Kamis, 11 April 2013

TINDAK PIDANA PERS DALAM KUHP BUKAN LEX SPECIALIS DALAM UU PERS

Arti Tindak Pidana Pers. Undang-undang tidak mengenal istilah tindak pidana pers. Istilah itu dikenal dalam masyarakat, merupakan istilah sosial. Suatu istilah yang menggambarkan sekelompok tindak pidana yang mengandung ciri-ciri: • Dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan. wujudnya bisa bermacam-macam bergantung dan berhubungan dengan unsur perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana tertentu yang bersangkutan. Misalnya menyerang kehormatan atau nama baik dengan tulisan (Pasal 310 KUHP); menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan (Pasal 144, 155, 157 KUHP). • Objek yang dipublikasikan adalah berita/informasi, atau mengenai buah pikiran tertentu. • Caranya atau sarananya dengan menggunakan tulisan/barang cetakan. • Di dalam berita/informasi mengandung sifat melawan hukum. Karena isinya melanggar kepentingan hukum orang pribadi atau masyarakat termasuk Negara yang dilindungi hukum. Agar dapat dipidananya tindak pidana pers, selain perlu memenuhi unsur tersebut juga harus adanya kesengajaan, yang ditujukan baik terhadap perbuatnnya, sifat melawan hukumnya perbuatan maupun sifat melawan hukum mengenai isi beritanya. Kesengajaan harus dibuktikan ataukah tidak, bergantung dicantumkan ataukah tidak di dalam rumusan tindak pidana in concreto. Unsur sengaja selalu harus dianggap ada pada setiap kejahatan, kecuali jika dinyatakan secara expressis verbis kulpa. Jika dicantumkan wajib dibuktikan, sebaliknya jika tidak – tidak perlu dibuktikan. Dengan terbuktinya perbuatan unsur sengaja dianggap terbukti pula. Sebaliknya kalau yang terbukti ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) terhadap unsur tertentu, tidak boleh dipidana. Ketiadaan kesengajaan (pengetahuan) merupakan alasan penghapus kesalahan. Tindak pidana bentuk apapun, baru dapat dimasukkan ke dalam kelompok tindak pidana pers, apabila memenuhi ciri-ciri tersebut. Tindak pidana yang memenuhi ciri itu, terdapat pada bermacam-macam tindak pidana tertentu. Misalnya dalam bentuk-bentuk penghinaan, penghasutan, pornografi, menyiarkan berita bohong, pembocoran rahasia Negara, dll. Arti Tindak Pidana Lex Specialis Dalam doktrin yang dimaksud tindak pidana lex sepecialis adalah tindak pidana yang disamping mengandung unsur-unsur pokok dalam tindak pidana umum (lex generalis), juga mengandung satu atau lebih unsur khusus. Pembedaan tindak pidana umum dan khusus berhubungan dengan cara pembentuk undang-undang (KUHP) dalam merumuskan dan membedakan berat ringannya tindak pidana yang sejenis. Pembentuk undang-undang membedakan antara tindak pidana bentuk pokok (umum/standar) dan bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan dalam jenis yang sama. Misalnya pada pencurian. Bentuk standarnya dalam Pasal 362, bentuk yang lebih berat dalam Pasal 363 dan 365. Sementara bentuk yang lebih ringan dalam Pasal 364. Tidak semua jenis tindak pidana bisa ditentukan bentuk standarnya, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan. Maksud membedakan bentuk standar, yang lebih berat dan yang lebih ringan adalah dalam rangka menentukan berat ringan beban pertanggungjawaban pidananya. Berat ataukah ringan bergantung sifat dari unsur khususnya. Unsur khusus ini yang menentukan keberlakuan bentuk tindak pidananya, beserta berat ringan pertanggungjawaban pidananya. Seperti ditentukan dalam Pasal 63 Ayat (2) KUHP. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Apa yang dimaksud dengan “perbuatan” (feit) disitu, haruslah diartikan secara luas, bukan arti sempit sebagai perbuatan jasmani. Harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana. Singkatnya perbuatan sebagai tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam tindak pidana in concreto. Dari keterangan singkat tersebut di atas, maka istilah lex specialis haruslah diartikan sebagai tindak pidana specialis, bukan undang-undang specialis. Jelas dari bunyi Pasal 63 Ayat (2) KUHP, sebagai dasar hukum keberlakuan lex specialis. Ayat (2) pasal itu dengan tegas menyebutkan “suatu perbuatan” (een feit) bukan suatu undang-undang (een wet). Suatu perbuatan yang harus diartikan sebagai perbuatan yang memenuhi kompleksitas unsur-unsur tindak pidana alias tindak pidana. Berbeda halnya dengan UU ITE (No. 11/2008), terdapat beberapa tindak pidana padanan dari tindak pidana tertentu dalam KUHP. Misalnya pencemaran (KUHP), ada padanannya di dalam UU ITE, yaitu jika dilakukan dengan mendistribusikan atau mentransmisikan tulisan yang isinya pencemaran melalui sarana teknologi ITE, maka bukan pencemaran dalam KUHP yang diterapkan, melainkan pencemaran di dalam UU ITE. Sementara UU Pers sama sekali tidak ditemukan keadaan seperti UU ITE. Apa dasar untuk menentukan tindak pidana masuk pada lex specialis dari suatu lex generalis? Dasarnya adalah: 1. Di atas telah disampaikan ciri/indikator umumnya ialah, dalam tindak pidana bentuk khusus (lex specialis) terdapat semua unsur tindak pidana bentuk umumnya (lex generalis) ditambah satu atau lebih unsur-unsur khusus. Unsur khusus itulah yang menyebabkan diterapkannya lex specialis. 2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum (lex generalis) dan bentuk khususnya (lex specialis) harus sama. Misalnya lex generalis penghinaan, lex spesialisnya juga penghinaan. Jika lex generalisnya pornografi, maka lex specialisnya juga harus mengenai hal pornografi. 3. Subjek hukum tindak pidana juga dapat menentukan. Dalam tindak pidana bentuk umum (orang ataukah badan) harus sama dengan subjek hukum tindak pidana dalam bentuk khususnya. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Bukan merupakan lex specialis apabila subjek hukum yang dianggap lex generalis adalah orang sementara subjek hukum yang dianggap lex specialis adalah badan. Misalnya pers yang menyiarkan pornografi tidak bisa melanggar Pasal 18 (2) jo Pasal 5 (1) UU Pers. Pasal 18 (1) bukan lex specialis dari Pasal 282 KUHP. Karena subjek hukum pornografi menurut KUHP adalah orang. Sementara subjek hukum Pasal 18 (1) UU Pers adalah perusahaan pers. 4. Objek tindak pidana lex specialisnya harus sama dengan objek hukum lex generalisnya. Kalau objek lex generalisnya adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan orang. Kalau objek lex generalis adalah tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, maka lex specialisnya juga merupakan tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan.. 5. Kepentingan hukum yang hendak dilindungi juga harus sama. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormtan, maka lex specialisnya juga demikian. 6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang. Sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas ini tidak berlaku. Karena berbenturan dengan azas berlakunya hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Hukum yang bersumber lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah. Tindak Pers dal UU Pers Bukan Lex Specialis dari KUHP Ada keberatan yang cukup beralasan untuk menolak memberlakukan UU Pers terhadap tindak pidana pers yang kebetulan bersesuaian dengan tindak pidana dalam KUHP, misalnya bentuk-bentuk penghinaan. Dari indikator lex specialis seperti tersebut di atas, bertambah jelas bahwa jenis-jenis tindak pers dalam KUHP, sukar untuk bisa ditempatkan sebagai lex specialis dari kaca mata UU Pers. Dari ciri-ciri lex specialis tersebut di atas, dapatlah ditetapkan alasan-alasan kesukaran menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers (seperti bentuk-bentuk penghinaan dengan menggunakan pers). Sukar mencari padanan tindak pidana pers jenis-jenis tertentu di dalam KUHP di dalam UU Pers. Dari sinilah pula salah satu alasan banyak ahli hukum untuk menolak pemberlakuan UU Pers terhadap kasus-kasus tindak pidana pers, seperti jenis-jenis penghinaan. Karena sulit untuk mencari padanannya. Bagaimana caranya memberlakukan UU Pers terhadap kasus penghinaan misalnya pencemaran. Tidak dapat ditemukan jalannya. Di dalam UU Pers tidak terdapat tindak pidana padanannya. Padahal untuk dinyatakan sebagai tindak pidana lex specialis di luar KUHP, haruslah ada tindak pidana padanannya. Andaikata bentuk-bentuk penghinaan (KUHP), misalnya pencemaran [Pasal 310 Ayat (2)] hendak dipaksakan sebagai lex specialis – masuk dalam Pasal 18 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (1) UU Pers, sehingga UU Perslah diterapkan, kesukarannya adalah: • Pertama, mungkinkah tindak pidana pencemaran, yang unsur-unsurnya tertentu dan sangat jelas pengertiannya disamakan artinya dengan (kalimat) “pers telah melanggar kewajiban hukumnya untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat….”? Misalnmya hendak memaksakan kehendak bahwa semua unsur pencemaran dengan tulisan Pasal 310 (2) semuanya sudah terdapat dalam unsur/frasa “tidak menghormati kesusilaan? Bisakah kita menerimanya? Penafsiran model apa yang dapat diterapkan untuk membenarkan pandangan seperti itu? Mungkinkah para pakar hukum bisa menjawab pertanyaan tersebut? Secara sosiologis mungkin ada pakar yang dapat menemukan jawabannya. Namun secara yuridis kiranya tidak mungkin. • Kedua, indikator lex specialis yang menyangkut subjek hukum sebagai mana disebutkan pada angka 3 juga menjadi halangan untuk menerapkan UU Pers terhadap tindak pidana pers. Subjek hukum tindak pidana dalam KUHP yang kebetulan dapat dilakukan melalui pers adalah orang pribadi. Sementara subjek hukum tindak pidana pers menurut UU Pers adalah “perusahaan pers”. Dari apa yang diterangkan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tidak bisa menggunakan UU Pers untuk mengadili jenis-jenis tindak pidana pers dalam KUHP. Meskipun dengan menggunakan alasan harus terlebih dulu menggunakan hak jawab atau hak koreksi. Menurut kalangan pers harus terlebih dulu menggunakan hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers. Tiadanya upaya seperti itu bukan merupakan alasan untuk tidak menuntut pidana. Karena penuntutan pidana tindak pidana pers tidak ada hubungannya dengan hak jawab dan hak koreksi serta upaya Dewan Pers. Perdamaian yang dihasilkan oleh upaya Dewan Pers, hanya bisa memengaruhi terhadap penjatuhan pidana in concreto saja. Tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana si pembuat dalam melakukan tindak pidana pers. Belum/tidak menggunakan hak jawab atau hak dan kewajiban koreksi atau mediasi melalui Dewan Pers tidak bisa digunakan sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana terhadap si pembuat tindak pidana pers. Hak jawab, hak dan kewajiban koreksi sekedar hak korban dan kewajiban pers untuk menempatkan informasi/berita yang semula dianggap salah pada keadaan yang sebenarnya. Ketiadaan upaya-upaya itu sekali-kali bukan alasan untuk meniadakan hak Negara untuk menuntut pidana. Meskipun merupakan delik aduan. Bila pengaduan dicabut masih dalam waktu 3 bulan sejak pengaduan diajukan, hapusnya hak Negara menuntut bukan didasarkan karena tiadanya penggunaana hak jawab atau hak koreksi atau upaya mediasi, tetapi karena pengaduan dicabut. Mediasi sekedar penting dalam penyelesaian konflik keperdataan, mengenai penggantian kerugian akibat dari perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 dan atau 1372 BW. Tidak penting dalam hal penyelesaian menurut hukum pidana melalui penuntutan pidana oleh Negara atas pengaduan atau laporan korban tindak pidana pers. Apabila pemerintah hendak memberi perlindungan hukum yang lebih luas terhadap kebebasan pers dalam usaha pers menjalankan fungsinya, maka dalam UU Pers harus ditambahkan satu norma yang tegas menyatakan, bahwa untuk mengajukan tuntutan pidana tindak pidana pers, harus terlebih dulu dilakukan hak jawab atau hak/kewajiban koreksi dan mediasi melalui Dewan Pers. Apabila upaya mediasi gagal, barulah terhadap si pembuat kasus itu dapat dilakukan penuntutan pidana. Jadi seharusnya ada 3 (tiga) syarat untuk dapatnya melakukan penuntutan pidana tindak pidana pers, ialah: (pertama) harus terlebih dulu korban menggunakan hak jawab; dan (kedua) korban dan pers harus melakukan mediasi melalui perentaraan Dewan Pers; dan (ketiga) upaya mediasi tersebut ternyata gagal. Kegagalan upaya mediasi dapat ditempatkan sebagai alasan utama penuntutan pidana. Tanpa ketentuan seperti itu, maka praktik akan tetap berjalan seperti keadaan sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar