Jumat, 29 Januari 2010

BISAKAH PRESIDEN dan/atau WAKIL PRESIDEN DIBERHENTIKAN DALAM MASA JABATANNYA?

H. Adami Chazawi (FH UB)

UUD Negara memberikan jalan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan 7B: perubahan ketiga tanggal 10 Nopember 2001).

Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Apakah Pansus Bank Century sekarang berjalan menuju pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden? Para anggota Pansus beramai-ramai menyatakan bahwa Pansus sama sekali tidak ada maksud berjalan kesana. Tapi siapa tahu, pekerjaan politik tersebut berujung pada apa yang dipopulerkan media dengan pemakzulan? Putusan politik tidak bisa ditebak dan diterka-terka? Pagi ngomong A sore sudah berubah B. Makanya bisa dimengerti jika Bapak Presiden SBY mengumpulkan para Pejabat Tinggi Negara di Istana Presiden Bogor belum lama ini. Kiranya ada maksud mengantisipasi kalau-kalau akhirnya Pansus berjalan kearah sana. Bisa jadi tujuan akhirnya Pemberhentian Presiden/dan atau Wakil Presiden jika terbukti dari pekerjaan Pansus kasus Bank Century membuahkan hasil temuan bahwa di dalamnya terdapat tindak pidana korupsi yang melibatkan Presiden dan /atau Wakil Presiden??????.

Diantara sekian alasan / dasar untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dari hasil pekerjaan politik Pansus Bank Century hanya mungkin dengan menggunakan satu alasan saja. Bilamana di dalam kebijakan Bank Century tersebut mengandung muatan tindak pidana korupsi, dan Presiden dan/atau Wakil Presiden terlibat di dalamnya. Tentu saja temuan semacam ini harus ditindak lanjuti oleh KPK. Apabila KPK mengusut dan menetapkan Ibu Sri Mulyani dan Bapak Budiono sebagai tersangka, mengajukannya ke Penuntut Umum untuk diajukan ke Pengadilan sebagai terdakwa dan kemudian diputus bersalah sampai putusan mempunyai kekuatan hukum tetap (mungkin sampai tingkat kasasi). Barulah DPR punya alasan untuk mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana korupsi. Sungguh masih panjang jalannya???

DPR tidak bisa mengajukan permintaan semacam itu tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang mempidana yang bersifat tetap karena melakukan korupsi. Mahkamah Konstitusi tidak mungkin bisa membuat putusan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan korupsi tanpa terlebih dulu ada putusan peradilan pidana yang menghukum yang telah bersifat tetap. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memutus dan menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindak pidana tertentu (termasuk korupsi), tanpa terlebih dulu ada dan didasarkan pada putusan peradilan pidana yang mempidana karena bersalah melakukan tindak pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Meskipun Pasal 7B Ayat (5) UUD Negara menyatakan bahwa “Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penuapan, timndak pidana berat lainnya ...” Kata memutuskan dalam rumusan tersebut tidak sama nilai dan artinya dengan peradilan pidana yang memutuskan tentang “keyakinan terdakwa (berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah) telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan”. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi hanya bersifat declaratoir/menyatakan saja, bukan bersifat menghukum. Putusan yang menghukum ialah putusan peradilan pidana yang dijadikan landasan/dasar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Jelasnya, bahwa untuk menghentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan menggunakan alasan melakukan tindak pidana berat termasuk korupsi, tidak bisa semata-mata melalui kekuatan politik di DPR dan MPR saja, tetapi harus didahului oleh proses perkara pidana di dalam sidang peradilan pidana.

Penulis tidak menghendaki menggelindingnya pengungkapan/penyelesaian kasus Bank Century menuju ke pemberhentian Presiden. Cukuplah, jika memang di dalam pengambilan kebijakan terhadap Bank Century yang bikin heboh ini sampai pada pernyataan DPR adanya kesalahan saja. Tidak perlu dilakukan pengusutan ke arah pidana, Keputusan DPR mengenai hal yang demikian merupakan pukulan yang sangat berat bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden beserta jajran kabinetnya. Siapa tahu ada menteri yang karena itu mengundurkan diri secara sukarela, meniru negara-negara maju di dunia ini. Jika terbukti benar hasil kerja Pansus berujung pada keputusan bahwa pengambilan kebijakan Bank Century meupakan kesalahan/kekeliruan yang di dalamnya mengandung korupsi. Jaksa Agung dapat menggunakan haknya untuk menghentikan agar keputusan yang demikian tidak menggelinding terus sampai ke penututan pidana dengan cara mendeponir atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum melalui Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004. Kiranya lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya bagi rakyat bila Presiden dan/atau Wakil Presiden ditengah jalan dihentikan.

Kita mengharap DPR tidak menciptakan suatu keadaan yang memaksakan Presiden dan Wakil Presiden untuk menghadapi perkara pidana pada saat sedang menjalankan tugas jabatannya. Karena sekali terjadi akan menjadi Preseden buruk. Sabar....??? Meskipun dari sudut hukum sah-sah saja, tetapi akibat akhirnya bagi rakyat sangat tidak menguntungkan. Bilamana pemerintahan diganggu terus, pemerintahan tidak dapat focus dalam upaya menjalankan program-progamnya, yang berimbas pada rakyat seluruhnya. Keadaan yang demikian ini dapat dijadikan alasan pemerintah pada saat program mensejahterkan rakyat tidak tercapai.

Demikian pendapat penulis. Kali yang lain kita ketemu lagi.
Kampus FH UB 30 Januari 2010.

Rabu, 27 Januari 2010

MUNGKINKAH KORUPSI DALAM KEBIJAKAN PUBLIK ??

MUNGKINKAH TERJADI KORUPSI DALAM KEBIJAKAN PUBLIK ??

Artikel Online
H. Adami Chazawi (Dosen FH UB)

Saya membaca di situs internet dan berita berjalan (running text) di TVOne yang memberitakan bahwa Presiden SBY mengatakan bahwa “kebijakan tidak bisa dikriminalkan”. Saya terkejut dan heran, karena: 1. Itu ucapan seorang Presiden, tidak main-main. 2. Saya meyakini ucapan itu tidak seluruhnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 3. Karena itu saya yakin dapat menimbulkan polemik di masyarakat. Sepatutnya seorang Presiden tidak menciptakan suatu pelemik di masyarakat.
Untuk yang terakhir, ternyata benar. Dianggap ucapan SBY tersebut dirasa sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini beliau degungkan. Gayus Lumbuun, wakil ketua Pansus Hak Angket kasus Bank Century DPR RI, mempertanyakan maksud dari pernyataan Presiden tersebut. Beliau menegaskan bahwa kebijakan bisa diproses secara hukum dan dikriminalkan. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. ……. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sudah siap untuk untuk memproses apabila kebijakan bailout Bank Century mengarah kepada impeachment. Ia menyatakan bahwa kebijakan pemerintah berupa pengeluaran dana bailout Bank Century bisa berujung impheacment apabila kebijakan tersebut mengandung unsur kriminal seperti korupsi.... (http://kabarnet.wordpress.com/2010/01/26/sby-kebijakan-tak-bisa-dipidanakan/).
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam acara lounching buku yang berjudul “Korupsi Mengorupsi Indonesia” (kumpulan dari bebagai tulisan dari tokoh dan penggiat anti korupsi mengenai korupsi dan cara pemberatasannya) di Universitas Paramadina tanggal 12 Januari 2010 yl., sangat prihatin dengan korupsi di tingkat kebijakan tersebut. Beliau selanjutnya mengatakan bahwa tindakan korupsi pada tahap kebijakan pemerintah lebih berbahaya dibanding korupsi pada tahap pelaksanaan di lapangan. Bahkan, menurutnya, korupsi yang mengatasnamakan kebijakan itu luar biasa berbahaya karena akibatnya merusak satu generasi. (http://portalwongsukses.wordpress.com/2010/01/13/diskusi-dan-launching-buku-korupsi-mengorupsi-indonesia/).
Apa yang disampaikan SBY, kiranya sekedar pendapat pribadinya sendiri. Kiranya ditujukan untuk memengaruhi pendapat umum yang tidak berpihak kepada pembenaran pada kebijakan Menteri Keuangan dan Gubernur BI (ketika itu). Dapat diduga, bahwa satu-satunya tujuan akhirnya adalah ingin menolong kedua pembantunya tersebut.
Pernyataan SBY tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. Kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan dengan itikad baik, pastilah tidak dapat dikriminalisasikan. Sebaliknya kebijakan yang dibuat dan dijalankan dengan itikad buruk (melawan hukum) yang disadarinya membawa dampak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sesungguhnya itulah korupsi. Bahkan korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, tidak ada ada tandingannya. Karena apa? Sebabnya dari luar tidak nampak korupsi, karena dibalut oleh kebijakan, yang acapkali berbentuk peraturan, keputusan dan lain-lain. Namun sesunggunya akibatnya sangat luas, merugikan perekonomian di berbagai sektor dan merugikan keuangan negara kita. Kita bertanya, apakah kebijakan Bank Century yang demikian itu menguntungkan rakyat, menguntungkan perekonomian nasional, menguntungkan keuangan negara, menguntungkan kepentingan umum? Ayaoa jawaben dewe???
Apa artinya itikad buruk? Etikad buruk dalam pengertian ini mengandung setidaknya 7 (tujuah) syarat/unsur, yaitu:
1. Sejak semula si pejabat (tentunya orang-orang lainnya sekitarnya juga yang ikut terlibat, bawahannya: penyertaan) pembuat kebijakan telah berkehendak atau setidak-tidaknya sadar bahwa kebijakan yang akan diambilnya merupakan kebijakan yang tidak tepat.
2. Kebijakan tersebut disadari dapat membawa dampak kerugian keuangan/perekonomian negara.
3. adanya kesadaran bahwa ada alternatif kebijakan yang sesungguhnya lebih baik, lebih tepat yang disadari tidak akan berdampak merugikan negara,
4. dan secara ilmiah memang dibuktikan alternatif kebijakan tersebut memang lebih baik dan lebih tepat (melalui kajian-kajian ilmiah dari keterangan para ahli).
5. ada tujuan/ kehendak bahwa dari kebijakan yang akan diambil ditujukan utk menguntungkan/memperkaya sektor tertentu/pihak tertentu (misalnya partai politik, pribadi tertentu dsb), dengan mengabaikan kepentingan umum yg dapat dirugikan dari kebijakan tersebut.
6. dan ternyata- terbukti benar kebijakan yang diambil ada pihak-pihak yang diuntungkan, dan sebaliknya kepentingan umum/negara dirugikan.
7. ketika kebijakan dijalankan ternyata benar-benar berdampak merugikan keuangan/perekonomian negara/kepentingan umum.
Sebagai catatan, dilihat dari sudut Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001), dimana korupsi sesungguhnya sudah bisa terjadi meskipun syarat yang ke-enam belum timbul. Disebabkan, tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan 3 sudah terjadi secara sempurna (voltooid) apabila perbuatan tertentu (korupsi), misalnya kebijakan publik tersebut dapat (potensial) jika dijalankan merugikan keuangan negara. Berdasarkan ketentuan kedua pasal ini, tindak pidana korupsi melalui kebijakan publik tersebut, sudah terjadi sempurna ketika kebijakan itu sudah diambil secara sah, misalnya SK sudah ditandatangani oleh si pejabat. Meskipun belum dijalankan dan belum membawa dampak kerugian keuangan negara secara rieel. Kedua pasal tersebut, merumuskan tindak pidana formil bukan materiil, meskipun dalam praktik jaksa selalu ingin menjadikannya sebagai delik materiil. Karena di dalam praktik JPU selalu membuktikan adanya kerugian negara secara riel. Tentu saja sikap dan perilaku JPU yang seperti ini salah, dan sikap dan perilaku semcam ini dapat berdampak buruk pada pemberantasan korupsi. Terutama pengungkapan kasus korupsi melalui kebijakan publik.
Tujuh unsur itulah yang harus dibuktikan jika suatu kebijakan akan diproses ke ranah hukum pidana khususnya korupsi. Korupsi kebijakan terdapat dalam proses pembuatannya dan dapat juga dalam proses menjalankannya. Korupsi melalui kebijakan publik sangat berbahaya, dapat membangkrutkan negara dalam satu generasi. Karena kebijakan itu berlangsung lama. Selama tidak dicabut/ditarik atau ditiadakan maka selama itu pula kebijakan itu dapat digunakan untuk melakukan korupsi. Jadi korupsi berjangka panjang lha gitu.

Pembuatan dan pelaksanaannya - kebijakan Bank Century masuk dalam itikad baik atau itikad buruk (melawan hukum secara subjektif atau objektif) tidak mungkin dapat ditemukan, jika penegak hukum hanya berdiam diri, menunggu hasil kerja Pansus Bank Century. Hasil kerja kegiatan politik (Pansus) bisa saja tidak sejalan dengan hasil penyelidikan atau penyidikan aparat penegak hukum.

Jadi kasus Bank Century, dapat diangkat ke dalam ranah hukum pidana (korupsi). Utk diangkat ke dalam kasus korupsi, saya menyarankan:
1. Harus diusut oleh KPK, bukan oleh Kejaksaan Agung atau POLRI. Kedua instansi tersebut pasti dapat diintervensi Presiden/Pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung, secara terang maupun diam-diam.
2. Apa yang dicari KPK ialah indikator-2 yang saya sebutkan diatas tadi.
Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, saya yakin indikator-indikator itu bisa ditemukan, dengan syarat KPK kuat komitmennya utk membongkar kasus tsb, tanpa ambil peduli tekanan-tekanan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak lain, yang pasti ada. Saya yakin rakyat akan lebih banyak yang mendukung KPK dari pada yang tidak. Meskipun di DPR lebih banyak yang tidak, akibat dari politik pembunuhan/peniadaan penyeimbang di DPR yang dijalankan sekarang.
Kiranya demikian pendapat (sementara) saya.
Kampus UB, 26-1-2010

Minggu, 24 Januari 2010

PEMBOBOLAN REKENING MELALUI ATM,

Artikel Online
Oleh Drs. H. Adami Chazawi, S.H (dosen FH UB)
Saya tujukan pada mahasiswa saya FH UB

Maraknya pembobolan rekening melalui ATM akhir-akhir ini, membuktikan bahwa penjahat-penjahat Indonesia sekarang bukan lagi penjahat kelas jalanan. Bersaing ketat dengan kejahatan korupsi yang hampir pasti dilakukan oleh para intelektual: pejabat, anggota DPR, polisi, jaksa, hakim, pengusaha dll yang pada umumnya berpendidikan. Dari segi orangnya, tentu jelas perbedaannya. Meskipun belum diketahui secara pasti pelaku-pelaku pembobol rekening tersebut, dapat diduga mereka bukan berpendidikan tinggi seperti para koruptor pejabat dan anggota DPR. Mungkin mereka juga tidak mengerti apa yng dimaksud “hak angket” DPR seperti halnya para artis yang kebetulan bernasib baik menjadi anggota lembaga yang terhormat tersebut. Kemungkina mereka sekedar pendidikan Sekolah Menengah saja, tidak bergelar pendidikan apa-apa. Namun kepenitarannya menyalahgunakan teknologi degital begitu mapan, saya tidak mampu untuk membayangkan bagaimana teknik mereka membobol rekening yang katanya sudah terjamin keamanannya tersebut.

Persoalannya bukan sekedar bagaimana cara mengungkap kejahatan tersebut beserta modus operandinya secara tuntuas untuk kemudian digunakan untuk menciptakan sarana dan teknologi untuk menangkalnya. Namun juga bajingan-bajingan pembobol tersebut mau didakwa dan diadili dan dipidana dengan UU (pidana) yang mana? Cukupkah hukum pidana konvensional misalnya pencurian atau yang lebih maju misalnya UU ITE digunakan untuk menangani (refresif) terhadap para bajingan tersebut?

Apabila kita melihat dari sudut, adanya perbuatan mengambil uang dari mesin ATM, kok kayaknya pencurian (Pasal 362 KUHP atau lebih spesipik (lex specialisnya) : Pasal 363 KUHP khusunya ayat (1) angka 5? Namun secara juridis tepatkah? Saya akan mencoba menganalisisnya seperti di bawah ini.

Bentuk standar pencurian Pasal 362, yang harus dipenuhi terlebih dulu untuk menyatakan dan menerapkan Pasal 363 Ayat (1) angka 5 (diberi kualifikasi sebagai pencurian dengan merusak). Menurut Pasal 362 pengertian yuridis pencurrian adalah perbuatan “mengambil suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, ...”

Tidak ada sesuatu masalah norma Pasal 362 jika dicocokkan dengan pembobolan rekening di mesin ATM tersebut. Benar-benar pas bin cocok alias sesuai benar. Persolan kecil yg masih perlu diberikan analisis, ialah tentang perbuatan mengambil. Benarkah pada peristiwa tersebut terdapat perbuatan mengambil? Apa artinya mengambil? Saya memberikan batasan mengambil, yakni “melakukan suatu perbuatan tertentu dengan bentuk dan cara apapun terhadap suatu benda (sebagian atau seluruhnya milik orang lain) yang berakibat beralihnya kekuasaan benda tersebut ke dalam kekuasaan si pelaku”.

Dari batasan perbuatan mengambil seperti itu, maka untuk dapat dibuktikan adanya perbuatan mengambil yang dimaksud Pasal 362 KUHP tersebut, adalah.
1. Sebelum melakukan wujud perbuatan itu, benda objek pencurian belum/tidak berada di dalam kekuasaan orang yang mengambil/pencuri.
2. Dengan wujud dan perbuatan tertentu yang ditujukan pada benda objek pencurian, berakibat benda itu berpindah kekuasaannya ke dalam kekuasaan si pengambil/pencuri.

Dengan batasan perbuatan mengambil seperti itu, kayak-kayaknya pencurian itu merupakan delik materiil ya? Benar tapi tidak murni. Suatu delik yang dirumuskan secara formil, namun untuk terjadinya/selesainya secara sempurna (voltooid) disyaratkan beralihnya kekuasaan benda ke tangan orang yang mengambil atau si pencuri. Unsur akibat tidak dicantumkan secara formal ke dalam rumusan delik, namun harus ada sebagai syarat selesainya pencurian, unsur akibat mana terdapat secara terselubung di dalam perbuatan mengambil. Untuk terdapatnya secara sempurna (voltooid) perbuatan mengambil – harus telah beralihnya kekuasaan benda objek pencurian ke dalam kekuasaan si pelaku. Sama halnya dengan perbuatan merusak, menghancurkan, membunuh (Pasal 406) menghilangkan nyawa (Pasal 338), dan masih buaaanyak lagi.

Dengan demikian, maka bagaimanapun caranya dan wujud nyata perbuatan mengambil tidaklah menjadi persoalan, yang penting dari perbuatan yang entah bagaimana cara dan wujudnya tersebut benda objek yang diambil beralih kekuasaannya ke dalam kekuasaan si pencuri. Dengan penjelasan tersebut, maka perbuatan mengambil tidak ada persoalan lagi. Cocok benar dengan peristiwa pembobolan rekening tersebut. Demikian juga unsur-unsur yang lain tidak ada masalah lagi. Cocok, pas bin genah sdh memenuhi unsur-unsur delik pencurian.

Saya membaca di koran maupun di situs internet, polisi akan membidik dengan pencurian yang diperberat yakni Pasal 363. Meski-pun tidak diterangkan secara spesifik, tapi saya dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud pastilah Ayat (1) angka 5, karena rumusan disanalah yang paling dekat dari pada bentuk-bentuk lainnya dalam Pasal 363 tersebut.

Pasal 363 Ayat (1) angka 5 merumuskan “pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu”.

Waaaduh, kok jauuuh ya - sungguh besar hambatannya untuk menerapkan Ayat (1) angka 5 tersebut. Hambatannya adalah dari isi-pengertian unsur “... untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan” atau “untuk sampai pada barang yang diambil” .... kiranya disinilah masalahnya. Mengapa??.

Unsur “untuk masuk ketempat melakukan kejahatan”, jelaslah menunjukkan bahwa objek barang yang dicuri harus berada di dalam sebuah ruangan, misalnya rumah, kamar atau gudang dsb. Pengertian seperti ini klop benar dengan unsur berikutnya (caranya untuk masuk) terutama dengan memakai anak kunci palsu. Dengan demikian, dapat dipastikan unsur ini tidak mungkin dapat dipenuhi, karena untuk sampai pada objek benda yang dicuri, si pelaku tidak masuk ke dalam suatu ruangan. Kecuali jika mesin ATM tersebut ada di dalam gedung atau ruangan, yang untuk sampai pada ruangan itu si pencuri merusak pintunya atau membuka pintunya dengan anak kunci palsu. Kasusnya tidak demikian, ya kan??? Mesin ATM diletakkan di areal terbuka yang umumnya di tempat umum, bahkan adakalanya dipinggir jalan raya yang mudah dijangkau umum.

Bagaimana dengan unsur alternatifnya yakni untuk sampai pada barang yang diambil (bukan masuk ya) dengan cara merusak, memotong dsb. Inipun sulit, karena untuk sampai pada mesin ATM si pelaku tidak melakukan upaya merusak, memotong, memanjat dan sebagainya.

KESIMPULAN: Pasal 363 KUHP tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu kami – rakyat yang mendambakan tegaknya hukum yang benar (kepastian hukum), kami berteriak keras: Haaaaai Pak polisi-2, pak jaksa-jaksa dan pak hakim-2 yang kami hormati. Tolong terapkan hukum yang benar, jangan ngawur dan untuk mencari popularitas dengan pokoknya di hukum berat. Sikap dan perilaku yang demikianlah yang merusak sistem dan tatanan hukum pidana kita selama ini. PRAKTIK YANG MERUSAK, DENGAN MENAFSIRKAN ASAL MAU GUE. Itulah yang disebut dengan interpretatio est perversio. Mau sampeyan di cap penegak hukum yang paling ngawur, tukang tafsir est perversio???? Kalau begitu, apa bedanya sampeyan dengan dukun ramal yang duduk di pinggir jalan mencari mangsa dengan mulutnya komat-kamit seolah-olah berbicara dengan para jin dan dedemit untuk mendapatkan petunjuk tentang nasib orang-orang yang tanpa iman???. Haaaa -- aah ??

Sekarang, bagaimana dengan UU ITE. Delik yang mana kiranya yang diprediksi dekat dengan kasus pembobolan rekening di mesin ATM tersebut. Terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam Pasal 27 sampai 37 UU ITE. Diantara 19 macam tindak pidana ITE tersebut, kiranya yang dekat dengan peristiwa pembobolan rekening di ATM tersebut yakni:
1. Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat (3):
Pasal 30 Ayat (3) jo 36 merumuskan: “...dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui atau menjebol sistem pengamanan, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.
Saya kira perbuatan apa wujud dan caranya yang belum diketahui yang dilakukan pembobol tersebut dapat dikualifikasikan (disamakan) dengan perbuatan mengakses ..... dengan “menjebol” sistem pengaman. Untuk memperkuat pendapat saya ini diperlukan ahli telematika untuk menerangkannya di muka penyidik dan di muka hakim. Perbuatan seperti itu berakibat kerugian bagi orang lain. Mengenai kerugian orang lain merupakan unsur yang harus ditambahkan pada delik ITE yang dirumuskan dalam Pasal 30 Ayat (3). Unsur kerugian ini terdapat dalam Pasal 36. Semua delik yang dirumuskan dalam Pasal 27 sampai 34 tersebut, baru dapat menjadi tindak pidana ITE bila terdapat unsur kerugian orang lain dalam Pasal 36 ini. Tindak pidana ITE dalam Pasal 27 s/d Pasal 34 jelas adalah merupakan tindak pidana materiil. Timbulnya akibat merupakan syarat satu-satunya penyelesaian delik.
Membuat rumusan tindak pidana dalam UU ITE memang cara yang tidak lazim. Suatu tindak pidana tertentu harus memuat unsur-unsur yang dicantumkan dan menjadi kumulatif dalam tiga pasal. Membuat rumusan yang mbulet? Tidak mudah orang memahaminya, harus merangkai sendiri unsur-unsur dari dan dimuat dalam tiga pasal. Saya tidak suka dengan cara perumusan yang demikian. Tentu masih banyak cara dalam hendak merumuskan suatu tindak pidana agar tidak mbulet, kan.

2. Pasal 33 jo 36 jo 49:
Pasal 33 jo 36 merumuskan “... dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.
Semata-mata terpenuhinya unsur Pasal 33 belum cukup menjadi tindak pidana ITE harus ditambah pula unsur kerugian bagi orang lain yang dirumuskan dalam Pasal 36.
Persepsi saya, dengan perbuatan yang belum kita ketahui secara pasti bagaimana bentuk dan caranya yang dilakukan pembobol yang berakibat uang dalam mesin ATM dikeluarkan/dikuras (dengan melawan hukum) sehingga sampai dikuasai pembobol, dapat disamakan/ dikualifikasikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sebab jika sistem elektronik tidak dijadikan pembobol menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka tidak mungkin uang dapat dikeluarkan dari mesin ATM.

Diantara 2 macam tindak pidana ITE tersebut, yang manakah yang paling dekat dengan peristiwa pembobolan rekening melalui ATM tersebut? Menurut saya dua-duanya dapat diterapkan, fifty-fifty lah sama-sama kuat.

Hambatan umum dalam pekerjaan menganalisis delik-2 dalam UU ITE adalah rumusannya tidak jelas, mbulet bin mlinter-mlinter dan karenanya dapat menimbulkan multi tafsir, disamping tidak semua ahli hukum, polisi, jaksa dan hakim memahami benar tentang unsur-unsur atau kata atau istilah teknologi informasi degital yang digunakan UU tersebut, meskipun sebagian istilah diberikan pengertian otentiknya/yuridisnya, misalnya sistem elektornik, dokumen elektronik, dll. Toh keterangan mengenai pengertian tersebut mencantukan pula istilah-istilah yang tidak mudah dipahami oleh semua orang. Oleh karena itu rasanya ahli telematika mutlak diperlukan dalam setiap mengungkap kasus-kasus cyber crimes semacam ini. Namun menurut analisis saya (sementara) cukup alasannya untuk menyangkakan/ mendakwakan dua bentuk kejahatan ITE tersebut sekaligus.

Persoalannya, dari 3 (tiga) macam tindak pidana, ialah Pasal 362 KUHP, Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat (3) dan Pasal 33 jo 36 jo 49, yang menurut saya dapat diterapkan, bagaimana cara menerapkannya??.

Untuk hal penerapan pidananya harus melihat penerapan pidana pada perbarengan. Diantara 3 bentuk perbarengan, mengenai tiga macam tindak pidana ITE pada kasus pembobolan tersebut dapat dikategorikan masuk ke dalam bentuk perbarengan peraturan (concursus idialis) menurut Pasal 63 KUHP. Pemidanaan dalam hal perbarengan peraturan yang sesuai dengan kasus ini ialah menerapkan Pasal 63 Ayat (1) yakni mengunakan sistem hisapan (absorbsi stelsel). Dalam Pasal 63 Ayat (1) ada dua macam sistem absorbsi. Petama, jika beberapa tindak pidana yang timbul dari satu perbuatan itu, diancam dengan pidana yang sama berat, maka dijatuhkan salah satu pidana diantara beberapa aturan (rumusan delik) pidana tersebut. Hakim bebas memilihnya berdasakan pertimbangannya sendiri mana yang terdekat. Kedua, jika beberapa tindak pidana yang timbul dari satu perbuatan itu diancam dengan pidana yang berat ringannya tidak sama, maka dijatuhkan pidana menurut aturan pidana (rumusan delik) yang diancam pidana yang paling berat.

Nah, diantara 3 macam tindak pidana tadi yang terberat ancaman pidananya adalah Pasal 33 jo 36 jo 49, yaitu 10 tahun penjara. Maka hakim harus menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 33 jo 36 jo 49.

Kini bentuk surat dakwaan apa/bagaimana yang harus dibuat jaksa? Dalam setiap beberapa tindak pidana bentuk perbarengan baik perbeangan peraturan (Pasal 63 KUHP) maupun perbarengan perbuatan (Pasal 65 maupun 66 juga 70), maka JPU harus membuat surat dakwaan bentuk kumulatif. Pembuktiannya memang lebih ruwet dan sulit, karena wajib membuktikan kesemua tindak pidana yang didakwakan. Namun tuntutan pidana haruslah menggunakan sistem hisapan yang ditentukan dalam Pasal 63 tersebut.

Demikian pandangan saya. Sampai ketemu lagi pada artikel online berikutnya.

Malang Kampus UB, 25 Januari 2010.

Senin, 11 Januari 2010

PUTUSAN PERKARA PERDATA TIDAK MENYEBABKAN PERKARA PIDANA NE BIS IN IDEM

LEGAL OPINION

PERKARA PIDANA NOTARIS MEMBUAT AKTA JUAL BELI BANGUNAN (RUMAH) DAN PEMINDAHAN HAK SEWA TANAH PERSEWAAN YANG DIDUGA PALSU TIDAK DAPAT MENJADI NE BIS IDEM MESKIPUN PUTUSAN PERKARA PERDATA MENYATAKAN JUAL BELI BANGUNAN SAH

Ditujukan pada: ...............................................................................

Kasus : 1. Dugaan Notaris Membuat Akta Jual Beli Bangunan (Rumah)

dan Pemindahan Hak Sewa Tanah Persewaan Palsu

2. Dugaan Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu Ke Dalam

Akta Otentik.

Digelar/diskusi: Kamis tanggal 7 Januari 2010 di Ruang Rapat Gedung Pasca

Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawiajaya

Tim Gelar : ..............................................................................

Permintaan : ...............................................................................

Dibuat Oleh : BKBH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

I. JUDUL: PERKARA PIDANA NOTARIS MEMBUAT AKTA JUAL BELI

BANGUNAN (RUMAH) DAN PEMINDAHAN HAK SEWA TANAH

PERSEWAAN YANG DIDUGA PALSU DAN PERKARA MENYURUH

MEMASUKKAN KETERANGAN PALSU KE DALAM AKTA OTENTIK

TIDAK DAPAT MENJADI NE BIS IDEM MESKIPUN PUTUSAN

PERKARA PERDATA MENYATAKAN JUAL BELI BANGUNAN SAH

II. PIHAK- PIHAK TERKAIT

........................................................................................................................

III. PERMASALAHAN HUKUM

Kajian ini membahas guna menjawab dua pertanyaan pokok yakni sebagai berikut:

1. Apakah putusan perkara perdata yang in kracht van gewijsde yang menyatakan jual beli bangunan (rumah) dan pemindahan hak sewa tanah persewaan sah dapat dijadikan alasan/dasar bahwa perkara pidana notaris membuat akta jual beli bangunan (rumah) dan pemindahan hak sewa tanah persewaanyang diduga palsu menjadi ne bis idem?

2. Apakah suatu putusan perkara perdata yang in kracht van gewijsde mengenai suatu bangunan rumah yang letak (alamat) bangunan rumah tidak sama (berbeda) dengan letak (alamat) bangunan rumah dalam amar putusan - dapat dilakukan eksekusi?

IV. JAWABAN SINGKAT

1. Putusan perkara perdata meskipun telah in kracht van gewijsde yang menyatakan jual beli bangunan (rumah) dan pemindahan hak sewa tanah persewaan sah tidak dapat dijadikan alasan/dasar bahwa perkara pidana dugaan membuat surat jual beli bangunan (rumah) dan pemindahan hak sewa tanah persewaan palsu menjadi ne bis idem?. Alasannya, karena:

a. Umum, al:

1) Berdasarkan Pasal 76 KUHP bahwa perbuatan yang tidak dapat dituntut dua kali (ne bis in idem), adalah terhadap perbuatan yang sama dari suatu tindak pidana yang telah diperiksa dan diputus pengadilan dengan putusan yang telah bersifat tetap (in kracht van gewijsde zaak). Putusan terhadap perbuatan (dalam tindak pidana yang menjadi pokok dakwaan) yang dimaksud Pasal 76 KUHP tersebut, adalah putusan yang amarnya adalah: (1) pemidanaan, termasuk tindakan (maatregelen), (2) pembebasan, dan (3) pelepasan dari segala tuntutan hukum. Putusan perkara perdata tidak dapat dijadikan landasan/dasar ne bis in idem terhadap perkara pidana yang sedang diperiksa dalam segala tingkatan. Amar putusan dalam perkara perdata (secara umum) adalah: (1) gugatan dikabulkan, (2) gugatan ditolak, dan (3) gugatan tidak dapat diterima. Sementara secara khusus, setiap amar yang menjadi bagian/sub-sub dari salah satu amar (terutama amar yang mengabulkan gugatan) adalah bergantung dari petitum yang dimohonkan.

2) Suatu putusan perkara perdata sekedar mencerminkan kebenaran formil belaka, dan tidak mencerminkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati. Karena kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan perkara perdata sudah cukup pada kebenaran formil semata. Sementara putusan perkara pidana mencerminkan kebenaran materiil/kebenaran yang sesungguhnya/sejati. Karena yang dicari dalam proses pemeriksaan dan persidangan perkara pidana adalah suatu kebenaran sejati.

b. Khusus, mengenai kasus ini, al.:

1) Objek pemeriksaan perkara perdata berbeda dengan objek pemeriksaan perkara pidana. Objek pemeriksaan perkara perdata ialah mengenai isinya akta. Karena itu substansi/focus pembuktiannya oleh Penggugat Rekonvensi pada bentuknya akta in casu otentik yang menurut hukum (1868 BW) bagi para pihak yang membuatnya merupakan alat bukti sempurna, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Sementara objek pemeriksaan perkara pidana adalah perbuatan-perbuatan di dalam proses pembuatan akta otentik oleh notaris. Karena kebenaran materiil tentang isinya akta tidak cukup dicari pada kebenaran formil yakni pada bentuknya akta in casu ontentik, melainkan pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan sebelum akta otentik dikeluarkan.

2) Oleh karena itu, hubungan dan kedudukan timbal balik antara kedua perkara (perdata dan pidana), adalah: bahwa “kebenaran materiil yang didapat dari pemeriksaan perkara pidana akan memengaruhi dan menentukan kedudukan dari perkara perdatanya”, bukan sebaliknya.[1]

3) Dengan demikian maka kedudukan kedua perkara ini ialah putusan perkara pidana akan menentukan terhadap putusan perkara perdatanya. Jika terdakwa dibebaskan maka membuktikan secara materiil kesepakatan jual beli bangunan (rumah) benar. Sebaliknya jika putusan perkara pidana mempidana terdakwa in kracht van gewijsde maka putusan tersebut membuktikan bahwa kebenaran formil dalam putusan perdata bertentangan dengan kebenaran yang sesungguhnya. Putusan perkara pidana ini berfungsi membatalkan putusan perkara perdata, karena itu digunakan sebagai alasan mengajukan upaya hukum penjauan kembali (PK) melawan putusan perkara perdata semula yang menyatakan jual beli rumah sah.[2] Dalam hal ini tiada sebuah alasanpun untuk menolak permintaan PK.

2. Bahwa putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang bersifat condemnatoir (bersifat menghukum), bukan amar putusan yang bersifat declaratoir (pernyataan). Sedangkan apa (objek) yang dieksekusi adalah objek dan segala hal yang berkaitan dengan objek tersebut yang secara tegas tertulis/tercantum dalam amar putusan saja. Bukan objek yang di sebutkan dalam petitum.

Bahwa berdasakan hal itu, maka letak/alamat objek bangunan (rumah) yang tertulis/tercantum dalam amar putusan yang in casu terletak di Jalan ..................... saja yang boleh dilakukan eksekusi, dan bukan objek rumah yang terletak di Jalan................................... Adapun alasan salah ketik tidak bisa dijadikan alasan untuk merubah amar putusan meskipun merubah letak objek.

IV. KRONOLOGI PERISTIWA / FAKTA-FAKTA

Didasarkan pada alat-alat bukti: surat-surat yang terdapat dalam berkas yang diberi judul “Kumpulan Bukti dan Analisis Berbagai Kejanggalan Bukti pada Laporan No.Pol.: LP................... dan No. Pol.: ..........................pada Tanggal ........................ (diberkas oleh BKBH Universitas Airlangga), dua BA Pemeriksaan Ahli dan BA Pemeriksaan Saksi-saksi (Pelapor), serta keterangan Sdr. FWO dan Wakilnya dalam gelar/diskusi tanggal 7 Januari 2010 di Gedung Pasca Sarjana FH Universitas Brawijaya

1. Awalnya dari kehendak Sdr FWO untuk meminjam uang sebesar Rp 315.000.000,00 (tiga ratus lima belas juta rupiah) pada Sdr. DHO dengan jaminan bangunan rumah di Jl. ............ V/12 Sssssssssssssss dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. Surat rumah atas nama NSI - istri FWO yang semula surat itu berada di Bank Ha sebagai jaminan hutang.

2. Untuk merealisasikan maksud tersebut pada tanggal 5 April 2002 kedua belah pihak menghadap SAI notaris di Sssssssssssssss. Notaris menyarankan agar hutang tersebut dilunasi terlebih dulu dan menarik surat rumah di Bank Ha.

3. Tanggal 10 April 2002, Sdr. FWO bersama Sdr. DHO melunasi hutang pada Bank Ha dan menarik surat rumah yang dijadikan jaminan. Pada hari itu juga Sdr. FWO bersama Ibu NSI dan Sdr. DHO menghadap SAI kembali.

4. Dihadapan Sdr. FWO dan Ibu NSI, Notaris meminta Ibu NSI untuk menandatangani lembar kertas yang masih kosong yang katanya setelah dibuat akta hutang-piutang, nanti Sdr. FWO dan Ibu NSI akan diberikan salinannya.

5. Tanggal 11 April 2002 Sdr. DHO menelpon Sdr. FWO dan menyatakan bahwa pinjaman uang yang diberikan kemaren tersebut dikenakan bunga 3 % perbulan.

6. Tanggal 11 Mei 2002 dan 13 Juni 2002 Sdr. FWO membayar bunga pinjaman sebesar 3 % dari Rp 315.000.000,00 ke rekening Sdr. DHO masing-masing Rp 9.450.000,00 (sembilan juta empat ratus lima pulih ribu rupiah). Setelah itu cicilan bunga hutang macet, disebabkan usaha Sdr. FWO jatuh bangkrut akibat ditipu orang.

7. Karena hutang macet, maka untuk melunasi hutang Sdr. FWO bermaksud menjual rumah tersebut.

8. Sejak macetnya pembayaran bunga hutang, Sdr. FWO dan Ibu NSI berusaha untuk meminta salinan akta hutang piutang pada notaris SAI dan Sdr. DHO yang telah dijanjikan ketika Ibu NSI diminta notaris untuk menandatangani lembar kosong pada tanggal 10 April 2002. Namun tidak pernah diberikan. Bahkan notaris pernah marah-marah dan mengusir Ibu NSI dari kantor notaris tersebut

9. Tanggal 17 April 2004, ketika Sdr. FWO berada di Jayapura, ada orang yang katanya suruhan Sdr. DHO dari Pengadilan Negeri Sssssssssssssss datang ke kediaman Sdr. FWO di Jl. Barata Jaya V/12 Sssssssssssssss, ditemui oleh Ibu NSI. Orang tersebut mengatakan bahwa rumah yang ditempati Sdr. FWO sekeluarga ini telah menjadi milik Sdr. DHO. Olehnya disarankan agar Sdr. FWO mengajukan gugatan saja.

10. Malam harinya (17 April 2004), atas permintaan DHO, Ibu NSI ditemani Ibu SS dan Ibu ES (kakak perempuannya), menemui DHO di rumahnya. DHO bersama seorang laki-laki menerima Ibu NSI. Di pertemuan itu, Sdr. DHO menyatakan bahwa hutang Ibu NSI telah menjadi Rp 580.000.000,00 (lima ratus delapan puluh juta rupiah). Sdr. DHO memberi kesempatan 6 (enam) bulan untuk melunasi hutang dengan menjual rumah yang semula dijadikan jaminan hutang tersebut.

11. Untuk merealisaikan hasil pertemuan itu, atas kehendak Sdr. DHO tanggal 20 April 2004 Ibu NSI didampingi Ibu SS dan Ibu ES (kedua kakak perempuannya), Sdr. FAR dan Sdr. KW, menghadap WHI notaris di Sssssssssssssss untuk membuat perjanjian dengan DHO bahwa Ibu NSI diperkenankan menjual rumah diberi waktu selama 6 bulan untuk melunasi hutang. Ternyata ditolak notaris dengan mengatakan bahwa rumah sudah dijual pada Sdr. DHO. Dari penjelasan notaris WHI inilah Ibu NSI baru mengetahui secara pasti, bahwa surat rumah sudah dibalik nama menjadi milik DHO yang didasarkan pada akta jual beli bangunan (rumah) No. 54 yang dibuat oleh SAI notaris di Sssssssssssssss. Notaris ini telah mengisi lembaran kertas kosong yang semula pada tanggal 10 April 2002 dimintakan tanda tangan pada Ibu NSI yang maksudnya semula untuk dibuat akta hutang piutang dengan jaminan rumah, ternyata dibuat akta jual beli bangunan (rumah) sekaligus dengan pengosongan (dengan akta No. 55). Karena itu di kantor notaris WHI terjadilah pertengkaran, dimana Ibu NSI dan Sdr. KW menolak untuk menandatangani Akta No. 11 perihal pengosongan rumah, karena tidak merasa menjual rumah miliknya. Perselisihan ini diketahui semua orang yang hadir di kantor notaris WHI tersebut.

12. Notaris WHI juga ikut memaksa Ibu NSI menandatangani akta No. 11 dengan menggebrak meja dan mengancam jika tidak menandatangani maka besok hari Ibu NSI beserta ketujuh anaknya akan disuruh keluar karena dalam akta notaris SAI No. 55 harus mengosongkan rumah sampai 15 April 2004. Disamping ancaman tersebut, Notaris WHI memberikan alasan bahwa Sdr. DHO telah memberikan kesempatan sampai dengan bulan Oktober 2004 kepada Ibu NSI untuk menjual sendiri rumah miliknya tersebut yang dibuat dalam sebuah surat perjanjian tersendiri di bawah tangan, surat perjanjian mana naskahnya dibuatkan oleh Kantor Notaris WHI sendiri. Oleh karena diberikan waktu sampai dengan bulan Oktober 2004 untuk menjual rumah sendiri itulah, meskipun dengan sangat terpaksa Ibu NSI menandatangani akta Nomor 11 tersebut.

13. Bahwa dengan maksud untuk menjual sendiri rumah tersebut, maka Sdr. FWO membuat iklan di surat kabar Surya, Jawa Pos dan Memorandum. Sampai tanggal 12 Agustus 2004 telah masuk 12 orang yang mengajukan penawaran mulai harga Rp 950.000.000,00 s/d Rp 1.200.000.000,00. Namun sebelum terlaksana penjualan rumah, tiba-tiba pada tanggal 13 Agustus 2004, Sdr. FWO ditangkap dan ditahan POLDA dan dijadikan tersangka karena dianggap menipu DHO dengan “menjual rumah ternyata tidak mau mengosongkannya”. Oleh karena rumah tersebut disita POLDA dan dipasang papan besar yang isinya rumah dalam sitaan karena tersangkut perkara pidana penipuan. Maka semua orang yang telah mengajukan penawaran – menarik diri. Karena itulah maka penjualan rumah menjadi gagal.

14. Bahwa Pengadilan Negeri Sssssssssssssss telah menjatuhkan putusan menghukum 3 tahun penjara pada Sdr. FWO karena penipuan dalam perkara Nomor 2401/Pid.B/2004/PN Sby, putusan mana dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sssssssssssssss dengan Nomor 53/Pid/2005/PT Sby. Namun kemudian kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (No. 1062K/PID/2005), dan menjatuhkan amar putusan melepaskan dari segala tuntutan hukum terhadap Sdr. FWO.

15. Tanggal 23 September Sdr. FWO mengajukan gugatan perdata terdaftar pada regester No. 564/Pdt.G/2004/PN Sby, menggugat Sdr. DHO dan SAI yang pada pokoknya minta pada pengadilan agar akta No. 54 dan 55 yang dibuat oleh Notaris SAI dinyatakan tidak sah dan dibatalkan.

16. Bahwa kedua Tergugat (DHO dan SAI) dalam perkara tersebut disamping mengajukan jawabannya juga mengajukan gugatan rekonventie. Putusan Pengadilan Negeri Sssssssssssssss menolak gugatan penggugat konvensi (FWO dan NSI), dan mengabulkan gugatan rekonvensi dengan menyatakan jual beli rumah sah, dan menghukum tergugat rekonvensi/ penggugat konvensi untuk mengosongkan rumah sengketa, putusan mana dikuatkan oleh PT Sssssssssssssss. MA juga menolak permohonan kasasi tergugat rekonvensi. Putusan inipun kemudian in kracht van gewijsde.

17. Kini Tergugat rekonvensi mengajukan perlawanan terhadap sita eksekusi di PN Sssssssssssssss terdaftar pada regester No. 549/PLW/2009/PN Sby. Alasannya antara lain bahwa rumah objek sengketa yang tertulis dalam amar putusan pengadilan yang hendak dieksekusi adalah di Jl. ............ V/12 Sssssssssssssss, sementara letak objek yang sebenarnya adalah di Jl. Barata Jaya V/12 Sssssssssssssss.

18. Disamping itu, Sdr. FWO mengajukan pelaporan pada POLDA perihal telah dibuatnya akta no. 54 dan 55 masing-masing tanggal 10 Mei 2002 oleh SAI notaris di Sssssssssssssss, tercatat dalam dua Laporan Polisi masing-masing dengan Nomor Polisi: ....................... dan No. Pol.: ....................... pada Tanggal 11 Mei 2009.

VI. ANALISIS HUKUM

A. PERMASALAHAN HUKUM PERTAMA

Permasalahan pertama timbul, berhubung dengan terdapatnya putusan perkara perdata yang in kracht yang pada pokoknya menyatakan bahwa jual beli bangunan (rumah) di Jl. ............ V/12 (mestinya Jl. ..........) Sssssssssssssss adalah sah. Dari amar putusan yang demikian, meskipun tidak dinyatakan secara tegas mengenai akta No. 54 dan 55 sebagai akta yang sah, namun secara terselubung dari sudut kebenaran formil kedua akta tersebut benar. Sementara itu, kedua laporan polisi No. ....................... dan No. Pol.: ....................... pada Tanggal 11 Mei 2009 objek pemeriksaan perkaranya terfocus pada palsunya isi akta No. 54 dan 55 dan palsunya keterangan yang disampaikan terlapor di depan sidang pengadilan perkara pidana No. 2401/Pid.B/2004/PN Sby dan perkara perdata No. 564/Pdt.G/2004/ PN.Sby. Dimana SAI di sidang perkara pidana di bawah sumpah memberikan keterangan bahwa akta notaris No. 54 dan 55 tanggal 10 Mei 2002 dibuat dan dibacakan dan ditandatangani pada tanggal 10 Mei 2002. Namun di dalam persidangan perkara perdata, tanggal 23 Nopember 2004 Notaris SAI menerangkan bahwa akta notaris No. 54 dan 55 tersebut dibuat dan dibacakan dan ditandatangani pada tanggal 10 April hanya penmoran dan penanggalan akta saja yang dibuat setelah ijin peralihan keluar.

Dengan adanya putusan pengadilan perdata tersebut, timbullah permasalahan hukum pertama, yakni apakah putusan perkara perdata yang in kracht yang menyatakan jual beli bangunan (rumah) ... sah dapat dijadikan alasan/dasar bahwa perkara pidana dugaan membuat akta No. 54 jual beli bangunan (rumah) dan pemindahan hak sewa tanah persewaan palsu dan akta No. 55 tentang pengosongan rumah menjadi ne bis idem?

1. Bahwa menurut Pasal 76 KUHP, sudah pasti putusan yang inkracht van gewijsde yang dimaksud adalah putusan perkara pidana, bukan putusan perkara perdata. Jadi syarat pokok putusan perkara pidana menjadi ne bis in idem adalah apabila perbuatan (dalam suatu tindak pidana) telah diputus dengan putusan in kracht van gewijsde. Terhadap putusan perkaa pidana tersebut tidak boleh dituntut kedua kalinya. Tujuan dan latar belakang atau ratio dibentuknya ketentuan ini adalah untuk/demi kepastian hukum dan keadilan, dimana terdakwa yang sudah diputus dengan putusan tetap tidak boleh negara secara terus menerus melakukan penuntutan pidana.

2. Bahwa istilah/kata dituntut” (dalam anak kalimat “tidak boleh dituntut dua kali”) dalam Pasal 76 KUHP, adalah dituntut pidana atau dituntut negara dalam perkara pidana. Hanya dalam perkara pidana saja negara boleh menuntut pidana terhadap penduduknya. Tidak mungkin negara menuntut pidana terhadap penduduknya dalam hal perkara perdata.

3. Putusan yang dimaksud dalam Pasal 76 KUHP, adalah putusan terhadap pokok perkaranya atau terhadap perbuatan dalam tindak pidana yang didakwakan. Ada 3 macam amar putusan terhadap perbuatan yang dimaksud Pasal 76 KUHP tersebut, dan yang berlaku azas ne bis in idem, ialah (1) amar putusan pembebasan (vrijspraak), (2) amar pemindaan (veroordeling), termasuk amar putusan tindakan (maatregelen) terhadap anak yang umurnya telah 8 tahun tetapi belum 18 tahun (Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997); (3) amar pelepasan dari tuntuan hukum (ontslag van alle rechtvervolging).[3] Hanya terhadap 3 (tiga) macam amar putusan itulah ketika in kracht van gewijsde dapat menjadi ne bis in idem, terhadap perbuatan/tindak pidana tersebut tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya.

4. Sementara putusan perkara perdata terdapat 3 macam amar putusan, ialah (1) gugatan dikabulkan, (2) gugatan ditolak dan (3) gugatan tidak dapat diterima. Tiga macam putusan perkara perdata itu tentu saja berbeda dengan putusan perkara pidana yang 3 macam tersebut di atas. Bagaimana mungkin putusan perkara perdata terhadap salah satu diantara 3 macam amarnya tersebut dapat dijadikan alasan ne bis in idem perkara pidana yang sedang dilakukan pemeriksaan. Sebodoh-bodohnya (pengetahuan hukumnya di bawah standar) orang yang berprofesi di bidang hukum tidak mungkin mempunyai pendapat bahwa putusan perkara perdata dapat dijadikan alasan ne bis idem terhadap perkara pidana yang sedang diperiksa.

5. Berdasarkan Pasal 76 KUHP bahwa perbuatan yang tidak dapat dituntut dua kali (ne bis in idem), adalah terhadap perbuatan yang sama dari suatu tindak pidana yang telah diperiksa dan diputus pengadilan dengan putusan (tiga macam amarnya tersebut) yang telah bersifat tetap (in kracht van gewijsde zaak). Putusan perkara perdata tidak dapat dijadikan landasan/dasar ne bis in idem terhadap perkara pidana yang sedang diperiksa dalam segala tingkatan. Adapun alasan dan logika ketentuan dari Pasal 76 KUHP ini ialah suatu putusan perkara perdata sekedar mencerminkan kebenaran formil belaka, dan tidak mencerminkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati. Karena kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan perkara perdata sudah cukup pada kebenaran formil semata. Sementara putusan perkara pidana mencerminkan kebenaran materiil. Karena yang dicari dalam proses pemeriksaan dan persidangan perkara pidana adalah suatu kebenaran sejati. Mengapa dalam perkara pidana yang wajib dicari dan ditemukan adalah kebenaran sejati? Sebabnya adalah, bahwa amar putusan yang mempidana (veroordeling) sangat menyerang hak-hak pribadi manusia (mulai hak terhadap harta bendanya, hak kebebasan bergerak sampai pada hak untuk hidup dapat dirampas oleh negara). Sementara amar putusan perkara perdata sekedar menyerang hak terhadap/mengenai harta benda saja. Dan yang merampas hak keperdataan tersebut sebenarnya bukan negara (kecuali jika negara sebagai pihak) melainkan pihak yang dimenangkan perkaranya oleh pengadilan. Negara sekedar melaksanakan atas permintaan pihak yang dimenangkan.

6. Hal itu pula yang sesungguhnya menjadi latar belakang dari dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1956 Perihal “Hubungan Antara Peradilan Perdata dengan Peradilan Pidana”. Pada Pasal 3 secara tegas dinyatakan bahwa “Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hal perdata”.

7. Oleh karena itu, hubungan dan kedudukan timbal balik antara kedua perkara (perdata dan pidana), adalah bahwa kebenaran materiil yang didapat dari pemeriksaan perkara pidana akan memengaruhi dan menentukan kedudukan terhadap perkara perdatanya, bukan sebaliknya. Dengan demikian maka kedudukan kedua perkara ini ialah putusan perkara pidana akan menentukan terhadap putusan perkara perdatanya. Jika terdakwa dibebaskan maka membuktikan secara materiil kesepakatan jual beli bangunan (rumah) benar. Kebenaran formil semula ternyata benar pula secara mateiil. Namun, sebaliknya apabila putusan perkara pidana mempidana terdakwa, setelah putusan tersebut in kracht van gewijsde membuktikan bahwa putusan perkara perdatanya adalah salah/tidak benar. Oleh sebab itu maka putusan tersebut digunakan sebagai alasan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) melawan putusan perkara perdata semula yang menyatakan jual beli rumah sah. Sesuai dengan Pasal 67 huruf e dan f UU No. 14/1985 yang diubah dengan UU No. 5/2004, maka dipastikan permintaan PK untuk membatalkan putusan perkara perdatanya tersebut dikabulkan. Tiada sebuah alasanpun untuk menolak permintaan PK pemohon PK.

8. Dalam hal hubungan antara perkara perdata dan perkara pidana, harus dibedakan antara persoalan ne bis in idem dalam Pasal 76 KUHP dengan persoalan adanya perselisihan prae judicial (prejudicieel geschil) dalam Pasal 81 KUHP. Tidak boleh dicampur adukan. Persoalan ne bis in idem adalah mengenai hal tidak dapat lagi dilakukan penuntutan atas suatu perbuatan dalam tindak pidana yang sudah diputus dengan putusan tetap, sebagaimana pada alasan penyidik yang hendak menghentikan penyidikan pada perkara pidana ini. Sementara adanya perselisihan prae judicial adalah masalah menghentikan sementara penututan oleh hakim di sidang pengadilan dengan alasan adanya perselisihan pra judicial dengan perkara lain yang bisa terjadi dalam hal ada hubungannya dengan perkara lain (bisa pidana atau perdata) yang sudah lebih dulu diperiksa namun belum diputus. Sifat hubungan kedua perkara skedar hanya mempengaruhi, tidak bersifat menutup hak penuntan bagi perkara pidana. Namun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1956, dalam hal perselisihan prae judicial dengan perkara perdata hakim pidana tidak perlu memperhatikan perkara perdata tersebut. Hal ini sesuai dengan pengertian perselisihan pra judicial menurut Pasal 81 KUHP tersebut, yang sejak semula dimaksudkan sebagai hak hakim saja, bukan sebagai kewajiban sebagaimana perintah Pasal 284 Ayat (5) KUHP, dimana hakim wajib menghentikan penuntutan sambil menunggu putusnya perkawinan karena perceraian menjadi sah.[4]

9. Secara khusus Objek pemeriksaan kedua perkara perdata dan pidana yang sekarang adalah berbeda. Objek pemeriksaan perkara perdata ialah mengenai isinya akta. Karena itu substansi/focus pembuktiannya oleh Penggugat Rekonvensi adalah tentang kebenaran isinya yang difosuskan pada bentuknya akta in casu otentik yang menurut hukum (1868 BW) bagi para pihak yang membuatnya merupakan alat bukti sempurna, (kecuali terbukti sebaliknya sebagaimana akan dibuktikan melalui putusan perkara pidana yang sekarang dalam tahap penyidikan di Polda Jatim ini). Sementara objek pemeriksaan perkara pidana adalah proses pembuatan akta otentik oleh notaris. Karena kebenaran materiil tentang isinya akta tidak cukup dicari pada kebenaran formil yakni pada bentuknya akta in casu ontentik, melainkan pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan sebelum akta otentik dikeluarkan.

10. Berdasarkan alasan tersebut, maka jelaslah bahwa putusan perkara perdata meskipun telah in kracht yang menyatakan jual beli bangunan (rumah) dan pemindahan hak sewa tanah persewaan sah tidak dapat dijadikan alasan/dasar bahwa perkara pidana dugaan membuat surat jual beli bangunan (rumah) dan pemindahan hak sewa tanah persewaan palsu menjadi ne bis idem?.

11. Sedangkan dalam perkara pidana apakah dapat dibuktikan perihal akta No. 54 dan 55 yang dibuat oleh SAI sebagai palsu?. Mengenai hal itu adalah masalah lain dari masalah ne bis in idem. Persoalan itu adalah mengenai pembuktian. Namun dari sudut hukum pembuktian, khususnya Pasal 183 KUHAP, sesungguhnya syarat minimal pembuktian sudah terpenuhi, ialah adanya dua saksi yakni FWO dan Ibu NSI yang menerangkan bahwa notaris meminta menandatangani lembaran kertas kosong. Bahkan diperkuat pula dengan alat bukti petunjuk yang dapat dibentuk dari fakta-fakta atau keadaan isi dalam akta No. 54 dan 55 yang tidak sesuai dengan yang fakta hukum sebenarnya dan keterangan saksi-saksi lainnya (FAR, ES, SS dan KW), dan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana contoh, akta No. 54 dan 55 (minuta) dibuat dan ditandatangani oleh FWO dan Ibu NSI tanggal 10 Mei 2002, sedangkan Ibu NSI pada hari itu menjalani operasi cecar untuk mengeluarkan kedua bayi kembar yang ada di dalam kandungannya. Oleh sebab itu tidak mungkin pada hari itu Notaris membacakan akta tersebut dihadapan Ibu NSI di tempat di kantor notaris. Kedua keadaan itu pastilah palsu. Demikian juga mengenai objek rumah dan harga rumah, pastlah palsu. Karena objek rumah bukanlah RSS, dan harga tidak mungkin Rp 70 juta rupiah. Harga rumah tersebut pada tahun 2002 berkisar 900 juta s/d 1,5 milyar rupiah. Keadaan-keadaan palsu yang menjadi isi akta No. 54 tersebut, menyebabkan akta otentik tersebut cacad hukum. Jika akta otentik cacad, maka kehilangan sifat otentiknya, akta twersebut berubah menjadi akta di bawah tangan. Sementara peraturan yang dilanggar oleh dibuatnya kedua akta ontentik itu, ialah:

- Keputusan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1997 [Pasal 1 Ayat (4)] jo Keputusan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1998 (Pasal 1) Tentang Kreteria Sangat Sederhana (RSS) yang menyatakan tanah untuk RSS/RS adalah bidang tanah yang memenuhi kreteria al yaitu harga perolehan tanah dan rumah tidak lebih dari Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan diatasnya telah dibangun rumah dalam rangka pembangunan masal atau kompleks perumahan.

- Peraturan jabatan Notaris di Indonesia/PJN (Ord. Stb. 1860 No. 3 pada Pasal 1 dan UU No. 30 Tahun 2004 Pasal 15, yang menyatakan bahwa Notaris harus menjamin kepastian tanggal pembuatan akta. Dan ketentuan Pasal 17 PJN dan pasal 16 Ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Notaris dalam menjalankan jabatannya harus jujur, seksama dan tidak berpihak serta mentaati dan seteliti-telitinya semua peraturan bagi jabatan notaris yang sedang berlaku atau yang akan diadakan. Serta ketentuan Pasal 28 PJN dan Pasal 38, 44, 45, 48 UU No. 30 Tahun 2004 yang mengatur bahwa pembacaan dan penandatanganan akta tidak dapat dilakukan pada hai-hari yang berlainan yang tujuannya adalah agar para penghadap mempunyai jaminan bahwa mereka mennandatangani akta yang sama yang telah dibacakan Notaris kepada mereka; UU mengharuskan bahwa semua penghadap segera menandatangani akta itui setelah selesai pembacaannya oleh Notaris. Pelanggaran terhadap hal ini maka akta tidak memiliki kekuatan otentik seperti yang termuat dalam arrest HR 22 Desember 1916.[5]

- Perda Kota Sssssssssssssss No. 21 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa surat tanah yang telah dijadikan jaminan di Bank harus dicabut blokirnya dulu/diroya dulu baru kemudian dilakukan pralihan hak; selama belum ada ijin peralihan hak dari Pemkot Sssssssssssssss maka tidak boleh dilakukan jual beli atas objek tersebut.

B. PERMASALAHAN HUKUM YANG KEDUA

Dari sebab amar putusan perkara perdata mengenai letak/alamat objek rumah yang hendak diekskusi berbeda dengan letak/alamat objek rumah yang sebenarnya, maka timbulah persoalan yang kedua ini. Apakah suatu putusan perkara perdata yang in kracht mengenai suatu bangunan rumah yang letaknya (alamat) tidak sama (berbeda) dengan letak (alamat) bangunan rumah dalam amar putusan - dapat dilakukan eksekusi?

Bahwa apa yang dieksekusi adalah apa yang disebutkan/tertulis dalam amar putusan (yang bersifat condemnatoir), dan bukan apa yang tertulis dalam petitum gugatan. Oleh karena itu maka letak/alamat objek bangunan (rumah) yang tertulis/tercantum dalam amar putusan yang in casu terletak di Jalan ............ V/12 saja yang boleh dilakukan eksekusi, dan bukan objek rumah yang terletak di Jalan ............ V/12. Adapun alasan salah ketik tidak bisa dijadikan alasan untuk merubah amar putusan meskipun sekedar merubah letaknya/lokasi objek menjadi letak objek yang lain . Perubahan itu dapat dikualifikasikan sebagai pemalsuan surat (akta otentik).

VII. KESIMPULAN

1. Putusan perkara perdata (yang in kracht van gewijsde) tidak dapat dijadikan dasar/alasan ne bis in idem perkara pidana yang sedang diperiksa.

2. Perbuatan dalam Pasal 76 KUHP (dasar hukum azas ne bis in idem) adalah suatu perbuatan dalam tindak pidana yang telah diputus pengadilan pidana dengan putusan yang in kracht van gewijsde.

3. Bahwa putusan perkara pidana yang (yang berlaku azas ne bis in idem) terhadap perbuatan yang dimaksud Pasal 76 KUHP tersebut adalah putusan perkara pidana yang amarnya berisi pemidanaan termasuk tindakan (bagi anak yang umurnya telah 8 tahun atau lebih tapi belum 18 tahun), pembebasan dan pelepasan dari segala tuntutan hukum.

4. Sementara putusan dalam perkara perdata hanya 3 (tiga) macam, adalah (1) gugatan dikabulkan, (2) gugatan ditolak, dan (3) gugatan tidak dapat diterima, yang tidak dapat dijadikan dasar/alasan ne bis in idem perkara pidana.

5. Bahwa putusan perkara perdata yang berisi gugatan dikabulkan yang khususnya isi amar bagian dari amar putusan “mengabulkan gugatan”, berupa “perjanjian jual beli bangunan (rumah) sah” tidak termasuk dalam bagian / lain dari dari amar putusan perkara pidana (pemidanaan termasuk tindakan, pembebasan, dan pelepasan dari segala tuntutan hukum). Amar putusan dalam perkara perdata berbeda jauh dengan amar putusan dalam perkara pidana.

6. Bahwa putusan perkara perdata tidak mengikat, memengaruhi dan tidak dapat menghalang-halangi untuk memeriksa (penyidikan), mengadili dan memutus perkara pidana. Telah ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956.

7. Bahwa putusan perkara pidanalah yang dapat mengikat, memengaruhi dan menghalangi pemeriksaan, mengadili dan memutus perkara perdata.

8. Bahwa putusan yang dapat dieksekusi adalah amar yang bersifat condemnatoir yang secara tegas dicantumkan dalam amar putusan.

9. Bahwa oleh karena letak objek rumah yang dicantumkan dalam amar putusan berbeda dengan letak objek yang sebenarnya, maka putusan tersebut tidak dapat dijalankan.

VIII. REKOMENDASI

1. Penasehat hukum perlu memberikan masukan mengenai sisi hukum mengenai azas ne bis in idem kepada penyidik. Legal Opinion ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan masukan kepada penyidik.

2. Apabila setelah diberikan masukan, penyidik tetap berkeras hendak menghentikan penyidikan perkara sebagaimana dalam LP.............. dan LP ............. dengan alasan bahwa perkara pidana yang sedang diperiksa tersebut ne bis in idem berdasarkan adanya putusan perkara perdata yang menyatakan jual beli bangunan (rumah) sah, maka dapat dilakukan upaya:

a. Minta pada Kapolda agar perkara ini digelar secara terbuka. Pihak yang dihadirkan selain ahli yang telah diperiksa dalam penyidikan, juga para pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum yang ternama (UI, UNDIP, GAMA, Airlangga, UB, UNED).

b. Bila setelah digelar dan (pasti) pendapat gelar sama dengan LO ini, maka tidak ada alasan lagi untuk menghentikan penyidikan. Bila tetap dihentikan, ajukan gugatan pra peradilan.

3. Bila benar ada indikasi bahwa penyidikan kasus ini sengaja dihambat oleh penyidiknya sendiri dengan alasan tidak masuk akal, maka Tim Penasehat Hukum dapat mengajukan permintaan pada Kapolda untuk dilakukan penggantian penyidik. Disamping itu juga untuk ikut mengawal penangan perkara ini, Tim Penasehat Hukum dapat menulis surat kepada Kapolri dan SATGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM di Jakarta melalui PO Box 9949 dengan kode “GANYANG MAFIA HUKUM” dengan tindasan pada semua Instansi dan pejabat yang terkait di pusat dan di daerah, mengenai ketidak puasan dalam hal penanganan perkara ini dengan mengemukakan alasan-alasannya.

Demikian legal opinion ini dibuat atas permintaan FWO, dan hanya digunakan untuk pembelaan dan menegakkan kepentingan hukumnya dalam hal membela dan melaksanakan hak-haknya sebagai korban yang sekaligus sebagai pelapor atas dugaan tindak pidana dan pelawan perkara perdata di pengadilan.

Malang, 11 Januari 2010.

Ketua BKBH Fakultas Hukum Ketua Tim,

Universitas Brawijaya



[1] Lihat Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1956 Tentang Hubungan Antara Peradilan Perdata Dengan Peradilan Pidana.

[2] Lihat Pasal 67 huruf e dan f UU No. 14 Tahun 1985 yang diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.

[3] Lihat Utrecht, 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbit PT Penerbitan Universitas, Bandung, halaman 207.

[4] Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 1980.

[5] Lihat N.J 1917 pada halaman 95 dan Ketentuan Pasal 84 UU No. 30 Tahun 2004.