Minggu, 27 Desember 2009

SATU LAGI PERMASLAHAN, SIFAT MELAWAN HUKUM PENGHINAAN UU ITE

SIFAT MELAWAN HUKUM PENGHINAAN

DALAM PASAL 27 AYAT (3) UU ITE

(Penulis: Drs. H. Adami Chazawi, S.H. Dosen FH UB)

- Pasal 27 Ayat (3):

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

- Pasal 45 Ayat (1):

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

DARI SUDUT HUBUNGAN UNSUR TANPA HAK DENGAN UNSUR LAIN-LAIN DALAM KOMPLEKSITAS UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Setiap unsur tindak pidana tidak berdiri sendiri. Selalu mempunyai hubungan dengan unsur-unsur lainnya. Dari sudut normatif, tindak pidana adalah suatu pengertian tentang hubungan antara kompleksitas unsur-unsurnya tersebut. Dari hubungan inilah kita dapat mengetahui alasan tercelanya (melawan hukum) perbuatan yang dilarang dalam setiap tindak pidana, termasuk tindak pidana penghinaan dalam UU ITE tersebut diatas. Hubungan yang dekat dengan unsur “tanpa hak” dari perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses informasi elektronik, terdapat pada 2 unsur.

· Pertama secara objektif. Hubungan itu sangat dekat dengan sifat isi informasi elektronik yang didistribusikan, ditransmisikan oleh si pembuat. Sifat isi informasi atau dokumen (objek) elektronik tersebut mengandung muatan bentuk-bentuk penghinaan, utamanya bentuk pencemaran. Pada unsur inilah melekat sifat melawan hukum perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan informasi elektronik tersebut. Sekaligus merupakan alasan mengapa perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan menjadi terlarang. Oleh sebab itu, jika orang yang mengirimkan data elektronik tanpa memenuhi syarat tersebut tidak termasuk melawan hukum, dan tidak boleh dipidana.

· Kedua secara subjektif. Hubungan melawan hukum sangat dekat dengan unsur dengan sengaja (kesalahan). MvT WvS Belanda mengatakan bahwa “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.[1] Secara singkat sengaja artinya menghendaki (willens ) dan mengetahui (wetens). Mengenai keterangan dalam MvT WvS Belanda tersebut, Jan Remmelink menyatakan bahwa mengajarkan pada kita bahwa cara penempatan unsur sengaja dalam kentuan pidana akan menentukan relasi pengertian ini terhadap unsur-unsur delik lainnya: apa yang mengikuti kata ini akan dipengaruhi olehnya.[2]

Melihat letak unsur sengaja mendahului unsur perbuatan dan tanpa hak, maka tidak diragukan lagi. Bahwa si pembuat menghendaki untuk melakukan perbuatan mendistribusikan, menstransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. Kehendak ini termasuk juga pengetahuan yang harus sudah terbentuk sebelum berbuat, karena demikian sifat kesengajaan. Orang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang sudah diketahuinya.

Disamping itu sengaja harus juga ditujukan pada unsur tanpa hak. Apa artinya? Bahwa si pembuat sebelum menstransmisikan, mendistribusikan informasi elektronik atau dokumen elektronik tersebut. Telah mengetahui atau menyadari bahwa Ia tidak berhak melakukannya. Perbuatannya melawan hukum, tercela, tidak dibenarkan dan dilarang. Kesadaran yang demikianlah yang biasanya disebut dengan sifat melawan hukum subjektif. Suatu kesadaran yang tidak perlu mengetahui secara persis tentang UU atau pasal yang melarang. Cukup kesadaran bahwa perbuatan semacam itu tercela, tidak dibenarkan. Suatu kesadaran yang selalu ada bagi setiap orang normal pada umumnya. Orang yang berjiwa normal saja yang dapat menilai terhadap semua perbuatan yang hendak dilakukannya sebagai halal ataukah haram. Oleh karena itu untuk membuktikan kesadaran sifat melawan hukum perbuatan patokannya, ialah terbukti si pembuat berjiwa normal.

Sehubungan dengan dicantumkannya unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, pembentuk WvS Belanda telah mengambil sikap yang sangat rasional. Bahwa dengan dibentuknya tindak pidana dalam UU sudah dengan sendirinya terdapat unsur sifat melawan hukum. Dalam setiap rumusan tindak pidana telah terdapat unsur melawan hukum. Meskipun di dalam rumusan tidak dicantumkan. Tidak perlu setiap rumusan tindak pidana selalu mencantumkan melawan hukum secara tegas. Hanya apabila dalam hal-hal ada alasan saja maka unsur melawan hukum perlu dicantumkan. Hal-hal yang dimaksud ialah apabila ada orang lain yang berhak untuk melakukan perbuatan yang sama seperti tindak pidana yang dirumuskan UU. Barulah dalam rumusan sifat melawan hukum perbuatan perlu dicantumkan. WvS bermaksud untuk mencegah agar mereka yang menggunakan hak atau kewenangan mereka itu tidak sertamerta dipidana.[3]

Dengan mengingat petunjuk MvT WvS Belanda tersebut, kita harus memahami maksud pembentuk UU ITE mencantumkan unsur tanpa hak dalam rumusan tindak pidan Pasal 27 Ayat (3). Tentu ada maksud pembentuk UU ITE mencantumkan unsur tanpa hak (istilah lain dari melawan hukum) dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut. Kiranya maksud pembentuk UU ITE ditujukan agar orang yang berhak melakukan perbuatan mendistribusi, mentransmisikan, membuat dapat diakses informasi elektronik tidak boleh dipidana. Meskipun informasi yang didistribusikan bersifat menghinakan orang lain.

Persoalannya ialah, dalam hal mana atau dengan syarat apa orang yang mendistribusikan, mentrasmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang isinya bersifat menghina tersebut berhak melakukannya? UU ITE tidak memberikan keterangan apa-apa. Oleh karena itu harus dicari dari sumber hukum penghinaan, ialah Bab XVI Buku II KUHP.

Bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP bersumber pada pencemaran (Pasal 310). Bentuk-bentuk penghinaan tersebut mengandung sifat yang sama, ialah terdapat pada pencemaran. Setiap bentuk penghinaan selalu bersifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang. Oleh sebab itu pencemaran dapat dianggap sebagai bentuk standar penghinaan.

Pada pencemaran terdapat alasan peniadaan sifat melawan hukum perbuatan (ayat 3). Pencemaan tidak dipidana apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Dua keadaan inilah yang menyebabkan si pembuat berhak mendistribusikan, mentransmisikan informasi elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan. Dengan hapusnya sifat melawan hukum sama artinya dengan si pembuat berhak melakukannya.

Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya. Bahwa untuk dapat mengajukan alasan demi kepentingan umum. Disamping memang sangat perlu, dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi si pembuat sendiri. Melainkan untuk kepentingan orang lain (umum). Juga isi yang disampaikan haruslah benar, tidak boleh palsu. Sementara itu, untuk dapat mengemukakan alasan membela diri, diperlukan 2 syarat. Pertama, harus terlebih dulu ada perbuatan - berupa serangan oleh orang lain yang bersifat melawan hukum. Serangan itu amat merugikan kepentingan hukumnya. Oleh karena itu ybs terpaksa harus membela diri. Perwujudannya ia menuduhkan perbuatan tertentu yang menghinakan orang lain. Kedua, apa yang dituduhkan isinya harus benar. Si pembuat harus dapat membuktikan syarat-syarat tersebut.

Demikianlah arti dan maksud mencantumkan unsur tanpa hak dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

PANDANGAN LAIN DARI SIFAT MELAWAN HUKUM PENGHINAAN DALAM PASAL 27 AYAT (3) UU ITE

Menurut keterangan Wakil Ketua Tim Perumus UU ITE di TVONE hari minggu sore tanggal 27 Desember 2009, berbeda dengan pandangan penulis tersebut di atas. Letak sifat melawan hukumnya atau tanpa hak si pembuat melakukan perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran tersebut, terletak pada keadaan dan kedudukan si pembuat dalam hubungannya dengan digunakannya sarana elektronik tersebut. Jadi bukan terletak pada isi informasi elektronik yang didistribusikan, yang ditransmisikan, dibuat dapat diaksesnya informasi yang memuat penghinaan dan atau pencemaran tersebut.

Diberikan contoh, kasus Ibu Prita yang berhak mengirimkan e-mailnya pada tema-temannya, disebabkan e-mailnya tersebut adalah miliknya sendiri. Karena miliknya sendiri, maka beliau dapat menggunakannya dan tentu dalam hal itu tidak tanpa hak. Karena itu tidak tanpa hak, maka tindak pidana penghinaan menurut UU ITE tidak ada. Tentu saja tidak boleh menjatuhkan pidana pada seseorang yang tidak melakukan tindak pidana.

Bagi penulis, sifat penghinaan (melawan hukum) khususnya pencemaran tidak ada dalam kasus Ibu Prita, bukan terletak pada karena e-mailnya tersebut adalah miliknya sendiri. Tetapi pada beberapa hal/keadaan, ialah:

1. Isi e-mailnya tersebut tidak merupakan tuduhan pada seseorang (dokter) telah melakukan perbuatan tertentu yang tidak benar dan yang tercela yang memalukan si pemilik nama.

2. Apabila ada perbuatan yang dituduhkan oleh Ibu Prita pada pribadi orang (misalnya dokter) yang tidak benar yang memalukan si pemilik nama, oleh karena mengenai pelayanan kesehatan – maka harus dianggap untuk / demi kepentingan umum, yang merupakan alasan penghapus sifat melawan hukum pencemaran (Pasal 310 Ayat (3) KUHP).

3. Sifat informasi melalui e-mail pada teman Ibu Prita, tidak sama dengan sifat dengan tulisan pada lembar kertas dalam hal pencemaran menurut azasnya Pasal 310 Ayat (1) KUHP. Padahal penghinaan dalam Pasal 27 Ayat (3) tetap harus berpijak pada sifat yang sama dengan penghinaan dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP tersebut.

4. Dari alasan nomor 3 tersebut, jika dihubungkan dengan unsur maksudnya terang supaya diketahui umum, maka dengan sebuah e-mail tidak mungkin mengandung maksud terang supaya diketahui umum yang sama dengan tulisan dalam lembar-lembar kertas yng disebarkan, ditunjukkan atau ditempelkan seperti pada Pasal 310 Ayat (1 dan 2) KUHP tersebut.

5. Rumah Sakit Omni tidak termasuk suatu objek penghinaan, dan tidak mungkin menjadi korban dari suatu penghinaan. Karena menurut sistem hukum pidana kita, hanya pribadi subjek hukum orang yang dapat menjadi objek penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP. Suatu badan atau lembaga tidak bisa menjadi objek penghinaan. Sebenarnya yang bisa adalah si pemilik suatu badan atau lembaga tersebut, bukan badan/lembaganya. Sebeb badan atau lembaga tidak memiliki rasa/perasaan malu, marah, sedih – berupa penderitaan batiniah yang diakibatkan oleh suatu penghinaan. Namun objek badan tertentu tersebut harus ditegaskan dalam suatu rumusan tindak pidana tertentu, dan terdapat di luar Bab XVI Buku II, tersebar dalam beberapa bab yang tindak pidana pokoknya bukan berisfat penghinaan. Seperti penghinaan pada Pemerintah RI (Pasal 154), agama (Pasal 156a), golongan rakyat (Pasal 157), penguasa dan badan umum (Pasal 207 dan 208), dll. Tidak ada objek penghinaan badan/lembaga pada umumnya. Rumah Sakit khususnya RS OMNI tidak ada dalam rumusan tindak pidana penghinaan baik dalam KUHP maupun di luar KUHP.

Pandangan tentang sifat melawan hukum penghinaan dalam UU ITE dari Wakil TIM Perumus UU ITE tersebut, bila merupakan pandangan pemebentuk UU ITE, bukan pandangan pribadi, maka pada saatnya boleh diturut oleh hakim dalam keadaan dan hal-hal tertentu. Alasannya berdasarkan penafsiran menurut sejarah. Namun tidak boleh berlaku pada sembarang kasus secara hantam kromo, apalagi diperjualbelikan. Karena pandangan tersebut terdapat kelemahan yang mendasar.

Kelemahannya ialah, terletak pada apabila informasi elektronik objek tindak pidana penghinaan tersebut benar-benar memenuhi unsur dan syarat-syarat penghinaan, khususnya pencemaran. Meskipun si pembuat berhak mengirimkan informasi tersebut (menurut pandangan Wk Tim Perumus) berhubung misalnya “facebook” adalah miliknya sendiri, tetap mengandung sifat melawan hukum dan dapat dipidana apabila informasi tersebut mengandung sifat menghina seperti yang dimaksud dalam Pasal 310 KUHP.

KESIMPULAN

Terbukti lagi, bahwa penghinaan dalam UU ITE mengandung masalah dan ketidakpastian. Akan banyak timbul berbagai pandangan-pandangan lainnya dari para ahli hukum pidana. Semua itu akan memakan rakyat kecil – miskin dan lemah, seperti Ibu Prita dan Luna Maya. Masih akan timbul, tunggu sebenar lagi.

Demikian pandangan PENULIS.

Sekian dulu, lain kali ketemu lagi pada artikel online berikutnya.

Malang, 28 Desember 2009.

UNTUK LEBIH LENGKAP DAN SEMPURNA PANDANGAN PENULIS TENTANG PENGHINAAN – BACA BUKU PENULIS YANG BERJUDUL “HUKUM PIDANA POSITIF PENGHINAAN”. PENERBIT ITS PRESS SURABAYA.



[1] Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana,1983. Penerbit Bina Aksara, Jakarta, halaman 171.

[2] Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan padanannya dalam KUHP Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 152.

[3] Ibid., halaman 187.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar