkan, merupakan
tiga dalam satu kebulatan (three in one),
namun dapat dibedakan, ialah antara:
·
Kesengajaaan dalam
arti kehendak untuk melakukan
perbuatan “menerima pemberian”,
dan
·
Kesengajaan dalam arti
kehendak jahat untuk “memiliki pemberian”, dan
·
Kesengajaan dalam arti
kesadaran bahwa memiliki pemberian merupakan larangan/celaan disebabkan si
pembuat tidak berhak memilikinya.
Bagian kesengajaan yang pertama,
adalah kehendak atau keinginan untuk melakukan perbuatan (aktif maupun pasif)
menerima pemberian. Perbuatan aktif
menerima misalnya mengulurkan tangan untuk menerima pemberian. Perbuatan
pasif menerima, misalnya tidak
melarang/membiarkan si pemberi meletakkan pemberian di atas meja kerjanya.
Dengan diletakkannya pemberian di atas meja, maka perbuatan menerima telah selesai.
Karena dengan demikian kekuasaan terhadap pemberian telah beralih dari si
pemberi pada diri si penerima. Wujud
kelakuan menerima pemberian seperti itu memang dikehendaki si pembuat.
Keberadaan kesengajaan yang pertama
ini mudah dibuktikan, cukup dengan membuktikan keadaan pemberian telah berada
dalam kekusaan pegawai negeri yang menerima, atau pemberian telah dimanfaatkan,
telah dinikmati. Sebab kalau tidak ada kehendak untuk menerima, maka pada saat
(tempus) pemberian diberikan atau
beberapa saat setelah itu maka pegawai negeri melakukan penolakan pemberian
atau mengembalikannya pada si pemberi.
Sementara itu, niat jahat untuk
memiliki pemberian mengandung bagian unsur kesengajaan kedua dan ketiga. Letak
jahatnya dari niat/kehendak terletak pada tidak berhaknya pegawai negeri
memiliki pemberian. Kesengajaan yang demikian ini yang menurut penulis sama
pengertiannya dengan sifat melawan hukum yang subjektif. Kiranya inilah yang
dimaksud Moeljatno dengan “subjektief
onrechtselement.*
Kesengajaan yang kedua dan ketigalah
yang dapat membedakan antara TPK menerima gratifikasi dengan jenis-jenis TPK
menerima suap atau penyuapan pasif lainnya, ialah pada saat terbentuknya. Sedangkan kesengajaan yang pertama tidak,
karena pada TPK menerima garitikasi dengan TPK menerima suap lainnya selalu
memiliki kesengajaan yang pertama.
Ketiga-tiga sikap batin si pembuat
tersebut harus terdapat pada setiap TPK menerima gratifikasi. Ketiga-tiga sikap
batin terselubung tidak perlu dibuktikan secara khusus oleh jaksa penuntut
umum, karena dua alasan, ialah:
·
Pertama, karena dalam
sistem pembebanan pembuktian pada penuntut umum-pun, jaksa tidak wajib membuktikan unsur yang terselubung. Bagi
terdakwa dalam upaya menggunakan hak pembelaan dirinya, dapat membuktikan keadaan sebaliknya dari unsur yang
terselubung tersebut. Agar tidak dipidananya terdakwa. Tidak demikian bagi Jaksa penuntut umum, Apalagi
dalam hal tindak pidana korupsi menerima gratifikasi yang beban pembuktian
diletakkan pada diri terdakwa. Bagi jaksa PU dalam sistem pembuktian terbalik
tidak wajib membuktikan unsur-unsur tersurat apalagi yang tersirat. Kalaupun
membuktikan juga, maka dianggap kegiatan itu adalah sebagai menggunakan hak, bukan melaksanakan
kewajiban.
·
Kedua, pembuktian TPK menerima gratifikasi
menggunakan sistem pembebanan pembuktian terbalik terhadap ketiadaan unsur-unsur
tindak pidananya. Apabila terbukti ketiadaannya, maka terhadap si pembuat tidak
boleh dipidana. Dalam hal membuktikan sebaliknya ini adalah kewajiban terdakwa. Selain membuktikan sebaliknya dari
unsur-unsur yang tersurat juga sama fungsi dan
maksudnya dalam hal membuktikan ketiadaan unsur yang
terselubung. Kewajiban terdakwa untuk
membuktikan ketiadaan unsur ditujukan
untuk dirinya sendiri agar tidak dijatuhi pidana. Dan untuk tidak dipidananya
terdakwa, kewajiban terdakwa untuk membuktikan ketiadaan unsur-unsur TPK
menerima gratifikasi tersebut termasuk unsur kesengajaan yang terselubung
seperti yang penulis maksudkan tersebut di atas tadi. Akibat hukum dari
kemampuan terdakwa membuktikan ketiadaan unsur-unsur tersurat (formal) sama dan tiada
bedanya dengan akibat hukum dari kemampuan terdakwa membuktikan ketiadaan unsur
kesengajaan yang terselubung yang salah satu bagiannya adalah niat jahat untuk
memiliki pemberian tadi.
Sebaliknya apabila kehendak jahat
- untuk memiliki pemberian seperti itu pada saat menerima tidak ada, dan
dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima – tidak melaporkan pemberian yang
diterima, maka harus dianggap kehendak jahat untuk memiliki itu terbentuk
setelah menerima, dan korupsi menerima gratifikasi dianggap terjadi (tempus delicti) pada hari kerja
yang ke-30 sejak menerima
pemberian. Hal yang disebut terakhir ini
berlaku, berdasarkan (logische
interpretatie) dari ketentuan Pasal
12C ayat (1), (2) dan (3) tersebut.
D. KETIADAAN NIAT JAHAT UNTUK MEMILIKI
PEMBERIAN MERUPAKAN ALASAN PENIADAAN
PIDANA
Apabila kehendak jahat - untuk memiliki pemberian itu pada saat
menerima tidak ada atau belum terbentuk, dan kemudian masih
dalam waktu 30 hari kerja sejak
menerima melaporkan penerimaan pemberian pada KPK, maka harus dianggap kehendak
jahat untuk memiliki itu tidak pernah ada, baik pada saat maupun setelah
menerima pemberian. Maka pegawai negeri
yang menerima pemberian tidak boleh dituntut pidana. Dalama hal ini perbuatan
melaporkan pemberian yang diterima pada KPK tadi berfungsi sebagai alasan
peniadaan penunutan pidana.
Kalau sampai dituntut pidana, dan
dilawan oleh terdakwa dengan upaya eksepsi, maka hakim akan menerima eksepsi
dengan putusan sela Negara tidak berhak menuntut pidana. Pengadilan mengembalikan berkas perkara pada
jaksa penuntut umum. Bila eksepsi yang
demikian tidak diajukan, dan pokok perkara dakwaan telah diperiksa, maka hakim
akan memberikan putusan akhir dengan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan
hukum, dengan alasan perbuatan menerima terbukti, namun bukan merupakan tindak
pidana. Atau dapat dengan menggunakan pertimbangan atas dasar asas tiada pidana
tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).
Bahwa secara objektif perbuatan menerima
gratifikasi terbukti namun terdapat unsur peniadaan pidana ic yang menghapuskan kesalahan, ialah ketiadaan niat jahat
sebagaimana yang penulis maksudkan tadi.
III.
TINDAK PIDANA KORUPSI MENERIMA
GRATIFIKASI
A. UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA KORUPSI MENERIMA GRATIFIKASI
Bahwa yang dibebani
pertanggungjawaban pidana TPK menerima
gratifikasi adalah si penerima saja. Harus dianggap merupakan perkecualian dari
konsepsi penyuapan yang selalu berpasangan antara penyuapan aktif dan penyuapan
pasif. Perkecualian ini agaknya disebabkan: niat jahat ic kehendak untuk memiliki pemberian lahir/timbul setelah menerima,
bukan saat menerima. Sebab kalau sudah timbul pada saat menerima, maka yang terjadi adalah disatu
pihak penyuapan aktif tertentu dan dan dilain pihak penyuapan pasif tertentu
yang ada dalam UUTPK.
Konsepsi hukum seperti ini meletakkan
dasar yang penting dalam hal menentukan suatu pemberian pada pegawai negeri
sebagai tindak pidana korupsi penyuapan pasif.
Agar menjadi suatu bentuk TPK menerima
gratifikasi sempurna, maka dari rumusan Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b. jo
12C, perlu ditarik dan ditetapkan unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut dapat ditetapkan dengan
menggali rumusan Pasal 12B dan 12C. Selain unsur pembuatnya: pegawai negeri atau
penyelenggara Negara, dalam TPK menerima gratifikasi – Pasal 12B jo Pasal 12C dipastikan
(harus) mengandung 4 unsur, ialah:
1. Unsur perbuatannya: menerima;
2. Unsur objeknya: gratifikasi
3. Unsur: berhubungan
dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.
4. Unsur: tidak
melaporkan penerimaan pemberian pada KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak
menerima pemberian.
1. UNSUR PERBUATAN:
MENERIMA
Setiap tindak pidana selalu terdapat perbuatan
yang dilarang. Perbuatan merupakan unsur mutlak yang harus dicantumkan dalam
setiap rumusan tindak pidana. Kalau ada tindak pidana UU tanpa mencantumkan
unsur perbuatan yang dilarang, keadaan itu harus dianggap sebagai perkecualian,
seperti pada penganiayaan. Demikian
juga pada TPK menerima gratifikas (Pasal 12B) perbuatan menerima tidak secara
tegas dicantumkan. Seperti merumuskan
penganiayaan (Pasal 351 KUHP), merumuskan TPK menerima gratifikasi – Pasal 12B harus dianggap sebagai
perkecualian.
Unsur perbuatan menerima ini dalam TPK menerima gratifikasi harus ada dan
terkandung/tersirat dan dapat disimpulkan dari:
·
Pertama, bunyi kalimat
pada permulaan rumusan Pasal 12B ayat (1) yang berbunyi “ Setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, …” Frasa “kepada pegawai negeri” mengandung pengertian bahwa
pegawai negerilah yang menerima pemberian itu. Berarti disana terdapat
perbuatan yang dilarang ialah “menerima” pemberian (gratifikasi).
·
Kedua, pada kalimat
selebihnya (huruf a dan huruf b) – mengenai sistem beban pembuktiannya yang menunjukkan bahwa si penerima
gratifikasilah yang dipersalahkan dan dibebani pertanggungjawaban pidana. Pada
kalimat ini dapat dipastikan bahwa perbuatan yang di larang dalam Pasal 12B
tersebut adalah perbuatan menerima. Serta subjek hukum yang dituju oleh pemberian
adalah orang (pegawai negeri
atau penyelenggara negara) yang menerima. Pegawai negeri yang menerima
inilah yang dibebani pertanggungjawaban pidana, dan bukan subjek hukum yang
memberi.
Dalam putusan Pengadilan TPK pada
pengadilan Jakarta Pusat No. 34/Pid.B/TPK/2011/PN-Jkt.Pst. perkara Gayus HP
Tambunan, majelis hakim menarik dan menetapkan unsur perbuatan menerima
(gratifikasi) ini dari kalimat penjelasan
Pasal 12B maupun dari frasa “setiap
gratifikasi” dalam Pasal 12B ayat (1).* Unsur ini memang tidak tersurat, tetapi tersirat dari kalimat baik dalam Pasal 12 ayat (1)
maupun pada penjelasannya. Dalam hal ini dapat dibandingkan dengan adanya
perbuatan menganiaya (mishandelen) dari
kualifikasi “penganiayaan” (mishandeling)
dalam Pasal 351 KUHP.
Meskipun tersirat, namun dalam rangka
pembuktian maka perbuatan menerima harus dianggap suatu unsur yang tersurat.
Tidak ada bedanya dengan unsur perbuatan menganiaya (mishandelen) dalam kualifikasi
penganiayaan (mishandeling) dalam Pasal 351 KUHP. Oleh karena itu dalam
sistem beban pembuktian terbalik, adalah termasuk membuktikan ketiadaan
perbuatan menerima (pemberian) tersebut. Sebaliknya Jaksa penuntut umum dalam
menggunakan haknya membuktikan keberadaan unsur perbuatan menerima. .
Pada dasarnya yang harus dibuktikan
itu adalah tentang keberdaaan suatu keadaan. Suatu perbuatan (aktif) adalah merupakan suatu keadaan, oleh karena
itu dapat dibuktikan.
Sedangkan tidak berbuat apapun sebagai suatu ketiadaan tidak perlu dibuktikan.
Tetapi dalam sistem beban pembuktian terbalik, bagi terdakwa justru harus
membuktikan tidak berbuat menerima, yang sesungguhnya tidak berbuat itu tidak perlu
dibuktikan. Namun oleh karena menjadi kewajiban hukumnya, maka yang harus
dibuktikan tidak menerima tersebut, harus dikaitkan/dihubungkannya dengan berbagai
keadaaan ic tempus delicti dan locus
delicti dan objek gratifikasi yang yang diterima terdakwa, yang telah
disebutkan dalam surat dakwaan. Tentu semua itu dalam surat dakwaan telah disebut Keadaan-keadaan itulah yang harus dibuktikan
sebaliknya oleh terdakwa.
Sebagaimana yang telah diutarakan
sebelumnya, bahwa di dalam perbuatan menerima inilah terdapat kesengajaan yang
mengandung tiga bagian: (1) merupakan
kehendak untuk mewujudkan perbuatan menerima, (2) merupakan kehendak untuk
memiliki pemberian, dan (3) merupakan kesadaran bahwa memiliki pemberian
sebagai melawan hukum, karena tidak berhak memiliki pemberian. Jaksa penuntut umum tidak wajib membuktikan
unsur ini. Sebaliknya untuk tidak dipidananya terdakwa, terdakwa wajib
membuktikan ketiadaan unsur kesengajaan seperti
ini.
Dalam sistem pembebanan pembuktian
terbailk, yang pada dasarnya kewajiban pembuktian
terdakwa itu ditujukan untuk tidak memidana terdakwa. Karena, apabila terdakwa
tidak membuktikan atau tidak dapat membuktikan sebaliknya terdakwa akan
dipidana. Kewajiban terdakwa untuk membuktikan ketiadaan unsur yang tersurat dan yang tersirat menjadi sama
pentingnya. Boleh dikata tidak ada bedanya,
hasil pembuktiannya akan menghasilkan akibat hukum yang sama.
Unsur kesengajaan yang bermuka tiga
sebagaimana yang penulis maksudkan tersebut di atas, melekat dan berhubungan
dengan perbuatan menerima dan objek
gratifikasi. Oleh karena itu juga, dalam
hal membuktikan ketiadaan unsur menerima ini, termasuk di dalamnya membuktikan
ketiadaan salah satu diantara tiga kesengajaan yang penulis maksudkan tersebut.
2.. OBJEK TINDAK
PIDANA: GRATIFIKASI
Setiap tindak pidana pasti ada unsur
objeknya. Pada umumnya objek yang
disebutkan dalam rumusan tindak pidana itu disebutkan setelah penyebutan
perbuatan. Artinya objek tindak pidana
sekaligus menjadi objek perbuatan. Hanya sebagian kecil saja tindak pidana yang membedakan antara objek tindak
pidana dan objek perbuatan. Misalnya penipuan (Pasal 378 KUHP), objek perbuatan menggerakkan adalah orang dan
objek tindak pidananya adalah barang, membuat utang dan menghapuskan piutang.
Meskipun tidak lazim merumuskan
suatu tindak pidana seperti Pasal 12B, namun tidak terdapat alasan yang cukup untuk mengatakan Pasal
12B bukan rumusan tindak pidana. Meskipun tidak tegas mana objek tindak
pidananya, namun objek itu ada, yaitu terdapat
dari anak kalimat “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri … dianggap pemberian suap, ...” Kalimat itu mengandung objek ialah gratifikasi
sekaligus perbuatan menerima yang dilarang.
Tidak ada kesulitan memberikan isi
–pengertian dari objek gratifikasi ini. Dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) telah diberikan penafsiran otentik
tentang pengertiannya. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yang
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas lainnya”.
Isi – pengertian gratifikasi yang
sangat luas dan dengan sifatnya terbuka. Perkataan “fasilitas
lainnya”, menunjukkan bahwa isi pengertian gratifikasi bisa diisi
oleh praktik. Penyidik dan penuntut umum dapat mengisinya dengan
jenis-jenis pemberian lainnya, dan hakim
akan memutuskannya.
Istilah/perkataan “pemberian” yang
digunakan Pasal 123B sangat tepat dan sesuai dengan objek semua jenis penyuapan
menurut rumusan aslinya dengan menggunakan kata “gift” yang akar katanya adalah “geven”
(memberi), suatu kata kerja. Kata kerja memberi (geven) berubah sifat menjadi
kata benda yang disebut “gift” , yang
seharusnya diterjemahkan dengan pemberian, bukan hadiah, apalagi dengan kata
sesuatu, seperti memberikan sesuatu pada Pasal 5 ayat (1) UUTPK..
Mengggunakan kata hadiah untuk objek
seperti Pasal 11 dan 13 dapat menimbulkan masalah dalam praktik bagi penegak hukum yang tidak terjaga
integritasnya. Seperti pada kasus dugaan penyuapan yang pernah terjadi tahun
2010 di wilayah kerja Polda Kalimantan Selatan yang untuk mengelabui hukum
dengan membuat kuitansi/tanda terima uang senilai Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) yang seolah-olah pemberian pada pegawai negeri/penyelenggara
Negara itu merupakan pinjaman uang. Oleh si jaksa penuntut umum,
dugaan suap yang jumlahnya miliaran rupiah itu dihentikan penuntutannya karena
dianggap perdata, berupa pinjaman uang saja.*.
Dengan menyebut gratifikasi sebagai
bentuk pemberian dalam Pasal 12B maka pemberian pinjaman uang pada pegawai
negeri (meskipun berbunga) dapat masuk
gratifikasi, asalkan causa pemberian pinjaman uang itu ada hubungannya dengan
jabatan pegawai negeri yang menerima. Karena
jabatannya itulah yang menyebabkan pegawai negeri menerima pinjaman.
3. UNSUR BERHUBUNGAN DENGAN JABATANNYA DAN YANG
BERLAWANAN DENGAN KEWAJIBAN ATAU
TUGASNYA.
Kata akhiran “nya” pada kata “jabatannya” dan kata “tugasnya”, menunjuk pada kedudukan subjek hukum yang
menerima ic pegawai negeri atau
penyelenggara Negara - subjek hukum yang menerima pemberian. Unsur ini bersifat
objektif. Tidak ada kesukaran membuktikannya, baik
sebaliknya oleh terdakwa maupun
keberadaannya oleh jaksa penuntut umum. Pembuktian perihal kedudukan si pembuat
tersebut cukup dengan menggunakan bantuan
hukum tata usaha Negara, dan pada kenyataan pekerjaan sehari-harinya. Keadaan
itulah yang dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa. Sebaliknya jaksa penuntut umum
membuktikan keberadaannya.
Dalam Pasal 12 huruf a juga
terdapat unsur nomor 3 tersebut. Akan tetapi berbeda fungsi. Dalam Pasal 12
huruf a unsur nomor 3 tersebut bersifat subjektif, karena dituju oleh unsur
(kesengajaan sebagai) maksud untuk menggerakkan pegawai negeri yang menerima
pemberian agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya. Sementara
Pada TPK menerima gratifikasi Pasal 12B
unsur ini bersifat objektif.
Dalam unsur ini mengandung lagi tiga unsur, ialah:
a. Kualitas subjek hukum yang menerima pemberian haruslah
pegawai negeri atau penyelenggara Negara;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara haruslah
memiliki kewenangan jabatan pada saat melakukan perbuatan menerima. Untuk
memiliki kewenangan jabatan, mereka haruslah memiliki jabatan.
c. Bahwa pemberian yang diterima pegawai negeri atau
penyelenggara Negara tersebut haruslah ada hubungannya dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Dalam penerapan sistem beban
pembuktian terbalik tindak pidana Pasal 12B, terdakwalah yang dibebani
kewajiban untuk membuktikan sebaliknya dari ketiga-tiganya, juga secara
objektif. Artinya terdakwa dibebani kewajiban hukum untuk membuktikan bahwa:
a. Terdakwa bukanlah berkualitas pegawai negeri atau
penyelenggara, atau dapat juga membuktikan bahwa pemberian yang diterimanya
tidak ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri atau
penyelenggara Negara. Misalnya saja berhubungan dengan transaksi keperdataan
dsb., atau
b. Membuktikan bahwa pada saat menerima pemberian terdakwa
tidak memiliki jabatan apapun; atau tidak mempunyai kewenangan lagi, atau
c. Membuktikan bahwa pemberian yang diterima pegawai negeri
secara objektif tidak ada hubungannya dengan kewenangan jabatannya dan atau
tidak berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya.
4. UNSUR TIDAK
MELAPORKAN PENERIMAAN PEMBERIAN PADA KPK
Boleh
jadi seorang pegawai negeri pada saat menerima pemberian yang berhubungan
dengan jabatannya tidak mempunyai niat jahat untuk memiliki, menikmati atau
memanfaatkan pemberian untuk kepentingan pribadinya. Namun oleh sebab selama
waktu 30 hari kerja sejak menerima pemberian, yang bersangkutan tidak
melaporkan pemberian itu pada KPK, maka kehendak jahat itu (dianggap)
lahir/terbit pada hari setelah menerima sampai pada hari kerja ketiga puluh.
Maka terhadapnya dianggap menerima suap gratifikasi menurut Pasal 12B dan
terwujud pada hari ke-30 hari kerja sejak menerima pemberian.
Jaksa penuntut umum menyatakan dalam surat
dakwaan bahwa sejak menerima pemberian sampai ke-30 hari kerja, pegawai negeri
yang bersangkutan tidak melaporkan penerimaan pemberian tersebut pada KPK. Pernyataan
demikian dalam surat dakwaan - sudah cukup. Unsur ini tidak wajib dibuktikan
oleh Jaksa Penuntut Umum. Selain karena
sifatnya perbuatan negatif tidak perlu dibuktikan fisiknya – karena tidak
berbuat, juga dalam hal sistem beban pembuktian terbalik mengenai unsur-unsur
tindak pidana pada TPK menerima gratifikasi kewajiban ini di bebankan pada
terdakwa membuktikan sebaliknya agar dirinya tidak dipidana.
B. SURAT DAKWAAN TPK MENERIMA GRATIFIKASI
TPK menerima gratifikasi sebagai bagian
dari penyuapan pasif, menurut UUTPK
merupakan tindak pidana berat atau lebih berat dari TPK menerima suap
Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 11.
Sifat jahatnya TPK menerima gratifikasi sama dengan Pasal 12 huruf a dan b. Karena diancam dengan
pidana yang sama: penjara seumur hidup atau sementara maksimum 20 tahun dan
minimum 4 tahun. Tentulah ada sesuatu
yang tersirat di dalamnya dengan memberikan ancaman pidana yang lebih berat
itu.
Oleh
karena itu berdasarkan kebiasaan, Jaksa Penuntut Umum wajib menempatkan dakwaan
terhadap TPK mnerima gratifikasi – Pasal 12B sebagai dakwaan primair. Sementara
pasal-pasal penyuapan aktif lainnya yang bersesuaian didakwakan pada dakwaan
berikutnya, baik pada dakwaan bentuk primair-subsidiar (berlapis/bertingkat)
maupun bentuk alternatif. Maksudnya adalah sebagai cadangan, apabila dalam
sidang pengadilan, karena ditemukannya keadaan-keadaan tertentu yang membuktikan bahwa niat jahat untuk memiliki pemberian itu sudah terbentuk
sebelum menerima atau setidak-tidaknya pada saat menerima pemberian.
Dengan
cara membuat dakwaan yang demikian, diharapkan bahwa apabila niat jahat untuk
memiliki itu terbukti terbentuk pada saat menerima pemberian, maka yang terjadi
bukan TPK menerima gratifikasi, maka dengan demikian akan terbukti bentuk
penyuapan fasif tertentu lainnya.
Tidak
tepat apabila dibuat surat dakwaan bentuk kumulatif antara TPK menerima
gratifikasi – Pasal 12B dengan TPK penyuapan pasif lainnya. Alasannya adalah,
antara TPK menerima gratiifikasi dengan bentuk-bentuk TPK suap pasif lainnya
tidak mungkin bisa terjadi secara kumulatif (perbarengan perbuatan – Pasal 65
KUHP) berhubung karena adanya unsur
(terselubung) saat (tempus delicti) terbentuknya kehendak jahat untuk memiliki
pemberian. Tidak mungkin disatu pihak pada saat menerima pemberian kehendak
jahat itu sudah terbentuk dan yang sekaligus dipihak lain terbentuk pula
kehendak jahat untuk memiliki pemberian setelah menerima pemberian.
IV.
PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK TINDAK PIDANA KORUPSI MENERIMA GRATIFIKASI
A.
KEDUDUKAN
PEMBUKTIAN TERDAKWA DAN JAKSA PU DALAM
SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK
Dalam kedudukannya sebagai penuntut
umum yang mendakwa dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik (Pasal 12B jo
12C) pada dasarnya jaksa tidak dibebani
kewajiban untuk membuktikan semua unsur TPK menerima gratifikasi, seperti
perbuatan menerima dan objek
gratifikfikasi, dll. Apabila jaksa penuntut umum membuktikan juga
keberadaan semua unsur, maka harus
dianggap jaksa tersebut menggunakan haknya sebagai penuntut umum, bukan sebagai
melaksanakan kewajiban hukumnya.
Oleh karena itu hakim dibebani kewajiban
hukum untuk terlebih dulu memberikan
kesempatan seluas-luasnya pada terdakwa melaksanakan kewajiban hukumnya untuk
membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, termasuk unsur
niat jahat untuk memiliki pemberian yang terselubung seperti yang penulis
maksudkan tadi. Kewajiban hukum seperti
ini sama dengan kewajiban hukum hakim yang memeriksa perkara perdata atas
gugatan. Demikian juga dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik, hakim
dibebani kewajiban hukum untuk meminta pada terdakwa lebih dahulu melaksanakan
kewajibannya untuk membuktikan tentang ketiadaan unsur-unsur TPK menerima
gratifikasi.
Sebagai konsekwensi dari kewajiban
hakim seperti itu, maka disatu pihak bagi terdakwa – Ia mempunyai hak untuk
diberi kesempatan terlebih dulu untuk melaksanakan kewajibannya membuktikan
sebaliknya atau membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana. Sebaliknya jaksa
penuntut umum untuk sementara wajib
berlaku pasif terlibih dahulu dalam arti wajib menerima pelaksanaan hak
terdakwa tersebut.
Kemudian - juga hakim dibebani
kewajiban hukum untuk memberikan hak pada jaksa penuntut untuk membuktikan
keberadaan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Hak jaksa penuntut umum
ini boleh digunakan dan boleh tidak. Namun hakim wajib memberikan hak itu. Tidak
digunakannya hak ini oleh jaksa penuntut umum, tidak menyebabkan putusan
menjadi cacat. Tetapi kalau hakim tidak memberikan hak ini, putusan menjadi
cacad hukum.
Sebagai konskwensi dari pemberian
hak mendahului membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak pidana, maka dalam hal
mempertimbangkan hasil pembuktian dalam sistem
pembebanan terbalik, mestinya pula harus mempertimbangkan terlebih dulu hasil
pembuktian terdakwa mengenai satu persatu ketiadaan unsur tindak
pidananya. Barulah kemudian
mempertimbangkan atau menghubungkannya dengan hasil pembuktian jaksa penuntut
umum.
Oleh sebab itu, dalam sistem
pembebanan pembuktian terbalik, fungsi hasil pembuktian oleh jaksa penuntut
umum adalah:
a. Apabila menurut majelis hakim pembuktian terdakwa tidak
berhasil membuktikan ketiadaan unsur –unsur tindak pidananya, sementara itu
jaksa penuntut umum berhasil membuktikan keberadaan unsur-unsur TPK menerima gratifikasi,
maka hasil pembuktian jaksa penuntut umum tersebut berfungsi memperkuat
terhadap ketidakberhasilan terdakwa membuktikan ketidaan unsur-unsur tersebut.
Jiwa dari fungsi hasil pembuktian jaksa penuntut umum seperti ini juga terdapat
di dalam norma Pasal 37A ayat (2) UUTPK. Meskipun objek pembuktiannya berbeda
namun jiwanya sama.
b. Apabila
manurut majelis hakim pembuktian terdakwa berhasil membuktikan ketiadaan salah
satu (saja) dari unsur-unsur TPK menerima gratifikasi, maka bagaimanapun hasil
pembuktian jaksa penuntut umum menjadi tidak penting lagi. Inilah sebagai
konskewensi logis yang harus diterima sebagai suatu kenyatan yang tidak bisa
ditolak dengan ditetapkan dan diberlakukannya sistem beban pembuktian terbalik
dalam hukum positif. Dalam keadaan keberhasilan terdakwa membuktikan ketiadaan
unsur tindak pidana, maka fungsi hasil pembuktian jaksa penuntut umum, adalah sebagai bahan/objek yang
oleh hakim (harus) dipertimbangkan sebagai tidak terbukti berdasarkan hasil
pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa.
Dalam
keadaan kedua, keberhasilan terdakwa membuktikan ketiadaan salah satu unsur TPK menerima gratifikasi tersebut harus
didahulukan dan diutamakan. Adalah tidak logis, apabila disatu pihak terdakwa
dipertimbangkan terlebih dulu oleh majelis sebagai dapat membuktikan ketiadaan
salah satu unsur, sementara kemudian dipihak lain juga majelis mempertimbangkan
jaksa penuntut umum juga berhasil membuktikan semua ansur tindak
pidananya.
B.
OBJEK PEMBUKTIAN
TERBALIK TPK MENERIMA GRATIFIKASI
Dilihat dari sudut objek pembuktian
ic gratifikasi, sistem pembebanan pembuktian terbalik pada TPK menerima
gratifikasi ada 2 kemungkinan, ialah:
a. Pertama, terhadap penerimaan gratifikasi yang terbatas,
maka yang dianggap merupakan kewajiban JPU membuktikan seperti yang
dimaksud pemerintah dalam
sambutan atas persetujuan perubahan RUU No. 31
Tahun 1999[*], diterapkan hanyalah
semata-mata adanya penerimaan yang terbatas ini. Sedangkan bagi terdakwa
merupakan kewajiban untuk membuktikan sebaliknya. Membuktikan sebaliknya adalah
membuktikan hal penerimaan itu tidak memenuhi sebagian atau seluruh unsur TPK
menerima gratifikasi, termasuk membuktikan bahwa penerimaan itu tidak ada
hubungannya dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau
tugasnya.
b. Kedua, terhadap objek harta benda terdakwa yang tidak
sesuai dengan sumber pendapatannya, yang
dianggap bersumber juga pada penerimaan yang tidak sah. JPU hanya wajib menentukannya
dan menyebutnya dalam surat dakwaan. Setelah kesempatan membuktikan sebaliknya
oleh terdakwa, barulah jaksa penuntut
umum membuktikan tentang keberadaan seluruh harta benda terdakwa, tidak
wajib namun merupakan hak membuktikan hal penerimaannya baik asalnya, jumlahnya
maupun waktu penerimaaannya. Mengenai harta benda yang demikian ini, terdakwa
wajib membuktikan sebaliknya atau bukan berasal dari TPK menerima
gratifikasi.
Kiranya untuk pemberian yang terbatas, tidak merupakan hal yang perlu
dibicarakan terlalu jauh. Dengan
berpedoman pada empat unsur TPK menerima gratifikasi kiranya tidak banyak
mengalami hambatan untuk menerapkan sistem pembebanan pembuktian terbalik. Berbeda halnya dengan objek pembuktian
mengenai penerimaan pemberian yang tidak
terbatas, yang diketahui dari indikator keberadaan harta benda yang tidak
sesuai dengan sumber pendapatannya yang sah.
Misalnya pada kasus Korlantas, Gayus HP Tambunan atau Widya Widyatmika.
Bagi penerimaan yang tidak terbatas,
yang dapat dilihat dari indikator jumlah harta kekayaan terdakwa yang tidak
sesuai/seimbang dengan sumber
pendapatannya yang sah (illicit
enrichment) masih perlu dibicarakan.
C. PENERAPAN SISTEM
PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TPK MENERIMA GRATIFIKASI
Pembebanan pembuktian terbalik
berpijak pada asas “praduga bersalah” (presumption of guilty) kebalikan dari sistem beban pembuktian pada penuntut umum (seperti KUHAP) yang berpijak pada asas praduga
tidak bersalah (presumtion of innocence).
Pada asas praduga bersalah, jaksa mengajukan terdakwa ke sidang pengadilan
telah menang satu langkah, ialah tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan
dakwaannya. Karena dengan mengajukan dakwaannya tersebut, terdakwa dianggap
telah bersalah. Oleh karena itu pihak yang berkewajiban membuktikan terdakwa
tidak bersalah adalah dipihak terdakwa.
Pasal 12B UUTPK menetapkan pembebanan terbalik pada
tindak pidana TPK menerima gratifikasi
yang nilai penerimaan – pemberiannya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih.
Sistem pembebanan pembuktian
terbalik pada TPK menerima gratifikasi tidak lepas dari pengertian yuridis TPK
menerima gratifikasi itu sendiri, karena kewajiban terdakwa tersebut adalah
membuktikan ketiadaan unsur-unsur tindak
pidananya. Empat unsur pokok TPK menerima gratifikasi yang telah disebutkan
sebelumnya, merupakan kewajiban terdakwa untuk membuktikan sebaliknya, atau
membuktikan ketiadaan semua atau cukup salah satu unsur tersebut. Apabila
terdakwa tidak berhasil, maka harus dianggap terdakwa telah terbukti melakukan
tindak pidana korupsi menerima gratifikasi. Demikian sesungguhnya prinsip
sistem pembebanan pembuktian terbalik pada TPK menerima
gratifikasi..
Sedangkan jaksa penuntut umum dalam
hal membuktikan terdapatnya/terbuktinya ke-empat unsur tersebut harus dianggap
bukan melaksanakan kewajibannya, namun melaksanakan haknya. Dari kedua hasil pembuktian oleh terdakwa
disatu pihak dan dilain pihak oleh jaksa penuntut umum itu, hakim melakukan pembuktian
dengan menilai sendiri atas kedua hasil pembuktian itu dalam pertimbangan
hukumnya.
Konsepsi sistem pembebanan pembuktian terbalik sebagaimana
Penjelasan Pemerintah pada saat Revisi UU No. 31/1999” tentang kewajiban JPU
hanya membuktikan satu bagian inti delik , yaitu “penerimaan uang”. Sedangkan
bagian inti delik lainnya dibuktikan sebaliknya oleh penerima gratifikasi.
Konsepsi tersebut belum cukup, masih mengandung beberapa kelemahan, al. ialah:
-
Tidak/belum dapat
diterapkan pada kekayaan terdakwa yang melimpah yang tidak sesuai dengan sumber
pendapatannya (illicit enrichtment).
JPU mendapat kesukaran membuktikan tentang penerimaan yang berkali-kali yang
menghasilkan kekayaan tersebut dan dalam jangka waktu yang lama, baik waktunya
maupun jumlahnya.
-
Padahal, kalau didasarkan
pada maksud dibentuknya TPK menerima gratifikasi ini ditujukan untuk
memberantas semua bentuk-bentuk pemberian kepada pegawai negeri yang dianggap
sudah membudaya.
-
Tujuan diadakannya sistem
pembebanan pembuktian terbalik dalam TPK menerima gratifikasi pada dasarnya
untuk mengatasi kesulitan jaksa penuntut umum membuktikan pada kasus korupsi
menerima suap yang disebut
gratifikasi itu sendiri.
-
Tidak dipersoalkannya si
pemberi gratifikasi oleh UUTPK, sesuai dan sejalan dengan tujuan diadakannya
sistem pembebanan pembuktian terbalik pada
penerimaan objek gratifikasi yang tak terbatas itu sendiri. Karena dengan menerima pemberian yang
berkali-kali dalam jangka waktu yang lama oleh banyak orang, sehingga tidak
dapat ditentukan lagi baik sipemberinya, jumlahnya, tempus dan lokusnya.
Kiranya itulah sebagai latar belakang tidak dipersoalkan lagi mengenai si pemberi pada TPK suap menerima
gratifikasi ini.
Penerimaan yang dimaksud penjelasan
pemerintah tersebut digunakan oleh jaksa
penuntut umum sebagai dasar utama/pertama dalam mendakwakan TPK menerima
gratifikasi Pasal 12B. Tanpa ada dasar penerimaan – pemberian apa-apa, tidak
mungkin bisa membawa kasus Pasal 12B dengan mendakwakan TPK menerima
gratifikasi. Namun tidak berarti objek penerimaan yang tidak terbatas yang
menghasilkan harta kekayaan terdakwa yang tidak seimbang dengan sumber
pendapatannya yang sah – tidak boleh didakwakan. Justru pada objek yang kedua inilah tujuan
dan kegunaan dibentuknya sistem beban pembuktian terbalik dapat mencapai hasil
maksimal.
Untuk penerimaan yang diduga lainnya
yang menghasilkan kekayaan yang tidak seimbang dengan sumber pendapatannya,
juga dapat didakwakan cukup dengan menunjuk jumlah kekayaannya yang ditemukan
yang sekaligus membandingkan dengan menunjuk /menyebutkan sumber-sumber
pendapatan yang sah. Pembuktian
selanjutnya tentang harta tersebut tidak ada hubungannya dengan penerimaan
(gratifikasi) dibebankan kepada terdakwa.
Cara membuktikan sebaliknya ini, cukup terdakwa membuktikan dari mana
asalnya ic sumbernya yang halal
sebagian atau seluruh dari harta kekayaan yang disebutkan dalam surat dakwaan. Hasil
pembuktian terdakwa itu akan dipertimbangkan hakim dengan menghubungkan dengan
hasil pembuktian jaksa penuntut umum untuk menarik kesimpulan tentang terbukti
ataukah tidak (sebagian atau seluruhnya) harta benda tersebut bersumber dari sumber penghasilan
yang sah ataukah haram.
Apabila terdakwa tidak dapat
membuktikan sebagian atau seluruhnya berasal dari sumber pendapatan yang sah, maka dianggap bahwa harta kekayaan itu adalah
berasal dari menerima pemberian (gratifikasi). Dalam hal ini tidak perlu jaksa
penuntut umum repot-repot membuktikan asal penerimaannya serta tempus dan locus penerimaannya secara
rinci. Karena dalam sistem pembebanan
pembuktian terbalik jaksa tidak dibebani
kewajiban hukum untuk membuktikan keberadaan semua unsur serta keadaan-keadaan
sekitarnya dari tindak pidana yang
didakwakan. Demikianlah sesungguhnya sistem pembebanan terbalik pada TPK
menerim gratifikasi. Apabila tidak menerapkan hukum pembuktian yang demikian,
maka pembutktian itu bukan sistem pembebanan terbalik, melainkan sistem biasa.
Dengan tidak bersesuaian itu dianggap
harta tersebut juga merupakan hasil dari penerimaan – pemberian. Kiranya
demikian maksud dari dirumuskannya Pasal 38B ayat (2), meskipun Pasal 12B tidak
disebut dalam Pasal 38 ayat (1). Namun jiwa dari norma Pasal 38B ayat (2) sebagai sistem beban pembuktian
terbalik (mengenai harta benda terdakwa) adalah sama dengan jiwa sistem
pembebanan pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi Pasal 12B
ayat (1) huruf a. Dalam jiwa
norma terdapat maksud / tujuan dari dibentuknya norma tersebut.
Konsepsi beban pembuktian terbalik terhadap unsur penerimaan pemberian (menerima
gratifikasi) seperti tersebut di atas rupanya
sudah diterapkan pada kasus Sdr. Gayus Tambunan, meskipun penerapannya
tidak sama persis sebagaimana yang penulis lukiskan tersebut di atas. Namun
jiwanya dan substansinya sama.
Terbukti majelis dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa meskipun ketidakberhasilan
JPU membuktikan penerimaan gratifikasi dari Alif Kuncoro dan Denny Adrianz.
Namun keadaan itu tidak mengurangi peran
terdakwa atas telah terbuktinya menerima gratifikasi, karena telah terbuktinya
menerima gratifikasi, karena telah terbukti secara nyata dari saksi Roberto
Santonius dan tentunya dari wajib pajak lainnya yang telah membawa terdakwa dapat mengumpulkan uang sejumlah US$ 659,800
(enam juta lima ratus sembilan ribu delapan ratus dolar Amerika) dan SGD
9.680,000 (sembilan juta enam ratus delapan puluh ribu dolar Singapura)
tersebut di atas yang oleh terdakwa tidak dapat dibuktikan asal usulnya dari
sumber yang sesuai dengan ketentuan undang-undang.*
Dari pertimbangan hukum majelis
tersebut, kiranya dapat ditarik temuan hukumnya al., ialah:
·
Pertama, mengenai pengutamaan penilaian hasil pembuktian.
Bahwa yang diutamakan dalam pertimbangan hukum dalam perkara TPK menerima gratifikasi
- Pasal 12B adalah tentang hasil pembuktian terdakwa. Pengutamaan pembuktian
adalah terhadap berhasil ataukah tidak berhasil terdakwa melaksanakan
kewajibannya dalam hal membuktikan sebaliknya dari unsur perbuatan menerima
gratiifikasi yang menjadi objek pembuktian terbalik.
·
Kedua, mengenai fungsi ketidakberhasilan terdakwa
membuktikan sebaliknya. Bahwa keberhasilan jaksa penuntut umum menggunakan
haknya – membuktikan unsur perbuatan menerima sebagian saja dari penerimaan
yang didakwakan bukan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa penerimaan lainnya yang didakwakan tidak terbukti, sepanjang
terdakwa memang tidak berhasil membuktikan sebaliknya mengenai objek / harta penerimaan
tersebut.
Dari temuan hukum kedua
menunjukkan bahwa belum seratus persen hakim melaksanakan kewajiban hukumnya
untuk mendahulukan - mempertimbangkan hasil pembuktian terdakwa, meskipun
fungsi hasil pembuktian terdakwa menjadi perhatian yang utama untuk menyatakan
terbukti tidaknya objek yang dibuktikan.
·
Ketiga, mengenai hubungan pembuktian jaksa dengan pembuktian
terdakwa. Bahwa berhasil ataukah
tidak jaksa penuntut umum menggunakan
haknya dalam membuktikan keberadaan unsur perbuatan menerima gratifikasi tidak memengaruhi
terhadap ketidakberhasilan terdakwa
membuktikan sebaliknya. Temuan hukum
ketiga adalah sebagai akibat dari temuan hukum kedua.
·
Keempat mengenai dasar menarik dan menetapkan amar putusan
akhir. Bahwa dalam putusan akhir pembebasan atau pemidanaan karena
TPK menerima gratifikas, tidak ditentukan oleh keberhasilan jaksa penuntut umum
menggunakan haknya – membuktikan unsur perbuatan menerima gratifikasi (termasuk
sebagian dari penerimaan) melainkan bergantung dari berhasil ataukah tidak
berhasil terdakwa melaksanakan kewajibannya membuktikan sebaliknya sebagian
atau seluruh unsur-unsur penerimaan pemberian.
·
Kelima, mengenai kedudukan objek gratifikasi yang tidak
terbatas telah diakui dan mendapatkan tempat dalam sistem pembuktian terbalik terhadap TPK
menerima gratifikasi. Bahwa kalimat yang berbunyi: “…karena telah terbukti
secara nyata dari saksi Roberto Santonius dan tentunya dari wajib pajak lainnya
yang telah membawa terdakwa dapat
mengumpulkan uang sejumlah US$ 659,800 (enam ratus loma puluh sembilan ribu
delapan ratus dolar Amerika) dan SGD 9.680,000 (sembilan juta enam ratus
delapan puluh ribu dolar Singapura) tersebut di atas yang oleh terdakwa tidak
dapat dibuktikan asal usulnya dari sumber yang sesuai dengan ketentuan
undang-undang”, merupakan pertimbangkan hukum yang meletakkan dasar mengenai
begitu pentingnya mencantumkan objek gratifikasi yang tidak terbatas (seperti
yang penulis maksudkan), dengan cukup
menemukan angka kekayaannya dengan membandingkannya dengan sumber pendapatannya
yang sah. . Sedangkan membuktikan asal usulnya diserahkan kepada terdakwa,
tidak digantungkan pada hasil pembuktian jaksa penuntut umum.
Dari pertimbangan hukum majelis
tersebut, dapat juga ditarik kesimpulan secara umum bahwa untuk menyatakan terbukti ataukah tidak
terbukti penerimaan pemberian dalam sistem beban pembuktian terbalik pada TPK
menerima gratifikasi, diletakkan pada keberhasilan atau tidaknya terdakwa
membuktikan sebaliknya dari keberadaan objek yang dibuktikan, tidak diletakkan
pada hasil pembuktian jaksa penuntut umum.
Mengenai temuan hukum yang kedua,
meskipun tidak sama persis dengan pendapat penulis yang sudah dikemukakan
sebelumnya. Namun jiwa mendahulukan kewajiban terdakwa membuktikan sebaliknya dan
peran serta fungsi hasil akhir pembuktiannya terhadap terbukti ataukah tidak
objek yang dibuktikan sudah diperoleh
dari pertimbangan hukum putusan tersebut.
Namun kewajiban mendahulukan untuk dipertimbangkan pembuktian terdakwa perlu
ditegaskan lagi. Bahwa yang pertama harus dipertimbangkan adalah hasil
pembuktian terbalik oleh terdakwa, barulah kemudian (jika perlu)
menghubungkannya dengan hasil pembuktian
jaksa penuntut umum, barulah mengambil kesimpulan. Tidak harus mempertimbangkan terlebih dulu
hasil pembuktian jaksa penuntut umum.
Karena fungsi hasil pembuktian jaksa penuntut umum pada sistem pembeban
terbalik, seharusnya sebagai memperkuat saja.
Sebagai memperkuat, maka andaikata tidak membuktikan atau hanya dapat
membuktikan sebagian penerimaan, tidak berarti seluruh penerimaan tidak terbukti,
sepanjang memang terdakwa tidak berhasil membuktikan sebaliknya dari objek
harta yang dianggap sebagai penerimaan
yang didakwakan.
Konsepsi sistem pembebanan
pembuktian terbalik pada TPK menerima gratifikasi mestinya tidak bergantung
pada objek penerimaan pemberian yang terbatas atau dapat diketahui pemberinya
maupun jumlah angka/nilainya. Tetapi harus mencakup pula penerimaan pemberian
yang tidak terbatas, dilakukan oleh banyak orang dan berkali-kali yang tidak
mungkin dapat dibuktikan “hal penerimaannya” secarta rinci. Seperti pada kasus Sdr. Gayus
HP Tambunan dan Sdr. Dhana Widyatmika. Penuntut umum telah mengemukakan
seluruh harta benda yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dengan
membandingkannya dengan sumber pendapatannya yang sah.
Kewajiban jaksa penuntut umum
adalah memaparkan mengenai angka-angka dan keberadaan harta terdakwa. Kemudian melukiskan dengan
membandingkannya dengan sumber pendapatannya yang halal. Semua itu cukup
disampaikan di dalam surat dakwaan. Dalam sidang jaksa penuntut umum dalam
menggunakan haknya boleh membuktikan tentang
penerimaan masing-masing si pemberi, tempus dan locus penerimaannya.
Kalaupun tidak berhasil, tidak berarti tidak terbukti hal penerimaan
gratifikasi, sepanjang terdakwa sendiri tidak berhasil membuktikan sumber harta
yang didakwakan sebagai sumber yang halal. Karena dalam sistem pembebanan pembuktian
terbalik putusan harus didasarkan pada hasil pembuktian terdakwa, bukan hasil
pembuktian jaksa penuntut umum. Apabila sikap yang demikian tidak diambil, maka
tidak banyak faedahnya mencantumkan sistem pembebanan terbalik pada TPK
menerima gratifikasi dalam Pasal 12B jo 12C UUTPK.
V.
KESIMPULAN
1. Kebelumjelasan TPK menerima gratifikasi berikut sistem
pembebanan pembuktiannya yang terbalik tidak
perlu dijadikan alasan untuk tidak menerapkan hukum yang telah merupakan
hukum positif. Praktik akan menyelesaikan
dan melengkapinya dengan cara menemukan hukum yang tersirat dari dalam rumusan
Pasal 12B dan 12C dan pasal-pasal lain yang terkait. Pakar-pakar hukum pidana mendapatkan peran
penting dalam membantu menemukan hukum tersebut.
2.
Untuk menerapkan sistem
pembebanan terbalik pada TPK menerima gratifikasi, tidak lepas dari unsur-unsur tindak pidananya
dan cara bekerjanya sistem tersebut.
3.
Unsur-unsur TPK menerima gratifikasi dalam Pasal 12B ayat (1)
jo 12C selain subjek hukumnya pegawai negeri atau penyelenggara Negara, adalah:
·
Perbuatan menerima
·
Objek
pemberian/gratifikasi
·
berhubungan dengan jabatan atau tugasnya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya
·
tidak melaporkan
penerimaan pemberian/gratifikasi pada KPK
Disamping unsur-unsur tersebut terdapat lagi unsur yang terselubung dan
tersembunyi dalam perbuatan menerima, ialah niat jahat untuk memiliki pemberian
yang terbentuk setelah menerima pemberian, yang wajib dibuktikan keberdaan sebaliknya
oleh terdakwa.
4. Prinsip-prinsip sistem pembebanan pembuktian
terbalik adalah:
a. Sistem pembebanan terbalik berpijak pada asas praduga bersalah
(presumption of guilty).
b. Tujuan penerapan sistem pembebanan pembuktian terbalik bagi
terdakwa adalah untuk tidak dipidananya terdakwa. Sebaliknya bagi jaksa
penuntut umum untuk memudahkan pembuktian dakwaan dalam rangka membentuk
keyakinan hakim tentang bersalahnya terdakwa melakukan tindak pidana menerima
gratifikasi.
c. Kewajiban terdakwa
adalah untuk membuktikan ketiadaan unsur tindak pidana termasuk unsur niat jahat untuk memiliki pemberian.
Sebaliknya menjadi kewajiban hukum hakim untuk meminta terdakwa
melaksanakan kewajibannya tersebut
terlebih dulu sebelum memberikan hak jaksa penuntut umum untuk membuktian
keberadaan unsur-unsur tindak pidana.
d. Jaksa penuntut tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan
keberadaan unsur-unsur tindak pidana. Namun upaya membuktikan keberadaan
unsur-unsur tindak pidana adalah merupakan hak. Karena itu dibolehkan apabila
hak tidak digunakan.
e. Hakim dibebani kewajiban hukum untuk terlebih dulu
meminta terdakwa melaksankan kewajibannya untuk membuktikan ketiadaan
unsur-unsur tindak pidana dan kewajiban hukum untuk mempertimbangkannya sebelum
mempertimbangkan hasil pembuktian jaksa penuntut umum.
f. Kemudian berikutnya hakim dibebani kewajiban hukum untuk
meminta jaksa penuntut umum melaksanakan haknya untuk membuktikan keberadaan
unsur-unsur tindak pidana, yang kemudian mempertimbangkannya menyusul
pertimbanagan mengenai
hasil pembuktian terdakwa.
5. Ada dua objek
TPK menerima gratifikasi yang menjadi kewajiban terdakwa untuk dibuktikan sebagai
penerimaan yang halal, dan
sebaliknya menjadi hak jaksa penuntut umum untuk
membuktikan sebagai penerimaan yang haram, ialah:
·
Penerimaan pemberian yang
terbatas, adalah suatu penerimaan pemberian yang ditemukan dan disebut dalam surat
dakwaan baik tentang jenisnya, jumlah/nilainya, si pemberinya maupun tempus dan locusnya.
·
Penerimaan pemberian yang
tidak terbatas, adalah penerimaan yang sebaliknya, dan yang cukup disebut seluruh harta - jenis dan
nilai/jumlahnya yang kemudian tidak sesuai dengan membandingkannya pada sumber
pendapatannya yang sah.
6. Oleh karena
dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik, kewajiban membuktikan sebaliknya
oleh terdakwa dan dipertimbangkannya hasil pembuktian mendapat prioritas,
maka fungsi hasil pembuktian terdakwa
sangat menentukan terhadap dipidana ataukah tidak terdakwa.
7. Sebaliknya hasil pembuktian jaksa penuntut umum:
·
berfungsi sebagai
memperkuat terhadap pembuktian terdakwa yang tidak berhasil membuktikan
ketiadaan unsur-unsur tindak pidana.
·
Apabila terdakwa berhasil
membuktikan ketiadaan (sebaliknya) salah satu atau beberapa unsur TPK
menerima gratifikasi, hasil pembuktian jaksa hanya
berfungsi sebagai bahan yang wajib dipertimbangkan hakim sebagai tidak
terbukti, berdasarkan keberhasilan terdakwa membuktikan ketiadaan sebagian atau
seluruh unsur tindak pidana.
Malang, 27
Oktober 2014
DAFTAR
PUSTAKA
Adami Chazawi,
2014. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Penerbit Bayumedia
Publishing, Malang.
----------------------,
2013. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia Publishing,
Malang.
Andi Hamzah, 2012.
Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
PenerbitPT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Chairul Huda, 2006.
Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Penerbit
Prenanda Media, Jakarta.
Djoko Sumaryanto,
2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka
Pengemablian Kerugian Keuangan Negara, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher,
Jakarta.
Elwi Danil, H.,
2014. Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Indriyanto Seno
Adji, 2002. Korupsi dan Hukum Pidana, Penerbit Kantor Pengacara & Konsultan
Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta.
Klitgaard, Robert,
2001. Membasmi Korupsi, Penerbit
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Komariah Emong
Sapardjaja, Ny., 2002. Ajaran Sifat
Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung.
Lilik Mulyadi,
2007. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Alumni,
Jakarta.
Martiman
Prodjohamidjojo (i), 2001. Penerapan
Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Penerbit Mandar Madju, Bandung.
Moeljatno (i),
1983. Asas-asas Hukum Pidana,
Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Termorhuizen,
Marjanne, 1999, Kamus Hukum Belanda
Indonesia, Penerbit Djambatan,
Jakarta.
* Ditujukan pada KPK dalam Rangka Memenuhi Permintaan Penyusunan
Anotasi Hukum untuk Penguatan Pasal Gratifikasi dalam Kasus Gayus Tambunan dan
Dhana Widyatmika.
* Moeljatno, 1983. Azas-azas
Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, h. 179.
* halaman 212.
* Penyidik telah memeriksa
empat ahli, dari FH UI, FH UNDIP, FH AIRLANGGA dan FH UB yang pendapatnya
memperkuat penyidikan.
[*] Dalam sambutan tanggal 23 Oktober
2001 Pemerintah mengatakan bahwa “Dalam RUU ini diatur ketentuan mengenai Gratifikasi
sebagai tindak pidana baru. Gratifikasi tersebut dianggap suap apabila
berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
sebagai pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Namun Gratifikasi tersebut
tidak dianggap suap apabila penerima Gratifikasi melaporkan pada KPK dalam
waktu yang ditentukan dan apabila tidak melaporkan dianggap suap. Dalam sistem
pelaporan ini untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana suap tersebut, penerima
Gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pemberian bukan suap dilakukan oleh penerima Gratifikasi, tetapi nilainya
kurang dari Rp 10.00.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian bahwa Gratifikasi
sebagai suap dilakukan oleh penuntut umum”.
* Halaman 214.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar